Dua ekor kera terlihat melompat dari satu pohon ke pohon lainya seolah acuh tak acuh dengan keadaanku yang terbaring lemas.
Aku mengira tidak ada lagi harapan hidup untuku yang telah tersesat selama tiga hari di hutan ini.
Namun ternyata tiba-tiba tetesan air mulai memasuki mulutku sedikit demi sedikit. Setiap tetesnya seolah mengembalikan kembali kesadaranku.
Kera…
Dua ekor kera itu bergantian mengisi mulutku dengan air, dan beberapa biji-bijian yang membuatku kembali bisa menggerakan tubuhku.
Namun tepat ketika aku mulai bisa bangkit, dengan segera mereka berlarian meninggalkanku masuk ke dalam kegelapan hutan.
……
Linggar Sasena, itu namaku. Hanya seorang mahasiswa biasa, dari keluarga biasa , dan dengan nilai rata-rata. Lalu kalian pasti bertanya, apa yang menarik dari kisahku ini?
Memang benar… tidak ada hal menarik dalam kisah hidupku , kecuali mengenai kisahku yang satu ini.
Kisah saat aku tiba di sebuah kampung yang bersebelahan dengan hutan yang di sebut warga dengan nama Alas Wetan.
“Selamat pagi pak… mohon ijin, Saya Linggar yang kemarin meminta ijin untuk melaksanakan KKN di desa ini”
Ucapku dengan sopan kepada Pak Damar yang menjabat sebagai kepala desa Ranggilawu.
“Oo.. mas Linggar, silahkan.. monggo dijelaskan kira-kira proyek apa yang mau dijalankan di desa ini” Ucap Pak Damar.
Aku menjelaskan kepada Pak Damar mengenai program kerjaku yang memanfaatkan sungai di pinggir desa sebagai pembangkit listrik sederhana yang dapat menghasilkan listrik untuk menerangi jalan masuk desa yang selama ini belum memiliki penerangan.
“Nah ide bagus Mas Linggar.. walaupun desa ini sudah masuk listrik, tapi untuk beberapa akses ke sini memang masih gelap di malam hari… pasti berguna mas”
Ucap Pak Damar yang setuju dengan programku.
“Nanti Mas Linggar dan teman-teman silahkan menginap di rumah sebelah pos desa, rumah itu milik adik saya yang sedang merantau ke luar pulau.. silahkan digunakan, tapi tolong dijaga”
Setelah mendapatkan ijin , aku kembali keluar menemui Fia dan Linus teman yang sekelompok denganku dalam menjalankan program kerja ini. Karena.. memang bukan hanya kelompok kami yang melakukan KKN di tempat ini.
“Mas.. mau ke sungai ya?” tiba-tiba seorang ibu bertanya kepada kami yang memang berniat melakukan survey ke sungai.
“Iya bu… kami mau mengecek lokasi lebih detail bu” Jawab Linus dengan sopan.
“Ohh.. iya, hati-hati ya.. jangan masuk ke hutan, masih ada hewan buas di sana” Ucap ibu itu mencoba memperingatkan.
“Yang bener bu? Kok serem… memangnya hewan apa yang sering muncul bu?” Tanya Fia yang mulai Was was.
“Tenang , kalau kalian ga masuk ke hutan aman kok.. di sana ada kera atau monyet buas yang sering menyerang warga yang masuk ke hutan” Jelas Ibu itu.
Kami saling berpandangan seolah sepakat untuk menuruti nasihat ibu warga desa itu.
“B.. baik bu, kami ga akan masuk ke hutan, Terima kasih sudah di peringatkan” Ucap kami pada ibu itu.
Setelahnya ibu itu langsung pamit dan melanjutkan kegiatanya.
Kami berjalan menyusuri jalan setapak menuju sungai yang dikelilingi dengan pohon-pohon yang masih rindang. Sebuah pemandangan yang jarang sekali kami lihat di perkotaan saat ini.
“Ah… kalau udaranya seger begini, kayaknya aku bisa betah tinggal di sini nih Linggar” Ucap Linus yang memang seorang pencinta alam sejati.
“Iya nih.. kalaupun nanti udah beres, boleh juga kita sekali-kali mampir ke sini buat refreshing” Lanjut Fia.
Aku hanya menggeleng.
“Bebas.. mau refreshing, mau menetap.. silahkan! Yang penting kita beresin dulu KKN 6 SKS ini..” Balasku yang segera berjalan mendahului mereka.
….
Sebuah sungai terlihat mengalir cukup deras dari arah gunung. Kami mulai mendeteksi debit air terbait untuk merancang peletakan kincir yang akan disambungkan ke dinamo nanti.
Namun bukan hanya itu yang kami temukan, di seberang sungai terlihat sebuah jalan masuk menuju hutan yang sepertinya terbentuk secara alami.
"Mungkin hutan itu yang banyak binatang buasnya ya Linggar… “ Tanya Fia.
“Iya … mungkin hutan itu, jangan berani-berani masuk ke sana ya.. bisa ga bisa keluar kalian” Ucapku memperingatkan mereka.
“Halah.. ga usah sok tegas kamu, kayak udah pernah ke sana aja” Ucap Linus.
Aku menatap kembali hutan itu, sekilas terlihat kenanganku saat tersesat di sana dari sisi sebaliknya dari hutan itu.
“Sudah… aku sudah pernah ke sana” Jawabku.
Fia dan Linus saling memandang, mereka terlihat kaget dengan jawabanku.
“Yang bener kamu Linggar… jangan bercanda!” Tanya Fia.
“Itu dulu waktu masih aktif di pencinta alam seperti Linus dulu… udah jangan dibahas sekarang, kapan-kapan saja aku ceritain” Ucapku yang menyibukan diri dengan schedule prokerku.
Sebuah rancangan kasar berhasil kami buat. Linus cukup mudah mengenali medan, Fia dengan cepat bisa mebuat rancangan kasar dari arahan yang kuberikan.
Alhasil, akhirnya kami mampu menyelesaikan tujuan kami walau sedikit melewati waktu maghrib dan langit mulai gelap.
Sesaat sebelum kembali mendadak Fia berhenti dan menoleh ke belakang, tepat kearah gerbang masuk hutan ini.
“Linggar… Linus.. kalian dengar suara tadi ga?” Ucap Fia.
Aku dan Linus saling berpadu pandang dan segera menggeleng, karena memang kami tidak mendengar suara apapun di sana dan akhirnya kami melanjutkan perjalanan untuk kembali ke desa.
Merasa lelah dengan aktivitas seharian ini , kami segera kembali ke rumah singgah.
Sebuah obrolan singkat terjadi diantara beberapa kelompok sebelum akhirnya kami beristirahat di kamar kami masing masing.
Kamar Pria diisi oleh enam orang , walaupun cukup banyak, kamar ini masih terasa cukup lega sehingga kami bisa tidur dengan nyaman.
Sampai tiba-tiba aku mendengar suara yang membuatku tersadar.
Semula aku mendengarnya seperti bisikan biasa, namun lambat laun suara itu mulai terdengar seperti mantra yang membuatku merasa merinding.
Sebelum aku sempat terbangun, terdengar suara seseorang diantara kami berdiri dan mengambil sesuatu dari tasnya.
“Lungo..! Ojo gawe perkoro karo konco-koncoku” (Pergi! Jangan mencari perkara dengan teman-temanku) Terdengar suara Linus menjadi berat seperti mengancam sesuatu.
Seketika suara bisikan itu menghilang, dan kami bisa tidur kembali dengan tenang.
Sayangnya tidak dengan di kamar perempuan…
Menjelang subuh kami dikejutkan dengan suara pintu kamar yang digedor dengan keras.
“Linggar! Linus! Bangun… tolong!!”
Terdengar suara perempuan yang kukenal, itu adalah Ratna.. teman satu jurusan kami juga yang mengerjakan program kerja dengan kelompok lain.
“Kenapa Ratna… ada apa? “ Ucapku membuka pintu disusul dengan anak-anak lain yang juga kaget dengan ketukan pintu Ratna.
“Linggar tolong… Fia…. Fia gak sadar, tingkah lakunya aneh!” Cerita Ratna yang segera membuat kami segera bergegas menghampiri Fia teman sekelompoku itu.
Aku memerintahkan Ratna untuk melapor ke Pak Damar sementara kami mengecek keadaan Fia.
Memang cukup aneh, di kamar perempuan terlihat beberapa orang memegangi Fia yang terlihat melotot dan meronta seperti kesurupan.
“Fia… kamu kenapa Fia?” Tanyaku yang benar-benar bingung harus berbuat apa.
“Bacakan Doa-doa yang kita bisa, kalau Fia memang kesurupan semoga saja doa dari kita bisa membantu” Perintah Linus.
Dengan segera kami membacakan doa-doa yang kami bisa, hingga akhirnya Fia berhenti meronta.
Namun itu bukan akhir masalah… sebaliknya Fia mendekatkan wajah pucatnya kepadaku , memiringan kepalanya sambil menyeringai.
“Khikhikhi…. Aku gelem karo sing iki” (aku mau sama yang ini) Suara tawa terdengar menyeramkan terdengar dari Fia.
