Diosetta Profile picture
Nov 7, 2021 169 tweets 21 min read Read on X
Monyet Kembar Alas Wetan

Cerita ini diangkat dari mitos warga sekitar mengenai siluman monyet kembar yang menguasai suatu hutan.

#diosetta Image
Dua ekor kera terlihat melompat dari satu pohon ke pohon lainya seolah acuh tak acuh dengan keadaanku yang terbaring lemas.

Aku mengira tidak ada lagi harapan hidup untuku yang telah tersesat selama tiga hari di hutan ini.
Namun ternyata tiba-tiba tetesan air mulai memasuki mulutku sedikit demi sedikit. Setiap tetesnya seolah mengembalikan kembali kesadaranku.

Kera…
Dua ekor kera itu bergantian mengisi mulutku dengan air, dan beberapa biji-bijian yang membuatku kembali bisa menggerakan tubuhku.
Namun tepat ketika aku mulai bisa bangkit, dengan segera mereka berlarian meninggalkanku masuk ke dalam kegelapan hutan.

……
Linggar Sasena, itu namaku. Hanya seorang mahasiswa biasa, dari keluarga biasa , dan dengan nilai rata-rata. Lalu kalian pasti bertanya, apa yang menarik dari kisahku ini?

Memang benar… tidak ada hal menarik dalam kisah hidupku , kecuali mengenai kisahku yang satu ini.
Kisah saat aku tiba di sebuah kampung yang bersebelahan dengan hutan yang di sebut warga dengan nama Alas Wetan.
“Selamat pagi pak… mohon ijin, Saya Linggar yang kemarin meminta ijin untuk melaksanakan KKN di desa ini”
Ucapku dengan sopan kepada Pak Damar yang menjabat sebagai kepala desa Ranggilawu.
“Oo.. mas Linggar, silahkan.. monggo dijelaskan kira-kira proyek apa yang mau dijalankan di desa ini” Ucap Pak Damar.
Aku menjelaskan kepada Pak Damar mengenai program kerjaku yang memanfaatkan sungai di pinggir desa sebagai pembangkit listrik sederhana yang dapat menghasilkan listrik untuk menerangi jalan masuk desa yang selama ini belum memiliki penerangan.
“Nah ide bagus Mas Linggar.. walaupun desa ini sudah masuk listrik, tapi untuk beberapa akses ke sini memang masih gelap di malam hari… pasti berguna mas”
Ucap Pak Damar yang setuju dengan programku.
“Nanti Mas Linggar dan teman-teman silahkan menginap di rumah sebelah pos desa, rumah itu milik adik saya yang sedang merantau ke luar pulau.. silahkan digunakan, tapi tolong dijaga”
Setelah mendapatkan ijin , aku kembali keluar menemui Fia dan Linus teman yang sekelompok denganku dalam menjalankan program kerja ini. Karena.. memang bukan hanya kelompok kami yang melakukan KKN di tempat ini.
“Mas.. mau ke sungai ya?” tiba-tiba seorang ibu bertanya kepada kami yang memang berniat melakukan survey ke sungai.

“Iya bu… kami mau mengecek lokasi lebih detail bu” Jawab Linus dengan sopan.
“Ohh.. iya, hati-hati ya.. jangan masuk ke hutan, masih ada hewan buas di sana” Ucap ibu itu mencoba memperingatkan.

“Yang bener bu? Kok serem… memangnya hewan apa yang sering muncul bu?” Tanya Fia yang mulai Was was.
“Tenang , kalau kalian ga masuk ke hutan aman kok.. di sana ada kera atau monyet buas yang sering menyerang warga yang masuk ke hutan” Jelas Ibu itu.

Kami saling berpandangan seolah sepakat untuk menuruti nasihat ibu warga desa itu.
“B.. baik bu, kami ga akan masuk ke hutan, Terima kasih sudah di peringatkan” Ucap kami pada ibu itu.

Setelahnya ibu itu langsung pamit dan melanjutkan kegiatanya.
Kami berjalan menyusuri jalan setapak menuju sungai yang dikelilingi dengan pohon-pohon yang masih rindang. Sebuah pemandangan yang jarang sekali kami lihat di perkotaan saat ini.
“Ah… kalau udaranya seger begini, kayaknya aku bisa betah tinggal di sini nih Linggar” Ucap Linus yang memang seorang pencinta alam sejati.
“Iya nih.. kalaupun nanti udah beres, boleh juga kita sekali-kali mampir ke sini buat refreshing” Lanjut Fia.
Aku hanya menggeleng.
“Bebas.. mau refreshing, mau menetap.. silahkan! Yang penting kita beresin dulu KKN 6 SKS ini..” Balasku yang segera berjalan mendahului mereka.
….
Sebuah sungai terlihat mengalir cukup deras dari arah gunung. Kami mulai mendeteksi debit air terbait untuk merancang peletakan kincir yang akan disambungkan ke dinamo nanti.
Namun bukan hanya itu yang kami temukan, di seberang sungai terlihat sebuah jalan masuk menuju hutan yang sepertinya terbentuk secara alami.

"Mungkin hutan itu yang banyak binatang buasnya ya Linggar… “ Tanya Fia.
“Iya … mungkin hutan itu, jangan berani-berani masuk ke sana ya.. bisa ga bisa keluar kalian” Ucapku memperingatkan mereka.

“Halah.. ga usah sok tegas kamu, kayak udah pernah ke sana aja” Ucap Linus.
Aku menatap kembali hutan itu, sekilas terlihat kenanganku saat tersesat di sana dari sisi sebaliknya dari hutan itu.

“Sudah… aku sudah pernah ke sana” Jawabku.
Fia dan Linus saling memandang, mereka terlihat kaget dengan jawabanku.
“Yang bener kamu Linggar… jangan bercanda!” Tanya Fia.

“Itu dulu waktu masih aktif di pencinta alam seperti Linus dulu… udah jangan dibahas sekarang, kapan-kapan saja aku ceritain” Ucapku yang menyibukan diri dengan schedule prokerku.
Sebuah rancangan kasar berhasil kami buat. Linus cukup mudah mengenali medan, Fia dengan cepat bisa mebuat rancangan kasar dari arahan yang kuberikan.
Alhasil, akhirnya kami mampu menyelesaikan tujuan kami walau sedikit melewati waktu maghrib dan langit mulai gelap.
Sesaat sebelum kembali mendadak Fia berhenti dan menoleh ke belakang, tepat kearah gerbang masuk hutan ini.
“Linggar… Linus.. kalian dengar suara tadi ga?” Ucap Fia.
Aku dan Linus saling berpadu pandang dan segera menggeleng, karena memang kami tidak mendengar suara apapun di sana dan akhirnya kami melanjutkan perjalanan untuk kembali ke desa.
Merasa lelah dengan aktivitas seharian ini , kami segera kembali ke rumah singgah.
Sebuah obrolan singkat terjadi diantara beberapa kelompok sebelum akhirnya kami beristirahat di kamar kami masing masing.

Kamar Pria diisi oleh enam orang , walaupun cukup banyak, kamar ini masih terasa cukup lega sehingga kami bisa tidur dengan nyaman.
Sampai tiba-tiba aku mendengar suara yang membuatku tersadar.

Semula aku mendengarnya seperti bisikan biasa, namun lambat laun suara itu mulai terdengar seperti mantra yang membuatku merasa merinding.
Sebelum aku sempat terbangun, terdengar suara seseorang diantara kami berdiri dan mengambil sesuatu dari tasnya.

“Lungo..! Ojo gawe perkoro karo konco-koncoku” (Pergi! Jangan mencari perkara dengan teman-temanku) Terdengar suara Linus menjadi berat seperti mengancam sesuatu.
Seketika suara bisikan itu menghilang, dan kami bisa tidur kembali dengan tenang.

Sayangnya tidak dengan di kamar perempuan…
Menjelang subuh kami dikejutkan dengan suara pintu kamar yang digedor dengan keras.

“Linggar! Linus! Bangun… tolong!!”
Terdengar suara perempuan yang kukenal, itu adalah Ratna.. teman satu jurusan kami juga yang mengerjakan program kerja dengan kelompok lain.

“Kenapa Ratna… ada apa? “ Ucapku membuka pintu disusul dengan anak-anak lain yang juga kaget dengan ketukan pintu Ratna.
“Linggar tolong… Fia…. Fia gak sadar, tingkah lakunya aneh!” Cerita Ratna yang segera membuat kami segera bergegas menghampiri Fia teman sekelompoku itu.

Aku memerintahkan Ratna untuk melapor ke Pak Damar sementara kami mengecek keadaan Fia.
Memang cukup aneh, di kamar perempuan terlihat beberapa orang memegangi Fia yang terlihat melotot dan meronta seperti kesurupan.

“Fia… kamu kenapa Fia?” Tanyaku yang benar-benar bingung harus berbuat apa.
“Bacakan Doa-doa yang kita bisa, kalau Fia memang kesurupan semoga saja doa dari kita bisa membantu” Perintah Linus.

Dengan segera kami membacakan doa-doa yang kami bisa, hingga akhirnya Fia berhenti meronta.
Namun itu bukan akhir masalah… sebaliknya Fia mendekatkan wajah pucatnya kepadaku , memiringan kepalanya sambil menyeringai.

