Diosetta Profile picture
Oct 28, 2021 37 tweets 7 min read Read on X
AKU MENYEBUTNYA "BADUT"

Cerita dari salah satu pembaca di Twitter mengenai sosok yang ia temui saat ia kecil...

@bacahorror
@bagihorror
@qwertyping
@Wakhidnurrokhim
@ceritaht
@IDN_Horor
@chillbanana313
@RamaAtmaja_HCR
@chow_mas
@balakarsa

#diosetta Image
“'Perkenalkan , Namaku Vira anak tertua dari empat bersaudara.. eh, bukan… maksudnya dari empat bersaudari, karena ketiga adiku juga kebetulan perempuan semua.
Aku hidup sebagai perempuan biasa pada umumnya , mungkin tidak ada hal yang terlalu istimewa yang akan kalian temui padaku, Namun aku memiliki sebuah cerita yang jarang sekali kuceritakan pada orang lain.

Sebuah cerita tentang aku dan “mereka” yang mewarnai masa kecilku….’
...
Kisah pertama : Aku Menyebutnya "Badut"

“Apa? Salahku?? Kamu itu yang ga becus jadi Istri! Aku kerja mati-matian kamu perlakukan kayak begini?”
Terdengar suara bapak yang tak berhenti memaki Ibu.
Tak berhenti sampai di situ, sumpah serapah dan makian terus keluar dari mulut mereka berdua yang membuatku yang masih berumur empat tahun tidak berhenti menangis.
“Lihat si vira nangisnya malah makin kenceng bikin aku tambah pusing! Diam kamu vira! Pergi sana daripada kamu aku pukul"”

Teriak Ibu yang masih terbakar emosi.
Entah apa yang menyebabkan mereka berdua bertengkar, yang aku ingat saat itu beberapa kali pukulan dari ibu mendarat di tubuhku yang tak mau berhenti menangis saat melihat pertengkaran itu.
“Udah cukup! Ini masalah kita.. jangan bawa-bawa Vira” Ucap Bapak yang tak tega melihatku semakin menjadi pelampiasan masalah mereka.

“Berisik! Kalau aja Bocah ini gak ada, mungkin sudah jauh-jauh hari aku minta cerai sama kamu" Ucapan Ibu terdengar menyakiti perasaanku.
“Kamu hati-hati kalau ngomong! Kalau kamu mau kita berpisah, akan aku penuhi" lawan bapak pada ibu, esok harinya bapak mengajakku pergi ke rumah nenek.

Jangan tanya seperti apa perasaanku saat itu.
Seorang anak berumur empat tahun jelas masih sangat kecil untuk memahami maksud mereka dan harus menjadi pelampiasan dari pertengkaran itu.

Bapak dan ibu memang tidak tinggal bersama. Bapak bekerja merantau ke luar pulau di Medan Sumatra Utara, dan ibu di Jakarta.

Aku?
Aku tinggal bersama Neneku di kampung halamanku di Jawa Barat. Namun kali ini mereka sedang pulang kampung ke rumah, jadi aku meninggalkan rumah nenek dan tinggal bersama mereka selama mereka ada di sini.
Sayangnya, setiap mereka pulang, pertengkaran selalu terjadi diantara mereka berdua dan aku yang selalu menjadi pelampiasan atas kekesalan mereka.

Mungkin hal inilah yang membuatku jadi anak kesayangan nenek.
...
Setelah pertengkaran itu Bapak dan Ibu pergi entah kemana dan aku hanya mengurung diri di kamar sambil menangis.
Entah bagaimana aku menggambarkan perasaanku saat itu hingga aku hanya bisa menangis di rumah yang sebenarnya jarang ditinggali bila kedua orang tuaku tidak pulang.


“Ulah nangis…” (Jangan nangis)
Tiba-tiba terdengar suara dari arah kamar mandi yang tidak jauh dari kamarku tempatku berada saat ini.

Jangan berfikir kamar mandiku saat itu sebagus kamar mandi saat ini.
Saat itu keluargaku masih menggunakan sumur timba walaupun sudah menggunakan pompa air untuk mengalirkan airnya.

“Kadieu….” (Ke sini)

Suara itu terdengar lagi, seolah memang menanggapi tangisanku.
Aku yang penasaran segera melap air mataku dan mencari asal suara itu hingga menemukan sesosok makhluk tepat di tempat suara itu berasal.

Aku yang masih kecil saat itu sulit untuk menggambarkan makhluk apa yang ada di sana.
Terlihat makhluk itu duduk tepat di lubang sumur timba dengan wajah yang terlihat tersenyum mengerikan.

Yang kuingat saat itu mulut dan sekitar bibirnya terlihat berwarna merah dengan kulit yang berwarna putih pucat.
Entah dari mana asal warna merah yang menghiasi bibir dan sebagian wajahnya.

