MONYET KEMBAR ALAS WETAN
- Teror Penunggu Pabrik Gula -
Sebuah bangunan besar terletak di balik hutan desa tempat tinggal Cahyo dan Paklek saat ini.
Ternyata itu adalah sebuah Pabrik Gula yang sudah lama terlantar dan terlarang dimasuki oleh warga desa.
"Jangan keluar dari desa ini tanpa seijin Paklek!"
Kata-kata itu selalu terucap setiap Paklek meninggalkanku di desa. Sebenarnya tidak masalah, toh warga desa ini juga sudah mulai akrab denganku, apalagi masakan Bulek juga membuatku betah untuk ada di rumah.
“Heh Kliwon mudun! Nggoleki opo to?” (Heh kliwon.. turun! Nyariin apa to?) ucapku yang masih selalu heran dengan tingkah laku kliwon yang berbeda dengan monyet pada umumnya.
Seringkali ia menaiki atap rumah dan terus menatap ke arah barat. Entah insting apa yang membuatnya selalu melihat ke arah sana.
Untungnya walaupun seperti itu Kliwon selalu menurut apabila mendengar perintah dariku.
“Cahyo.. Paklek lungo meneh to?” (Cahyo.. Paklek pergi lagi ya?) Ucap Mas Gimin yang kebetulan berjalan melewatiku.
“Iyo mas.. enek tugas negara, Ngeterke pejabat negara ke pasar malem” (Iya mas.. ada tugas negara, nganterin pejabat negara ke pasar malam) Jawabku.
“Heleh.. sing nggenah kowe njul,” balas Mas Gimin yang segera pergi setelah mengusap-usap kepalaku.
Aku hanya tertawa kecil melihat reaksi Mas Gimin atas jawaban isengku.
Setelah Kliwon turun aku mengajaknya ke kebun pisang di belakang hutan untuk mencari makan sekaligus mengisi waktu.
Seperti biasa setelah memasuki kebun pisang , kliwon melompat dari satu pohon ke pohon lainya tanpa lelah.
Awalnya aku kesulitan mengikutinya namun kali ini aku sudah mulai terbiasa, kemanapun dia pergi aku sudah siap untuk mengikutinya.
Kami mengumpulkan beberapa pisang yang kami dapat dan memakanya di salah satu dahan pohon yang besar di hutan itu.
“Panjul.. Njupuk gedang meneh?” (Panjul, ngambil pisang lagi?)
Ucap Bu Darmi pemilik kebun pisang yang tiba-tiba datang untuk membersihkan kebun.
“Eh… nggih bu, Njaluk setitik yo.. mengke Panjul bantu ngeresikke kebon” (Eh.. iya bu, minta dikit ya.. nanti panjul bantu bersihin kebunya)
Ucapku yang merasa malu pada Bu Darmi karena ketahuan mengambil pisang di kebunya.
“Iyo.. Ora popo, sing penting dipilihi ojo gedang sing arep di dol”
(Iya Ga papa, yang penting dipilihin jangan pisang yang untuk dijual) Balas Bu Darmi.
Bu Darmi memang sangat baik padaku, namun tetap saja aku harus menjaga etika. Jangan sampai ia jatuh miskin karena pendapatanya dari berjualan pisang jadi bangkrut gara-gara aku dan Kliwon.
Setelah kenyang dengan pisang dari kebun Bu Darmi, aku dan kliwon melanjutkan janjiku membersihkan kebun itu.
Kliwon cukup mahir mengumpulkan daun daun pisang yang sudah kering dan jatuh dari pohonya lalu mengumpulkan ke satu tempat untuk di bakar.
“Wis Cahyo.. wis resik, ndang muliho.. Iki digowo nggo ning omah” (Sudah Cahyo, sudah bersih.. tinggal pulang aja.. ini dibawa buat di rumah)
Ucap Bu Darmi sambil membawakan kami sesisir pisang lagi.
“Wah… malah dikei meneh, matur suwun yo Buk!” (Wah malah dikasi lagi, terima kasih ya bu) Ucapku yang segera mencium tanganya dan pamit ke Bu Darmi.
Tak disangka Kliwon juga mengikuti tingkahku, ia mengambil tangan Bu Darmi dan mencium tanganya seperti yang kulakukan.
Sontak terlihat raut muka gemas di wajah Bu Darmi.
….
“Bulek! Aku nggowo oleh-oleh!” (Aku bawa oleh-oleh) Ucapku dengan bangga saat memasuki rumah yang sudah tercium bau masakan.
“Dikasi Bu Darmi lagi, sudah bilang terima kasih belum?” Ucap Bule yang menerima sesisir pisang yang ku bawa.
“Sudah donk… Masak sayur lodeh ya Bulek?” Tanyaku yang mendadak menjadi lapar kembali setiap mencium aroma masakan Bulek.
“Iya.. sana mandi dulu , nanti selesai mandi masakanya sudah siap” Perintah Bulek.
“Siap Bu Komandan” Ucapku yang segera menurut sambil melakukan pose hormat layaknya seorang prajurit dan Bulek hanya menggeleng-geleng saja melihat tingkahku.
…
Baru saja selesai mandi, tiba-tiba terdengar suara pintu rumah diketok oleh seseorang.
“Permisi…” Ucap seseorang memanggil dari luar.
Bulek yang mendengar ucapan itu segera keluar membukakan pintu.
“Paklek belum pulang to bu? “ Tanya seorang bapak warga desa yang sepertinya ingin menyampaikan sesuatu.
“Itu lho bu.. di rumah timur, muncul pocong lagi… anak-anak pada ketakutan”
Bulek menanyakan dengan detail mengenai kejadian itu namun Bapak itu juga hanya mendengar dari warga lainya. Terdengar ucapan bahwa Bulek akan menyampaikan kejadian ini ke Paklek begitu ia pulang.
Bapak itu menyetujuinya, namun sebelum ia pulang ia sempat menyebutkan sebuah kalimat yang membuatku penasaran.
“Bulek… Kata beberapa warga , pocong itu makhluk dari bangunan di belakang hutan itu…”
Bangunan di belakang hutan? Ada bangunan apa di sana?
Setelah Bulek menutup pintu aku segera menanyakan rasa penasaranku pada Bulek.
“Bulek.. di belakang hutan memang ada bangunan apa?”
Bulek hanya mengusap kepalaku dan menjawab sambil berjalan.
“Nanti kamu juga tau, jangan ke sana ya… Suatu saat pasti Paklek ngajak kamu ke sana”
Aku mengangguk, jawaban Bulek setidaknya bisa sedikit menahan rasa penasaranku walaupun sebenarnya aku tetap penasaran, bangunan apa yang dimaksud.
Mumpung masakan Bulek masih hangat, aku segera mengambilkan piring dan nasi untuk Bulek dan mengambil juga nasi setinggi gunung di piringku.
“Ya ampun cahyo.. kayak seminggu ga makan aja” Ucap Bulek yang terheran dengan tingkahku.
“Gapapa Bulek, biar Cahyo kenyang cepet besar biar tambah kuat”Jawabku yang segera memilih lauk yang sudah tersusun rapi di meja makan.
“Kasihan paklek ga kebagian Sayur lodeh seenak ini” Ocehku dengan mulut yang masih dipenuhi makanan.
Bulek hanya tertawa saja melihat tingkah lakuku sementara Kliwon sibuk sendiri dengan pisang yang dibawakan Bu Darmi tadi.
“Bulek.. kalau cahyo coba nangAnin pocong yang muncul di rumah timur boleh ga?” Tanyaku sambil melanjutkan makan.
“Yakin kamu.. gak kabur kaya kemaren lagi?” Tanya Bulek yang merasa ragu.
Aku diam sejenak sambil melanjutkan makan. Memang benar, bisa jadi nanti aku kabur lagi saat melihat sosok menyeramkan pocong itu. tapi bila tidak nekat aku tidak aka bisa berkembang.
“Cahyo coba Bulek.. kalau emang ga berani ya pulang lagi” Jawabku santai sambil menyelesaikan makanku.
Segera setelah membereskan meja makan dan mencuci piring aku segera pergi ke pendopo belakang dan mencari buku yang digunakan paklek untuk mengajarkanku ilmu batin.
Aku mencoba mengulik-ngulik kembali mengenai ilmu untuk menenangkan makhluk halus terutama yang akan coba kuhadapi nanti.. Pocong.
“Bulek.. Cahyo pamit!” Ucapku sambil berlari keluar namun Bulek malah menyusulku dan memberikanku sesuatu.
“Tunggu dulu.. ini, kalau kamu gagal nyalain ini terus pulang ya…”
Bulek memberikanku sebuah korek api tua dengan ukiran kuno. Aku tau benda ini, ini adalah benda yang digunakan paklek saat menolongku dulu. Dengan segera aku mengangguk dan meninggalkan rumah.
Rumah Timur adalah rumah yang terletka beberapa kebun dari rumah Bulek, tidak jauh dan aku juga sudah sering melewatinya makanya aku berani ke sana.
Rumah ini sudah ditinggal cukup lama oleh pemiliknya dan belum ada yang menceritakan kemana perginya mereka.
Setelah malam , warga desa biasanya sudah masuk ke rumah. Namun kali ini aku beruntung, masih ada Bu Darmi dan beberapa warga yang masih beraktifitas di luar rumah setidaknya sepanjang jalan yang gelap ini aku tidak terlalu takut.
Sayangnya setelah mencapai rumah timur yang dikelilingi kebun, penerangan sudah benar-benar hampir tidak ada. Aku berjalan hanya berbekal penerangn dari cahaya bulan dan akhirnya sampai tepat di depan rumah itu.
Rumah ini terbuat dari kayu namun tidak terlalu tua. Saat sampai pekarangan rumah ini, kliwon terlihat sedikit gelisah dan akupun mulai berhati-hati.
Aku mengintip ke arah jendela rumah yang sedikit terbuka untuk mencari petunjuk, namun hanya ada kegelapan yang ada di dalam ruangan itu.
Saat hari semakin larut aku sudah merasakan hawa keberadaan yang tidak biasa. Suara burung gagak yang jarang terdengar kini berkali-kali memecahkan heningnya malam.
Seolah merasakan sesuatu, Kliwon tiba-tiba melompat masuk ke dalam rumah tanpa seijinku dan menunggu di sebuah ruangan di rumah itu.
Aku yang bingung segera bersiap pergi dan menghampiri kliwon namun tiba-tiba hawa dingin yang sejak dari tadi menggangguku membuatku tidak mampu menoleh.
Mungkinkah kliwon melihat sesuatu di belakangku sehingga dia menjauh?
Aku memaksakan kepalaku menoleh ke belakang, walaupun sebenarnya mungkin aku sudah tau apa yang akan muncul di belakangku.
Sesosok Jasad manusia yang terbungkus kain kafan dengan wajah pucat yang terus menatap ke arahku.
Seketika aku terjatuh tak mampu menahan rasa takutku. Namun aku sudah membulatkan tekad untuk menenangan makhluk ini.
Aku membacakan doa-doa yang sebelumnya pernah diajarkan Paklek untuk menenangkan makhluk itu namun makhluk itu tidak bergeming.
Bukan… bukan karena doa itu tidak bekerja, tapi sepertinya makhluk itu memiliki maksud lain. Ia saling berpadangan dengan kliwon yang menatap dari dalam rumah seolah terjadi komunikasi diantara mereka.
Tak lama setelahnya Pocong itu menghilang.
Seolah mengerti akan sesuatu sesuatu, kliwon melompat ke bahuku dan melompat lagi meninggalkanku ke hutan sebelah barat.
Aku mencoba mengejarnya namun ia terlalu cepat,dan setelah cukup lama aku baru sadar, arah kliwon berlari itu adalah arah bangunan di belakang hutan..
Aku merasakan dilema harus mengejar kliwon atau melapor pada Bulek sampai suatu ketika suara ramai mulai terdengar di sekitar desa.
“Ani Mas… Ani belum pulang, biasa sebelum maghrib ia sudah pulang”
Terdengar suara Bu Darmi dari jauh.
“Yang benar bu? Hati-hati kemarin juga ada anak kampung sebelah yang hilang sampai sekarang belum kembali” Ucap salah seorang dari warga desa.
Bu Darmi terlihat waswas, ia meminta bantuan warga untuk membantu mencari Ani anak semata wayangnya yang umurnya tidak jauh denganku.
Saat aku memutuskan untuk pulang terlebih dahulu aku berpikir apa mungkin Ani dan anak yang hilang dari desa sebelah itu berada di bangunan belakang hutan tempat di mana arah kliwon berlari. Mungkin aku bisa menanyakan pada Bulek.
Tapi kalau aku pulang sekarang , mungkin Bulek tidak akan mengijinkanku untuk menyusul Kliwon. Kasihan dengan Bu Darmi bila Ani benar-benar tersesat di bangunan itu.
Aku terhenti sejenak tepat di depan rumah Bulek. Rasa khawatirku mulai mengalahkan rasa takutku dan aku memutuskan berlari kembali ke arah kliwon pergi. Bangunan di barat hutan desa.
