Dua ekor kera terlihat melompat dari satu pohon ke pohon lainya seolah acuh tak acuh dengan keadaanku yang terbaring lemas.
Aku mengira tidak ada lagi harapan hidup untuku yang telah tersesat selama tiga hari di hutan ini.
Namun ternyata tiba-tiba tetesan air mulai memasuki mulutku sedikit demi sedikit. Setiap tetesnya seolah mengembalikan kembali kesadaranku.
Kera…
Dua ekor kera itu bergantian mengisi mulutku dengan air, dan beberapa biji-bijian yang membuatku kembali bisa menggerakan tubuhku.
Namun tepat ketika aku mulai bisa bangkit, dengan segera mereka berlarian meninggalkanku masuk ke dalam kegelapan hutan.
……
Linggar Sasena, itu namaku. Hanya seorang mahasiswa biasa, dari keluarga biasa , dan dengan nilai rata-rata. Lalu kalian pasti bertanya, apa yang menarik dari kisahku ini?
Memang benar… tidak ada hal menarik dalam kisah hidupku , kecuali mengenai kisahku yang satu ini.
Kisah saat aku tiba di sebuah kampung yang bersebelahan dengan hutan yang di sebut warga dengan nama Alas Wetan.
“Selamat pagi pak… mohon ijin, Saya Linggar yang kemarin meminta ijin untuk melaksanakan KKN di desa ini”
Ucapku dengan sopan kepada Pak Damar yang menjabat sebagai kepala desa Ranggilawu.
“Oo.. mas Linggar, silahkan.. monggo dijelaskan kira-kira proyek apa yang mau dijalankan di desa ini” Ucap Pak Damar.
Aku menjelaskan kepada Pak Damar mengenai program kerjaku yang memanfaatkan sungai di pinggir desa sebagai pembangkit listrik sederhana yang dapat menghasilkan listrik untuk menerangi jalan masuk desa yang selama ini belum memiliki penerangan.
“Nah ide bagus Mas Linggar.. walaupun desa ini sudah masuk listrik, tapi untuk beberapa akses ke sini memang masih gelap di malam hari… pasti berguna mas”
Ucap Pak Damar yang setuju dengan programku.
“Nanti Mas Linggar dan teman-teman silahkan menginap di rumah sebelah pos desa, rumah itu milik adik saya yang sedang merantau ke luar pulau.. silahkan digunakan, tapi tolong dijaga”
Setelah mendapatkan ijin , aku kembali keluar menemui Fia dan Linus teman yang sekelompok denganku dalam menjalankan program kerja ini. Karena.. memang bukan hanya kelompok kami yang melakukan KKN di tempat ini.
“Mas.. mau ke sungai ya?” tiba-tiba seorang ibu bertanya kepada kami yang memang berniat melakukan survey ke sungai.
“Iya bu… kami mau mengecek lokasi lebih detail bu” Jawab Linus dengan sopan.
“Ohh.. iya, hati-hati ya.. jangan masuk ke hutan, masih ada hewan buas di sana” Ucap ibu itu mencoba memperingatkan.
“Yang bener bu? Kok serem… memangnya hewan apa yang sering muncul bu?” Tanya Fia yang mulai Was was.
“Tenang , kalau kalian ga masuk ke hutan aman kok.. di sana ada kera atau monyet buas yang sering menyerang warga yang masuk ke hutan” Jelas Ibu itu.
Kami saling berpandangan seolah sepakat untuk menuruti nasihat ibu warga desa itu.
“B.. baik bu, kami ga akan masuk ke hutan, Terima kasih sudah di peringatkan” Ucap kami pada ibu itu.
Setelahnya ibu itu langsung pamit dan melanjutkan kegiatanya.
Kami berjalan menyusuri jalan setapak menuju sungai yang dikelilingi dengan pohon-pohon yang masih rindang. Sebuah pemandangan yang jarang sekali kami lihat di perkotaan saat ini.
“Ah… kalau udaranya seger begini, kayaknya aku bisa betah tinggal di sini nih Linggar” Ucap Linus yang memang seorang pencinta alam sejati.
“Iya nih.. kalaupun nanti udah beres, boleh juga kita sekali-kali mampir ke sini buat refreshing” Lanjut Fia.
Aku hanya menggeleng.
“Bebas.. mau refreshing, mau menetap.. silahkan! Yang penting kita beresin dulu KKN 6 SKS ini..” Balasku yang segera berjalan mendahului mereka.
….
Sebuah sungai terlihat mengalir cukup deras dari arah gunung. Kami mulai mendeteksi debit air terbait untuk merancang peletakan kincir yang akan disambungkan ke dinamo nanti.
Namun bukan hanya itu yang kami temukan, di seberang sungai terlihat sebuah jalan masuk menuju hutan yang sepertinya terbentuk secara alami.
"Mungkin hutan itu yang banyak binatang buasnya ya Linggar… “ Tanya Fia.
“Iya … mungkin hutan itu, jangan berani-berani masuk ke sana ya.. bisa ga bisa keluar kalian” Ucapku memperingatkan mereka.
“Halah.. ga usah sok tegas kamu, kayak udah pernah ke sana aja” Ucap Linus.
Aku menatap kembali hutan itu, sekilas terlihat kenanganku saat tersesat di sana dari sisi sebaliknya dari hutan itu.
“Sudah… aku sudah pernah ke sana” Jawabku.
Fia dan Linus saling memandang, mereka terlihat kaget dengan jawabanku.
“Yang bener kamu Linggar… jangan bercanda!” Tanya Fia.
“Itu dulu waktu masih aktif di pencinta alam seperti Linus dulu… udah jangan dibahas sekarang, kapan-kapan saja aku ceritain” Ucapku yang menyibukan diri dengan schedule prokerku.
Sebuah rancangan kasar berhasil kami buat. Linus cukup mudah mengenali medan, Fia dengan cepat bisa mebuat rancangan kasar dari arahan yang kuberikan.
Alhasil, akhirnya kami mampu menyelesaikan tujuan kami walau sedikit melewati waktu maghrib dan langit mulai gelap.
Sesaat sebelum kembali mendadak Fia berhenti dan menoleh ke belakang, tepat kearah gerbang masuk hutan ini.
“Linggar… Linus.. kalian dengar suara tadi ga?” Ucap Fia.
Aku dan Linus saling berpadu pandang dan segera menggeleng, karena memang kami tidak mendengar suara apapun di sana dan akhirnya kami melanjutkan perjalanan untuk kembali ke desa.
Merasa lelah dengan aktivitas seharian ini , kami segera kembali ke rumah singgah.
Sebuah obrolan singkat terjadi diantara beberapa kelompok sebelum akhirnya kami beristirahat di kamar kami masing masing.
Kamar Pria diisi oleh enam orang , walaupun cukup banyak, kamar ini masih terasa cukup lega sehingga kami bisa tidur dengan nyaman.
Sampai tiba-tiba aku mendengar suara yang membuatku tersadar.
Semula aku mendengarnya seperti bisikan biasa, namun lambat laun suara itu mulai terdengar seperti mantra yang membuatku merasa merinding.
Sebelum aku sempat terbangun, terdengar suara seseorang diantara kami berdiri dan mengambil sesuatu dari tasnya.
“Lungo..! Ojo gawe perkoro karo konco-koncoku” (Pergi! Jangan mencari perkara dengan teman-temanku) Terdengar suara Linus menjadi berat seperti mengancam sesuatu.
Seketika suara bisikan itu menghilang, dan kami bisa tidur kembali dengan tenang.
Sayangnya tidak dengan di kamar perempuan…
Menjelang subuh kami dikejutkan dengan suara pintu kamar yang digedor dengan keras.
“Linggar! Linus! Bangun… tolong!!”
Terdengar suara perempuan yang kukenal, itu adalah Ratna.. teman satu jurusan kami juga yang mengerjakan program kerja dengan kelompok lain.
“Kenapa Ratna… ada apa? “ Ucapku membuka pintu disusul dengan anak-anak lain yang juga kaget dengan ketukan pintu Ratna.
“Linggar tolong… Fia…. Fia gak sadar, tingkah lakunya aneh!” Cerita Ratna yang segera membuat kami segera bergegas menghampiri Fia teman sekelompoku itu.
Aku memerintahkan Ratna untuk melapor ke Pak Damar sementara kami mengecek keadaan Fia.
Memang cukup aneh, di kamar perempuan terlihat beberapa orang memegangi Fia yang terlihat melotot dan meronta seperti kesurupan.
“Fia… kamu kenapa Fia?” Tanyaku yang benar-benar bingung harus berbuat apa.
“Bacakan Doa-doa yang kita bisa, kalau Fia memang kesurupan semoga saja doa dari kita bisa membantu” Perintah Linus.
Dengan segera kami membacakan doa-doa yang kami bisa, hingga akhirnya Fia berhenti meronta.
Namun itu bukan akhir masalah… sebaliknya Fia mendekatkan wajah pucatnya kepadaku , memiringan kepalanya sambil menyeringai.
“Khikhikhi…. Aku gelem karo sing iki” (aku mau sama yang ini) Suara tawa terdengar menyeramkan terdengar dari Fia.
