“Dia … yang kamu cari … terjebak di alam kami ...”
Tiba-tiba terdengar seperti suara seorang nenek dari belakangku.
Aku menoleh dan hampir saja terjatuh saat melihat seorang nenek mengenakan kebaya hitam dengan wajah yang sudah sangat tua, yang begitu saja berdiri di belakangku.
Dengan kemunculan dan wujud yang seperti itu tidak perlu kemampuan khusus untuk memastikan nenek itu bukanlah manusia biasa. Namun, aku berusaha tetap bersikap sopan kepadanya.
“Maksud Nenek?” tanyaku dengan memberanikan diri.
“Setelah langit gelap, kamu bisa bertemu dengan temanmu bersama kemunculan mereka. Hanya di waktu itu kamu bisa membawanya kembali.”
Nenek itu berbalik dan meninggalkanku. Perlahan wujudnya menghilang seolah ia memang tidak pernah ada di tempat ini.
“Te—terima kasih, Nek!” ucapku yang sepertinya sudah terlambat untuk didengar olehnya.
Sudah ada sedikit petunjuk. Sepertinya aku harus menunggu lebih lama di sekolah untuk membuktikan apa yang dibilang oleh Nenek itu.
Aku menunggu di sudut kelasku, sambil melihat sosok roh ibu dan anak yang kemarin membuat kekacauan di sini. Ketika langit mulai memerah, aku mendengar suara gerbang yang sepertinya ditutup oleh Bu Ratna.
Di tengah lamunanku, samar-samar terdengar suara seperti segerombolan orang yang memasuki kelas yang tidak jauh dari kelasku berada. Aku segera keluar untuk mengecek arah suara itu di tengah gelapnya suasana malam sekolah ini...
Tuh kan! udah muncul aja Chapter ke 2!
Ni platform sih keren.. @hipwee ngerangkul penulis penulis Favorit untuk bisa berkarya di sana.
dan yang penting memudahkan pembaca hanya dengan Rp 14.900,-
bisa baca cerita ini sampe tamat + cerita penulis lainya selama sebulan!
Cara langganannya gimana?
cek di gambar ini ya #hipweepremium
Hipwee premium menyajikan konten2 exclusive dari penulis favorit lho!
untuk membaca bisa klik atau link yang tersedia di Bio ya
Di sisi lain langit, ratusan tiang cahaya yang membentuk anak panah menggantung, menanti satu komando. Mereka berpendar dalam warna merah darah, berkedip-kedip seperti detak jantung para makhluk di bumi yang mulai merasakan ancaman maut.
"Tempat ini... akan musnah," desah Arumbraja, hampir putus asa. Ia menatap langit dengan wajah pucat, rambut panjangnya tersapu angin badai yang mulai menggila.
Namun di sebelahnya, Jaya Wira berdiri tegak, menggenggam sebilah pedang sakti yang berdenyut dengan aura panas. "Walau tempat ini hancur, itu bukan alasan untuk berhenti melawan."
Dari kejauhan, terdengar teriakan yang memecah keheningan..
"Mas Arumbraja! Mas Jaya!"
Guntur berlari menembus kabut, bersama Nyai Jambrong yang masih kuat meski usianya telah menua. Debu dan tanah beterbangan saat keduanya tiba.
"Tempat ini terlalu berbahaya!" seru Jaya Wira, mencoba memperingatkan.
Namun Nyai Jambrong hanya terkekeh sinis. “Kekekeke... Memangnya ada tempat yang aman di hari kiamat seperti ini?”
Tanpa banyak bicara, Guntur mendorong sebuah busur besar ke dada Arumbraja. Busur itu bersinar saat menyentuh kulit pendekar itu.
"Ini! Gunakan ini!” seru Guntur.
Arumbraja terdiam, kedua tangannya bergetar saat memegang Busur Pasupati. Aura sakti menyelimuti tubuhnya.
"Tak ada waktu menjelaskan! Busur itu takkan bertahan lama! Ki Arsa mempercayakan kalian untuk menggunakannya sebaik mungkin!” seru Nyai Jambrong, lalu menyerahkan Cakra Sudharsana pada Jaya Wira.
Begitu tangannya menyentuh cakra itu, mata Jaya Wira memancarkan harapan yang sebelumnya telah padam. "Dengan ini... kita bisa menandingi Cakram Bayulodra. Terima kasih...”
Namun kegembiraan mereka tak berlangsung lama.
"Masalahnya... di mana pemilik Cakram Bayulodra itu?” tanya Guntur, waspada.