Aku melihat Linus berlari ke kamarnya mencoba mengambil sesuatu, namun selang berapa lama Pak Damar datang bersama seorang pria dengan pakaian hitam dan blangkon di kepalanya.
Tanpa menunggu lama bapak itu mengambil air, membaca sesuatu dan memaksa meminumkanya ke Fia. Seketika Fia kembali terbaring di kasurnya seolah kehilangan tenaga.
Linus yang kembali dari kamar menghela nafas lega ketika melihat Fia mulai pulih dan segera menyembunyikan sesuatu yang ia ambil dari kamar.
“Ini Pak Dirman… salah satu yang kami percaya dalam mengurus masalah beginian” Jelas pak damar.
“Salam kenal Pak Dirman… saya linggar, sebenernya Fia ini kenapa ya pak?” Tanyaku yang penasaran.
Pak Dirman mengajak kami keluar ke teras dan membicarakan di luar untuk memberi waktu Fia untuk istirahat.
“Mas Linggar… jangan terlalu dibesarkan ya,takutnya anak-anak yang lain jadi panik “ Ucap Pak Dirman.
Beliau memastikan Fia hanya kerasukan roh halus biasa , dan tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Apabila ada yang aneh, kami diminta untuk melapor kepadanya.
Setelah sedikit berbincang dengan Pak Dirman dan Pak Damar kami kembali masuk ke kamar Fia dan memastikan kondisinya yang telah mulai sadar.
“Pocong…. Semalem ada pocong di kamar ini” Ucap Fia yang masih merasa ketakutan.
“Kain kafanya hampir seluruhnya menghitam… dia seperti berbisik sesuatu yang mirip dengan mantra”
Sangat mengerikan apabila yang diucapkan oleh Fia ternyata benar. Namun ucapanya mengingatkanku pada kejadian semalam di kamar kami juga.
Tapi sepertinya aku tidak perlu menceritakan hal ini agar tidak memperparah keadaan.
Setelah kejadian itu , Anak-anak saling bergantian menjaga Fia di rumah singgah sementara aku dan Linus melanjutkan prokerku di sungai terlebih dahulu sebelum nanti bergantian menjaga Fia.
Saat mencapai tengah hari entah halusinasi atau bukan , mendadak aku melihat Fia berjalan sendirian di seberang sungai berjalan sendirian.
“Linus… itu Fia?” Tanyaku memastikan pada Linus.
Ia menoleh namun seperti tidak melihat apa-apa.
“Ga ada… ga ada apa-apa di sana, kamu kali terlalu khawatir… Fia kan di desa di jaga sama anak-anak” Ucap Linus.
Sepertinya aku setuju dengn ucapan Linus, karena setelahnya aku tidak melihat lagi sosok seperti Fia di pintu masuk Hutan.
Menjelang tengah hari kami segera kembali ke desa, namun di sana terlihat warga sedang ramai seolah mencari sesuatu.
“Linggar… Fia hilang linggar” Ucap Ratna yang segera menghampiriku ketika masuk ke desa.
“Yang bener kamu? Bukanya pada gantian jagain?” Tanyaku bingung.
“Iya… aku yang jaga, aku sama sekali ga liat siapapun keluar kamar ,jendela juga tertutup tapi pas mau nganter makan siang tiba-tiba fia ga ada” Jelas Ratna.
Aku tidak tau harus berbuat apa, kami membantu mencari keseluruh penjuru desa hingga petang namun tidak dapat menemuka jejak Fia.
“Linggar.. jangan-jangan yang kamu lihat masuk ke hutan itu beneran Fia?” Tanya Linus padaku.
Aku berfikir sejenak dan membayangkan kemungkinan buruk yang terjadi. Dengan segera aku melapor ke Pak Damar berharap mereka mau membantu mencari keberadaan Fia.
“Sudah Mas Linggar di desa saja,tunggu di sini bersama yang lain.. biar saya dan pemuda desa yang mencari ke Hutan..” Ucap Pak Damar.
Aku tidak setuju , begitu juga dengan Linus.. kami memaksa untuk pergi sementara kelompok lain tetap di desa.
“Saya juga ikut… mudah-mudahan kemampuan saya bisa menjaga supaya kita semua bisa kembali dengan selamat”
Tiba –tiba Pak Dirman datang menghampiri kami dan pak Damar.
Dengan peralatan seadanya yang kami punya, kami memasuki hutan yang dipenuhi dengan berbagai macam tumbuhan semak belukar.
Tidak seperti hutan yang sering kami lihat di setiap perjalanan, hutan ini benar-benar terasa seperti hutan liar dimana jalur untuk berjalan saja sulit untuk dicari.
Sekelebat aku seperti melihat kobaran api menyala dari sisi hutan, namun saat aku menoleh hanya kegelapan yang terlihat di sana. Mungkin saja itu cahaya api dari obor warga pikirku.
Tak lama setelah itu terlihat dari kegelapan hutan beberapa pasang mata memantau kami dari kegelapan, suara kera saling bersahutan terdengar mengelilingi kami.
“Jangan sampai ada yang terpisah dari kelompok… mereka mulai terusik” Ucap Pak Dirman.
Setelah membacakan suatu doa atau mantra Pak Dirman membakar sebuah kayu seukuran lengan dan melemparkanya ke arah kegelapan hutan itu, seketika api itu berubah menjadi kobaran yang mengusir keberadaan kera-kera itu.
Namun sayangnya tidak semudah itu…
Kera-kera yang kabur itu segera kembali ketika sepasang kera mengeluarkan suara seolah memberi perintah kepada pasukanya
sekumpulan kera itu kembali menyerang kami dipimpin seekor kera yang terlihat paling pintar di antara mereka.
Satu persatu mereka menyerang, mencakar, berusaha mengusir kami dari wilayah kekuasaanya.
“Pak Dirman… ini terlalu berbahaya, sebaiknya kita kembali dulu” Perintah Pak Damar.
Aku setuju walaupun dengan berat hati, namun itu pilihan terbaik dibanding pencarian ini malah memakan korban lagi.
“Jangan… kita sudah dekat, seharusnya saya Perempuan itu tidak jauh dari sini, harusnya kita bisa mengurus kera-kera sial ini..”
Ucap Pak Dirman yang sekali lagi membacakan mantra untuk membesarkan api yang ada di obornya sehingga kera-kera itu mulai merasa terancam.
Dengan ucapan Pak Dirman, kami semua berusaha sekuat tenaga membalas serangan kera-kera itu.
Dengan obor, kayu , batu kami berusaha sekuat tenaga menahan serangan kera-kera itu hinga satu persatu kera itu tidak berdaya.
Terlihat dengan bantuan warga desa, Pak Dirman bisa fokus menghadapi kedua kera yang memimpin pasukan kera yang kami lawan.
Sekilas aku melihat pertarungan mereka tidak seperti pertarungan biasa, Pak Dirman menggunakan ajian di setiap pukulanya hanya untuk menghadapi kedua kera itu.
Pukulan demi pukulan dihantamkan oleh Pak Dirman ke tubuh kera kecil itu hingga beberapa kali terpental.
Namun seolah tidak mau menyia-nyiakan kesempatan Pak Dirman mencabut sebuah pisau kecil dari sakunya dan bersiap menusukanya pada kera yang sudah tidak berdaya itu.
Sekilas aku teringat mengenai keberadaan Kera yang menolongku saat tersesat di hutan ini.
“Pak Dirman… sudah!” Ucapku yang segera menarik tubuh Pak Dirman dan menahanya untuk membunh kera itu.
“Minggir Mas Linggar.. kera itu harus mati agar tidak ada lagi yang mengganggu warga desa yang masuk ke hutan” Ucap pak Dirman
Aku sekuat tenaga menahan Pak Dirman dan segera mengecek kondisi kedua kera yang terbaring tak berdaya.
“Sudah pak.. mereka sudah mati, tidak ada nafas lagi.. jangan berbuat lebih jauh dari ini“
Ucapku yang setengah berbohong karena tidak tega apabila melihat kera-kera ini dihabisi dengan brutal oleh Pak Dirman.
“Ya sudah… kalau tidak ada halangan lagi kita lanjut saja” Ucap Linus yang sepertinya setuju dengan perbuatanku.
“Ke arah mana Pak Dirman?”
Pak Dirman memejamkan mata sejenak dan menunjuk ke arah utara tempt dimana cahaya bulan menerangi dari sela-sela tanaman yang rindang.
Kami berjalan cukup lama, sebelum akhirnya seorang pemuda menunjuk se sebuah tempat yang dikelilingi bebatuan berlumut.
“I… itu Pak” Ucap pemuda itu.
Kami menoleh, terlihat bayangan seorag wanita sedang berdiri di tengah bagian hutan yang lapang itu.
“Jangan-jangan Itu Mbak Fia?” Ucap Pak Damar yang mulai merasa lega dan segera mengajak kami mengecek ke sana.
“Kalian jalan duluan… sepertinya saya sedikit terluka akibat kera-kera tadi” ucap pak Dirman yang seolah merasa kesakitan.