Aku melihat Linus berlari ke kamarnya mencoba mengambil sesuatu, namun selang berapa lama Pak Damar datang bersama seorang pria dengan pakaian hitam dan blangkon di kepalanya.
Tanpa menunggu lama bapak itu mengambil air, membaca sesuatu dan memaksa meminumkanya ke Fia. Seketika Fia kembali terbaring di kasurnya seolah kehilangan tenaga.
Linus yang kembali dari kamar menghela nafas lega ketika melihat Fia mulai pulih dan segera menyembunyikan sesuatu yang ia ambil dari kamar.
“Ini Pak Dirman… salah satu yang kami percaya dalam mengurus masalah beginian” Jelas pak damar.
“Salam kenal Pak Dirman… saya linggar, sebenernya Fia ini kenapa ya pak?” Tanyaku yang penasaran.
Pak Dirman mengajak kami keluar ke teras dan membicarakan di luar untuk memberi waktu Fia untuk istirahat.
“Mas Linggar… jangan terlalu dibesarkan ya,takutnya anak-anak yang lain jadi panik “ Ucap Pak Dirman.
Beliau memastikan Fia hanya kerasukan roh halus biasa , dan tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Apabila ada yang aneh, kami diminta untuk melapor kepadanya.
Setelah sedikit berbincang dengan Pak Dirman dan Pak Damar kami kembali masuk ke kamar Fia dan memastikan kondisinya yang telah mulai sadar.
“Pocong…. Semalem ada pocong di kamar ini” Ucap Fia yang masih merasa ketakutan.
“Kain kafanya hampir seluruhnya menghitam… dia seperti berbisik sesuatu yang mirip dengan mantra”
Sangat mengerikan apabila yang diucapkan oleh Fia ternyata benar. Namun ucapanya mengingatkanku pada kejadian semalam di kamar kami juga.
Tapi sepertinya aku tidak perlu menceritakan hal ini agar tidak memperparah keadaan.
Setelah kejadian itu , Anak-anak saling bergantian menjaga Fia di rumah singgah sementara aku dan Linus melanjutkan prokerku di sungai terlebih dahulu sebelum nanti bergantian menjaga Fia.
Saat mencapai tengah hari entah halusinasi atau bukan , mendadak aku melihat Fia berjalan sendirian di seberang sungai berjalan sendirian.
“Linus… itu Fia?” Tanyaku memastikan pada Linus.
Ia menoleh namun seperti tidak melihat apa-apa.
“Ga ada… ga ada apa-apa di sana, kamu kali terlalu khawatir… Fia kan di desa di jaga sama anak-anak” Ucap Linus.
Sepertinya aku setuju dengn ucapan Linus, karena setelahnya aku tidak melihat lagi sosok seperti Fia di pintu masuk Hutan.
Menjelang tengah hari kami segera kembali ke desa, namun di sana terlihat warga sedang ramai seolah mencari sesuatu.
“Linggar… Fia hilang linggar” Ucap Ratna yang segera menghampiriku ketika masuk ke desa.
“Yang bener kamu? Bukanya pada gantian jagain?” Tanyaku bingung.
“Iya… aku yang jaga, aku sama sekali ga liat siapapun keluar kamar ,jendela juga tertutup tapi pas mau nganter makan siang tiba-tiba fia ga ada” Jelas Ratna.
Aku tidak tau harus berbuat apa, kami membantu mencari keseluruh penjuru desa hingga petang namun tidak dapat menemuka jejak Fia.
“Linggar.. jangan-jangan yang kamu lihat masuk ke hutan itu beneran Fia?” Tanya Linus padaku.
Aku berfikir sejenak dan membayangkan kemungkinan buruk yang terjadi. Dengan segera aku melapor ke Pak Damar berharap mereka mau membantu mencari keberadaan Fia.
“Sudah Mas Linggar di desa saja,tunggu di sini bersama yang lain.. biar saya dan pemuda desa yang mencari ke Hutan..” Ucap Pak Damar.
Aku tidak setuju , begitu juga dengan Linus.. kami memaksa untuk pergi sementara kelompok lain tetap di desa.
“Saya juga ikut… mudah-mudahan kemampuan saya bisa menjaga supaya kita semua bisa kembali dengan selamat”
Tiba –tiba Pak Dirman datang menghampiri kami dan pak Damar.
Dengan peralatan seadanya yang kami punya, kami memasuki hutan yang dipenuhi dengan berbagai macam tumbuhan semak belukar.
Tidak seperti hutan yang sering kami lihat di setiap perjalanan, hutan ini benar-benar terasa seperti hutan liar dimana jalur untuk berjalan saja sulit untuk dicari.
Sekelebat aku seperti melihat kobaran api menyala dari sisi hutan, namun saat aku menoleh hanya kegelapan yang terlihat di sana. Mungkin saja itu cahaya api dari obor warga pikirku.
Tak lama setelah itu terlihat dari kegelapan hutan beberapa pasang mata memantau kami dari kegelapan, suara kera saling bersahutan terdengar mengelilingi kami.
“Jangan sampai ada yang terpisah dari kelompok… mereka mulai terusik” Ucap Pak Dirman.
Setelah membacakan suatu doa atau mantra Pak Dirman membakar sebuah kayu seukuran lengan dan melemparkanya ke arah kegelapan hutan itu, seketika api itu berubah menjadi kobaran yang mengusir keberadaan kera-kera itu.
Namun sayangnya tidak semudah itu…
Kera-kera yang kabur itu segera kembali ketika sepasang kera mengeluarkan suara seolah memberi perintah kepada pasukanya
sekumpulan kera itu kembali menyerang kami dipimpin seekor kera yang terlihat paling pintar di antara mereka.
Satu persatu mereka menyerang, mencakar, berusaha mengusir kami dari wilayah kekuasaanya.
“Pak Dirman… ini terlalu berbahaya, sebaiknya kita kembali dulu” Perintah Pak Damar.
Aku setuju walaupun dengan berat hati, namun itu pilihan terbaik dibanding pencarian ini malah memakan korban lagi.
“Jangan… kita sudah dekat, seharusnya saya Perempuan itu tidak jauh dari sini, harusnya kita bisa mengurus kera-kera sial ini..”
Ucap Pak Dirman yang sekali lagi membacakan mantra untuk membesarkan api yang ada di obornya sehingga kera-kera itu mulai merasa terancam.
Dengan ucapan Pak Dirman, kami semua berusaha sekuat tenaga membalas serangan kera-kera itu.
Dengan obor, kayu , batu kami berusaha sekuat tenaga menahan serangan kera-kera itu hinga satu persatu kera itu tidak berdaya.
Terlihat dengan bantuan warga desa, Pak Dirman bisa fokus menghadapi kedua kera yang memimpin pasukan kera yang kami lawan.
Sekilas aku melihat pertarungan mereka tidak seperti pertarungan biasa, Pak Dirman menggunakan ajian di setiap pukulanya hanya untuk menghadapi kedua kera itu.
Pukulan demi pukulan dihantamkan oleh Pak Dirman ke tubuh kera kecil itu hingga beberapa kali terpental.
Namun seolah tidak mau menyia-nyiakan kesempatan Pak Dirman mencabut sebuah pisau kecil dari sakunya dan bersiap menusukanya pada kera yang sudah tidak berdaya itu.
Sekilas aku teringat mengenai keberadaan Kera yang menolongku saat tersesat di hutan ini.
“Pak Dirman… sudah!” Ucapku yang segera menarik tubuh Pak Dirman dan menahanya untuk membunh kera itu.
“Minggir Mas Linggar.. kera itu harus mati agar tidak ada lagi yang mengganggu warga desa yang masuk ke hutan” Ucap pak Dirman
Aku sekuat tenaga menahan Pak Dirman dan segera mengecek kondisi kedua kera yang terbaring tak berdaya.
“Sudah pak.. mereka sudah mati, tidak ada nafas lagi.. jangan berbuat lebih jauh dari ini“
Ucapku yang setengah berbohong karena tidak tega apabila melihat kera-kera ini dihabisi dengan brutal oleh Pak Dirman.
“Ya sudah… kalau tidak ada halangan lagi kita lanjut saja” Ucap Linus yang sepertinya setuju dengan perbuatanku.
“Ke arah mana Pak Dirman?”
Pak Dirman memejamkan mata sejenak dan menunjuk ke arah utara tempt dimana cahaya bulan menerangi dari sela-sela tanaman yang rindang.
Kami berjalan cukup lama, sebelum akhirnya seorang pemuda menunjuk se sebuah tempat yang dikelilingi bebatuan berlumut.
“I… itu Pak” Ucap pemuda itu.
Kami menoleh, terlihat bayangan seorag wanita sedang berdiri di tengah bagian hutan yang lapang itu.
“Jangan-jangan Itu Mbak Fia?” Ucap Pak Damar yang mulai merasa lega dan segera mengajak kami mengecek ke sana.
“Kalian jalan duluan… sepertinya saya sedikit terluka akibat kera-kera tadi” ucap pak Dirman yang seolah merasa kesakitan.