“Khikhikhi…. Aku gelem karo sing iki” (aku mau sama yang ini) Suara tawa terdengar menyeramkan terdengar dari Fia.
Aku melihat Linus berlari ke kamarnya mencoba mengambil sesuatu, namun selang berapa lama Pak Damar datang bersama seorang pria dengan pakaian hitam dan blangkon di kepalanya.
Tanpa menunggu lama bapak itu mengambil air, membaca sesuatu dan memaksa meminumkanya ke Fia. Seketika Fia kembali terbaring di kasurnya seolah kehilangan tenaga.
Linus yang kembali dari kamar menghela nafas lega ketika melihat Fia mulai pulih dan segera menyembunyikan sesuatu yang ia ambil dari kamar.

“Ini Pak Dirman… salah satu yang kami percaya dalam mengurus masalah beginian” Jelas pak damar.
“Salam kenal Pak Dirman… saya linggar, sebenernya Fia ini kenapa ya pak?” Tanyaku yang penasaran.

Pak Dirman mengajak kami keluar ke teras dan membicarakan di luar untuk memberi waktu Fia untuk istirahat.
“Mas Linggar… jangan terlalu dibesarkan ya,takutnya anak-anak yang lain jadi panik “ Ucap Pak Dirman.

Beliau memastikan Fia hanya kerasukan roh halus biasa , dan tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Apabila ada yang aneh, kami diminta untuk melapor kepadanya.
Setelah sedikit berbincang dengan Pak Dirman dan Pak Damar kami kembali masuk ke kamar Fia dan memastikan kondisinya yang telah mulai sadar.

“Pocong…. Semalem ada pocong di kamar ini” Ucap Fia yang masih merasa ketakutan.
“Kain kafanya hampir seluruhnya menghitam… dia seperti berbisik sesuatu yang mirip dengan mantra”
Sangat mengerikan apabila yang diucapkan oleh Fia ternyata benar. Namun ucapanya mengingatkanku pada kejadian semalam di kamar kami juga.
Tapi sepertinya aku tidak perlu menceritakan hal ini agar tidak memperparah keadaan.

Setelah kejadian itu , Anak-anak saling bergantian menjaga Fia di rumah singgah sementara aku dan Linus melanjutkan prokerku di sungai terlebih dahulu sebelum nanti bergantian menjaga Fia.
Saat mencapai tengah hari entah halusinasi atau bukan , mendadak aku melihat Fia berjalan sendirian di seberang sungai berjalan sendirian.

“Linus… itu Fia?” Tanyaku memastikan pada Linus.

Ia menoleh namun seperti tidak melihat apa-apa.
“Ga ada… ga ada apa-apa di sana, kamu kali terlalu khawatir… Fia kan di desa di jaga sama anak-anak” Ucap Linus.

Sepertinya aku setuju dengn ucapan Linus, karena setelahnya aku tidak melihat lagi sosok seperti Fia di pintu masuk Hutan.
Menjelang tengah hari kami segera kembali ke desa, namun di sana terlihat warga sedang ramai seolah mencari sesuatu.

“Linggar… Fia hilang linggar” Ucap Ratna yang segera menghampiriku ketika masuk ke desa.

“Yang bener kamu? Bukanya pada gantian jagain?” Tanyaku bingung.
“Iya… aku yang jaga, aku sama sekali ga liat siapapun keluar kamar ,jendela juga tertutup tapi pas mau nganter makan siang tiba-tiba fia ga ada” Jelas Ratna.
Aku tidak tau harus berbuat apa, kami membantu mencari keseluruh penjuru desa hingga petang namun tidak dapat menemuka jejak Fia.

“Linggar.. jangan-jangan yang kamu lihat masuk ke hutan itu beneran Fia?” Tanya Linus padaku.
Aku berfikir sejenak dan membayangkan kemungkinan buruk yang terjadi. Dengan segera aku melapor ke Pak Damar berharap mereka mau membantu mencari keberadaan Fia.
“Sudah Mas Linggar di desa saja,tunggu di sini bersama yang lain.. biar saya dan pemuda desa yang mencari ke Hutan..” Ucap Pak Damar.

Aku tidak setuju , begitu juga dengan Linus.. kami memaksa untuk pergi sementara kelompok lain tetap di desa.
“Saya juga ikut… mudah-mudahan kemampuan saya bisa menjaga supaya kita semua bisa kembali dengan selamat”

Tiba –tiba Pak Dirman datang menghampiri kami dan pak Damar.
Dengan peralatan seadanya yang kami punya, kami memasuki hutan yang dipenuhi dengan berbagai macam tumbuhan semak belukar.
Tidak seperti hutan yang sering kami lihat di setiap perjalanan, hutan ini benar-benar terasa seperti hutan liar dimana jalur untuk berjalan saja sulit untuk dicari.
Sekelebat aku seperti melihat kobaran api menyala dari sisi hutan, namun saat aku menoleh hanya kegelapan yang terlihat di sana. Mungkin saja itu cahaya api dari obor warga pikirku.
Tak lama setelah itu terlihat dari kegelapan hutan beberapa pasang mata memantau kami dari kegelapan, suara kera saling bersahutan terdengar mengelilingi kami.

“Jangan sampai ada yang terpisah dari kelompok… mereka mulai terusik” Ucap Pak Dirman.
Setelah membacakan suatu doa atau mantra Pak Dirman membakar sebuah kayu seukuran lengan dan melemparkanya ke arah kegelapan hutan itu, seketika api itu berubah menjadi kobaran yang mengusir keberadaan kera-kera itu.

Namun sayangnya tidak semudah itu…
Kera-kera yang kabur itu segera kembali ketika sepasang kera mengeluarkan suara seolah memberi perintah kepada pasukanya
sekumpulan kera itu kembali menyerang kami dipimpin seekor kera yang terlihat paling pintar di antara mereka.
Satu persatu mereka menyerang, mencakar, berusaha mengusir kami dari wilayah kekuasaanya.
“Pak Dirman… ini terlalu berbahaya, sebaiknya kita kembali dulu” Perintah Pak Damar.
Aku setuju walaupun dengan berat hati, namun itu pilihan terbaik dibanding pencarian ini malah memakan korban lagi.

“Jangan… kita sudah dekat, seharusnya saya Perempuan itu tidak jauh dari sini, harusnya kita bisa mengurus kera-kera sial ini..”
Ucap Pak Dirman yang sekali lagi membacakan mantra untuk membesarkan api yang ada di obornya sehingga kera-kera itu mulai merasa terancam.

Dengan ucapan Pak Dirman, kami semua berusaha sekuat tenaga membalas serangan kera-kera itu.
Dengan obor, kayu , batu kami berusaha sekuat tenaga menahan serangan kera-kera itu hinga satu persatu kera itu tidak berdaya.

Terlihat dengan bantuan warga desa, Pak Dirman bisa fokus menghadapi kedua kera yang memimpin pasukan kera yang kami lawan.
Sekilas aku melihat pertarungan mereka tidak seperti pertarungan biasa, Pak Dirman menggunakan ajian di setiap pukulanya hanya untuk menghadapi kedua kera itu.

Pukulan demi pukulan dihantamkan oleh Pak Dirman ke tubuh kera kecil itu hingga beberapa kali terpental.
Namun seolah tidak mau menyia-nyiakan kesempatan Pak Dirman mencabut sebuah pisau kecil dari sakunya dan bersiap menusukanya pada kera yang sudah tidak berdaya itu.

Sekilas aku teringat mengenai keberadaan Kera yang menolongku saat tersesat di hutan ini.
“Pak Dirman… sudah!” Ucapku yang segera menarik tubuh Pak Dirman dan menahanya untuk membunh kera itu.

“Minggir Mas Linggar.. kera itu harus mati agar tidak ada lagi yang mengganggu warga desa yang masuk ke hutan” Ucap pak Dirman
Aku sekuat tenaga menahan Pak Dirman dan segera mengecek kondisi kedua kera yang terbaring tak berdaya.

“Sudah pak.. mereka sudah mati, tidak ada nafas lagi.. jangan berbuat lebih jauh dari ini“
Ucapku yang setengah berbohong karena tidak tega apabila melihat kera-kera ini dihabisi dengan brutal oleh Pak Dirman.

“Ya sudah… kalau tidak ada halangan lagi kita lanjut saja” Ucap Linus yang sepertinya setuju dengan perbuatanku.
“Ke arah mana Pak Dirman?”
Pak Dirman memejamkan mata sejenak dan menunjuk ke arah utara tempt dimana cahaya bulan menerangi dari sela-sela tanaman yang rindang.

Kami berjalan cukup lama, sebelum akhirnya seorang pemuda menunjuk se sebuah tempat yang dikelilingi bebatuan berlumut.
“I… itu Pak” Ucap pemuda itu.
Kami menoleh, terlihat bayangan seorag wanita sedang berdiri di tengah bagian hutan yang lapang itu.

“Jangan-jangan Itu Mbak Fia?” Ucap Pak Damar yang mulai merasa lega dan segera mengajak kami mengecek ke sana.
“Kalian jalan duluan… sepertinya saya sedikit terluka akibat kera-kera tadi” ucap pak Dirman yang seolah merasa kesakitan.