“Saya obatin dulu pak.. “ Ucapku sambil mempersiapkan kotak P3k namun segera ditolak oleh Pak Dirman.
“sudah sana… jemput temanmu dulu, saya tidak apa-apa” Balasnya.
Setelah meyakinan luka Pak Dirman tidak parah, kami segera menghampiri sosok wanita yang berdiri di tengah hutan itu.
Itu adalah salah satu bagian hutan dengan tempat yang cukup lapang dibanding sekitarnya walaupun masih ada pohon di setiap beberapa meter.
“Fia… “
Ucapku memanggil wanita yang berdiri di tengah kegelapan hutan itu.
Sayangnya.. ia tidak menjawab sama sekali.
Aku menghampirinya mendekat, aku bisa memastikan bahwa iti Fia dari pakaian yang ia pakai namun saat mendekat aku mulai sadar bahwa Fia sedang menatap terpaku ke sebuah sudut hutan.
“seharusnya kalian tidak ke sini….”
Tiba-tiba Fia menoleh ke arahku dengan wajah yang pucat dengan air mata yang mengalir tanpa henti dari matanya.
“Kita semua akan mati….” Lanjutnya.
Linus dan seluruh warga desa merasa bingung dan segera mendekat ke arah Fia.
“Sudah Fia, tenang saja ayo kita kembali…” Ucap Linus yang berusaha menenangkan Fia.
Sayangnya seketika sebuah angin besar bertiup hingga mematikan beberapa obor yang kami bawa dan menciptakan kegelapan yang semakin pekat.
“Kita sudah tidak bisa kembali…” Ucap Fia yang semakin tidak mampu menahan tangis.
Tiba tiba seorang pemuda yang membantu kami terjatuh dan bertingkah aneh.
Ia merangkak dengan melebarkan tangan dan kakinya dengan lidahnya yang menjulur tanpa henti dan membenturkan kepalanya ke batu.
“Mas… kamu kenapa mas?” Ucap Pak Damar yang berusaha mencari tau keadaan pemuda itu.
…
“Khe…khe…khe… “
Pemuda itu tidak menjawab dan hanya terus membenturkan kepalanya ke batu hingga darah dari kepalanya menetes di tanah. Ia tertawa mengerikan sambil menjilati darahnya yang mengucur dari kepalanya sendiri.
“Mas.. jangan mas, berhenti…” Ucap Pak Damar berusaha menghentikan pemuda itu dibantu oleh pemuda lainya.
“Khekhekhe… sabaro to, bar iki giliran kowe” (yang sabar… setelah ini giliran kalian) Ucap makhluk yang merasuk ke dalam tubuh pemuda itu.
“Hihihihii….” Kali ini suara terdengar dari atas pohon.
Aku menoleh ke atas pohon dan di sana terlihat makhluk berwujud wanita berambut panjang bergantung terbalik dengan tubuh kurus kering seolah hanya tulang yang tersisa di balik kulitnya yang penuh borok.
Rupanya itu hanya permulaan, setelahnya muncul berbagai makhluk mengerikan yang didominasi oleh pocong yang kain kafanya sudah menghitam seperti yang diceritakan Fia setelah ia kesurupan tadi.
“Pak.. Damar, ini apa pak?” Tanyaku yang sudah mulai merasa lemas dan tidak tahu harus berbuat apa.
Namun wajah Pucat Pak Damar seolah memastikan aku tidak akan mendapatkan jawaban. Dan sebaliknya, sesuatu juga mulai merasuki tubuh Pak Damar dan membuatnya terjatuh.
Aku mencari keberadaan Pak Dirman yang harusnya mengerti tentang hal ini, namun entah mengapa ia tidak segera sampai ke tempat ini. seharusnya ini tidak terlalu jauh.
Tak lama masalah berganti ke Fia, Makhluk yang dari tadi memandang kami dari atas pohon mengejar Fia hingga akhirnya Ia terjatuh dan makhluk itu seolah bersiap menggigitnya.
Di tengah keadaan yang mencekam ini, tiba tiba Linus mengeluarkan sesuatu dari tasnya yang terbungus kertas koran lusuh.
Aku memperhatikan , benda itu merupakan batu besi berbentuk pisau yang dipenuhi ukiran-ukiran aksara jawa.
Kesadaran Linus seolah terganggu, ia segera berlari menuju makhluk yang sedang menikmati tubuh Fia dan menghujamkan benda yang ia bawa itu ke tubuh makhluk itu.
“Ojo kewanen kowe!” (Jangan berani berani kamu?) Suara linus terdengar lebih berat dari biasanya.
Makhluk yang menyerang Fia Terluka oleh serangan pusaka Linus, namun sepertinya ia tidak gentar.
“Linggar… jangan jauh jauh dariku” Ucap linus dengan suaranya yang kembali normal.
“Linus, ini semua apa?” Tanyaku.
“Bocah-bocah goblok! Kowe kabeh wis dijebak” (Anak-anak goblok! Kalian semua sudah dijebak) sekali lagi suara linus kembali berubah.
“Ma.. maksudnya?”
“Kowe kabeh arep ditumbalke kanggo demit-demit iki”
(kalian semua mau ditumbalkan untuk setan-setan ini)
Aku semakin takut, siapa yang berniat menumbalkan kami.
Pak Dirman… ia tidak ikut ke tempat ini. Atau dia memang sengaja menjebak kami ke sini.
“Metu kowe dukun asu!” (Keluar kamu dukun Anj**)
Ucap Linus masih dengan sesuatu yang merasukinya.
Benar… dari jauh kegelapan hutan, terlihat seseorang berpakaian hitam dengan blangkon yang menjadi khasnya menampakan dirinya bersama berapa demit yang merangkak di belakangnya.
“Sialan.. tak kusangka ada yang beguru diantara kalian” Ucap Pak Dirman yang tidak membantah ucapan Linus.
“Linggar Jaga Fia..” Ucap Linus dengan suaranya yang kembali normal dan segera menerjang Pak Dirman dengan pusaka yang ada di genggamanya.
Dengan semua kondisi ini aku tidak bisa membantah perintah Linus.Pak Dirman,seseorang yang kusangka seharusnya melindungi kami malah berniat jahat terhadap kami.
Sedangkan Linus, teman kampusku yang biasa-biasa malah menyembunyikan sesuatu yang mungkin bisa menyelamatkan kami.
Sebelum sempat mendekat, Pak Dirman menggunakan api dari obor yang ia bawa dan menciptakan api yang membakar sekitarnya.
Dengan mantra yang ia baca, seolah api itu mengikuti perintanya untuk menyerang Linus.
“Hati-hati Linus!” Teriaku yang merasa lemah tanpa mampu berbuat apa-apa.
Api yang dikendalikan oleh pak dirman berhasil membakar bagian tubuh Linus, namun sepertinya hanya pakaianya yang terbakar.
“Rogo jiwo mabur kanginan…”
Suara mantra terdengar dari mulut linus yang membuatnya yang sedang berlari tiba-tiba hilang dan muncul di belakang Pak Dirman dengan pusakanya yang sudah menusuk punggungnya.
Seketika Pak Dirman jatuh tersungkur , takluk oleh serangan Linus yang tak kusangka itu.
Sayangnya rasa akan kemenangan itu tak berlangsung lama, sesosok makhluk besar dari dalam hutan datang menghampiri Linus dan menendangnya dengan begitu kuat.
“I.. itu Linggar, itu makhluk yang memandangiku dari tadi sebelum kalian datang” Ucap Fia yang mengenali wujud makhluk itu.
“A.. ampun ndoro, Tumbal panjenengan se..sekedap melih siap” Ucap Pak Dirman yang terlihat ketakutan.
Terlihat raut wajah penuh amarah tergambar di wajah makhluk besar yang mengerikan itu.
Seketika tubuh makhluk besar itu merasuki tubuh pak dirman, merubah tubuh Pak dirman menjadi membesar hingga merobek kulit-kulit pak dirman dan memamerkan dagingnya yang membesar.
Wajah pak dirman berubah menghitam , matanya membelalak dengan merah setelah kulit di matanya tak mampu lagi membuatnya berkedip.
Entah… seandainya Linus bisa mengalahkan setan itu, apa pak dirman masih bisa hidup dengan tubuh seperti itu.
Namun yang kupikir lebih mengerikan apakah makhluk di tubuh Linus mampu mengalahkan makhluk sebuas itu.
“Rogo bumi doyo wesi…”
Sekali lagi sebuah mantra dibacakan oleh Linus yang membuatnya mampu menahan serangan setan itu, namun terlihat tubuh linus semakin lemah.
Mungkin kekuatan yang ia gunakan berakibat pada tubuhnya.
“Linus.. Apa yang bisa kami bantu” Tanyaku yang tidak mau hanya mati tanpa memberikan perlawanan sedikitpun.
“Linggar aku ga tau bisa bertahan berapa lama lagi… ini kemungkinan terakhir…
Mungkin saja kera-kera tadi sengaja melindungi kita dari makhluk ini, seandainya pemimpin mereka masih hidup, mungkin mereka bisa menolong kita” Jelas Linus.
