Diosetta Profile picture
Oct 28, 2021 37 tweets 7 min read Read on X
AKU MENYEBUTNYA "BADUT"

Cerita dari salah satu pembaca di Twitter mengenai sosok yang ia temui saat ia kecil...

@bacahorror
@bagihorror
@qwertyping
@Wakhidnurrokhim
@ceritaht
@IDN_Horor
@chillbanana313
@RamaAtmaja_HCR
@chow_mas
@balakarsa

#diosetta Image
“'Perkenalkan , Namaku Vira anak tertua dari empat bersaudara.. eh, bukan… maksudnya dari empat bersaudari, karena ketiga adiku juga kebetulan perempuan semua.
Aku hidup sebagai perempuan biasa pada umumnya , mungkin tidak ada hal yang terlalu istimewa yang akan kalian temui padaku, Namun aku memiliki sebuah cerita yang jarang sekali kuceritakan pada orang lain.

Sebuah cerita tentang aku dan “mereka” yang mewarnai masa kecilku….’
...
Kisah pertama : Aku Menyebutnya "Badut"

“Apa? Salahku?? Kamu itu yang ga becus jadi Istri! Aku kerja mati-matian kamu perlakukan kayak begini?”
Terdengar suara bapak yang tak berhenti memaki Ibu.
Tak berhenti sampai di situ, sumpah serapah dan makian terus keluar dari mulut mereka berdua yang membuatku yang masih berumur empat tahun tidak berhenti menangis.
“Lihat si vira nangisnya malah makin kenceng bikin aku tambah pusing! Diam kamu vira! Pergi sana daripada kamu aku pukul"”

Teriak Ibu yang masih terbakar emosi.
Entah apa yang menyebabkan mereka berdua bertengkar, yang aku ingat saat itu beberapa kali pukulan dari ibu mendarat di tubuhku yang tak mau berhenti menangis saat melihat pertengkaran itu.
“Udah cukup! Ini masalah kita.. jangan bawa-bawa Vira” Ucap Bapak yang tak tega melihatku semakin menjadi pelampiasan masalah mereka.

“Berisik! Kalau aja Bocah ini gak ada, mungkin sudah jauh-jauh hari aku minta cerai sama kamu" Ucapan Ibu terdengar menyakiti perasaanku.
“Kamu hati-hati kalau ngomong! Kalau kamu mau kita berpisah, akan aku penuhi" lawan bapak pada ibu, esok harinya bapak mengajakku pergi ke rumah nenek.

Jangan tanya seperti apa perasaanku saat itu.
Seorang anak berumur empat tahun jelas masih sangat kecil untuk memahami maksud mereka dan harus menjadi pelampiasan dari pertengkaran itu.

Bapak dan ibu memang tidak tinggal bersama. Bapak bekerja merantau ke luar pulau di Medan Sumatra Utara, dan ibu di Jakarta.

Aku?
Aku tinggal bersama Neneku di kampung halamanku di Jawa Barat. Namun kali ini mereka sedang pulang kampung ke rumah, jadi aku meninggalkan rumah nenek dan tinggal bersama mereka selama mereka ada di sini.
Sayangnya, setiap mereka pulang, pertengkaran selalu terjadi diantara mereka berdua dan aku yang selalu menjadi pelampiasan atas kekesalan mereka.

Mungkin hal inilah yang membuatku jadi anak kesayangan nenek.
...
Setelah pertengkaran itu Bapak dan Ibu pergi entah kemana dan aku hanya mengurung diri di kamar sambil menangis.
Entah bagaimana aku menggambarkan perasaanku saat itu hingga aku hanya bisa menangis di rumah yang sebenarnya jarang ditinggali bila kedua orang tuaku tidak pulang.


“Ulah nangis…” (Jangan nangis)
Tiba-tiba terdengar suara dari arah kamar mandi yang tidak jauh dari kamarku tempatku berada saat ini.

Jangan berfikir kamar mandiku saat itu sebagus kamar mandi saat ini.
Saat itu keluargaku masih menggunakan sumur timba walaupun sudah menggunakan pompa air untuk mengalirkan airnya.

