(1) Case Fatality Rate (CFR) itu berbeda dengan Infection Fatality Rate (IFR). Untuk CFR selama pandemi, berbasis jumlah kematian dan kesembuhan dari kasus konfirmasi. CFR final baru nanti selesai pandemi.
IFR membutuhkan data total semua orang yang terinfeksi. Sumbernya...
(2) Sumbernya dari tes massal di masing-masing wilayah atau negara. Atau estimasi secara statistik berbasis survei epidemiologi (dengan mengingat kinetika terdeteksinya antibodi). Atau ada yang estimasi dari jumlah kasus dan angka reproduksinya, diekstrapolasikan masyarakat luas.
(4) Untuk CFR relatif lebih mudah dihitung karena ada data kasus konfirmasi. Itupun dengan catatan bahwa jumlah tes covid-nya cukup. Juga mengingat risiko bahwa ada yang tidak terdeteksi karena tidak dilakukan tes.
Berikut contoh CFR Indonesia per 2 Oktober 2021.
(5) Dalam contoh sebelumnya CFR Indonesia adalah 3,4% Tapi angka ini masih Effectice CFR artinya masih dinamis, karena pandemi masih berlangsung. Belum mencapai CFR yang relatif stabil.
Kita pernah sudah di bawah 2%, naik turun, saat ini 3,4%.
(6) Kembali soal estimasi IFR, berikut salah satu laporan dari WHO ttg estimasi tersebut yang dilaporkan pada Oktober 2020.
(7) Dari laporan WHO tersebut, kemudian saya rangkum dan jajarkan dengan hasil estimasi CDC yang dibandingkan dengan IFR Influenza (yang relatif sudah lebih stabil karena sudah lama dikumpulkan datanya).
IFR bervariasi sesuai daerah dan kelompok umur.
Mangga.
(8) Berikut estimasi IFR di beberapa negara per Oktober 2020.
(9) Mohon bila sudah ketemu laporan serupa lagi dari WHO, berkenan membaginya di sini.
Matur nuwun. Mangga.
• • •
Missing some Tweet in this thread? You can try to
force a refresh
(1) RUU Kesehatan mencakup BANYAK hal: Pelayanan kesehatan, JKN, Telemedicine, Obat dan Makanan, Donor darah/organ, Sistem Informasi Kesehatan, Pendidikan dan Distribusi Nakes dll.
Bukan "hanya" ttg IDI.
(2) Sejak mulai "beredar draft" yang disebut "tidak resmi", sudah banyak pembahasan, masukan, kritik, koreksi, dll. Menjadi diskusi panjang, walau tetap dinyatakan tidak resmi.
Yg mendiskusikannya disebut "wong tidak resmi kok dikritik". Jadilah kurang efektif diskusinya.
(3) Setelah dinyatakan resmi sebagai proses penyusunan RUU, baru ada forum resmi untuk publik. TAPI waktunya sangat singkat untuk materi yang sedemikian banyak.
Sebenarnya bisa diambil dari diskusi-diskusi sebelumnya. Tapi nampaknya yg diakui hanya yg setelah resmi.
(1) Saya tidak pernah merasa dibully selama sekolah. Sebaliknya saya juga tidak pernah membully selama sekolah. Sekarang sebagai bagian dari pengelola sekolah calon spesialis, saya juga selalu menegaskan agar tidak ada bully membully dalam proses pendidikan.
(2) "Tapi katanya ... ?"
Ini mirip kita dengar di beberapa lembaga pendidikan, terutama yang mendidik tenaga siap pakai dgn durasi pendidikan terbatas. Karena waktu terbaas, target kualifikasi tinggi dan siap pakai, maka proses pendidikan terdorong berjalan ketat dan berat.
(3) Bukan bully membully, tapi menyiapkan segera yang siap pakai tersebut. Akibatnya suasana yang terbentuk berisiko terasa sebagai bully membully.
Saya masih yakin, yang tetap berniat baik, tetap berusaha dengan baik agar tidak terjadi bully membully, itu jauh lebih banyak.