Seketika terdengar suara dari dalam benak mereka. Suara Mbok Sar yang terdengar seperti angin yang menyusup ke celah jiwa.
"Setan-setan itu telah menyerang desa-desa di kaki gunung. Mereka menjadikan warga sebagai tumbal dan membawa wabah ular. Kita terkecoh....”
Guntur panik. "Terns kita harus bagaimana, Mbok Sar?!”
"Jagad telah pergi mendahului kalian. la menghadapi panglima dari Naga Antadurga— pemilik Cakram Bayulodra. Tapi ia membutuhkan bantuan Nyai Runtak untuk menenangkan warga yang kerasukan dan keracunan di sana...”
"Aing siap!!” seru Kang Jawir dari belakang, menyanggupi tanpa ragu.
"Gerbang gaib Jagad masih terbuka! Pergilah sekarang!”
“Berangkat!!” Kang Jawir menggendong Nyai Runtak dan melesat menembus kabut bersama kekuatan gaib yang membuka celah langit.
Guntur menatap kepergian mereka, hatinya semakin cemas.
“Mas Jagad pergi... Kang Jawir dan Nyai Runtak juga... Lalu bagaimana kita menghadapi makhluk-makhluk itu, Eyang?!”
Nyai Jambrong menjawab ringan, “Pukul saja. Kalau nggak mempan, lempar batu. Kalau masih nggak mempan, pakai senjata. Kalau masih juga. ya pakai semua. Gitu aja kok repot. Kekekeke...”
“Eyang! Ini serius!!”
Wajah Nyai Jambrong berubah dingin, tak ada lagi senyum.
"Memang serius,” katanya datar. la menatap ke langit. Anak panah Nararingga kini mulai bergetar, siap melesat seperti hujan maut.
"Prabu Krana!” seru Arumbraja. "Kali ini aku tak akan kalah... tanpa perlawanan!”
Ia memusatkan seluruh kekuatannya ke Busur Pasupati. Tiba-tiba, dari pusaka itu, terbit cahaya yang membentuk ratusan anak panah cahaya. Jumlahnya sama dengan yang tergantung di langit.
"Sekarang!!”
Wuuuuuuuussssshhh!!!
Panah-panah cahaya melesat ke langit dan saling bertumbukan dengan panah-panah Nararingga.
Trang! Trang! Trang!
Suara logam bertabrakan membelah udara. Kilatan cahaya menyambar-nyambar seperti petir. Langit menjadi ladang pertempuran, tempat dua kekuatan adikodrati saling menghabisi.
Guntur ternganga, tubuhnya bergetar menyaksikan keajaiban di atas sana. Panah-panah dari Busur Pasupati berhasil menahan setiap anak panah Nararingga. Tak satu pun menyentuh tanah.
Langit tetap gelap. Tapi harapan kini mulai bersinar.
Ledakan cahaya dari benturan panah-panah sakti di langit mengguncang langit dan bumi. Di balik lapisan dimensi lain, sepasang mata menyala dalam kegelapan.
Sosok tinggi besar, tersembunyi di antara batas realitas, mengamati semua dengan dingin.
“Jadi... benar dugaanku,” gumam Prabu Krana dengan suara dalam, bergemuruh seperti gaung dari perut bumi. "Sebagian kekuatan Busur Nararingga telah dicuri. Kalau tidak, mustahil panah lemah itu mampu menandinginya.”
Tanpa peringatan, makhluk setinggi pepohonan itu melangkah keluar dari alam persembunyian. Tanah bergetar, udara terhisap masuk, dan kabut gelap merambat mengikuti langkahnya.
Wujudnya menyerupai raja agung dari zaman purba, mengenakan pakaian kerajaan yang berhiaskan simbol naga dan matahari hitam. Di tangannya tergenggam Busur Nararingga, pusaka emas berkilau yang menyimpan kekuatan penghancur zaman.
Tapi tubuhnya mengeluarkan aroma amis darah dan kematian—seperti jagal agung yang baru saja keluar dari medan pembantaian.
"Aku tahu pencuri kekuatan pusaka itu ada di zaman ini,” ucapnya dengan nada tenang namun mengancam. "Serahkan padaku, sebelum kuguncang gunung ini dan kuhapuskan tanah tempat kalian berpijak.”
Deg! Nyai Jambrong yang biasanya tak gentar kini terdiam sejenak. la tahu, ancaman makhluk itu bukan sekadar gertakan kosong.