“Kadieu….” (Ke sini)

Suara itu terdengar lagi, seolah memang menanggapi tangisanku.
Aku yang penasaran segera melap air mataku dan mencari asal suara itu hingga menemukan sesosok makhluk tepat di tempat suara itu berasal.

Aku yang masih kecil saat itu sulit untuk menggambarkan makhluk apa yang ada di sana.
Terlihat makhluk itu duduk tepat di lubang sumur timba dengan wajah yang terlihat tersenyum mengerikan.

Yang kuingat saat itu mulut dan sekitar bibirnya terlihat berwarna merah dengan kulit yang berwarna putih pucat.
Entah dari mana asal warna merah yang menghiasi bibir dan sebagian wajahnya.

Aku berfikir.. dengan penampilan seperti itu mungkin saja makhluk ini adalah sesuatu yang dinamakan “Badut”


“Eleuh… pinter pisan budak ieu” (pintar sekali anak ini)
Makhluk yang kukira sebagai “Badut” itu mencoba memanggilku untuk mendekat ke arahnya untuk bermain bersamanya.

Tentu saja, walau masih kecil aku sudah bisa membedakan sesuatu yang terlihat aneh di hadapanku.

Aku kembali mundur dan menjauh dari makhluk itu.
“Kadieu … “ (kesini)

Kali ini tidak hanya memanggil, makhluk itu menunjukan uang lima ribu rupiah dan menawarkanya kepadaku.
Pada saat itu, uang lima ribu sangat besar untuk anak seumuranku sehingga rasa inginku akan uang yang “Badut” itu tawarkan mampu mengalahkan rasa takutku.

"Tah ieu acis kanggo jajan" (nah ini uang buat kamu jajan)
Ucapnya yang menyambut kedatanganku yang mengambil uang pemberian darinya. Itu adalah ucapan terakhir yang kudengar sebelum akhirnya kehilangan kesadaran.

.....
Narasumber :
Entah, aku tidak dapat mengingat apa yang terjadi.

Setelah selembar uang lima ribu itu kuterima , aku kehilangan kesadaran dan tiba-tiba tersadar di rumah Nenek Amah, tetanggaku yang tinggal di sebelah rumah.
“Duh Vira… Kamu ga papa? “ Tanya Nenek Amah yang menolongku dan sudah meminta pertolongan warga lain untuk memanggil kedua orang tuaku dan orang yang mungkin mengerti kejadian ini.
“Vira kenapa nek?” Tanyaku yang masih bingung, namun tak lama setelahnya muncul seorang warga desa yang memang dikenal sering menangani kejadian ghaib.

Ia memberikanku segelas air putih yang sudah dibacakan doa olehnya.
Aku meminum air itu dan perlahan ingatanku sebelum kehilangan kesadaran mulai muncul satu persatu.
“Dek Vira… kamu sudah tidak apa-apa?” Tanya orang itu.

Aku mengangguk setelah benar-benar merasakan tubuhku yang jauh lebih baik dari sebelum meminum air itu.
“Vira kenapa… kok sampai bisa gelantungan di Sumur itu?” Tanya Nenek Amah.
Aku mencoba menceritakan semua hal yang ku ingat.
“Tadi di sana ada yang ngajak Vira main…” Jawabku dengan polos, namun kali ini saat aku merinding saat mengingat wujud makhluk yang mengajak aku bermain saat itu.
“Vira kenal sama yang ngajak main?” Tanya Nenek Amah lagi.
“Nggak.. Vira ga kenal” Jawabku lagi.
“Kalo ga kenal kenapa Vira mau diajak main?” Nenek Amah mencoba menggali lebih dalam tentang apa yang sebenarnya terjadi.

“Tadi Vira dikasi uang lima ribu” Jawabku.

Nenek Amah menghela nafas, ia memintaku menunjukan uang yang diberikan oleh makhluk itu.
Namun benar-benar aneh, saat aku mengeluarkan uangnya dari kantongku uang itu berubah menjadi dua lembar daun berwarna cokelat… ya, berwarna cokelat..
Nenek Amah menghela nafas, Sepertinya Nenek Amah dan beberapa warga yang berada di tempat itu sudah tidak ragu lagi mengenai kejadian yang kualami.