“Saya obatin dulu pak.. “ Ucapku sambil mempersiapkan kotak P3k namun segera ditolak oleh Pak Dirman.
“sudah sana… jemput temanmu dulu, saya tidak apa-apa” Balasnya.
Setelah meyakinan luka Pak Dirman tidak parah, kami segera menghampiri sosok wanita yang berdiri di tengah hutan itu.
Itu adalah salah satu bagian hutan dengan tempat yang cukup lapang dibanding sekitarnya walaupun masih ada pohon di setiap beberapa meter.
“Fia… “
Ucapku memanggil wanita yang berdiri di tengah kegelapan hutan itu.
Sayangnya.. ia tidak menjawab sama sekali.
Aku menghampirinya mendekat, aku bisa memastikan bahwa iti Fia dari pakaian yang ia pakai namun saat mendekat aku mulai sadar bahwa Fia sedang menatap terpaku ke sebuah sudut hutan.
“seharusnya kalian tidak ke sini….”
Tiba-tiba Fia menoleh ke arahku dengan wajah yang pucat dengan air mata yang mengalir tanpa henti dari matanya.
“Kita semua akan mati….” Lanjutnya.
Linus dan seluruh warga desa merasa bingung dan segera mendekat ke arah Fia.
“Sudah Fia, tenang saja ayo kita kembali…” Ucap Linus yang berusaha menenangkan Fia.
Sayangnya seketika sebuah angin besar bertiup hingga mematikan beberapa obor yang kami bawa dan menciptakan kegelapan yang semakin pekat.
“Kita sudah tidak bisa kembali…” Ucap Fia yang semakin tidak mampu menahan tangis.
Tiba tiba seorang pemuda yang membantu kami terjatuh dan bertingkah aneh.
Ia merangkak dengan melebarkan tangan dan kakinya dengan lidahnya yang menjulur tanpa henti dan membenturkan kepalanya ke batu.
“Mas… kamu kenapa mas?” Ucap Pak Damar yang berusaha mencari tau keadaan pemuda itu.
…
“Khe…khe…khe… “
Pemuda itu tidak menjawab dan hanya terus membenturkan kepalanya ke batu hingga darah dari kepalanya menetes di tanah. Ia tertawa mengerikan sambil menjilati darahnya yang mengucur dari kepalanya sendiri.
“Mas.. jangan mas, berhenti…” Ucap Pak Damar berusaha menghentikan pemuda itu dibantu oleh pemuda lainya.
“Khekhekhe… sabaro to, bar iki giliran kowe” (yang sabar… setelah ini giliran kalian) Ucap makhluk yang merasuk ke dalam tubuh pemuda itu.
“Hihihihii….” Kali ini suara terdengar dari atas pohon.
Aku menoleh ke atas pohon dan di sana terlihat makhluk berwujud wanita berambut panjang bergantung terbalik dengan tubuh kurus kering seolah hanya tulang yang tersisa di balik kulitnya yang penuh borok.
Rupanya itu hanya permulaan, setelahnya muncul berbagai makhluk mengerikan yang didominasi oleh pocong yang kain kafanya sudah menghitam seperti yang diceritakan Fia setelah ia kesurupan tadi.
“Pak.. Damar, ini apa pak?” Tanyaku yang sudah mulai merasa lemas dan tidak tahu harus berbuat apa.
Namun wajah Pucat Pak Damar seolah memastikan aku tidak akan mendapatkan jawaban. Dan sebaliknya, sesuatu juga mulai merasuki tubuh Pak Damar dan membuatnya terjatuh.
Aku mencari keberadaan Pak Dirman yang harusnya mengerti tentang hal ini, namun entah mengapa ia tidak segera sampai ke tempat ini. seharusnya ini tidak terlalu jauh.
Tak lama masalah berganti ke Fia, Makhluk yang dari tadi memandang kami dari atas pohon mengejar Fia hingga akhirnya Ia terjatuh dan makhluk itu seolah bersiap menggigitnya.
Di tengah keadaan yang mencekam ini, tiba tiba Linus mengeluarkan sesuatu dari tasnya yang terbungus kertas koran lusuh.
Aku memperhatikan , benda itu merupakan batu besi berbentuk pisau yang dipenuhi ukiran-ukiran aksara jawa.
Kesadaran Linus seolah terganggu, ia segera berlari menuju makhluk yang sedang menikmati tubuh Fia dan menghujamkan benda yang ia bawa itu ke tubuh makhluk itu.
“Ojo kewanen kowe!” (Jangan berani berani kamu?) Suara linus terdengar lebih berat dari biasanya.
Makhluk yang menyerang Fia Terluka oleh serangan pusaka Linus, namun sepertinya ia tidak gentar.
“Linggar… jangan jauh jauh dariku” Ucap linus dengan suaranya yang kembali normal.
“Linus, ini semua apa?” Tanyaku.
“Bocah-bocah goblok! Kowe kabeh wis dijebak” (Anak-anak goblok! Kalian semua sudah dijebak) sekali lagi suara linus kembali berubah.
“Ma.. maksudnya?”
“Kowe kabeh arep ditumbalke kanggo demit-demit iki”
(kalian semua mau ditumbalkan untuk setan-setan ini)
Aku semakin takut, siapa yang berniat menumbalkan kami.
Pak Dirman… ia tidak ikut ke tempat ini. Atau dia memang sengaja menjebak kami ke sini.
“Metu kowe dukun asu!” (Keluar kamu dukun Anj**)
Ucap Linus masih dengan sesuatu yang merasukinya.
Benar… dari jauh kegelapan hutan, terlihat seseorang berpakaian hitam dengan blangkon yang menjadi khasnya menampakan dirinya bersama berapa demit yang merangkak di belakangnya.
“Sialan.. tak kusangka ada yang beguru diantara kalian” Ucap Pak Dirman yang tidak membantah ucapan Linus.
“Linggar Jaga Fia..” Ucap Linus dengan suaranya yang kembali normal dan segera menerjang Pak Dirman dengan pusaka yang ada di genggamanya.
Dengan semua kondisi ini aku tidak bisa membantah perintah Linus.Pak Dirman,seseorang yang kusangka seharusnya melindungi kami malah berniat jahat terhadap kami.
Sedangkan Linus, teman kampusku yang biasa-biasa malah menyembunyikan sesuatu yang mungkin bisa menyelamatkan kami.
Sebelum sempat mendekat, Pak Dirman menggunakan api dari obor yang ia bawa dan menciptakan api yang membakar sekitarnya.
Dengan mantra yang ia baca, seolah api itu mengikuti perintanya untuk menyerang Linus.
“Hati-hati Linus!” Teriaku yang merasa lemah tanpa mampu berbuat apa-apa.
Api yang dikendalikan oleh pak dirman berhasil membakar bagian tubuh Linus, namun sepertinya hanya pakaianya yang terbakar.
“Rogo jiwo mabur kanginan…”
Suara mantra terdengar dari mulut linus yang membuatnya yang sedang berlari tiba-tiba hilang dan muncul di belakang Pak Dirman dengan pusakanya yang sudah menusuk punggungnya.
Seketika Pak Dirman jatuh tersungkur , takluk oleh serangan Linus yang tak kusangka itu.
Sayangnya rasa akan kemenangan itu tak berlangsung lama, sesosok makhluk besar dari dalam hutan datang menghampiri Linus dan menendangnya dengan begitu kuat.
“I.. itu Linggar, itu makhluk yang memandangiku dari tadi sebelum kalian datang” Ucap Fia yang mengenali wujud makhluk itu.
“A.. ampun ndoro, Tumbal panjenengan se..sekedap melih siap” Ucap Pak Dirman yang terlihat ketakutan.
Terlihat raut wajah penuh amarah tergambar di wajah makhluk besar yang mengerikan itu.
Seketika tubuh makhluk besar itu merasuki tubuh pak dirman, merubah tubuh Pak dirman menjadi membesar hingga merobek kulit-kulit pak dirman dan memamerkan dagingnya yang membesar.
Wajah pak dirman berubah menghitam , matanya membelalak dengan merah setelah kulit di matanya tak mampu lagi membuatnya berkedip.
Entah… seandainya Linus bisa mengalahkan setan itu, apa pak dirman masih bisa hidup dengan tubuh seperti itu.
Namun yang kupikir lebih mengerikan apakah makhluk di tubuh Linus mampu mengalahkan makhluk sebuas itu.
“Rogo bumi doyo wesi…”
Sekali lagi sebuah mantra dibacakan oleh Linus yang membuatnya mampu menahan serangan setan itu, namun terlihat tubuh linus semakin lemah.
Mungkin kekuatan yang ia gunakan berakibat pada tubuhnya.
“Linus.. Apa yang bisa kami bantu” Tanyaku yang tidak mau hanya mati tanpa memberikan perlawanan sedikitpun.
“Linggar aku ga tau bisa bertahan berapa lama lagi… ini kemungkinan terakhir…
Mungkin saja kera-kera tadi sengaja melindungi kita dari makhluk ini, seandainya pemimpin mereka masih hidup, mungkin mereka bisa menolong kita” Jelas Linus.
