Diosetta Profile picture
Oct 22, 2021 536 tweets >60 min read Read on X
DALANG DEMIT KAMPUNG WAYANG
Kisah tentang sekelompok wayang yg melakukan pementasan d kampung demit, namun rupanya hal itu memancing kemunculan demit berwujud Dalang yg membawa petaka
@bacahorror
@bagihorror
@qwertyping
@ceritaht
@Wakhidnurrokhim
@IDN_Horor
@chillbanana313 Image
Sebenernya mau ngasi judul cerita ini

"Teror Penggemar Danan dan Cahyo"

karena kalian ga sabar, malam ini saya up cerita ini langsung 2 part biar bisa dibaca sampe malem minggu juga.

Tanggung jawab! Harus Retweet!
Part 1 - Pentas Wayang Kampung Demit

“Ki.. piye Ki? Durung ono sing nanggep awake dewe meneh yo?” (Ki.. bagaimana ki? Belum ada yang mengundang kita lagi ya?)

ucap salah seorang pemain gamelan yang benar-benar berharap ada pekerjaan untuk kelompok wayang mereka.
“Ngapunten yo le.. aku yo ngerti kahanan njenengan lan liyane, nanging tenanan mboten enten sing takok-takok blas”
(maaf ya le.. saya juga mengerti kebutuhanmu dan yang lainya , tapi benar tidak ada yang tanya-tanya sama sekali)
Ucap Ki Daru Baya sang dalang sekaligus pemilik sanggar kelompok gamelan ini.

Memang sudah cukup lama kelompok wayang Ki Daru Baya tidak melakukan pementasan , padahal sebelumnya kelompok mereka rajin di “Tanggep” oleh warga baik dalam kota maupun luar kota.
Hal ini membuat khawatir para pemain gamelan, sinden, dan anggota yang menggantungkan hidupnya pada kesenian ini.

“Yo wis.. coba tak cari petunjuk dulu, semoga ada jawaban dari Gusti Yang Maha Kuasa atas kesulitan kita ini.
Kalian juga rajin-rajin ibadah ya… saya yakin kesulitan yang kita hadapi tidak akan melebihi kemampuan kita” Wejang Ki Daru Baya kepada anggota-anggotanya yang gelisah dengan keadaan ekonomi mereka.
Sesuai perkataanya, Ki Daru Baya yang sudah cukup sepuh memaksakan dirinya untuk pergi ke sebuah gunung tempatnya dulu mencari wangsit dan mendalami ilmu pewayanganya.

Ia berpuasa dan melakukan semedi seperti saat dulu ia diturunkan ilmu untuk menjadi dalang oleh leluhurnya.
Menjadi dalang memang bukan perkara mudah, beberapa dalang biasa cukup mempelajari ilmu pewayangan dari sanggar ataupun anggota keluarganya.

Namun bagi beberapa dalang yang memegang teguh tradisi keluarga, mereka masih melakukan puasa mutih, semedi,
dan ritual tertentu sebelum memulai pementasan maupun mengambil keputusan.

Selama semedi di gunung tersebut, Ki Daru Baya mendapatkan penglihatan mengenai sebuah desa di tengah hutan yang ternyata cukup dipadati penduduk.
“Le… nek kowe ditanggep ning kene opo kowe gelem?”
(Nak.. kalau kamu pentas di tempat ini apa kamu mau?)
Ucap suara yang muncul di kepala Ki Daru Baya yang memang ia kenal sebagai suara leluhurnya.
Ki Daru Baya sebenarnya cukup tau dengan keanehan desa yang terletak di tengah hutan itu. Namun karena itu adalah petunjuk dari sesepuhnya ia menyanggupi untuk mengisi acara di desa itu.
Setelah menyanggupinya, Ki Daru Baya diberi petunjuk bahwa akan ada seseorang yang meminta kelompok wayangnya bermain di desa itu, dan Leluhurnya juga memberi tahu, berapapun bayaran yang mereka berikan harus mereka terima tanpa ngebatin (ngedumel).
Benar.. sesuai petunjuk yang di dapat saat semedi, tiba-tiba di tengah perjalanan pulang dengan berjalan kaki Ki Daru Baya dihadang oleh seseorang yang menaiki motor tua yang menyerahkan secarik kertas.

“Ngapunten ki… niki kulo diamanahi menehi iki kanggo panjenengan”
(maaf ki… ini saya diberi amanah untuk memberikan benda ini untuk anda) Ucap pria itu sambil menjelaskan mengenai kampungnya yang berencana membuat acara hajatan.
Ki Daru Baya mengerti. Ia tidak banyak bertanya, ia hanya bertanya mengenai jenis lakon, pantangan, atau segala sesuatu tentang pementasan namun semua diserahkan kepada Ki Daru Baya.

Mengenai tempatpun sudah tertera di kertas yang telah diberikan.
Saat tau Ki Daru Baya menyanggupi tawaran warga desanya, Pria misterius itu merasa senang dan meninggalkan Ki Daru Baya yang tetap ingin melanjutkan ritualnya untuk pulang dengan berjalan kaki.
….
Mendengar adanya tawaran pentas, Seluruh anggota Sanggar Ki Daru Baya merasa senang. Tidak ada satupun anggota yang menolak tawaran aneh itu.

“Jaga tata krama saat ada di desa itu , Jangan mengeluh atas jumlah bayaran maupun saweran yang mereka berikan, apa kalian sanggup?”
Ucap Ki Daru Baya memastikan kesiapan anggota kelompoknya.

Dengan segera semua anggota menyetujuinya, menurut mereka itu bukan hal yang berat.
Selama ini kelompok wayang mereka memang tidak pernah memusingkan berapapun bayaran yang diberikan dan bahkan mereka tidak meminta suguhan apapun karena sebelum dan selama pementasan mereka sudah dibiasakan untuk berpuasa.
Hari yang dinantikan telah tiba, seluruh pemain gamelan, sinden, dan anggota pementasanpun tiba di sebuah hutan yang ditunjukan oleh kertas yang dipegang Ki Daru Baya.
“Ki.. benar lewat sini jalanya?” Tanya serang anggota yang bertugas menyetir mobil pick up tua untuk membawa perlengkapan pementasan.

“Iyo… tunggu di sini saja” Jawab Ki Daru Baya.
Sesuai ucapan Ki Daru Baya, tak lama kemudian muncul seorang pria dengan motor tua seperti yang menghampiri Ki Daru Baya setelah semedi.
“Monggo Ki.. Nunuti kulo yo..” (Silahkan Ki… ikuti kami ya) Ucap pria itu yang memandu kami memasuki jalur hutan yang ternyata memiliki jalur yang bisa dilalui kendaraan walaupun masih dipenuhi batu-batuan.
Sebuah desa yang cukup besar terlihat di ujung hutan itu, Pria tadi menunjukan panggung pementasanya dan mengenalkan Ki Daru Baya dengan seseorang Bapak yang mempekerjakan mereka.
“Matur Suwun yo Ki sampun rawuh mriki.. nek njenengan butuh apa-apa monggo diomongke ke kulo”(terima kasih ya ki sudah mau datang ke sini, kalau anda butuh apa-apa silahkan bilang ke saya) Ucap Bapak itu dengan sangat sopan.
“Nggih Pak.. Kulo sing matur suwun, mugi-mugi warga desa seneng sami pementasan kulo” (iya Pak , saya yang berterima kasih.. semoga warga suka dengan pementasan kami)

Balas Ki Daru Baya yang masih terheran-heran dengan keberadaan desa di tengah hutan ini.
Tepat pukul sembilan malam pementasan di mulai.
Sebuah pementasan wayang dengan lakon Babat Alas Wanamarta diceritakan oleh Ki Daru Baya.
Sebuah kisah mengenai perjalanan kelima pandawa dalam menaklukan hutan wanamarta yang dijaga oleh lima jin yang memiliki rupa seperti kelima pandawa .
Yudistira yang mirip Puntadewa,
Dandungwacana yang sama persis dengan Bima,
Dananjaya yang berwajah Arjuna,
serta Nakula dan Sadewa yang sulit dibedakan dari kembar Pinten dan Tansen
Singkat cerita , kelima Pandawa berhasil mengalahkan kelima Jin penguasa Hutan Wanamarta itu yang akhirnya menitis ke tubuh mereka.
Hal inilah yang membuat kelima Pandawa memiliki nama yang sama dengan para penguasa hutan Wanamarta.
Suara riuh tepuk tangan dari warga memecahkan keheningan desa setiap Ki Daru Baya menampilkan adegan-adegan yang membuat warga terkesima.
Hingga sampai pada akhir acara, warga yang terkesima dengan suara merdu sinden dan permainan gamelan kelompok Ki Daru Baya segera menghampiri mereka.
“Matur suwun yo mbakyu.. sworone panjenengan merdu tenan, niki kanggo panjenengan” (Terima kasih ya mbak.. suaramu benar-benar merdu, ini untuk mbaknya) Ucap seorang pria yang memberikan sesuatu kepada sinden Ki Daru Baya.
“Nggih.. sami-sami yo pak, Matur suwun”(Iya sama-sama ya pak, terima kasih) Jawab Sinden itu yang sebenarnya bingung dengan sesuatu yang diberian bapak itu.
Buka uang yang diberikan seperti pementasan biasanya, melainkan Kunir dan kerikil…
Pemain lain juga menerima hal yang sama, awalnya mereka ingin membicarakan itu namun mereka ingat pesan dari Ki Daru Baya untuk tidak mengeluh dengan apa yang mereka terima.
Walaupun sebenarnya cukup kecewa dengan bayaranya, namun reaksi penonton yang sangat terasa terhibur cukup membuat mereka puas dan tidak menghiraukan dengan bayaran yang mereka terima.
Selesai acara Ki Daru Baya berpamitan dan menerima sebuah kotak kayu dari pemilik hajatan. Sama saja dengan anggota lainya, isi kotak itu hanyalah kerikil dan tiga buah kunir.
Kelompok gamelan Ki Daru Baya keluar dari hutan saat matahari mulai terbit.
Ki Daru Baya mengajak seluruh anggotanya untuk makan di sebuah kedai soto dengan semua uangnya yang tersisa dengan maksud menghibur seluruh anggotanya.

“Ki.. kita benar-benar tidak dapat bayaran ya ki?” Tanya salah seorang anggota yang terlihat mengeluh.
Ki Daru Baya hampir tidak dapat menjawab pertanyaan anggotanya itu. Namun ia mengingat kotak kayu antik pemberian pemilik acara itu.
“Isi kotak ini sama seperti yang kalian terima, tapi sepertinya kotak ini cukup antik.. semoga saja bisa dijual dan kita bagi rata untuk semuanya” Ucap Ki Daru Baya.
“Saya bisa bantu jual ki, ada kenalan kolektor barang antik yang pasti mau bantu kita” Ucap salah seorang pemain gamelan yang menawarkan bantuan.

Ki Daru Baya menyetujuinya dan menyerahkan kotak itu ke pemuda itu.
Perlahan pemuda itu memperhatikan kotak kayu jati yang dihiasi ukiran-ukiran antik. Ia terkesima dengan motif ukiranya dan membukanya.
“k…Ki…. “
Tiba-tiba suara pemuda itu terdengar bergetar.
“Kenopo Le?” Tanya Ki Daru Baya.
“I.. ini bukan kerikil… Kotak ini isinya emas..” Ucapnya sambil menunjukan isi kotak itu.

Dengan segera Ki Daru Baya dan pemain lainya mendekatinya dan memastikan isi kotak itu.
Tidak hanya emas, tiga buah batu merah delima juga terlihat di kotak itu persis dengan jumlah kunir yang ada di kotak itu sebelumnya.
Merasa penasaran, semua pemain mengecek saweran dalam bentuk kerikil dan kunir yang mereka terima dari warga setempat dan ternyata semua kerikil telah berubah menjadi emas, dan kunir berubah menjadi batu merah delima.
Dengan segera semua pemain berinisiatif mengumpulkan semua benda itu di tengah tanpa menyimpan sedikitpun.
“Kami serahkan kepada Ki Daru Baya akan diapakan semua emas dan batu ini” Ucap mereka kepada seorang dalang yang sangat mereka hormati itu.
Ki Daru Baya berfikir sejenak sebelum akhirnya mengambil keputusan.

“Seluruh emas akan kita jual dan kita bagi rata… seharusnya ini cukup untuk mengatasi permasalahan keuangan kalian bahkan sampai beberapa tahun kedepan ,
Untuk batu merah delima ini sepertinya terlalu sakral.. sebaiknya kita simpan sebagai pusaka sanggar kita, dan seandainya kita bertemu dengan warga desa itu lagi, kita masih memiliki kenang-kenangn atas pemberian mereka.
Apa Kalian setuju?” Ucap Ki Daru Baya.
“Terima kasih banyak Ki… ini semua sangat berarti bagi kami” Jawab sang pesinden yang tak henti menitikan air mata melihat jawaban atas permasalahan hidupnya sudah ditemukan.
Tak sedikit anggota yang sujud syukur berterima kasih atas rejeki yang berlimpah ini.
Ki Daru Baya merasa lega, ia berpesan untuk merahasiakan soal emas ini dan hanya mengatakan harta yang mereka terima diterima dari Pemilik acara yang murah hati.
Ia Juga berharap, dengan harta sebanyak ini setiap anggota masih mau mengisi pementasan dengan ikhlas dengan bayaran berapapun seperti sebelum-sebelumnya.
Setelahnya seluruh anggota sanggar Ki Daru Baya hidup bercukupan dan sanggarpun semakin berkembang dengan pesat.
Nama kelompok wayang Ki Daru Bayapun semakin dikenal, bukan hanya karena penampilanya yang mampu menghibur, melainkan juga dengan kerendahan hati mereka.
Sayangnya rahasia tidak dapat disimpan terlalu lama.
Desas desus mengenai kekayaan sanggar tersebut mulai terdengar diantara kelompok wayang lainya. Mereka mulai mengetahui bahwa kekayaan mereka didapat dari desa ghaib yang ada di tengah hutan.
Beberapa kali anggota pemain mendapat pertanyaan mengenai desa itu. namun mereka sepakat untuk tutup mulut dan tidak membeberkan sedikitpun mengenai kejadian itu.
Tak lama muncul kabar sekelompok pemain wayang menemukan jalan menuju kampung di tengah hutan itu dan berhasil mendapat kekayaan serupa..

namun mereka tidak tahu, perbuatan mereka memulai sebuah petaka yang besar...

(Bersambung part 2- Dalang Demit Kampung Wayang)
PART 2 - DALANG DEMIT KAMPUNG WAYANG

Desa Kandimaya,sebuah desa yang teletak di kaki bukit di Jawa Tengah. Desa ini terkenal dengan pelestarian wayangnya mulai dari kerajinan , sanggar , hinga pementasanya.
Perkenalkan namaku Bisma. Hanya seorang petani yang hidup bersyukur dengan istri dan seorang anak di desa sebelah.

Di desa ini aku tinggal di rumah seorang dalang sesepuh yang masih merupakan saudara jauh dari istiriku.. Ki Daru Baya.
Beliau sengaja mengajaku ke desa ini untuk membantu mencari tahu mengenai permasalahan yang terjadi di desanya.

Yaitu mengenai hilangnya beberapa kelompok pementasan wayang yang sudah hampir lebih dari dua minggu tidak kembali ke desa.
“Mas Bisma.. wis ditunggu warga , ayo..” Ucap Bimo.
Bimo adalah adiku satu-satunya, kali ini aku memang mengajaknya untuk membantuku. Sebenarnya awalnya ia menolak karena harus meninggalkan istrinya yang baru ia nikahi sebulan yang lalu.
Namun saat sampai tempat ini, justru dia yang paling semangat.
“Monggo mas Bisma… mohon maaf sampe ngerepotin manggil mas Bisma ke sini” Ucap pak kepala desa yang memang berinisiatf meminta bantuanku atas saran Ki Daru Baya.
“Nggiih pak.. ga masalah, saya coba bantu sebisa saya” Jawabku.

Dua buah album foto besar ditunjukan kepadaku, Pak Kepala desa menunjukan satu persatu wajah anggota kelompok pementasan wayang yang sudah lama tidak kembali.
“Apa ada petunjuk yang bisa membantu kami pak?” Tanya Bimo pada kepala desa.

Namun bukanya menjawab, Pak kepala desa malah menoleh ke arah Ki Daru Baya berharap dia mau menjelaskan sesuatu.
“Mungkin hilangnya mereka juga merupakan tanggung jawabku…” Ucap Ki Daru Baya membuka pembicaraan.

Menurut cerita Ki Daru Baya, telah beredar cerita mengenai kampung ghaib yang sering mengadakan pementasan wayang.
Untuk mengisi acara tersebut mereka memanggil dalang , gamelan dan seluruh pengisi acaranya dari desa-desa sekitar sini.

Dan setelahnya kelompok wayang yang menyanggupi permintaan warga kampung ghaib itu akan mendapatkan bayaran yang melimpah.
“Kelompok wayang saya termasuk salah satu yang pernah mengisi acara di desa itu…” Lanjut Ki Daru Baya.

“Lantas bagaimana cara Ki Daru Baya bisa meninggalkan kampung itu?” Tanyaku yang merasa penasaran.
“Tidak ada yang aneh Bisma, kami hanya datang, pentas, dan pulang seperti pementasan pada umumnya, hanya saja bayaranya memang sesuai yang diceritakan” Cerita Ki Daru Baya.

Aku berfikir sejenak, berbagai kemungkinan muncul di fikiranku.
“Lantas dari mana cerita mengenai desa itu muncul ki?” Tanyaku.

Ki Daru Baya menggeleng.

“Saya tidak tahu, seluruh anggota saya sudah berjanji tidak menceritakan mengenai kejadian atau keberadaan desa itu.. namun entah bagaimana kabar itu bisa menyebar” Ceritanya.
Bimo terlihat tidak sabar, ia merebut album foto yang ada digenggamanku dan memperhatikanya.

“Mas Bisma… tidak ada cara lain, kita harus menghampiri desa itu untuk mengetahui keberadaan mereka” Ucap Bimo.
Aku setuju , dengan segera aku meminta tolong Ki Daru Baya untuk mengantarkanku ke desa tempat ia dulu mendapatkan bayaran berlimpah.

“Saya bersedia memberi tahu kalian dengan satu syarat, kalian harus berpuasa sebelum dan selama berada di desa itu” Ucap Ki Daru Baya.
Kami setuju.. warga desa bermaksud untuk ikut, namun kami melarangnya karna memang yang akan kami lakukan ini cukup berbahaya.
Di depan warga, Ki Daru Baya menyerahkan sebuah lipatan kertas yang berisi peta sederhana menuju sisi pintu hutan dengan penjelasan yang bertuliskan aksara jawa.
“Ini… memang sudah lama sekali , dulu seorang pria yang Nanggep kelompok wayang saya menyerahkan kertas ini sebagai penunjuk arah ,dan sepertinya kalian juga harus membawa ini..”
Ki Daru Baya menjelaskan kepada kami sembari memberikan dua buat batu merah delima kepadaku dan Bimo.

“I… ini, batu merah delima? Ini benda yang berharga Ki..” Tanyaku padanya.
“Batu ini berasal dari desa itu.. kami sepakat tidak menjualnya sebagai kenang-kenangan akan bantuan mereka di masa sulit kami, mungkin saja benda itu bisa berguna saat kalian ke sana” Jelas Ki Daru Baya.
“Baik Ki.. saya mengerti, setelah selesai dengan masalah ini benda ini akan kami kembalikan” Balasku.
Sesudah pertemuan itu kami kembali ke rumah Ki Daru Baya dan mendengarkan ceritanya mengenai kejadianya saat pementasan di desa ghaib itu.
Ia berusaha menceritakan sedetail mungkin dengan harapan kami bisa kembali dengan selamat seperti mereka dulu.
..
Pagi mulai datang, aku bersiap berangkat menuju ke sisi hutan seperti yang ditunjukan di kertas pemberian Ki Daru Baya.
Kami sengaja memilih hari , jam , dan waktu yang sama seperti saat dulu Ki Daru Baya masuk ke hutan itu.
Suara motor terdengar mendekat ke tempat ini.
“Mas Bisma… kita numpak iki wae yo” (kita naik ini aja ya) Ucap Bimo yang memamerkan motor vespa yang ia naiki.
“Lah… apik men, montore sopo kuwi?” (lah… bagus sekali, motor siapa itu) Tanyaku pada Bimo.

“hehe.. Motor Pak Kades… kita dipinjemin” Ucapnya Bangga.

Dengan segera, aku membonceng vespa yang dibawa oleh Bimo dan segera berangkat.
Aku menikmati perjalananku dengan Bimo, jarang sekali kami menaiki sepeda motor vespa yang biasanya hanya dimiliki oleh orang-orang berpunya di desa.
“Bimo… kowe ngejak numpak vespa pasti wis nduwe SIM to?”
(Bimo.. kamu ngajak naik Vespa pasti sudah punya SIM kan?)
ucapku yang memastikan ke Bimo saat melihat beberapa polisi yang berada di lampu merah yang terlihat melakukan pengecekan surat-surat.
“Nanti buat masuk ke hutan kita lewat alun-alun ya mas… katanya alun-alun di sini bagus” Ucap Bimo seolah berusaha mengalihkan perhatian.

“Dudu kuwi sing tak takoke… kowe wis nduwe SIM durung?” (bukan itu yang aku tanyain, kamu sudah punya SIM belum?) Tanyaku kembali.
Ia tidak menjawab, Namun tawa nakalnya seperti sudah memberi penjelasan atas pertanyaanku.