Hanya dengan sandal jepit dan sarung yang menghangatkan tubuhku aku berlari menerjang pohon pohon di perbatasan desa. Aku sedikit mengenal hutan ini, namun aku belum pernah tau apa yang ada di baliknya sampai akhirnya aku menyebrangi sebuah sungai.
Samar-samar terlihat bangunan besar yang sudah terbengkalai di luar hutan. Bangunan besar dengan cerobong asap yang sangat besar dan beberapa bangunan pendamping dengan arsitektur belanda.
Bangunan ini dulunya adalah sebuah pabrik…
Aku memperhatikan sekitar bangunan, bukan hutan lagi yang berada di sisi lain dari pabrik itu melainkan rumah-rumah belanda yang sudah pasti tidak ditempati lagi.
Jadi.. ini adalah tempat yang dilarang dimasuki oleh warga desaku.
Sebenarnya aku cukup takut. Seorang anak kecil sendirian di ujung hutan berhadapan dengan bangunan pabrik tua besar terbengkalai. Lumut dan sulur besar dari pepohonan disekitarnya sudah hampir melahap bangunan tersebut.
“Kliwon!” teriaku mencoba mencari keberadaan temanku itu.
Aku berjalan selangkah demi selangkah. Halaman lapang pabrik ini terasa cukup terang dengan sinar bulan purnama yang menyinarinya.
Beberapa pohon pisang liar terlihat tumbuh subur di dekat pabrik ini.
Dan aku tahu di sekitar tempat itu sudah ada sesosok makhluk yang mengintip dari sela-sela daun di atas pohon pisang.
Pintu pabrik itu terbuat dari besi dan berukuran sangat besar. Salah satu pintunya terbuka setengah membuat siapapun bisa keluar masuk seenaknya.
Aku mengintip sedikit tanpa maksud untuk memasuki bangunan itu.
Gelap… tidak ada penerangan sama sekali di sana yang membuatku merasakan tidak ada gunanya untuk masuk ke sana tanpa membawa penerangan apapun.
Awalnya aku memutuskan untuk pulang, namun tiba-tiba terdengar suara dari dalam pabrik tersebut.
“T… tolong”
Suara anak kecil terdengar lirih dari dalam bangunan itu. aku tahu dengan jelas itu adalah suara Ani.
“Ani… kamu Ani kan?” Aku berteriak sambil memasukan kepalaku ke dalam pabrik tersebut hingga suaraku menggema. Aku pastikan seandainya ada seseorang di pabrik itu ia pasti mendengar.
“C—Cahyo? Cahyo kan?” Ucap suara itu.
Setelah memastikan itu suara Ani aku segera berlari ke dalam bangunan mencari keberadaan Ani.
“Ani! Dimana kamu!” Aku berlari ke sekeliling bangunan itu hanya bermodalkan cahaya bulan yang masuk melalui langit-langit.
“Cahyo! Tolong.. cari bantuan” Terdengar ucapanya berasal dari salah satu ruangan di lantai dua.
Aku segera berlari ke atas menaiki tangga yang terbuat dari besi bordes. Suara berisik langkah kakiku terdengar jelas menggema ke seluruh bangunan.
Aku mencari ke asal suara itu hingga sampai di salah satu ruangan yang diisi sebuah mesin besar. Hanya butuh waktu sebentar untuk menyadari itu adalah mesin penggilingan tebu dan segera aku bisa menyimpulkan bahwa tempat ini dulunya adalah pabrik gula.
Di sudut ruangan yang cukup besar itu terlihat seorang anak kecil meringkuk diantara mesin tersebut.
“Ani!” Aku segera berlari menuju tempat dimana anak itu berada.
Anak perempuan itu menoleh, wajahnya terlihat sembab. Namun aku bisa memastikan bahwa itu adalah Ani.
“Cahyo… harusnya kamu jangan masuk,” ucap Ani tiba-tiba.
“Kamu ngomong apa Ani? Ayo kita pulang.. Ibumu nyariin terus daritadi” Jelasku.
Ani menggeleng sambil menyeka air mata yang mulai menetes lagi.
“Nggak Cahyo.. kita ga bisa keluar lagi,” Ani berkata dengan suara sesegukan sambil menunjuk ke salah satu sudut bangunan.
Aku memperhatikan tempat itu , terlihat samar-samar bayangan yang bergoyang-goyang seperti tergantung oleh sesuatu.
Rasa penasaranku membuatku mendekat dan di sana terlihat seorang anak kecil yang setengah badan bagian atasnya tergantung di antara langit-langit bangunan tanpa kuketahui dimana bagian tubuh lainya.
“A—Ani! Itu apa?” Tanyaku yang mulai ketakutan dengan pemandangan yang kulihat.
“Makhluk itu mencari korban cahyo.. hari ini dia, malam ini bisa saja aku atau kamu yang sudah memasuki bangunan ini” Jelas Ani masih dengan tangisanya.
Aku memaksa menarik tubuh Ani untuk keluar dari ruangan itu.
perlahan selangkah-demi selangkah aku menuju pintu sambil mencoba melupakan apa yang kulihat barusan.
Namun saat berhasil mencapai pintu, pemandangan di luar ruangan jauh berbeda dari saat pertama kali tadi aku masuk.
Aula bangunan yang sedari tadi sepi kini dipenuhi dengan sosok makhluk-makhluk kecil seperti anak-anak dengan wajah pucat dan hampir semuanya dengan anggota tubuh yang tidak utuh.
“Mau kemana?” Ucap sosok makhluk yang menghadangku di depan pintu.
Sesosok tubuh anak kecil pucat dengan dengan tanganya yang menggendong kepalanya sendiri.
“Dia akan menjadi teman kami… kalian juga,”
Segera aku menahan niatku untuk keluar ruangan dan mencari salah satu sudut yang paling aman di ruangan itu.
“Maksud kamu kita ga bisa keluar karna makluk-makhluk berwujud anak kecil itu?” Tanyaku pada Ani.
Ani hanya menggeleng terlihat berharap sesuatu yang akan ia ceritakan tidak benar-benar ada.
“Kata anak yang mati tergantung tadi, yang akan menyerang kita adalah makhluk yang meminta tumbal yang meminta tumbal anak-anak dari sejak pabrik ini didirikan” Jelas Ani.
Aku merinding mendengar cerita dari Ani.
Seketika hujan turun begitu deras membuat suasana di ruangan ini semakin mencekam. Aku mencopot sarungku dan mengenakanya kepada Ani agar ia tidak kedinginan.
“kamu sudah lihat makhluk itu?” Tanyaku pada Ani. Ia mengangguk.
“Tadi kami berdua, tapi saat menjelang maghrib makhluk itu menangkap anak itu dan aku ga tau lagi apa yang terjadi sama dia” jawabnya dengan menahan rasa takutnya.
Aku tidak mau menyerah, entah mengapa kondisi seperti ini membuatku sedikit lebih berani.
“Ani kita pergi dari sini! Kalau makhluk itu belum muncul harusnya kita masih bisa menerobos hantu anak-anak itu,” jelasku.
“Ta.. tapi?”
Sebelum sempat berkala lebih jauh aku segera menggandeng tangan Ani dan membawanya keluar ruangan itu.
seperti tadi hantu anak-anak korban tumbal itu masih memenuhi aula pabrik.
Dengan segera aku merogoh kantongku dan mengeluarkan sebuah korek api pemberian Bulek dan menyalakanya di depan makhluk-makhluk itu.
Seketika cahaya kuning mengelilingiku dan Ani.
Makhluk-makhluk berwujud anak kecil itu merasa terusik dengan cahaya itu dan menjauh dari kami.
Perlahan lahan kami berjalan menuju pintu keluar.
Ani yang merasa takut dengan semua sosok itu hanya menyembunyikan wajahnya di balik punggungku.
Sayangnya saat kami baru berhasil turun tiba-tiba telihat bayangan makhluk yang sangat besar di belakang kami.
Aku mencoba menoleh ke belakang dan melihat sesuatu berbentuk seperti tangan besar yang sangat panjang meraih ke bawah dari lantai atas.
Gila.. makhluk apa yang memiliki tangan sebesar itu , pikirku.
Perlahan terlihat bayangan besar menutupi cahaya bulan yang masuk dari lubang langit-langit pabrik itu.
bentuknya menyerupai badan manusia namun sangat panjang.
Aku tidak tahu lagi harus berbuat apa, cahaya kecil dari korek api ini tidak mungkin mampu melindungi kami dari makhluk ini.
Kesini….
Samar-samar terdengar suara berbisik dari salah satu sudut bagunan.
Matikan api itu…
Suara itu terdengar semakin jelas, hingga aku memastikan itu adalah suara perempuan.
Namun dengan ilmu yang sudah kupelajari dari Paklek aku bisa merasakan tidak adanya niat jahat dari suara itu.
Dengan segera aku mematikan korek api dan mengikuti arah suara itu berada hingga sampai di sebuah ruangan kecil yang sangat gelap.
Makhluk berwujud anak kecil itu kembali berkumpul namun tidak di tempat kami berada.
Sesekali aku menutup mulut Ani yang masih menahan tangis agar makhluk makhluk itu tidak menyadari keberadaan kami.
Entah kami harus bersembunyi sampai kapan.
Hujan terdengar semakin deras diluar bangunan dan membuat suara berisik dari beri dan seng yang terhantam oleh tetesan air hujan.
Kami menghitung detik demi detik yang mencekam dengan sesekali mengintip mengenai keberadaan makhluk hitam besar itu.
Saat aku mencoba memberanikan diri untuk keluar aku kembali mengurunkan niatku saat melihat lengan besar itu sudah menggenggam bagian tubuh anak yang tadi tergantung dengan darah segar berceceran di tanganya.
Kalaupun menunggu sampai pagi adalah pilihan terbaik mungkin aku akan mencoba bertahan sampai saat itu.
Ya… mungkin itu yang terbaik.
Cukup lama kami menunggu dan Ani sudah ketiduran selama beberapa lama. Tiba-tiba suara wanita yang berbisik kembali terdengar.
Kalau kalian mau pergi sekarang waktunya…
Aku memperhatikan keluar saat mendengar suara itu, dan benar makhluk besar itu sudah tidak ada. Tapi makhluk berwujud anak kecil itu masih ada ditempatnya.
“Nggak.. kami tunggu sampai pagi..” Ucapku.
Kalau pagi sudah datang, kalian sudah tidak di alam kalian lagi…
Seketika Ani terbangun.
“Cahyo! Kita harus pergi dari sini sebelum matahari terbit!” Ucap Ani tiba-tiba.
“Kalau makhluk itu menghilang kita juga akan ikut terbawa ke alamnya”
Sepertinya Ani mendapat suatu petunjuk dari mimpinya barusan, dan petunjuk itu sama seperti yang diberitahukan wanita itu kepadaku.
Sepertinya memang kami harus bertaruh untuk menerobos makhluk berwujud anak kecil itu dan menerjang derasnya hujan di luar.
Hati-hati.. makhluk itu mungkin saja masih ada di luar
“Baik , terima kasih atas bantuanya… tapi kamu siapa?” Tanyaku sebelum meninggalkan persembunyian itu.
Nyalakan saja korek itu
Aku mengikuti saranya dan sekali lagi cahaya kuning menerangi ruangan persembunyian kami yang ternyata berada di dalam mesin yang sudah tua.
Ketika aku menoleh ke arah suara itu, terlihat sosok wanita dengan wajah pucat melayang dengan pakaian putihnya yang lusuh dengan noda-noda darah.
“C—Cahyo! Itu kuntilanak!” Ucap Ani yang ketakutan dan segera menariku keluar mesin itu
.
Khikhikhikhihi….
Hanya suara tawa itu yang menemani kami menerobos gelapnya pabrik gula yang dipenuhi makhluk korban tumbal setan raksasa itu.
Dengan nafas yang hampir habis, tanpa terasa kami berhasil sampai di luar pabrik dengan guyuran hujan yang sangat deras.
Korek api yang dibawakan oleh Bulek tak lagi dapat menyala.
Aku mencoba mencari ke arah dari mana aku datang, namun aku sedikit tidak yakin.
Seketika muncul kilatan yang disusul dengan suara petir yang menggelegar.
Dan samar-samar..
Aku melihat sosok makhluk sebesar bangunan rumah belanda di belakang kami memperhatikan dengan matanya yang merah.
Aku terjatuh di tanah melihat makhluk itu merangkak dengan kaki dan tanganya yang sangat panjang ke arah kami.
“Kenapa cahyo?” Tanya Ani yang bingung.
“Se.. setan itu masih di sini!” Jawabku sambil menunjuk ke arah makhluk itu.
Ani yang melihatnya juga terjatuh dan tak hampir tak mampu mempertahankan kesadaranya. Saat makhluk itu mulai mendekat sesuatu seperti menarik bajuku dengan pelan.