“Ya sudah… Vira Istirahat dulu saja.
Tapi memangnya yang ngajak main Vira itu makhluk seperti apa sih?” Tanya seseorang yang tadi membacakan doa pada air putih yang kuminum.
Sekali lagi aku mengingat apa yang kulihat tadi sebelum kehilangan kesadaran. Yang kuingat saat itu mulut dan sekitar bibir makhluk yang kulihat terlihat berwarna merah dengan kulit yang berwarna putih pucat.
“Yang ngajak Vira main tadi…. Badut”

---ooo---

• • •

Missing some Tweet in this thread? You can try to force a refresh
 

Keep Current with Diosetta

Diosetta Profile picture

Stay in touch and get notified when new unrolls are available from this author!

Read all threads

This Thread may be Removed Anytime!

PDF

Twitter may remove this content at anytime! Save it as PDF for later use!

Try unrolling a thread yourself!

how to unroll video
  1. Follow @ThreadReaderApp to mention us!

  2. From a Twitter thread mention us with a keyword "unroll"
@threadreaderapp unroll

Practice here first or read more on our help page!

More from @diosetta

Jun 26
PUSAKAYANA
Part 7 - Sabda Pangiwa

Sosok pria misterius muncul dengan membawa sebuah keranda. Dengan tubuh yang penuh goresan mantra dan topeng bujang ganong menutupi wajahnya, ia menantang wahah terakhir Triyamuka Kala..

@bacahorror #bacahorror @IDN_Horor Image
Beberapa saat sebelumnya…

Seorang pemuda berambut gondrong berjalan perlahan dengan ransel tergantung di satu pundak. Matanya menyapu sekeliling, mengamati jalanan tanah yang lengang dan rumah-rumah panggung yang tampak asing.

Di kejauhan, debur ombak terdengar samar, desa ini berada di pesisir timur, namun Tegar sama sekali tidak tahu namanya.

Seorang pria paruh baya dengan kulit legam baru saja menurunkan jaring dari sepeda motornya. Ia mengernyit saat melihat Tegar.

“Lho… jarang-jarang desa kami kedatangan orang baru,” sapa pria itu ramah.

Tegar menggaruk kepalanya, kebingungan. “Saya juga nggak niat ke sini, Pak. Tadinya numpang truk barang ke Surabaya… tapi ketiduran. Tahu-tahu diturunin di jalan besar sana.”

Pria itu tertawa pendek. “Bisa-bisanya nyasar sampai sini. Nama sampean siapa?”

“Tegar, Pak. Asal saya dari selatan Jawa Timur.”
“Wah, jauh juga. Saya Pak Unggul. Ayo duduk dulu. Jalanan sepi kalau siang begini.”

Tegar duduk di kursi panjang dari bambu di depan rumah Pak Unggul. Angin laut bertiup pelan membawa aroma garam dan sesuatu yang lain—bau amis, atau mungkin asap dari tungku pembakaran.

“Kalau mau balik, besok aja, Mas Tegar,” lanjut Pak Unggul. “Kendaraan umum cuma lewat sampai jam dua belas siang. Setelah itu, sepi.”

“Lho, nggak bisa nyegat bus di jalan besar?”

Pak Unggul tersenyum, matanya menatap kosong ke arah hutan. “Coba aja kalau mau nekad. Tapi masnya pasti lihat sendiri tadi, kan? Jalanan sepi, hutan kiri kanan. Malam... gelap total.”

Tegar terdiam. Ia tidak ingin bermalam di tempat asing, tapi kenyataan memaksanya.

“Sudahlah. Nginep aja di sini. Nggak usah sungkan,” ujar Pak Unggul sambil berdiri.
Siang itu, Tegar memutuskan berjalan keliling desa. Ia melihat kehidupan sederhana para nelayan—menjemur ikan, memperbaiki jaring, memanggul ember-ember besar ke perahu. Tapi ada satu pemandangan yang membuatnya berhenti.