Aku hanya menggeleng sambil mempersiapkan mental menghadapi beberapa polisi yang akan kami lewati di depan.
Rupanya , perasaan saat menghadapi polisi tanpa membawa surat-surat tidak kalah menyeramkan dengan saat menghadapi makhluk halus.

Sebuah hutan di kaki gunung terlihat di hadapan kami , sekilas tidak terlihat ada jalan masuk menuju ke dalam hutan itu.

Namun setelah memutar mengikuti petunjuk yang diarahkan kertas pemberian Ki Daru Baya, Kami menemukan sebuah jalan masuk yang tertutup dedaunan.
Setelah memarkirkan motor kami dengan aman, segera kami memasuki hutan dan mengikuti jalan itu.

“Untung aja tadi polisinya ga liat… bisa ga enak sama pak kades kalo sampe ditilang” Ucapku
“Iya , untung saja polisinya ga liat” Ucap Bimo sambil tertawa, namun aku sedikit curiga.

“Kamu ga pake ilmu apa-apa ke polisi itu kan?” Ucapku memastikan namun Bimo malah sedikit berlari ke depan.

“Mas Bisma, di depan tambah gelap lho… siapin senternya…”
Sekali lagi aku menggelengkan kepala melihat tingkah Bimo yang masih seenaknya.

Aku mengambil senterku dan segera menghampirinya sambil sedikit menjewernya, namun ia hanya tertawa sambil menggaruk-garuk kepalanya.
Tapi benar kata Bimo, hutan ini terlihat semakin gelap.. padahal hari masih siang. Kami berjalan semakin dalam dan mulai merasakan hawa di tempat ini mulai tidak wajar.

“Mas Bisma… hati-hati ada yang memperhatikan kita” Ucap Bimo.
Aku mengerti dengan apa yang dimaksud oleh Bimo dan meningkatkan kewaspadaanku. Rupanya tidak Cuma itu… indraku terganggu dengan bau anyir yang sangat menyengat , seperti bau mayat yang sudah membusuk.
Di tengah kegelapan hutan itu mendadak aku mendengar suara nafas seseorang yang terengah-engah. Tanpa membutuhkan waktu lama Bimo berhasil menemukan asal suara itu dan segera menghamipirinya.
Terlihat sesosok makhluk dengan bentuk badan yang kurus hingga lekukan tulang pipinya terlihat sangat jelas, tak cukup sampai di situ… terlihat darah segar menetes dari beberapa sela tanganya.
Sebelum sempat mendekat, makhluk itu berlari menjauh ketika mengetahui keberadaan kami. Namun tubuhnya yang lemah membuatnya terjatuh hingga kami segera menyusulnya.

“Bimo… dia manusia” Ucapku pada Bimo yang sama bingungnya.
Dengan segera Bimo membacakan beberapa ajian penyembuh yang merupakan keahlianya. Perlahan luka orang itu mulai menutup dan mulai bernafas dengan tenang.

“To…tolong…” Ucap orang itu.
“Sudah mas.. tenang dulu , ini diminum dulu..” Ucap Bimo sambil menuangkan air putih yang ia bawa ke mulut orang itu.

Kami menunggu hingga orang itu tenang sebelum bertanya lebih lanjut. Namun masih terlihat raut muka yang ketakutan di wajah orang itu.
“Ki… kita harus pergi dari sini” Ucapnya tiba-tiba.

“Ada makhluk yang mengejar saya..”

Aku dan Bimo saling menatap, satu pertanyaan terjawab. Mungkin saja bekas luka orang itu berasal dari makhluk yang mengejarnya hingga merasa ketakutan.
Belum sempat menanyakan makhluk apa yang mengejarnya , tiba-tiba suara dedaunan terdengar saling bergesekan seolah dilewati sesuatu disusul dengan kemunculan makhluk menyerupai burung hitam besar yang memiliki tangan dan kaki seperti manusia
namun dengan cakar yang sangat tajam hampir mirip seperti wujud yang digambarkan oleh tokoh pewayangan.

Namun yang membuatku geram bukan wujudnya… melainkan potongan tubuh manusia yang masih menggantung di paruhnya dengan darah segar yang masih menetes.
“I.. itu… mas, dia mau ngebunuh saya” Ucapnya yang terlihat sangat ketakutan.
Aku menatap mata merah dari makhluk itu niat membunuh sudah terlihat jelas dari matanya,
seumur hidup aku menangani permasalahan dedemit mulai dari pocong, kuntilanak, roh penasaran, belum pernah aku menemui makhluk seperti ini.
Sebuah mantra kubacakan tepat ketika makhluk itu menerjang kearah kami.
Layaknya puisi yang tak berhenti mengalun aku membacakan mantra gambuh rumekso yang menimbulkan angin besar mengelilingi kami.
Seketika makhluk berwujud burung hitam itu terpental hingga terjatuh ke tanah.
Sementara pusaran angin itu melindungi Bimo dan orang yang terluka itu , aku menmbacakan sekali lagi sebuah mantra untuk memperkuat pukulanku dan mulai mencoba menghantamkan pukulanku ke makhluk berwujud burung itu.
Aku cukup tenang ketika pukulanku bekerja dan makhluk itu merasa kesakitan. namun hal yang menggangguku adalah ketika aku memusatkan pukulanku ke tubuh makhluk itu , semakin banyak potongan tubuh manusia yang dimuntahkan dari paruhnya.
Merasa terdesak dengan seranganku burung hitam itu mencengram lenganku dan mencoba mengangkat tubuhku dari atas tanah.

Beruntung Bimo membacakan mantra yang memunculkan api untuk membakar mata makhluk itu.
Melihat kesempatan itu sekali lagi aku mencengkram leher makhluk itu dan bersiap menyerangnya kembali. Namun sayangnya sebuah kejadian aneh terjadi, makhluk itu perlahan kehilangan kekuatan .. jatuh dan menghilang.
Tidak.. tidak menghilang, makhluk itu berubah menjadi sebuah boneka wayang kulit berbentu burung hitam besar dengan ornamen kerajaan.

“A.. apa ini Bimo?” Ucapku yang kebingungan dengan semua ini.
Aku mencoba mengambil benda itu , namun kekuatan hitam yang berada di benda itu berusaha merasukiku hingga sangat sulit untuk melepaskan tangkanku.

Dengan cepat Bimo menghampiriku dan membantu melepaskan tanganku dengan membacakan doa-doa yang ia mengerti.
“Benda itu milik mahkhluk yang sangat jahat” Ucap orang yang kami tolong tadi.

Setelah memulihkan tanganku aku segera menghampiri orang itu dan menunggu cerita darinya.

“Di balik kabut itu hanya ada malapetaka… semua terjebak di tempat itu.
Ada Makhluk yang menahan kami untuk keluar” Jelasnya.

“jadi maksudmu makhluk tadi bukan masalah utamanya? “ Tanya Bimo yang mulai khawatir.

Orang itu mengangguk.
“Lebih baik kita pergi dulu dari sini dan mencari bantuan… Orang-orang desaku sepertinya mengenal pendekar yang bisa menangani masalah ini..” Ucapnya.

Sebenarnya kami setuju, seandainya kami tahu masalahnya sebesar ini , mungkin kami akan mencari bantuan yang lebih banyak.
Tapi aku khawatir dengan teman-temanya yang terperangkap di balik kabut itu. seandainya mereka lebih lama disana bisa jadi mereka tidak bisa diselamatkan.

Nampaknya kebingunganku tak perlu di jawab.
Sebuah aliran tenaga yang sangat hitam terasa muncul dari sela sela kabut.
Sesosok manusia dengan blangkon hitam dan janggut putih yang panjang menghampiri boneka wayang kulit yang sebelumnya berwujud burung hitam itu dan membawanya.

Kulit wajahnya terlihat sangat gelap seolah terbakar sesuatu, namun wibawa yang mengerikan tetap terasa dari tubuhnya.
“Khekhekhekhe…..” Makhluk itu tertawa dengan memamerkan gigi-giginya yang hitam.

Aku dan Bimo merasakan bahaya yang tidak biasa.

“I.. itu… dia Dalang Demit yang menahan semua manusia yang memasuki kampung di balik kabut itu” Cerita orang itu.
Makhluk itu tertawa keras dengan mengibas-ngibaskan boneka wayang berwujud burung itu seolah sedang memainkanya.

“khekhekhe… Dadi demit kok goblok… lawane mung menungso kok semaput”
(Jadi demit kok goblok.. lawanya Cuma manusia kok semaput)
ucapnya pada boneka wayang itu yang mulai memunculkan bayangan burung raksasa hitam itu lagi.

Bimo segera maju mencoba menghampiriku namun tangan orang yang sekarat itu mencoba menahanya.

“Jangan melawanya… dia bukan manusia, kita harus meminta bantuan “
Aku dan Bimo tetap maju mencoba melindungi orang itu dari apapun yang terjadi.

“Seandainya meminta bantuan, siapa yang seharusnya bisa melawan makhluk ini?” Tanya Bimo.
Aku tak melepaskan sedikitpun pandangan dari makhluk berpenampilan seperti dalang yang tak berhenti tertawa itu.

“Seharusnya warga desa saya, Desa Kandimaya mengenal pendekar yang memiliki kekuatan yang bisa mengimbanginya…
Mereka adalah Pendekar Sambara bersaudara pemilik dua keris pusaka.. dulu mereka yang menolong desaku dari serbuan Wabah Demit” Ucap orang itu.

Aku dan Bimo saling menoleh, ucapan orang itu memantapkan kami untuk maju.
Sebuah benda yang dibungkus sarung dikeluarkan oleh Bimo dari tas kainnya.

Dan aku meletakan tanganku tepat di dada dan memanggil sebuah benda yang kusimpan di sukmaku.
Sebuah keris dengan bilah berwarna perak terang yang disebut dengan keris Sukmageni kini tergenggam di tangan Bimo.
Begitu juga sebilah keris dengan ukiran jawa kuno muncul dari sukmaku dan tergenggam ditanganku. Sebuah keris yang mampu mengikuti wujud raga dan sukma pemiliknya.. Keris Rogosukmo.
“Mas… Kalau memang hanya pendekar itu yang bisa mengalahkan makhluk ini, berarti kita tidak perlu lari..”

Ucap Bimo yang segera berdiri berdampingan dengaku bersiap menghadapi dalang demit itu.

(Bersambung Part 3 - Pendekar Sambara)
Terima kasih sudah meramaikan thread ini.

Seperti biasa, pabila mau membaca atau sekedar mendukung , bisa mampir ke @karyakarsa_id

dan terima kasih banyak buat yang sudah mensupport selama ini, mohon maaf belum sempet saya rekap satu per satu

karyakarsa.com/diosetta69/dal…
Part 3 - Pendekar Sambara

mohon maaf part 3 ga panjang , tapi sabtu ini langsung update part 4.. sama kalau sempet nanti malam saya upload cerita dari salah satu penghuni twitter Image
Desa Kandimaya , sebuah desa yang dikenal sebagai penghasil Dalang maupun pemain-pemain kesenian lainya.

Berbagai sanggar mulai dari yang sederhana hingga yang cukup mewah tersebar di desa ini walaupun jaraknya cukup berjauhan.
Suatu ketika terjadi trend di kalangan para penikmat pementasan wayang dimana mereka menilai dalang dan kelompok pementasan yang mampu membuat penontonya merasa merinding dan merasakan suasana mistis menjadi semakin digemari.
Pasalnya dalang yang mampu memunculkan suasana mistis dan membuat penontonya merinding seharusnya memang dalang yang memiliki pendalaman cerita yang mumpuni.
Sayangnya hal ini tidak disingkapi dengan bijak oleh beberapa seniman yang gagal mengambil nilai-nilai dari kesenian ini dan hanya mementingkan pendapatan semata
Beberapa dari mereka menciptakan suasana mistis dengan memanggil “Mereka” yang seharusnya tidak turut campur dengan cara yang tidak wajar.
Ritual pemanggilan dilakukan sebelum pementasan. mulai dengan memersiapkan kemenyan dan sesajen serta menggunakan mantra pemanggil.

Akhirnya kehadiran mahluk-makhluk yang tak kasat mata turut menemani warga yang menonton pementasan Wayang itu.
Hal ini berhasi meningkatkan pamor para kelompok wayang tersebut.

Sayangnya bagi mereka yang mampu melihat keadaan sebenarnya, semua terlihat begitu mengerikan..
Tak sedikit pocong yang berdiri diantara penonton turut menikmati pagelaran wayang itu, sudah dipastikan di pohon sekitar pagelaran itu dipenuhi kuntilanak hingga makhluk yang tidak jelas wujudnya.
Dan parahnya lagi… saat pementasan wayang selesai, makhluk-makhluk itu tidak pergi dan mendiami desa tempat para kelompok yang memanggil mereka.

Suatu ketika salah seorang warga berdiri di tengah desa tanpa bergerak sedikitpun.
Ia menatap ke panggung desa dengan tatapan yang mengerikan tanpa menoleh sedikitpun. Setiap warga yang menyapanya dihiraukan begitu saja tanpa ada respon sedikitpun.

Hingga saat matahari terbenam tingkah laku warga itu semakin aneh.
Ia marah sejadi-jadinya, menyerang semua warga yang mendekat dan tak lama setelahnya ia menaiki Balai desa, bangunan tertinggi di desa itu dan menjatuhkan dirinya ke tanah.

Ya… Warga itu kesurupan…
Beruntung warga itu masih hidup , namun dengan kondisinya yang masih dikuasai makhluk ghaib , ia mengancam dengan suara yang mengerikan.
“Ngendi pementasan sing mbok janjeke…” (Mana pementasan wayang yang kalian janjikan?)
Ucap makhluk yang masih menguasai tubuh warga yang hampir sekarat itu.

“Nek ora ono… aku bakal mateni siji siji warga deso iki”
(Kalau tidak ada, aku akan membunuh satu persatu warga desa ini)
Semenjak saat itu semakin banyak warga yang kesurupan, namun semua itu berhenti ketika Semua kelompok Wayang di desa Kandimaya melakukan pementasan setiap malam tanpa terputus.
Awalnya mereka cukup lega.. namun lambat laun seluruh warga mulai kelelahan dan tidak mampu bekerja di siang harinya.

Akhirnya banyak yang jatuh sakit entah karena kelelahan atau pengaruh kutukan dari makhluk-makhluk itu.
Para dalang sesepuh banyak yang meminta petunjuk untuk mengakhiri hal ini, namun semua itu tidak ada berguna, karena makhluk halus itu adalah makhluk yang mereka panggil sendiri.
Suatu ketika dua orang pemuda bersaudara mampir ke Desa Kandimaya dengan sepeda ontel milik mereka.

Awalnya mereka bertujuan menonton pagelaran wayang yang selalu ada setiap malam seperti yang mereka dengar dari warga desa lain.
Namun saat sampai di sanamereka merasakan keanehan yang terjadi..
Mereka merasakan Desa ini di huni lebih banyak makhluk halus dibanding penduduk manusianya sendiri.

Mereka merasa khawatir ddengan warga desa dan memutuskan menemui kepala desa meminta ijin untuk mencoba menolong permasalahan di desa ini.
Sang adik memiliki kemampuan menenangkan roh-roh penasaran yang mampu mengurangi makhluk-makhluk ghaib yang meneror desa ini.
Sang Kakak menguasai mantra dan mampu menghilangkan kutukan hingga mampu memulihkan warga desa yang sakit karena pengaruh makhluk yang mendiami desa ini.
Sayangnya sesosok makhluk yang mengakui desa ini sebagai wilayah kekuasaanya tidak tinggal diam. Makhluk itu adalah sesosok raksasa berwarnah hitam yang mendiami bukit batu.

Warga memang sering mendengar tentang makhluk ini .. mereka menyebutnya dengan nama Buto lireng.
Wujud rohnya memang tidak memporak-porandakan desa seperti yang diceritakan di legenda. Namun kemunculanya dan anak buanya membuat hampir separuh warga desa kesurupan dan mulai menyakiti dirinya sendiri.

Kedua pemuda itu tidak tinggal diam..
Sang adik mengeluarkan sebuah keris, menorehkan jarinya pada keris itu hingga mengeluarkan api yang mampu memulihkan warga yang kesurupan.

Sang kakak hanya duduk bermeditasi dengan keris yang muncul di genggamanya.
Entah darimana asalnya, Namun suara pertempuran yang amat sengit terdengar oleh suara warga desa tanpa melihat wujudnya.

Suara itu terus terdengar hingga suara Erangan kesakitan sang buto Lireng menggema ke seluruh desa.
Tak berapa lama sang kakak kembali tersadar dan seluruh warga desa kembali normal.
Semenjak itu desa Kandimaya kembali hidup tenang, dan membuat peraturan yang keras dimana kelompok wayang desa itu tidak lagi diperkenankan melakukan pemanggilan untuk pementasan wayangnya.
Seluruh warga sepakat memberikan hukuman berat dengan mengusir dari desa siapapunyang melanggar aturan ini.

Warga sangat berterima kasih dengan kedua pemuda sederhana itu.

Mereka bahkan tidak mau menerima bayaran atau apapun yang ditawarkan oleh warga desa.
Warga desa Kandimaya menjuluki kedua pemuda ini dengan berbagai nama..
Pendekar Keris Sukmogeni,
Perdekar Keris Bersaudara,
atau yang paling sering disebutkan adalah nama keluarga mereka.

Pendekar Sambara …

(Bersambung part 4)
Catatan :

Tragedi kampung wayang ini terjadi di era 80an, mungkin samar-samar dari pembaca ada yang mengetahui tentang kisah ini.

bagi yang masih ingat lokasi dan tempat kejadian, mohon disimpan baik-baik & jadikan kisah ini sebagai hiburan saja

terima kasih.
Dalang Demit Kampung Wayang
Part 4 - Ki Jaruk

Bantu retweet dulu ya, sambil upload....

@bacahorror
@IDN_Horor
@ceritaht
@horrornesia
@bagihorror
@Penikmathorror
@qwertyping
@RamaAtmaja_HCR Image
Saat ini dihadapan kami telah berdiri sosok yang menjadi dalang atas hilangnya warga Desa Kandimaya yang tergabung dalam kelompok pementasan wayang.

Ya dalang…

Bukan hanya dalang dalam arti kiasan, tapi juga Dalang dalam arti sebenarnya.
Dia adalah Dalang demit yang mengendalikan makhluk-makhluk mengerikan dengan boneka wayang kulit yang ada di tanganya.

“Khekhekhe…. Menungso kuwi wis dadi wong kene, ora usah ikut campur”
(Manusia itu sdah jadi orang sini.. ga usah ikut campur) Ucap makhluk itu .
Aku bersiap menerjang dengan kerisku sementara Bimo menjagaku dari belakang, namun tepat sebelum mendekat Dalang itu mengeluarkan wayang kulit berbentuk Kurawa dan mengibaskanya.

Seketika tengan besar berwarna hitam muncul dari wayang itu dan menghempaskanku.
Dengan sigap Bimo menangkap tubuhku dan bersiap bergantian menyerang dalang itu dengan pukulan yang telah diselimuti api dari ilmunya.

Dalang itu tidak sempat menghindar, namun serangan Bimo sepertinya tidak membekas di tubuh dalang itu.
Tak lama setelahnya tangan dalang itu sudah menggengam berbagai wayang kulit dengan bentuk yang mengerikan.

Mantra berbahasa jawa kuno terdengar dari mulut dalang itu. Perlahan seluruh boneka wayang itu berubah menjadi asap yang mengambil posisi disekitar kami.
Satu persatu asap itu berubah menjadi berbagai wujud seperti demit-demit dengan wujud tokoh pewayangan.

Buto… raksasa besar dengan taring yang panjang dan matanya yang bermata merah…
Wanara.. Ras kera , namun yang muncul saat ini lebih menyerupai demit kera seukuran manusia dengan tangan yang melebihi panjang tubuhnya bergelantungan di atas pohon.

Kidangan… Makhuk berwujud burung besar bersayap hitam seperti yang tadi menyerang kami.
Hingga siluman-siluman yang sama sekali tidak kumengerti wujudnya.

Aku cukup gentar melihat semua ini.

“Demit… di cerita pewayangan yang kuketahui, dia lemah dengan panas api matahari..” Ucap salah satu anggota kelompok wayang yang berhasil kami selamatkan.
Kurasa aku mengerti maksudnya, aku memberi isyarat pada Bimo dan ia segera membacakan mantra yang menciptakan api yang sangat panas di sekitar kami.
Ras Buto tidak terpengaruh dengan api itu, namun Burung hitam itu segera berubah kembali menjadi boneka wayang kulit seperti semula.

Dalang Demit itu merasa kecewa, namun itu tidak lama..
Setelahnya ia segera tertawa dengan keras dan mengembalikan makhluk-makhluk itu ke wujud wayang.

“Khekhekhe…. Pertunjukan yang menarik! Sayang sekali kalau tidak ada yang menyaksikan” Ucapnya dengan tawa yang mengerikan.
“Tak enteni kowe ning alas iki… nek nganti satu suro kowe kabeh ra teko, tak balike konco-koncomu nanging mung jasate tok… khehekhe”

(Saya tunggu kalian di hutan ini… jika sampai satu suro kalian semua tidak datang, saya kembalikan teman-temanmu tapi hanya Jasadnya saja)
Ucap makhluk itu yang segera menghilang ke dalam kegelapan.