Namun ia tertawa renyah, "Kekekeke... kami tidak sebodoh itu, Prabu Krana! Tanpa kekuatan utuh dari pusakamu, kau mungkin bisa meruntuhkan gunung ini. Tapi jika kekuatan itu kembali padamu, zaman ini yang akan binasa!"
PUSAKAYANA
Part Akhir - Tembang Pamungkas
(Bagian 1)
Ingatan Prabu Arya Darmawijaya membuka rahasia tentang wujud sebenarnya dari Tiga Pusaka Sukma..
#bacahorror @bacahorror @IDN_Horor @ceritaht
"Saat pusaka turun ke dunia, langit retak oleh takdir yang bergeser, bumi gemetar oleh beban warisan masa lalu, dan jagat pun berseteru seakan lupa makna harmoni. Tapi ingatlah..
Pusaka hanyalah saksi, bukan pembawa petaka. Ia tak berniat membawa kehancuran..
Kejahatan lahir dari tangan-tangan yang dipenuhi nafsu, dari jiwa-jiwa yang lupa bahwa kekuatan bukan untuk dikuasai, melainkan untuk dijaga. Maka bukan pusaka yang patut ditakuti, tapi mereka yang merasa paling layak memilikinya.”
"Pusaka sejati bukan yang disimpan dalam peti, tapi yang tertanam dalam hati.
Sebab kekuatan tertinggi bukan pada benda, melainkan pada nurani yang menjaganya”
"Digdaya sebuah pusaka bukan terletak pada bentuknya, tapi pada jiwa yang menggenggamnya. Sebilah pusaka bisa jadi cahaya yang menuntun, atau luka yang menghancurkan.
Semua tergantung pada siapa yang memegangnya.”
Tegar mengamati tanpa ekspresi. Perlahan ia berkata, “Sekte Pangiwa.”
“Pangiwa?” ulang Ujang, belum paham.
“Aliran kiri. Mereka mencari ‘kesempurnaan’ dengan membakar tubuh dan jiwa lewat hawa nafsu. Makin mabuk, makin hilang kendali, makin jauh dari dunia—mereka percaya, itu mendekatkan mereka pada kekuatan leluhur.”
Ujang menelan ludah. “Jadi ini ‘ibadah’ yang mereka omongin tadi…”
Tegar hanya mengangguk. Sementara itu, suara gamelan makin keras. Nada-nadanya tak wajar—seperti dimainkan tangan yang bukan manusia.
Mereka berdua berpindah posisi diam-diam, mengamati kerumunan itu dari balik gelap. Tiba-tiba, Ujang menunjuk ke panggung.
“Gar… itu Pak Baskoro, kan?”
Tegar menyipitkan mata. Di tengah keramaian, terlihat seorang pria tua dengan jubah gelap, berdiri tegak memantau dari belakang altar. Wajahnya tenang, bahkan tersenyum. Tapi matanya kosong, seperti tak ada jiwa di dalamnya.
“Baskoro… tuan tanah itu?”
Ujang mengangguk. “Dia calon kepala desa. Anak buahnya sering ngirim hasil panen ke pasar. Tapi… aku nggak pernah tahu dia ikut-ikut ginian.”
Tegar tak menjawab. Perhatiannya tertarik pada sosok lain.
Di tengah panggung, berdiri seseorang dengan pakaian lengkap kesenian: rompi tua, celana pendek batik, dan… sebuah topeng kayu. Topeng itu tampak sangat tua, hitam, penuh retakan, dan bermata kosong. Meski wajahnya tertutup, entah kenapa aura sosok itu membuat udara di sekitar terasa lebih dingin.
Sabda Pangiwa bukan sekadar petuah. Ia adalah jalan terlarang, gelap & menggoda, yg konon bisa menuntun manusia pada puncak kesempurnaan. Namun, tak sedikit yg hancur sebelum sampai, tertelan oleh bayang-bayang jalur itu sendiri…”
#bacahorror
“Bercintalah hingga tubuhmu lelah meraba gairah yang hampa, mabuklah sampai setiap tegukan menjadi sia-sia, bersenang-senanglah sampai tawa tak lagi meninggalkan gema. Lalui semuanya… hingga yang fana kehilangan maknanya, dan jiwamu terlepas dari jerat dunia. Itulah saat ketika kesempurnaan menampakkan wajahnya yang sunyi.
Sabda Pangiwa bukan sekadar petuah. Ia adalah jalan terlarang, gelap dan menggoda, yang konon bisa menuntun manusia pada puncak kesempurnaan. Namun, tak sedikit yang justru hancur sebelum sampai, tertelan oleh bayang-bayang jalur itu sendiri…”