Aku menoleh ke belakang, dan ternyata itu adalah Kliwon.
Ia seolah memberi isyarat kepadaku untuk mengikutinya.
“Ani! Berdiri.. “ Ucapku berusaha mengangkat tubuh Ani dan menariknya ke arah Kliwon berlari.
Kami menerjang hutan yang dipenuhi pohon pisang sesuai jalur yang ditunjukan oleh Kliwon, makhluk itu mengejar hingga semakin dekat.
Namun saat melewati sosok rumah dengan arsitektur belanda yang sangat tua sepertinya makhluk itu tidak lagi mengejar kami.
Aku berhenti sebentar untuk menarik nafas dan memastikan kondisi Ani. Kliwon berbalik seolah memerintahkanku untuk terus berlari.
Memang, aku merasakan bahaya yang tidak lebih baik dari makhluk itu di sekitar tempat ini.
Mungkin saja ini yang membuat makhluk itu tidak lagi mengejar kami.
Tanpa sengaja aku menengok ke arah jendela rumah belanda itu..
dan di sana terlihat sesosok wanita dengan pakaian bangsawan belanda berwarna merah menatap tajam ke arah kami dengan tatapan yang mengerikan.
Aku mencoba tidak mempedulikanya dan segera masuk ke dalam hutan yang menghubungkan tempat ini ke desaku.
Lelah berlari .. aku dan Ani terjatuh di tengah derasnya hujan dan di tengah gelapnya hutan ini. Namun Kliwon tidak lagi terlihat terburu-buru.
Ia malah kembali ke arahku seolah memastikan keberadaanku.
“Kamu ngga papa Ani? Kuat jalan ga?” Tanyaku sambil menyempatkan meminum air tetesan hujan untuk menghilangkan dahagaku.
Ani mengangguk, namun wajahnya sudah terlihat pucat karena kelelahan.
Kami berjalan perlahan di hutan mengikuti arahan dari Kliwon yang sepertinya lebih hafal tentang hutan ini daripada aku. dan tak lama setelahnya hujan perlahan mulai berhenti.
Tak lama setelahnya kami melihat cahaya api mendekat masuk kedalam hutan.
Aku yakin itu adalah warga yang sedang mencari kami.
Aku segera memberi isyarat hingga mereka menghampiri kami berdua tak jauh dari mulut hutan.
“Ya ampun Cahyo.. Ani!” Ucap pak Gimin yang sangat prihatin dengan kondisi kami.
“Cahyo..!” Bulek yang ikut mencariku segera memeluku dengan erat.
“Bulek.. Cahyo ceritanya nanti aja ya , Cahyo capek mau pingsan dulu habis ini” Ucapku yang memang sudah benar-benar lelah.
“Makasi ya Cahyo..” Ucap Ani yang sekarang dibopong oleh Mas Gimin karena tidak kuat lagi berjalan.
“Iya sudah.. ga apa-apa, kalau kenapa-kenapa bilang Mas Cahyo aja ya, ga usah takut,” ucapku mencoba sedikit menghibur Ani di perjalanan pulang.
“Gaya kamu… bisa selamat dari sana aja udah syukur” Ucap bule sambil mengusap kepalaku.
Aku hanya bisa sedikit tertawa dengan sisa tenaga yang kupunya.
“Tapi Ani.. aku penasaran, pas kamu tidur tadi yang ngasi tau kalau kita ga boleh menunggu sampai pagi itu siapa?” Tanyaku penasaran.
“O.. itu, yang bilangin ke Ani tadi.. Paklek…
Paklek Bimo…”
Tepat lima tahun setelah aku berhasil lolos dari teror makhluk penunggu pabrik gula, kini paklek mengajaku untuk menghampiri tempat itu sekali lagi.
“Malam ini dia akan muncul lagi, kamu sudah siap?”
Paklek memastikan sekali lagi tentang kesiapanku menghadapi makhluk yang dulu menculik Ani temanku di desa.
“Iyo Paklek, kali ini nggak akan sama seperti dulu!”
Tepat setelah matahari terbenam suasana di tempat ini tidak lagi sama. Seolah seluruh kompleks pabrik gula telah berganti penghuni dan dipenuhi oleh roh-roh penasaran dan makhluk halus yang entah berasal darimana.
Tidak seperti malam yang lain. Saat malam-malam tertentu makhluk yang dikenal sebagai penguasa tempat ini muncul untuk meminta tumbal yang biasa ia terima saat pabrik ini masih beroperasi.
sayangnya walaupun sudah tidak beroperasi makhluk itu kerap menjebak anak-anak kecil yang tersesat di hutan untuk menjadi tumbalnya
Kemunculanya selalu ditandai dengan suara tangisan roh-roh anak kecil yang berkeliaran di dalam pabrik gula.
Persis dengan yang sedang terdengar saat ini.
“Dia datang, roh-roh bocah itu biar paklek yang nenangin.. kamu fokus sama makhluk itu”
Seketika aku menelan ludah. Walaupun sudah bersiap dan melatih diri wujud makhluk itu tetap membuatku merasa cukup gentar.
Bagaimana tidak, yang aku hadapi adalah makhluk pemakan tumbal yang telah ada sejak hampir ratusan tahun yang lalu. Tubuhnya seperti genderuwo dengan bekas borok hampir di setiap tubuhnya dan ukuranya saat berdiri sudah hampir menyamai tinggi pabrik gula ini.
“I—iya paklek, kalau aku nggak sanggup kita kabur ya!” ucapku.
“Jangan nyerah dulu, saat roh anak-anak korban tumbal itu mulai tenang dia tidak akan sebesar itu lagi” Balas paklek mencoba menyemangatiku.
Aku percaya dengan paklek dan segera berlari ke arah makhluk itu sebelum ia masuk ke pabrik gula. Kami harus bergegas karena kami tahu ada seorang anak lagi yang terjebak di sana.
“Kliwon!” teriaku memanggil kera kecil sahabatku yang segera menaiki pundakku.
Sebuah kekuatan aneh muncul dari tangan kecil kliwon dan ia menyalurkanya ke salah satu lenganku hingga sebuah kekuatan mengalir ke tanganku.
Dengan kekuatan yang ia pinjamkan aku memukulkanya pada salah satu kaki makhluk raksasa itu hingga ia terduduk.
Namun sepertinya seranganku tidak berarti banyak tapi setidaknya itu bisa mengalihkan perhatianya ke arahku sementara Paklek membacakan doa untuk menenangkan roh anak kecil yang menjadi tumbal.
Aku berlari ke arah hutan menghindari kejaranya dan bersembunyi dari pohon satu ke pohon lain. Sayangnya kekuatan besar makhluk itu mampu menumbangkan beberapa pohon sehingga dengan mudah bisa menemukanku.
Namun aku tidak khawatir, perlahan aku melihat tubuh makhluk itu semakin menyusut persis seperti ucapan paklek. sepertinya paklek telah berhasil menenangkan roh bocah-bocah itu.
Saat ini makhluk itu tidak lebih dari ukuran genderuwo, wewe gombel atau makhluk demit biasa namun wajahnya tetap menyeramkan dia melampiaskan amarahnya dengan suara erangan yang terdengar di seluruh penjuru hutan.
Tepat ketika makhluk itu ingin kembali ke pabrik aku menghadangnya. Tidak perlu kekuatan kliwon kali ini.
Paklek mengajarkanku ilmu kontak batin yang membuat setiap sentuhanku dapat dirasakan oleh makhluk halus.
Itu artinya ilmu beladiriku bisa berguna untuk melawan makhluk seperti ini.
Dengan segera aku menarik sarung yang kulipat di bahuku, dan melompat menutupi wajahnya. Saat itu juga aku menghujamkan setiap pukulan tepat di dada makhluk itu hingga beberapa kali terpental.
Makhluk itu mencoba melawan dengan cakarnya yang tajam namun aku menahanya dengan tendanganku dan sekali lagi membuatya terjatuh dengan pukulanku.
Aku mengakhiri pertempuran ini dengan membacakan amalan api untuk membakar makhluk yang telah menghabisi banyak nyawa manusia untuk menjadi tumbalnya itu.
“Paklek , bener kata paklek.. makhluk itu nggak ada apa-apanya”
Ucapku saat kembali ke pabrik gula dan melihat paklek yang telah keluar dari tempat itu.
“Jangan sombong kamu, ingat kekuatanmu itu hanya titipan..” Jelas paklek.
Aku tertawa sambil menggaruk kepalaku. Namun mataku tertuju pada sebuah anak kecil yang diselamat kan paklek.
“I—itu anaknya paklek”
“Iya, untung kita datang tepat waktu.. habis ini kita cari keluarganya”
Aku mencoba menghampirinya mencoba sedikit menghiburnya.
“sudah aman kok dek.. Namamu siapa? kita cari orang tuamu ya” tanyaku pada seorang bocah yang masih terisak menahan tangisnya.
“Namaku, Tari mas.. Indartari Sasena”
***
“Selamat bergabung para pendengar setia Radio tengah malam. Bagaimana kabar kalian? Semoga hujan gerimis nggak ngebuat kemalian bosan di rumah ya!
By the way , Kalian suka dengan urband legend? Kalau ia kalian pasti akan suka dengan cerita ini.
Cerita ini adalah kiriman seseorang yang tinggal di sebuah desa di jawa tengah. Narasumber kita kali ini bercerita tentang sebuah hutan terlarang yang ada di desanya. Sebuah hutan yang dilarang dimasuki oleh siapapun , termasuk kepala desanya sendiri.
Sebuah sungai mengalir di pinggir hutan itu. di situlah warga desa melihat keanehan-keanehan terus terjadi. Tak jarang mereka melihat sosok mengerikan dari dalam hutan itu.
Terkadang mereka melihat kuntilanak yang memandanginya sepanjang hari.
Kadang mereka juga mendengar suara sosok makhluk yang mengamuk dari hutan itu.
Menurut cerita warga desa yang sudah lama tinggal di sana,
dulunya hutan itu dijaga oleh sosok monyet kembar hingga suatu kejadian mengakibatkan monyet itu mati dan mahluk jahat di hutan itu terus mencoba untuk keluar.
Kini hutan itu dijaga oleh sebuah pusaka yang ditinggalkan oleh seseorang.
Benda itu membuat roh-roh di hutan itu tidak bisa keluar. Tapi itu seolah sama seperti sebuah bom waktu di mana semua roh yang ada di sana yang sebelumnya tenang, kini menjadi beringas karena terkurung selama bertahun-tahun.
Entah pusaka itu bisa menahan mereka sampai kapan. Yang pasti hingga sekarang hutan itu masih menjadi momok mengerikan bagi warga desa sekitarnya. Mereka menyebut hutan itu dengan nama.. Alas Wetan. “
Sebuah cerita yang sangat mengerikan. Aku membayangkan bila menjadi warga desa itu yang harus hidup berdampingan dengan sebuah hutan yang dipenuhi demit-demit jahat yang terbelenggu.
Tinggal berdampingan dengan pabrik gula tua saja sudah cukup membuat kami was was. Beruntung maakhluk halus di sana masih pasif dan tidak akan meninggalkan pabrik gula tanpa sebab. Lain dengan hutan itu yang dihuni oleh makhluk yang siap mengamuk kapan saja.
Tapi kisahnya tentang monyet kembar penjaga hutan itu membuatku sedikit tersenyum. Rupanya ada juga monyet lain yang sakti seperti Kliwon dan punya niat baik.
Aku menoleh ke atas langit-langit rumah ini. di sana lah Kliwon memilih tempatnya sendiri untuk tidur. Ia selalu tidur lebih cepat dan selalu bangun lebih cepat dariku.
Malah saat aku bangun kadang dia sudah membawa pisang dari kebun Bu Darmi yang memang selalu menyediakan sebagian pisangnya untuk kliwon.
…
Cahaya matahari mulai menerangi jendela kamarku. Aku segera membasuh mukaku dan mencari keberadaan kliwon yang tidak ada sejak pagi tadi.
“Bu Darmi! Kliwon di sini?” Teriakku saat sampai di kebun pisang Bu Darmi.
“Iya , itu lagi asik sarapan.. sana ikutan” Balasnya.
“Hehe.. Matur nuwun bu! Hari ini senyuman Bu Darmi tambah cantik”
“Dasar Panjul, besok-besok cari gombalan lain.. udah nggak mempan”
Aku segera berlari menghampiri kliwon dan ikut menikmati beberapa buah pisang yang sudah dikumpulkan olehnya.
Seperti biasa, setelah mengisi perut aku dan kliwon selalu balapan menuju sungai dan mandi seadanya di sana sebelum kembali ke rumah.
Namun saat sedang asik mandi aku melihat sebuah mobil yang berjalan menuju ke arah rumah paklek.
Sambil menikmati udara pagi aku menikmati perjalanan menuju rumah dan memang di sana paklek dan bulek sedang menerima tamu. Sepertinya mereka adalah keluarga yang menjemput Tari.