Kakiku lemas… begitu juga dengan Bimo. Seandainya harus melawan semua makhluk itu kemungkinan kami tidak akan sanggup, apalagi sepertinya Makhluk itu masih menyimpan ilmu yang lebih mengerikan.
“Piye mas… nek ngadepi demit kuwi, nyowo taruhane” (Gimana mas? Kalau menghadapi demit itu, nyawa taruhanya) Ucap Bimo yang juga merasa gentar.

Aku berusaha memutar otak berusaha mencari cara untuk menghentikan permasalahan ini.
“Mas… sepertinya mas tau kelemahan makhluk-makhluk tadi” Tanyaku pada anggota kelompok wayang itu.

“Hanya sedikit mas… tapi jika itu memang berguna, mungkin dalang lain tau” Ucapnya.
Aku menoleh kepada Bimo, sepertinya ia juga sepakat untuk kembali mempersiapkan diri sebelum menjawab tantangan makhluk itu.
….
Kedatangan kami disambut oleh warga desa, walaupun belum mampu membawa kembali warga yang lain setidaknya sudah ada bukti bahwa mereka masih hidup dari cerita seseorang yang kami tolong tadi.

Apalagi sekarang kami sudah mengetahui apa yang menjadi lawan kami.
Ki Daru Baya bukanlah dalang yang tersohor, tapi pengetahuanya mengenai cerita pewayangan menurutku masih diatas rata-rata dalang lainya.

“Ki Daru Baya ceritakan pada kami mengenai tokoh-tokoh jahat di pewayangan , dan bagaimana mereka bisa kalah” Tanyaku pada Ki Daru Baya.
Awalnya beliau bingung dengan permintaan kami, namun saat mendengar cerita saat kami di hutan tadi. Ia segera meminta kami beristirahat sebelum besok mendengarkan cerita darinya.
Esok malamnya tanpa kami sangka, seluruh anggota kelompok wayang Ki Daru Baya sudah bersiap dengan semua kelengkapan untuk pagelaran wayang.

“Ki .. mau ada pementasan?” Tanyaku.

Sambil mempersiapkan wayang dengan berbagai tokoh Ki Daru Baya mencoba menjelaskan kepadaku.
“Lakon cerita pewayangan itu sangat panjang… satu malam tidak akan cukup untuk meneritakanya…

setidaknya Kami berusaha menceritakan secara detail melalui ilmu pewayangan yang kami mengerti” Ucap Ki Daru Baya.
“Iya mas Bisma… Sejujurnya kami bingung, saat kami datang ke desa itu seluruh warga di desa tengah hiutan itu sangat baik kepada kami.

Semoga dengan ini kami bisa mengetahui kebenaranya” Ucap salah seorang pemain gamelan anggota Ki Daru Baya.
Aku dan Bimo segera mengerti dan mengambil posisi terbaik untuk menyaksikan pertunjukan mereka.

Sebuah pementasan wayang yang luar biasa disajikan di hadapan kami. Siluet wayang yang beradu dengan cahaya membuat adegan peperangan terlihat semakin menegangkan.
Aku dan Bimo terlihat seperti anak kecil yang beberapa kali terlihat Takjub dengan adegan Rama saat bertarung dengan Rahwana saat Ki Daru Baya memainkan cerita Ramayana.

Tak Cukup sampai di situ, Ki Daru Baya juga memainan adegan ketika lima pandawa bertarung melawan Kurawa.
“Mas Arjuna itu ternyata titisan Dananjaya ya? Jangan-jangan nama anakmu diambil dari cerita ini?” Tanya Bimo yang masih menikmati kisah mengenai pandawa lima.

“Haha.. iyo Bim, Aku memberikan nama itu berharap Danan bisa tumbuh sebagai sosok kesatria yang bijaksana” Jawabku.
Dari pementasan wayang Ki Daru Baya kami mengerti mengenai Wayang kidangan yang menceritakan ras Burung seperti Garuda dan Jatayu, Wayang Kurawa yang menceritakan sosok antagonis dari berbagai ras.

Hingga jin dan makhluk makhluk aneh dan bagaimana mereka bisa dikalahkan.
Selesai pementasan itu kami bertepuk tangan tak henti-hentinya.

Wajar saja walaupun namanya tidak besar, tapi permainan wayang Ki daru Baya mampu membuat semua penontonya semangat hingga lupa daratan.
“Ki… terima kasih banyak, Semoga setelah semua permasalahan ini selesai saya bisa nonton pementasan Wayang Ki Daru Baya lagi” Ucapku yang masih tersenyum dan senang atas pementasan tadi.
“Ya sudah…. Hanya itu yang dapat saya bantu, sisanya hanya usaha kalian dan Berkat dari Gusti Yang Maha Kuasa yang bisa membantu kalian”
Ucap Ki Daru Baya yang bersiap untuk beristirahat.
Esok harinya aku dan Bimo mulai mempersiapkan rencana. Bimo meminjam wayang wayang milik Ki Daru Baya dan memperagakan bersamaku mengenai cara-cara mengalahkan kekuatan Dalang Demit itu.
“Nek sing dilawan ketek wanara koyo ngene… piye mas?”
(Kalau yang dilawan kera wanara seperti ini bagaimana mas?)
Tanya Bimo sambil menunjukan wayang kulit berbentuk kera.
“Wanara kuwi selain lincah juga ahli kekuatan ghaib… aku sing ngelawan. Nah Nek wayang kidangan kuwi lawane nganggo api opo panah, kuwi jatahmu”
(Wanara itu selain lincah juga ahli kekuatan ghaib, aku yang emlawan… kalau wayang unggas itu lawanya dengan api atau panah.. itu jatahmu)
Jawabku sambil terus mensimulasikan pertarungan kami nanti.
Walaupun sebenarnya belum tentu yang akan kami hadapi akan sama seperti yang kami perkirakan.

Tepat saat hari menjelang malam, kami telah memasuki hutan tempat desa ghaib itu berada.
Kali ini tidak ada serangan apapun hingga kami bisa memasuki jalan yang tertutup kabut di tengah hutan itu.

Tak membutuhkan waktu lama untuk mencapai tempat yang konon sulit ditemukan itu karena sepertinya kedatangan kami sudah di sambut.
Sayangnya tempat ini jauh dengan seperti yang digambarkan ki Daru Baya. Bukan penduduk berwujud manusia yang berada di sini, melainkan sekumpulan Roh penasaran yang berwujud pocong, mayat hidup, hingga potongan tubuh yang merayap seolah bersiap menikmati pertunjukan.
Di ujung tempat itu berdiri sebuah panggung dengan cahaya yang menyinari sebuah latar putih. Sesosok makhluk yang kukenal wujudnya duduk membelakangi kami memainkan wayang-wayang kulitnya yang berwarna hitam.
“Kheeekhe…khe… Tokoh utamane wis teko” tawa dalang itu.
“Tidak usah banyak omong… di mana manusia-manusia yang kamu culik?” Tanya Bimo yang tidak sabar.

“Culik… enak saja, mereka sendiri yang datang kepadaku” Ucapnya sambil melemparkan sebuah wayang hitam ke arah bangunan seperti kandang yang terbuat dari kayu.
Sosok mahluk hitam besar dengan taring yang besar dan mata yang hampir keluar dari tempatnya menghampiri tempat itu.

Dengan tanganya yang besar ia merogoh ke dalam kandang kayu itu dan menemukan seorang manusia dengan tubuh yang sudah kurus kering.
“Bim.. Bimo…itu warga desa!” Ucapku yang mulai khawatir saat makhluk itu menggigit tubuh manusia itu hingga lenganya terlepas.

“Brengsek!!” Ucap bimo yang segera mengerjang makhluk itu, Ia melompat dan menendang tangan buto itu hingga menjatuhkan Manusia itu.
Dengan segera aku menyusul mengalihkan perhatianya sementara Bimo menyembuhkan tangan manusia itu. sayangnya Bimo hanya mampu menutup lukanya dan tidak bisa menyambung lenganya kembali.
“Bimo.. kita selesaikan ini” Ucapku yang semakin emosi melihat perbuatan makhluk hitam itu.
Aku dan Bimo menarik keris pusaka kami. Dengan segera aku menusukan keris ragasukma ke dahi makhluk hitam itu hingga darah hitamnya bermuncratan. Setelahnya kami segera menerjang Dalang demit itu.
Masih dengan duduk membelakangi kami , ia mengibaskan beberapa wayang kulitnya dan mengeluarkan makhluk makhluk mithologi yang ada di pewayangan.
“Garuda Hitam… di cerita Ki Daru Baya, ia menjadi hitam karena melindungi Jatayu dari panas matahari… dia biar urusanku” Ucap Bimo.

“Buto Alas.. kekuatan fisiknya besar, tapi tidak dengan sukmanya… biar keris ragasukmaku yang menangani.” Ucapku.
Dengan memisahkan sukmaku, aku menghabisi roh Buto itu dengan keris ragasukma hingga tubuh besarya hanya menjadi raga kosong.

Bimo tak mau kalah , ilmu apinya berhasil membangkitkan trauma garuda hitam hingga membuatnya tidak berdaya.
Pengetahuan yang kami dapat dari Ki Daru Baya sangat berguna hingga tidak satupun makhluk yang dikeluarkan oleh dalang demit itu berhasil melukai kami.

“Sudah cukup… mainanmu itu tidak akan mampu melukai kami lagi” Ucapku yang bersiap menyerang Dalang itu.
Namun hal yang tak kuduga terjadi. Seseorang menusuk tubuhku menggunakan kayu runcing yang entah ia dapat dari mana. Itu adalah manusia yang tadi kami tolong.
“Jangan hentikan pementasan… kami ingin menonton…” Ucap orang itu diikuti dengan munculnya warga desa dari kandang yang menyerang kami.

“Tu.. tunggu apa maksudnya ini?” Tanyaku pada mereka.
“Khekhekhe….sudahh kubilang, mereka yang datang ke tempat ini sendiri, dan mereka akan marah bila kalian berusaha menghentikan pertunjukanku” Ucapnya.
Seolah terbiusdengan alunan nada gamelan pementasan wayang, warga desa terus mendesak kami dan mencoba membunuh kami dengan benda apapun yang mereka temukan.
Bimo membacakan beberapa doa berusaha memulihkan kesadaran warga desa. Namun sepertinya mereka tidak kesurupan, mereka seperti kecanduan akan suatu hal sehingga tidak dapat mengendalikan diri mereka.
Dalang Demit itu akhirnya berdiri menghampiri kami. Ia mengeluarkan sebuah keris hitam berukiran naga dan menusuk seorang wanita warga desa dengan pakaian sinden.
Darah merah bermuncratan dari mulutnya namun iya tidak melawan melainkan malah berlutut mencium kaki dalang demit itu dan memohon kepadanya.

“Ki… kami harus menonton lagi ki… jangan berhenti, kami akan mengikuti semua maumu” Ucap Sinden itu.
“Khekhekhe… Menungso menungso goblok!” (Manusia-manusia Goblok!) Ucap Dalang itu yang segera menjambak perempuan itu dan menunjukanya kepada kami.
“Ndelok! Ayu To…? “ (Lihat… cantik kan?) Dalang itu mengunakan kerisnya merobek baju sinden wanita itu hingga kulitnya yang sebelumnya begitu mulus tergores oleh luka dari keris itu. namun tetap saja wanita itu tidak melawan.
“Nek arep urip karo demit yo.. kudu dadi demit” (Kalau mau hidup sama demit. Ya harus jadi demit) Lanjut dalang itu dengan menggoreskan kerisnya di wajah wanita itu.

Wanita itu terliihat kesakitan , namun tetap aja tidak melawan.
“Aarrrggg…. Demit sialan!” teriaku yang mulai tembakar emosi.

“Jangan Gegabah mas!” Ucap Bimo.
Namun aku terlanjur melompat menerjang dalang itu dan menghujamkan keris ragasukma. Sayangnya seranganku segera ditahan oleh kerisnya dan menciptakan gelombang energi yang sangat besar.
Pertarungan sengit terjadi diantara kami. Berbagai jurus kukeluarkan untuk menyerang dalang itu, namun dengan mudah ia menahanya.. bahkan sampai tertawa puas.
Beberapa kali serangan keris dalang itu mengenai tubuhku, namun aku tetap tenang karena seharusnya bimo segera menyembuhkan lukaku.

Entah walaupun beberapa kali seranganku mampu mengenai dalang itu , ia tetap tertawa geli seolah berhasil melakukan sesuatu.
Di satu sisi luka di tubuhku juga semakin banyak.

“Mas Dimas… Cukup” Ucapan itu terdengar dari Bimo yang jauh berada di belakang sedari tadi.
Namun aku tidak menghiraukanya, rasa kesalku pada demit ini membuatku ingin segera mengakhiri nyawanya secepatnya.

Namun lukaku yang semakin banyak membuatku menoleh pada Bimo dan pemandangan yang kusesalkan terlihat dihadapanku.
Rupanya sedari tadi warga desa tetap mencoba menyerangku, namun mereka gagal karena kuatnya energi dari pertarunganku dan Dalang itu hingga membuat Warga desa terluka parah oleh seranganku.
Sementara aku sibuk meluapkan emosiku. Bimo berusaha memulihkan warga desa dari semua seranganku yang membuat mereka terluka.

Di tengah rasa bersalahku dalang itu menusukan keris hitamnya tepat di punggungku hingga aku memuntahkan darah dari mulutku.
“Mas Bisma! “ Teriak Bimo yang segera menggunakan kekuatan keris sukmageninya untuk menyembuhkan lukaku.

Dengan segera ia menyusulku , mengalihkan dalang itu denga ilmu bela dirinya dan membawa tubuhku mundur.
“Mas… Tenang mas, apiku masih bisa nyembuhin luka Mas Bisma.. tapi butuh waktu” Ucap Bimo.

Aku berusaha mengatur tenagaku sebaik mungkin. Sayangnya dari arah panggung Dalang itu sudah mempersiapkan pasukan demitnya dan Warga desa yang ia gunakan sebagai tameng.
“Duh… Piye iki” (Duh Bagaimana ini?..) Bimo terlihat kebingungan. Ia bersiap meletakanku di tanah dan mencoba melawan mereka sendirian.

Namun sebelum itu terjadi.. terdengar suara seseorang dari jarak yang tidak begitu jauh.
“Mas… Rene mas.. cepet” (mas.. kesini mas cepet) Ucap seorang pria dari sela pohon di hutan belakang kami.

Tanpa berpikir panjang, Bimo segera memapahku dan membawaku ke sela-sela pohon besar yang ada di hutan.
Aku memaksa berjalan sekuat tenaga sembari membaca mantra pengalih agar makhluk-makhluk itu sulit untuk menemukan kami.

Seorang pria dengan pakaian pada umumnya berjalan di depan kami menuntun ke sebuah tempat.
Kami tidak berniat untuk bertanya, setidaknya kami berharap kami sampai di tempat yang aman
.
“Hati-hati mas… “ Ucap orang itu yang ternyata menuntun kami ke sebuah desa.

Cukup sulit untuku dengan luka ini untuk bisa mencapai salah satu rumah di desa itu.
Sebelum sempat melakukan apapun Bimo mendudukanya , menggoreskan jarinya pada keris sukmageni dan menggunakan api yang muncul dari keris itu untuk menyembuhkan lukaku.

Setelah merasa sedikit pulih aku menguatkan diriku untuk berbicara.
“Terima kasih ya mas… sebenernya ini kita di mana?” Tanyaku.
“Ini desa saya mas… Masnya ngapain sampai bisa bertarung sama Ki Jaruk?” Ucap orang itu.

Ki Jaruk? Mungkin itu nama dalang demit yang bertarung dengan kami..
“Kami dari desa Kandimaya mas.. kami mencari keberadaan warga desa kami yang hilang” Ucapku.

“Desa Kandimaya?” Pria itu seperti memikirkan sesuatu dan segera memanggil seseorang.

Tak lama setelahnya muncul beberapa wajah-wajah seperti orang-orang yang pernah kami kenal.
Ada lima orang menghampiri kami dan sepertinya mereka adalah warga desa Kandimaya.

“Mas… Mas dimintain tolong sama pak kades buat nolongin kami ya?” Ucap salah satu dari mereka.

“I iya mas… kalian gapapa?” Tanyaku.
“Kami gapapa mas.. warga desa ini sempat menolong kami, tapi banyak yang masih menjadi budak Ki Jaruk” Ceritanya.

“Lalu kenapa kalian bisa selamat dan mereka tidak?” Tanya Bimo yang telah selesai memulihkanku.
Kelima warga desa itu mengeluarkan sebuah benda dari kantungnya. Itu adalah sebuah kunir .

“Ma.. maksudnya?”

“Seharusnya kalian juga punya ini, kalau tidak warga desa ini tidak akan bisa menemukan kalian” ucapnya.
Aku merogoh kantongku dan menemukan sebuah kunir di situ begitu juga dengan Bimo.

“Mas Dimas… bukanya ini sebelumnya batu merah delima pemberia Ki Daru Baya” ucap Bimo.

Aku tidak mengerti, tapi warga desa kandimaya yang selamat itu mengangguk.
“saat kami nekat ingin pergi mencari desa ini.. salah satu anggota wayang Ki daru baya memintaku membawa batu merah delima untuk berjaga-jaga.
Rupanya dengan ini Warga desa tempat dulu Ki Daru Baya melakukan pementasan bisa mencium bau kunir dan menolong kami”

Ucap warga desa kandimaya itu.
Sepertinya aku sedikit mengerti. Hutan ini tidak hanya menghubungkan ke satu desa ghaib.

Tapi masih banyak tempat yang tidak kami ketahui yang dihubungkan oleh hutan ini.
“Kalau begitu kita harus kembali sebelum semakin banyak warga desa yang jadi korban” Ucapku pada warga desa yang menolong kami.
“Sudah.. tidak usah repot-repot untuk kembali, tidak lama lagi Ki Jaruk pasti akan menyusul kalian..

mohon maaf kami tidak bisa membantu apa-apa, ada sebuah kekuatan yang membuat kami tidak bisa menyentuhnya dan begitu juga sebaliknya..”

Jelas Warga desa ghaib itu.
“Mas Dimas… kita sudah babak belur begini, bagaima cara kita mengalahkan dalang itu?“ Tanya Bimo.
Belum sempat menjawab, sebuah kekuatan hitam besar terlihat memancar dari sela-sela hutan.
Seperti yang kami duga, Itu adalah Ki Jaruk.. sang dalang demit yang menyusul kami dengan semua pasukanya.

“Khkehekeheh…. Ojo lungo, kowe kabeh musti dadi bonekaku”
(Jangan pergi.. kalian harus menjadi mainanku)
Ucapnya yang segera berjalan ke arah kami dengan sekumpulan demit dan warga desa yang dibawah kendalinya.

“Bimo suruh semuanya mundur… Ingat, kamu harus jaga warga desa jangan sampai ada yang mati!” Perintahku pada Bimo.
“Lalu gimana cara Mas Dimas menghadapi Ki Jaruk dan Demit-demit itu” Tanya Bimo.

“Masih ada ilmu yang diturunkan oleh leluhur kita yang hanya mampu digunakan olehku… ini adalah satu-satunya mantra yang terkuat yang kuketahui saat ini” Jelasku.
Aku berjalan seorang diri meninggalkan Bimo. Ia meminta orang-orang yang menolog kami untuk mundur sebelum akhirnya Bimo menyusulku.

Aku menarik keris Rogosukmo dari sukmaku , meletakanya di dada dan membacakan Mantra yang diturunkan oleh leluhurku.
Jagad lelembut boten nduwe wujud
Kulo nimbali...
Surga loka surga khayangan
Ketuh mulih sampun nampani
Tekan Asa Tekan Sedanten...
Mendadak langit menjadi gelap , hujan turun begitu deras dan muncul sesosok mahkluk di hadapan kami…
(Bersambung Part 5 - Para penerus)
Terima kasih sudah mengikuti part ini sampai akhir.
semoga dapat menghibur.

Mohon maaf apabila ada kesalahan kata atau penulisan.

Seperti biasa yang mau baca part 5 duluan/memberi dukungan atau sekedar ngabisin recehan gopay,shopeepay bisa mampir ya...

karyakarsa.com/diosetta69/dal…
Dalang Demit Kampung Wayang
Part 5 - Para Penerus

Lanjut sekarang aja ya, nanti malem mau gentayangan takut ga sempet update

@bacahorror
@bagihorror
@IDN_Horor
@ceritaht Image
Jagad lelembut boten duwe wujud…

Di sebuah gubuk di tengah sawah aku memaparkan sebuah mantra.

“Tidak semua bisa melihat keberadaan ‘mereka’ Danan.. mereka tidak memiliki wujud” Ucapku.
“Tapi kita kan bisa melihat keberadaan mereka pak?”

Balas satu satunya putraku Dananjaya Sambara yang terlihat masih belum mengerti dengan apa yang kumaksud.
Aku hanya tersenyum mendengar pertanyaanya.

Kulo Nimbali…
Surga Loka… Surga Khayangan…

“Beberapa bisa mengundang mereka , dari tempat yang sangat jauh.. tapi pastikan mengundang mereka yang berasal dari tempat yang baik baik.. entah dari bumi atau dari alam lain…”
Jelasku lagi sementara Danan hanya mengangguk mendengar ucapanku.

Ketuh mulih sampun nampani…
Tekan asa.. Tekan sedanten…
“Saat kita memanggil, kita sudah siap atas kedatangan mereka apapun konsekuensinya.. dan sejatinya mantra ini bertujuan merubah keputus asaan menjadi sebuah harapan…”

Sepertinya Danan masih terlalu kecil untuk menerima makna dari mantra yang diturunkan oleh leluhur kami.
Namun aku tau pasti , suatu saat ia akan pantas mengemban tanggung jawab dan beban yang turun-temurun dijalankan oleh keluarga kami sejak jaman leluhur.