Aku mengingat kedua kera yang bertarung dengan Pak Dirman tadi. Seharusnya kedua kera itu masih bernafas.
“Mereka masih hidup, tapi entah dengan kondisinya… Aku akan bawa mereka ke sini!” Ucapku yang bergegas meninggalkan pertarungan itu.
“Fia, kamu bantu Linggar… di sini lebih berbahaya” Perintah Linus.
Kami berlari menerjang semak belukar di tengah gelapnya hutan menuju bekas sisa pertarungan kami dengan kera-kera tadi.
Cukup sulit untuk melihat dalam gelap, namun untungnya kami tetap bisa menemukan keberadaan sekumpulan kera-kera itu.
Saat kembali ke sana, sebuah rasa penyesalan menyelimuti pikiranku.
Di tempat itu bergelimpangan tubuh kera-kera hutan yang ternyata sedaritadi bermaksud melindungi kami dari setan-setan di dalam hutan itu.
“Linggar… kamu yakin mereka masih hidup?” Tanya Fia.
“Entah Fi.. tapi tadi saat aku memeriksa kera yang bertarung dengan pak Dirman , aku masih merasakan nafas mereka” Jelasku.
Aku mulai berlari dan memastikan satu persatu kera-kera yang terbaring di tanah.
Memang banyak luka yang dialami oleh mereka, namun sepertinya mereka masih bernafas.
Perlahan aku mengingat lokasi pertarungan Pak Dirman dengan kedua kera tadi.
Di sana terlihat dua ekor kera berusaha untuk berdiri, namun sepertinya luka-luka yang mereka dapat dari serangan Pak Dirman cukup parah.
Dengan air yang kubawa di perbekalanku, kuminumkan sedikit demi sedikit air ke mulut kera itu.
perlahan kesadaranya mulai pulih. Fia juga melakukan hal yang sama setelah kutunjukan seekor kera yang sangat mirip dengan yang kutolong.
“Maafkan kami… kami tidak tahu maksud baik kalian” Ucapku sambil berusaha mengobati kera itu dengan perlengkapan p3k yang kubawa.
Tetapi kedua kera itu kembali memaksa untuk berdiri dan berjalan dengan lemah menuju arah setan itu.
Seolah mengerti maksud mereka, aku dan Fia segera menggendong kedua kera itu dan membawanya berlari secepat mungkin ke tempat linus bertarung.
Kali ini tidak butuh waktu lama bagi kami untuk kembali dengan jalur yang sudah kami hafal. Dan kami kembali harus melihat linus bertarung..
tidak.. linus yang bertahan mati-matian dari serangan setan yang merasuki tubuh Pak Dirman.
“Linus.. kami membawa mereka!!” Teriaku.
Linus menoleh dan segera melompat ke arah kami.
“Maafkan kami… kini giliran kalian” Ucap Linus yang segera menggendong kedua kera itu.
“Rogo kayangan nompo pangasih..”
Sekali lagi suara berat itu kembali membacakan mantra dari tubuh Linus dan tiba tiba kedua kera itu bisa bangkit walaupun masih dengan luka-luka ditubuhnya.
Pak Dirman yang melihat hal itu segera berlari ke arah kami dan bersiap menyambarkan sebuah pukulan.
Namun salah satu kera berjalan menghampirinya dan menahan pukulanya dengan sebuah bayangan lengan kera besar yang keluar dari lenganya.
“Haha.. akhirnya, Linggar.. jangan tinggalin tubuhku disini ya” Ucap Linus yang segera terjatuh dan kehilangan kesadaran setelah menggunakan seluruh kekuatanya.
Kera yang seekor lagi melompat ke tubuh Pak Damar dan pemuda desa, seketika setan-setan yang merasuki meraka segera meninggalkan tubuhnya.
“Mas Linggar… ada apa ini?” Tanya Pak Damar dengan tubuh yang lemas dan penuh luka akibat perbuatan demit yang merasukinya.
“ini semua perbuatan Pak Dirman… sekarang lebih baik pak damar dan semuanya segera tinggalkan tempat ini, tolong bantu Linus juga.. dia yang membuat kita bisa hidup sampai sekarang” Perintahku.
Aku tahu, kondisi kedua kera inipun tidak mampu untuk mengalahkan demit yang merasuki pak dirman. Setidaknya Pak Damar bisa membantu semuanya untuk meninggalkan hutan ini.
Kami berlari keluar hutan dengan panduan salah satu kera itu. Pak dirman yang tengah dirasuki mengejar kami dan terus melancarkan serangan yang bahkan dapat menumbangkan pohon.
Untungnya setiap serangan itu ditahan oleh seekor kera yang berkali kali mengeluarkan bayangan kera raksasa dari setiap seranganya.
Namun saat sampai di ujung hutan pertempuran tak lagi dapat di hindari. Setan dalam tubuh pak dirman masih berusaha meninggalkan hutan.
namun kedua kera itu terus menahanya hinggal luka-lukanya semakin bertambah.
Sampai akhirnya Setan dalam tubuh pak dirman itu menciptakan api seperti yang dilakukan pak Dirman dan menyelimuti tanganya dengan api.
Sebuah pukulan terkena telak di tubuh seekor monyet kecil yang berusaha menolong kami hingga terhempas dan menyisakan luka ditubuhnya.
Aku mengambil air dari sungai dan memadamkan api itu namun kera itu masih mencoba berdiri sebelum akhirnya pukulan serupa menghilangkan kesadaranya hingga terbawa arus sungai.
Aku mencoba mengejar kera itu namun arus sungai terlalu deras.
Melihat kejadian itu salah satu kera lainya terlihat marah. Dengan sekuat tenaga ia memukul mundur Demit yang merasuki Pak Dirman hingga masuk kedalam hutan.
Seketika pusaka Linus jatuh dari tubuhnya seolah memanggilku untuk mengambilnya.
“Delehen aku ning alas kuwi” (letakan aku di hutan itu)
Seketika suaraku menjadi berat seperti saat Linus memegang pusaka ini.
“Linggar…maksudnya apa?” Tanya Fia.
“Entah Fia , Pusaka ini seperti punya kesadaran sendiri.. “ Jelasku.
Sebelum aku semakin bingung tiba-tiba ada yang mengambil alih tubuhku seperti tadi.
“Delehen aku ning alas , tak jogo alas kuwi ben Demit kuwi ra metu.. “
(letakan aku di hutan, aku jaga agar setan itu tidak keluar)
Mendengar itu aku seperti mendapat harapan untuk menyelamatkan kami dan warga dari setan yang merasuki pak dirman.
Dengan sigap aku menyebrangi sungai dan menusukan pusaka itu ke tanah di hutan itu.
“Ke sini!” Ucapku memanggil kera yang masih bertarung dengan setan pak dirman. Namun seperti terbakar amarah, kera itu tidak mempedulikanku dan terus bertarung.
“Mengko ono sing bakal ngerampungki perkoro iki… nganti wektune tibo, aku sing njogo alas iki…”
(Nanti akan ada yang menyelesaikan permasalahan ini… sampai waktunya tiba, aku yang akan menjaga hutan ini)
Sekali lagi suara pusaka itu merasuki tubuhku. Tak lama setelahnya pusaka yang kutancapkan di tanah itu mengeluarkan kabut yang mulai menyelimuti seluruh hutan.
Aku terus melihat ke arah kera yang menolong kami itu, namun ia tertap bertarung dan hanya sekali menoleh kearahku saat kabut mulai menutupi hutan ini.
…..
Cukup lama Linus tidak sadarkan diri, hingga saat siang hari kami baru bisa berkumpul di rumah Pak Damar.
“Maaf ya Linggar… saya benar-benar tidak menyangka Dirman memiliki niat sebusuk itu” Ucap pak damar.
“Iya pak.. kita juga salah sudah terpancing dengan jebakanya” Balasku.
“Tapi kalau tidak ada kejadian kemarin mungkin Pak Dirman masih tinggal di desa ini dan melancarkan siasat busuknya” Ucap Linus yang telah sadar setelah tidur semalaman.
Sepertinya kami semua setuju dengan ucapan Linus. Saat ini seluruh warga masih cukup ramai dengan cerita dari kami dan pemuda yang ikut ke dalam hutan. tak sedikit yang khawatir dengan kami dan membantu sebisa mereka.
“Tapi aku sama sekali ga nyangka ternyata kamu punya kekuatan seperti itu” Ucapku Pada Linus.
Namun Linus hanya menghela nafas.
“Kekuatan itu hanya titipan Linggar… mungkin sekarang kamu melihat itu sebagai hal baik, tapi kalian kan ga tau masalah apa saja yang sudah diakibatkan oleh kekuatan ini sebelumnya.” Jelas Linus.
Mungkin benar ucapan linus, wajar bila kekuatan seperti itu bisa memberikan masalah atau dampak tertentu. Namun setidaknya, kali ini kekuatan itu berhasil menolong kami.
“Setidaknya aku berterima kasih, kekuatanmu itu sudah menolong kami… tapi, apa ga masalah pusakamu itu ditinggal di hutan itu?” tanyaku.