Aku berfikir.. dengan penampilan seperti itu mungkin saja makhluk ini adalah sesuatu yang dinamakan “Badut”


“Eleuh… pinter pisan budak ieu” (pintar sekali anak ini)
Makhluk yang kukira sebagai “Badut” itu mencoba memanggilku untuk mendekat ke arahnya untuk bermain bersamanya.

Tentu saja, walau masih kecil aku sudah bisa membedakan sesuatu yang terlihat aneh di hadapanku.

Aku kembali mundur dan menjauh dari makhluk itu.
“Kadieu … “ (kesini)

Kali ini tidak hanya memanggil, makhluk itu menunjukan uang lima ribu rupiah dan menawarkanya kepadaku.
Pada saat itu, uang lima ribu sangat besar untuk anak seumuranku sehingga rasa inginku akan uang yang “Badut” itu tawarkan mampu mengalahkan rasa takutku.

"Tah ieu acis kanggo jajan" (nah ini uang buat kamu jajan)
Ucapnya yang menyambut kedatanganku yang mengambil uang pemberian darinya. Itu adalah ucapan terakhir yang kudengar sebelum akhirnya kehilangan kesadaran.

.....
Narasumber :
Entah, aku tidak dapat mengingat apa yang terjadi.

Setelah selembar uang lima ribu itu kuterima , aku kehilangan kesadaran dan tiba-tiba tersadar di rumah Nenek Amah, tetanggaku yang tinggal di sebelah rumah.
“Duh Vira… Kamu ga papa? “ Tanya Nenek Amah yang menolongku dan sudah meminta pertolongan warga lain untuk memanggil kedua orang tuaku dan orang yang mungkin mengerti kejadian ini.
“Vira kenapa nek?” Tanyaku yang masih bingung, namun tak lama setelahnya muncul seorang warga desa yang memang dikenal sering menangani kejadian ghaib.

Ia memberikanku segelas air putih yang sudah dibacakan doa olehnya.
Aku meminum air itu dan perlahan ingatanku sebelum kehilangan kesadaran mulai muncul satu persatu.
“Dek Vira… kamu sudah tidak apa-apa?” Tanya orang itu.

Aku mengangguk setelah benar-benar merasakan tubuhku yang jauh lebih baik dari sebelum meminum air itu.
“Vira kenapa… kok sampai bisa gelantungan di Sumur itu?” Tanya Nenek Amah.
Aku mencoba menceritakan semua hal yang ku ingat.
“Tadi di sana ada yang ngajak Vira main…” Jawabku dengan polos, namun kali ini saat aku merinding saat mengingat wujud makhluk yang mengajak aku bermain saat itu.
“Vira kenal sama yang ngajak main?” Tanya Nenek Amah lagi.
“Nggak.. Vira ga kenal” Jawabku lagi.
“Kalo ga kenal kenapa Vira mau diajak main?” Nenek Amah mencoba menggali lebih dalam tentang apa yang sebenarnya terjadi.

“Tadi Vira dikasi uang lima ribu” Jawabku.

Nenek Amah menghela nafas, ia memintaku menunjukan uang yang diberikan oleh makhluk itu.
Namun benar-benar aneh, saat aku mengeluarkan uangnya dari kantongku uang itu berubah menjadi dua lembar daun berwarna cokelat… ya, berwarna cokelat..
Nenek Amah menghela nafas, Sepertinya Nenek Amah dan beberapa warga yang berada di tempat itu sudah tidak ragu lagi mengenai kejadian yang kualami.

“Ya sudah… Vira Istirahat dulu saja.
Tapi memangnya yang ngajak main Vira itu makhluk seperti apa sih?” Tanya seseorang yang tadi membacakan doa pada air putih yang kuminum.
Sekali lagi aku mengingat apa yang kulihat tadi sebelum kehilangan kesadaran. Yang kuingat saat itu mulut dan sekitar bibir makhluk yang kulihat terlihat berwarna merah dengan kulit yang berwarna putih pucat.
“Yang ngajak Vira main tadi…. Badut”

---ooo---

• • •

Missing some Tweet in this thread? You can try to force a refresh
 

Keep Current with Diosetta

Diosetta Profile picture

Stay in touch and get notified when new unrolls are available from this author!

Read all threads

This Thread may be Removed Anytime!

PDF

Twitter may remove this content at anytime! Save it as PDF for later use!

Try unrolling a thread yourself!

how to unroll video
  1. Follow @ThreadReaderApp to mention us!

  2. From a Twitter thread mention us with a keyword "unroll"
@threadreaderapp unroll

Practice here first or read more on our help page!