Sebuah tanggung jawab penyandang nama Sambara…

****
Hujan yang begitu deras membasahi tanah lapang diantara sebuah hutan dan desa. Kilatan dan sambaran petir bersahutan seolah menyambut kedatangan sesosok makhluk yang muncul di hadapan kami.

Kakek tua bungkuk berambut putih panjang muncul berdiri di hadapanku.
“Bocah Asu! Kowe nyeluk aku arep mateni awakmu dewe?”
(Kamu memanggil aku mau membunuh dirimu sendiri) Ucap makhluk itu dengan nada marah dan sedikit rasa khawatir.
“Ngapunten eyang… boten wonten dalan liyane, kulo butuh bantuan eyang”
(Maaf eyang, tidak ada jalan lainya. Aku butuh kekuatan eyang) Ucapku menjelaskan situasi yang terjadi.
Makhluk itu melihat segerombolan pasukan demit yang dipimpin seseorang berpakaian dalang dengan kekuatan hitam di sekitarnya.

“I… itu apa Mas Bisma” Tanya Bimo yang penasaran dengan perbincangan kami.
“Dia leluhur kita… dengan mantra yang kubacakan aku bisa memanggilnya dengan perantaraan Keris Ragasukma” Jelasku pada Bimo.

Bimo masih belum yakin, namun ia memaksakan dirinya untuk mengerti.
“Bimo, Aku butuh kekuatanmu.. saat dia mengamuk dia tidak bisa membedakan mana musuh mana kawan.. tolong lindungi warga desa “

Bimo mengangguk walau aku yakin masih banyak pertanyaan di kepalanya.
Sebelum siap menyerang, tubuhku mulai terhuyung. Aku sudah tahu konsekuensi apabila menggunakan mantra ini lagi.

Aku tetap berusaha sekuat mungkin menjaga agar cairan merah di mulutku tidak sampai keluar dan membuat Bimo khawatir.
“Khekhekhe…. Wis arep mati wae ndadak njaluk tulung”

(Sudah mau mati saja masih minta tolong)
Ledek Ki Jaruk yang sedang memperhatikan makhluk yang kupanggil itu.
Seketika makhluk berwujud kakek tua bungkuk itu melompat dengan diselimuti kabut hitam dan menyerang semua makhluk yang ada di depanya.
Dengan sekali tebasan cakaranya makhluk berwujud burung raksasa yang menjaga dalang itu terbelah menjadi dua dan kembali menjadi wayang kidangan yang sudah terbelah.

“Kakek Asu…!” Ucap Ki Jaruk yang kembali melontarkan serangan dari wayang Buto untuk melindungi dirinya.
Kakek tua itu semakin mengamuk dan melompat dari tanah ke pohon pohon lainya dan menyerang ke segala arah.
Aku menerjang ke medan perang, bukan untuk melawan ki jaruk .. tapi untuk menahan serangan leluhur yang ku panggil setiap akan menyerang ke warga desa yang masih terpengaruh kutukan Ki Jaruk.
Bimo juga tidak henti-hentinya merapal mantra agar semua serangan kakek itu yg mengenai warga segera pulih dan tidak mengakibat kematian.

Dengan strategi ini kami bisa menghabisi hampir seluruh anak buah Ki Jaruk hingga tidak bisa lagi ia panggil menggunakan wayang kulitnya.
Sayangnya ini terlalu lama.. aku hampir tidak bisa mempertahankan kesadaran dengan kondisi ini.
Setelah pertarungan yang cukup sengit, Akhirnya aku melihat hanya tinggal sesosok makhluk yang melindungi Ki Jaruk. Dia adalah sosok wayang kurawa berwujud Buto.
Dengan segera aku mengarahkan setiap serangan Kakek tua itu hingga seranganya terpental ke arah raksasa hitam dengan wajah yang paling beringas.
Sebuah cakaran tak cukup untuk menumbangkan makhluk raksasa itu, berkali-kali serangan dari leluhur yang kupanggil itu tidak mampu menumbangkan senjata terakhir ki Jaruk.
Aku teringat dengan siasatku saat melawan Bulo Lireng di desa kandimaya dulu dan segera memberi isyarat pada bimo.
Seketika aku menghujamkan keris ke arah dada raksasa itu dan tentu saja segera dihempaskan dengan lengan besarnya yang sudah penuh luka oleh serangan kakek leluhurku itu.

seketika Bimo menangkap tubuhku dan merapalkan mantra penyembuh.
“Khekhekhekhe… kowe bakal mati sio sio” (Kamu akan mati sia-sia) Ucap Ki Jaruk yang segera menarik kerisnya dan menerjang ke arahku.
Namun dia tidak sadar, saat ini keris Rogosukmo telah tertancap di punggungnya dengan sukmaku yang telah berpindah dari ragaku melalui sisi mati Ki Jaruk.
Seketika darah hitam bermuncratan dari mulut Dalang Demit itu hingga membasahi tubuhnya.
“Bocah..bocah Bajingan!” Umpat Ki Jaruk.
“Haha… Mana tawa cekekekanmu yang dari tadi meledek kami” Ledekku yang sebenarnya juga sedang setengah mati mempertahankan kesadaran.

Darrrrr…!
Seketika terdengar suara besar yang berasal dari tumbangnya Demit Buto yang dipanggil oleh Ki Jaruk.

Melihat itu wajah panik terlihat di wajah Ki Jaruk.. ia memanggil warga desa untuk menjadi tameng bagi dirinya.
Beruntung Bimo cukup sigap untuk membacakan mantra yang menahan gerakan warga desa itu.

Seolah mencari kesempatan, Ki Jaruk berjalan mundur dan mencoba melarikan diri masuk ke dalam hutan yang menghubungkan desa ini dengan kediamanya tadi.
Sialnya di sana sudah berdiri Kakek tua bungkuk dengan wajahnya yang penuh amarah. Matanya memutih seolah sudah siap mengamuk.

Melihat keadaan itu aku segera kembali ke ragaku dan meminta Bimo untuk memasang mantra pelindung.
Sementara itu Eyang leluhurku itu terus menghabisi Ki Jaruk dengan mencabik-cabik tubuhnya dengan bengis hingga tidak berwujud.

Setelah kejadian itu aku menyimpan kerisku kembali ke dalam sukma dan kakek tua itu kembali mendapatkan kesadaranya.
Sebaliknya denganku, seketika darah bermuncratan dari mulutku seolah menandakan bahwa ini adalah bayaran atas ilmu yang kugunakan tadi.

“Mas.. Mas Bisma kenapa?” Ucap Bimo yang segera membacakan mantra pemulih untuku namun tidak berhasil.
Bimo tidak menyerah ia menggunakan kesaktian keris sukmageninya untuk memulihkan tubuhku namun itu semua percuma.

“Geni seko Keris SukmaGeni mung iso mulihke Luka karo kutukan… ora iso nyembuhke penyakit”
(api dari keris sukmageni hanya bisa memulihkan luka dan kutukan… tidak bisa menyembuhkan penyakit)
Ucap leluhurku yang sepertinya sangat mengenali keris yang dipegang oleh bimo.

“Pe.. Penyakit? Bukanya semua ini karena mantra itu?” Tanya Bimo yang bingung harus berbuat apa.
Aku mencoba tertawa dengan semua darah yang masih membanjiri mulutku dan menggelengkan kepala untuk memberi penjelasan kepada Bimo.
“Bukan… Penyakitku membuat tubuhku menanggung beban saat menggunakan mantra pemanggil itu, Eyang juga sudah tau itu” Jelasku , Namun Kakek itu hanya memalingkan pandanganya dan meninggalkan kami.
“Sambara.. keturunan Goblok sing ora sayang nyowo”
(Sambara .. keturunan bodoh yang tidak sayang nyawa)
Ucap kakek tua itu yang segera menghilang bersama dengan rintik hujan di tengah kegelapan hutan.
Itulah yang hal yang terakhir kali kuingat selain wajah cengeng Bimo yang melihat tubuhku penuh dengan darah.

Aku tidak tahu yang terjadi setelahnya namun saat itu… di tempat itu… yang aku tahu kesadaranku perlahan mulai memudar.
Sebuah mimpi muncul pada saat itu , sebuah penglihatan tentang seorang pemuda..

Seorang pemuda yang ditakdirkan bertemu dengan berbagai bencana…

Dia menghadapi Roh-roh jahat berbagai wujud hingga berbagai kutukan dari berbagai tempat.
Terlihat juga suatu kejadian dikala pemuda itu menghadapi sebuah pertarungan sengit.. untungnya dia tidak sendirian.
Seorang pemuda lain selalu menemaninya dengan roh kera yang melindunginya, di sisi lain ada seorang nenek tua berilmu hitam, dan kakek sakti yang mengendalikan pusaka mata tombak.
Ia membacakan mantra yang baru saja kurapalkan… seolah kejadian itu menjawab siapa sosok pemuda itu.

Tak lama setelahnya aku tersenyum saat melihat masih ada seseorang yang mendampinginya. Wajahnya memang sudah menua namun dia terlihat semakin bisa diandalkan.
Aku bersyukur saat mengetahui dia.. Bimo masih ada untuk mendampingi Pemuda itu..

….
Perlahan sebuah cairan masuk membasahi kerongkonganku seolah memberikan sedikit tenaga untuku membuka mata.

Saat ini terlihat di hadapanku Bimo dan Ki Daru Baya memandangku yang berada di atas sebuah ranjang dan ruangan yang dipenuhi dengan bau obat.
“Bimo.. ini dimana?” Tanyaku.
Bimo menatapku dengan mata yang sayu, terlihat rasa lelah yang amat sangat di wajahnya.

“Di Rumah sakit mas… kenapa Mas Bisma ga cerita kalo ada Kanker di paru-paru Mas Bisma?” Tanya bimo yang tidak sabar menunggu penjelasanku.
Aku hanya tersenyum dan kembali menutup mataku dari silaunya lampu kamar rumah sakit ini.
“Kamu juga manggil Danan dan Kirana ke sini?” Tanyaku.
Bimo menggeleng.
“Ngga Mas… aku ga tau apa mereka tau penyakit Mas Bisma” Jawabnya.
“Bagus… Nanti biar aku yang cerita pelan-pelan ke mereka” Balasku.
Bimo mengangguk setuju.
“Nanti biar saya yang bilang ke Kirana kalau kamu masih membantu saya di desa, Mas Bisma Istirahat saja sampai pulih” Ucap Ki Daru Baya yang berusaha membantuku.
“Terima kasih Ki… maaf merepotkan” Ucapku sambil tersenyum.
“Ga usah ngomong aneh-aneh, yang kami lakukan masih jauh untuk membalas budi kepada kalian” Lanjut Ki daru baya.
Mendengar ucapanya aku segera menoleh pada Bimo.
“Berarti… Warga desa selamat?” Tanyaku pada Bimo.
Bimo hanya mengangguk dan aku membalasnya dengan sebuah senyuman yang menunjukan rasa lega.

…..

“Bapak! Itu bapak pulang!” Ucap seorang anak berlari menyambut kedatanganku.

Itu Danan… Dananjaya Sambara, Putra kesayanganku satu-satunya.
“Paklek… Kok motornya keren! Danan diajak jalan-jalan dong!” Pintanya dengan polos.

“Sini naik! Paklek Boncengin sampai depan..” Balas bimo yang segera mengajak danan berkeliling desa menggunakan Vespa yang dipinjam dari pak kepala desa Kandimaya.
“Buk.. Maaf ya bapak lama perginya” Ucapku pada istiku Kirana yang segera membantu membawakan barang-barangku ke dalam rumah.
“Sudah.. gapapa, Mbah Daru juga udah cerita gimana sibuknya kamu di sana… yang penting abis ini jangan kemana-mana lagi” Jawab Kirana yang menyambutku dengan wajah manisnya.
Aku beruntung bisa memiliki istri secantik Kirana dan anak sebaik Danan.
Apalagi aku bisa menikmati tenangnya tinggal di rumah pinggir sawah tanpa memikirkan masalah-masalah yang tidak penting.

“Bapak.. Montornya Paklek keren ya! Kapan bapak punya montor begitu juga?” Ucap Danan yang terkesima dengan Vespa yang dibawa Bimo.
“Motor Paklek?” Tanyaku sambil menoleh ke arah Bimo namun ia malah meletakan jarinya dimulut memberikan isyarat padaku untuk diam.

Aku menggeleng melihat tingkahnya.

“Ga usah Danan.. kalau Bapak punya juga nanti Paklekmu stress karna kalah keren” Jawabku pada Danan.
“Hehe.. iya, bener juga ya. Bapak kan ganteng, ga kayak Paklek” Ucap Danan yang sepertinya memang mencoba menggoda Pakleknya itu.

“Eeee.. Bocah! Awas ya ga tak boncengin lagi ..” Ancam bimo sambil tertawa.
Senang rasanya bisa kembali ke rumah dan berkumpul dengan seluruh keluargaku. Namun aku sadar.. waktuku tidak banyak.
Setidaknya aku harus menghabiskan sisa waktu yang kupunya untuk mewarisi semua yang kupunya kepada Danan.

------
“Pak kok bentuk naganya kayak begini ga kayak naga yang diceritain di film-film” Tanya Danan yang memperhatikan ukiran bergambar Naga di beberapa lembaran peninggalan leluhurku.
“Ini Naga Jawa Danan.. di legenda kita Naga itu bertubuh ular memiliki kaki dan tangan dan mahkota di kepalanya.

Itu menandakan Makhluk ini menguasai sesuatu..” Jelasku yang berusaha mengenalkan mengenai sosok-sosok makhluk di Tanah jawa yang mungkin kelak akan ia temui.
“Kalau ini siapa pak? Kenapa cantik banget” Tanya Danan lagi yang menunjuk kepada lukisan sesosok wanita cantik dengan kebaya berwarna hijau.

“Dia penguasa laut selatan.. sebisa mungkin jangan pernah berurusan denganya atau anak buahnya” Jelasku lagi.
Aku segera mengambil lembaran-lembaran itu dari Danan dan mengajaknya keluar untuk mempelajari hal baru.

“Danan.. coba ikuti gerakan bapak” Ucapku sambil memberikan sebatang kau pendek sambil memperagakan gerakan bela diri.
Danan memperhatikan dengan seksama setiap gerakanku dan perlahan mulai mengikutiku.
“Gimana sudah hafal belum?” Tanyaku.

“Untuk hafalnya sih bisa pak… tapi kenapa pake batang kecil, pakai yang panjang aja.. lebih gampang buat nyerang musuh” Tanya Danan Bingung.
Aku tersenyum dan mengusap kepala Danan.
“Emang musuh apa yang mau kamu lawan?”

“Orang jahat lah pak” Jawabnya polos.

“Bukan… itu urusanya polisi” Jawabku dengan cepat.

“Terus … Bapak ngajarin Danan buat apa?” Tanya Danan lagi.
“Buat ngebantu melawan mereka yang bahkan tidak bisa diatasi sama polisi” Jawabku singkat.

Entah bagaimana Jawabanku bisa membuatnya merasa semangat.

“Maksudnya ada yang ga bisa ditangkep sama polisi dan kita bisa melawan mereka?” Tanyanya.
Aku mengangguk dan tersenyum mendengar kesimpulan polosnya.

“Ya makanya , batang pendek ini untuk membiasakan saat nanti kamu sudah pantas memegang Keris.. senjata yang ampuh untuk melawan musuhmu nanti” Jelasku.
Setelah mendengan penjelasanku Danan semakin semangat dan dengan cepat mempelajari setiap gerakanku.

Waktu berjalan begitu cepat , Danan tumbuh dengan semakin pintar.
Di umurnya yang masih kecil ia sudah banyak mempelajari ilmu yang kuberikan hingga akhirnya aku memutuskan untuk melakukan latihan khusus denganya di sebuah hutan pinggir desa.

“Ini Keris Ragasukma, pusaka yang diturunkan turun temurun di keluarga kita” Jelasku pada Danan.
Danan memperhatikan dengan seksama.
Aku membaca sebuah mantra dan menancapkan keris itu pada sebatang pohon tua.

“Tugasmu kali ini hanya satu… Cabut keris ini” Perintahku pada Danan dan segera menunggunya di sebuah batu besar di samping pohon.
Danan tidak bergerak sedikitpun. Ia hanya memperhatikan keris itu tanpa bergerak.

“Kenapa Danan?” Tanyaku.

“Tidak mungkin semudah itu kan pak? Pasti ada maksud tersembunyi dari latihan ini” Jawabnya.
Aku tersenyum..
Rupanya diumur yang sekecil itu ia sudah mampu menganalisa sesuatu yang akan ia hadapi.

Ia hanya terdiam di tempat dan memandang keris itu tanpa bergerak. Itu berlangsung cukup lama hingga aku tertidur di sana.
….
“Bapak bangun pak…! “ Terdengar Suara Danan membangunkanku yang tertidur hingga tengah hari.

“Ini pak makan dulu.. Ibu nganterin Sayur lodeh” Ucap Danan dengan penuh semangat.

Aku menoleh pada keris Ragasukma yang ada di pohon dan melihat keris itu masih menancap di sana.
“Heh… siapa yang nyuruh kamu makan? Tugasmu belum selesai! Keris itu masih ada di pohon itu” Ucapku mengingatkan Danan.

“Lha pak , kerisnya udah Danan cabut kok…” Jawabnya dengan percaya diri.
Aku kembali menoleh pada pohon itu dan masih melihat keris ragasukma tertancap di sana.

“Lalu itu apa?” Tanyaku pada Danan sambil menunjuk pada keris itu.
“Da.. danan juga ga tau pak, Danan benar-benar sudah mencabut keris itu. tapi keris itu masih ada di sana” Jawabnya dengan polos.

Aku merasa bingung dengan jawabanya. Tapi raut wajah danan tidak terlihat sedang berbohong.

“Danan coba kamu berdiri” Perintahku yang penasaran.
Aku menempelkan tanganku di punggung Danan mencoba mencari keberadaan sesuatu yang seharusnya tidak berada di sana.
Sayangnya aku menemukan itu.
Wujud ghaib keris ragasukma sudah merasuk dalam tubuh danan. Rupanya ia berhasil mencabut Wujud Ghaib dari keris itu.
Aku tak bisa menahan tawaku atas hasil yang tidak terduga ini.
“Ke… kenapa pak?” Tanya Danan padaku.
“Haha… Sudah kita makan dulu, setelah ini kita akan belajar hal yang lebih seru..
mengenai keris ragasukma”

….
Waktu berjalan semakin cepat hingga membawa kami ke penghujung hari.

Perjalanan singkat membawaku dan Danan sampai di rumah. Selama perjalanan Danan tidak henti-hentinya membicarakan mengenai keris Ragasukma yang ia pelajari tadi.
Sayangnya saat sampai ke rumah aku seolah melihat wajah kirana yang sedikit termenung.

“Ada apa bu.. tumben cemberut” Tanyaku sambil memasuki rumah.
“Ngga papa pak.. Tadi ada warga desa Kandimaya dateng. Katanya ada masalah lagi di sana” Ucap Kirana yang seolah tidak ingin menceritakan hal ini.

“Masalah apa Bu?” Tanyaku berusaha menggali lebih.
“Jelasnya dia ga cerita, kalau ga salah ada beberapa warga yang tiba-tiba tidak sadarkan diri… seolah rohnya ga ada” Jelas Kirana.

Aku mengernyitkan dahiku. Jelas itu sudah masalah yang serius. Pantas saja mereka sampai meminta seseorang mampir ke sini.
“Bapak pasti mau ke sana kan?” Tanya Kirana yang sudah mengerti dengan tabiatku.
Aku mengangguk.

“Ibu ga akan ngelarang… tapi kalau ada hal berbahaya jangan nekat ya pak” Ucap Kirana.
Aku tersenyum dan berjanji akan mengikuti ucapanya itu. namun sebenarnya ada satu hal lagi yang ingin kusampaikan.

“Kirana… aku ijin membawa Danan ke desa Kandimaya ya.” Ucapku yang segera dibalas dengan wajah kesal Kirana dan wajah bingung Danan.
….
Setelah semalam berdebat cukup panjang dengan Kirana, akhirnya ia mengijinkan Danan untuk ikut denganku. Danan sangat senang mendengar kabar itu.

Pagi ini aku dan Danan berangkat ke desa kandimaya dengan menaiki angkutan umum.
Sudah beberapa tahun semenjak aku meninggalkan desa ini dengan tidak sadarkan diri setelah bertarung dengan Ki Jaruk.

Terlihat sebuah motor vespa terparkir di depan rumah kepala desa. Kupikir akhirnya Danan akan tau bahwa motor Vespa itu bukan milik Bimo.
“Bapak Itu bukanya Montor Paklek?” Tanya Danan dengan Polos.
Aku hanya tersenyum membayangkan ekspresinya saat bertemu Bimo nanti. Namun tiba-tiba dari rumah itu muncul seseorang yang kukenal.

“Lha Mas Bisma , dateng juga ke sini” Ucap Orang itu.
Rupanya Bimo sudah datang ke desa kandimaya terlebih dahulu. Warga menghubunginya dulu karena khawatir dengan penyakitku apabila meminta pertolonganku.

“Paklek! Nanti ajak Danan muter-muter lagi ya!” Teriak Danan dengan polos.

“Beress!” Ucap Bimo dengan percaya diri.
Aku tertawa sendiri melihat pertemuan kami. Namun tiba-tiba aku teringat mengenai kabar saat Bimo pergi ke Jawa timur.