“Saya obatin dulu pak.. “ Ucapku sambil mempersiapkan kotak P3k namun segera ditolak oleh Pak Dirman.
“sudah sana… jemput temanmu dulu, saya tidak apa-apa” Balasnya.

Setelah meyakinan luka Pak Dirman tidak parah, kami segera menghampiri sosok wanita yang berdiri di tengah hutan itu.
Itu adalah salah satu bagian hutan dengan tempat yang cukup lapang dibanding sekitarnya walaupun masih ada pohon di setiap beberapa meter.

“Fia… “

Ucapku memanggil wanita yang berdiri di tengah kegelapan hutan itu.

Sayangnya.. ia tidak menjawab sama sekali.
Aku menghampirinya mendekat, aku bisa memastikan bahwa iti Fia dari pakaian yang ia pakai namun saat mendekat aku mulai sadar bahwa Fia sedang menatap terpaku ke sebuah sudut hutan.

“seharusnya kalian tidak ke sini….”
Tiba-tiba Fia menoleh ke arahku dengan wajah yang pucat dengan air mata yang mengalir tanpa henti dari matanya.
“Kita semua akan mati….” Lanjutnya.

Linus dan seluruh warga desa merasa bingung dan segera mendekat ke arah Fia.
“Sudah Fia, tenang saja ayo kita kembali…” Ucap Linus yang berusaha menenangkan Fia.

Sayangnya seketika sebuah angin besar bertiup hingga mematikan beberapa obor yang kami bawa dan menciptakan kegelapan yang semakin pekat.
“Kita sudah tidak bisa kembali…” Ucap Fia yang semakin tidak mampu menahan tangis.

Tiba tiba seorang pemuda yang membantu kami terjatuh dan bertingkah aneh.
Ia merangkak dengan melebarkan tangan dan kakinya dengan lidahnya yang menjulur tanpa henti dan membenturkan kepalanya ke batu.
“Mas… kamu kenapa mas?” Ucap Pak Damar yang berusaha mencari tau keadaan pemuda itu.

“Khe…khe…khe… “
Pemuda itu tidak menjawab dan hanya terus membenturkan kepalanya ke batu hingga darah dari kepalanya menetes di tanah. Ia tertawa mengerikan sambil menjilati darahnya yang mengucur dari kepalanya sendiri.
“Mas.. jangan mas, berhenti…” Ucap Pak Damar berusaha menghentikan pemuda itu dibantu oleh pemuda lainya.
“Khekhekhe… sabaro to, bar iki giliran kowe” (yang sabar… setelah ini giliran kalian) Ucap makhluk yang merasuk ke dalam tubuh pemuda itu.
“Hihihihii….” Kali ini suara terdengar dari atas pohon.
Aku menoleh ke atas pohon dan di sana terlihat makhluk berwujud wanita berambut panjang bergantung terbalik dengan tubuh kurus kering seolah hanya tulang yang tersisa di balik kulitnya yang penuh borok.
Rupanya itu hanya permulaan, setelahnya muncul berbagai makhluk mengerikan yang didominasi oleh pocong yang kain kafanya sudah menghitam seperti yang diceritakan Fia setelah ia kesurupan tadi.
“Pak.. Damar, ini apa pak?” Tanyaku yang sudah mulai merasa lemas dan tidak tahu harus berbuat apa.

Namun wajah Pucat Pak Damar seolah memastikan aku tidak akan mendapatkan jawaban. Dan sebaliknya, sesuatu juga mulai merasuki tubuh Pak Damar dan membuatnya terjatuh.
Aku mencari keberadaan Pak Dirman yang harusnya mengerti tentang hal ini, namun entah mengapa ia tidak segera sampai ke tempat ini. seharusnya ini tidak terlalu jauh.
Tak lama masalah berganti ke Fia, Makhluk yang dari tadi memandang kami dari atas pohon mengejar Fia hingga akhirnya Ia terjatuh dan makhluk itu seolah bersiap menggigitnya.
Di tengah keadaan yang mencekam ini, tiba tiba Linus mengeluarkan sesuatu dari tasnya yang terbungus kertas koran lusuh.
Aku memperhatikan , benda itu merupakan batu besi berbentuk pisau yang dipenuhi ukiran-ukiran aksara jawa.
Kesadaran Linus seolah terganggu, ia segera berlari menuju makhluk yang sedang menikmati tubuh Fia dan menghujamkan benda yang ia bawa itu ke tubuh makhluk itu.

“Ojo kewanen kowe!” (Jangan berani berani kamu?) Suara linus terdengar lebih berat dari biasanya.
Makhluk yang menyerang Fia Terluka oleh serangan pusaka Linus, namun sepertinya ia tidak gentar.
“Linggar… jangan jauh jauh dariku” Ucap linus dengan suaranya yang kembali normal.

“Linus, ini semua apa?” Tanyaku.
“Bocah-bocah goblok! Kowe kabeh wis dijebak” (Anak-anak goblok! Kalian semua sudah dijebak) sekali lagi suara linus kembali berubah.
“Ma.. maksudnya?”

“Kowe kabeh arep ditumbalke kanggo demit-demit iki”
(kalian semua mau ditumbalkan untuk setan-setan ini)
Aku semakin takut, siapa yang berniat menumbalkan kami.

Pak Dirman… ia tidak ikut ke tempat ini. Atau dia memang sengaja menjebak kami ke sini.

“Metu kowe dukun asu!” (Keluar kamu dukun Anj**)
Ucap Linus masih dengan sesuatu yang merasukinya.
Benar… dari jauh kegelapan hutan, terlihat seseorang berpakaian hitam dengan blangkon yang menjadi khasnya menampakan dirinya bersama berapa demit yang merangkak di belakangnya.
“Sialan.. tak kusangka ada yang beguru diantara kalian” Ucap Pak Dirman yang tidak membantah ucapan Linus.

“Linggar Jaga Fia..” Ucap Linus dengan suaranya yang kembali normal dan segera menerjang Pak Dirman dengan pusaka yang ada di genggamanya.
Dengan semua kondisi ini aku tidak bisa membantah perintah Linus.Pak Dirman,seseorang yang kusangka seharusnya melindungi kami malah berniat jahat terhadap kami.

Sedangkan Linus, teman kampusku yang biasa-biasa malah menyembunyikan sesuatu yang mungkin bisa menyelamatkan kami.
Sebelum sempat mendekat, Pak Dirman menggunakan api dari obor yang ia bawa dan menciptakan api yang membakar sekitarnya.

Dengan mantra yang ia baca, seolah api itu mengikuti perintanya untuk menyerang Linus.
“Hati-hati Linus!” Teriaku yang merasa lemah tanpa mampu berbuat apa-apa.

Api yang dikendalikan oleh pak dirman berhasil membakar bagian tubuh Linus, namun sepertinya hanya pakaianya yang terbakar.

“Rogo jiwo mabur kanginan…”
Suara mantra terdengar dari mulut linus yang membuatnya yang sedang berlari tiba-tiba hilang dan muncul di belakang Pak Dirman dengan pusakanya yang sudah menusuk punggungnya.

Seketika Pak Dirman jatuh tersungkur , takluk oleh serangan Linus yang tak kusangka itu.
Sayangnya rasa akan kemenangan itu tak berlangsung lama, sesosok makhluk besar dari dalam hutan datang menghampiri Linus dan menendangnya dengan begitu kuat.
“I.. itu Linggar, itu makhluk yang memandangiku dari tadi sebelum kalian datang” Ucap Fia yang mengenali wujud makhluk itu.

“A.. ampun ndoro, Tumbal panjenengan se..sekedap melih siap” Ucap Pak Dirman yang terlihat ketakutan.
Terlihat raut wajah penuh amarah tergambar di wajah makhluk besar yang mengerikan itu.

Seketika tubuh makhluk besar itu merasuki tubuh pak dirman, merubah tubuh Pak dirman menjadi membesar hingga merobek kulit-kulit pak dirman dan memamerkan dagingnya yang membesar.
Wajah pak dirman berubah menghitam , matanya membelalak dengan merah setelah kulit di matanya tak mampu lagi membuatnya berkedip.
Entah… seandainya Linus bisa mengalahkan setan itu, apa pak dirman masih bisa hidup dengan tubuh seperti itu.
Namun yang kupikir lebih mengerikan apakah makhluk di tubuh Linus mampu mengalahkan makhluk sebuas itu.

“Rogo bumi doyo wesi…”

Sekali lagi sebuah mantra dibacakan oleh Linus yang membuatnya mampu menahan serangan setan itu, namun terlihat tubuh linus semakin lemah.
Mungkin kekuatan yang ia gunakan berakibat pada tubuhnya.

“Linus.. Apa yang bisa kami bantu” Tanyaku yang tidak mau hanya mati tanpa memberikan perlawanan sedikitpun.

Linus melompat mundur, tiba-tiba tubuhnya terjatuh lemas.
“Linggar aku ga tau bisa bertahan berapa lama lagi… ini kemungkinan terakhir…
Mungkin saja kera-kera tadi sengaja melindungi kita dari makhluk ini, seandainya pemimpin mereka masih hidup, mungkin mereka bisa menolong kita” Jelas Linus.
Aku mengingat kedua kera yang bertarung dengan Pak Dirman tadi. Seharusnya kedua kera itu masih bernafas.