Aku mengingat kedua kera yang bertarung dengan Pak Dirman tadi. Seharusnya kedua kera itu masih bernafas.
“Mereka masih hidup, tapi entah dengan kondisinya… Aku akan bawa mereka ke sini!” Ucapku yang bergegas meninggalkan pertarungan itu.
“Fia, kamu bantu Linggar… di sini lebih berbahaya” Perintah Linus.
Kami berlari menerjang semak belukar di tengah gelapnya hutan menuju bekas sisa pertarungan kami dengan kera-kera tadi.
Cukup sulit untuk melihat dalam gelap, namun untungnya kami tetap bisa menemukan keberadaan sekumpulan kera-kera itu.
Saat kembali ke sana, sebuah rasa penyesalan menyelimuti pikiranku.
Di tempat itu bergelimpangan tubuh kera-kera hutan yang ternyata sedaritadi bermaksud melindungi kami dari setan-setan di dalam hutan itu.
“Linggar… kamu yakin mereka masih hidup?” Tanya Fia.
“Entah Fi.. tapi tadi saat aku memeriksa kera yang bertarung dengan pak Dirman , aku masih merasakan nafas mereka” Jelasku.
Aku mulai berlari dan memastikan satu persatu kera-kera yang terbaring di tanah.
Memang banyak luka yang dialami oleh mereka, namun sepertinya mereka masih bernafas.
Perlahan aku mengingat lokasi pertarungan Pak Dirman dengan kedua kera tadi.
Di sana terlihat dua ekor kera berusaha untuk berdiri, namun sepertinya luka-luka yang mereka dapat dari serangan Pak Dirman cukup parah.
Dengan air yang kubawa di perbekalanku, kuminumkan sedikit demi sedikit air ke mulut kera itu.
perlahan kesadaranya mulai pulih. Fia juga melakukan hal yang sama setelah kutunjukan seekor kera yang sangat mirip dengan yang kutolong.
“Maafkan kami… kami tidak tahu maksud baik kalian” Ucapku sambil berusaha mengobati kera itu dengan perlengkapan p3k yang kubawa.
Tetapi kedua kera itu kembali memaksa untuk berdiri dan berjalan dengan lemah menuju arah setan itu.
Seolah mengerti maksud mereka, aku dan Fia segera menggendong kedua kera itu dan membawanya berlari secepat mungkin ke tempat linus bertarung.
Kali ini tidak butuh waktu lama bagi kami untuk kembali dengan jalur yang sudah kami hafal. Dan kami kembali harus melihat linus bertarung..
tidak.. linus yang bertahan mati-matian dari serangan setan yang merasuki tubuh Pak Dirman.
“Linus.. kami membawa mereka!!” Teriaku.
Linus menoleh dan segera melompat ke arah kami.
“Maafkan kami… kini giliran kalian” Ucap Linus yang segera menggendong kedua kera itu.
“Rogo kayangan nompo pangasih..”
Sekali lagi suara berat itu kembali membacakan mantra dari tubuh Linus dan tiba tiba kedua kera itu bisa bangkit walaupun masih dengan luka-luka ditubuhnya.
Pak Dirman yang melihat hal itu segera berlari ke arah kami dan bersiap menyambarkan sebuah pukulan.
Namun salah satu kera berjalan menghampirinya dan menahan pukulanya dengan sebuah bayangan lengan kera besar yang keluar dari lenganya.
“Haha.. akhirnya, Linggar.. jangan tinggalin tubuhku disini ya” Ucap Linus yang segera terjatuh dan kehilangan kesadaran setelah menggunakan seluruh kekuatanya.
Kera yang seekor lagi melompat ke tubuh Pak Damar dan pemuda desa, seketika setan-setan yang merasuki meraka segera meninggalkan tubuhnya.
“Mas Linggar… ada apa ini?” Tanya Pak Damar dengan tubuh yang lemas dan penuh luka akibat perbuatan demit yang merasukinya.
“ini semua perbuatan Pak Dirman… sekarang lebih baik pak damar dan semuanya segera tinggalkan tempat ini, tolong bantu Linus juga.. dia yang membuat kita bisa hidup sampai sekarang” Perintahku.
Aku tahu, kondisi kedua kera inipun tidak mampu untuk mengalahkan demit yang merasuki pak dirman. Setidaknya Pak Damar bisa membantu semuanya untuk meninggalkan hutan ini.
Kami berlari keluar hutan dengan panduan salah satu kera itu. Pak dirman yang tengah dirasuki mengejar kami dan terus melancarkan serangan yang bahkan dapat menumbangkan pohon.
Untungnya setiap serangan itu ditahan oleh seekor kera yang berkali kali mengeluarkan bayangan kera raksasa dari setiap seranganya.
Namun saat sampai di ujung hutan pertempuran tak lagi dapat di hindari. Setan dalam tubuh pak dirman masih berusaha meninggalkan hutan.
namun kedua kera itu terus menahanya hinggal luka-lukanya semakin bertambah.
Sampai akhirnya Setan dalam tubuh pak dirman itu menciptakan api seperti yang dilakukan pak Dirman dan menyelimuti tanganya dengan api.
Sebuah pukulan terkena telak di tubuh seekor monyet kecil yang berusaha menolong kami hingga terhempas dan menyisakan luka ditubuhnya.
Aku mengambil air dari sungai dan memadamkan api itu namun kera itu masih mencoba berdiri sebelum akhirnya pukulan serupa menghilangkan kesadaranya hingga terbawa arus sungai.
Aku mencoba mengejar kera itu namun arus sungai terlalu deras.
Melihat kejadian itu salah satu kera lainya terlihat marah. Dengan sekuat tenaga ia memukul mundur Demit yang merasuki Pak Dirman hingga masuk kedalam hutan.
Seketika pusaka Linus jatuh dari tubuhnya seolah memanggilku untuk mengambilnya.
“Delehen aku ning alas kuwi” (letakan aku di hutan itu)
Seketika suaraku menjadi berat seperti saat Linus memegang pusaka ini.
“Linggar…maksudnya apa?” Tanya Fia.
“Entah Fia , Pusaka ini seperti punya kesadaran sendiri.. “ Jelasku.
Sebelum aku semakin bingung tiba-tiba ada yang mengambil alih tubuhku seperti tadi.
“Delehen aku ning alas , tak jogo alas kuwi ben Demit kuwi ra metu.. “
(letakan aku di hutan, aku jaga agar setan itu tidak keluar)
Mendengar itu aku seperti mendapat harapan untuk menyelamatkan kami dan warga dari setan yang merasuki pak dirman.
Dengan sigap aku menyebrangi sungai dan menusukan pusaka itu ke tanah di hutan itu.
“Ke sini!” Ucapku memanggil kera yang masih bertarung dengan setan pak dirman. Namun seperti terbakar amarah, kera itu tidak mempedulikanku dan terus bertarung.
“Mengko ono sing bakal ngerampungki perkoro iki… nganti wektune tibo, aku sing njogo alas iki…”
(Nanti akan ada yang menyelesaikan permasalahan ini… sampai waktunya tiba, aku yang akan menjaga hutan ini)
Sekali lagi suara pusaka itu merasuki tubuhku. Tak lama setelahnya pusaka yang kutancapkan di tanah itu mengeluarkan kabut yang mulai menyelimuti seluruh hutan.
Aku terus melihat ke arah kera yang menolong kami itu, namun ia tertap bertarung dan hanya sekali menoleh kearahku saat kabut mulai menutupi hutan ini.
…..
Cukup lama Linus tidak sadarkan diri, hingga saat siang hari kami baru bisa berkumpul di rumah Pak Damar.
“Maaf ya Linggar… saya benar-benar tidak menyangka Dirman memiliki niat sebusuk itu” Ucap pak damar.
“Iya pak.. kita juga salah sudah terpancing dengan jebakanya” Balasku.
“Tapi kalau tidak ada kejadian kemarin mungkin Pak Dirman masih tinggal di desa ini dan melancarkan siasat busuknya” Ucap Linus yang telah sadar setelah tidur semalaman.
Sepertinya kami semua setuju dengan ucapan Linus. Saat ini seluruh warga masih cukup ramai dengan cerita dari kami dan pemuda yang ikut ke dalam hutan. tak sedikit yang khawatir dengan kami dan membantu sebisa mereka.
“Tapi aku sama sekali ga nyangka ternyata kamu punya kekuatan seperti itu” Ucapku Pada Linus.
Namun Linus hanya menghela nafas.
“Kekuatan itu hanya titipan Linggar… mungkin sekarang kamu melihat itu sebagai hal baik, tapi kalian kan ga tau masalah apa saja yang sudah diakibatkan oleh kekuatan ini sebelumnya.” Jelas Linus.
Mungkin benar ucapan linus, wajar bila kekuatan seperti itu bisa memberikan masalah atau dampak tertentu. Namun setidaknya, kali ini kekuatan itu berhasil menolong kami.
“Setidaknya aku berterima kasih, kekuatanmu itu sudah menolong kami… tapi, apa ga masalah pusakamu itu ditinggal di hutan itu?” tanyaku.