“Bimo.. katanya habis dari Jawa Timur kamu ngajak anak untuk tinggal sama kamu?” Tanyaku memastikan.

“Oooo.. iya aku belum cerita ya” Ucapnya dengan santai.
“Panjul sini... keluar! Kenalan sama pakdemu”
Terdengar suara seorang anak setengah berlari di lantai kayu rumah kepala desa menghampiri kami.
Terlihat seorang anak seumuran Danan yang bergegas mengenakan sandal jepitnya dan merapikan sarung yang sepertinya selalu ia kenakan di bahunya.

(Bersambung Part 6 - 11/11/2021)
Terimakasih sudah membaca cerita ini.

Mohon maaf part 6 juga belum sempat update di karyakarsa.

tapi buat selingan mungkin bisa ngikutin kisa monyet kembar dan asal mulanya ketemu dengan cahyo
di cerita ini :

karyakarsa.com/diosetta69/mon…
Akhirnya bisa Upload
Dalang Demit Kampung Wayang
part 6 di @karyakarsa_id

Monggo yang mau baca duluan , sekedar dukung, atau mau ngabisin recehan di Gopay,shopeepay,ovo bisa mampir.. 😆

Matur sembah nuwun

karyakarsa.com/diosetta69/par…
DALANG DEMIT KAMPUNG WAYANG
Part 6 - Titisan

Tinggal 2 chapter terakhir nanti malem update, tolong bantu retweet dulu ya

@bacahorror
@IDN_Horor
@ceritaht
@qwertyping
@chow_mas
@Wakhidnurrokhim
@HorrorTweetID
part 1-4 udah nangkring di podcast @bagihorror

#diosetta Image
Sambil menikmati kopi hitam buatan warga desa, aku dan Bimo menyaksikan keasikan dua anak kecil yang saling bertukar cerita.

“Mas Bisma, sepertinya Danan sudah semakin kuat ya?” Tanya Bimo yang melihat perubahan pada Danan.

Aku menggeleng kepala.
“Masih jauh dari kata siap… tapi coba, kamu sadar apa yang paling berubah dari Danan?” Tanyaku.

Bimo menatapku heran dan mengalihkan pandanganya ke Danan. Awalnya ia tidak mengerti, tetapi lambat laun Bimo sepertinya mulai menyadari apa yang ada di dalam sukma Danan.
“Ke—Keris Ragasukma? “
Bimo terlihat cukup kaget mengetahui wujud ghaib keris itu ada di sukma Danan.

“Mas Bisma sudah mewariskan keris pusaka itu ke Danan? Di umurnya yang sekecil ini?
Aku tertawa dan menyeruput kopiku yang masih hangat.
“Bukan Bimo, aku sendiri juga kaget. Keris itu yang memilih Danan. Saat ini aku sudah bukan pemilik pusaka itu” Jelasku.

“Nggak mas.. aku masih belum mengerti, Mas Bisma pasti masih membutuhkan kekuatan Keris itu” Ucap Bimo dengan wajah khawatirnya.
“Sudah nggak usah khawatir. kalau aku tidak bisa mengatasi permasalah yang ada tanpa kekuatan keris itu, berarti aku memang tidak pernah pantas jadi pemiliknya” Jawabku menjelaskan pemikiranku saat ini.
“Lagipula kalau bukan sekarang, aku tidak tahu apa aku punya kesempatan untuk mewariskan keris itu padanya”

Bimo menghela nafas seolah mencoba menerima keputusanku.
“Lha kamu sendiri apa berencana mewariskan pusakamu ke anak itu? Siapa namanya ? Panjul?” Aku balik bertanya sambil menoleh ke arah seorang anak sederhana yang hampir tidak pernah melepas sarungnya.
“Haha.. nama aslinya Cahyo mas. Awalnya aku berpikir begitu, tapi baru-baru ini aku baru sadar akan ada sesuatu yang membimbing bocah itu untuk mendapat kekuatanya sendiri” Jawab Bimo.
“Hmmm.. ternyata kamu juga punya kejutan ya! Seandainya terjadi sesuatu, Aku titip Danan ya Bimo” Ucapku sambil menepuk bahunya.
Bimo berusaha mencoba menahanku mengucapkan perkataan itu, namun ia sendiri tahu mengenai kondisiku saat ini.
“Panjul, Danan.. Ikut paklek yuk.. ada yang mau paklek tunjukin,” perintah paklek pada kedua bocah itu.
Kali ini Bimo mengajak kami ke rumah seorang warga. Di salah satu kamar di rumah itu terbujur kaku seorang pemuda tanpa ada gerakan sedikitpun.
Bimo mengajak Danan dan Panjul memeriksa keadaan pemuda itu dan memintanya mengambil kesimpulan.
“Paklek… kenapa ga dibawa ke rumah sakit to paklek?” Tanya Danan dengan polosnya.
“Ngawur kamu… nek kondisine koyo ngene iki jelas kesurupan” (Ngawur kamu… kalau koniinya seperti ini sudah jelas ini kesurupan) Balas Panjul yang mencoba memberikan jawabanya sendiri.
Seketika pukulan dari koran yang dinggenggam Bimo mendarat di kepala Panjul.
“Kesurupan Mbahmu! Ndelok sing bener!” (Kesurupan Nenekmu! Lihat yang benar) Ucap Bimo.
Aku tertawa, sepertinya anak kecil ini memiliki kemiripan dengan Bimo yang tingkah lakunya seenaknya sendiri.
“Sekarang kalian sudah tahu?” Tanya Bimo lagi.
“Paklek masnya ini… sukmanya ga ada?” Tanya Danan yang heran.

Panjul masih mencoba memperhatikan, sepertinya dia berbeda dengan Danan yang memiliki kemampuan bawaan sejak lahir. Anak ini membutuhkan bantuan Bimo untuk membuka mata batinya.
Awalnya aku khawatir dengan cara yang Bimo lakukan, tapi aku yakin Bimo memiliki alasanya sendiri.

“Piye Jul.. uwis ngerti?” (Gimana Panjul? Sudah mengerti?) Tanya Bimo.

Panjul mengangguk.
“Jawaban pertama Danan benar. Saat menemukan kejadian seperti ini lakukan pertolongan medis sebisa mungkin. Ketika ilmu medis tidak bisa membantu baru kalian menggunakan kemampuan kalian”

Jelas Bimo.
Setelah cukup jelas melihat kondisi korban, kami memutuskan menunggu hingga malam. Menurut warga, korban-korban ini mendapat serangan saat matahari mulai terbenam.
Kami berempat menunggu di pos ronda yang ada di desa Kandimaya sambil menikmati merahnya langit yang bersanding dengan pemandangan pegunungan yang megah.

“Sepertinya nggak ada yang aneh di kampung ini Bim” Tanyaku yang masih belum menemukan hal mencurigakan di kampung ini.
“Iya mas… aku juga sudah beberapa hari tapi belum dapat petunjuk” Jawab Bimo.
“Aku sudah…”

Tiba-tiba anak kecil bernama Panjul itu mengatakan hal yang tidak kami duga.

“Maksudmu piye jul… ojo guyon lho” (Maksudmu gimana Jul? Jangan bercanda lho) peringat Bimo.
“Ora… tenang Paklek, sebentar lagi dateng” Ucap Panjul dengan tingkah yang sama sekali tidak kami mengerti.
Tak lama setelah Panjul bilang seperti itu tiba-tiba muncul sesuatu dari semak-semak di belakang pos ronda ini.
Itu seekor kera, dia segera melompat ke bahu Panjul dan menyerahkan sesuatu.
Aku memperhatikan kera itu. Jelas terlihat kera itu bukan kera biasa. Sebuah kekuatan seperti tersegel di tubuh kera itu.
“Bimo.. maksud kamu ini?” Tanyaku memastikan ucapan Bimo mengenai kekuatan bocah ini tadi.
Bimo mengangguk dengan senyuman kecilnya.
“Paklek, Pakde… ini , Kliwon nemuin sesuatu”
Panjul menyerahkan pecahan batu kapur yang dibawa oleh Makhluk itu.
“Mas Bisma.. batu kapur? Apa ada hubunganya dengan Bukit batu tempat Buto Lireng dulu?” Tanya Bimo.
“Satu-satunya cara untuk tahu kita harus ke sana..” jawabku.
Kami berempat segera pamit ke kepala desa dan pergi ke sebuah bukit batu yang tidak jauh dari desa. Di sanalah tempat dulu makhluk bernama Buto Lireng berkuasa sebelum akhirnya aku da Bimo berhasil mengalahkanya.
Tepat saat menjejakan kaki di rimbunan pepohonan di bukit itu , aku sudah merasakan adanya perasaan mengerikan yang menggangu inderaku.
“Mas Bisma… perasaan ini, sama persis seperti saat bertemu Ki Jaruk dulu. Tapi bukanya seharusnya ia sudah mati” Ucap Bimo.
Aku mengangguk.
“Jika benar yang ada di sini adalah Ki Jaruk, kita tidak boleh melibatkan anak-anak ini” Ucapku.
Tetapi sebelum sempat meminta anak-anak untuk kembali tiba-tiba Danan berlari menuju suatu tempat yang dipenuhi beberapa pohon yang sudah mati.
“Bapak.. Itu! mereka di sana!”
Aku menoleh ke arah yang ditunjuk Danan. Benar seperti ucapanya, sekumpulan roh yang diantaranya merupakan roh warga Desa Kandimaya berjalan menuju puncak bukit yang langsung berbatasan dengan langit malam.
Kami segera mengikuti mereka dan terhenti pada sebuah pemandangan yang mempesona sekaligus mengerikan.
Seseorang mengenakan pakaian dalang yang serba hitam sedang memainkan wayang kulit dibawah terangnya sinar bulan purnama diatas bukit saat itu.
Sayangnya pengiringnya adalah demit dengan berbagai wujud dan penontonya adalah Roh manusia yang terlepas dari raganya.

“Ki Jaruk!” Aku berteriak mencoba memastikan siapa dibalik pementasan demit ini.
Namun bukanya menjawab, Dalang itu mengibaskan wayang kurawanya dan sekilas sosok Demit muncul dan kembali masuk lagi ke dalam wayang kulit yang ia ngenggam. Sebuah gerakan yang tidak mungkin dilakukan oleh dalang biasa.
Sekali lagi ia melakukan hal serupa. Semua itu terlihat mengagumkan apalagi dengan terpaan sinar rembulan yang menjadi sumber cahaya pementasan itu.

“Sudah cukup! Hentikan!” Ucap Bimo mencoba mendekat.
Namun sebuah wayang yang tidak pernah kami lihat sebelumnya dilemparkan ke hadapan bimo.
Wayang berbentuk ular berkaki dengan mahkota di kepalanya menjelma menjadi sosok yang seperti tergambar oleh wayang kulit itu.

Ular raksasa dengan empat kaki.
“U—Ular apa itu paklek!” Tanya Cahyo.

“Bukan.. itu bukan ular! Itu Naga! Sosoknya persis seperti yang diceritakan di legenda jawa” Teriak Danan.

Kami mundur lebih jauh, dan Dalang itu menghampiri mahluk yang ia panggil dan menatap kami semua.
I--Itu bukan Ki Jaruk! Ia tidak semuda itu.
Di hadapan kami berdiri seorang pemuda berambut panjang menggunakan pakaian yang persis digunakan oleh Ki Jaruk. Sayangnya seluruh matanya berwarna hitam menandakan ia sudah menyerahkan Jiwanya kepada Setan.
“Si--siapa kamu!” Tanyaku pada makhluk itu.
Makhluk itu melemparkan sebuah wayang kurawa yang sebagian sudah rusak. Aku dan Bimo mengenal benda itu. Itu adalah milik ki jaruk yang sudah rusak saat bertempur dengan kami.

“Aku anak dari orang yang kalian bunuh!”
Jawabnya dengan wajah yang penuh amarah.
Tunggu! Anak? Ki Jaruk memiliki anak? Aku tidak habis pikir dengan apa yang ada di depanku saat ini.

“Bapak.. maksud orang itu apa? “ Tanya Danan.

Aku belum mampu menjawab pertanyaan Danan.
“Sudah Danan.. nanyanya nanti saja, kalian berdua sebaiknya bersiap menjauh dari sini” Perintah Bimo.

“Hentikan Perbuatanmu dan kembalikan roh-roh ini!” Ucapku mencoba memberinya peringatan.
“Kalau aku tidak mau, Apalagi yang mau kalian lakukan? Membunuhku seperti kalian membunuh Ayahku!” Ucap Pemuda itu dengan wajah yang penuh dendam.
Mendengar perkataanya aku tidak tau harus berbuat apa. Di satu sisi kami tidak siap menghadapi mereka dan di satu sisi lagi tiba-tiba aku bersalah membunuh Ki Jaruk yang berwujud demit itu.

“Mas Bisma.. Kita tidak siap! Kita mundur!” Ucap Bimo.
Aku setuju dan segera mundur menjauh dari kerumunan roh itu.

Makhluk itu tidak mengikuti kami , sebaliknya ia mengembalikan Naga Jawa yang ia panggil ke wujud wayang lagi.
“Aku tidak akan berhenti melakukan pementasan ini hingga seluruh roh warga desa hadir di sini!” Ancaman Dalang itu mengantar kepergian kami.

Kami meninggalkan tempat itu secepat mungkin dan segera kembali ke desa.
Permasalahan ini tidak hanya bisa diselesaikan hanya dengan adu kekuatan saja.

Sesampainya di desa terlihat warga sedang berkumpul seolah terjadi sesuatu.

“Ada apa ini Ki?” Bimo bertanya kepada Ki Daru Baya yang ikut berada diantara kerumunan itu.
“Satu lagi Bimo, satu lagi warga desa kehilangan sukmanya..” Jawab Ki Daru Baya.

Bimo terlihat kesal dan melampiaskan dengan menendang sebuah batu yang ada di tanah.

“Ki.. ada yang harus kita bicarakan, Kami sudah tau penyebab semua permasalahan ini.” Ucapku.
Malam itu, di rumah pak kepala desa kami berempat bersama Ki Daru Baya menceritakan mengenai apa yang kami lihat di bukit batu.

Kami menceritakan mengenai sosok dalang yang mengaku sebagai anak dari Ki jaruk yang berniat mengumpulkan sukma warga desa untuk membalas dendam.
Pementasan dalangnya memiliki kemampuan untuk menarik roh manusia dari tubuhnya dan membuatnya terikat di bukit batu dengan pementasan yang ia lakukan.
“Bukan ilmunya saja yang mengerikan Ki.. tapi permainan orang itu saat memainkan wayangnya benar-benar indah, wajar saja roh yang kehilangan kesadaranya itu tertarik ke sana” Jelasku.
“Bila kami menyerang demit dalang itu, roh yang terhipnotis dengan permainanya pasti akan menghalangi kami seperti saat melawan Ki Jaruk dulu..”

Ki Daru Baya berpikir sejenak sebelum ingin menyampaikan sesuatu.
“Keberadaan roh itu yang membuat kalian tidak bisa bertarung dengan makhluk itu?” Tanya Ki Daru Baya,

“itu salah satu alasanya ki.. tapi sepertinya aku merasa tidak sanggup melawanya setelah menghabisi ayahnya, Ki Jaruk” Jelasku.
“Saya mengerti… seharusnya kalian tidak perlu merasa bersalah, apalagi yang diucapkan oleh makhluk itu belum tentu bisa dipercaya.” Ucap Ki Daru Baya yang mencoba menenangkanku.

“Yah.. mungkin saya bisa sedikit membantu kalian”
Mendengar ucapan Ki Daru Baya kami menjadi penasaran, bantuan apa yang ingin diberikan oleh Ki Jaruk.
“Berkat kalian, kami tahu di mana Roh-roh warga desa berada.. sekarang akan kami coba dengan cara kami”

Aku masih belum mengerti dengan apa yang dimaksud oleh Ki Daru Baya.
Setelahnya Ki Daru baya memerintahkan anggota untuk mempersiapkan pertunjukan di tengah desa.

“Paklek, mau ada pementasan wayang?” Tanya Danan yang mulai mengerti situasi ini.

“Sepertinya begitu Danan, kamu suka cerita wayang ya?”

“Iya Paklek…”
Semenjak kecil aku memang sering mengajak Danan menonton pementasan wayang walaupun terkadang ia sering tertidur sebelum acara itu selesai.

Biasanya besok paginya Danan akan merengek kepadaku meminta untuk diceritakan cerita yang tidak sempat ia saksikan.
“Kalau kamu suka pementasan wayang Jul?” Tanyaku pada Panjul.

Anak kecil itu menggeleng.

“Aku ga pernah nonton wayang pakde, satu-satunya pementasan yang pernah kutonton hanya pementasan Ludruk”
Jawabnya dengan wajah yang terlihat berbeda dan dibalas dengan Bimo yang mengusapkan tanganya di kepala Panjul. Sepertinya ia memiliki kenangan buruk tentang itu.
Hanya butuh waktu beberapa jam hingga panggung pementasan selesai disiapkan. Ketika gending gamelan mulai berbunyi , warga mulai berkumpul menyaksikan penampilan wayang yang dipimpin Ki Daru Baya sendiri sebagai dalangnya.
Sebuah pementasan lakon Pandawa Kurawa yang diambil dari kitab Mahabrata dipentaskan dengan meriah.

Ki Daru baya menceritakan mulai dari kelahiran Puntadewa, Kurawa , hingga peperangan antara Prabu Setyajit raja Lesanpura melawan Prabu Garbanata raja Garbaruci.
Pementasan ini berlangsung meriah walaupun warga yang datang tidak tahu maksud dari pementasan ini. Tapi ada sesuatu yang menarik perhatianku. Kera milik Panjul mengambil posisi terdepan dan menyaksikan pementasan itu dengan khusuk.
“Gimana? Seneng ga nonton wayang?” Tanyaku pada Panjul yang menemani keranya menonton di paling depan.

Panjul mengangguk dan sepertinya ingin menanyakan sesuatu.

“Pakde, hutan Wanamarta itu apa pakde?”

Rupanya bocah ini mengikuti cerita ini dengan baik.
“di cerita wayang wanamarta adalah hutan yang diisi makhluk ghaib yang dijaga oleh kelima jin yang akhirnya menitis ke lima pandawa, memangnya kenapa?” Balasku penasaran.

“Nggak pakde.. itu Kliwon, katanya dia berasal dari hutan itu”
Mendengar ucapanya, aku menatap wajahnya Panjul. Dari wajahnya terlihat bahwa ia tidak sedang bercanda. Namun apakah itu mungkin?

“Bapak , Ki Daru Baya Hebat! Danan sampe merinding nontonya” Ucap Danan yang terlihat sangat semangat.
Benar, penampilan Ki Daru Baya kali ini berbeda dari biasanya. Permainan wayang dan caranya menceritakan kisahnya benar-benar membuat kami merasa masuk ke dalam alam itu.
Nyanyian sinden yang mengisi jeda setiap perpindahan ceritapun mampu membuat kami terhanyut tak mau meninggalkan tempat ini.

Ki Daru Baya… Akan kuingat nama itu sebagai nama seorang dalang terhebat yang pernah kukenal.
Saat pertunjukan mencapai klimaks mendadak seseorang keluar dari salah satu rumah warga yang kemarin kami datangi.

Dia adalah seseorang yang rohnya hilang karena ditarik oleh dalang demit anak yang mengaku sebagai anak Ki Jaruk itu.
“Mas… Mas sudah sembuh?” ucap seseorang yang sepertinya adalah istri dari orang itu.

Beberapa warga mulai mengerumuni orang itu dan menanyakan keadaanya. Tak lama kemudian beberapa warga yang kehilangan sukmanya satu persatu pulih dan mendatangi pementasan Ki Daru Baya.
“Pementasan di atas bukit menarik roh kami, namun saat ada suara pementasan dari desa ini rasa ketertarikan kami terhadap pementasan di atas bukit menghilang dan ingin menyaksikan pementasan Ki Daru Baya” Jelas salah seorang dari mereka.
Mendengar cerita orang itu aku dan Bimo saling berpandang. Rupanya ini adalah duel antara dua dalang yang memperebutkan kesadaran warga desa Kandimaya.
Gila! Seumur hidup aku tidak pernah melihat hal sehebat ini. Darahku bergejolak saat mengetahui ini juga merupakan sebuah pertempuran. Pertempuran yang tanpa harus meneteskan darah.
Apalagi saat melihat Danan melompat berjingkrakan saat menyaksikan klimaks Perang Baratayudha apalagi saat tujuh senopati pandawa berhasil mengalahkan Kurawa dan hanya menyisakan tiga senopati Kurawa.
Seolah mengerti apa yang harus kami lakukan , Bimo segera menghampiri Panjul dan aku menghampiri Danan.
“Danan, Kamu masih mau nonton Ki Daru Baya atau mau ikut Bapak ?” Tanyaku.
“Panjul, Masih betah?” Tanya Bimo pada Panjul.

Kedua bocah itu saling menatap seolah mengerti maksud kami.

“Aku melu paklek! Gara-gara nonton wayang ini Kliwon jadi semangat!” Ucap Panjul.