More from @diosetta

Mar 21
JALUR MATI ALAS MERAPI
Part 6 - Pusaka Merapi

Mereka terpisah sejak kecil, satu tinggal di alam manusia dan satu tinggal di sisi gaib hutan merapi..

#bacahorror @bacahorror Image
Part sebelumnya
Part 1 : Sukma yang Tertinggal
x.com/diosetta/statu…
Part 2 : Hutan tak Kasat Mata
x.com/diosetta/statu…
Part 3 : Keraton Gaib
x.com/diosetta/statu…
Part 4 : Penari Dunia Arwah
x.com/diosetta/statu…
Part 5 : Perburuan Sukma
x.com/diosetta/statu…
(Sudut Pandang Galang…)
Suara gending gamelan mulai mengalun, menyatu dengan hembusan angin sore yang membawa aroma tanah basah setelah hujan ringan. Cahaya keemasan senja mulai meredup di balik pepohonan, memberikan kesan magis pada suasana di sekitar balai desa.

Aku, Raka, dan Farel masih duduk di beranda kayu, memandangi halaman yang mulai dipenuhi orang-orang. Seharian ini kami menghabiskan waktu bersama Wulan, tapi kini ia telah berpamitan untuk bersiap-siap.

Kami tahu, sebentar lagi pementasan akan dimulai—dan bersamaan dengan itu, kecemasan kami semakin menjadi.

Sebelum pergi, Wulan sempat berpesan dengan nada serius, “Sebelum pementasan selesai, kalian harus sudah pergi.”

Aku menatapnya, mencoba mencari jawaban di balik matanya yang sejenak tampak bimbang. “Kenapa, Lan?” tanyaku, berharap ia akan menjelaskan.

Namun jawabannya justru membuat kami semakin terdiam.

“Kalian seharusnya tidak berada di sini.”
Kalimat itu menggantung di udara, menciptakan gelombang ketegangan di antara kami. Aku ingin bertanya lebih jauh, tapi Wulan tidak memberi penjelasan lebih lanjut.

Ia hanya menyebutkan bahwa gelar “tamu” bagi seorang penari memiliki konsekuensi tertentu. Konsekuensi yang ia hindari untuk jelaskan, tetapi cukup untuk membuat kami mengerti bahwa itu bukanlah sesuatu yang baik.

Tak ada lagi yang bisa kami katakan, selain menerima kenyataan bahwa waktu kami di tempat ini sangat terbatas.

Farel, yang sejak tadi diam, akhirnya berbicara dengan suara mantap. “Begitu pementasan dimulai, kita harus cepat-cepat mencari sukma Tiwi dan pergi.”

Raka segera mengangguk setuju. “Benar! Jangan buang waktu.” Ia sudah bersiap, memastikan barang-barang kami dalam keadaan siap untuk dibawa sewaktu-waktu.

Tapi kemudian, Farel kembali bersuara, kali ini dengan nada lebih tegas. “Satu lagi.” Ia menatapku tajam, seakan ingin memastikan aku benar-benar mendengarkan. “Kalaupun kita belum menemukan Sukma Tiwi saat pementasan selesai, kita tetap harus pergi.”

Deg!

Jantungku seperti dipukul begitu saja. Pernyataan itu terasa begitu berat, tetapi aku tahu bahwa Farel tidak salah.

“I—iya…” suaraku lirih, hampir tidak terdengar.

Raka menepuk bahuku dengan lembut. “Lang… kuatkan hatimu,” katanya dengan nada penuh keyakinan. “Nggak boleh ada korban lagi. Kalau kita tidak menemukan Tiwi di sini, berarti dia memang tidak ada.”

Aku menarik napas dalam, lalu mengangguk. Aku menatap mata kedua sahabatku dengan tekad yang bulat. Aku tidak boleh bimbang. Raka dan Farel sama pentingnya bagiku, dan aku tidak akan mengorbankan mereka hanya karena keraguanku.

Melihat keteguhanku, Farel mengangkat sudut bibirnya tipis, lalu menepuk bahuku sebelum merangkulku. “Bagus…” katanya singkat.

Tanpa perlu berkata lebih banyak, kami bertiga pun melangkah menuju balai desa tempat dimana panggung kayu yang sederhana sudah berdiri dan para pemain gamelan sudah memainkan alatnya.


“Monggo, Mas. Kue-kue sama jajanannya ada di sebelah sana. Teh dan kopi juga ada, jangan sungkan-sungkan,” suara lembut seorang ibu menyambut kedatangan kami.