“Mereka masih hidup, tapi entah dengan kondisinya… Aku akan bawa mereka ke sini!” Ucapku yang bergegas meninggalkan pertarungan itu.
“Fia, kamu bantu Linggar… di sini lebih berbahaya” Perintah Linus.
Kami berlari menerjang semak belukar di tengah gelapnya hutan menuju bekas sisa pertarungan kami dengan kera-kera tadi.
Cukup sulit untuk melihat dalam gelap, namun untungnya kami tetap bisa menemukan keberadaan sekumpulan kera-kera itu.
Saat kembali ke sana, sebuah rasa penyesalan menyelimuti pikiranku.
Di tempat itu bergelimpangan tubuh kera-kera hutan yang ternyata sedaritadi bermaksud melindungi kami dari setan-setan di dalam hutan itu.

“Linggar… kamu yakin mereka masih hidup?” Tanya Fia.
“Entah Fi.. tapi tadi saat aku memeriksa kera yang bertarung dengan pak Dirman , aku masih merasakan nafas mereka” Jelasku.

Aku mulai berlari dan memastikan satu persatu kera-kera yang terbaring di tanah.
Memang banyak luka yang dialami oleh mereka, namun sepertinya mereka masih bernafas.
Perlahan aku mengingat lokasi pertarungan Pak Dirman dengan kedua kera tadi.
Di sana terlihat dua ekor kera berusaha untuk berdiri, namun sepertinya luka-luka yang mereka dapat dari serangan Pak Dirman cukup parah.
Dengan air yang kubawa di perbekalanku, kuminumkan sedikit demi sedikit air ke mulut kera itu.
perlahan kesadaranya mulai pulih. Fia juga melakukan hal yang sama setelah kutunjukan seekor kera yang sangat mirip dengan yang kutolong.
“Maafkan kami… kami tidak tahu maksud baik kalian” Ucapku sambil berusaha mengobati kera itu dengan perlengkapan p3k yang kubawa.
Tetapi kedua kera itu kembali memaksa untuk berdiri dan berjalan dengan lemah menuju arah setan itu.
Seolah mengerti maksud mereka, aku dan Fia segera menggendong kedua kera itu dan membawanya berlari secepat mungkin ke tempat linus bertarung.
Kali ini tidak butuh waktu lama bagi kami untuk kembali dengan jalur yang sudah kami hafal. Dan kami kembali harus melihat linus bertarung..

tidak.. linus yang bertahan mati-matian dari serangan setan yang merasuki tubuh Pak Dirman.

“Linus.. kami membawa mereka!!” Teriaku.
Linus menoleh dan segera melompat ke arah kami.

“Maafkan kami… kini giliran kalian” Ucap Linus yang segera menggendong kedua kera itu.

“Rogo kayangan nompo pangasih..”
Sekali lagi suara berat itu kembali membacakan mantra dari tubuh Linus dan tiba tiba kedua kera itu bisa bangkit walaupun masih dengan luka-luka ditubuhnya.

Pak Dirman yang melihat hal itu segera berlari ke arah kami dan bersiap menyambarkan sebuah pukulan.
Namun salah satu kera berjalan menghampirinya dan menahan pukulanya dengan sebuah bayangan lengan kera besar yang keluar dari lenganya.
“Haha.. akhirnya, Linggar.. jangan tinggalin tubuhku disini ya” Ucap Linus yang segera terjatuh dan kehilangan kesadaran setelah menggunakan seluruh kekuatanya.
Kera yang seekor lagi melompat ke tubuh Pak Damar dan pemuda desa, seketika setan-setan yang merasuki meraka segera meninggalkan tubuhnya.

“Mas Linggar… ada apa ini?” Tanya Pak Damar dengan tubuh yang lemas dan penuh luka akibat perbuatan demit yang merasukinya.
“ini semua perbuatan Pak Dirman… sekarang lebih baik pak damar dan semuanya segera tinggalkan tempat ini, tolong bantu Linus juga.. dia yang membuat kita bisa hidup sampai sekarang” Perintahku.
Aku tahu, kondisi kedua kera inipun tidak mampu untuk mengalahkan demit yang merasuki pak dirman. Setidaknya Pak Damar bisa membantu semuanya untuk meninggalkan hutan ini.
Kami berlari keluar hutan dengan panduan salah satu kera itu. Pak dirman yang tengah dirasuki mengejar kami dan terus melancarkan serangan yang bahkan dapat menumbangkan pohon.
Untungnya setiap serangan itu ditahan oleh seekor kera yang berkali kali mengeluarkan bayangan kera raksasa dari setiap seranganya.
Namun saat sampai di ujung hutan pertempuran tak lagi dapat di hindari. Setan dalam tubuh pak dirman masih berusaha meninggalkan hutan.
namun kedua kera itu terus menahanya hinggal luka-lukanya semakin bertambah.
Sampai akhirnya Setan dalam tubuh pak dirman itu menciptakan api seperti yang dilakukan pak Dirman dan menyelimuti tanganya dengan api.
Sebuah pukulan terkena telak di tubuh seekor monyet kecil yang berusaha menolong kami hingga terhempas dan menyisakan luka ditubuhnya.
Aku mengambil air dari sungai dan memadamkan api itu namun kera itu masih mencoba berdiri sebelum akhirnya pukulan serupa menghilangkan kesadaranya hingga terbawa arus sungai.
Aku mencoba mengejar kera itu namun arus sungai terlalu deras.
Melihat kejadian itu salah satu kera lainya terlihat marah. Dengan sekuat tenaga ia memukul mundur Demit yang merasuki Pak Dirman hingga masuk kedalam hutan.
Seketika pusaka Linus jatuh dari tubuhnya seolah memanggilku untuk mengambilnya.
“Delehen aku ning alas kuwi” (letakan aku di hutan itu)

Seketika suaraku menjadi berat seperti saat Linus memegang pusaka ini.

“Linggar…maksudnya apa?” Tanya Fia.

“Entah Fia , Pusaka ini seperti punya kesadaran sendiri.. “ Jelasku.
Sebelum aku semakin bingung tiba-tiba ada yang mengambil alih tubuhku seperti tadi.

“Delehen aku ning alas , tak jogo alas kuwi ben Demit kuwi ra metu.. “
(letakan aku di hutan, aku jaga agar setan itu tidak keluar)
Mendengar itu aku seperti mendapat harapan untuk menyelamatkan kami dan warga dari setan yang merasuki pak dirman.

Dengan sigap aku menyebrangi sungai dan menusukan pusaka itu ke tanah di hutan itu.
“Ke sini!” Ucapku memanggil kera yang masih bertarung dengan setan pak dirman. Namun seperti terbakar amarah, kera itu tidak mempedulikanku dan terus bertarung.

“Mengko ono sing bakal ngerampungki perkoro iki… nganti wektune tibo, aku sing njogo alas iki…”
(Nanti akan ada yang menyelesaikan permasalahan ini… sampai waktunya tiba, aku yang akan menjaga hutan ini)
Sekali lagi suara pusaka itu merasuki tubuhku. Tak lama setelahnya pusaka yang kutancapkan di tanah itu mengeluarkan kabut yang mulai menyelimuti seluruh hutan.
Aku terus melihat ke arah kera yang menolong kami itu, namun ia tertap bertarung dan hanya sekali menoleh kearahku saat kabut mulai menutupi hutan ini.
…..

Cukup lama Linus tidak sadarkan diri, hingga saat siang hari kami baru bisa berkumpul di rumah Pak Damar.
“Maaf ya Linggar… saya benar-benar tidak menyangka Dirman memiliki niat sebusuk itu” Ucap pak damar.
“Iya pak.. kita juga salah sudah terpancing dengan jebakanya” Balasku.
“Tapi kalau tidak ada kejadian kemarin mungkin Pak Dirman masih tinggal di desa ini dan melancarkan siasat busuknya” Ucap Linus yang telah sadar setelah tidur semalaman.
Sepertinya kami semua setuju dengan ucapan Linus. Saat ini seluruh warga masih cukup ramai dengan cerita dari kami dan pemuda yang ikut ke dalam hutan. tak sedikit yang khawatir dengan kami dan membantu sebisa mereka.
“Tapi aku sama sekali ga nyangka ternyata kamu punya kekuatan seperti itu” Ucapku Pada Linus.

Namun Linus hanya menghela nafas.
“Kekuatan itu hanya titipan Linggar… mungkin sekarang kamu melihat itu sebagai hal baik, tapi kalian kan ga tau masalah apa saja yang sudah diakibatkan oleh kekuatan ini sebelumnya.” Jelas Linus.
Mungkin benar ucapan linus, wajar bila kekuatan seperti itu bisa memberikan masalah atau dampak tertentu. Namun setidaknya, kali ini kekuatan itu berhasil menolong kami.
“Setidaknya aku berterima kasih, kekuatanmu itu sudah menolong kami… tapi, apa ga masalah pusakamu itu ditinggal di hutan itu?” tanyaku.
Linus menggeleng, sambil menyeruput kopi hitamnya.
“Ga masalah Linggar… aku dan pusaka itu terhubung satu sama lain, kelak saat waktunya tiba pasti dia akan kembali” Jelas Linus.
Setelah kejadian mengerikan itu Pak Damar masih mengijinkan kami untuk menyelesaikan program kerja kami.
Namun kali ini beberapa utusan dari universitas datang untuk memastikan kondisi kami.