Linus menggeleng, sambil menyeruput kopi hitamnya.
“Ga masalah Linggar… aku dan pusaka itu terhubung satu sama lain, kelak saat waktunya tiba pasti dia akan kembali” Jelas Linus.
Setelah kejadian mengerikan itu Pak Damar masih mengijinkan kami untuk menyelesaikan program kerja kami.
Namun kali ini beberapa utusan dari universitas datang untuk memastikan kondisi kami.
Untungnya kami berhasil meyakinkan mereka mengenai keselamatan kami. Tapi sebenarnya aku masih merasa penasaran, apakah seekor kera yang terbawa arus sungai saat menolong kami bisa selamat?
Semoga saja aku masih ditakdirkan untuk bertemu dengan kera itu lagi.
-------
“Heh Panjul! Kesini!” Ucap Paklek memanggilku ke sebuah bangunan tua di sebuah pedalaman desa.
“Emoh paklek… gak mau! I… itu isinya setan semua” Jawabku yang bergidik ngeri saat melihat penunggu bangunan itu yang muncul setelah Paklek membacakan doa.
Walaupun Paklek sudah beberapa kali mengajaku membantu warga menyelesaikan masalah seperti ini. aku tetap tak terbiasa dengan wujud-wujud makhluk halus yang kami hadapi.
“Reneo.. ke sini, katanya mau jadi kuat biar bisa ngalahin pemain Ludruk itu..?” Ucap paklek.
Memang benar ucapan Paklek, seharusnya aku melatih mentalku untuk bersiap menghadapi makhluk yang menghabisi keluarga dan warga desaku.
Tapi… yang sedang paklek hadapi ini adalah makhluk genderuwo berkaki empat yang tingginya hampir menembus loteng bangunan itu.
“Nggak Paklek.. serem!” Ucapku yang segera melarikan diri dari pandangan demit-demit itu.
Terlihat paklek hanya menggeleng melihat kelakuanku.
Aku pergi hingga terhenti sebuah sungai di pinggir desa.
Sepanjang jalan aku hanya menggerutu meratapi nasibku saat ini yang harus menemani paklek berurusan dengan demit-demit itu.
Namun tak lama setelah aku tiba di sana aku melihat ada sesuatu mengambang diantara aliran sungai itu. Bentuknya menyerupai seekor hewan.
Entah mengapa dari dalam tubuhku muncul perasaan untuk masuk ke sungai dan menolong makhluk itu.
Seekor bangkai kera? Kalau ini hanya bangkai kenapa aku harus menolongnya?
Yang jelas aku tak mengerti mengenai perasaan apa yang mendorongku mengangkat jasad kera ini.
Saat sampai ke pinggir sungai, aku baru melihat banyak sekali bekas luka dengan darah yang masih segar terlihat dari bekas luka di tubuhnya.
Aku benar – benar tidak tega melihat kondisi makhluk ini.
Seketika aku teringat kekuatan paklek yang mampu menyembuhkan luka dan kutukan . Mungkin saja paklek bisa menolog makhluk ini.
Dengan segera aku menggendong makhluk itu dan membawanya ke paklek.
“Paklek.. Paklek! Tolong paklek!” Teriaku yang berlari mengarah ke bangunan yang penuh makkhluk halus itu.
“Halah.. Panjul, kalo ga mau bantuin ya jangan gangguin to” Ucap paklek yang terkaget melihat kedatanganku saat sedang membacakan doa.
Aku meletakan tubuh kera yang terluka itu ke atas meja di bangunan itu dan meminta tolong pakle menyembuhkanya.
“Tolong paklek.. paklek bisa nyembuhin monyet ini kan?” Ucapku memohon.
Paklek memeriksa tubuh monyet itu dan seperti tidak menemukan detak jantung maupun nafas darinya.
“Panjul.. monyet ini sudah mati, nanti kita kuburin aja ya..” Balas Paklek.
Sebenarnya aku tau itu, tapi bagaimana cara menjelaskan ke paklek mengenai sesuatu yang kurasakan ini.
“Nggak… tapi kamu lihat sekitarmu, seluruh penghuni bangunan ini menjauh ketika jasad kera ini sampai di tempati ini” Ucap Paklek.
Benar kata Paklek, aku baru sadar semua makhluk halus di bangunan ini menjaga jarak dari kami setelah kedatanganku dan kera ini.
Setelahnya Paklek mengambil sebuah keris yang terbungkus kain lusuh, menggoreskan keris itu pada jarinya.
Seketika darah Paklek berubah menjadi api yang menetes ke tubuh kera itu.
“Ini ilmu penyembuhan yang terbaik yang kubisa… semoga saja ini berguna” Ucap Paklek.
Aku hanya mengangguk menyaksikan ilmu yang baru pertama kali kulihat ini.
Perlahan luka-luka kera itu menutup sedikit demi sedikit hingga hampir tak bersisa. Aku menunggu dengan waswas berharap monyet kecil ini bisa selamat.
“Paklek… lukanya sembuh” Ucapku.
“Jangan senang dulu, kalau nafasnya tidak kembali hasilnya akan sama saja” Balas Paklek.
Beruntung , tak lama setelahnya terlihat dada monyet itu mulai bergerak.
“Paklek.. “ Aku menoleh pada paklek sambil tersenyum.
Terlihat paklek juga menghela nafas merasa lega ilmunya bisa menolong kera itu.
Kera itu mulai bergerak, namun sepertinya ada sesuatu yang mengganggu kesadaranya.
Melihat hal itu paklek membacakan doa pada sebotol air dan memberikanya padaku.
“Sepertinya ada kutukan yang menyerang hewan ini, minumkan air ini saat dia sudah bisa bergerak” Perintah paklek.
Aku mencoba menyentuh tubuh Monyet itu dan merasakan hawa dingin dari seluruh tubuhnya. Sepertinya benar kata paklek, masih ada kutukan yang menyerang monyet ini.
Dengan sarung yang selalu kubawa aku membungkus tubuh monyet itu dan menggendongnya berharap ini dapat menghangatkanya.
“Ketek kuwi arep mbok pioro?”
(Monyet itu mau kamu pelihara)
Tanya Paklek yang sepertinya terlihat cemas bila aku ingin memelihara hewan yang sepertinya menyimpan hal misterius ini.
“Iyo paklek.. ben mari sek, sopo ngerti nek wis mari iso dadi koncoku” (Iya paklek… biar sembuh dulu, siapa tau kalau sudah sembuh bisa jadi temanku) Jawabku.
Sepertinya paklek mengerti rasa kesepianku dan membiarkanku merawat kera ini.
“arep tak kei jeneng Kliwon.. apik to paklek?” (Mau saya kasi nama kliwon, bagus kan paklek?) ucapku sambil tertawa.
“Jeneng opo kuwi.. jeneng kok medeni” (Nama apa itu, jama kok nyeremin) tanya paklek.
“Iki jenenge ketek jagoanku .. Si Hantu dari Goa Buta , sopo ngerti aku iso dadi jagoan kaya dia” (Ini nama monyet jagoanku.. si hantu dari goa buta, siapa tau aku bisa jadi jagoan kaya dia?) Jawabku.
Paklek tertawa mendengar jawabanku.
“Tapi jul.. kamu udah ga takut lagi sama hantu-hantu itu?” Tiba-tiba paklek bertanya.
Aku baru ingat dan segera melihat ke belakang. Rupanya sang genderuwo besar tadi sudah berada di belakangku sambil berjongkok memamerakan wajah besarnya yang dipenuhi bulu berwrna hitam.
“S…se… setan!!”Ucapku yang ketakutan dan segera berlari meninggalkan bangunan itu sambil menggendong kliwon.
Terlihat paklek masih tertawa di sana seolah merasa senang setelah mengerjaiku.
(Bersambung…)
Terima kasih sudah membaca kisah ini sampai selesai. mohon maaf apabila ada bagian cerita ini yang menyinggung.
seperti biasa yang ga sabar untuk baca update atau sekedar mendukung bisa mampir ke @karyakarsa_id ya..
Suara senjata beradu di tengah rumah terpencil di pinggir hutan. Bukan sebuah kekacauan, namun sebuah pemandangan unik dimana seorang pendekar bertarung melawan lebih dari lima anak- anak kecil.
“Eyang! Ini jurus kodok terbang dari bukit nestapa!”
Seorang anak melakukan sebuah gerakan lucu sambil mengayunkan tongkat kayunya yang panjang.
“Heh! Kertasukmo, mana ada kodok bisa terbang?!” Ucap pendekar itu sambil tertawa dan menghindarinya.
“Hahaha! Dia emang hobinya gitu, Eyang Daryana! Ngasi nama jurus aneh-aneh, tapi gerakannya nggak jelas!” Tawa Purbawengi yang masih mencari celah untuk menyerang Daryana dengan sebuah senjata pisau di tangannya.
“Biarin! Kata Bapak, ngasi nama jurus harus keren biar lawan gentar!” Balas Kertasukmo.
Brakk!! Brakk!! Brakk!!
Beberapa pukulan sekaligus menjatuhkan anak-anak yang mengepung Daryana.