Sebuah perahu kecil merapat ke dermaga, membawa dua ekor ikan tuna raksasa.

Tegar mengernyit. Alat tangkap mereka tampak sangat sederhana. Jangankan alat berat, jala pun tampak rapuh.

Ia mendekat. Di sudut kapal, ia melihat kembang tujuh rupa, kemenyan, dan sebuah tungku tanah kecil. Aromanya menusuk.

“Pak, ikan segede itu ditangkap pakai apa? Nggak mungkin jala, kan?” tanya Tegar, heran.

Seorang nelayan tertawa pendek. “Mas baru pertama kali ke sini, ya?”

“Iya, baru nyasar tadi.”
“Ikan ini nggak bisa dijala atau dipancing, Mas.”
“Lha terus... gimana nangkapnya?”

“Disantet.” jawab nelayan itu tenang sambil menurunkan ikan bersama rekannya.

“Disantet?” Tegar mengulang pelan, tak yakin ia mendengar benar.

“Iya. Disantet dulu, baru ngambang. Habis itu tinggal dinaikkan ke kapal,” jawab nelayan lain dengan nada biasa, seperti menjelaskan cara menanak nasi.

Tegar menyingkir. Tubuhnya merinding. Tapi yang lebih aneh, warga desa tidak tampak takut atau tabu saat menyebut kata ‘santet’. Seolah itu bagian dari rutinitas harian.

Menjelang malam, Tegar kembali ke rumah Pak Unggul. Tapi langkahnya terhenti saat melihat keramaian menuju pantai. Obor-obor menyala, wajah-wajah warga tegang. Tegar mengikuti mereka.

Sesampainya di tepi laut, Tegar melihat beberapa kapal nelayan terdampar di pasir. Suasana sunyi, hanya suara ombak dan isak tangis yang terdengar.

“Mati... mereka semua mati...” gumam seorang ibu dengan suara gemetar.

“Siapa?” tanya Tegar pelan pada orang di sebelahnya.
“Nelayan yang pergi tiga hari lalu. Baru balik... tapi begini.”

Tegar mendekat. Di depan matanya, jasad-jasad nelayan terbujur kaku. Tubuh mereka utuh, tidak ada luka. Namun... mata mereka, hilang. Hanya rongga kosong yang tersisa.

“Tidak ada tanda pukulan, tidak ada luka. Tapi matanya... dicungkil, entah oleh apa…” bisik salah satu warga.
Read 20 tweets
Jun 19
PUSAKAYANA
Part 6 - Penjara Waktu

Paklek tiba di desa Ki Satmo. Kemunculan pusaka kadewatan disana membawa petaka yang mengerikan, namun hanya tempat itu yang bisa menghubungkan paklek dengan Pusakayana...

#bacahorror @bacahorror @ceritaht Image
Cahaya putih menyilaukan mata. Dalam sekejap, lambang mandala yang menyatu di telapak tangan Danan dan Cahyo lenyap begitu saja—dan bersama cahaya itu, tubuh mereka terpental kembali ke zaman di mana ratusan nyawa dipertaruhkan hanya dalam satu kedipan mata.

Langit berwarna kelabu. Udara mencekam.
Di hadapan mereka, samar-samar tergambar satu pertarungan yang bergerak begitu lambat yang berat sebelah.

Bli Waja, berdiri tegak meski tubuhnya mulai koyak, ia berusaha menahan satu wajah dari makhluk terkutuk itu, Sang Triyamuka Kala yang berusaha lepas dari penjara waktu Bli Waja.

Danan mendongak, menatap salah satu wajah yang sebelumnya berhadapan dengannya. Kini ia tahu, wajah itu tak lain adalah perwujudan jahat Sang Hyang Talapraja.

Waktu terhenti saat akar-akar dari wajah itu berhenti tepat saat akan menembus roh Nyi Sendang Rangu.

“Danan… kau berhasil?” Sebuah suara akrab menyela keheningan.

Cahyo. Ia muncul dari sisi lain, tubuhnya terluka tapi matanya bersinar.