Untungnya kami berhasil meyakinkan mereka mengenai keselamatan kami. Tapi sebenarnya aku masih merasa penasaran, apakah seekor kera yang terbawa arus sungai saat menolong kami bisa selamat?
Semoga saja aku masih ditakdirkan untuk bertemu dengan kera itu lagi.

-------
“Heh Panjul! Kesini!” Ucap Paklek memanggilku ke sebuah bangunan tua di sebuah pedalaman desa.

“Emoh paklek… gak mau! I… itu isinya setan semua” Jawabku yang bergidik ngeri saat melihat penunggu bangunan itu yang muncul setelah Paklek membacakan doa.
Walaupun Paklek sudah beberapa kali mengajaku membantu warga menyelesaikan masalah seperti ini. aku tetap tak terbiasa dengan wujud-wujud makhluk halus yang kami hadapi.

“Reneo.. ke sini, katanya mau jadi kuat biar bisa ngalahin pemain Ludruk itu..?” Ucap paklek.
Memang benar ucapan Paklek, seharusnya aku melatih mentalku untuk bersiap menghadapi makhluk yang menghabisi keluarga dan warga desaku.

Tapi… yang sedang paklek hadapi ini adalah makhluk genderuwo berkaki empat yang tingginya hampir menembus loteng bangunan itu.
“Nggak Paklek.. serem!” Ucapku yang segera melarikan diri dari pandangan demit-demit itu.
Terlihat paklek hanya menggeleng melihat kelakuanku.
Aku pergi hingga terhenti sebuah sungai di pinggir desa.
Sepanjang jalan aku hanya menggerutu meratapi nasibku saat ini yang harus menemani paklek berurusan dengan demit-demit itu.
Namun tak lama setelah aku tiba di sana aku melihat ada sesuatu mengambang diantara aliran sungai itu. Bentuknya menyerupai seekor hewan.

Entah mengapa dari dalam tubuhku muncul perasaan untuk masuk ke sungai dan menolong makhluk itu.
Seekor bangkai kera? Kalau ini hanya bangkai kenapa aku harus menolongnya?

Yang jelas aku tak mengerti mengenai perasaan apa yang mendorongku mengangkat jasad kera ini.
Saat sampai ke pinggir sungai, aku baru melihat banyak sekali bekas luka dengan darah yang masih segar terlihat dari bekas luka di tubuhnya.

Aku benar – benar tidak tega melihat kondisi makhluk ini.
Seketika aku teringat kekuatan paklek yang mampu menyembuhkan luka dan kutukan . Mungkin saja paklek bisa menolog makhluk ini.

Dengan segera aku menggendong makhluk itu dan membawanya ke paklek.
“Paklek.. Paklek! Tolong paklek!” Teriaku yang berlari mengarah ke bangunan yang penuh makkhluk halus itu.

“Halah.. Panjul, kalo ga mau bantuin ya jangan gangguin to” Ucap paklek yang terkaget melihat kedatanganku saat sedang membacakan doa.
Aku meletakan tubuh kera yang terluka itu ke atas meja di bangunan itu dan meminta tolong pakle menyembuhkanya.

“Tolong paklek.. paklek bisa nyembuhin monyet ini kan?” Ucapku memohon.
Paklek memeriksa tubuh monyet itu dan seperti tidak menemukan detak jantung maupun nafas darinya.

“Panjul.. monyet ini sudah mati, nanti kita kuburin aja ya..” Balas Paklek.
Sebenarnya aku tau itu, tapi bagaimana cara menjelaskan ke paklek mengenai sesuatu yang kurasakan ini.

“Paklek.. dicoba dulu paklek, tolong” Ucapku setengah memohon.

“Kamu merasa ada yang aneh ya Jul? “
Seketika wajah paklek terlihat menjadi serius.

“I.. iya Paklek, Paklek juga?” Tanyaku.

“Nggak… tapi kamu lihat sekitarmu, seluruh penghuni bangunan ini menjauh ketika jasad kera ini sampai di tempati ini” Ucap Paklek.
Benar kata Paklek, aku baru sadar semua makhluk halus di bangunan ini menjaga jarak dari kami setelah kedatanganku dan kera ini.

Setelahnya Paklek mengambil sebuah keris yang terbungkus kain lusuh, menggoreskan keris itu pada jarinya.
Seketika darah Paklek berubah menjadi api yang menetes ke tubuh kera itu.

“Ini ilmu penyembuhan yang terbaik yang kubisa… semoga saja ini berguna” Ucap Paklek.

Aku hanya mengangguk menyaksikan ilmu yang baru pertama kali kulihat ini.
Perlahan luka-luka kera itu menutup sedikit demi sedikit hingga hampir tak bersisa. Aku menunggu dengan waswas berharap monyet kecil ini bisa selamat.

“Paklek… lukanya sembuh” Ucapku.

“Jangan senang dulu, kalau nafasnya tidak kembali hasilnya akan sama saja” Balas Paklek.
Beruntung , tak lama setelahnya terlihat dada monyet itu mulai bergerak.
“Paklek.. “ Aku menoleh pada paklek sambil tersenyum.
Terlihat paklek juga menghela nafas merasa lega ilmunya bisa menolong kera itu.
Kera itu mulai bergerak, namun sepertinya ada sesuatu yang mengganggu kesadaranya.

Melihat hal itu paklek membacakan doa pada sebotol air dan memberikanya padaku.

“Sepertinya ada kutukan yang menyerang hewan ini, minumkan air ini saat dia sudah bisa bergerak” Perintah paklek.
Aku mencoba menyentuh tubuh Monyet itu dan merasakan hawa dingin dari seluruh tubuhnya. Sepertinya benar kata paklek, masih ada kutukan yang menyerang monyet ini.
Dengan sarung yang selalu kubawa aku membungkus tubuh monyet itu dan menggendongnya berharap ini dapat menghangatkanya.
“Ketek kuwi arep mbok pioro?”
(Monyet itu mau kamu pelihara)
Tanya Paklek yang sepertinya terlihat cemas bila aku ingin memelihara hewan yang sepertinya menyimpan hal misterius ini.
“Iyo paklek.. ben mari sek, sopo ngerti nek wis mari iso dadi koncoku” (Iya paklek… biar sembuh dulu, siapa tau kalau sudah sembuh bisa jadi temanku) Jawabku.

Sepertinya paklek mengerti rasa kesepianku dan membiarkanku merawat kera ini.
“arep tak kei jeneng Kliwon.. apik to paklek?” (Mau saya kasi nama kliwon, bagus kan paklek?) ucapku sambil tertawa.

“Jeneng opo kuwi.. jeneng kok medeni” (Nama apa itu, jama kok nyeremin) tanya paklek.
“Iki jenenge ketek jagoanku .. Si Hantu dari Goa Buta , sopo ngerti aku iso dadi jagoan kaya dia” (Ini nama monyet jagoanku.. si hantu dari goa buta, siapa tau aku bisa jadi jagoan kaya dia?) Jawabku.

Paklek tertawa mendengar jawabanku.
“Tapi jul.. kamu udah ga takut lagi sama hantu-hantu itu?” Tiba-tiba paklek bertanya.

Aku baru ingat dan segera melihat ke belakang. Rupanya sang genderuwo besar tadi sudah berada di belakangku sambil berjongkok memamerakan wajah besarnya yang dipenuhi bulu berwrna hitam.
“S…se… setan!!”Ucapku yang ketakutan dan segera berlari meninggalkan bangunan itu sambil menggendong kliwon.
Terlihat paklek masih tertawa di sana seolah merasa senang setelah mengerjaiku.

(Bersambung…)
Terima kasih sudah membaca kisah ini sampai selesai. mohon maaf apabila ada bagian cerita ini yang menyinggung.

seperti biasa yang ga sabar untuk baca update atau sekedar mendukung bisa mampir ke @karyakarsa_id ya..

karyakarsa.com/diosetta69/mon…

• • •

Missing some Tweet in this thread? You can try to force a refresh
 

Keep Current with Diosetta

Diosetta Profile picture

Stay in touch and get notified when new unrolls are available from this author!

Read all threads

This Thread may be Removed Anytime!

PDF

Twitter may remove this content at anytime! Save it as PDF for later use!

Try unrolling a thread yourself!

how to unroll video
  1. Follow @ThreadReaderApp to mention us!

  2. From a Twitter thread mention us with a keyword "unroll"
@threadreaderapp unroll

Practice here first or read more on our help page!

More from @diosetta

Mar 21
JALUR MATI ALAS MERAPI
Part 6 - Pusaka Merapi

Mereka terpisah sejak kecil, satu tinggal di alam manusia dan satu tinggal di sisi gaib hutan merapi..