“Aduh! Sakit, Eyang!” Keluh Wirabumi yang terjatuh merasakan pukulan paling keras diantara yang lainnya. Namun dengan segera Daryana mengulurkan tangannya.
“Maaf, Eyang sengaja. Karena kelak, kamulah yang akan menjadi pelindung mereka semua..” Ucap Daryana
Wirabumi tak lagi mengeluh. Ia berdiri dengan bangga mendengar ucapan Daryana, Eyang kebangganya itu.
Mereka pun berkumpul kembali ke pendopo untuk beristirahat sekaligus menghabiskan waktu di sana.
Itu adalah terakhir kalinya Daryana menemui cucu-cucunya. Perjalanan hidupnya membuatnya menemui wanita-wanita hebat yang mengaguminya.
Keempat istri Daryana terpencar di berbagai daerah dan dari mereka lahirlah orang tua dari Wirabumi, Kertasukmo, Purbawengi, dan keturunan Sambara yang lain.
Setelah menyempurnakan Ajian Pemutih Raga, Daryana melakukan perjalanan untuk mencari ayahnya Widarpa Dayu Sambara. Setidaknya di umur sehatnya ia ingin melakukan perjalanan, dan memastikan keadaan ayahnya yang telah lama menghilang dan tak lagi menemuinya.
Sama seperti Widarpa, walau keberadaanya menghilang dari keluarganya, ia telah meninggalkan serpihan-serpihan kesaktiannya yang mungkin bisa akan berguna bagi keturunannya kelak. Sebelum dirinya menua, Daryana berniat mengamalkan ilmunya serta menemukan ayahnya itu.
Cahyo kembali ke desa itu, tempat dimana ia telah berdosa pada penduduk yang tinggal di sana. Sebuah desa yang dihuni oleh Trah keluarga yang mengucilakna dirinya. Trah Rojobedes...
Semoga teman-teman berkenan meninggalkan komen setelah membaca part ini..
Wabah di desa Darmo Kulon menewaskan lebih dari dua puluh nyawa. Anggoro sudah berusaha semaksimal mungkin, namun ia tak mampu berbuat banyak kepada mereka yang sudah sekarat.
Setidaknya, kedatangan Anggoro menghentikan jumlah korban yang terus bertambah.
“Ustad. Apa yang terjadi antara Mas Cahyo dan Raden Suto Benggolo di bukit? Mengapa Mas Cahyo tidak kembali ke sini?” Anggoro terlihat cemas saat mengetahui Ustad Imran kembali tanpa Cahyo.
“Tidak usah khawatir. Mas Cahyo baik-baik saja. Pasti kamu juga dengar suara khas knalpot vespanya saat melintas tadi, kan?”
Anggoro memang mengingat suara berisik yang melintasi desa setelah subuh. Ia baru sadar bahwa itu suara motor tua milik Cahyo.
“Lantas kenapa Mas Cahyo tidak kembali ke desa, Ustad?”
Ustad Imran menghela nafas menunjukkan wajahnya yang bingung menjelaskan apa yang terjadi.
“Apa yang ia hadapi jauh lebih besar dari bencana yang ada di desa ini, Mas Anggoro. Sesuatu yang benar-benar tak terbayangkan oleh manusia pada umumnya..”
Anggoro membaca raut muka Ustad Imran. Ia mencoba memahami kegelisahan dalam dirinya. Namun satu kabar dari Ustad Imran cukup membuat Anggoro dan warga desa lega.
Ustad Imran mengatakan bahwa tanah di desa Darmo Kulon sudah diruwat. Tak ada lagi kutukan yang mengikat desa tempat mereka tinggal. Jasad-jasad sudah bisa dimakamkan di tanah mereka.
Mendengar kabar itu, warga desa, terutama mereka yang ditinggalkan oleh keluarganya tak mampu menahan air mata.
Kini mereka benar-benar terlepas dari kutukan Raden Suto Benggolo. Namun Ustad Imran sendiri belum bisa tenang. Semua tidak ada artinya jika Cahyo gagal menangani sosok yang jauh lebih berkuasa dari Raden Suto Benggolo itu.
“Setidaknya saya ingin menyampaikan, jika suatu saat ia membutuhkan kemampuan medis saya, saya siap membantu Mas Cahyo kapan saja..” Anggoro membersihkan tangannya sambil menatap langit pagi hari di desanya. Ustad Imran mendekat dan berdiri di sebelahnya.
Bau Melati yang semula menenangkan kini berubah menjadi isyarat kematian.
Sosok pendendam yang membawa ketakutan untuk warga desa. Ia tak akan tenang sebelum dendamnya terpuaskan.
#bacahorror @bacahorror
Namaku Arya, seorang jurnalis lepas yang terbiasa menggali cerita kriminal, misteri, hingga horor.
Adrenalin selalu terpacu saat menemukan kisah misteri yang belum terungkap, dan biasanya aku mendapatkan info dari kantor, narasumber, atau teman-teman.
Tapi kali ini, sumbernya berbeda.
Berulang kali aku bermimpi tentang sebuah desa. Desa yang selalu sunyi saat malam tiba, penduduknya dicekam ketakutan oleh sosok tak kasat mata yang meneror mereka.
Ada legenda yang mengatakan bahwa manusia, hanya menempati satu dari sekian ribu alam yang diciptakan oleh Yang Maha Pencipta.
Alam manusia, alam roh, alam mimpi, alam antara, akhirat, khayangan, atau berbagai macam nama yang sering tersebut di berbagai kepercayaan mungkin memiliki tempat tersendiri yang tak mudah dijangkau oleh manusia.
Tapi di balik itu, setiap alam memiliki ikatannya sendiri dan saling mempengaruhi dengan caranya sendiri.
Tapi satu alam pernah mati menyisakan kesadaran yang memaksa dirinya sebagai alam untuk mendapatkan energi hidup dari alam lain.
Alam itu sadar bahwa tak ada makhluk yang berhak memiliki keinginannya sendiri. Jika hanya ada satu kesadaran untuk semua makhluk di satu alam, maka alam itu akan bangkit menjadi alam yang terkuat.
Jagad Segoro demit. Hanya amarah dan nafsu yang diizinkan untuk ada di sana. Setiap makhluk perlahan akan melupakan dirinya dan menjadi satu kesadaran dengan alam itu.
Hanya kegilaan dan kekacauan yang terus ada mengorbankan darah dan nyawa untuk kembali lahirnya sebuah alam yang telah mati.
Akan ada waktunya alam ini merebut alam manusia untuk menjadi bagian darinya..
***
Dananjaya Sambara. Itu namaku, dan aku adalah seorang manusia. Iya! Aku benar-benar manusia. Namun saat ini aku terpaksa menjebak diriku di alam tempat bangsa setan, dan lelembut berasal. Sesuatu yang mengerikan akan terjadi jika kami tidak menghentikannya.
Sebuah peperangan antara makhluk yang sudah ada sejak ratusan tahun yang lalu akan terjadi dan mengoyak batas alam antara alam manusia dan Jagad Segoro Demit. Aku di sini untuk menghentikan itu semua.
Tapi, sepertinya keberadaanku tidak dibutuhkan.
Di hadapanku berdiri seorang sesepuh leluhur Trah Sambara yang telah mengurung dirinya di Jagad Segoro Demit Selama ratusan tahun. Seseorang yang menjaga kesakralan Trah Sambara dari alam terkutuk.
Eyang Wirabumi Dayu Sambara.
“Terlemah?” Gumamku saat Eyang Wirabumi mendakwaku sebagai trah sambara yang terlemah. Aku tak bisa membantahnya, mungkin ucapannya benar. Aku memang tidak memiliki ajian-ajian sesakti Paklek dan Jagad.
“Bagaimana bisa kalian membawa manusia seperti dia ke alam ini?! Apa tidak ada pilihan lain!!” Teriak Eyang Wirabumi pada Nyi Purbawengi dan Eyang Kertasukmo.
Mereka tak menjawab dan memilih mundur sambil tersenyum. Aku menoleh pada Nyi Sendang Rangu dan ia justru berpaling seolah tak ingin terlibat dengan permasalahan Trah Sambara.
“Arrrgggh!! Mengapa kalian jadi setolol ini! Jangan salahkan aku jika dia mati dalam pertempuran!” Teriaknya sambil berpaling membuang muka, namun baru melangkah sesaat ia kembali menoleh ke arahku dan menunjukkan jarinya ke wajahku.
“Dan kau! Jangan sampai kau menjadi batu sandungan untuk kami!” Ancam Eyang Wirabumi.
Aku berusaha untuk tidak merespon apapun. Selain tidak mengerti dengan keadaan di alam ini, Eyang pasti punya alasan untuk sebegitu selektifnya menilai aku dan yang lain.
“Dia hanya tidak ingin ada lagi yang mati..” Ucap Nyi Purbawengi.
“Percayalah, walau perangainya buruk dia salah satu leluhur kita yang paling baik,” Tambah Eyang Kertasukmo.