“Semoga saja… pusaka ini yang dimaksud,” jawab Danan sambil menggenggam erat belati tulang putih di tangannya.
Read 29 tweets
Jun 13
PUSAKAYANA
Part 5 - Pusaka Para Raja

"Lambang mandala itu terhubung dengan hatimu, Cahyo. Bukan kepada tempat. Bukan kepada waktu. Tapi pada tujuan terdalam dalam dirimu..."

#bacahorror @bacahorror @ceritaht Image
Link Part Sebelumnya :
Part 1 : x.com/diosetta/statu…
Part 2 : x.com/diosetta/statu…
Part 3 : x.com/diosetta/statu…
Part 4 :
x.com/diosetta/statu…
Kembang Getih… Itulah yang semula Cahyo kira sebagai satu-satunya masalah di desa ini.
Sebuah bunga merah darah yang tumbuh diam-diam dari tanah bekas kematian, dan dengan cara yang mengerikan, menghidupkan kembali roh-roh warga yang mati mengenaskan.

Namun kini, Cahyo mulai sadar, ini bukan sekadar kutukan. Ini adalah luka dari masa lalu yang dibiarkan membusuk terlalu lama.

“Apa yang akan kita lakukan sekarang?” Cahyo bertanya, suaranya pelan namun tegas, mencoba memecah kebisuan yang menggantung berat di udara pagi.

Kerta berdiri mematung menatap arah desa, sementara Mbah Wongso duduk bersila di tanah, berusaha mengatur napas yang sejak tadi memburu. Ada duka dalam matanya, namun juga tekad yang mulai menyala kembali.

“Kita nggak mungkin kembali ke desa, kan?” Kerta akhirnya bersuara. “Berarti tujuan kita cuma satu.” Ia menoleh ke arah hutan, tempat dimana Kembang getih mekar.

“Jadi… saat ini kita tetap akan cari cara untuk menghentikan kutukan Kembang Getih itu?” tanya Mbah Wongso pelan.

Cahyo menggeleng pelan. Ada sesuatu yang menahannya untuk ikut menyepakati itu.

“Yakin, Mbah? Walaupun kutukannya dihentikan… aku nggak yakin mereka, para warga itu, akan benar-benar berhenti menyembah iblis Raden Reksomayit itu.”

Ucapannya bukan sinis—melainkan getir. Ia tahu betul bahwa dosa manusia lebih dalam dari sekadar bunga terkutuk. Dosa yang lahir dari rasa takut… atau haus akan pemuas nafsunya.

Mbah Wongso terdiam. Lama. Lalu mengangguk, pasrah tapi mantap.

“Lambang mandala Mbah... muncul demi menghentikan kutukan itu. Kalau itu jalannya, maka itu yang akan Mbah tempuh.”
Read 31 tweets
Jun 6
PUSAKAYANA
Part 4 - Kembang Getih

Kembang yang tumbuh di desa memanggil satu-persatu manusia di sana untuk mati. Ada yang disembunyikan oleh desa misterius itu..

#bacahorror @bacahorror Image
Link Part Sebelumnya :
Part 1 : x.com/diosetta/statu…
Part 2 : x.com/diosetta/statu…
Part 3 : x.com/diosetta/statu…
Rasa sakit menjalar ke seluruh tubuh Cahyo tepat saat ia tersadar. Dadanya sesak, seakan ditindih batu. Napasnya terengah, dan dunia di sekelilingnya berputar perlahan. Dalam kepalanya, gema suara Bli Waja masih terngiang..

“Kau harus mencari cara mengalahkan satu wajah Triyamuka Kala. Waktu di tempat Wanasura akan berhenti—tapi hanya untuk sementara.”

Mata Cahyo menatap ke telapak tangan kanannya. Simbol mandala yang samar-samar berpendar di sana seperti hidup, denyutnya seirama dengan jantung Cahyo. Ia menggertakkan gigi dan berbisik..

“Wanasura... Aku pasti akan kembali sebelum waktu kembali berjalan...”

Cahyo berdiri perlahan. Sekelilingnya gelap dan sunyi. Di balik bayang-bayang pepohonan, rerumputan tinggi bergoyang ditiup angin malam yang dingin menggigit. Jauh di kejauhan, kilauan api samar menyala.