Aku mengintip dari jendela dan melihat mereka membawakan berbagai macam oleh oleh dan makanan kota yang jarang sekali kutemukan.
“Kliwon.. kayaknya habis ini kita makan enak” Ucapku.
Kliwon tertawa nyengir dengan memamerkan giginya seolah setuju denganku.
“Itu yang diplastikin namanya chiki… enak banget itu! tar itu jatahku ya” Ucapku pada kliwon namun sepertinya iya tidak setuju dan segera menerobos ke dalam rumah ke arah makanan itu.
“Heh Kliwon! Kuwi jatahku!” Teriaku yang menyusulnya dan kalah telak setelah melihat kliwon memeluk bungkusan makanan itu dan memanjat ke atas lemari.
“Ya ampun panjul! Kliwon! Yang sopan donk!” Ucap Bude dengan nada yang cukup marah.
“Hehe.. maaf ya bulek” Ucapku yang segera menunduk malu.
“Mas.. itu Mas Panjul, yang nolongin Tari Juga!” Ucap Tari yang mencoba mengenalkanku pada seseorang yang mungkin adalah kakaknya.
“Wah terima kasih ya Panjul.. Eh? Bener namanya Panjul?” Tanyanya yang merasa heran dengan namaku.
“Panjul nama kerenya aja.. nama asliku Cahyo mas” Balasku.
Belum sempat berbicara lebih panjang tiba-tiba Kliwon berteriak dan bertingkah sedikit aneh.
Ia melompat ke bawah dan bersiap menerjang orang itu.
“Kliwon! Jangan! “ Ucapku yang terlambat menahanya hingga kliwon sudah ada di atas kepala orang itu.
Entah apa yang terjadi, kliwon melompat menari kegirangan seolah bertemu dengan seseorang yang dikenalnya.
Paklek merasa sedikit heran dan memperhatikan kejadian itu dengan seksama.
“Monyet ini… jangan-jangan kamu?”
Kliwon duduk dengan tenang di pangkuanya sambil menatap orang itu seolah mengenang sesuatu.
“Iya! Ini aku! Linggar… Linggar Sasena!” Ucap orang itu.
Kliwon kembali melompat kegirangan dan aku hanya menatapnya dengan bingung. Tidak pernah Kliwon bertingkah segirang ini selain denganku.
“Mas Linggar kenal dengan Kliwon?” Tanya Paklek.
“Kalau ini memang dia.. tidak, ini pasti dia..” ucapnya Mas Lingar dengan matanya yang berkaca-kaca.
“Dia sudah dua kali menyelamatkan saya, saya kira dia sudah mati saat terbawa arus sungai”
Paklek menoleh kearahku yang masih terpaku melihat Kliwon begitu akrab dengan mas linggar.
“Benar mas linggar, panjul nemuin kliwon saat terbawa arus sungai.. ternyata kita terikat oleh takdir” Ucap Paklek.
“Mas.. apa yang terjadi sampai Kliwon bisa terluka separah itu”
Mendadak aku teringat saat-saat aku bertemu dengan kliwon yang sudah sekarat.
Mas Linggar menghela nafas seolah bersiap menceritakan sesuatu. Sebuah cerita saat dia menyelesaikan KKNnya di sebuah desa hingga terjebak oleh tipu daya dukun yang menyamar sebagai warga desa.
Disitulah ia ditolong oleh dua ekor kera yang menjaga hutan itu sebelum akhirnya temanya meninggalkan pusakanya untuk menghalangi demit di hutan itu agar tidak keluar.
Aku merasa pernah mendengar cerita ini.
Benar, ini persis seperti yang diceritakan Mas Ardian di Radio Tengah Malam.
“Mas Linggar, apa yang dimaksud itu.. Alas Wetan?” Tanyaku.
Mas linggar terlihat kaget dengan pertanyaanku .
“I—iya benar,” Ucap mas Linggar.
“Kamu tau hutan itu dari mana Jul?” Tanya paklek yang penasaran.
Aku mulai tersenyum.
“Jadi monyet kembar yang nyelamatin warga desa itu salah satunya bener kliwon?! Jadi Kliwon Monyet jagoan donk!” Ucapku senang mengetahui kenyataan itu.
Kliwonpun segera melompat ke bahuku mengangkat lenganya seolah memamerkan kekuatanya.
Aku tertawa tak henti-hentinya sementara semua orang di ruangan hanya mengelengkan kepalanya.
“Cahyo tau cerita itu dari mas Ardian waktu bacain cerita itu , cerita tentang hutan terlarang bernama alas wetan. Katanya ada pusaka yang melindungi hutan itu sampai sekarang”
Paklek mengangguk, sepertinya kebingunganya mulai terjawab.
“Iya, itu adalah pusaka sahabatku Linus. Tapi bukan hanya itu saja, saudara kembarnya Kliwon juga masih di sana menjaga hutan itu sedirian. Seandainya saja ada yang bisa menolongnya..” Ucap Mas Linggar.
Kliwon punya saudara kembar?
Aku berpikir dalam hati , entah mengapa semua kenyataan ini membuatku semangat padahal jelas saja sesuatu yang terjadi di hutan itu adalah halo yang mengerikan.
“Paklek, gimana kalau kita ke Alas Wetan? Kita tolongin warga di sana biar bisa hidup tenang..” Pintaku pada Paklek.
“Heh Panjul, kalo ngomong mbok yo dipikir dulu.. yang dihadapi di sana itu demit satu hutan!”
Tidak ada yang salah dari kata-kata paklek , tapi aku mempunyai lebih dari satu alasan untuk ke sana. Selain membantu warga desa, aku merasa harus menolong saudara kembar Kliwon.
Kali ini kliwon menatapku dengan wajah yang muram.
“Paklek, kira-kira kalau bukan kita? Siapa yang bisa nyelesain masalah ini? Kalau kata Mas Ardian di Radio.. Hutan itu seperti bom waktu. Kita tidak tahu sampai kapan pusaka itu bisa melindungi hutan itu”
“Sudah dek Cahyo, tidak usah memaksakan diri… bisa melihat Kliwon selamat saja saya senangnya minta ampun. Pasti nanti akan ada jalan untuk permasalahan ini.”
Sebenarnya aku melihat wajah paklek juga cukup resah.
Ia tidak akan pernah tenang saat mendengar seseorang atau malah satu desa menghadapi masalah yang berhubungan dengan makhluk ghaib.
“Mas Linggar , apa mas Linggar bisa mengantar kami ke sana?” Tanya Paklek tiba-tiba.
“B-bisa Paklek, tapi Paklek yakin?” Balas Mas Linggar.
“Kita lihat dulu keadaanya, seandainya diatas batas kemampuanku sebaiknya kita mencari bantuan lagi”
Kami semua mengerti, namun tetap saja terlihat wajah cemas di wajah Bulek.
“Tenang aja bulek, nanti Cahyo yang jagain Paklek” Ucapku berusaha menghiburnya.
“Halah gaya kamu.. Bulek cuma pesan kalian jangan memaksakan diri. Masalah yang kalian hadapi bukan hal remeh seperti sebelum-sebelumnya.”
Aku setuju dengan ucapan Bulek. Tepat setelah menerima restu dari bulek kami menyusun rencana untuk ke sebuah desa yang bernama Desa Ranggilawu yang tepat berbatasan dengan Alas Wetan.
***
“Linggar? Kamu Linggar kan?” Seorang pria paruh baya datang menyambut kami yang baru saja sampai di desa Ranggilawu menggunakan mobil milik mas Linggar.
“Iya Pak Damar.. sudah lama sekali ya” Balas Mas Linggar.
Sebuah reuni singkat terjadi di antara mereka sebelum akhirnya Mas Linggar mengenalkan kami dengan Pak Damar yang merupakan seorang kepala desa di tempat ini.
“Pak Damar ingat monyet kecil ini?” Tanya Mas Linggar.
Pak Damar memperhatikan kliwon yang berada di bahuku yang sedari tadi bersikap berbeda dari biasanya. Ia seolah berusaha mengingat sesuatu.
“Tidak, Tidak mungkin.. Dia salah satu monyet kembar yang menolong kita dulu?” Ucap pak damar dengan senyuman yang tak henti henti menghiasi wajahnya.
“Iya pak, Cahyo yang nolongin monyet ini saat terbawa arus.. dia dikasi nama Kliwon” Jelas Mas Linggar.
“Kliwon? Nama yang cocok untuk seekor kera pelindung hutan..” Balas Pak Damar.
Kami melanjutkan perbincangan kami dengan kisah saat Mas linggar melakukan KKN di desa ini.
Ia bercerita tentang seorang dukun bernama pak dirman yang menjadi pengikut Demit penguasa hutan yang ingin menjadikan Mas linggar , teman-temanya, dan warga desa sebagai tumbal.
Dukun itu menghasut warga desa untuk menyerang Kliwon dan saudara kembarnya yang bermaksud melindungi mereka dari demit itu. Sayangnya saat itu Kliwon menahan diri untuk tidak membunuh manusia sehingga kalah oleh dukun bernama pak dirman itu.
Linus sahaba Mas Linggar ternyata memiliki pusaka yang mampu melindungi seluruh warga desa hingga bisa melarikan diri dengan bantuan Kliwon. Namun pengorbanan harus terjadi..
Kliwon sekarat dan hampir mati dan akhirnya terseret arus sungai.Pusaka Linus harus ditinggal di hutan untuk mencegah demit itu keluar sementara saudara kembar Kliwon menahan demit itu dan ikut terkurung di hutan.
“Mas Linggar, lalu sahabat mas yang memiliki pusaka itu sekarang ada di mana?” Tanya Paklek.
“Dia akan datang nanti, saya sudah menghubunginya” Jawab Mas Linggar dengan cepat.
Belum sempat melanjutkan pembicaraan tiba-tiba terdengar suara teriakan dari luar rumah pak damar.
“Tolong!”
Kami segera keluar dan melihat bahwa Itu adalah suara wanita dengan tubuh yang penuh bekas luka berusaha melarikan diri dari sesuatu.
Kowe wis teko?
“i—Itu suara apa paklek?” Tanyaku yang mendengar suara tanpa wujud itu.
“Entah paklek belum tahu, yang penting kita tolong dulu wanita itu..” Balas Paklek.
...
"Waktumu ora suwe.. kekuatanku wis melemah"
...
“Pusaka Linus! Itu suara Pusaka Linus!” Teriak mas Linggar Namun paklek sudah berlari ke luar dan mencari keberadaan makhluk yang menyerang warga desa itu.
Paklek mencari ke arah hutan dan akhirnya menemukan sekumpulan makhluk kerdil yang penuh dengan bisul di tubuhnya. Mereka memiliki kuku-kuku yang tajam dan menyerang secara bersama –sama.
Sebelum seranganya menyentuh paklek, sebuah amalan pedang dibacakan untuk mengabisi setiap makhluk yang mendekati paklek.
Melihat kemampuan paklek makhluk –makhluk itu segera berlari kembali ke arah hutan yang dibatasi oleh sebuah sungai.
Kami mengejar mereka dan sampai di mulut hutan dan terhenti tepat dimana sebuah pelindung menyelimuti tempat ini.
Belum sempat berdiri cukup lama, aku dan paklek segera menyadari sosok-sosok yang memandang kami dari dalam hutan.
Gila! Tak jauh dari tempat kami berdiri sudah berkerumun puluhan pocong dengan kain kafan berwarna hitam seolah darah pekat sudah memenuhi tubuhnya.
Belum lagi sosok makhluk wanita kurus berambut pancang dan acak acakan menggantung terbalik di atas pohon dengan lebar mulutnya yang hampir sepanjang diameter wajahnya.
Dan di balik kengerian itu masih ada kekuatan besar yang menunggu kebebasanya dari kelamnya sisi hutan itu.
“I—itu pusaka Linus!” Ucap Mas Linggar sambil menunjuk ke arah sebuah benda yang tertusuk di tanah tepat di mulut hutan itu.
Sebuah batu berbentuk pisau yang sama sekali tidak terlihat kemewahanya sedikitpun.
Namun dengan jelas aku dan paklek merasakan seluruh perlindungan di hutan ini berasal dari benda ini.
“Kekuatanya sudah melemah, pantas saja makhluk kerdil itu bisa menemukan cara untuk keluar dari hutan itu” Ucap Paklek.
“Iya Paklek, sama satu lagi.. pusaka ini punya kesadaranya sendiri” Balas Mas Linggar.
Aku memperhatikan kliwon yang sibuk bolak balik di pinggir hutan sambil berteriak dengan rintihan yang belum pernah kudengar sebelumnya.
Sepertinya ia berusaha memanggil saudara kembarnya berada di hutan itu. Namun sama sekali tidak ada balasan dari sana. Bahkan tidak ada satupun kera yang membalas teriakanya.
Melihat hal itu Mas Linggar seperti merasa menyesal.
Dari ceritanya dialah yang menusukan pusaka itu sebelum saudara Kliwon sempat keluar karena melindunginya dari serangan demit penguasa hutan itu.