Linus menggeleng, sambil menyeruput kopi hitamnya.
“Ga masalah Linggar… aku dan pusaka itu terhubung satu sama lain, kelak saat waktunya tiba pasti dia akan kembali” Jelas Linus.
Setelah kejadian mengerikan itu Pak Damar masih mengijinkan kami untuk menyelesaikan program kerja kami.
Namun kali ini beberapa utusan dari universitas datang untuk memastikan kondisi kami.
Untungnya kami berhasil meyakinkan mereka mengenai keselamatan kami. Tapi sebenarnya aku masih merasa penasaran, apakah seekor kera yang terbawa arus sungai saat menolong kami bisa selamat?
Semoga saja aku masih ditakdirkan untuk bertemu dengan kera itu lagi.
-------
“Heh Panjul! Kesini!” Ucap Paklek memanggilku ke sebuah bangunan tua di sebuah pedalaman desa.
“Emoh paklek… gak mau! I… itu isinya setan semua” Jawabku yang bergidik ngeri saat melihat penunggu bangunan itu yang muncul setelah Paklek membacakan doa.
Walaupun Paklek sudah beberapa kali mengajaku membantu warga menyelesaikan masalah seperti ini. aku tetap tak terbiasa dengan wujud-wujud makhluk halus yang kami hadapi.
“Reneo.. ke sini, katanya mau jadi kuat biar bisa ngalahin pemain Ludruk itu..?” Ucap paklek.
Memang benar ucapan Paklek, seharusnya aku melatih mentalku untuk bersiap menghadapi makhluk yang menghabisi keluarga dan warga desaku.
Tapi… yang sedang paklek hadapi ini adalah makhluk genderuwo berkaki empat yang tingginya hampir menembus loteng bangunan itu.
“Nggak Paklek.. serem!” Ucapku yang segera melarikan diri dari pandangan demit-demit itu.
Terlihat paklek hanya menggeleng melihat kelakuanku.
Aku pergi hingga terhenti sebuah sungai di pinggir desa.
Sepanjang jalan aku hanya menggerutu meratapi nasibku saat ini yang harus menemani paklek berurusan dengan demit-demit itu.
Namun tak lama setelah aku tiba di sana aku melihat ada sesuatu mengambang diantara aliran sungai itu. Bentuknya menyerupai seekor hewan.
Entah mengapa dari dalam tubuhku muncul perasaan untuk masuk ke sungai dan menolong makhluk itu.
Seekor bangkai kera? Kalau ini hanya bangkai kenapa aku harus menolongnya?
Yang jelas aku tak mengerti mengenai perasaan apa yang mendorongku mengangkat jasad kera ini.
Saat sampai ke pinggir sungai, aku baru melihat banyak sekali bekas luka dengan darah yang masih segar terlihat dari bekas luka di tubuhnya.
Aku benar – benar tidak tega melihat kondisi makhluk ini.
Seketika aku teringat kekuatan paklek yang mampu menyembuhkan luka dan kutukan . Mungkin saja paklek bisa menolog makhluk ini.
Dengan segera aku menggendong makhluk itu dan membawanya ke paklek.
“Paklek.. Paklek! Tolong paklek!” Teriaku yang berlari mengarah ke bangunan yang penuh makkhluk halus itu.
“Halah.. Panjul, kalo ga mau bantuin ya jangan gangguin to” Ucap paklek yang terkaget melihat kedatanganku saat sedang membacakan doa.
Aku meletakan tubuh kera yang terluka itu ke atas meja di bangunan itu dan meminta tolong pakle menyembuhkanya.
“Tolong paklek.. paklek bisa nyembuhin monyet ini kan?” Ucapku memohon.
Paklek memeriksa tubuh monyet itu dan seperti tidak menemukan detak jantung maupun nafas darinya.
“Panjul.. monyet ini sudah mati, nanti kita kuburin aja ya..” Balas Paklek.
Sebenarnya aku tau itu, tapi bagaimana cara menjelaskan ke paklek mengenai sesuatu yang kurasakan ini.
“Nggak… tapi kamu lihat sekitarmu, seluruh penghuni bangunan ini menjauh ketika jasad kera ini sampai di tempati ini” Ucap Paklek.
Benar kata Paklek, aku baru sadar semua makhluk halus di bangunan ini menjaga jarak dari kami setelah kedatanganku dan kera ini.
Setelahnya Paklek mengambil sebuah keris yang terbungkus kain lusuh, menggoreskan keris itu pada jarinya.
Seketika darah Paklek berubah menjadi api yang menetes ke tubuh kera itu.
“Ini ilmu penyembuhan yang terbaik yang kubisa… semoga saja ini berguna” Ucap Paklek.
Aku hanya mengangguk menyaksikan ilmu yang baru pertama kali kulihat ini.
Perlahan luka-luka kera itu menutup sedikit demi sedikit hingga hampir tak bersisa. Aku menunggu dengan waswas berharap monyet kecil ini bisa selamat.
“Paklek… lukanya sembuh” Ucapku.
“Jangan senang dulu, kalau nafasnya tidak kembali hasilnya akan sama saja” Balas Paklek.
Beruntung , tak lama setelahnya terlihat dada monyet itu mulai bergerak.
“Paklek.. “ Aku menoleh pada paklek sambil tersenyum.
Terlihat paklek juga menghela nafas merasa lega ilmunya bisa menolong kera itu.
Kera itu mulai bergerak, namun sepertinya ada sesuatu yang mengganggu kesadaranya.
Melihat hal itu paklek membacakan doa pada sebotol air dan memberikanya padaku.
“Sepertinya ada kutukan yang menyerang hewan ini, minumkan air ini saat dia sudah bisa bergerak” Perintah paklek.
Aku mencoba menyentuh tubuh Monyet itu dan merasakan hawa dingin dari seluruh tubuhnya. Sepertinya benar kata paklek, masih ada kutukan yang menyerang monyet ini.
Dengan sarung yang selalu kubawa aku membungkus tubuh monyet itu dan menggendongnya berharap ini dapat menghangatkanya.
“Ketek kuwi arep mbok pioro?”
(Monyet itu mau kamu pelihara)
Tanya Paklek yang sepertinya terlihat cemas bila aku ingin memelihara hewan yang sepertinya menyimpan hal misterius ini.
“Iyo paklek.. ben mari sek, sopo ngerti nek wis mari iso dadi koncoku” (Iya paklek… biar sembuh dulu, siapa tau kalau sudah sembuh bisa jadi temanku) Jawabku.
Sepertinya paklek mengerti rasa kesepianku dan membiarkanku merawat kera ini.
“arep tak kei jeneng Kliwon.. apik to paklek?” (Mau saya kasi nama kliwon, bagus kan paklek?) ucapku sambil tertawa.
“Jeneng opo kuwi.. jeneng kok medeni” (Nama apa itu, jama kok nyeremin) tanya paklek.
“Iki jenenge ketek jagoanku .. Si Hantu dari Goa Buta , sopo ngerti aku iso dadi jagoan kaya dia” (Ini nama monyet jagoanku.. si hantu dari goa buta, siapa tau aku bisa jadi jagoan kaya dia?) Jawabku.
Paklek tertawa mendengar jawabanku.
“Tapi jul.. kamu udah ga takut lagi sama hantu-hantu itu?” Tiba-tiba paklek bertanya.
Aku baru ingat dan segera melihat ke belakang. Rupanya sang genderuwo besar tadi sudah berada di belakangku sambil berjongkok memamerakan wajah besarnya yang dipenuhi bulu berwrna hitam.
“S…se… setan!!”Ucapku yang ketakutan dan segera berlari meninggalkan bangunan itu sambil menggendong kliwon.
Terlihat paklek masih tertawa di sana seolah merasa senang setelah mengerjaiku.
(Bersambung…)
Terima kasih sudah membaca kisah ini sampai selesai. mohon maaf apabila ada bagian cerita ini yang menyinggung.
seperti biasa yang ga sabar untuk baca update atau sekedar mendukung bisa mampir ke @karyakarsa_id ya..
Satu manusia menantang takdirnya mendatangi Tanah Para Danyang seorang diri. Bli Waja mencari keberadaan sosok asal dari kekuatan yang ia miliki. Takdir membawanya pada pertarungan pengguna ilmu yang sama..
#bacahorror
Danan dan Cahyo berdiri di hadapan samudra tanpa batas. Ombak menderu kencang, seolah memekikkan kekuatan alam yang tak terbendung. Malam telah melewati puncaknya, namun bulan masih terselubung awan pekat, menyisakan kegelapan yang terasa berat.
"Kamu bilang wujud pusaka Ratu Ular itu mahkota? Tapi kamu nggak kepikiran, mahkota itu harusnya dipakai oleh siapa?" tanya Cahyo, menatap lautan.
"Ada banyak kemungkinan," jawab Danan tenang. "Salah satunya, sosok yang mewarisi kekuatan Ratu Pantai Selatan. Apalagi sekarang kita tahu, pusaka itu ada dalam perlindungannya."
"Blorong?" Cahyo bertanya dengan nada cemas.