Aku, Farel, dan Raka berdiri di pelataran sebuah rumah yang cukup besar. Di tengahnya, sebuah tumpeng megah diletakkan di atas meja kayu panjang, dikelilingi oleh aneka jajanan pasar dan makanan-makanan yang terlihat begitu menggoda.
Read 15 tweets
Mar 14
JALUR MATI ALAS MERAPI
Part 5 - Perburuan Sukma

#bacahorror @bacahorror @IDN_Horor Image
Part sebelumnya Part 1 : Sukma yang Tertinggal x.com/diosetta/statu…
Part 2 : Hutan tak Kasat Mata x.com/diosetta/statu…
Part 3 : Keraton Gaib
x.com/diosetta/statu…
Part 4 : Penari Dunia Arwah
x.com/diosetta/statu…
(Sudut Pandang Cahyo…)
Kabut tebal menyelimuti jalur sempit yang kami lalui. Setiap langkah terasa berat, seolah-olah ada ribuan mata tak terlihat yang terus mengintai dari balik pepohonan kering di sekitar.

Suasana begitu mencekam, bahkan napas kami terdengar lebih keras dari suara angin yang berhembus pelan.

Aku terus melangkah, tapi bayangan kebimbangan menyelimuti pikiranku.

“Danan... apa yang kita lakukan ini sudah benar?” ucapku dengan suara gemetar.

Danan berjalan di sampingku, menoleh sebentar sebelum kembali menatap lurus ke depan. Sorot matanya menandakan ia pun tak yakin.

“Entahlah, Jul... Tapi ini satu-satunya cara. Mbah Dirwo bilang Wiralaya bisa membantu kita.”
Aku melirik sosok tua yang berjalan di depan kami.

Wiralaya... pria bertubuh kurus dengan rambut panjang beruban yang menutupi sebagian wajahnya. Sorot matanya kosong, seperti menatap sesuatu yang tidak bisa kami lihat.

Tangannya kurus dan keriput, mencengkeram tongkat kayu yang terus menghantam tanah lembab setiap kali ia melangkah.

Kabut semakin tebal. Langit abu-abu yang tadi samar-samar terlihat kini benar-benar lenyap. Di tempat ini, siang dan malam terasa tidak ada bedanya. Dunia seperti terjebak di antara waktu.

“Sebenarnya kita mau ke mana, Mbah Wiralaya?” tanyaku mencoba memberanikan diri.
Pria tua itu tiba-tiba menghentikan langkah. Aku tersentak. Perlahan ia melirik ke arahku—tatapan yang begitu tajam hingga membuat bulu kudukku meremang.

Wiralaya tidak menjawab. Namun... di saat itulah tangan hitam berkeriput muncul begitu saja dari kabut pekat, mencengkeram tubuhku dengan kekuatan luar biasa.

“PANJUL!!”

Aku mendengar teriakan Danan, tapi semuanya terjadi begitu cepat. Dunia di sekelilingku berputar—kabut, pepohonan, dan sosok Danan menghilang dalam sekejap. Aku merasa dihempaskan ke tempat lain, tubuhku terlempar tanpa aku tahu melewati apa.

Saat aku membuka mata, tubuhku terbaring di atas tanah yang dingin dan lembab. Nafasku memburu, dadaku terasa sesak. Aku mencoba bangkit, tapi sesuatu menindih tubuhku.

Sosok pocong.

Makhluk itu berdiri di atasku, tubuhnya kaku dengan kain kafan yang penuh bercak darah. Wajahnya membusuk... kulitnya terkelupas hingga memperlihatkan tulang di beberapa bagian. Matanya cekung dan hampir keluar dari lubang tengkorak yang menghitam.

“Udu wayahe kowe tangi meneh... Wektumu wis rampung... Aku mung njaluk panggonanku... Kowe sing ngganti...”
(Bukan waktumu lagi untuk bangun lagi... Waktumu sudah habis... Aku hanya meminta tempatku... Kamu yang menggantikan...)

Suaranya dalam, berat, seolah berasal dari dasar kubur. Bau anyir darah bercampur tanah basah menusuk hidungku. Tubuhku bergetar hebat saat pocong itu mulai tersenyum, memperlihatkan deretan gigi kuning berlumuran lendir.

Aku mencoba meronta, tapi tekanan di dadaku semakin kuat. Napasku tersengal-sengal.

“Nggak... nggak sudi aku!”

Aku memanggil satu-satunya harapan yang kupunya.
“WANASURA!!”

Tidak ada jawaban.

Aku memanggil lagi, lebih keras. “WANASURA!!!”
Tapi... sunyi. Bahkan energi di dalam tubuhku terasa lenyap. Seolah sesuatu telah memutuskan ikatan antara aku dan Wanasura—jiwa roh penjaga yang selama ini mendiami tubuhku.

Pocong itu tertawa terbahak-bahak, suara seraknya menggema di udara. Kafan yang membalut tubuhnya mulai sobek perlahan, memperlihatkan ratusan ular berbisa yang menggeliat di balik lipatan kain. Ular-ular itu melata, menyusup keluar dan menempel di tubuhku, melilit leher dan tanganku.