Aku.. aku tidak bisa melihat kliwon bertingkah seperti ini. Tapi aku juga tidak tahu apa yang harus kuperbuat.
Seketika aku merasa seperti melihat sebuah kilatan muncul dari sisi hutan namun sama sekali tidak ada suara gemuruh yang menyusulnya.
“Sepertinya terjadi sesuatu dengan pelindung ini” Ucap Paklek yang merasakan hal yang sama.
Benar saja tepat setelah kilatan itu , tiba-tiba dari sisi lain hutan ini muncul sosok hitam setinggi pohon dengan kaki dan tangan yang sangat panjang.
“De—demit opo kuwi!” Ucap Pak Damar yang terlihat ketakutan melihat sosok itu.
“Bagaimana makhluk itu bisa keluar” Tanya Linggar.
Paklek membacakan sebuah mantra yang menimbulkan api besar di tubuh demit itu. Sebuah mantra pembakar yang hanya membakar makhluk yang berasal dari alam lain.
Seketika makhluk itu mengurunkan niatnya dan kembali melarikan diri ke dalam hutan.
“Kilatan tadi menandakan mulai munculnya celah dari kekuatan pusaka ini, ini tidak akan lama lagi” Ucap Paklek Khawatir.
“Ta—tapi sampai kapan Paklek?” Tanya Pak Damar.
Paklek hanya menggeleng dan mencoba menyampaikan apa yang terbaik untuk warga desa.
“Pak Damar sebaiknya besok kita bersiap mengevakuasi warga desa, kita tidak akan tahu bencana apa yang akan datang” Perintah paklek.
“Tidak akan sempat”
Tiba-tiba muncul sebuah suara dari arah belakang kami yang berasal dari seorang pria yang sepertinya seumuran dengan mas linggar.
“Linus!” Ucap Mas Linggar. Rupanya dia adalah Linus, sahabat Mas Linggar sekaligus pemilik pusaka ini yang sebenarnya.
“Pusaka ini hanya bertahan sampai malam ini.. jika menunggu besok semua akan terlambat” Ucapnya.
Paklek terlihat panik.
“Lantas apa yang harus kami perbuat Mas Linus?” Tanya Paklek.
“Aku bisa sedikit memulihkan kekuatan pusaka ini dengan beberapa syarat yang kubawa, namun selama aku melakukan itu makhluk di hutan ini akan dengan bebas keluar masuk.. itu akan sangat berbahaya” Jelasnya.
Tidak.. itu terlalu beresiko. Sepertinya demit-demit di hutan ini sudah bersiap untuk mengamuk tepat saat pelindung ini hilang.
“Tidak ada pilihan lain.. “Ucap paklek.
“Aku akan berusaha menahan demit-demit yang keluar dari hutan ini dengan ilmuku! Lakukan secepatnya!”
Sontak aku menoleh pada paklek, ini adalah pertaruhan besar. Tapi di satu sisi kami tidak menemukan jalan lain.
Aku ingin meminta bantuan kliwon untuk membantuku melindungi hutan ini namun ia masih tak henti-hentinya mengelilingi pinggiran hutan dengan teriakan lirihnya.
Paklek melakukan sebuah mantra pemanggil dengan membacakan doa dan melakukan beberapa gerakan seperti mengumpulkan sebuah energi.
Samar-samar terbentuk sebuah api putih yang membesar dengan perlahan melayang membara di bawah kendali paklek.
“Geni baraloka? Apa sedarurat itu sampe harus menggunakan ilmu itu Paklek?” Tanyaku heran.
Paklek mengangguk.
“Api ini setidaknya bisa menahan niat jahat mereka dan menenangkan roh penasaran yang tengah mengamuk”
Tepat setelah api itu cukup membesar Mas Linus memberi isyarat dan kamipun mundur. Hanya paklek yang berdiri di belakang linus sementara linus berlutut melakukan ritual untuk mencabut pusaka itu.
“Jangan lengah”
Tiba-tiba suara linus berubah menjadi berat tepat saat ia menyentuh pusaka itu.
“Kekuatan mereka sudah berlipat-lipat semenjak aku mengurung mereka”
Jadi.. inilah suara dari pusaka yang memiliki kesadaran itu? Gila ternyata masih banyak misteri di alam ini yang tidak kumengerti.
Cahaya kilatan seperti tadi berulang berkali-kali tepat saat Linus membacakan doa dan mencabut pusaka miliknya.
Sontak hujan turun dengan deras bersahutan dengan sambaran petir seolah menandakan akan datangnya sebuah bencana besar.
Api paklek tidak padam oleh hujan ini , sebaliknya ia melebarkan apinya dan menunggu kedatangan demit-demit yang siap menerjang keluar hutan.
Angin bertiup kencang, petir saling menyambar dan hujan turun tanpa belas kasihan.
Namun tidak ada satupun makhluk yang keluar dari hutan itu.
Kami heran, entah ini hal baik atau hal buruk.
Linus tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan ini.
Ia mengambil perlengkapan dari tasnya mengeluarkan beberapa bunga dengan berbagai warna. Sebuah kendi tanah liat yang berisi air. dan segera mencari tempat teduh untuk menyalakan kemenyan yang ia bawa.
Sebuah ritual layaknya seorang sesepuh yang mencuci pusakanya dilakukan oleh linus. Ia menuangkan perlahan air dari kendi itu. Jelas aku tahu itu bukan air biasa.
Ini tidak akan cepat, pikirku.
Sebelum memutuskan bagaimana keadaan saat ini, tiba-tiba muncul sosok bayangan hitam besar setinggi pohon dengan tubuhnya yang besar berjalan ke arah kami.
Aku tidak melihatnya dengan jelas. Namun matanya terlihat menyala dari tengah kegelapan hutan.
Sebelum aku ia menampakan wujudnya. Makhluk itu berhenti dan mengeluarkan sebuah benda menyerupai bambu. Dan sialnya ia punya maksud brengsek dibalik tingkahnya itu.
Kepala seekor monyet, yang hampir persis mirip dengan kliwon tertusuk tepat di ujung bambu yang runcing itu.
darahnya sudah tidak menetes menandakan kepala itu sudah menancap di sana sejak lama.
Aku menoleh pada kliwon dan memang hal yang kutakutkan terjadi. Mata kliwon dipenuhi dengan amarah ia menggeram dengan taring yang mencuat dari mulutnya dan kekuatan besar muncul di sekitarnya.
“Kliwon Jangan!” Ucapku.
Terlambat, kliwon yang terbakar emosi segera melesat masuk ke dalam hutan mengejar sosok itu masuk ke kedalaman hutan.
Aku yang khawatir dengan kliwon spontan ikut berlari menuju kegelapan hutan itu.
“Panjul! Berhenti!” Teriak Paklek namun rasa khawatirku pada kliwon mengalahkan semuanya.
“Susul mereka! Saat pusakaku siap aku dan Linggar akan menyusul kalian!” Teriak Mas Linus yang samar-samar terdengar dari jauh.
Sebuah cahaya putih besar muncul dari arah belakangku. Sepertinya paklek meninggalkan geni baralokanya dan menyusulku ke dalam hutan ini.
Sayangnya aku terhenti di sebuat tempat di tengah hutan.
Sebuah tempat dengan ladang rumput mati yang luas dengan pohon-pohon yang terlihat hitam mengelilinginya.
Di sini.. ya, di sini. Semua makhluk yang pernah diceritakan oleh Mas Linggar dan warga desa berkumpul menyaksikanku berdiri di tengah-tengah mereka.
Pasukan pocong,
Makhluk kurus yang merayap seperti mayat hidup, wanita penuh darah yang bergantung terbalik di atas pohon. Semua memandangku dengan penuh amarah seolah ingin melampiaskan dendamnya.
(Bersambung…)
Terima kasih sudah membaca cerita ini sampai akhir.
mohon maaf apabila ada salah kata/typo/ bagian cerita yang menyinggung.
seperti biasa apa bila ingin baca kelanjutanya duluan atau sekedar mendukung bisa mampir ke karyakarsa ya:
sengaja update hari rabu karena besok ada agenda.. jadi besok jangan dicariin ya
Monyet Kembar Alas Wetan
#4 Wanasura
Maaf Banget, cerita ini baru bisa saya upload tengah malam atau besok. Karena ada schedule kejogja hari ini nyamperin orang2 hebat.
Mohon bersabar ya
Mereka adalah makhluk yang sudah terkurung di hutan ini selama bertahun-tahun bersama dengan sosok makhluk penguasa hutanyang sudah menghabiskan banyak nyawa yang ditumbalkan kepadanya.
“K—Kliwon… di mana kamu?” Ucapku dengan suara lemah mencari keberadaan sahabatku itu.
Sayangnya bukan Kliwon yang menjawab, melainkan sesosok demit wanita tanpa kaki yang bergelantungan di atas pohon.
“khekhekhe… bocah iki jatahku” Ucapnya yang dibantah oleh demit berwujud hitam yang merangkak di tanah dengan wajah polos tanpa bola mata di wajahnya.
“Ora iso.. kuwi jatahku”
Tak hanya dua makhluk mengerikan itu yang mendekat, sosok-sosok lainpun merasa sudah haus akan darah seolah sudah siap untuk menerkamku.
Tidak ada siapapun yang bisa menyelamatkanku dari situasi ini selain perlindungan Yang Maha Kuasa. Bahkan saat paklek menyusulku ke sinipun ia juga belum tentu bisa melawan mereka.
Lari…
Hanya itu yang bisa kupikirkan saat ini.
Tapi.. ke arah mana? Dan bagaimana cara agar aku bisa lolos dari mereka?
Tak henti-hentinya aku membacaan doa dan ayat-ayat suci untuk membangung perlindungan dari makhluk-makhluk ini.
beberapa dari mereka yang lemah seketika terbakar saat mendengar setiap doa yang kulantunkan. Namun itu masih jauh dari cukup, hingga akhirnya aku mendengar suara dari ujung barat hutan.
Suara menggeram seperti makhluk yang mengamuk membabi buta.
Mungkin itu makhluk yang ingin membunuh kliwon.
Seketika aku menerjang kumpulan demit ini dan berlari menuju arah suara itu bersama dengan demit-demit yang mengejarku.
Hampir di setiap sisi hutanpun sudah dipenuhi dengan makhluk serupa. Aku pikir aku akan tertangkap oleh mereka namun saat suara itu semakin besar , makhluk-makhluk itu tidak berani mendekat.
Sekuat itukah makhluk yang kami lawan?
Raksasa .. tidak, tidak sebesar raksasa namun tingginya yang hampir tiga kali manusia biasa sudah cukup membuatku gentar.
Terlebih warna tubuhnya yang hitam dan matanya yang merah menyala membuat makhluk yang mendekatinya menjadi gentar.
Tidak.. aku tidak punya kekuatan yang cukup untuk melawan makhluk ini dan keberadaan kliwonpun tidak ada disekitarku.
Aku bersiap untuk mundur, namun makhluk itu menyadari keberadaanku dan segera menangkapku dengan tanganya besar.
Tak mau pasrah aku membacakan mantra pembakar dan doa-doa untuk menyerangnya. Namun sayangnya itu tidak berarti apa-apa.
Tubuhku terangkat dengan lengan besarnya.
Saat ini dihadapanku terlihat sederetan gigi tajam dan taring yang besar tak jauh dari kedua matanya yang memerah penuh amarah.
“Paklek! Kliwon! Tolooong” Teriaku mengharapkan keajaiban datang menolongku namun sayangnya itu tidak terjadi.
Aku teringat akan korek pusaka yang ada di kantungku dan mencoba meraihnya tepat sebelum tubuhku masuk ke mulutnya.
Dengan segera aku menyalakan dengan tangan yang terhimpit oleh genggaman besar makhluk itu.
Sebuah cahaya kecil menyinari hutan ini dan membakar sebagian kecil jari di telapak tangan makhluk itu dan sontak membuat makhluk itu terlihat aneh.
Bukan, api ini tidak cukup untuk melukainya. Namun sepertinya kekuatan yang dimiliki dari api ini memberikan suatu efek pada makhluk itu.
Tapi itu tidak cukup untuk menolongku, aku selamat dari mulut makhluk itu namun tingkahnya yang aneh membuatku terbanting dengan keras di tanah dan saat itu semua menghitam bersama dengan hilangnya kesadaranku.
***
“Panjul! Bangun!”
Terdengar suara paklek yang mencoba memulihkan kesadaranku dengan kemampuanya.
“Apa yang terjadi?”
Aku membuka mata dengan keadaan tubuh yang lebih baik dari sebelumya dan terlihat paklek sedang menggenggam keris pusakanya.
“Paklek! Awas Paklek! Makhluk itu berbahaya!” Ucapku yang segera memaksakan diriku untuk berdiri dan memperingatkan paklek namun ternyata makhluk itu sudah tidak ada.
“Opo to Njul? Makhluk apa yang kamu lawan?” Tanya Paklek.