Danan mengangguk. Kekhawatiran Cahyo bukan tanpa alasan. Sosok itu telah lama menguasai beberapa wilayah hitam di Tanah Jawa, membuat siapa pun gentar untuk berhadapan dengannya.
Tiba-tiba, suara kereta kencana terdengar mendekat. Namun, bukan dari arah daratan, melainkan dari tempat ombak bergemuruh.
"Suara ini... tidak asing," ujar Cahyo.
"Iya, suara yang sama seperti saat kita dijebak di gua oleh Bara," sahut Danan. "Kalau diingat, beliau sebenarnya sudah banyak membantu kita, meskipun secara tidak langsung."
Kereta itu berhenti tepat di tengah lautan yang mendadak tenang. Aneh, suasana berubah; mereka merasa seperti bukan lagi berada di tempat sebelumnya.
"Sudah kuduga, beliau tidak akan menemui kita langsung," kata Cahyo.
"Memang seharusnya begitu," balas Danan. "Kita, bangsa manusia, tidak seharusnya berurusan dengan mereka. Tuhan sudah memisahkan kita di alam yang berbeda untuk alasan itu."
Cahyo mengangguk setuju. Mereka pun duduk bersila dengan sopan dan memejamkan mata. Tiba-tiba, sebuah penglihatan datang menghampiri.
"Mas Danan! Mas Cahyo!"
Suara lembut Lara Sukma terdengar dari kejauhan. Ia berjalan anggun, ditemani Abdi Jinten yang setia di sisinya. Namun, Danan dan Cahyo hanya bisa membalas dengan senyuman, tetap bertahan dalam posisi meditasi.
Suasana berubah. Kini mereka berada di sebuah keraton yang seolah mengapung di atas lautan. Tempat itu dipenuhi aura sakral, dihormati oleh penghuni samudra dan bahkan oleh gelombang laut itu sendiri.
"Kau baik-baik saja di sini?" tanya Danan kepada Lara Sukma.
"Jangan khawatir, Mas. Di sinilah seharusnya tempatku berada. Lagipula, aku hanya berada dalam wujud ini selama beberapa puluh tahun. Setelah itu, aku bisa menitis menjadi ular, burung, ikan, atau apa pun," jawab Lara Sukma sambil tersenyum.
"Takut ketemu di Magetan," bisik Cahyo, membuat Danan melotot kesal.
"Memangnya di Magetan ada apa, Mas?" tanya Lara Sukma polos.
"Nggak ada apa-apa! Pecelnya enak!" Cahyo buru-buru mengalihkan pembicaraan.
"Yang pecelnya enak itu Madiun," goda Danan.
"Berisik!" Cahyo memotong, sementara Abdi Jinten hanya tersenyum menahan tawa.
Abdi Jinten kemudian mendekati mereka berdua. Wajahnya serius, penuh kewibawaan.
"Kanjeng Ratu telah memahami maksud kalian. Namun, beliau ingin kalian mengerti sesuatu," ucapnya tenang.
"Apa itu, Abdi Jinten?" tanya Danan penasaran.
Dharrr! Dharrr!
Penglihatan mereka pecah, menampilkan sebuah keris tua yang menancap di dasar laut. Keris itu berkarat, dikelilingi aura mengerikan, menciptakan gelombang yang membawa kematian.
"I—itu... Pusaka Mayit?" Cahyo berseru.
Abdi Jinten mengangguk. Penglihatan lain muncul, menampilkan Lara Sukma bertakhta di sebuah telaga. Dari sana, pusaka-pusaka diciptakan oleh para empu yang menjalin perjanjian dengan roh alam.
"Kanjeng Ratu menyerahkan keputusan kepada kalian," ujar Abdi Jinten. "Namun, kalian harus tahu, roh leluhur Sambara telah melemah. Manjing Marcapada kembali terbentuk, dan Angkarasaka bisa dibangkitkan."
Mereka saling berpandangan, menyadari beratnya situasi.
"Kalau begitu, apa yang harus kami lakukan?" tanya Cahyo.
Abdi Jinten menjawab dengan berat, "Kalian harus siap menghadapi segalanya, meskipun harus mati atau menghancurkan kedua pusaka para danyang itu."
Danan dan Cahyo terdiam. Akhirnya, mereka mengangguk.
Danan dan Cahyo saling bertatapan. Keadaan ini berbeda dengan yang ia bayangkan.
“Apakah berarti kabar baik?” Tanya Danan.
Abdi Jinten menggeleng dan berpaling memandang penglihatan yang juga dilihat oleh Danan dan Cahyo itu.
“Jika kalian memutuskan untuk menggunakan kemampuan Pusaka Sukma dan Pusaka Mayit, akan ada tragedi besar yang melibatkan para pengagung pusaka di alam ini…”
“Cukup, Abdi Jinten. Kami mengerti maksud Kanjeng Ratu.” Cahyo menyambungkan niat Danan. “Jika kami tahu apa yang akan terjadi, kami akan bimbang.”
Mendengar perkataan itu Abdi Jinten menghela nafas dan mundur. Mereka mengerti maksud Danan dan Cahyo.
“Baiklah kalau itu keputusan kalian. Terakhir, Kanjeng Ratu hanya menegaskan bahwa dirinya tidak ada di sisi manapun. Entah itu manusia, para Danyang putih, atau Danyang hitam. Jangan pernah berharap apapun dari beliau.”
“Tenang, Abdi Jinten. Kami tahu kepada siapa kami harus menggantungkan doa dan harapan kami.” Jawab Danan tegas.
Seketika penglihatan itu menghilang. Tak ada lagi yang hendak disampaikan oleh Abdi Jinten. Ia hanya tersenyum bersama pudarnya penglihatan keraton, lara sukma, dan para penjaga laut yang mulai mendekat masuk. Saat penglihatan itu memudar, suara ombak kembali terdengar.
Danan dan Cahyo pun membuka mata dan mereka masih tetap berada di tempatnya semula di hadapan deru samudra laut selatan. Kali ini rembulan tak lagi tertutup awan, cahayanya terpantulkan pada sesuatu yang berada di pantai terbawa ombak.
Mereka pun berdiri dari posisinya dan mengenali benda berbentuk mahkota yang sebagian sisinya sudah membatu.
"Jadi ini benda yang membuat ricuh para danyang?" tanya Cahyo dengan suara bergetar, matanya terpaku pada mahkota tua yang tergeletak di pasir. Bentuknya anggun namun menyeramkan; sebagian sisinya telah membatu, memancarkan aura dingin yang menusuk kulit.
"Ya," jawab Danan pelan, nadanya berat. "Kita harus menyegelnya bersama Manjing Marcapada yang baru saja bangkit kembali. Ini tugas yang leluhurku gagal selesaikan."
Danan perlahan menunduk, tangannya meraih mahkota itu. Saat jarinya menyentuh permukaannya, sebuah getaran kuat menyambar, menghantam tubuh mereka seperti arus listrik tak kasatmata.
Deg!
Seketika, hawa dingin menyelimuti. Bukan hanya dingin biasa—ini dingin yang menggerogoti jiwa, membuat jantung mereka berdegup kencang. Cahyo menelan ludah, tubuhnya gemetar tanpa ia sadari.
"Ini... ini yang dimaksud oleh Mbah Purnomo?" tanyanya, mencoba memastikan.
"Ya," jawab Danan singkat, matanya terpaku pada mahkota di tangannya. "Dengan ini, seluruh danyang hitam di Tanah Jawa akan mengincar kita."
Hawa berat semakin terasa. Angin yang tadinya tenang mendadak bertiup kencang, membawa bisikan-bisikan asing yang menggema di telinga mereka. Cahyo menoleh ke sekeliling, bayangan hitam seperti kabut mulai merayap di tepi pantai.
Fajar baru saja menyapa, tapi sinar matahari masih malu-malu menyusup di balik kabut pagi. Suara ayam berkokok bersahutan, menjadi latar saat Dirga dan Guntur berdiri di depan rumah. Tas besar menggantung di punggung mereka, menyiratkan tekad yang tak tergoyahkan.
“Kalian tidak harus pergi dari desa ini…” Suara berat Abah mencoba menahan langkah mereka.
“Abah, ini satu-satunya cara,” jawab Dirga dengan mata tajam. “Setan nenek itu dan makhluk berwujud singa tak akan berhenti mengejar. Jika kami tetap di sini, desa ini akan hancur.”
“Dirga benar, Abah. Kami akan lebih aman bersama Nyai Jambrong,” tambah Guntur.
Abah terdiam, menghela napas panjang. Mata tuanya menatap anak-anaknya dengan perasaan bercampur aduk. Ia tahu, keputusan ini tidak diambil sembarangan.
“Kalau begitu, Abah tidak melarang. Tapi bawa ini.” Abah menyerahkan telepon genggam tua milik Emak. “Sering-sering kabari kami.”
“Iya, Abah. Dirga janji,” balas Dirga.
Tak lama, Emak muncul tergesa-gesa dari dalam rumah, membawa kantong plastik penuh bekal. “Ini nasi buat kalian. Jangan sampai ngerepotin Nyai Jambrong, ya!” katanya dengan suara bergetar.