(1) Setelah terjadi infeksi, biasanya PCR mulai dapat mendeteksi pada hari ke 3. Antigen pada hari ke 4. Jumlah virus memuncak biasanya pada hari ke 5. Setelah dua kemungkinan: diikuti penurunan atau meninggi. Efeknya bisa tanpa atau timbul gejala.
(2) Bila tubuh merespon dengan adekuat, maka jumlah virus segera menurun, tanpa timbul gejala. Pada sekitar hari ke 15 setelah infeksi atau hari ke 10 setelah puncak jumlah virus, sudah sangat minimal jumlahnya. Maka isolasi dihitung 10 hari bagi yang tanpa gejala.
(3) Pada kelompok tanpa gejala ini, 56% diantaranya tidak terdeteksi antibodinya sekitar 1 bulan setelah sembuh.
Kemungkinan lain, tubuh merespon kurang adekuat, timbul gejala, dimulai dari gejala ringan.
(1) Metode PCR sudah lama dikenal, bukan baru ada setelah adanya covid. Digunakan di banyak tujuan pemeriksaan: genetik, diagnostik, pengembangan obat, sampai survei epidemiologi.
Basisnya sama "PCR", penggunaannya sesuai target yang hendak diperiksa.
(2) Waktu flu burung pun kita gunakan PCR. Basis metodenya sama. Bedanya di targetnya: waktu itu virus avian influensa, sekarang SARS CoV2. Waktu SARS CoV 1 dan MERS pun sama: pakai PCR juga.
Di luar itu, untuk penanganan kasus infeksi lain seperti monitoring hepatitis...
(3) .. monitoring hepatitis B dan C, dilakukan juga metode PCR.
Kan hanya mendeteksi bagian virus? Tidak bisa membedakan virus hidup atau mati?
Benar, begitu juga waktu flu burung, SARS CoV 1. MERS dan Hepatitis. Hasilnya kita terima, tidak kita permasalahkan.
(1) Pernah dengar pengambilan sampel yang disebut Pap's Smear? Tentu ini khusus bagi Istri, anak, Ibu atau saudara perempuan kita.
Bersediakah bila misalnya dalam sehari atau dalam waktu dekat, dilakukan Pap's Smear sampai 5 kali?
Bagi pasien tentu sangat tidak nyaman.....
(2) Bagi pasien tidak nyaman, bagi kualitas sampel pun tidak optimal, karena setelah pengambilan sampel pertama, perlu waktu untuk memulihkan kondisi mukosa tempat pengambilan sampe.
Begitu juga sebenarnya pada Swab untuk Tes Covid. Maka tidak tepat bila melakukannya....
(3) Maka tidak tepat bila melakukannya sampai sekian kali secara berturut-turut bahkan pada 1 hari. Anjuran jarak waktu yang optimal adalah minimal 24 jam dari swab sebelumnya.
Kalau tidak optimal, maka risikonya pemeriksaan mudah terjadi negatif palsu. Maka diberi jarak ....
(1) Awalnya SARS CoV 2, dianggap low pathogenic karena sel-sel tempatnya berikatan ada di saluran nafas bagian atas. Beda dengan SARS CoV 1 dan MERS yang di paru-paru, sehingga begitu terinfeksi, langsung bergejala dan cendreung berat kondisinya.
(2) Karena perbedaan tersebut, pada Covid-19 dapat terjadi tanpa gejala, atau ringan saja. Tapi ternyata, SARS CoV juga bisa menyebar sampai ke paru-paru dan bagian tubuh lain. Maka gejalanya juga bisa menjadi berat bahkan kritis dan fatal.
(3) Maka kemudian kita peroleh data, CFR Covid di bawah SARS CoV 1 dan MERS. Tapi daya tularnya jauh berlipat ganda. Akibatnya jumlah kasusnya sangat tinggi, jumlah kematian juga tinggi. Dampaknya besar bagi kesehatan, juga sosial ekonomi.