“Desa?”gumamnya, penuh ragu.

Semakin ia mendekat, nyala itu bertambah jelas—bukan cahaya lampu listrik, melainkan obor dan lampu minyak. Cahyo melangkah ke dalam sebuah desa tua yang tersembunyi di antara pepohonan, rumah-rumahnya berjauhan, terhubung hanya oleh jalan tanah setapak yang dipenuhi lumut.

Tak ada kabel. Tak ada suara mesin. Hanya desir angin dan bunyi dedaunan. Cahyo menyadari bahwa ia berada di zaman yang jauh di belakang.

Atmosfer terasa ganjil. Udara seperti lebih berat. Setiap langkah menimbulkan rasa tidak nyaman. Saat itulah ia mulai melihatnya—satu per satu...

Orang-Orangan Sawah.
Read 25 tweets
May 31
SABDA PANGIWA II
- Warisan Jenazah -
TAMAT

Malam ini arak-arakan keranda jenazah akan muncul, jalur sudah dipersiapkan, dan kematian sudah dipastikan...

@bacahorror
#bacahorror Image
“Ini Mbah Setyo, sesepuh desa. Waktu kejadian kesurupan, beliau yang bantuin warga,” jelas Gigih pada Tegar.

Tegar menunduk sopan. “Saya Tegar, Mbah. Cuma numpang lewat.”

“Numpang lewat kok bikin keluarga Wisesa kalang kabut,” sahut Mbah Setyo sambil tersenyum.
Tegar hanya garuk-garuk kepala, malu.

“Mampir ke rumah, yuk. Ngobrol di rumah lebih enak.,” tawar Mbah Setyo ramah.

“Wah, ngga usah, Mbah. Nanti merepotkan…”

“Yakin? Singkong Mbah Setyo enak lho. Panenan sendiri,” goda Gigih.

“Eh, kalau gitu… kayaknya saya harus mampir deh, Mbah,” kata Tegar cepat berubah pikiran. “Nggak sopan nolak rezeki.”


Benar saja, di rumah Mbah Setyo, singkong rebus hangat disajikan dengan teh gula batu. Istri Mbah Setyo yang berambut perak tersenyum ramah.

“Makan yang banyak. Kalau kurang, tinggal panen lagi di kebun,” ujar beliau.

Tanpa ditawari dua kali, Tegar dan Gigih langsung makan lahap. Suasana hangat dan santai, seolah tak ada ancaman apa pun di luar sana.

Sampai Tegar melihat memar biru pekat di lengan istri Mbah Setyo. Seperti luka lama yang enggan sembuh.

“Mbah, ngapunten…” ucap Tegar. Ia mengambil segelas air putih, membisikkan doa, lalu menyiramkannya perlahan ke lengan sang istri.

“Ssshhh…”
Istri Mbah Setyo meringis, tapi tak lama kemudian memarnya memudar perlahan. Rasa nyeri di wajahnya pun sirna, berganti kelegaan.
Read 28 tweets
May 22
SABDA PANGIWA II
- Warisan Jenazah -

"Tak ada satu pun yang berani menyentuhmu atau keluargamu... selama jenazah itu tetap kau simpan."

@bacahorror #bacahorror @IDN_Horor @bagihorrorImage
PROLOG

"Tak ada satu pun yang berani menyentuhmu atau keluargamu... selama jenazah itu tetap kau simpan."

Suara itu terdengar lirih namun berat, seolah menyatu dengan malam yang mencekam. Di tengah remang cahaya obor yang berkedip, seorang pria melangkah berat menuju sebuah jasad. Jenazah itu dibungkus kain kafan kusam bertuliskan aksara merah—seperti coretan darah yang tak mengering.

Di samping jasad, berdiri seorang lelaki tua berpakaian hitam. Wajahnya dipenuhi kerutan, sorot matanya tak menunjukkan belas kasihan—ia hanya menunggu.

"Jadi… ini jawabannya?" suara pria itu pecah, goyah. Ia menahan napas, bau busuk dari jenazah membuat perutnya mual. Ia bahkan tak tahu siapa mayat itu.