“Iya, Emak. Terima kasih. Dirga pamit.”
“Guntur juga pamit, Mak.”
Mereka mencium tangan Abah dan Emak sebelum melangkah menuju terminal. Di sepanjang jalan, perasaan mencekam tak kunjung pergi. Hati mereka terusik oleh bayangan kegelapan yang seolah mengikuti setiap langkah.
Beberapa hari sebelumnya, mereka telah menyelamatkan Hisna dari gubuk terkutuk dan menitipkannya pada keluarga terpercaya.
Namun kabar yang datang kemudian membuat bulu kuduk meremang: Pakde Hisna, yang diduga pelaku ritual itu, ditemukan tewas mengenaskan dengan tubuh terkoyak seperti dicakar makhluk buas.
“Itu pasti makhluk berwujud singa atau harimau itu,” gumam Dirga saat mendengar kabar dari Hisna di telepon.
“Tapi kenapa makhluk itu justru membunuh Pakdenya, yang jelas-jelas melakukan ritual?” tanya Guntur, bingung.
Dirga menggeleng. Jawaban tak pernah jelas. Hanya satu yang pasti: mereka harus segera menemui Nyai Jambrong.
( Sudut pandang Danan…)
Perasaan yang aneh dan menggugah muncul di benakku, seperti bisikan lembut yang mengusik kesadaranku. Ingatanku perlahan kembali, dan jantungku terasa tertusuk tajam saat mengingat apa yang terjadi ketika aku kembali ke alam manusia.
Setiap detik yang berlalu terasa seperti beban yang menekan dadaku, mengingatkan akan dosa yang tak termaafkan.
...
Ketika mataku terbuka, bukan Nyi Sendang Rangu yang kulihat di sampingku, melainkan sosok perempuan cantik yang begitu anggun dan menawan. Kebaya hitamnya membalut tubuhnya dengan sempurna, menonjolkan lekuk tubuhnya yang memikat.
Ia berbaring di atasku, membuatku terperangkap dalam pesonanya. Kulitnya sehalus sutra, dan setiap gerakannya memancarkan keanggunan yang memabukkan.
“... Kau sudah bangun rupanya?” Suaranya lembut dan menenangkan, namun tubuhku masih belum sepenuhnya bisa bergerak. Suara itu menyusup ke dalam pikiranku, menenangkan sekaligus membangkitkan rasa takut yang samar.
“..Si—siapa ka..” Aku berusaha berbicara, namun kata-kataku terhenti oleh sentuhan lembut jarinya.
“Sssttt…” Jari lentiknya menahan bibirku, membuatku terdiam.
Wajahnya begitu dekat, aroma melati yang menyengat menguar dari tubuhnya, membius kesadaranku. Matanya menatap dalam ke mataku, seolah menelanjangiku hingga membuatku tak berdaya di hadapannya.
“Darah yang mengalir di tubuhmu memikatku. Aku benar-benar tak mampu menahannya...”
Sebuah kecupan lembut menyentuh bibirku, dan telapak tangannya membelai rambutku dengan penuh kelembutan. Sentuhannya seperti kejutan listrik yang menjalar ke seluruh tubuhku, membuatku terhanyut dalam gairah yang ia ciptakan.
Saat itu, pikiranku kosong, dan aku terhanyut dalam pesonanya, tak mampu melawan daya tariknya yang memabukkan.
...
“Tidak! Tidak mungkin! Aku tidak mungkin melakukan perbuatan itu?!” Aku terperangah, tak percaya dengan ingatan yang kembali menghantuiku. Setiap kenangan terasa seperti belati yang menusuk hatiku, mengingatkan akan pengkhianatan yang telah kulakukan.
Sosok itu mendekat, wajahnya cemberut seperti seorang kekasih yang merajuk. “Mas jahat!” katanya dengan nada manja, namun senyumnya yang licik tak bisa kusembunyikan dari pandanganku.
“Bukankah kita sudah menyatu? Aku milikmu, Mas!” Suaranya menggoda, namun di balik itu ada ancaman halus yang membuatku merinding.
Aku terjatuh berlutut di tanah, suara gamelan di sekitarku berubah menjadi sendu, seolah menegaskan dosa yang telah kulakukan. Setiap denting gamelan seperti mengiringi penyesalanku, menambah beban di hatiku.
Bayangan Naya muncul di benakku, sosok wanita yang begitu polos dan penuh kasih, yang telah kukhianati. “Naya... maafin, Mas...” Air mataku mulai menetes, menandai penyesalan yang mendalam. Setiap tetes air mata adalah pengakuan atas kesalahan yang tak termaafkan.
Perempuan itu berjongkok, mengangkat daguku dengan lembut. “Sebaiknya kita terima saja takdir kita...” Bisiknya, mendekatkan bibirnya padaku, bersiap menciumku yang masih terperangkap dalam rasa bersalah dan penyesalan. Bibirnya hampir menyentuh bibirku, namun hatiku berteriak menolak, terbelah antara hasrat dan dosa yang menghantui.
“Treng teng!! Teng!!! Teng!!!”
Suara bising tiba-tiba memecah kesunyian gending yang mengalun dari hutan-hutan di sekelilingku. Awalnya, aku hampir mengabaikannya, namun suara itu semakin mendekat, diiringi teriakan dan sebuah helm yang melayang ke arahku.
“Jangan dekat-dekat Danan! Dia sudah punya pacar!”
Suara itu sangat familiar.
Dhuakkk!!Helm itu menghantam wajahku tepat saat aku menoleh ke arah sumber suara.
“CAHYO?!” Aku berteriak, bingung sekaligus kesal dengan kemunculannya yang tiba-tiba dan perbuatannya melempar helm padaku.
“Eh! Ma—maaf, Nan! Niatnya mau ngelempar ke setan genit itu!” sahut Cahyo sambil buru-buru memarkirkan motor Vespa tuanya yang suaranya mengalahkan gamelan gaib di hutan itu.
Aku berdiri dengan bantuan Danan, sementara Cahyo menunjuk perempuan di hadapanku dengan wajah kesal.
“Roro Mayit! Umurmu sudah ratusan tahun lebih! Seleramu masih berondong? Malu kau sama Nyai Jambrong!” teriak Cahyo.
“Kamu ngancem apa lagi pantun, Jul?” bisikku.
“Lha nggak tahu, nyambung gitu aja...” jawab Cahyo asal.
Ternyata benar, sosok perempuan itu adalah Roro Mayit. Cahyo menjelaskan bahwa ia mengetahui keberadaanku dan tentang Roro Mayit dari Mbok Sar.
“Mas Danan…” Suara Roro Mayit kembali terdengar manja, wajahnya tampak cemas setelah kedatangan Cahyo.
“Heh! Heh! Nggak usah sok manja!” Cahyo menanggapi dengan ketidaksukaan yang jelas.
“Berisik! Kau pengganggu!” balas Roro Mayit. Entah mengapa, wujud dan tingkah Roro Mayit semakin mendekati sosok yang membuatku nyaman.
“Jul... telah terjadi sesuatu antara...” aku mencoba menjelaskan.
“Aku tidak suka ada pengganggu! Aku pergi saja!” Roro Mayit tiba-tiba melayang menjauh dari kami.
Anehnya, dia tidak melakukan apapun. Tak ada kutukan, tak ada serangan. Aku masih merasakan betapa mengerikan sesuatu yang berasal dari dalam dirinya, namun dia benar-benar tidak menyerang kami.
Hujan mengguyur deras, disertai angin kencang yang menerbangkan dedaunan dan menghantam pepohonan. Kilat menyambar tanpa henti, menerangi kegelapan malam dengan cahaya yang menakutkan.
Di tengah badai ini, pasukan Cakra Manunggal berdiri tegak di atas reruntuhan istana salah satu kerajaan sekutu Tunggul Giri yang telah mereka tundukkan.
Prabu Ramajaya, dengan pakaian perangnya yang penuh noda darah dan lumpur, berdiri di depan rakyat yang ketakutan, suaranya menggema melawan gemuruh badai.
“Mulai saat ini, seluruh rakyat di kerajaan ini berada dalam perlindungan Kerajaan Indrajaya!” serunya tegas.
Para warga yang sebelumnya gemetar karena ketakutan mulai merasakan sedikit ketenangan. Nyawa mereka telah terselamatkan dari ritual penumbalan massal yang diinisiasi oleh raja mereka sendiri, yang kini telah tewas di tangan pasukan Indrajaya.
Sementara itu, Abimanyu berdiri di sisi Prabu Ramajaya, mengamati badai yang kian menggila. Petir menyambar hanya beberapa meter dari mereka, membuat suasana semakin mencekam.
“Kerajaan Tunggul Giri dan tiga kerajaan lainnya telah kita kuasai,” ujar Abimanyu, suaranya dingin namun penuh tekad. “Hanya ini yang bisa kita lakukan dalam peran kita sebagai manusia.”
Prabu Ramajaya menoleh dengan pandangan yang penuh keraguan. “Apa saatnya kita menyusul Ayah dan Baswara?” tanyanya, mengacu pada pasukan lain yang bertempur di wilayah berbeda.