“Kita mau kembali ke bukit tadi kan? Danan Ikut…
Permentasan wayang seperti itu harus dihentikan” Jawab Danan dengan wajah yang cukup kesal walapun sesekali ia menoleh ke panggung tidak rela meninggalkan serunya pementasan Ki Daru Baya..
Tepat beberapa Jam sebelum subuh datang kami pergi meninggalkan pemetasan semalam suntuk yang diadakan Ki Daru baya untuk menghentikan pementasan terkutuk dari penerus Dalang Demit yang mencelakai warga desa.
Sebelum sempat meninggalkan desa, Panjul meninggalkan kami dan berlari kembali ke Desa.
“Kosek paklek… sarungku keri” (Sebentar paklek, sarungku ketinggalan…”

(Bersambung - part terakhir 20/11/2021 )
Terima kasih telah mengikuti cerita ini hingga selesai. mohon maaf apabila ada salah kata.

Bagi yang ingin membaca part akhirnya duluan atau sekedar mendukung bisa mampir ke karyakarsa ya..

Terima kasih sebanyak-banyaknya

karyakarsa.com/diosetta69/par…
DALANG DEMIT KAMPUNG WAYANG
Part 7 - Buto Lireng (TAMAT)

Dibantu retweetnya ya biar makin banyak yang baca.
yang mau ngedukukung atau format e-booknya bisa unlocked di @karyakarsa_id

karyakarsa.com/diosetta69/par…

@IDN_Horor
@qwertyping
@ceritaht
@bagihorror
@chow_mas
#diosetta Image
Sebuah bukit batu yang berdiri kokoh di tengah lebatnya hutan kaki pengunungan seolah dengan tegas menantang kami.

Sosok makhluk yang diatas bukit itulah yang harus kami hadapi.

“Bapak… suworo sopo kuwi pak?” (Bapak… suara siapa itu pak?) Tanya Danan tiba-tiba.
Mencoba mencari suara yang dimaksud oleh Danan, namun tidak ada suara lain selain suara angin dan daun-daun yang saling bergesekan.

“Suara koyok opo Danan?” (suara seperti apa Danan?)

“Mboh Pak.. ora jelas” (Ngaak tahu pak, Nggak jelas)
Sepertinya Danan tidak mau memusingkan suara yang ia dengar dan bergegas menuju puncak bukit batu mendahului kami.

Krincing…

Duoongg…

Krincing…
Terdengar suara alat musik gamelan yang dimainkan dengan malas dan asal-asalan.
Pemandangan yang kami lihat di bukit batu saat ini jauh berbeda dari sebelumnya. Tidak ada lagi roh-roh penasaran yang menonton pementasan wayang dari seseorang yang mengaku sebagai putra dari Ki Jaruk itu.
“Kowe kabeh uwis mateni bapakku… Saiki kowe nyolong penontonku” (kalian sudah membutuh ayahku, sekarang kalian mencuri penontonku) ucap dalang muda itu dengan nada yang lemas.

“Puas Kalian!” Lanjutnya dengan wajah yang penuh amarah.
Aku sedikit menjaga jarak dari makhluk itu. Bukan karena ucapanya,tapi karena pemandangan mengerikan yang saat ini kami lihat.

Dalang yang mengaku putra dari Ki Jaruk itu terlihat sedang memainkan wayangnya yang telah berubah menjadi demit .
Saat ini Bukit batu ini dikuasai seorang dalang yang sedang bermain bersama berbagai makhluk yang dipanggilnya.

Mulai dari wanara siluman kera, kidangan burung hitam, hingga siluman-siluman yang sering muncul di cerita pewayangan.
“Mas Bisma, kita tidak punya banyak waktu lagi” Ucap Bimo yang mencoba mengingatkanku.

Aku menerjang makhluk itu bersama dengan Bimo. Setidaknya aku masih mengingat kisah Ki Daru Baya mengenai cara mengalahkan demit dari wayang ini.
Bimo.. Sepertinya ia telah mempersiapkan sesuatu.
Ia membacakan mantra pembakar dan menciptakan api yang besar diantara kami.

Ia membacakan mantra disekitaran api itu sambil beberapa kali memutarkan tanganya untuk mengendalikanya.
Sementara aku bertarung sengit dengan siluman kera. Bimo dengan mudahnya melemparkan api ke demit-demit lemah yang menyerang kami dan dengan segera mengubah mereka kembali menjadi berwujud wayang.
“Edan! Ilmu apa itu Bimo!” Tanyaku yang takjub dengan api yang dimunculkan olehnya saat itu.

“Aku baru melatih ilmu ini mas, belum sempurna.. namun api ini putih, ia hanya mampu menghilangkan ilmu hitam, menyembuhkan, dan menenangkan” Jelas Bimo.
Sebenarnya aku cukup heran sekaligus senang. Bimo tidak memilih belajar ilmu dengan kekuatan penghancur seperti pendekar lainya, tapi dia malah memilih ilmu yang jarang berguna seperti ini.
“Geni Baraloka… Sepertinya nama itu cocok untuk ilmumu,” Ucapku yang segera mundur dan mendekat ke bara api itu.

“Sebuah bara api yang bisa membakar kekuatan jahat dari berbagai alam seolah berasal dari khayangan”

Bimo sepertinya sedikit terkesan dengan ucapanku.
“Uapik mas jenenge… bagus namanya ! Jurus pamungkas Bimo pendekar sambara pembakar angkara Geni Baraloka!” Ucapnya dengan bangga.

“Kedowonen Paklek! Geni Baraloka wae..” (Kepanjangan Paklek, Geni Baraloka saja)
Suara panjul tiba tiba terdengar seolah sedang melakukan sesuatu di sekitar kami.

“Uasem kowe Jul.. minggiro!” (Asem kamu jul, minggir sana!) Balas Bimo yang setengah nyengir mendengar ledekan Panjul.
Entah mengapa melihat tingkah laku mereka berdua suasana mencekam di tempat ini menjadi mulai tidak tidak terasa.
Sebuah mantra kubacakan layaknya puisi yang mengalun menemani terangnya rembulan di malam ini.
Ajian Gambuh Rumekso memanggil tiupan angin besar yang segera mengelilingi kami.
Tiupan angin yang kuarahkan ke api milik Bimo membuatnya semakin membesar hingga aku mampu mengarahkan api milik Bimo untuk membakar semua demit
anak buah dalang demit itu hingga kembali menjadi wayang.

“Hebat Mas! Aku saja gak tau kalau api ini bisa digunakan dengan cara seperti itu!” Ucap Bimo yang terkesan.

“Makanya sekolah yang bener, tiupan angin yang mengandung oksigen bisa membesarkan bara api” Balasku.
Sang dalang demit itu terlihat murka dengan serangan kami , ia mengambil kembali wayang kulit berwujud kurawa yang tergeletak dan membangkitkanya lagi.
“Percuma… sebanyak apapun ilmu yang kalian punya, aku bisa memanggil mereka lagi dengan nyawa dari setiap manusia yang pernah ditumbalkan kepadaku” Ucapnya dengan wajah yang meremehkan kami.
Bimo terlihat cukup panik mengetahui tentang itu, Sepertinya Bimo masih kewalahan menngendalikan Geni Baraloka.

Dalang demit itu kembali melangkah untuk mengambil wayang kulit hitam miliknya untuk dibangkitkan kembali. Namun sepertinya wajah bingung terlihat di wajahnya.
Ia tidak dapat menemukan wayang miliknya.

“Panjul! Aku entuk telu!” (Panjul aku dapet tiga)

“Aku dong entuk limo” (Aku donk dapet lima)
Tedengar suara kedua bocah itu dari arah jauh di belakang kami. Terlihat pula kliwon si monyet kecil milik panjut menyeret wayang kulit yang sebelumnya berwujud wanara menuju kedua bocah itu.

“Heh demit ! Kamu nyariin ini kan?” Ucap Panjul dengan sombong.
Di tengah-tengah kedua bocah itu sudah menumpuk boneka wayang kulit hitam yang sebelumnya berwujud demit.
Aku tertawa! Rupanya Danan dan Panjul mengambil kesempatan untuk mengumpulkan wayang milik demit itu.
Tetapi aku tetap heran mengapa kedua bocah itu tidak terpengaruh dari kekuatan hitam yang dulu mencoba merasukiku saat memegang wayang itu.
Panjul mengeluarkan sebuah benda dari sakunya.
Itu adalah korek api tua dengan ukiran kuno, aku tahu.. korek itu adalah salah satu pusaka yang diwariskan kepada kami.
“Panjul! Korek itu?!” Tanya Bimo.
“Maaf paklek, Bulek yang nyuruh Cahyo bawa korek ini waktu ke meriksa ke pabrik gula..
nanti Cahyo balikin pas sampe rumah” Ucapnya sambil menyalakan korek itu dan membakar seluruh boneka wayang kulit milik dalang itu.

Api dari korek pusaka itu mampu menahan kekuatan hitam dari benda itu dan menghanguskanya hingga tak bersisa.
Wajah penuh marah muncul dari dalang itu.
“Kalian tau berapa banyak kulit manusia yang kugunakan untuk membuat wayang itu!” ucapnya geram.
Seketika ia mengeluarkan dua buah benda yang tidak biasa.
Wayang berwujud naga jawa seperti yang kami lihat sebelumnya dan satu lagi wayang kurawa yang sepertinya merupakan ras buto.
“Kalau kalian suka dengan mainanku, harusnya kalian juga suka dengan ini!” Ucap Dalang itu sembari melemparkan wayang kulit berbentuk kurawa itu ke arah Danan dan Panjul.
Mereka seperti bersiap menerima benda itu, namun tepat sebelum mencapai tanah wayang itu berubah menjadi raksasa besar yang menghempaskan kedua bocah itu.
“Panjul! Danan!” Teriak Bimo yang khawatir dengan keadaan mereka.
“Brengsek!” Ucapku yang segera menerjang dalang demit itu namun wayang satunya yang berwujud naga hitam mengibaskan ekornya dan membuatku terpental.
Sebelum sempat menolong kedua bocah itu, demit berwujud kurawa menahan Bimo bersamaan dengan dalang demit yang sudah menggenggam kerisnya untuk menyerang kami.
Aku tidak bisa fokus melawan makhluk-makhluk ini sementara demit buto tadi menghancurkan sisi bukit batu tempat Danan dan cahyo berada tadi.
Entah, aku harus berbuat apa antara harus menolong Danan dan Panjul atau bertarung dengan demit ini.
Apalagi kami sama sekali tidak bisa meremehkan Naga yang muncul dari wayang miliknya, wayang ini sangat berbeda dengan demit-demit keroco tadi. Wayang ini dibuat material yang berbeda sama seperti wayang kurawa buto yang mencelakai Danan dan Panjul.
Api hitam dari naga jawa itu bahkan bisa menghapuskan Geni Baraloka milik Bimo sedangkan pikiranku terbagi dengan kekhawatiran akan Danan dan Panjul yang jatuh ke jurang itu.
“Mas Bisma… kita titipkan kedua anak itu pada perlindungan Gusti yang maha kuasa, fokuslah pada pertarungan ini” Ucap Bimo
Ucapan Bimo benar, tepat setelah kata-katanya suara dentuman terdengar dari bawah jurang. Itu menandakan demit buto itu masih melancarkan serangan yang berarti Danan dan Panjul masih hidup.
Aku sedikit tenang namun tetap saja pikir
anku masih terbagi pasti begitu juga dengan Bimo.

Dalang demit itu menyerangku dengan keris hitamnya persis yang digunakan oleh Ki Jaruk sementara demit kurawa membantunya hingga membuatku terpojok.

Tidak bisa..
Ini terlalu sulit bila harus melawan mereka tanpa Keris Ragasukma di tanganku.

Beberapa kali aku terpental dengan serangan mereka, beruntung aku masih memilik ajian pelindung yang bisa meminimalisir lukaku.
Cukup lama pertarungan sengit ini berlangsung hingga aku mulai kehabisan tenaga.
Yang lebih mengerikan lagi, apabila ini tidak selesai saat matahari terbit Roh warga desa akan kembali ke tempat ini.
Di tengah rasa khawatirku tiba tiba terdengar suara raksasa yang melangkah menghampiri kami.

Tunggu… Demit buto itu kembali ke tempat ini? Berarti Danan dan Panjul?

***
(Sudut pandang Danan)

Kemunculan raksasa dari wayang dalang demit itu membuatku dan Cahyo terjatuh ke sebuah jurang dangkal di pinggir bukit.

Sopo kowe?

Samar-samar terdengar suara seperti tadi aku datang ke tempat ini, ternyata suara itu berasal dari dalam bukit batu ini.
“Si.. siapa itu?” teriaku mencoba mencari tahu siapa pemilik suara itu.

Kowe sing ngrusak panggonanku? (Kamu yang merusak tempat tinggalku)

“Bukan! Dalang demit karo anak buahe kuwi sing ngrusak” (Bukan! Dalang demit sama anak buahnya yang merusak) Jawabku.
Tepat setelah aku berteriak, langkah kaki besar menyapu pohon-pohon sekitarku seolah memang mengincar kami.

“Danan Lari!! “ Teriak panjul yang sepertinya menjadi sasaran utama makhluk itu.

Aku bersembunyi di balik pepohonan sebelum memutuskan apa yang terjadi.
kenopo keris kuwi iso ono ning kowe? (Kenapa keris itu bisa ada sama kamu?)

Keris?Apa maksud makhluk itu adalah Keris Ragasukma yang ada di dalam sukmaku?

“I—ini pusaka warisan bapak, darimana kamu tahu benda ini?” Tanyaku penasaran.

Hahahaha… aku kenal pemilik keris itu
“Eh.. M-mbah kenal sama bapak?” tanyaku dengan polos

"Mbah?"

“Kalau kenalanya bapak berarti aku manggilnya mbah kan?”

"I--Iyo, manggil mbah yo rapopo."
Belum sempat melanjutkan pembicaraan lagi tiba-tiba hutan yang berada di sebelahku menjadi porak poranda oleh demit raksasa itu.

Aku khawatir dengan keadaan Panjul namun saat makhluk itu menemukan keberadaanku ia segera berlari dan mengayunkan pukulanya kepadaku.
Aku tak mampu menghindar dari serangan sebesar itu dan hanya dapat meringkuk pasrah atas hasil dari seranganya.

Namun hingga beberapa saat, tak ada satupun serangan yang mengenai tubuhku. Ternyata saat aku membuka mata muncul sesosok makhluk raksasa yang berdiri dihadapanku.
“Pemilik keris itu sebelumnya bukan pengecut , pertarungan denganya bahkan tidak bisa kulupakan sampai sekarang” Ucap raksasa itu.

Suara dari makhluk itu persis seperti suara yang muncul di pikiranku tadi.

“M-mbah….” Ucapku yang tak tahu harus berkata apa.
“Aku Buto Lireng , raksasa penguasa bukit batu ini!” Ucapnya seolah menyatakan keberadaanya.

“Jadi makhluk ini yang merusak wilayah kekuasaanku?”

Aku mengangguk , namun aku penasaran bagaimana bapak bisa mengenal makhluk ini.
Sebuah pukulan keras dari Buto Lireng menghempaskan Demit wayang buto yang dipanggil oleh dalang demit itu.

“Hebat! Mbah keren .. mirip kayak Prabu Dasamuka di cerita Ramayana!” Ucapku yang takjub dengan kekuatan raksasa itu.
“Heh! Prabu Dasamuka? Maksud kamu Rahwana? “ Ucap raksasa itu.

“Iya mbah.. aku baru tahu ada Buto yang suka cerita wayang” Jawabku.
“Hahaha… bocah kecil, aku berada dari jaman yang di ceritakan di pewayangan.. tak masalah kamu menyamakanku dengan Rahwana. Cinta sejatinya pada Sinta memang pantas dihormati” Ucapnya.
Ini hal yang aneh, aku berada diantara pertempuran antar kedua raksasa namun perbincanganku dengan Buto Lireng membuatku tidak merasakan takut sama sekali.
“Kau tahu seranganku barusan? Ayahmu dapat menahan dengan ajian miliknya dan mengembalikan tenagaku hingga berlipat-lipat” Ceritanya.

“Bapak Sehebat itu?” tanyaku.
“Lebih hebat! Aku kalah dan berjanji untuk tidak mengganggu manusia lagi.. tapi aku selalu merindukan waktu untuk bertarung denganya ”Jelasnya.

Seketika aku membayangkan pertarungan hebat antara bapak dan Buto Lireng sang penguasa bukit batu ini.
Demit wayang buto itu kembali menyerang, namun Buto Lireng dengan mudah menahanya dan menyerang dengan bertubi-tubi.

“Danan! Sopo kuwi! Keren!” Ucap Cahyo yang tiba-tiba muncul di tengah pertempuran ini.

“Iki Mbah Buto Lireng, Koncone bapak! “ Jawabku.
Buto Lireng menoleh pada cahyo yang kembali dari persembunyianya bersama kliwon.

“Keren? Kalian belum lihat serangan ini!”

Seketika Buto Lireng mengayunkan lenganya berkali kali hingga telapaknya berubah menjadi batu.
Iya melompat setinggi-tingginya dan menghujamkan pukulan sekeras-kerasnya ke demit wayang buto itu hingga tidak berdaya dan kembali menjadi wayang kulit.

Seketika kliwon berlari mengambil wayang itu sementara Cahyo menyalakan api dari korek pusaka dan membakarnya.
“Matur suwun yo mbah!” Teriaku pada sosok besar penjaga bukit batu itu.

“Wis.. reneo, tak gowo munggah.. aku meh ngeliat piye bapakmu saiki?” (Sudah.. kesini, tak bawa ke atas, aku mau melihat bagaimana ayahmu sekarang) Ucapnya sambil mengajak kami berdua menaiki lenganya.
Dengan mudah kami menaiki jurang kecil ini hingga melihat kondisi di puncak bukit batu ini. hingga pemandangan yang mengenasan terlihat di hadapan kami.
Bapak dan Paklek kewalahan menghadapi sosok naga dengan mahkota di kepalanya yang mampu menyaingi api milik paklek dan Bapak harus menghadapi Dalang itu dengan tangan kosong.
“Mas Bisma! I—itu! Buto Lireng!”
Ucap Paklek yang panik dengan kedatangan Buto Lireng dihadapan mereka.
Mereka terlihat semakin panik, namun saat melihat kami berdua ada di bahunya bapak segera mundur mengambil jarak.
“Buto Lireng.. untuk apa kamu kemari!” Ucap Bapak yang seperti sudah biasa berbicara dengan makhluk ini.

“Menyaksikan kematianmu…” Jawab Buto Lireng

***
(sudut pandang Bisma… )
Sosok raksasa mendekat dari belakang kami. Tepat dari arah jurang tempat Danan dan Panjul tadi terjatuh.

Tunggu… Demit buto itu kembali ke tempat ini? Berarti Danan dan Panjul?
Aku menjaga jarak dan memutuskan untuk memeriksa ke jurang , namun raksasa yang muncul itu ternyata bukan demit wayang anak buah dalang itu.

“Mas Bisma, itu Buto Lireng!” Ucap Paklek yang panik dengan kedatangan Buto Lireng dihadapan mereka.
Apalagi ini? Setelah dalang demit kini Buto Lireng musuhku terdahulu datang menghampiri kami!

Tapi sebelum aku semakin panik, aku meliihat Danan dan Cahyo muncul dari Punggung Buto Lireng.

A-aku benar-benar tidak mengerti dengan semua ini.
“Buto Lireng.. untuk apa kamu kemari!” Ucap Bapak yang seperti sudah biasa berbicara dengan makhluk ini.

“Menyaksikan kematianmu…” Jawab Buto Lireng sambil menatapku.
“Mbah.. ojo galak-galak to! Bapak udah babak belur itu” Ucap Danan yang entah kenapa bisa akrab dengan Buto Lireng.

“Lho.. kalau Rahwana kan ngomonge yo koyo ngono kuwi. Keren to?” (Lho kalau Rahwana ngomongya ya seperti itu.. keren kan?) Ucap Buto Lireng.
Aku yang sebelumnya merasa heran kini seperti mengerti sesuatu.

Rupanya Buto Lireng ini memiliki sifat tersembunyi.. dibalik sifatnya yang buas dan penampilanya yang mengerikan dia ternyata dekat dengan anak kecil.
“Pendekar Bisma.. kau tidak bertarung seperti dulu! Apa yang membuatmu khawatir? Jangan bilang kamu menjadi lemah tanpa Keris pusakamu?” Ucap Buto Lireng.
“Enak saya kau bicara! Aku hanya belum memutuskan bagaimana menyelesaikan pertarungan ini setelah menghabisi Ki Jaruk Ayah dari makhluk itu” Jelasku.

“Apa maksudmu?! Ki Jaruk belum mati! Dia ada di hadapanmu!” Ucap Buto Lireng.

Tu—tunggu? Apa maksud Buto Lireng?
“Brengsek kau Buto Lireng! Apa maumu ikut campur urusanku!” Ucap Dalang demit itu yang panik dengan kehadiran Buto Lireng.
“Apa Urusanku? Kamu yang menghancurkan bukit kekuasaanku! Membuatnya jadi sarang demit-demitmu! Sudah bagus bukan aku yang menghabisimu!” Balas Buto Lireng.

Aku dan Bimo mundur ke arah Buto Lireng dan mengatur pernafasan kami.
“Mas, ini kekuatan terakhir Keris Sukmageni, aku tidak bisa menggunakanya kembali sampai benar-benar pulih”
Ucap Bimo yang segera meneteskan darahnya di keris andalanya itu dan memulihkan kondisi kami berdua.
“Kedua bocah ini dalam perlindunganku! Berikan tontonan menarik padaku” Ucap Buto Lireng.

Aku tertawa.. aku sama sekali tidak pernah menyangka musuh besarku saat dulu kini membantuku di pertempuran ini.