“U—udah nggak ada. Makhluk hitam besar itu sudah dikalahkan sama paklek?” balasku.
“Paklek nggak nemuin apa-apa di sini selain kamu dan korek api itu, dan yang paklek lawan juga hanya demit-demit alas biasa” jawabnya.
Aku tertegun dan melihat sekitar.
Lantas ke mana perginya makhluk itu? dan kenapa aku bisa selamat?
“Sudah kita kembali dulu , terlalu bahaya di tempat ini.. semua ini jauh dari kemampuan kita” Perintah paklek.
“Tapi Paklek, Kliwon belum ketemu..”
Mendengar ucapanku Paklek hanya menghela nafas, aku tahu paklek memikirkan keselamatanku. Tapi aku tidak bisa berhenti memikirkan kliwon..
“Maaf paklek..”
Ucapku yang segera berlari ke arah berlawanan dengan paklek dan masuk kembali ke sisi hutan lainya.
“Panjul ini masalah serius! Jangan main-main!” Teriak paklek yang mencoba mengejarku.
“Iyo Paklek.. Cahyo tahu, paklek kumpulkan kekuatan sama mas linggar .. biar kalau Cahyo kenapa-kenapa bisa nolongin lagi!” Balasku yang berlari lebih cepat dan meninggalkan paklek.
Aneh.. tidak seperti tadi. Kali ini demit-demit di hutan ini hanya memandangku dari jauh dan tidak mendekatiku.
Ada.. ada yang berani mendekat, tapi itu bukan demit. Mereka adalah sekumpulan monyet kecil yang berlari tak jauh di depanku.
Sayangnya.. tidak ada kliwon di antara mereka.
Tingkah laku mereka terlihat aneh seolah menuntunku ke arah sesuatu dan terhenti di sebuah pohon besar yang terlihat sangat tua.
“Bocah cilik?” (anak kecil)
Tiba tiba terdengar suara seseorang kakek yang terlihat lemah dari kegelapan sekitar pohon itu. Baju di tubuhnya terlihat compang camping seperti robek karena sesuatu dan terlihat bekas luka dari tubuhnya. Penamilanya seperti dukun yang lama tidak pernah keluar dari hutan ini.
“Aku ngenteni pirang tahun mung entok cah cilik?” (Aku menunggu bertahun-tahun hanya mendapatkan anak kecil?) Ucap orang itu.
“S-sopo kowe?” (Siapa kamu) tanyaku yang heran dengan sosok orang itu.
“Ndoro.. Piye ndoro? Mung bocah iki sing teko..” (Tuan bagaimana tuan? Hanya anak ni yang datang) Tiba-tiba orang itu berbicara dengan sosok di belakangnya.
Bukan.. itu bukan makhluk tadi, itu makhluk yang lebih mengerikan. Raksasa dengan wajah yang beringas dan mengenakan makhota emas hitam. Aku merasa makhluk ini seperti bukan dari Jaman ini.
Seketika makhluk itu merasuk ke dalam dukun itu dengan beringas. Raut wajah kesakitan terlihat dari orang itu saat tubuhnya membesar dan merobek kulit-kulitnya.
“Ampun.. ampun ndoro , tubuh kulo wis ra sanggup” (ampun tuan.. tubuh saya sudah tidak sanggup) Ucapnya, namun makhluk itu tidak menghiraukan hingga tubuhnya berubah menjadi monster seperti yang menantang kliwon di mulut hutan tadi.
Rasa takut menjalar lagi ke seluruh tubuhku.
namun sebuah benda terlempar ke arahku. Itu sebuah kacang.
Aku mencari asal benda itu yang sepertinya berasal dari atas pohon.
“K—Kliwon!” Ucapku senang saat melihat wujud temanku itu berada di atas pohon. Ia segera menoleh ke arah berlawanan dan memintaku mengikutinya.
Terlihat cukup banyak bekas luka di tubuhnya seolah telah melewati pertarungan sebelum ini.
“Hei! Tunggu!” aku mencoba mengikutinya namun makhluk itu berjalan tertatih mengejarku dan mulai memerintahkan demit-demit di sekitarnya untuk menyerangku.
“Kliwon! Kita lawan saja dia! Dengan bantuanmu mungkin kita bisa menang!” Teriakku namun ia terus berlari hingga sampai di sebuah sendang yang cukup besar. Dari gerak geriknya aku membaca maksud kliwon , ia bertujuan menjatuhkan makhluk itu ke dalam sendang ini.
“Aku mengerti, kalau Cuma menjatuhkan ke sendang itu harusnya bukan perkara sulit” Ucapku.
Setelah mendengar ucapanku, kliwon segera menaiki pundaku seperti biasa. Dari jarak dekat terlihat bekas luka di matanya hampir membuat salah satu matanya menjadi buta.
“Tenang saja kliwon, akan kita balas semua ini” Ucapku pada kliwon.
Ia berteriak memamerkan gigi-giginya yang tajam dan bersiap menerima serangan Dukun yang telah dirasuki demit raksasa hitam itu.
Dengan segera Kliwon melompat ke tanganku , menyalurkan tenaganya untuk memberikan kekuatan pada tanganku.
Kami beradu pukulan, namun sesuatu yang tidak kusangka terjadi.
Kekuatan kliwon tidak merasuk ke lenganku dan membuatku terpental hingga ke pinggir sendang.
“I—ini kenapa kliwon? Tidak seperti biasanya!” tanyaku, namun perangai kliwon juga terlihat bingung namun demit itu terus menyerangku.
“Kliwon selamatkan dirimu….” Ucapku sambil mundur dan memasukan kakiku ke sendang dengan air yang berwarna hitam itu.
Demit itu terpancing dan menerjangku, dan dengan sisa kekuatan yang kupunya aku menggunakan ilmu bela diri dan kontak batinku untuk menjatuhkan demit itu ke dalam sendang.
Anehnya saat demit itu memasuki kubangan air ini, kedalaman air menjadi bertambah semakin dalam seolah tidak memiliki dasar.
Demit itu mencengkramku hingga tidak dapat menyelamatkan diri.
Aku mulai kehabisan nafas sementara demit itu tidak bisa pergi dari sesuatu yang menariknya ke dalam sendang.
Tidak ada lagi yang dapat kupikirkan selain melepaskan sarungku agar mengambang sehingga mungkin paklek bisa menemukan jasadku nanti.
Sebelum sempat kehilangan kesadaran (lagi).. samar-samar aku melihat Kliwon dan beberapa temanya masuk ke dalam sendang ini dan berenang ke arahku.
***
Mimpi?
Berbagai macam makhluk seperti yang ada di cerita-cerita jaman dulu terlihat di depan mataku yang terkapar di sebuah hutan.
Silaunya cahaya matahari yang terpecah dari dedaunan memaksaku untuk melihat semua kejadian-kejadian yang tidak pernah kulihat sebelumnya.
Bagaimana tidak?
Apa kamu tidak terheran saat melihat seekor ular bertanduk melilit sebatang pohon dan bertarung melawan burung gagak bersayap enam?
Tak hanya sampai disitu segerombolan mahkhluk kerdil dengan mulut berlumuran darah dan membawa peralatan perang primitif saling bunuh dengan berbagai makhluk yang ada di hutan ini.
Sudah jelas ini mimpi… lebih baik aku tidur lagi agar tersadar dan bisa bangun pagi untuk menikmati pisang di kebun Bu Darmi.
…
Cukup lama sampai mataku kembali terbuka , kini salah satu wajah makhluk kerdil itu berada tepat di hadapan mataku dengan memamerkan kudis yang memenuhi seluruh wajahnya dan taringnya yang masih berlumuran darah.
Spontan aku kaget dan berniat meninggalkan tempat itu, tapi ternyata tidak semudah itu. segerombolan makhluk kerdil sudah mengelilingiku seperti bersiap menyerangku.
“Sopo kowe?” (Siapa kalian) Tanyaku.
Sayangnya mereka tidak menjawab seolah memang tidak mengerti dengan bahasaku.
Tak ada pilihan lain selain melindungi diriku dari serangan makhluk-makhluk haus darah ini.
Satu demi satu ilmu bela diriku mampu melumpuhkan mereka.
Ternyata mereka tidak begitu kuat, namun jumlahnya yang banyak dan kecerdikanya cukup membuatku kerepotan sampai akhirnya aku berhasil melarikan diri menjauh dari mereka.
Sayangnya, hampir di seluruh bagian hutan ini terdapat pertempuran mengerikan antar makhluk ghaib yang bahkan belum pernah kulihat sebelumnya.
Ini di mana?
…
“Ketemu!”
Terdengar suara menggeram dari sudut hutan ini. ini adalah suara dari dukun yang tadi dirasuki oleh sosok hitam itu.
Sebuah pukulan membuatku terpental hingga memuntahan darah dan terpojok di sebuah pohon besar.
Itu dukun dan makhluk tadi. Makhluk itu tidak merasuk di tubuh dukun itu lagi. di sini ia memiliki wujud yang lebih nyata dan bisa dengan bebas menyerangku.
“Hentikan!” Teriakku.
“Bocah bodoh, kalaupun kamu mati kamu tidak akan bisa pergi dari tempat ini!” jawab dukun yang berada di genggaman makhluk besar itu.
“Ini adalah hutan tempat asalah tuanku, Ndoro Jogorawu.. Kamu harus mati karena telah mengembalikanya ke tempat laknat ini” Ucap Dukun itu dengan sombong.
Namun sebenarnya dukun itu hanya dipermainkan di genggaman makhluk bernama Jogorawu itu seperti sebuah boneka rusak dengan tubuh yang berlumuran darah.
“ora usah ngurusi aku, nggak lama lagi kamu bakal mati dengan luka sebanyak itu” Ucapku yang setengah kasihan denganya.
“Berisik!” Teriaknya dengan mata sinis ke arahku dan berpaling ke arah makhluk mengerikan itu.
“Ndoro.. saya tidak mengeluh, bocah ini hanya mengada-ada. Ndoro pasti masih membutuhkan saya… ”
Ucapnya memohon kepada makhluk hitam itu sayangnya raut wajahnya sangat tidak senang hingga ia membanting berkali kali tubuh dukun itu ke tanah hingga akhirnya dukun itu kehilangan nyawanya.
Sungguh sebuah pemandangan yang mengerikan.
Apalagi setelahnya makhluk itu menoleh ke arahku seolah mengatakan berikutnya adalah giliranku.
Sekuat tenaga aku mencoba berlari ,
namun tetap saja aku menemui pertempuran lain di sudut hutan ini dengan makhluk yang tidak kalah mengerikan dari yang dukun itu panggil dengan nama Jogorawu itu.
Sepertinya hukum rimba berlaku di tempat ini.. siapa yang kuatlah yang bertahan hidup.
Aku menyadari hal itu dan segera berhenti membentuk kuda-kuda untuk melawan Jogorawu dan siapapun yang mendekatiku. Aku tidak akan mati semudah itu.
Sebuah pukulan dari Jogorawu mencoba menhempaskanku lagi namun kali ini aku lebih sigap dan menghindari seranganya.
Sialnya sebuah bola api sudah menunggu di belakangku dan bersiap menyerangku.
Sementara aku menghindarinya, sosok siluman ular sudah mengincarku dari ketinggian pohon hutan ini.
Arrrrrgghh!!! Tempat apa ini? Neraka kah? Namun mengapa tidak seperti yang di gambarkan di semua kitab.
Entah berapa lama aku berlari, bertarung, dan mencoba bertahan hidup dari semua makhluk di tempat ini hingga salah satu tendangan mengenaiku dengan telak.
Aku berdiri dan mencoba membalas, namun aku terhenti saat tersadar bahwa serangan itu berasal dari manusia tepatnya seorang anak manusia.
“Heh! Kamu manusia kan? “ Ucapku.
Namun bukanya jawaban melainkan Serangan demi serangan darinya meluncur ke arahku, sebenarnya bukan ke arahku saja tapi ke semua makhluk yang ada di tempat ini.
“Berhenti! “ Ucapku pada anak berbaju kuno yang cukup primitif menurutku.
Namun bukanya jawaban tapi malah serangan lagi yang anak itu berikan kepadaku.
“Dasar bocah demit!” Teriaku sambil mencoba membalas seranganya dan mendaratkan tendanganku di kepala.
Bukanya kesakitan, anak itu malah tersenyum dan memamerkan matanya yang memutih sepenuhnya.
Dia.. tidak bisa mengendalikan dirinya.
Percuma, aku tidak bisa berharap pada bocah ini dan segera pergi. Namun seperti bocah itu masih berusaha membalas tendanganku dan mengejarku hingga mendaratkan sebuah tendangan yang membuatku tersungkur.
Bertubi-tubi pukulanya menghujam tubuhku hingga tak mampu untuk membalas namun sebelum pukulan terakhirnya mencapai tubuhku sesosok makhluk menerjang dan menghentikanya.
“Hentikan! Dia manusia sama sepertimu!” Ucap makkhluk seukuran manusia yang lebih mirip dengan ras kera.