“Kafan ini sudah memintamu... kehkehkeh...”

Wajah pocong itu mendekat, hanya sejengkal dari wajahku. Bau busuk menyengat menembus hidung, membuat perutku mual. Matanya yang hampir lepas bergetar, menatapku dengan rasa puas.

Aku berusaha membaca doa-doa di dalam hati... tapi semakin aku membaca, semakin kuat kain kafan itu menjerat tubuhku.

“LEPASKAN!! LEPASKAN AKU!!”

Kafan itu hidup. Lembaran kainnya melilit tubuhku seperti ular, perlahan menyusup ke dalam mulutku, memaksaku diam. Aku menggigit kain kasar itu, tapi ia terus memaksa masuk.

Keringatku semakin menetes.

“Berkatmu aku bisa kembali memburu sukma di gunung ini... kehkehkeh...”

Makhluk itu berbalik, berjalan menjauh dengan langkah pincang, meninggalkanku dalam lilitan kafan yang semakin rapat. Aku mencoba meronta, tapi tak ada yang bisa kulakukan.

Dalam kegelapan itu, aku hanya bisa berdoa.
Perlahan-lahan, dunia di sekelilingku terasa semakin dingin... dan aku mulai kehilangan kesadaran.

“Sial!!” Aku mengumpat kesal, namun mulutku terus melantunkan doa tanpa henti. Napasku memburu, keringat dingin membasahi tubuhku yang gemetar. Tiba-tiba, suara gemuruh terdengar dari arah belakang.
Read 14 tweets
Mar 6
JALUR MATI ALAS MERAPI
Part 4 - PENARI DUNIA ARWAH

Galang dan Wulan bertemu lagi, dan perasaan mereka masih sama...

#bacahorror @bacahorror @ceritaht Image
Part sebelumnya
Part 1 : Sukma yang Tertinggal x.com/diosetta/statu…
Part 2 : Hutan tak Kasat Mata
x.com/diosetta/statu…
Part 3 : Keraton Gaib x.com/diosetta/statu…
(Sudut Pandang Galang…)

Langkahku terhenti ketika tiba-tiba seseorang meraih tanganku dan menarikku dengan tergesa-gesa. Seorang perempuan berlari di hadapanku, napasnya memburu seolah dikejar sesuatu.

Wajahnya dipenuhi kecemasan, terutama setelah melihatku yang hendak memasuki sebuah desa yang tampak sunyi di kejauhan.

"Wulan, tapi Raka dan Farel... Mereka juga tersesat," ucapku, mencoba menjelaskan situasiku yang tak kalah membingungkan.

Mendengar itu, Wulan memperlambat langkahnya sejenak. Matanya mengawasi sekeliling dengan waspada, lalu tanpa banyak bicara, ia menarikku menuju rimbunan pepohonan di tepi jalan.

Sesampainya di sana, ia celingukan seakan mencari sesuatu atau seseorang. Setelah memastikan keadaan aman, ia menatapku dengan serius.

"Apa yang sebenarnya terjadi, Mas? Kenapa kalian bisa sampai ke sini? Bahkan dalam situasi seperti ini..." Suaranya lirih, tapi penuh kekhawatiran.

Aku menghela napas panjang. "Ceritanya panjang, Wulan. Awalnya ini tentang Tiwi..."
Aku mulai menjelaskan bagaimana kami sampai di sini. Wulan mendengarkan dengan saksama, raut wajahnya berubah-ubah seiring dengan ceritaku.

Awalnya ada kecemasan, lalu keterkejutan, dan entah kenapa, aku tidak lagi melihat ekspresi cemburu seperti yang pernah ia tunjukkan sebelumnya. Saat kusebutkan bahwa bagian sukma Tiwi masih tertinggal di sisi gaib Gunung Merapi, Wulan tampak semakin tegang.

"Bagaimana keadaan Tiwi? Apakah Mbah Dirwo membantu kalian?" tanyanya cepat.

"Tiwi sudah mendapat pertolongan dari Mas Danan. Sayangnya, kami belum sempat bertemu Mbah Dirwo. Tapi ada beberapa orang yang memahami hal gaib yang juga turun tangan membantu kami..." jawabku, mencoba menenangkan kekhawatirannya.

Meski tampak memahami, Wulan tetap gelisah. Ia menggigit bibirnya pelan, seperti sedang mempertimbangkan sesuatu.

"Masalahnya bukan hanya itu, Mas... Alam gaib di Merapi sedang bergejolak," ucapnya akhirnya.