“Matur suwun, Terima kasih Buto Lireng, aku berhutang satu”
Berkat Buto Lireng aku sadar. Rupanya yang sedari tadi kuhadapi bukanlah anak dari Ki Jaruk. Dia adalah Ki Jaruk sendiri yang tubuhnya sudah mati dan kini rohnya berubah menjadi demit .
Dengan wujud rohnya ini dia bisa membuat penampilanya menjadi lebih muda.
Aku benar-benar tertipu dengan strategi drama bodoh Ki Jaruk ini.

“Tidak akan ada bedanya! Bila raksasa sialan itu tidak ikut campur… kalian tetap akan mati di tanganku!” Ucapnya yang segera memerintahkan wayang kurawanya untuk menyerangku.

“Danan.. perhatikan ini!”
Aku membentuk sebuah kepalan tangan dan membacakanya doa dan mantra yang baru saja kupelajari.

“ini adalah ajian yang digunakan pendekar jaman kerajaan terdahulu”
Tepat saat wayang kurawa itu mendekat, aku menghujamkan sebuah pukulan jarak jauh yang sudah diiperkuat dengan kuasa pemberian Sang Pencipta.

Seketika demit kurawa itu terhempas dan kembali menjadi sesosok wayang.
“ itu adalah Ajian Lebur Saketi… Ingat itu Danan!” Ucapku yang segera menyusul Ki Jaruk dan bersiap menghadapinya satu lawan satu.

“Keren! Bapakmu keren! “ Ucap Cahyo yang terkesima dengan seranganku. Terlihat kera kecil di pundaknya juga melompat kegirangan.
“Bapakmu memang pantas menjadi lawanku..” Ucap Buto Lireng pada Danan yang masih dengan wajah terkesimanya.

“Kalau ini namanya Jurus pamungkas Bimo pendekar sambara pembakar angkara Geni Baraloka!” Ucap Bimo yang sepertinya tidak mau kalah dengan atraksiku.
Ia menggunakan sisa kekuatanya untuk menyalakan lagi api yang kunamai sebagai Geni Baraloka itu untuk menyaingi Api Hitam demit berwujud Naga itu.
“Wis Paklek… ora usah melu-melu, diguyu karo kliwon” (sudah paklek, nggak usah ikut-ikut.. diketawain sama kliwon tuh) Ucap Panjul yang mencoba meledek pakleknya itu.
“Uasem kowe .. awas mengko mulih deso siap-siap jalan kaki” (Asem kami.. awas nanti pulang ke desa siap-siap jalan kaki) Bimo balas menggoda panjul.
Di tengah pertarungan ini aku bersyukur bahwa dalam keadaan mencekam seperti ini Danan berada bersama orang-orang maksudku makhluk-makhluk baik yang melindunginya. Mungkin Inilah pelengkap dari takdir besarnya.
Ia tidak hanya harus menghadapi banyak bahaya, tapi ia juga akan ditemani orang-orang dan makhluk yang akan mewarnai hidupnya.
Sekali lagi aku membacakan mantra di kepalan tanganku dengan sempurna. Seluruh kekuatan yang kusimpan kukerahkan dengan serangan ini.

“Itu Danan! Ajian Lebur Saketi lagi! “ Ucap Cahyo dengan penuh semangat.
Danan mengangguk , menelan ludahnya dan berusaha tidak melewatkan apapun dari pertarungan ini.

Sayangnya strategiku tidak semudah itu. aku harus membiarkan Ki Jaruk menghunuskan kerisnya pada tubuhku baru setelah itu aku menyerangya dengan ajianku ini.
Semoga saja mereka memaafkanku atas pilihanku ini.

“Pakde! Ayo serang “ Ucap Cahyo.

“Iya pak.. Tunggu apa lagi?” lanjut Danan.

Tidak, aku masih harus menunggu Ki Jaruk untuk lebih dekat.

Tepat saat Api putih Bimo membakar demit naga yang berasal dari wayang itu.
Ki Jaruk mendekat menggunaakan semua kekuatanya untuk menyelimuti keris hitamnya dengan aura gelap dan berlari menghujamkanya kepadaku.
Sebuah benda menusuk tepat di bahu kiriku, aku menggenggam lengan itu dan mengerahkan semua kekuatan Ajian lebur Saketi di tubuh roh Ki Jaruk hingga tak mampu lagi bergerak.
“Setidaknya aku tidak mati sendiri” Ucap Ki Jaruk yang tubuh rohnya telah terbelah dengan seluruh kekuatan hitam meninggalkanya.
Ki Jaruk terjatuh dengan tubuhnya yang kembali menua. Dengan posisinya yang terkapar di tanah ia hanya melihat seekor monyet kecil yang menggenggam sebuah keris.. keris hitam.

Tu—tunggu! Jangan-jangan itu keris Ki Jaruk!
Aku menoleh pada lukaku, dan ternyata yang menusuk bahuku hanyalah batang kayu pendek yang hanya menyisakan sebuah luka kecil.

“Haha!! Itu baru namanya monyet Jagoan! Kenalin namanya Kliwon!” Ucap Cahyo yang merasa bangga dengan monyet sahabatnya itu.
“Kera Brengsek!” Ki jaruk mengumpat dengan seluruh tenaganya sambil menatap monyet kecil itu.

Bukanya takut, monyet kecil itu malah mendekati ki jaruk dan mengeluarkan energi besar yang menciptakan bayangan seekor kera raksasa.
Ki Jaruk terlihat ketakutan , entah apa yang membuatnya seperti itu hingga bisa membuat ki jaruk bereaksi seperti itu.

Setelahnya kliwon meninggalkan Ki Jaruk yang tubuhnya mulai menghilang dan di pastikan ia tak akan pernah lagi muncul di alam ini.

Dummm!!
Suara keras terdengar dari pukulan Buto Lireng di tanah sekitarnya.

“Hahaha… Aku senang! Rasa bosanku hilang! Cerita ini akan menemaniku saat tertidur lagi di bukit ini” Ucap Buto Lireng dengan penuh semangat.
“Pendekar… didik anakmu dengan benar, kembalilah kemari dan bermainlah denganku ketika ia sudah sehebat dirimu”

Buto Lireng menurunkan kami dan meninggalkan kami kembali ke dalam bukit batu dibawah tempat kami bertarung.

“Matur suwun mbah! “
Teriak Danan mengantar kepergian Buto Lireng. Sosok Raksasa penguasa bukit batu, bukan.. Pelindung bukit batu di ujung desa Kandimaya.
Tepat saat kepergianya matahari mulai terbit di sela-sela pegunungan. Kami memandangnya sambil terbaring diatas bukit batu melepas semua lelah yang terjadi semenjak pertempuran tadi .
Ternyata pemandangan indah inilah yang selalu dinikmati oleh Buto Lireng setiap paginya. Pantas saja dia selalu marah saat tempat ini dirusak oleh orang-orang yang tak bertanggung jawab.

***
Setelah semua tragedi itu kami berpamitan dengan warga desa dan Ki Daru Baya setelah memastikan semua sudah kembali normal.

Entah apa yang merasuki Danan hingga ia jadi semakin sering mengajaku berlatih.
Tentu saja dengan sisa umur yang kumiliki aku mewarisakan semua yang kumiliki pada Danan baik itu secara langsung maupun dengan caraku sendiri yang semoga akan ia sadari nanti.
Bimo kembali bersama Panjul dan Kliwon ke desanya , sepertinya ia menghadapi masalah lain di bangunan pabrik gula tua di belakang desanya.

Hal baiknya, Bimo pulang dengan menaiki motor Vespa pemberian kepala desa sebagai tanda terima kasihnya.
Aku? Aku tidak mendapatkan motor vespa seperti Bimo. Sebagai gantinya Ikatan Dalang di Desa Kandimaya akan membiayai seluruh biaya sekolah Danan hingga ia kuliah. Mereka berinisiatif seperti ini karena sudah tau akan kondisi penyakitku.
Di saat-saat penyakit ini mulai menyerangku aku dan Kirana memutuskan untuk pindah di desa Kandimaya dan menghabiskan sisa hidupku disini dengan warga yang ramah dan pementasan wayang yang selalu bisa menghiburku hingga melupakan penyakitku.
Danan memang anak yang kuat. Mungkin kemampuan yang ia miliki, membuatnya merasa bahwa kematian hanya memisahkan raga dan roh. Sehingga kami masih bisa berkomunikasi. Sayangya kenyataanya lebih rumit dari itu.
Beruntung aku sempat menyaksikan Danan tumbuh remaja.

Ia sempat berbicara saat nanti selepas kepergianku Danan ingin tinggal di rumah Bu Ranti budenya di Jawa Barat untuk mengenal budaya yang ia tidak ketahui.
Bahkan ia sudah merencanakan untuk kuliah di Jogja. Entah bagaimana ia bisa sangat tertarik dengan Gunung Merapi.

Tidak hanya Danan , Kirana juga ingin kembali melatih sinden – sinden muda di sanggar Ki Daru Baya. Itu meyakinkanku bahwa ia tidak akan pernah kesepian
Ah… aku senang melihat pertumbuhan dan bagaimana ia mempersiapkan masa depanya.
Tidak ada lagi yang kusesali di hidup ini.

Aku sangat berterima kasih pada Tuhan Yang Maha Kuasa atas semua yang kualami dalam hidup.
Bisma Pendekar Sambara… Pamit.

-TAMAT-
EPILOG

Seorang pria datang seorang diri ke atas sebuah bukit batu di pinggir desa. Ia menikmati matahari yang terbit dengan indah diantara gunung yang mengitarinya.
“Maaf, kita tidak bisa bertarung lagi hari ini… ini sudah batasku” Ucap Bisma yang menghampiri Buto Lireng di atas bukit itu.

Bayangan sosok raksasa muncul mendekat ke arah pria itu.
“Sudah.. sudah cukup, setiap pertarungan kita akan selalu menjadi cerita panghantar tidurku di bukit ini” Ucap sosok raksasa itu.

“Apa aku boleh meminta sesuatu?” Ucap Bisma.

“Katakan.. “
“Apa kau mengijinkan jasadku untuk bersemayam di sini? Aku suka matahari terbit di tempat ini”

Raksasa itu menoleh dengan wajah yang kaget.
“Tentu saja, Kehormatan untuku bisa menemani jasadmu di sini, nanti aku tunjukan tempat terbaik menonton pementasan wayang di desa itu.
Tak hanya itu, setiap malam tertentu ada seekor rusa putih yang sangat cantik menghampiri bukit ini.

Ada juga sekumpulan kunang-kunang yang menerangi malam di musim kemarau.”

Entah mengapa Buto Lireng menjadi semangat setelah mendengar permintaan Bisma.
“Syukurlah… tapi sepertinya hiburanmu tidak hanya berhenti sampai di sini..

Mimpiku memperlihatkan Danan akan kembali ke sini bersama sosok leluhur kami”

Sosok raksasa itu menoleh dengan wajah yang penasaran.

“Apa yang akan mereka lakukan di sini?”
“Danan akan menghadapi hal besar , sesuatu yang berhubungan dengan tempat asal rasmu.. Jagad segoro demit”
“Kalau begitu aku akan tetap di sini untuk memastikan ia akan siap menghadapi bencana itu.. siapa yang akan bersamanya saat itu”

“Leluhur kami yang bernama.. Daryana Putra Sambara…”

***
-Selesai-
Terima kasih sudah mengikuti kisah ini hingga akhir.

Akhirnya selesai..
Cukup melellahkan juga nulis cerita ini, semoga bisa menghibur.

apabila berkenan, seperti biasa tolong tinggalkan kesan2 atas cerita ini dengan hashtag #diosetta
dan dengan tamatnya cerita ini, minggu depan saya libur upload dulu karna kerjaan juga lagi agak ribet.

buat yang mau mendukung bisa mampir ke
saweria.co/diosetta
atau ke karyakarsa ya
Mohon maaf apabila ada salah kata atau bagian cerita yang menyinggung.

tolong diambil positifnya aja dan dibuang negatifnya.

Terima kasih. Selamat bermalam minggu.

#diosetta #dalangdemitkampungwayang #tamat
Terima kasih atas kesan-kesanya di cerita ini. semua komen yang berhubungan dengan cerita ini rencananya akan saya kutip semua di halama terakhir buku versi cetaknya 😆...

semoga semua prosesnya berjalan lancar.

• • •

Missing some Tweet in this thread? You can try to force a refresh
 

Keep Current with Diosetta

Diosetta Profile picture

Stay in touch and get notified when new unrolls are available from this author!

Read all threads

This Thread may be Removed Anytime!

PDF

Twitter may remove this content at anytime! Save it as PDF for later use!

Try unrolling a thread yourself!

how to unroll video
  1. Follow @ThreadReaderApp to mention us!

  2. From a Twitter thread mention us with a keyword "unroll"
@threadreaderapp unroll

Practice here first or read more on our help page!

More from @diosetta

Dec 19
PERANG TANAH DANYANG
Part 11 - Angkarasaka

Satu manusia menantang takdirnya mendatangi Tanah Para Danyang seorang diri. Bli Waja mencari keberadaan sosok asal dari kekuatan yang ia miliki. Takdir membawanya pada pertarungan pengguna ilmu yang sama..

#bacahorror Image
Danan dan Cahyo berdiri di hadapan samudra tanpa batas. Ombak menderu kencang, seolah memekikkan kekuatan alam yang tak terbendung. Malam telah melewati puncaknya, namun bulan masih terselubung awan pekat, menyisakan kegelapan yang terasa berat.

"Kamu bilang wujud pusaka Ratu Ular itu mahkota? Tapi kamu nggak kepikiran, mahkota itu harusnya dipakai oleh siapa?" tanya Cahyo, menatap lautan.

"Ada banyak kemungkinan," jawab Danan tenang. "Salah satunya, sosok yang mewarisi kekuatan Ratu Pantai Selatan. Apalagi sekarang kita tahu, pusaka itu ada dalam perlindungannya."

"Blorong?" Cahyo bertanya dengan nada cemas.
Danan mengangguk. Kekhawatiran Cahyo bukan tanpa alasan. Sosok itu telah lama menguasai beberapa wilayah hitam di Tanah Jawa, membuat siapa pun gentar untuk berhadapan dengannya.

Tiba-tiba, suara kereta kencana terdengar mendekat. Namun, bukan dari arah daratan, melainkan dari tempat ombak bergemuruh.

"Suara ini... tidak asing," ujar Cahyo.

"Iya, suara yang sama seperti saat kita dijebak di gua oleh Bara," sahut Danan. "Kalau diingat, beliau sebenarnya sudah banyak membantu kita, meskipun secara tidak langsung."

Kereta itu berhenti tepat di tengah lautan yang mendadak tenang. Aneh, suasana berubah; mereka merasa seperti bukan lagi berada di tempat sebelumnya.

"Sudah kuduga, beliau tidak akan menemui kita langsung," kata Cahyo.

"Memang seharusnya begitu," balas Danan. "Kita, bangsa manusia, tidak seharusnya berurusan dengan mereka. Tuhan sudah memisahkan kita di alam yang berbeda untuk alasan itu."

Cahyo mengangguk setuju. Mereka pun duduk bersila dengan sopan dan memejamkan mata. Tiba-tiba, sebuah penglihatan datang menghampiri.

"Mas Danan! Mas Cahyo!"

Suara lembut Lara Sukma terdengar dari kejauhan. Ia berjalan anggun, ditemani Abdi Jinten yang setia di sisinya. Namun, Danan dan Cahyo hanya bisa membalas dengan senyuman, tetap bertahan dalam posisi meditasi.

Suasana berubah. Kini mereka berada di sebuah keraton yang seolah mengapung di atas lautan. Tempat itu dipenuhi aura sakral, dihormati oleh penghuni samudra dan bahkan oleh gelombang laut itu sendiri.

"Kau baik-baik saja di sini?" tanya Danan kepada Lara Sukma.

"Jangan khawatir, Mas. Di sinilah seharusnya tempatku berada. Lagipula, aku hanya berada dalam wujud ini selama beberapa puluh tahun. Setelah itu, aku bisa menitis menjadi ular, burung, ikan, atau apa pun," jawab Lara Sukma sambil tersenyum.

"Tolong, jangan ular!" potong Cahyo cepat.
"Tumben, kamu trauma sama ular?" sindir Danan.
"Bukan, Nan," jawab Cahyo sambil menunduk.
"Terus kenapa?"

"Takut ketemu di Magetan," bisik Cahyo, membuat Danan melotot kesal.

"Memangnya di Magetan ada apa, Mas?" tanya Lara Sukma polos.

"Nggak ada apa-apa! Pecelnya enak!" Cahyo buru-buru mengalihkan pembicaraan.

"Yang pecelnya enak itu Madiun," goda Danan.
"Berisik!" Cahyo memotong, sementara Abdi Jinten hanya tersenyum menahan tawa.

Abdi Jinten kemudian mendekati mereka berdua. Wajahnya serius, penuh kewibawaan.

"Kanjeng Ratu telah memahami maksud kalian. Namun, beliau ingin kalian mengerti sesuatu," ucapnya tenang.

"Apa itu, Abdi Jinten?" tanya Danan penasaran.

Dharrr! Dharrr!

Penglihatan mereka pecah, menampilkan sebuah keris tua yang menancap di dasar laut. Keris itu berkarat, dikelilingi aura mengerikan, menciptakan gelombang yang membawa kematian.

"I—itu... Pusaka Mayit?" Cahyo berseru.

Abdi Jinten mengangguk. Penglihatan lain muncul, menampilkan Lara Sukma bertakhta di sebuah telaga. Dari sana, pusaka-pusaka diciptakan oleh para empu yang menjalin perjanjian dengan roh alam.

"Kanjeng Ratu menyerahkan keputusan kepada kalian," ujar Abdi Jinten. "Namun, kalian harus tahu, roh leluhur Sambara telah melemah. Manjing Marcapada kembali terbentuk, dan Angkarasaka bisa dibangkitkan."

Mereka saling berpandangan, menyadari beratnya situasi.

"Kalau begitu, apa yang harus kami lakukan?" tanya Cahyo.

Abdi Jinten menjawab dengan berat, "Kalian harus siap menghadapi segalanya, meskipun harus mati atau menghancurkan kedua pusaka para danyang itu."
Danan dan Cahyo terdiam. Akhirnya, mereka mengangguk.
Danan dan Cahyo saling bertatapan. Keadaan ini berbeda dengan yang ia bayangkan.

“Apakah berarti kabar baik?” Tanya Danan.

Abdi Jinten menggeleng dan berpaling memandang penglihatan yang juga dilihat oleh Danan dan Cahyo itu.

“Jika kalian memutuskan untuk menggunakan kemampuan Pusaka Sukma dan Pusaka Mayit, akan ada tragedi besar yang melibatkan para pengagung pusaka di alam ini…”

“Kami mengerti!” Danan seketika memotong penjelasan Abdi Jinten.

“Tidak kalian harus…”

“Cukup, Abdi Jinten. Kami mengerti maksud Kanjeng Ratu.” Cahyo menyambungkan niat Danan. “Jika kami tahu apa yang akan terjadi, kami akan bimbang.”

Mendengar perkataan itu Abdi Jinten menghela nafas dan mundur. Mereka mengerti maksud Danan dan Cahyo.

“Baiklah kalau itu keputusan kalian. Terakhir, Kanjeng Ratu hanya menegaskan bahwa dirinya tidak ada di sisi manapun. Entah itu manusia, para Danyang putih, atau Danyang hitam. Jangan pernah berharap apapun dari beliau.”

“Tenang, Abdi Jinten. Kami tahu kepada siapa kami harus menggantungkan doa dan harapan kami.” Jawab Danan tegas.

Seketika penglihatan itu menghilang. Tak ada lagi yang hendak disampaikan oleh Abdi Jinten. Ia hanya tersenyum bersama pudarnya penglihatan keraton, lara sukma, dan para penjaga laut yang mulai mendekat masuk. Saat penglihatan itu memudar, suara ombak kembali terdengar.

Danan dan Cahyo pun membuka mata dan mereka masih tetap berada di tempatnya semula di hadapan deru samudra laut selatan. Kali ini rembulan tak lagi tertutup awan, cahayanya terpantulkan pada sesuatu yang berada di pantai terbawa ombak.

Mereka pun berdiri dari posisinya dan mengenali benda berbentuk mahkota yang sebagian sisinya sudah membatu.

"Jadi ini benda yang membuat ricuh para danyang?" tanya Cahyo dengan suara bergetar, matanya terpaku pada mahkota tua yang tergeletak di pasir. Bentuknya anggun namun menyeramkan; sebagian sisinya telah membatu, memancarkan aura dingin yang menusuk kulit.

"Ya," jawab Danan pelan, nadanya berat. "Kita harus menyegelnya bersama Manjing Marcapada yang baru saja bangkit kembali. Ini tugas yang leluhurku gagal selesaikan."

Danan perlahan menunduk, tangannya meraih mahkota itu. Saat jarinya menyentuh permukaannya, sebuah getaran kuat menyambar, menghantam tubuh mereka seperti arus listrik tak kasatmata.

Deg!

Seketika, hawa dingin menyelimuti. Bukan hanya dingin biasa—ini dingin yang menggerogoti jiwa, membuat jantung mereka berdegup kencang. Cahyo menelan ludah, tubuhnya gemetar tanpa ia sadari.

"Ini... ini yang dimaksud oleh Mbah Purnomo?" tanyanya, mencoba memastikan.

"Ya," jawab Danan singkat, matanya terpaku pada mahkota di tangannya. "Dengan ini, seluruh danyang hitam di Tanah Jawa akan mengincar kita."