#bacahorror @bacahorror Image
Part sebelumnya
Part 1 : Sukma yang Tertinggal
x.com/diosetta/statu…
Part 2 : Hutan tak Kasat Mata
x.com/diosetta/statu…
Part 3 : Keraton Gaib
x.com/diosetta/statu…
Part 4 : Penari Dunia Arwah
x.com/diosetta/statu…
Part 5 : Perburuan Sukma
x.com/diosetta/statu…
(Sudut Pandang Galang…)
Suara gending gamelan mulai mengalun, menyatu dengan hembusan angin sore yang membawa aroma tanah basah setelah hujan ringan. Cahaya keemasan senja mulai meredup di balik pepohonan, memberikan kesan magis pada suasana di sekitar balai desa.

Aku, Raka, dan Farel masih duduk di beranda kayu, memandangi halaman yang mulai dipenuhi orang-orang. Seharian ini kami menghabiskan waktu bersama Wulan, tapi kini ia telah berpamitan untuk bersiap-siap.

Kami tahu, sebentar lagi pementasan akan dimulai—dan bersamaan dengan itu, kecemasan kami semakin menjadi.

Sebelum pergi, Wulan sempat berpesan dengan nada serius, “Sebelum pementasan selesai, kalian harus sudah pergi.”

Aku menatapnya, mencoba mencari jawaban di balik matanya yang sejenak tampak bimbang. “Kenapa, Lan?” tanyaku, berharap ia akan menjelaskan.

Namun jawabannya justru membuat kami semakin terdiam.

“Kalian seharusnya tidak berada di sini.”
Kalimat itu menggantung di udara, menciptakan gelombang ketegangan di antara kami. Aku ingin bertanya lebih jauh, tapi Wulan tidak memberi penjelasan lebih lanjut.

Ia hanya menyebutkan bahwa gelar “tamu” bagi seorang penari memiliki konsekuensi tertentu. Konsekuensi yang ia hindari untuk jelaskan, tetapi cukup untuk membuat kami mengerti bahwa itu bukanlah sesuatu yang baik.

Tak ada lagi yang bisa kami katakan, selain menerima kenyataan bahwa waktu kami di tempat ini sangat terbatas.

Farel, yang sejak tadi diam, akhirnya berbicara dengan suara mantap. “Begitu pementasan dimulai, kita harus cepat-cepat mencari sukma Tiwi dan pergi.”

Raka segera mengangguk setuju. “Benar! Jangan buang waktu.” Ia sudah bersiap, memastikan barang-barang kami dalam keadaan siap untuk dibawa sewaktu-waktu.

Tapi kemudian, Farel kembali bersuara, kali ini dengan nada lebih tegas. “Satu lagi.” Ia menatapku tajam, seakan ingin memastikan aku benar-benar mendengarkan. “Kalaupun kita belum menemukan Sukma Tiwi saat pementasan selesai, kita tetap harus pergi.”

Deg!

Jantungku seperti dipukul begitu saja. Pernyataan itu terasa begitu berat, tetapi aku tahu bahwa Farel tidak salah.

“I—iya…” suaraku lirih, hampir tidak terdengar.

Raka menepuk bahuku dengan lembut. “Lang… kuatkan hatimu,” katanya dengan nada penuh keyakinan. “Nggak boleh ada korban lagi. Kalau kita tidak menemukan Tiwi di sini, berarti dia memang tidak ada.”

Aku menarik napas dalam, lalu mengangguk. Aku menatap mata kedua sahabatku dengan tekad yang bulat. Aku tidak boleh bimbang. Raka dan Farel sama pentingnya bagiku, dan aku tidak akan mengorbankan mereka hanya karena keraguanku.

Melihat keteguhanku, Farel mengangkat sudut bibirnya tipis, lalu menepuk bahuku sebelum merangkulku. “Bagus…” katanya singkat.

Tanpa perlu berkata lebih banyak, kami bertiga pun melangkah menuju balai desa tempat dimana panggung kayu yang sederhana sudah berdiri dan para pemain gamelan sudah memainkan alatnya.


“Monggo, Mas. Kue-kue sama jajanannya ada di sebelah sana. Teh dan kopi juga ada, jangan sungkan-sungkan,” suara lembut seorang ibu menyambut kedatangan kami.

Aku, Farel, dan Raka berdiri di pelataran sebuah rumah yang cukup besar. Di tengahnya, sebuah tumpeng megah diletakkan di atas meja kayu panjang, dikelilingi oleh aneka jajanan pasar dan makanan-makanan yang terlihat begitu menggoda.
Read 15 tweets
Mar 14
JALUR MATI ALAS MERAPI
Part 5 - Perburuan Sukma

#bacahorror @bacahorror @IDN_Horor Image
Part sebelumnya Part 1 : Sukma yang Tertinggal x.com/diosetta/statu…
Part 2 : Hutan tak Kasat Mata x.com/diosetta/statu…
Part 3 : Keraton Gaib
x.com/diosetta/statu…
Part 4 : Penari Dunia Arwah
x.com/diosetta/statu…
(Sudut Pandang Cahyo…)
Kabut tebal menyelimuti jalur sempit yang kami lalui. Setiap langkah terasa berat, seolah-olah ada ribuan mata tak terlihat yang terus mengintai dari balik pepohonan kering di sekitar.

Suasana begitu mencekam, bahkan napas kami terdengar lebih keras dari suara angin yang berhembus pelan.

Aku terus melangkah, tapi bayangan kebimbangan menyelimuti pikiranku.

“Danan... apa yang kita lakukan ini sudah benar?” ucapku dengan suara gemetar.

Danan berjalan di sampingku, menoleh sebentar sebelum kembali menatap lurus ke depan. Sorot matanya menandakan ia pun tak yakin.

“Entahlah, Jul... Tapi ini satu-satunya cara. Mbah Dirwo bilang Wiralaya bisa membantu kita.”
Aku melirik sosok tua yang berjalan di depan kami.

Wiralaya... pria bertubuh kurus dengan rambut panjang beruban yang menutupi sebagian wajahnya. Sorot matanya kosong, seperti menatap sesuatu yang tidak bisa kami lihat.

Tangannya kurus dan keriput, mencengkeram tongkat kayu yang terus menghantam tanah lembab setiap kali ia melangkah.

Kabut semakin tebal. Langit abu-abu yang tadi samar-samar terlihat kini benar-benar lenyap. Di tempat ini, siang dan malam terasa tidak ada bedanya. Dunia seperti terjebak di antara waktu.

“Sebenarnya kita mau ke mana, Mbah Wiralaya?” tanyaku mencoba memberanikan diri.
Pria tua itu tiba-tiba menghentikan langkah. Aku tersentak. Perlahan ia melirik ke arahku—tatapan yang begitu tajam hingga membuat bulu kudukku meremang.

Wiralaya tidak menjawab. Namun... di saat itulah tangan hitam berkeriput muncul begitu saja dari kabut pekat, mencengkeram tubuhku dengan kekuatan luar biasa.

“PANJUL!!”

Aku mendengar teriakan Danan, tapi semuanya terjadi begitu cepat. Dunia di sekelilingku berputar—kabut, pepohonan, dan sosok Danan menghilang dalam sekejap. Aku merasa dihempaskan ke tempat lain, tubuhku terlempar tanpa aku tahu melewati apa.

Saat aku membuka mata, tubuhku terbaring di atas tanah yang dingin dan lembab. Nafasku memburu, dadaku terasa sesak. Aku mencoba bangkit, tapi sesuatu menindih tubuhku.

Sosok pocong.

Makhluk itu berdiri di atasku, tubuhnya kaku dengan kain kafan yang penuh bercak darah. Wajahnya membusuk... kulitnya terkelupas hingga memperlihatkan tulang di beberapa bagian. Matanya cekung dan hampir keluar dari lubang tengkorak yang menghitam.

“Udu wayahe kowe tangi meneh... Wektumu wis rampung... Aku mung njaluk panggonanku... Kowe sing ngganti...”
(Bukan waktumu lagi untuk bangun lagi... Waktumu sudah habis... Aku hanya meminta tempatku... Kamu yang menggantikan...)

Suaranya dalam, berat, seolah berasal dari dasar kubur. Bau anyir darah bercampur tanah basah menusuk hidungku. Tubuhku bergetar hebat saat pocong itu mulai tersenyum, memperlihatkan deretan gigi kuning berlumuran lendir.

Aku mencoba meronta, tapi tekanan di dadaku semakin kuat. Napasku tersengal-sengal.

“Nggak... nggak sudi aku!”

Aku memanggil satu-satunya harapan yang kupunya.
“WANASURA!!”

Tidak ada jawaban.

Aku memanggil lagi, lebih keras. “WANASURA!!!”
Tapi... sunyi. Bahkan energi di dalam tubuhku terasa lenyap. Seolah sesuatu telah memutuskan ikatan antara aku dan Wanasura—jiwa roh penjaga yang selama ini mendiami tubuhku.

Pocong itu tertawa terbahak-bahak, suara seraknya menggema di udara. Kafan yang membalut tubuhnya mulai sobek perlahan, memperlihatkan ratusan ular berbisa yang menggeliat di balik lipatan kain. Ular-ular itu melata, menyusup keluar dan menempel di tubuhku, melilit leher dan tanganku.

“Kafan ini sudah memintamu... kehkehkeh...”