Tapi ia bisa merasakan sesuatu... sesuatu yang jauh dari kematian biasa.

"Bawalah pulang," ujar lelaki tua itu, "Minta apa pun padanya. Perlakukan ia seperti Tuhan. Kau tak akan menyesal."

Pria itu diam, lalu mendengarkan tata caranya:
Jenazah harus digendong, tak boleh menyentuh tanah. Harus dibaringkan di atas keranda bambu dan dimandikan setiap tengah malam, menggunakan bunga-bunga tertentu.Dan yang terpenting... setiap seribu hari, seorang gadis perawan harus tidur di sampingnya.

Putus asa. Dendam. Rasa malu yang telah dipendam bertahun-tahun. Semua itu menutup mata pria itu dari logika dan nurani.

BRAK!!
Pintu rumah terbuka dengan keras, disusul deru petir dan hujan deras yang mengguyur. Di ambang pintu, pria itu berdiri dengan pakaian basah kuyup, menggendong sesuatu yang mengeluarkan bau amis menusuk. Di belakangnya, kegelapan menggantung seperti ancaman.

Istri dan anak perempuannya terkejut, bingung sekaligus takut.

“Cepat! Siapkan bambu! Buatkan keranda!” teriak sang suami, matanya merah, napasnya berat.

“Pak… itu… apa?” istrinya bertanya dengan suara gemetar.

“Ini... adalah jalan keluar kita. Tuhan kita yang baru! CEPAT!!”

Di tengah hujan dan malam yang pekat, mereka membuat keranda dari bambu. Tak satu pun dari mereka berani menolak. Menjelang tengah malam, jenazah itu dibaringkan di atas keranda, dimandikan, lalu diselimuti kain kafan bertuliskan aksara darah.
Pria itu berlutut di depan jenazah.

“Aku ingin... seluruh keluarga Prawiryo mati!”
Istri dan anaknya ikut berlutut. Mata sang anak berkaca-kaca.

“Anak laki-laki tertua mereka… dia memperkosaku di lumbung padi. Dia membuangku seperti sampah... kematiannya harus paling menyakitkan.”

Petir menyambar lagi. Kilat menerangi ruangan, dan bayangan hitam muncul dari jasad itu. Tingginya nyaris mencapai langit-langit. Wujudnya kabur, hanya tampak senyum bengis dari mulut berlumuran darah.
Mereka bertiga gemetar.

Tapi makhluk itu hanya lewat... dan keluar rumah tanpa suara.

Malam itu, keluarga Prawiryo ditemukan tewas di rumah mereka. Darah mengalir dari mata, telinga, hidung, dan mulut mereka.

Namun yang paling mengerikan adalah kematian sang anak sulung...
Tubuhnya terpotong menjadi tujuh bagian, dan kepalanya tertancap di atap rumah—menghadap ke langit.

Kematian keluarga Prawiryo, sebagai keluarga paling terpandang dan kaya di desa, mengguncang semua orang. Namun suatu hal yang tak diduga terjadi. Tak lama kemudian, satu keluarga yang dulu dihina, dipermalukan, dan ditindas... bangkit.

Mereka membangun rumah besar, menguasai tanah dan harta keluarga Prawiryo.
Orang-orang mulai menyebut nama mereka dengan hormat, juga dengan takut:... Trah Wisesa.

***
Read 21 tweets

Did Thread Reader help you today?

Support us! We are indie developers!


This site is made by just two indie developers on a laptop doing marketing, support and development! Read more about the story.

Become a Premium Member ($3/month or $30/year) and get exclusive features!

Become Premium

Don't want to be a Premium member but still want to support us?

Make a small donation by buying us coffee ($5) or help with server cost ($10)

Donate via Paypal

Or Donate anonymously using crypto!

Ethereum

0xfe58350B80634f60Fa6Dc149a72b4DFbc17D341E copy

Bitcoin

3ATGMxNzCUFzxpMCHL5sWSt4DVtS8UqXpi copy

Thank you for your support!

Follow Us!

:(