Aku hanya menghela nafas sambil berusaha tersenyum. Perangai emosinya itu memang sedikit mirip dengan Eyang Widarpa. Seandainya Eyang masih ada, mungkin akan seru jika mereka berdua bertemu.
“Kepala Ki Kundawayan itu, apa eyang yang menghabisinya?” Tanya Mas Jagad.
Tak hanya Mas Jagad, aku pun merasa penasaran bagaimana makhluk sekuat itu dan hampir membunuh kami bisa takluk begitu saja.
Eyang Wirabumi mencabut keris dari kepala itu. Ia melangkah menuju sebuah ruangan dimana terdapat sebuah cermin di sana.
“Aku melihat semua pertarungan kalian dari Koco Benggolo. Ledakkan kekuatan telur jagat membuatnya lemah, saat tiba di Jagad Segoro Demit, kami menggunakan kesempatan itu untuk menghabisinya..” Jelas Eyang Wirabumi.
“Kami?” Paklek bertanya.
Eyang Wirabumi memalingkan wajahnya dari cermin dan kembali menatap ke arah kami.
“Aku tidak seorang diri di sini, leluhur kalian yang lain terpencar di alam ini. Mereka menghimpun kekuatan dan memburu danyang yang bersekutu dengannya.”
Aku semakin penasaran dengan wujud dari leluhur-leluhurku. Hampir setiap dari mereka memiliki sifat yang berbeda, dan kehebatannya sendiri-sendiri. Setiap kemampuan itulah yang menurun kepada kami.
“Wirabumi, kau sudah mendapatkan pusaka itu?” Eyang Kertasukmo tiba-tiba membuka pembicaraan. Namun Eyang Wirabumi membalasnya dengan menggeleng dan menghela nafas.
“Aku hampir tidak percaya jika pusaka ratu ular itu memang ada di alam ini. Sudah ratusan tahun aku mencarinya, petunjuk yang kita miliki menuntun kami ke hasil yang kosong..”
Aku dan Paklek mempertanyakan apa yang dimaksud pusaka ratu ular itu? apa pusaka itu sepenting itu hingga leluhur kami mencari selama ratusan tahun.
“Eyang, apa pusaka ratu ular memang sepenting itu?” Tanyaku pada Nyi Purbawengi.
Nyi Purbawengi mengajak kami untuk duduk di ruangan itu. Koco benggolo terlihat menutup dengan sendirinya ketika kami menjauh. Sekilas aku melihat bayangan dua orang perempuan yang berjalan di sebuah desa tua. Tapi apa yang kulihat itu tidak untuk kubahas saat ini.
“Pusaka Ratu Ular merupakan penentu perang para danyang di zaman dulu. Kami semua hampir musnah oleh kekuatannya…” Jelas Nyi Purbawengi.
Ia menceritakan saat Danyang putih dan trah sambara berhasil menghentikan peperangan dengan menaklukkan danyang hitam, ada sosok danyang dari bukit pesisir yang berkhianat. Ia menggunakan pusaka ratu ular yang seketika memakan ratusan nyawa untuk membangkitkan kembali kekuatan danyang hitam.
“Pengkhianat?” Tanyaku.
Nyi Purbawengi mengangguk. Danyang itu menitiskan kekuatan dewi samudera, namun ia lahir dari tanah terkutuk.
“Siapa? Apa namanya dikenal di alam manusia?” Tanya Mas Jagad.
“Manusia memujanya untuk menanti berkah alam, namun ada yang menyembahnya untuk mendapatkan kekayaan. Di alam manusia ia merupakan sosok anggun yang dikenal dengan nama Dewi Naganingrum..” Eyang Kertasukmo mencoba menjelaskan.
Ia menambahkan bahwa nama dan sosok anggun itu hanyalah kedok. Wujud sebenarnya adalah seekor ular raksasa yang menguasai tanah bukit pesisir.
“Berarti saat ini dia ada di alam manusia?” Aku memastikan.
“Naganingrum hidup di dua alam. Ia mempunyai raga yang terkurung di alam ini, dan roh di alam manusia..” Jelas Nyi Purbawengi.
Braakk!!!
Pukulan keras Eyang Wirabumi menghantam lantai kayu bangunan itu.
“Kupastikan ia akan mati tak bersisa saat berhadapan denganku!!” Teriak Eyang Wirabumi.
Aku merasa ada permasalah pelik yang membuat Eyang Wirabumi begitu dendam dengan sosok Naganingrum itu.
Di tengah kebingungan itu, tiba-tiba koco benggolo memantulkan cahaya api yang begitu pekat. Eyang Wirabumi meninggalkan tempatnya dan bergegas menghampiri cermin itu. Ia buru-buru mengambil kerisnya lagi dan hendak meninggalkan ruangan.
“Eyang?! Ada apa?!” Tanyaku.
Jagad menatap ke koco benggolo dan wajahnya seketika diliputi amarah.
“Brengsek! Mereka membakar satu bangunan yang menampung puluhan anak kecil! Apa yang mereka lakukan?!”
Aku menghampiri ke arah mas jagad, dan pemandangan mengerikan itu benar-benar terpampang di koco benggolo. Suara anak-anak yang berteriak ketakutan pun terdengar samar dari cermin itu.
Eyang Wiraguna berhenti sejenak dan memanggil kami.
“Kalian! Ikut denganku?!” teriaknya tertuju kepada kami bertiga.
Aku menoleh ke arah Eyang Kertasukmo, Nyi Purbawengi, dan Nyi Sendang Rangu. Mereka mengangguk memberi isyarat agar kami mengikuti eyang Wirabumi.
Cahyo mendapat kabar dari Danan di mimpinya yang aneh. Danan memperingatkan bahwa yang paling berbahaya dari Perang Para Danyang berasal dari alam manuisa
Samar-samar suara gemeretak di kamar terdengar dari benda-benda yang berada di sekitarku. Tapi, aku masih terus tertidur dengan gelisah. Sebuah mimpi yang aneh tiba-tiba mengusik tidurku.
“Cahyo! Kami salah! Masalah terbesar ada di alam manusia!” Tiba-tiba aku melihat Danan di mimpi yang seolah begitu nyata.
Terlihat Danan, Paklek, Mas Jagad dan beberapa wujud yang tak dapat kulihat dengan jelas tengah berlari di alam yang penuh dengah kekacauan itu.
“Danan? Apa yang terjadi? Bagaimana kau bisa berbicara padaku dari sana?!” Aku masih tak bisa menilai apa yang terjadi. Namun kekuatan dalam mimpi itu bahkan kurasakan di sekitar tubuhku.
“Pusaka-pusaka sakti mandraguna berserakan di tempat ini. Aku menggunakan koco benggolo untuk menyampaikan ini padamu!
Dengar baik-baik, Jul! Perang Para Danyang terjadi karena pengkhianatan mereka yang diberkahi semesta! Hentikan mereka!”
Krakk!!!
Suara cermin yang pecah terdengar bersama hilangnya penglihatan di mimpiku. Aku terbangun bersama benda-benda yang berjatuhan di sekitarku. Samar-samar aku pun mendengar sisa suara raungan wanasura yang ikut merasakan kekuatan itu.
Danan dan Cahyo terpisah di alam yang berbeda. Garis keturunan Trah Sambara memiliki takdir untuk berdiri di tengah perseteruan makhluk-makhluk yang merasa menguasai bagian dari alam.
@bacahorror @IDN_Horor @ceritaht
SENDANG MAYAT
Suara mesin sepeda motor memecah keheningan di jalan setapak yang dikelilingi hutan-hutan menuju sebuah desa. Berkali-kali aku mengingatkan Mas Sapta yang menjemputku dengan motor tuanya untuk berhati-hati, namun rasa cemasnya akan keadaan keluarga dan warga desa tak bisa ditutupi.
Namaku Anggoro. Seorang dokter yang sedang menjalankan tugas di salah satu kota besar di Jawa Barat. Namun kemarin, bapak meneleponku dan memintaku untuk pulang.
“Pulang ya, Le… Bapak takut, mungkin saja hal buruk akan terjadi pada sama bapak. Setidaknya sebelum hal buruk itu terjadi, bapak pengen ketemu kamu..”
Kata-kata itu terus terngiang membuatku tak mungkin lagi menolak untuk pulang.
Bapak juga mengatakan bahwa seandainya aku bisa kembali, mungkin saja aku bisa membantu akan apa yang terjadi di desa. Sesuatu yang mengerikan terjadi di sana.
Belasan warga, mati…
Mas Sapta yang menjemputku di terminal pun menceritakan dengan tubuh yang gemetar dan lemas. Ia melihat sendiri bagaimana tetangga yang masih saudara jauh dengannya mati dengan tubuh yang menghitam dan bagian tubuhnya putus satu persatu. Dan saat ini, di rumah bapak masih terdapat beberapa warga yang bernasib serupa.
“Bangunan itu masih belum dibongkar?”
Aku bertanya pada Mas Sapta sambil menunjuk beberapa sisa rumah-rumah tua yang sudah hancur di salah satu sisi hutan. Hanya tersisa sebagian tembok-tembok saja yang sudah ditumbuhi tanaman merambat dan lumut.