Aku mengernyit. "Bergejolak? Maksudmu?"
Wulan mengangguk. Ia melirik ke arah desa yang semakin jauh dari pandangan kami. Matanya menangkap kehadiran seekor burung jalak yang bertengger di salah satu dahan pohon. Seolah mendapat isyarat, ia menarikku lebih jauh dari tempat itu.

"Farel dan Raka tidak sendirian. Ada seekor kera yang menjaga mereka," katanya tiba-tiba.

Aku terkejut. "Kamu tahu dari mana, Wulan?"
Alih-alih menjawab, Wulan hanya tersenyum kecil. Aku menatapnya lekat-lekat, mencoba mencari jawaban dari ekspresinya. Namun, aku sadar bahwa meskipun ia menjelaskan, belum tentu aku bisa benar-benar memahami apa yang ia ketahui.

"Saat ini, para penghuni desa gaib di gunung ini tengah gelisah. Keberadaan makhluk-makhluk asing yang bukan berasal dari Merapi mulai berdatangan dan mengganggu keseimbangan," ujar Wulan dengan nada serius.

Aku mengerutkan dahi. "Sesama makhluk pun bisa berseteru?"

Wulan mengangguk pelan. "Tentu saja, Mas. Setiap wilayah memiliki sosok kuat yang menjaga keseimbangannya.

Keberadaan mereka bukan hanya sebagai pelindung, tapi juga sebagai pengatur batas antara alam manusia dan alam gaib. Jika keseimbangan itu terganggu..." Wulan tidak melanjutkan ucapannya, tapi dari sorot matanya, aku bisa merasakan betapa serius situasi ini.

Aku menelan ludah. Sekarang aku paham, kami tidak hanya tersesat di gunung ini, tapi juga terjebak di tengah-tengah sesuatu yang jauh lebih besar dari yang kami bayangkan.

"Ada satu lagi pertanyaan penting, Wulan." Kali ini aku yang menarik tangan Wulan hingga langkahnya terhenti.

"Apa, Mas?"

"Bagaimana kabarmu?"

Wulan berpaling dan menatapku dengan bingung. Sejenak ia tampak terkejut, sebelum akhirnya menjawab dengan suara sedikit canggung. "Eh, ba—baik, Mas."

Aku melihat raut wajahnya berubah, rona halus muncul di pipinya. Walaupun Wulan bukan manusia, ada sesuatu dalam dirinya yang selalu membuatku merasa nyaman. Namun sebelum aku bisa mengatakan lebih jauh, perasaan aneh tiba-tiba menyelimuti kami.

Hutan di sekitar semakin sunyi. Suasana menjadi dingin, dan aku bisa merasakan keberadaan sesuatu yang mendekat.

"Ada yang datang..." bisikku.

Wulan ikut menghentikan langkahnya, tubuhnya menegang. Dari balik bayangan pohon, seseorang muncul. Sosok itu adalah seorang lelaki tua dengan wajah penuh senyum. Namun, senyum itu terasa janggal.

"Buru-buru sekali, Mas sama Mbaknya? Di desa sedang ada acara, lho," ucap lelaki itu dengan nada ramah yang terdengar ganjil.

Wulan segera mengambil langkah maju, berdiri di depanku. "Terima kasih, Pak. Tapi kami sudah ada janji dengan seseorang," balasnya dengan sopan.
Senyum lelaki itu perlahan memudar.

Wajahnya berubah serius, tatapannya dingin. "Bukan seperti ini caranya meninggalkan desa..." Nada suaranya datar, tapi aku merasakan ancaman yang tersirat. "Seharusnya kamu mengerti, Wulan."

Aku menyadari bahwa ini bukan sekadar perbincangan biasa. Ada sesuatu yang hanya dipahami oleh para penghuni desa gaib ini.

"Nggih, Pak. Wulan lupa," jawab Wulan, suaranya lebih lembut. "Kami akan kembali ke desa sebentar lagi."

Mendengar jawaban itu, lelaki tua itu kembali tersenyum. "Bagus. Jangan lama-lama, keburu acaranya selesai."

"Nggih, Pak!" balas Wulan ceria.

Begitu lelaki itu berbalik dan mulai berjalan kembali ke hutan, tubuh Wulan tiba-tiba menegang.

"Lari!" teriaknya tiba-tiba.

Ia menarik tanganku, dan kami segera berlari menuju bagian hutan yang berkabut. Nafasku tersengal-sengal, dan aku bisa merasakan bahaya yang membuntuti kami.

"Apa bapak tadi berbahaya?" tanyaku di tengah langkah terburu-buru.

"Manusia tidak boleh berada di desa gaib itu, Mas. Sekali masuk, mereka harus menjadi bagian dari desa selamanya."
Read 17 tweets
Feb 27
JALUR MATI ALAS MERAPI
Part 3 - Keraton Gaib

Di balik hutan-hutan yang lebat dan puncak yang gersang, tersembuyi entitas gaib yang saling berinteraksi dan memiliki kehidupannya sendiri..