Hawa berat semakin terasa. Angin yang tadinya tenang mendadak bertiup kencang, membawa bisikan-bisikan asing yang menggema di telinga mereka. Cahyo menoleh ke sekeliling, bayangan hitam seperti kabut mulai merayap di tepi pantai.
Read 16 tweets
Dec 12
PERANG TANAH DANYANG
Part 10 - Tanah Perjanjian

Sosok-sosok danyang misterius mulai bermunculan. Entah kawan atau lawan... Image
Fajar baru saja menyapa, tapi sinar matahari masih malu-malu menyusup di balik kabut pagi. Suara ayam berkokok bersahutan, menjadi latar saat Dirga dan Guntur berdiri di depan rumah. Tas besar menggantung di punggung mereka, menyiratkan tekad yang tak tergoyahkan.

“Kalian tidak harus pergi dari desa ini…” Suara berat Abah mencoba menahan langkah mereka.

“Abah, ini satu-satunya cara,” jawab Dirga dengan mata tajam. “Setan nenek itu dan makhluk berwujud singa tak akan berhenti mengejar. Jika kami tetap di sini, desa ini akan hancur.”

“Dirga benar, Abah. Kami akan lebih aman bersama Nyai Jambrong,” tambah Guntur.

Abah terdiam, menghela napas panjang. Mata tuanya menatap anak-anaknya dengan perasaan bercampur aduk. Ia tahu, keputusan ini tidak diambil sembarangan.

“Kalau begitu, Abah tidak melarang. Tapi bawa ini.” Abah menyerahkan telepon genggam tua milik Emak. “Sering-sering kabari kami.”

“Iya, Abah. Dirga janji,” balas Dirga.

Tak lama, Emak muncul tergesa-gesa dari dalam rumah, membawa kantong plastik penuh bekal. “Ini nasi buat kalian. Jangan sampai ngerepotin Nyai Jambrong, ya!” katanya dengan suara bergetar.

“Iya, Emak. Terima kasih. Dirga pamit.”
“Guntur juga pamit, Mak.”

Mereka mencium tangan Abah dan Emak sebelum melangkah menuju terminal. Di sepanjang jalan, perasaan mencekam tak kunjung pergi. Hati mereka terusik oleh bayangan kegelapan yang seolah mengikuti setiap langkah.

Beberapa hari sebelumnya, mereka telah menyelamatkan Hisna dari gubuk terkutuk dan menitipkannya pada keluarga terpercaya.

Namun kabar yang datang kemudian membuat bulu kuduk meremang: Pakde Hisna, yang diduga pelaku ritual itu, ditemukan tewas mengenaskan dengan tubuh terkoyak seperti dicakar makhluk buas.

“Itu pasti makhluk berwujud singa atau harimau itu,” gumam Dirga saat mendengar kabar dari Hisna di telepon.

“Tapi kenapa makhluk itu justru membunuh Pakdenya, yang jelas-jelas melakukan ritual?” tanya Guntur, bingung.

Dirga menggeleng. Jawaban tak pernah jelas. Hanya satu yang pasti: mereka harus segera menemui Nyai Jambrong.

***
Read 12 tweets
Dec 6
PERANG TANAH DANYANG
Part 9 - Roro Mayit

Dosa itu terjadi antara Dananjaya Sambara, dan sosok Danyang yang bermain-main dengan nyawa...

#bacahorror @IDN_Horor @bagihorror Image
( Sudut pandang Danan…)
Perasaan yang aneh dan menggugah muncul di benakku, seperti bisikan lembut yang mengusik kesadaranku. Ingatanku perlahan kembali, dan jantungku terasa tertusuk tajam saat mengingat apa yang terjadi ketika aku kembali ke alam manusia.

Setiap detik yang berlalu terasa seperti beban yang menekan dadaku, mengingatkan akan dosa yang tak termaafkan.
...

Ketika mataku terbuka, bukan Nyi Sendang Rangu yang kulihat di sampingku, melainkan sosok perempuan cantik yang begitu anggun dan menawan. Kebaya hitamnya membalut tubuhnya dengan sempurna, menonjolkan lekuk tubuhnya yang memikat.

Ia berbaring di atasku, membuatku terperangkap dalam pesonanya. Kulitnya sehalus sutra, dan setiap gerakannya memancarkan keanggunan yang memabukkan.

“... Kau sudah bangun rupanya?” Suaranya lembut dan menenangkan, namun tubuhku masih belum sepenuhnya bisa bergerak. Suara itu menyusup ke dalam pikiranku, menenangkan sekaligus membangkitkan rasa takut yang samar.

“..Si—siapa ka..” Aku berusaha berbicara, namun kata-kataku terhenti oleh sentuhan lembut jarinya.

“Sssttt…” Jari lentiknya menahan bibirku, membuatku terdiam.

Wajahnya begitu dekat, aroma melati yang menyengat menguar dari tubuhnya, membius kesadaranku. Matanya menatap dalam ke mataku, seolah menelanjangiku hingga membuatku tak berdaya di hadapannya.

“Darah yang mengalir di tubuhmu memikatku. Aku benar-benar tak mampu menahannya...”
Sebuah kecupan lembut menyentuh bibirku, dan telapak tangannya membelai rambutku dengan penuh kelembutan. Sentuhannya seperti kejutan listrik yang menjalar ke seluruh tubuhku, membuatku terhanyut dalam gairah yang ia ciptakan.

Saat itu, pikiranku kosong, dan aku terhanyut dalam pesonanya, tak mampu melawan daya tariknya yang memabukkan.
...

“Tidak! Tidak mungkin! Aku tidak mungkin melakukan perbuatan itu?!” Aku terperangah, tak percaya dengan ingatan yang kembali menghantuiku. Setiap kenangan terasa seperti belati yang menusuk hatiku, mengingatkan akan pengkhianatan yang telah kulakukan.

Sosok itu mendekat, wajahnya cemberut seperti seorang kekasih yang merajuk. “Mas jahat!” katanya dengan nada manja, namun senyumnya yang licik tak bisa kusembunyikan dari pandanganku.

“Bukankah kita sudah menyatu? Aku milikmu, Mas!” Suaranya menggoda, namun di balik itu ada ancaman halus yang membuatku merinding.

Aku terjatuh berlutut di tanah, suara gamelan di sekitarku berubah menjadi sendu, seolah menegaskan dosa yang telah kulakukan. Setiap denting gamelan seperti mengiringi penyesalanku, menambah beban di hatiku.

Bayangan Naya muncul di benakku, sosok wanita yang begitu polos dan penuh kasih, yang telah kukhianati. “Naya... maafin, Mas...” Air mataku mulai menetes, menandai penyesalan yang mendalam. Setiap tetes air mata adalah pengakuan atas kesalahan yang tak termaafkan.

Perempuan itu berjongkok, mengangkat daguku dengan lembut. “Sebaiknya kita terima saja takdir kita...” Bisiknya, mendekatkan bibirnya padaku, bersiap menciumku yang masih terperangkap dalam rasa bersalah dan penyesalan. Bibirnya hampir menyentuh bibirku, namun hatiku berteriak menolak, terbelah antara hasrat dan dosa yang menghantui.

“Treng teng!! Teng!!! Teng!!!”

Suara bising tiba-tiba memecah kesunyian gending yang mengalun dari hutan-hutan di sekelilingku. Awalnya, aku hampir mengabaikannya, namun suara itu semakin mendekat, diiringi teriakan dan sebuah helm yang melayang ke arahku.

“Jangan dekat-dekat Danan! Dia sudah punya pacar!”
Suara itu sangat familiar.

Dhuakkk!!Helm itu menghantam wajahku tepat saat aku menoleh ke arah sumber suara.

“CAHYO?!” Aku berteriak, bingung sekaligus kesal dengan kemunculannya yang tiba-tiba dan perbuatannya melempar helm padaku.

“Eh! Ma—maaf, Nan! Niatnya mau ngelempar ke setan genit itu!” sahut Cahyo sambil buru-buru memarkirkan motor Vespa tuanya yang suaranya mengalahkan gamelan gaib di hutan itu.

Aku berdiri dengan bantuan Danan, sementara Cahyo menunjuk perempuan di hadapanku dengan wajah kesal.

“Roro Mayit! Umurmu sudah ratusan tahun lebih! Seleramu masih berondong? Malu kau sama Nyai Jambrong!” teriak Cahyo.

“Kamu ngancem apa lagi pantun, Jul?” bisikku.
“Lha nggak tahu, nyambung gitu aja...” jawab Cahyo asal.

Ternyata benar, sosok perempuan itu adalah Roro Mayit. Cahyo menjelaskan bahwa ia mengetahui keberadaanku dan tentang Roro Mayit dari Mbok Sar.

“Mas Danan…” Suara Roro Mayit kembali terdengar manja, wajahnya tampak cemas setelah kedatangan Cahyo.

“Heh! Heh! Nggak usah sok manja!” Cahyo menanggapi dengan ketidaksukaan yang jelas.
“Berisik! Kau pengganggu!” balas Roro Mayit. Entah mengapa, wujud dan tingkah Roro Mayit semakin mendekati sosok yang membuatku nyaman.

“Jul... telah terjadi sesuatu antara...” aku mencoba menjelaskan.

“Aku tidak suka ada pengganggu! Aku pergi saja!” Roro Mayit tiba-tiba melayang menjauh dari kami.

Anehnya, dia tidak melakukan apapun. Tak ada kutukan, tak ada serangan. Aku masih merasakan betapa mengerikan sesuatu yang berasal dari dalam dirinya, namun dia benar-benar tidak menyerang kami.

Yang ia tinggalkan hanyalah... rasa bersalah.

***
Read 10 tweets
Nov 28
PERANG TANAH DANYANG
Part 8 - Rayuan Kegelapan

Perang Tanah Para Danyang berakhir dengan tragis. Empat manusia yang berjuang untuk keseimbangan kini tidak lagi bernyawa...

#bacahorror Image
Hujan mengguyur deras, disertai angin kencang yang menerbangkan dedaunan dan menghantam pepohonan. Kilat menyambar tanpa henti, menerangi kegelapan malam dengan cahaya yang menakutkan.

Di tengah badai ini, pasukan Cakra Manunggal berdiri tegak di atas reruntuhan istana salah satu kerajaan sekutu Tunggul Giri yang telah mereka tundukkan.

Prabu Ramajaya, dengan pakaian perangnya yang penuh noda darah dan lumpur, berdiri di depan rakyat yang ketakutan, suaranya menggema melawan gemuruh badai.

“Mulai saat ini, seluruh rakyat di kerajaan ini berada dalam perlindungan Kerajaan Indrajaya!” serunya tegas.

Para warga yang sebelumnya gemetar karena ketakutan mulai merasakan sedikit ketenangan. Nyawa mereka telah terselamatkan dari ritual penumbalan massal yang diinisiasi oleh raja mereka sendiri, yang kini telah tewas di tangan pasukan Indrajaya.

Sementara itu, Abimanyu berdiri di sisi Prabu Ramajaya, mengamati badai yang kian menggila. Petir menyambar hanya beberapa meter dari mereka, membuat suasana semakin mencekam.

“Kerajaan Tunggul Giri dan tiga kerajaan lainnya telah kita kuasai,” ujar Abimanyu, suaranya dingin namun penuh tekad. “Hanya ini yang bisa kita lakukan dalam peran kita sebagai manusia.”

Prabu Ramajaya menoleh dengan pandangan yang penuh keraguan. “Apa saatnya kita menyusul Ayah dan Baswara?” tanyanya, mengacu pada pasukan lain yang bertempur di wilayah berbeda.

Abimanyu menggelengkan kepala, rahangnya mengeras. “Kau baru saja memberikan pernyataan pada rakyat-rakyat itu,” ucapnya tajam, “dan sekarang kau berencana meninggalkan mereka?”

Ramajaya tersentak oleh teguran itu, namun kegelisahan di dalam hatinya terus bergolak. “Aku hanya merasa harus melakukan segala cara untuk menghentikan bencana ini,” jawabnya dengan nada penuh keputusasaan. “Bahkan jika nyawaku harus menjadi taruhannya.”

Abimanyu melangkah maju, menatap kakaknya dengan tatapan tajam yang penuh amarah dan tekad. “Jangan sombong, Ramajaya!” suaranya memotong derasnya hujan. “Tidak semua masalah harus kau tuntaskan sendiri. Ada saatnya kita menunggu.

Percayalah pada mereka yang tengah berjuang, dan pada takdir Sang Pencipta!”
Perkataan itu menghantam Prabu Ramajaya seperti guntur di dadanya. Ia menunduk sejenak, menggenggam gagang pedangnya yang dingin. Ia tahu Abimanyu benar, namun hatinya masih gelisah.

Di kejauhan, suara genderang perang masih terdengar, tanda bahwa pertempuran di Tanah Danyang belum usai. Namun untuk saat ini, Prabu Ramajaya memutuskan untuk bertahan bersama rakyat yang ia lindungi, berusaha memberi mereka harapan di tengah bencana yang mencekam.

Dengan tatapan yang lebih tenang namun tetap penuh tekad, ia memandang badai yang terus mengamuk di langit.

“Kami serahkan sisanya padamu, Ayah…” gumamnya pelan, seakan berdoa kepada mereka yang masih bertempur dan kepada Sang Pencipta, memohon kekuatan untuk melindungi orang-orang yang ia kasihi.

***
Read 14 tweets
Nov 21
PERANG TANAH DANYANG
Part 7 - Perang Pertama

Tiga zaman bersatu dalam peperangan makhluk dari alam yang tak kasat mata. Nyawa Manusia adalah amunisisnya..

#bacahorror @ceritaht @IDN_Horor @bacahorror Image
Suara derap kuda terdengar memecah keheningan malam, mendekati barak prajurit dengan cepat. Para penunggangnya turun tergesa-gesa, wajah-wajah mereka penuh ketegangan. Mereka langsung menuju tenda besar di tengah barak, tempat raja berada.

"Berhenti! Raja ada di dalam!" seorang penjaga menahan mereka dengan tangannya terentang.

"Kami harus bertemu yang mulia! Ini keadaan darurat!" Pemimpin mereka bersikeras.

Penjaga itu memerhatikan mereka sejenak, mengenali lencana-lencana khas yang menghiasi seragam mereka. Pasukan elit Cakra Manunggal, yang langsung di bawah komando Prabu Ramawijaya.

"Baiklah, tunggu sebentar…" ujar sang penjaga sambil memasuki tenda.

Ramawijaya telah menduduki tahta dan membangun kerajaan Darmawijaya sebagai kerajaan dengan pertahanan militer yang kokoh.

Mereka mampu menggetarkan kerajaan besar di sekitarnya, namun bukan itu tujuan utamanya. Perang para danyang semakin dekat, dan bertahun-tahun lamanya, bencana semakin melanda.

Tak lama kemudian, mereka diizinkan masuk. Di dalam tenda, Prabu Ramawijaya dan para patihnya tampak berkumpul, membahas sesuatu yang tampaknya mendesak.

Pemimpin pasukan itu melangkah maju dan berkata tegas, "Yang mulia, kabar ini harus disampaikan segera."

Prabu Ramawijaya menatapnya tajam. "Panglima Cakra, aku mengenalmu terlalu baik untuk tahu bahwa kau tak akan menggangguku tanpa alasan. Katakan."

Dengan satu langkah cepat, Panglima Cakra mendekat dan tiba-tiba mencabut pedangnya. Patih-patih lain sontak bereaksi, namun terlambat. Pedang Cakra menembus dada Patih Renggana.

"Cakra! Apa yang kau lakukan?!" Patih Raksawira menghunus pedangnya, mengarahkannya tepat ke leher Panglima Cakra.

Namun Panglima Cakra tak bergeming. "Aku tak akan bicara sampai pengkhianat ini tak lagi bernyawa," katanya dingin, sementara para penjaga dipanggil untuk menyelamatkan Patih Renggana yang sekarat.

Patih Raksawira tak bisa menahan amarahnya dan mengangkat pedang untuk menebas leher Panglima Cakra. Tapi tiba-tiba, suara berat terdengar dari arah pintu.

"Tahan, Raksawira!"

Semua mata tertuju pada seorang pria dengan pakaian lusuh dan tubuh penuh debu yang baru saja memasuki tenda. Walau penampilannya sederhana, auranya membuat para patih berhenti seketika.

"Abimanyu?! Cakra telah mencoba membunuh Patih Renggana! Kita tak bisa membiarkannya begitu saja!" seru Raksawira, mengarahkan ujung pedangnya ke Panglima Cakra. Namun, Abimanyu hanya menatap tajam.

Seluruh patih menundukkan kepala sedikit, sadar betul siapa pria itu.

Dia adalah Abimanyu Darmawijaya, pewaris dari Prabu Arya Darmawijaya, yang berjanji mendampingi Prabu Ramawijaya untuk menjaga Kerajaan Indrajaya sejak kepergian Raja Indrajaya.

Patih Renggana menekan luka di dadanya, mencoba mempertahankan nyawanya. Setiap tarikan napas terasa seperti api yang membakar, namun ia berusaha memperpanjang hidupnya sejenak, berharap ada seseorang yang membantunya.

Srratt!

Dalam sekejap, Abimanyu sudah berada di samping Prabu Ramawijaya, dan di tangannya tergenggam kepala Patih Renggana yang sudah terpenggal dari tubuhnya. Hening menggantung di udara, seakan waktu berhenti sejenak.

Tenda itu bergetar dalam kesunyian, hingga tubuh Patih Renggana menyadari bahwa ia telah kehilangan kepalanya. Seketika, semburan darah memuncrat deras, membuat para patih mundur ngeri.

“Jadi, dia pengkhianatnya?” tanya Prabu Ramawijaya dengan suara tenang, nyaris tak terpengaruh oleh pemandangan mengerikan itu.

Abimanyu mengangguk ringan sambil duduk di sisi Prabu Ramawijaya. “Benar. Dia adalah patih di kerajaan kita, namun sekaligus Raja di kerajaan Tunggul Giri.”
Read 15 tweets
Nov 14
PERANG TANAH DANYANG
Part 6 - Tanah Para Danyang

Awal mula Perang Para Danyang di masa lalu terungkap. Takdir darah sambara terikat di masa itu

#bacahoror Image
Suara gemuruh dari puncak Mahameru menggema, menggetarkan bumi dan langit. Mahameru, yang berdiri megah di Jawa Timur sebagai paku penyeimbang Pulau Jawa, kini memuntahkan isinya.

Dharrr!!!

Batu-batu besar terlontar dari kawahnya, menghantam pepohonan di kawasan Kalimati, menciptakan kepanikan di antara mereka yang ada di sana.

"Menyingkir!" teriak seseorang, memberi isyarat pada sekelompok pasukan yang menerobos letusan dahsyat itu.

"Ini gila! Siapa yang terpikirkan untuk menerobos letusan gunung seperti ini?!" teriak Raja Indrajaya dengan napas memburu, mencoba menghindari lontaran batu panas yang jatuh dari langit.

"Siapa lagi kalau bukan Pangeran Baswara, putra andalanmu itu, yang mulia..." sahut Panglima Brasma sambil melirik ke arah Baswara yang tanpa ragu maju lebih dahulu.

Di depan, Baswara membuka jalan dengan segenap tenaga, dibantu oleh kawanan kera putih yang melompat lincah di antara lahar. Seekor kera putih menari melompat di antar pepohonan, membaca aliran energi panas yang memancar dari gunung, menghindari setiap bahaya yang muncul.

"Ayah! Dia di sana!" teriak Baswara, menunjuk ke arah pusaran api yang berkobar di antara kepulan awan panas di puncak Mahameru.

Raja Indrajaya dan Panglima Brasma menyaksikan dengan mata mereka sendiri kekacauan itu, kekuatan yang tak terkendali memutar-mutar di puncak tertinggi pulau.

"Kalian, kembali! Setelah ini urusan kami sekarang!" seru Raja Indrajaya kepada para prajurit yang mendampingi mereka.

"Ta—tapi, yang mulia! Tempat itu terlalu berbahaya! Biarkan kami ikut bersama!" pinta seorang prajurit dengan nada cemas.

"Jangan sia-siakan nyawa kalian. Ramajaya dan Kerajaan Indrajaya masih membutuhkan kalian!" Raja Indrajaya menegaskan, suaranya penuh kewibawaan.

Walaupun hati mereka berat, para prajurit itu pun memutuskan untuk mundur, meninggalkan tiga sosok yang akan melanjutkan perjalanan ke pusat bencana.

"Prajurit Indrajaya!" panggil Baswara tiba-tiba. Ia menghampiri para prajurit yang berbalik badan. Mereka menoleh, menatapnya dengan kebingungan.

“Sampaikan salamku pada Ramajaya, dan berikan ini padanya.” Baswara melepas sebuah ikatan tali dari pinggangnya dan menyerahkannya kepada salah satu prajurit.

Begitu tali itu berpindah tangan, prajurit tersebut terhenyak oleh beban kekuatan yang terkandung di dalamnya. Dengan susah payah, ia menggenggam tali itu.
Read 12 tweets

Did Thread Reader help you today?

Support us! We are indie developers!


This site is made by just two indie developers on a laptop doing marketing, support and development! Read more about the story.

Become a Premium Member ($3/month or $30/year) and get exclusive features!

Become Premium

Don't want to be a Premium member but still want to support us?

Make a small donation by buying us coffee ($5) or help with server cost ($10)

Donate via Paypal

Or Donate anonymously using crypto!

Ethereum

0xfe58350B80634f60Fa6Dc149a72b4DFbc17D341E copy

Bitcoin

3ATGMxNzCUFzxpMCHL5sWSt4DVtS8UqXpi copy

Thank you for your support!

Follow Us!

:(