Namun bocah yang mengamuk itu masih terus mencoba menyerangku sementara makhluk itu mencoba mengembalikan kesadaran bocah itu.
Cukup lama, namun akhirnya bocah itu mendapatkan kesadaranya kembali dan terduduk tak berdaya.
“Kenapa manusia sepertimu ada di tempat seperti ini?” Ucap makhluk itu. Sepertinya dia satu-satunya makhluk di hutan ini yang bisa berbicara bahasa manusia.
“Ti—tidak tahu! Kalian siapa? Mereka Siapa?” Tanyaku.
“Arrgh sudah… kita cari tempat persembunyian dulu, akan kujelaskan nanti!”
Makhluk dari bangsa kera itu menggendong bocah itu dan membawa kami ke sebuah goa batu yang letaknya tidak cukup jauh dari tempat kami bertarung.
Hanya meja batu dan sebuah penerangan dari lampu minyak yang ada di tempat ini.
“Manusia memanggilku Giridaru.. Bangsa Kera dari alas wetan, Siapa kamu? Dan siapa yang ada di dalam diri kamu itu?” Tanya Makhuk yang mengaku bernama Giridaru itu.
“Aku Cahyo.. maksudmu tentang yang ada di dalam tubuh saya itu apa?” Tanyaku heran.
Makhluk itu menghela nafas panjang sambil menyiapkan air untuk bocah yang belum sadar itu.
“Kau pikir bisa bertahan dari serangan makhluk di hutan ini karena apa? “ Ucap Giridaru.
“Karena ini mimpi kan?” Balasku Polos.
“Mimpi ndasmu! Sudah babak belur begitu masih berani bilang ini mimpi?”
Aku tahu ini bukan mimpi, tapi aku tidak bisa menjelaskan soal semua ini.
“Tapi aku baru tahu lho, kalau bangsa kera ada yang bisa bahasa jawa..” Tanyaku.
“itulah kelebihanku sebagai telik sandi, ilmu yang kumiliki mampu membuatku berkomunikasi dengan segala makhluk.. nanti kubantu agar bisa bicara dengan bocah ini”Balasnya sambil memberikanku ramuan yang katanya bisa memulihkan tubuhku dan membantuku menggunakan sedikit ilmunya.
Aku beristirahat sejenak di tempat persembunyian yang cukup aman ini walaupun hanya sedikit udara yang bisa masuk ke celah goa batu ini.
“Jogorawu… Kamu tahu soal makhluk itu?” tanyaku pada Giridaru saat teringat sosok makhluk yang membuatku tersesat di tempat ini.
Paras Giridaru berubah, dia segera menghentikan kegiatanya dan menghampiriku.
“Dia Raksasa kera terkutuk yang memporak porandakan kerajaan bangsa kera di alas wetan, namun dia sudah menghilang bertahun-tahun yang lalu”
Aku mendengar cerita Giridaru baik-baik.
“Makhluk itu yang menyebabkanku tersesat di hutan ini” Balasku.
“M—maksudmu Jogorawu berada di hutan ini?”
Aku mengangguk.
“Dia menguasai hutan di alam tempatku tinggal dan sudah memakan banyak tumbal, namun sebelum mengakibatkan lebih banyak korban.
Aku dan teman-temanku berusaha menghentikanya dengan menenggelamkanya di sebuah sendang bersama dengan tubuhku. dan akhirnya aku sampai di sini”
Terlihat wajah khawatir di wajah Giridaru.
Namun sebelum menjawab terdengar suara dentuman keras dari tubuh goa ini seolah ada sesuatu yang menyerangnya.
“Sial.. sepertinya ada makhluk yang bisa mengikuti kita” Ucapnya.
Giridaru menengok ke arah bocah itu “Dia Juga belum sadar”
“Kita lawan saja..” Ucapku Polos.
“Ilmumu tidak seberapa di tempat ini, dan aku bukan kera petarung.. sulit untuk melawan bahkan salah satu makhluk di hutan ini” Balasnya.
Kekuatan yang menyerang tempat ini semakin besar hingga membuat tempat ini mulai runtuh.
“Kita Keluar sekarang! Lebih baik mati melawan mereka daripada terkubur di sini” Ucapku yang segera berlari ke arah pintu keluar.
Ternyata sosok raksasa mengerikan sudah menanti di hadapan kami.
“Nggak jadi, kita ngumpet aja!” Jawabku kembali ke dalam gua yang disambut dengan pukulan di kepala oleh Giridaru.
“Kan sudah aku bilang… kita tunggu bocah ini sadar”
Walaupun begitu akut tahu goa ini juga tidak dapat bertahan lebih lama.
“Seandainya ada Kliwon di tempat ini,mungkin aku bisa melawan mereka..” ucapku dalam cemas.
“Siapa Kliwon?”
“Kera kecil sahabatku, dia bisa meminjamkan kekuatanya ke tubuhku”
Mendengar ucapanku Giridaru mendekat dan mengendus tubuhku.
ia menemukan beberapa helai rambut bulu halus milik kliwon.
“A—Aku tau bau ini! Ini bulu milik wujud raga Wanasudra! Di mana dia sekarang?” Tanya Giridaru.
“Wanasudra? Siapa dia? Itu bulu milik kliwon” Jawabku.
“Yang mampu mengimbangi kekuatan Jogorawu adalah kedua panglima monyet kembar dari kerajaan di sisi ghaib hutan ini.. Wanasura dan Wanasudra, ia menghilang bersama Jogorawu untuk menghentikanya”
“Sebentar-sebentar… lha kok malah mumet”
Aku berfikir sejenak , Kliwon pernah menceritakan bahwa dia berasal dari hutan yang bernama wanamarta saat pementasan wayang di desa kandimaya. Apa itu adalah sisi ghaib hutan ini?
“Apa sisi ghaib hutan ini bernama hutan wanamarta?” Tanyaku.
“Bangsa manusia menyebutnya seperti itu “Jawab Giridaru.
Berarti benar yang dimaksud Giridaru. Wanasudra adalah Kliwon , dan Wanasura adalah saudara kembar kliwon yang dibunuh oleh Jogorawu.
“Kita harus cari kliwon! Maksudku Wanasudra! Seharusnya dia ada di hutan ini.. dia menyusulku ke dalam sendang sebelum tersesat di tempat ini..” ucapku.
Akhirnya aku menemukan tujuan di hutan ini. setidaknya aku harus mencari kliwon dulu.
“Lalu bagaimana dengn Wanasura? Apa dia juga ada di hutan ini?” Tanya Giridaru.
Aku terdiam sejenak, apa aku harus menceritakan tentang kematian Wanasura?
Tepat setelah serangan raksasa itu menggetarkan goa ini lagi. Bocah itu terbangun. Matanya tidak memutih seperti tadi.
Brakk!!!
Sebuah tendangan dari bocah itu membuatku terpental ke dinding.
“Giridaru, dia kumat lagi!” Ucapku.
“Itu balasan karena sudah memanggilku Bocah Demit!” Ucapnya yang segera melangkah keluar.
Giridaru hanya tertawa saat melihat kejadian itu.
“Saat dia dikuasai ilmunya ia akan kehilangan kesadaran.. tapi saat ini dia dalam keadaan sadar”
Melewati celah kecil di sisi hutan kami merangkak keluar dengan menyembunyikan keberadaan kami. Namun tetap saja makhluk itu bisa menemukan kami dengan mudah.
Bocah berambut panjang itu segera melompat dari satu dahan ke dahan lain dan menyerang raksasa yang mencoba merusak tempat persembunyian kami.
“Giridaru, dia beneran manusia atau demit? Kenapa bisa selincah itu?” Tanyaku.
…
Sebuah cerita yang cukup panjang di ceritakan oleh Giridaru mengenai sebuah retakan Dimensi yang menyebabkan makhluk-makhluk ini bermunculan di hutan ini.
Bocah ini adalah manusia dari salah satu suku asli di hutan ini yang telah habis dibantai oleh makhluk dari retakan dimensi itu. tapi retakan dimensi itu juga memberikan kekuatan mengerikan untuk bocah itu yang mampu merebut kesadaranya.
“ beruntung ilmu dari sukunya mampu menahan kekuatan dari alam itu dan mempertahanan kesadaran manusianya..”
Mendengar cerita Giridaru aku jadi teringat kejadian saat keluarga dan seluruh penduduk desaku dihabisi oleh makhluk yang menyamar sebagai kelompok ludruk.
Yang menimpanya mungkin lebih parah dari yang kualami.
“Giridaru , aku akan membantu dia..” Ucapku yang segera membaca ajian penguat raga dan menerjang beberapa raksasa di sana.
Ternyata dengan bantuan bocah ini aku bisa menangani makhluk-makhluk ini dengan cukup mudah.
Aku hanya perlu mengalihkan seranganya dan bocah itu yang melumpuhkanya.
Tapi samar-samar aku merasakan sesuatu yang mulai memberontak di dalam tubuhku. mungkin inilah yang dimaksud oleh Giridaru.
Pertarungan ini cukup sengit, kami harus mencari celah untuk melarikan diri lagi. Namun sayangnya tidak semudah itu.
Brakk!!
Tiba-tiba Bocah itu terpental.
Tidak seperti makhluk-makhluk tadi , sosok makhluk menghampiri kami dengan pasukan besar berwarna hitam yang dipimpin oleh sosok jahat yang kukenal.. Jogorawu.
Giridaru menariku dan membawa bocah itu pergi menjauh.
Sayangnya di sekitar kami sudah terkepung oleh pasukan raksasa hitam dari berbagai ukuran.
“Giridaru! Kita harus apa?” Tanyaku yang mulai merasa putus asa melihat keberadaan makhluk yang mengepung kami.
Sayangnya Giridaru masih terdiam.
“Aku harus menggunakan ajian itu lagi..
mungkin kita bisa selamat” Ucap bocah itu tiba-tiba.
Giridaru menahan bocah itu dan masih befikir sermbari menatap wajah Jogorawu dengan tatapan yang mengancam.
“Sepertinya aku tahu mengapa ia mengincarmu” Ucap Giridaru.
“Maksudmu apa?” Tanyaku.
“Ia mengincar sesuatu yang ada di dalam dirimu, dan jika itu benar mungkin saja itu bisa menolong kita” Jawabnya.
Aku tidak mengerti dengan ucapanya. Sejak aku kecil tidak ada apapun yang aneh di dalam tubuhku. Paklek juga sudah sempat menerawang.
“Berdiri di hadapanku, biar kubantu untuk melepaskanya” Ucapnya.
Aku tidak bisa menolak, tidak ada cara lain yang dapat kupikirkan untuk menghentikan semua ini.
Dengan lipatan jarinya beberapa ia menekan titik-titik di tubuhku dan menyalurkan tenaga berwarna hitam yang membuatku terasa panas.
Sesuatu mulai memberontak, namun itu tidak lama. Hingga sesosok makhluk keluar dari tubuhku.
Seekor kera raksasa dengan warna putih yang mendominasi sebagian bulunya dan hampir sama dengan Jogorawu, mahkota dan beberapa benda berukiran kerajaan menghiasi dadanya.
Wajah Giridaru terlihat tersenyum dan segera menghampiri makhluk itu.
“Lama tak berjumpa… Wanasura!” ucapnya.
Samar-samar aku mengingat sosok hitam yang hampir memakanku di alas wetan sebelum aku kehilangan kesadaran.
Jangan-jangan makhluk itu tidak menghilang?
Apa makhluk itu adalah Roh Wanasura yang kehilangan kendali dengan pengaruh hutan itu dan akhirnya merasuk ke dalam tubuhku?
Aku hanya bisa menduga-duga.
Makhluk yang bernama Wanasura itu segera mengangkat tubuhku dan meletakanku di bahunya.
“Kliwon?” Tanyaku.
Makhluk itu menggeleng. Namun ia tersenyum dengan giginya yang besar seolah memberikan jawaban.
Senyumnya mirip sekali seperti kliwon.
“Wanasura dan Wanasudra saling terhubung… itulah sebabnya ia mengenalmu dengan baik” Jelas Giridaru.
Ditengah kebingunganku sesosok raksasa hitam suruhan Jogorawu menyerangku , namun hanya dengan sekali libasan tangan wanasura makhluk itu terhempas tak berdaya.
“Gila! Kekuatan kliwon aja gak sekuat itu” Ucapku.
“Bodoh.. berarti kamu belum lihat wujud fisik temanmu itu” Ucap Giridaru.
Entah mengapa aku menjadi semangat. Sepertinya kekuatan penguat ragaku akan dapat membantu wanasura dan mengimbangi Jogorawu.
“Bocah gondrong.. Aku akan menghadapi Jogorawu! Tolong bantu aku menyingkirkan anak buahya” Ucapku pada bocah itu.
***
(Bersambung – Part Terakhir)
Pengalaman ghaib seseorang saat mendapatkan kesaktianya kadang sulit dijelaskan dengan akal sehat.