Keraton Gaib Merapi, bersembunyi di balik kabut pekat di sana.

#bacahorror @IDN_Horor Image
Part sebelumnya :

Part 1 - Sukma yang Tertinggal
x.com/diosetta/statu…
Part 2 - Hutan Tak Kasat Mata
x.com/diosetta/statu…
Sudut Pandang Cahyo…)

Kabut semakin pekat, menyelimuti jalur pendakian yang seharusnya tidak ada. Inilah jalur gaib yang kami cari, jalan menuju keberadaan Sukma Tiwi. Tapi kini, kami terjebak.

Dari balik kabut, bayangan-bayangan samar mulai bermunculan. Dayang-dayang keraton demit melayang mengelilingi kami, wajah mereka pucat dengan mata kosong menatap tanpa kedip.

Gaun panjang mereka berkibar tanpa suara, membentuk lingkaran semakin rapat. Udara menjadi dingin menggigit, menembus hingga ke tulang.

“Ini buruk,” bisikku, suaraku nyaris tenggelam dalam keheningan menyesakkan.

Lalu, dia muncul. Sosok kakek tua berdiri di hadapan kami, tubuhnya bungkuk dengan tongkat kayu tua yang dihantamkannya ke tanah hingga terdengar bunyi retakan. Kabut di sekitarnya bergetar, seakan tunduk pada kekuatannya.

Di tangan kirinya, tergantung sesuatu yang membuat darahku membeku—sebuah kepala manusia membusuk, matanya melotot kosong, bibirnya menyeringai ngeri. Bau busuk menyengat menghantam hidung, membuat perutku mual.

“Jangan berurusan dengannya!” seruku, suaraku bergetar saat melirik Galang, Farel, dan Raka yang wajahnya sudah pucat pasi. Tapi terlambat. Kakek itu tidak hanya menghalangi jalan. Dia mengincar kami.

“Kita sudah masuk ke wilayahnya,” bisikku, suaraku serak. “Kakek itu... dia tidak segan-segan mengambil nyawa manusia.”

Mata cekungnya bergerak lambat, memperhatikan kami satu per satu. Pandangannya terhenti pada Kliwon, kera yang berdiri di sampingku, bulunya meremang penuh kewaspadaan.

“Satu kepala saja cukup... Kuberi kalian kesempatan pergi,” suaranya parau, dalam dan dingin seperti datang dari dasar kubur. Tawaran yang terdengar seperti vonis mati.

Aku menelan ludah. Dia benar-benar menginginkan salah satu dari kami.
Dengan langkah gemetar, aku maju selangkah.
“Tak kubiarkan kau menyentuh mereka,” ucapku mantap, meski nyaliku hampir luruh.

Kakek itu menyeringai, mulutnya robek lebar memperlihatkan gigi-gigi hitam keropos. Tawanya pecah, menggema di antara pepohonan, memantul berkali-kali hingga terdengar seperti jeritan makhluk terkutuk. Udara tiba-tiba semakin dingin. Bayangan-bayangan di balik kabut bergerak gelisah.

Dayang-dayang demit itu tidak lagi sekadar mengelilingi. Mereka melayang maju dengan gerakan lambat, tangan-tangan kurus mereka terjulur ke arah Galang, Farel, dan Raka. Kabut tebal menyelimuti kaki mereka, menyeret mereka menjauh dariku.

Ini jebakan. Kakek tua itu mengalihkan perhatianku, sementara yang lain diincar untuk dijadikan tumbal.
“Kliwon!” teriakku.

Kliwon melesat cepat, tubuhnya lenyap ditelan kabut pekat. Aku hanya bisa berharap dia bisa menemukan mereka sebelum terlambat.

Sementara itu, aku harus bertahan di sini. Berhadapan dengan makhluk yang bahkan gunung ini sendiri telah mengutuknya.
...
Read 13 tweets
Feb 20
JALUR MATI ALAS MERAPI
Part 2 - Hutan Tak Kasat Mata

Cahyo sudah menunggu Galang dan teman-temannya di jalur pendakian. Tak di sangka, kedatangan mereka sudah diawasi...

#bacahorror @bacahorror @IDN_Horor Image
Part sebelumnya :

Part 1 - Sukma yang tertinggal
Siang itu, aku duduk gelisah di kamar, jari-jariku bergerak resah di atas ransel yang masih kosong. Rasa cemas menggelegak di dadaku, memikirkan keadaan Tiwi. Aku tak bisa lagi menunda.

Aku harus kembali ke Merapi.