Abimanyu menggelengkan kepala, rahangnya mengeras. “Kau baru saja memberikan pernyataan pada rakyat-rakyat itu,” ucapnya tajam, “dan sekarang kau berencana meninggalkan mereka?”
Ramajaya tersentak oleh teguran itu, namun kegelisahan di dalam hatinya terus bergolak. “Aku hanya merasa harus melakukan segala cara untuk menghentikan bencana ini,” jawabnya dengan nada penuh keputusasaan. “Bahkan jika nyawaku harus menjadi taruhannya.”
Abimanyu melangkah maju, menatap kakaknya dengan tatapan tajam yang penuh amarah dan tekad. “Jangan sombong, Ramajaya!” suaranya memotong derasnya hujan. “Tidak semua masalah harus kau tuntaskan sendiri. Ada saatnya kita menunggu.
Percayalah pada mereka yang tengah berjuang, dan pada takdir Sang Pencipta!”
Perkataan itu menghantam Prabu Ramajaya seperti guntur di dadanya. Ia menunduk sejenak, menggenggam gagang pedangnya yang dingin. Ia tahu Abimanyu benar, namun hatinya masih gelisah.
Di kejauhan, suara genderang perang masih terdengar, tanda bahwa pertempuran di Tanah Danyang belum usai. Namun untuk saat ini, Prabu Ramajaya memutuskan untuk bertahan bersama rakyat yang ia lindungi, berusaha memberi mereka harapan di tengah bencana yang mencekam.
Dengan tatapan yang lebih tenang namun tetap penuh tekad, ia memandang badai yang terus mengamuk di langit.
“Kami serahkan sisanya padamu, Ayah…” gumamnya pelan, seakan berdoa kepada mereka yang masih bertempur dan kepada Sang Pencipta, memohon kekuatan untuk melindungi orang-orang yang ia kasihi.
Suara derap kuda terdengar memecah keheningan malam, mendekati barak prajurit dengan cepat. Para penunggangnya turun tergesa-gesa, wajah-wajah mereka penuh ketegangan. Mereka langsung menuju tenda besar di tengah barak, tempat raja berada.
"Berhenti! Raja ada di dalam!" seorang penjaga menahan mereka dengan tangannya terentang.
"Kami harus bertemu yang mulia! Ini keadaan darurat!" Pemimpin mereka bersikeras.
Penjaga itu memerhatikan mereka sejenak, mengenali lencana-lencana khas yang menghiasi seragam mereka. Pasukan elit Cakra Manunggal, yang langsung di bawah komando Prabu Ramawijaya.
"Baiklah, tunggu sebentar…" ujar sang penjaga sambil memasuki tenda.
Ramawijaya telah menduduki tahta dan membangun kerajaan Darmawijaya sebagai kerajaan dengan pertahanan militer yang kokoh.
Mereka mampu menggetarkan kerajaan besar di sekitarnya, namun bukan itu tujuan utamanya. Perang para danyang semakin dekat, dan bertahun-tahun lamanya, bencana semakin melanda.
Tak lama kemudian, mereka diizinkan masuk. Di dalam tenda, Prabu Ramawijaya dan para patihnya tampak berkumpul, membahas sesuatu yang tampaknya mendesak.
Pemimpin pasukan itu melangkah maju dan berkata tegas, "Yang mulia, kabar ini harus disampaikan segera."
Prabu Ramawijaya menatapnya tajam. "Panglima Cakra, aku mengenalmu terlalu baik untuk tahu bahwa kau tak akan menggangguku tanpa alasan. Katakan."
Dengan satu langkah cepat, Panglima Cakra mendekat dan tiba-tiba mencabut pedangnya. Patih-patih lain sontak bereaksi, namun terlambat. Pedang Cakra menembus dada Patih Renggana.
"Cakra! Apa yang kau lakukan?!" Patih Raksawira menghunus pedangnya, mengarahkannya tepat ke leher Panglima Cakra.
Namun Panglima Cakra tak bergeming. "Aku tak akan bicara sampai pengkhianat ini tak lagi bernyawa," katanya dingin, sementara para penjaga dipanggil untuk menyelamatkan Patih Renggana yang sekarat.
Patih Raksawira tak bisa menahan amarahnya dan mengangkat pedang untuk menebas leher Panglima Cakra. Tapi tiba-tiba, suara berat terdengar dari arah pintu.
"Tahan, Raksawira!"
Semua mata tertuju pada seorang pria dengan pakaian lusuh dan tubuh penuh debu yang baru saja memasuki tenda. Walau penampilannya sederhana, auranya membuat para patih berhenti seketika.
"Abimanyu?! Cakra telah mencoba membunuh Patih Renggana! Kita tak bisa membiarkannya begitu saja!" seru Raksawira, mengarahkan ujung pedangnya ke Panglima Cakra. Namun, Abimanyu hanya menatap tajam.
Seluruh patih menundukkan kepala sedikit, sadar betul siapa pria itu.
Dia adalah Abimanyu Darmawijaya, pewaris dari Prabu Arya Darmawijaya, yang berjanji mendampingi Prabu Ramawijaya untuk menjaga Kerajaan Indrajaya sejak kepergian Raja Indrajaya.
Patih Renggana menekan luka di dadanya, mencoba mempertahankan nyawanya. Setiap tarikan napas terasa seperti api yang membakar, namun ia berusaha memperpanjang hidupnya sejenak, berharap ada seseorang yang membantunya.
Srratt!
Dalam sekejap, Abimanyu sudah berada di samping Prabu Ramawijaya, dan di tangannya tergenggam kepala Patih Renggana yang sudah terpenggal dari tubuhnya. Hening menggantung di udara, seakan waktu berhenti sejenak.
Tenda itu bergetar dalam kesunyian, hingga tubuh Patih Renggana menyadari bahwa ia telah kehilangan kepalanya. Seketika, semburan darah memuncrat deras, membuat para patih mundur ngeri.
“Jadi, dia pengkhianatnya?” tanya Prabu Ramawijaya dengan suara tenang, nyaris tak terpengaruh oleh pemandangan mengerikan itu.
Abimanyu mengangguk ringan sambil duduk di sisi Prabu Ramawijaya. “Benar. Dia adalah patih di kerajaan kita, namun sekaligus Raja di kerajaan Tunggul Giri.”
Suara gemuruh dari puncak Mahameru menggema, menggetarkan bumi dan langit. Mahameru, yang berdiri megah di Jawa Timur sebagai paku penyeimbang Pulau Jawa, kini memuntahkan isinya.
Dharrr!!!
Batu-batu besar terlontar dari kawahnya, menghantam pepohonan di kawasan Kalimati, menciptakan kepanikan di antara mereka yang ada di sana.
"Menyingkir!" teriak seseorang, memberi isyarat pada sekelompok pasukan yang menerobos letusan dahsyat itu.
"Ini gila! Siapa yang terpikirkan untuk menerobos letusan gunung seperti ini?!" teriak Raja Indrajaya dengan napas memburu, mencoba menghindari lontaran batu panas yang jatuh dari langit.
"Siapa lagi kalau bukan Pangeran Baswara, putra andalanmu itu, yang mulia..." sahut Panglima Brasma sambil melirik ke arah Baswara yang tanpa ragu maju lebih dahulu.
Di depan, Baswara membuka jalan dengan segenap tenaga, dibantu oleh kawanan kera putih yang melompat lincah di antara lahar. Seekor kera putih menari melompat di antar pepohonan, membaca aliran energi panas yang memancar dari gunung, menghindari setiap bahaya yang muncul.
"Ayah! Dia di sana!" teriak Baswara, menunjuk ke arah pusaran api yang berkobar di antara kepulan awan panas di puncak Mahameru.
Raja Indrajaya dan Panglima Brasma menyaksikan dengan mata mereka sendiri kekacauan itu, kekuatan yang tak terkendali memutar-mutar di puncak tertinggi pulau.
"Kalian, kembali! Setelah ini urusan kami sekarang!" seru Raja Indrajaya kepada para prajurit yang mendampingi mereka.
"Ta—tapi, yang mulia! Tempat itu terlalu berbahaya! Biarkan kami ikut bersama!" pinta seorang prajurit dengan nada cemas.
"Jangan sia-siakan nyawa kalian. Ramajaya dan Kerajaan Indrajaya masih membutuhkan kalian!" Raja Indrajaya menegaskan, suaranya penuh kewibawaan.
Walaupun hati mereka berat, para prajurit itu pun memutuskan untuk mundur, meninggalkan tiga sosok yang akan melanjutkan perjalanan ke pusat bencana.
"Prajurit Indrajaya!" panggil Baswara tiba-tiba. Ia menghampiri para prajurit yang berbalik badan. Mereka menoleh, menatapnya dengan kebingungan.
“Sampaikan salamku pada Ramajaya, dan berikan ini padanya.” Baswara melepas sebuah ikatan tali dari pinggangnya dan menyerahkannya kepada salah satu prajurit.
Begitu tali itu berpindah tangan, prajurit tersebut terhenyak oleh beban kekuatan yang terkandung di dalamnya. Dengan susah payah, ia menggenggam tali itu.