Sisa dinding-dinding bangunan di sana sudah terkelupas dan menunjukkan tumpukan bata yang masih tebal. Ada sebuah sumur yang sepertinya juga sudah lama tidak digunakan.
“Nggak ada yang berani, Mas Anggoro. Katanya masih ada yang punya. Takut salah..”
Aku hanya menggeleng melihat sisa-sisa bangunan yang sudah ada sejak aku kecil. Entah kapan terakhir kali bangunan itu berbentuk rumah dan ditinggali, bapak pun tidak bisa menjawab.Gapura desa Darmo Kulon pun terlihat di hadapan kami, namun aku tak menyangka bahwa keadaan di desa begitu gelap.
Semua rumah mematikan lampu dan hanya ada beberapa obor yang dibuat menggunakan botol kaca yang menyala di beberapa sudut jalan.
“Gelap sekali, Mas? Mati listrik?” Tanyaku.
“Sengaja, Mas.. Kami semua mematikan listrik, mengunci semua pintu, tidur di lantai, supaya setan-setan yang mengutuk desa kami tidak masuk ke desa ini..”
“Masih percaya begituan?”
“Entah, Mas. Dari dulu desa kita percaya hal seperti itu setiap ada wabah..”
Aku memang mengingat beberapa kebiasaan-kebiasaan warga yang sekarang sudah kuanggap tidak masuk akal. Semenjak aku merantau dan mengenal dunia luar, beberapa hal di desaku terasa tidak relevan.
Brakkk!
“Sakiiit…. Sakit… hentikan!”
Tiba-tiba seorang perempuan menerobos keluar rumah. Ia berjalan dengan tangan dan kakinya yang kaku dengan sebagian kulitnya sudah terlihat bisul, bercak, hingga bagian yang menghitam. Matanya terus melotot tanpa bisa berkedip.
Mas Sapta pun mengerem motornya mendadak. Cahaya lampu menyinari sosok perempuan yang terlihat mengerikan di gelapnya malam. Aku pun turun dari motor untuk melihat lebih jelas, namun sosok itu lebih dahulu mengenaliku.
Bibirnya tiba-tiba tersenyum. Ia mengangkat tangannya dan mencoba meraihku.
“Anggoro…” Senyumnya terlihat aneh dan membuatku bergidik ngeri. “To—long…”
Belum sempat mendekat ke arahku, tiba-tiba jari-jari wanita yang telah menghitam itu terpisah dari tubuhnya dan jatuh ke tanah. Wajahnya terus menatapku namun tak lagi bergerak. Satu tangannya masih berusaha meraihku, namun jari-jarinya jatuh satu persatu.
Aku mengenali perempuan itu.
“Mu—murni? Kamu Murni, kan?” Aku memastikan bahwa di hadapannya adalah teman masa kecilku. Namun sudah terlambat cukup lama. Tubuh murni tak lagi bertahan, tubuh itu pun terjatuh tak bernyawa setelah beberapa bagian tubuhnya terpisah. Satu lagi korban jiwa terjadi di desa Darmo kulon.
***
Kedatanganku yang disambut dengan kematian Murni, teman masa kecilku membuat diriku terpuruk. Aku pun kembali ke rumah ayahnya yang merupakan seorang mantri di desa itu dengan wajah yang kusut.
“Kulo nuwun. Bapak, ini Anggoro…” Ucapku sambil mengetuk pintu yang terkunci dari dalam. Terlihat seseorang berusaha berjalan dengan cepat dengan kakinya yang tertatih untuk membukakan pintu.
“Alhamdulillah, Le.. kamu datang juga..” Sambut bapak yang bernafas lega melihat kedatanganku.
Aku mencium tangan bapak dan segera memeluknya. Tubuhnya terlihat semakin kurus dan aku merasakan bahwa ia menanggung beban yang tak biasa.
“Pak Parmin, Tasnya Mas Anggoro izin saya masukkan ke dalam, ya..” ucap Mas Sapta.
“Iyo, Le. Matur nuwun yo..” (Iya, Nak. Terima kasih ya…) Balas Bapak yang bergegas mengajakku masuk ke dalam.
Baru beberapa langkah memasuki ruangan aku sudah mencium bau yang berbeda. Kadang tercium bau rempah-rempah obat, kadang tercium bau yang cukup busuk. Terdengar suara dengkuran dan rintihan dari dalam rumah.
“Nanti kamu tidur di rumah sapta saja ya, Le. Beberapa warga nggak punya keluarga, jadi bapak ngerawat mereka di rumah.” Jelas Bapak yang sepertinya menyadari gelagatku yang tidak nyaman.
“Ndak, Pak. Anggoro bantu bapak rawat mereka. Sekarang Anggoro sudah jadi dokter, jadi harusnya lebih mengerti, Pak…” Balasku.
Tidak mungkin aku meninggalkan bapak dalam keadaan seperti ini. Sejak kecil, bapak merawatku seorang diri setelah ibu meninggal di umurku yang masih lima tahun. Ia membiayai kebutuhanku dengan profesinya sebagai mantri yang pendapatanya tidak seberapa itu.
Walaupun rumah kami sederhana, uang kami tidak banyak, Bapak bercita-cita menyekolahkan aku hingga jadi dokter agar bisa lebih baik darinya dan bisa membantu lebih banyak orang. Sudah jelas gelar yang kumiliki saat ini adalah hasil keringatnya.
“Bapak tahu, kamu pasti lebih ngerti, Le. Tapi takutnya apa yang terjadi di desa ini belum tentu bisa ditangani oleh manusia biasa,” Balas bapak.
Aku hanya menggeleng mendengar jawaban bapak. Namun aku tak membalas pernyataan nya itu. Aku tak ingin menyinggungnya dengan tanggapanku mengenai hal-hal mistis.
Berbagai dugaan sudah berkecamuk di kepalaku. Malam itu juga aku membersihkan diri, mengenakan perlengkapanku, sarung tangan, dan masker untuk memeriksa warga desa.
Mereka semua memiliki gejala yang sama. tubuh yang kaku, bisul di telapak kaki, hingga kulit yang seperti luka bakar, hingga hitam membusuk. Saat itu aku mengurungkan niat untuk menyentuh mereka.
“Bapak..”
Aku mendekat ke arah bapak sambil mengamati beberapa bagian tubuhnya. Sepertinya belum ada gejala-gejala di tubuh bapak.
“Gimana, Le?” Mata bapak menaruh banyak harap kepadaku.
“Setelah ini kita pisahkan warga yang sehat dengan yang sakit. Besok akan saya panggil bantuan tim medis.” Aku menjelaskan pada bapak dengan serius mungkin. “Desa ini terkena wabah kusta..”
Mata bapak terbelalak mendengar pernyataanku. Sepertinya ia tidak menyangka penyakit itu akan menjangkit warga desa.
“Kamu yakin, Le? Ini bukan kutukan yang disebabkan karena itu…”
Aku menggeleng sambil melepas sarung tanganku dan menepuk pundak bapak.
“Yakin, Pak. Tidak usah khawatir tentang apa yang terjadi tujuh tahun lalu. Toh warga desa juga sudah sepakat mengambil keputusan ini…”
Bapak menghela nafas dan sedikit membuang muka. Sepertinya ia merasa tidak nyaman dengan tanggapanku.
“Kalau bukan kutukan, kenapa mereka teriak-teriak kesetanan tiap malam, Mas? Ada yang kelihatan ketakutan, ada juga yang seperti kesurupan..” Mas Sapta tidak ingin percaya begitu saja.
“Bisa jadi halusinasi. Tapi kalau memang ada faktor lain, kita harus cari tahu. Tenang saja, Itu juga kan tujuanku ke sini,” Balasku.
Aku menelpon kenalan-kenalan tenaga medis yang bisa menghubungkanku ke rumah sakit terdekat. Aku menjelaskan tentang wabah kusta yang terjadi di desaku dan meminta mereka membuat leprasorium darurat di desaku secepatnya.
Saat itu Mas Sapta menghampiri bapak dan terlihat tengah berbincang dengan raut wajah serius. Sepertinya ada yang ingin mereka sampaikan kepadaku.
“Mas Anggoro. Kalau bisa menyempatkan waktu sebentar lagi, saya dan bapak mau ngajak mas Anggoro ke suatu tempat,” Ajak Mas Sapta.
“Malam-malam gini?” Balasku.
Mas Sapta menoleh ke arah bapak, dan bapak mengangguk menyetujuinya.
“Di keadaan ini kita nggak tahu bahwa ada nyawa yang bisa melayang jika kita menunda beberapa detik saja. Jadi saya rasa Mas Anggoro harus mengetahui hal ini secepatnya..” Balas Mas Sapta.
“Bapak juga ikut, Le. Kita cuma bisa sampai kesana dengan berjalan kaki. Sambil ada yang mau bapak ceritakan juga..” Tambah Bapak.
Mendengar mereka berbicara seperti itu, sepertinya hal yang ingin mereka sampaikan adalah hal yang penting. Aku pun meminta waktu sebentar untuk bersiap-siap sementara mereka membuat obor yang akan kami gunakan untuk perjalanan kami.