Tanpa banyak pikir, aku mulai mengemasi barang-barang. Tanganku gemetar saat memasukkan jaket, senter, dan beberapa keperluan lain. Saat melangkah keluar kamar, ibu memandangku dengan alis berkerut.

"Galang! Kok tiba-tiba begini?" tanyanya heran.

Aku menelan ludah, berusaha tetap tenang. "Iya, Bu. Janjian sama Mbah Dirwo, mumpung sempat katanya."

Aku terpaksa berbohong. Aku tak ingin ibu tahu alasan sebenarnya, bahwa ini bukan sekadar perjalanan biasa. Aku tak ingin ia khawatir kalau tahu aku kembali ke Merapi demi Tiwi.

Begitu keluar rumah, aku langsung mencari angkutan umum menuju terminal bus. Hawa siang terasa lebih menekan daripada biasanya, atau mungkin itu hanya pikiranku saja. Aku menaiki angkot menuju terminal untuk melanjutkan menaiki bus menuju Boyolali, memulai perjalanan yang terasa begitu berbeda dari sebelumnya.

Dulu, Tiwi dan yang lain ada di sisiku, menemani langkah-langkahku. Tapi kini, aku sendirian, hanya berteman kecemasan yang terus menghantui.

Kemunculan badut Pak Suradirja di rumah sakit kemarin masih mengusik pikiranku. Sosok itu benar-benar membuatku semakincemas. Ada sesuatu yang tak beres. Dan aku tahu, ini bukan kebetulan. Keadaan Tiwi pasti lebih genting dari yang kukira.

Aku menarik napas panjang, menatap jalanan yang berlalu di luar jendela bus. Aku harus menemukan menemukan jalan untuk mengembalikan sukma Tiwi sebelum apa yang ditakutkan Mas Danan benar terjadi.

***
Read 17 tweets
Feb 13
JALUR MATI ALAS MERAPI
Pos 1 - Sukma yang Tertinggal

Tragedi di Merapi tahun lalu masih membekas di ingatan Galang dan yang lain. Mimpi yang sama terus muncul, dan kemunculan satu sosok membahayakan nyawa Tiwi.

Merapi memanggil kembali...

@bagihorror @IDN_Horor @bacahorror Image
Buat yang belum baca 2910 Mdpl bisa mampir ke sini ya :

2.910 Mdpl (Maut di Perbatasan Langit)
Part 1 : x.com/diosetta/statu…
Part 2 : x.com/diosetta/statu…
Part 3 : x.com/diosetta/statu…
Part 4 : x.com/diosetta/statu…
Part 5 : x.com/diosetta/statu…
Part 1 - Sukma yang Tertinggal

-- Awan panas menyembur deras dari kubah lava Merapi, menghapus warna hijau lereng dengan abu kelabu. Orang-orang berlarian panik, teriakan mereka bersaing dengan gemuruh tak henti-henti.

Tanah di bawahku berguncang, membuat langkahku terhuyung. Suara-suara kacau memenuhi udara, tetapi tubuhku terus bergerak, entah bagaimana aku menjauh dari bencana yang mendekat.

“Pak?! Cepat!!” Suara seseorang perempuan menyentakku.

Di sela-sela kepulan debu dan kerumunan yang panik, samar-samar aku melihat seorang pria berhenti berlari. Ia berdiri diam, semakin menjauh dariku yang terus melangkah mundur.

“Tidak… larilah! Selamatkan dia! Wulan... dia diminta oleh Merapi…” suara pria itu terdengar parau, namun tegas. Aku terpaku.

Panas mulai membakar kulitku, seperti napas neraka yang mendekat. Dalam hitungan detik, aku melihatnya, awan panas itu melahap pria tadi, tanpa ampun. Ia lenyap dalam abu, tanpa perlawanan.

Gempa kian menggila. Langit menghitam, menutup cahaya terakhir dari dunia.

Rasa takut mencengkeramku erat, seperti cakar raksasa yang tak ingin melepaskan. Kakiku gemetar, napasku berat. Apakah ini akhirnya?

Sebelum semua itu menelan diriku, tiba-tiba semuanya memudar. --
Read 22 tweets

Did Thread Reader help you today?

Support us! We are indie developers!


This site is made by just two indie developers on a laptop doing marketing, support and development! Read more about the story.

Become a Premium Member ($3/month or $30/year) and get exclusive features!

Become Premium

Don't want to be a Premium member but still want to support us?

Make a small donation by buying us coffee ($5) or help with server cost ($10)

Donate via Paypal

Or Donate anonymously using crypto!

Ethereum

0xfe58350B80634f60Fa6Dc149a72b4DFbc17D341E copy

Bitcoin

3ATGMxNzCUFzxpMCHL5sWSt4DVtS8UqXpi copy

Thank you for your support!

Follow Us!

:(