Wajah pocong itu mendekat, hanya sejengkal dari wajahku. Bau busuk menyengat menembus hidung, membuat perutku mual. Matanya yang hampir lepas bergetar, menatapku dengan rasa puas.

Aku berusaha membaca doa-doa di dalam hati... tapi semakin aku membaca, semakin kuat kain kafan itu menjerat tubuhku.

“LEPASKAN!! LEPASKAN AKU!!”

Kafan itu hidup. Lembaran kainnya melilit tubuhku seperti ular, perlahan menyusup ke dalam mulutku, memaksaku diam. Aku menggigit kain kasar itu, tapi ia terus memaksa masuk.

Keringatku semakin menetes.

“Berkatmu aku bisa kembali memburu sukma di gunung ini... kehkehkeh...”

Makhluk itu berbalik, berjalan menjauh dengan langkah pincang, meninggalkanku dalam lilitan kafan yang semakin rapat. Aku mencoba meronta, tapi tak ada yang bisa kulakukan.

Dalam kegelapan itu, aku hanya bisa berdoa.
Perlahan-lahan, dunia di sekelilingku terasa semakin dingin... dan aku mulai kehilangan kesadaran.

“Sial!!” Aku mengumpat kesal, namun mulutku terus melantunkan doa tanpa henti. Napasku memburu, keringat dingin membasahi tubuhku yang gemetar. Tiba-tiba, suara gemuruh terdengar dari arah belakang.
Read 14 tweets
Mar 6
JALUR MATI ALAS MERAPI
Part 4 - PENARI DUNIA ARWAH

Galang dan Wulan bertemu lagi, dan perasaan mereka masih sama...

#bacahorror @bacahorror @ceritaht Image
Part sebelumnya
Part 1 : Sukma yang Tertinggal x.com/diosetta/statu…
Part 2 : Hutan tak Kasat Mata
x.com/diosetta/statu…
Part 3 : Keraton Gaib x.com/diosetta/statu…
(Sudut Pandang Galang…)

Langkahku terhenti ketika tiba-tiba seseorang meraih tanganku dan menarikku dengan tergesa-gesa. Seorang perempuan berlari di hadapanku, napasnya memburu seolah dikejar sesuatu.

Wajahnya dipenuhi kecemasan, terutama setelah melihatku yang hendak memasuki sebuah desa yang tampak sunyi di kejauhan.

"Wulan, tapi Raka dan Farel... Mereka juga tersesat," ucapku, mencoba menjelaskan situasiku yang tak kalah membingungkan.

Mendengar itu, Wulan memperlambat langkahnya sejenak. Matanya mengawasi sekeliling dengan waspada, lalu tanpa banyak bicara, ia menarikku menuju rimbunan pepohonan di tepi jalan.

Sesampainya di sana, ia celingukan seakan mencari sesuatu atau seseorang. Setelah memastikan keadaan aman, ia menatapku dengan serius.

"Apa yang sebenarnya terjadi, Mas? Kenapa kalian bisa sampai ke sini? Bahkan dalam situasi seperti ini..." Suaranya lirih, tapi penuh kekhawatiran.

Aku menghela napas panjang. "Ceritanya panjang, Wulan. Awalnya ini tentang Tiwi..."
Aku mulai menjelaskan bagaimana kami sampai di sini. Wulan mendengarkan dengan saksama, raut wajahnya berubah-ubah seiring dengan ceritaku.

Awalnya ada kecemasan, lalu keterkejutan, dan entah kenapa, aku tidak lagi melihat ekspresi cemburu seperti yang pernah ia tunjukkan sebelumnya. Saat kusebutkan bahwa bagian sukma Tiwi masih tertinggal di sisi gaib Gunung Merapi, Wulan tampak semakin tegang.

"Bagaimana keadaan Tiwi? Apakah Mbah Dirwo membantu kalian?" tanyanya cepat.

"Tiwi sudah mendapat pertolongan dari Mas Danan. Sayangnya, kami belum sempat bertemu Mbah Dirwo. Tapi ada beberapa orang yang memahami hal gaib yang juga turun tangan membantu kami..." jawabku, mencoba menenangkan kekhawatirannya.

Meski tampak memahami, Wulan tetap gelisah. Ia menggigit bibirnya pelan, seperti sedang mempertimbangkan sesuatu.

"Masalahnya bukan hanya itu, Mas... Alam gaib di Merapi sedang bergejolak," ucapnya akhirnya.

Aku mengernyit. "Bergejolak? Maksudmu?"
Wulan mengangguk. Ia melirik ke arah desa yang semakin jauh dari pandangan kami. Matanya menangkap kehadiran seekor burung jalak yang bertengger di salah satu dahan pohon. Seolah mendapat isyarat, ia menarikku lebih jauh dari tempat itu.

"Farel dan Raka tidak sendirian. Ada seekor kera yang menjaga mereka," katanya tiba-tiba.

Aku terkejut. "Kamu tahu dari mana, Wulan?"
Alih-alih menjawab, Wulan hanya tersenyum kecil. Aku menatapnya lekat-lekat, mencoba mencari jawaban dari ekspresinya. Namun, aku sadar bahwa meskipun ia menjelaskan, belum tentu aku bisa benar-benar memahami apa yang ia ketahui.

"Saat ini, para penghuni desa gaib di gunung ini tengah gelisah. Keberadaan makhluk-makhluk asing yang bukan berasal dari Merapi mulai berdatangan dan mengganggu keseimbangan," ujar Wulan dengan nada serius.

Aku mengerutkan dahi. "Sesama makhluk pun bisa berseteru?"

Wulan mengangguk pelan. "Tentu saja, Mas. Setiap wilayah memiliki sosok kuat yang menjaga keseimbangannya.

Keberadaan mereka bukan hanya sebagai pelindung, tapi juga sebagai pengatur batas antara alam manusia dan alam gaib. Jika keseimbangan itu terganggu..." Wulan tidak melanjutkan ucapannya, tapi dari sorot matanya, aku bisa merasakan betapa serius situasi ini.

Aku menelan ludah. Sekarang aku paham, kami tidak hanya tersesat di gunung ini, tapi juga terjebak di tengah-tengah sesuatu yang jauh lebih besar dari yang kami bayangkan.

"Ada satu lagi pertanyaan penting, Wulan." Kali ini aku yang menarik tangan Wulan hingga langkahnya terhenti.

"Apa, Mas?"

"Bagaimana kabarmu?"

Wulan berpaling dan menatapku dengan bingung. Sejenak ia tampak terkejut, sebelum akhirnya menjawab dengan suara sedikit canggung. "Eh, ba—baik, Mas."

Aku melihat raut wajahnya berubah, rona halus muncul di pipinya. Walaupun Wulan bukan manusia, ada sesuatu dalam dirinya yang selalu membuatku merasa nyaman. Namun sebelum aku bisa mengatakan lebih jauh, perasaan aneh tiba-tiba menyelimuti kami.

Hutan di sekitar semakin sunyi. Suasana menjadi dingin, dan aku bisa merasakan keberadaan sesuatu yang mendekat.

"Ada yang datang..." bisikku.

Wulan ikut menghentikan langkahnya, tubuhnya menegang. Dari balik bayangan pohon, seseorang muncul. Sosok itu adalah seorang lelaki tua dengan wajah penuh senyum. Namun, senyum itu terasa janggal.

"Buru-buru sekali, Mas sama Mbaknya? Di desa sedang ada acara, lho," ucap lelaki itu dengan nada ramah yang terdengar ganjil.

Wulan segera mengambil langkah maju, berdiri di depanku. "Terima kasih, Pak. Tapi kami sudah ada janji dengan seseorang," balasnya dengan sopan.
Senyum lelaki itu perlahan memudar.

Wajahnya berubah serius, tatapannya dingin. "Bukan seperti ini caranya meninggalkan desa..." Nada suaranya datar, tapi aku merasakan ancaman yang tersirat. "Seharusnya kamu mengerti, Wulan."

Aku menyadari bahwa ini bukan sekadar perbincangan biasa. Ada sesuatu yang hanya dipahami oleh para penghuni desa gaib ini.

"Nggih, Pak. Wulan lupa," jawab Wulan, suaranya lebih lembut. "Kami akan kembali ke desa sebentar lagi."

Mendengar jawaban itu, lelaki tua itu kembali tersenyum. "Bagus. Jangan lama-lama, keburu acaranya selesai."

"Nggih, Pak!" balas Wulan ceria.

Begitu lelaki itu berbalik dan mulai berjalan kembali ke hutan, tubuh Wulan tiba-tiba menegang.

"Lari!" teriaknya tiba-tiba.

Ia menarik tanganku, dan kami segera berlari menuju bagian hutan yang berkabut. Nafasku tersengal-sengal, dan aku bisa merasakan bahaya yang membuntuti kami.

"Apa bapak tadi berbahaya?" tanyaku di tengah langkah terburu-buru.

"Manusia tidak boleh berada di desa gaib itu, Mas. Sekali masuk, mereka harus menjadi bagian dari desa selamanya."
Read 17 tweets
Feb 27
JALUR MATI ALAS MERAPI
Part 3 - Keraton Gaib

Di balik hutan-hutan yang lebat dan puncak yang gersang, tersembuyi entitas gaib yang saling berinteraksi dan memiliki kehidupannya sendiri..

Keraton Gaib Merapi, bersembunyi di balik kabut pekat di sana.

#bacahorror @IDN_Horor Image
Part sebelumnya :

Part 1 - Sukma yang Tertinggal
x.com/diosetta/statu…
Part 2 - Hutan Tak Kasat Mata
x.com/diosetta/statu…
Sudut Pandang Cahyo…)

Kabut semakin pekat, menyelimuti jalur pendakian yang seharusnya tidak ada. Inilah jalur gaib yang kami cari, jalan menuju keberadaan Sukma Tiwi. Tapi kini, kami terjebak.

Dari balik kabut, bayangan-bayangan samar mulai bermunculan. Dayang-dayang keraton demit melayang mengelilingi kami, wajah mereka pucat dengan mata kosong menatap tanpa kedip.

Gaun panjang mereka berkibar tanpa suara, membentuk lingkaran semakin rapat. Udara menjadi dingin menggigit, menembus hingga ke tulang.

“Ini buruk,” bisikku, suaraku nyaris tenggelam dalam keheningan menyesakkan.

Lalu, dia muncul. Sosok kakek tua berdiri di hadapan kami, tubuhnya bungkuk dengan tongkat kayu tua yang dihantamkannya ke tanah hingga terdengar bunyi retakan. Kabut di sekitarnya bergetar, seakan tunduk pada kekuatannya.

Di tangan kirinya, tergantung sesuatu yang membuat darahku membeku—sebuah kepala manusia membusuk, matanya melotot kosong, bibirnya menyeringai ngeri. Bau busuk menyengat menghantam hidung, membuat perutku mual.

“Jangan berurusan dengannya!” seruku, suaraku bergetar saat melirik Galang, Farel, dan Raka yang wajahnya sudah pucat pasi. Tapi terlambat. Kakek itu tidak hanya menghalangi jalan. Dia mengincar kami.

“Kita sudah masuk ke wilayahnya,” bisikku, suaraku serak. “Kakek itu... dia tidak segan-segan mengambil nyawa manusia.”

Mata cekungnya bergerak lambat, memperhatikan kami satu per satu. Pandangannya terhenti pada Kliwon, kera yang berdiri di sampingku, bulunya meremang penuh kewaspadaan.

“Satu kepala saja cukup... Kuberi kalian kesempatan pergi,” suaranya parau, dalam dan dingin seperti datang dari dasar kubur. Tawaran yang terdengar seperti vonis mati.

Aku menelan ludah. Dia benar-benar menginginkan salah satu dari kami.
Dengan langkah gemetar, aku maju selangkah.
“Tak kubiarkan kau menyentuh mereka,” ucapku mantap, meski nyaliku hampir luruh.

Kakek itu menyeringai, mulutnya robek lebar memperlihatkan gigi-gigi hitam keropos. Tawanya pecah, menggema di antara pepohonan, memantul berkali-kali hingga terdengar seperti jeritan makhluk terkutuk. Udara tiba-tiba semakin dingin. Bayangan-bayangan di balik kabut bergerak gelisah.

Dayang-dayang demit itu tidak lagi sekadar mengelilingi. Mereka melayang maju dengan gerakan lambat, tangan-tangan kurus mereka terjulur ke arah Galang, Farel, dan Raka. Kabut tebal menyelimuti kaki mereka, menyeret mereka menjauh dariku.

Ini jebakan. Kakek tua itu mengalihkan perhatianku, sementara yang lain diincar untuk dijadikan tumbal.
“Kliwon!” teriakku.

Kliwon melesat cepat, tubuhnya lenyap ditelan kabut pekat. Aku hanya bisa berharap dia bisa menemukan mereka sebelum terlambat.

Sementara itu, aku harus bertahan di sini. Berhadapan dengan makhluk yang bahkan gunung ini sendiri telah mengutuknya.
...
Read 13 tweets
Feb 20
JALUR MATI ALAS MERAPI
Part 2 - Hutan Tak Kasat Mata

Cahyo sudah menunggu Galang dan teman-temannya di jalur pendakian. Tak di sangka, kedatangan mereka sudah diawasi...

#bacahorror @bacahorror @IDN_Horor Image
Part sebelumnya :

Part 1 - Sukma yang tertinggal
Siang itu, aku duduk gelisah di kamar, jari-jariku bergerak resah di atas ransel yang masih kosong. Rasa cemas menggelegak di dadaku, memikirkan keadaan Tiwi. Aku tak bisa lagi menunda.

Aku harus kembali ke Merapi.

Tanpa banyak pikir, aku mulai mengemasi barang-barang. Tanganku gemetar saat memasukkan jaket, senter, dan beberapa keperluan lain. Saat melangkah keluar kamar, ibu memandangku dengan alis berkerut.

"Galang! Kok tiba-tiba begini?" tanyanya heran.

Aku menelan ludah, berusaha tetap tenang. "Iya, Bu. Janjian sama Mbah Dirwo, mumpung sempat katanya."

Aku terpaksa berbohong. Aku tak ingin ibu tahu alasan sebenarnya, bahwa ini bukan sekadar perjalanan biasa. Aku tak ingin ia khawatir kalau tahu aku kembali ke Merapi demi Tiwi.

Begitu keluar rumah, aku langsung mencari angkutan umum menuju terminal bus. Hawa siang terasa lebih menekan daripada biasanya, atau mungkin itu hanya pikiranku saja. Aku menaiki angkot menuju terminal untuk melanjutkan menaiki bus menuju Boyolali, memulai perjalanan yang terasa begitu berbeda dari sebelumnya.

Dulu, Tiwi dan yang lain ada di sisiku, menemani langkah-langkahku. Tapi kini, aku sendirian, hanya berteman kecemasan yang terus menghantui.

Kemunculan badut Pak Suradirja di rumah sakit kemarin masih mengusik pikiranku. Sosok itu benar-benar membuatku semakincemas. Ada sesuatu yang tak beres. Dan aku tahu, ini bukan kebetulan. Keadaan Tiwi pasti lebih genting dari yang kukira.

Aku menarik napas panjang, menatap jalanan yang berlalu di luar jendela bus. Aku harus menemukan menemukan jalan untuk mengembalikan sukma Tiwi sebelum apa yang ditakutkan Mas Danan benar terjadi.

***
Read 17 tweets
Feb 13
JALUR MATI ALAS MERAPI
Pos 1 - Sukma yang Tertinggal

Tragedi di Merapi tahun lalu masih membekas di ingatan Galang dan yang lain. Mimpi yang sama terus muncul, dan kemunculan satu sosok membahayakan nyawa Tiwi.

Merapi memanggil kembali...

@bagihorror @IDN_Horor @bacahorror Image
Buat yang belum baca 2910 Mdpl bisa mampir ke sini ya :

2.910 Mdpl (Maut di Perbatasan Langit)
Part 1 : x.com/diosetta/statu…
Part 2 : x.com/diosetta/statu…
Part 3 : x.com/diosetta/statu…
Part 4 : x.com/diosetta/statu…
Part 5 : x.com/diosetta/statu…
Part 1 - Sukma yang Tertinggal

-- Awan panas menyembur deras dari kubah lava Merapi, menghapus warna hijau lereng dengan abu kelabu. Orang-orang berlarian panik, teriakan mereka bersaing dengan gemuruh tak henti-henti.

Tanah di bawahku berguncang, membuat langkahku terhuyung. Suara-suara kacau memenuhi udara, tetapi tubuhku terus bergerak, entah bagaimana aku menjauh dari bencana yang mendekat.

“Pak?! Cepat!!” Suara seseorang perempuan menyentakku.

Di sela-sela kepulan debu dan kerumunan yang panik, samar-samar aku melihat seorang pria berhenti berlari. Ia berdiri diam, semakin menjauh dariku yang terus melangkah mundur.

“Tidak… larilah! Selamatkan dia! Wulan... dia diminta oleh Merapi…” suara pria itu terdengar parau, namun tegas. Aku terpaku.

Panas mulai membakar kulitku, seperti napas neraka yang mendekat. Dalam hitungan detik, aku melihatnya, awan panas itu melahap pria tadi, tanpa ampun. Ia lenyap dalam abu, tanpa perlawanan.

Gempa kian menggila. Langit menghitam, menutup cahaya terakhir dari dunia.

Rasa takut mencengkeramku erat, seperti cakar raksasa yang tak ingin melepaskan. Kakiku gemetar, napasku berat. Apakah ini akhirnya?

Sebelum semua itu menelan diriku, tiba-tiba semuanya memudar. --
Read 22 tweets

Did Thread Reader help you today?

Support us! We are indie developers!


This site is made by just two indie developers on a laptop doing marketing, support and development! Read more about the story.

Become a Premium Member ($3/month or $30/year) and get exclusive features!

Become Premium

Don't want to be a Premium member but still want to support us?

Make a small donation by buying us coffee ($5) or help with server cost ($10)

Donate via Paypal

Or Donate anonymously using crypto!

Ethereum

0xfe58350B80634f60Fa6Dc149a72b4DFbc17D341E copy

Bitcoin

3ATGMxNzCUFzxpMCHL5sWSt4DVtS8UqXpi copy

Thank you for your support!

Follow Us!

:(