Kadang saking mustahilnya hal itu hanya dianggap sebagai mimpi atau bunga tidur semata.
tapi setidaknya kisahnya cukup menarik untuk di simak.
Terima kasih sudah mengikuti part ini hinggal selesai.
Sisa 1 part lagi yang akan di upload hari sabtu tanggal 11 Desember.
Malam jumat akan kita selingi dengan kisah dari pembaca dulu ya.
Sekumpulan kera dari seluruh penjuru alas wetan berlarian serentak menuju satu arah.
Entah ada yang memerintahkanya untuk berlari ke arah itu, atau memang insting mereka yang membuat mereka menuju suatu tempat secara bersamaan.
“Paklek, gimana? Panjul udah ketemu?” Tanya Linggar yang baru saja berhasil menyusul Paklek ke dalam hutan.
Paklek menggeleng sambil menghela nafas.
“Bocah itu terlalu gegabah, saya berhasil menemukan panjul tadi.. dia pingsan dan saya berhasil menyadarkanya,
tapi bocah bedul itu malah nekat pergi lagi ke dalam hutan” Jelas Paklek.
Perlhan dari belakang hutan terlihat Linus bejalan dengan cara yang aneh, sorot matanya mendadak berubah lebih tajam.
“Kekuatan makhluk itu sudah menghilang dari hutan ini, sesuatu sudah terjadi..”
Ucap Linus dengan suara yang jauh berbeda dari yang sebelumnya mereka dengar.
Paklek merasa heran dengan gerak-gerik Linus, “Mas Linggar , itu..?” Tanya paklek.
Linggar mengangguk mengiyakan perkiraan paklek.
“Itu adalah kesadaran dari pusaka batu berbentuk pisau milik linus Paklek.. “ Jelasnya.
Paklek mengerti dan mencoba menghampirinya,
“Mbah,mbah tahu ke mana makhluk itu menghilang, pa mbah tahu keberadaan panjul?” Tanya paklek.
“Aku sudah menjaga hutan ini bertahun-tahun , jelas aku mengetahui saat kekuatan gelap makhluk penguasa alas wetan itu menghilang. Ikuti saja monyet-monyet itu!” Ucapnya.
“Panjul? Kalau keberadaan panjul?” Tanya paklek, namun sayangnya Linus berhasil mendapatkan kesadaranya kembali sebelum menjawab pertanyaan Paklek.
...
“Maaf Paklek, kekuatan pusakaku ini masih belum pulih sepenuhnya” Jelas Linus.
“Sudah tidak apa-apa, pilihan terbaik adalah kita harus menerobos hutan ini lebih dalam dan mencari tahu ke mana arah monyet-monyet ini pergi.” Ucap paklek.
Linggar dan Linus setuju dan segera berlari mengikuti gerombolan monyet itu.
…
Pengejaran mereka bertiga terhenti di sebuah sendang hitam di tengah hutan yang disinari oleh cahaya bulan.
Namun batu dan akar-akar pohon tua membuat sendang itu terlihat kecil. Apalagi saat seluruh rombongan kera berdiri terpaku di sekitar sendang itu.
Sayangnya tak hanya gerombolan kera itu yang ada di sana, tapi keberadaan pasukan pocong berkain kafan hitam sudah menanti kami di sana.
Tidak seperti pocong pada umumnya, makhluk itu melayang-layang di atas sendang kecil itu dan mulai mendekat mengelilingi kami.
“Mas linggar, mundur!” Ucap Paklek yang segera membacakan sebuah mantra yang menciptakan api tepat di sekitar tubuh pocong itu.
Linus yang dirasuki pusakanya mendekat, seolah mengetahui ilmu itu.
“Amalan api… itu mirip dengan ilmu yang digunakan dukun budak setan itu” Kembali suara Linus berubah dan segera menerjang pocong hitam yang melayang-layang mengitari kami di atas sendang itu.
Paklek terlihat bingung, api paklek tidak mempan terhadap pocong hitam itu. padahal biasanya api itu bisa menenangkan arwah penasaran.
“Jangan kaget, mereka pocong liar… bukan yang bangkit dari jasad manusia. Mereka bukanlah roh penasaran, melainkan bangsa pocong sakti salah satu dari ras demit” Jelas pusaka yang memasuki tubuh Linus.
Angin semilir pangurip geni…
Terdengar suara berat dari mulut Linus mengucapkan mantra yang membuat api-api Paklek memerah tua dan membakar makhluk-makhluk itu.
Mereka terlihat kesakitan hingga mereka memutuskan untuk menghilang dari pandangan kami.
Merasa sudah aman, Linggar mendekat dan memperhatikan sendang di hadapan mereka.
“I—itu tempat apa paklek?” Tanya Linggar yang melihat kubangan air kecil yang tidak pernah mereka sangka ada di sana.
“Heh! Kalian yang pernah ke sini… kenapa malah tanya ke saya?” jawab paklek yang memperhatikan monyet itu satu persatu. Mungkin, ia mencari keberadaan Kliwon di sana.
Linggar menggaruk-garuk kepalanya sementara Linus sudah kembali ke kesadaranya.
“Ya.. omongan paklek sih bener Gar. Harusnya kita lebih tahu..” Jelas Linus.
…
“Sendang godong ireng… wis ratusan tahun sendang iki ra tau keentekan banyu”
(sendang daun hitam.. sudah ratusan tahun sendang ini tidak pernah kehabisan air)
Ucap Linus yang segera kembali dalam pengaruh pusakanya.
“Enek kekuatan seko alam liane sing nggawe sendang iki terus urip…”
(ada kekuatan dari alam lain yang membuat sendang ini tetap hidup) Jelasnya lagi.
“Terus mbah, opo hubungane ilange panjul karo sendang iki?”
(Terus mbah, apa hubunganya hilangnya panjul dengan sendang ini?) Tanya Linggar.
Paklek mendekat ke sendang dan melihat sesuatu ayng mencurigakan,
“Ada … ada mas linggar, itu sarung Panjul!” Jawab paklek sebelum pusaka itu menjawab lagi.
Dengan segera paklek berlari mengambil sarung yang mengambang di sendang kecil itu dan membawanya ke hadapan linus dan linggar.
“Ini sarung panjul.. apa maksud mbah sendang itu menghubungkan alam ini dengan alam lain?” Tanya Paklek.
Linus mengangguk mengiyakan.
Sepertinya keputusan dengan mudah disepakati oleh mereka. mereka harus mencari tau dasar sendang ini dengan salah satu dari mereka menyelam ke dalam sendang itu.
..
“Bodoh, Bila kalian ikut terbawa ke tempat itu belum tentu kalian bisa kembali” Sekali lagi suara dari sosok pusaka itu terdengar dari tubuh Linus.
“Lalu apa yang harus kami perbuat mbah?” Tanya Linggar.
“Aku bisa menembus alam itu , namun untuk kembali harus ada yang memiliki kemampuan untuk mengukirkan jalurnya”
Paklek berpikir sejenak mencoba mencari kemungkinan yang bisa ia lakukan.
“Apa ilmu ragasukmaku berguna mbah?
Bila aku menempelkan sebagian sukmaku pada ukiran tubuh pusaka mbah.. mungkin itu bisa membawa mbah dan panjul kembali saat aku menarik kembali sukmaku” Tanya paklek.
“Memang itu yang kumaksud, tapi selama kepergian kita, gunakan ajian apimu lagi untuk melindungi mereka berdua,” Perintah sosok di tubuh Linus itu.
Dengan segera Paklek membaca sebuah mantra, memutarkan tanganya untuk mengendalikan api kecil yang muncul di tanganya sebelum akhirnya membesar dan membara di tengah hutan ini.
“Ini adalah geni baraloka, api putih yang mampu melenyapkan niat jahat roh di sekitar alian. Gunakan untuk melawan makhluk apapun yang muncul” Ucap Paklek yang segera membentuk posisi meditasi dan berkonsentrasi membagi sukmanya.
“Tu—tunggu paklek! Bagaimana cara kami menggunakan api ini?” Tanya Linggar dengan wajah yang panik dan juga Linus yang kesadaranya sudah kembali.
tanpa tahu harus berbuat apa tak lama kemudian terdengar suara makhluk yang mengaum dengan sangat keras hingga ke seluruh penjuru hutan.
suara itu dibarengi dengan suara langkah kaki yang besar terdengar mendekat dengan cepat ke arah mereka.
***
Angin berhembus begitu kencang di gelapnya hutan yang hampir tidak dapat dibedakan mana siang dan mana malam. Semua terlihat sangat samar di tempat ini.
Jogorawu… itu adalah nama sosok makhluk yang sedang kami hadapi saat ini.
ia mengepung kami bersama dengan pasukan raksasa hitam yang sedari tadi menyerang kami.
“Ayo Wanasura… kita serang demit Jogorawu itu! biar demit-demit lain lain menjadi urusan bocah gondrong itu!” Ucapku.
Wanasura tersenyum dan mengaum sekuat tenaga. Dengan segera ia memukulkan lenganya ke tanah dan menerjang Jogorawu yang sudah bersiap menerima seranganya.
Tepat saat akan mencapai tubuh Jogorawu, Wanasura melompat dan…
Melarikan diri…
Dia segera berlari ke sisi gelap hutan yang berada tak jauh dari posisi Jogorawu berada.
“Wanasura! Kamu ngapain? Musuhmu di sana itu lho!” Ucapku.
Sayangnya Wanasura hanya tersenyum dengan memamerkan giginya seolah memang sudah berniat melakukan itu sedari awal.
Awalnya aku khawatir dengan Giridaru dan Bocah Gondrong itu , namun saat melihat Jogorawu mengejar kami aku merasa sedikit lega.
Aku berpegangan erat saat Wanasura berlari hampir tak beraturan ke berbagai penjuru hutan.
tapi ternyata hal yang tidak kusangka terjadi..
Kami muncul di sisi hutan di mana punggung Jogorawu terlihat dengan jelas, dan dengan segera Wanasura menyerangnya dengan memukulnya sekuat tenaga hingga terpental dan kembali melarikan diri ke sisi hutan lain.
Beberapa saat kemudian Kami muncul lagi di sisi samping Jogorawu dan Wanasura kembali menyerangnya.
Rupanya ini adalah strategi bertarung Wanasura.
“Haha.. kamu cerdik juga! “ Ucapku kagum.
Namun strategi itu tidak bertahan lama, kali ini beberapa kalipun Wanasura memutari hutan ia tidak menemukan kembali sosok Jogorawu.
Itu membuat kami kebingungan. Hingga sebuah sapuan besar meluluh lantahkan puluhan pohon dalam sekali tebas.
Itu adalah ulah Jogorawu..
Kini ia berdiri sendiri dengan menggenggam pusaka berbentuk gada besar yang ia gunakan untuk menyapu pohon-pohon di sekitarnya.
Terlalu mengerikan, kali ini sosok Jogorawu mulai terlihat jelas dengan tubuh yang hampir mirip dengan Wanasura namun dengan ukuran yang lebih besar dan sangat gelap.
Pantas saja dukun itu tidak bisa berbuat apa-apa. Dia bukan roh manusia yang bisa diajak berkompromi.
Semua yang ia lakukan hanya berdasarkan insting buasnya saja. Sangat berbahaya bila membiarkan ia kembali ke alas wetan lagi.
Aku merasakan gemetar di tubuh Wanasura, sepertinya ia juga gentar melihat makhluk ini apalagi setelah strateginya tidak lagi berguna.
Sebuah mantra penguat raga kubacakan dan kusalurkan ke tubuh Wanasura. Samar-samar terlihat cahaya memasuki tubuh Wanasura dan membuat tubuhnya semakin tegap.
“Tidak apa-apa Wanasura, kita hadapi bersama” Ucapku padanya.
Wanasura mengangguk seolah siap menerima segala resiko dari pertarungan ini.
Sepertinya Jogorawu merasakan ketakutan kami dan memutuskan untuk menyerang kami dengan gada hitamnya yang besar.
Wanasura mundur ke dalam hutan di belakangnya sayangnya kekuatan gada itu terlalu besar dan menghancurkan poho-pohon di sekitar kami dan membuatku dan Wanasura terpental.
“Kalau memang kekuatan besarnya berasal dari pusaka itu, mungkin saja tubuhnya masih bisa kita serang” Ucapku.
Terdengar mudah namun akan sangat sulit untuk dilakukan hingga aku dan Wanasura memutuskan untuk berpencar.
Wanasura mengaum dengan keras memancing perhatian Jogorawu untuk menyerang ke arahnya sementara aku memusatkan kekuatanku dan menggunakan semua ilmu yang pernah diajarkan oleh paklek.
Tepat ketika Wanasura berhasil memancing Jogorawu untuk membelakangiku. Aku keluar dari persembunyianku dan menyerang persendian kakinya berharap makhluk itu akan kehilangan keseimbangan.
Seranganku melukai kakinya namun ternyata tidak perpengaruh banyak.
“Maaf Wanasura.. aku lupa, demit nggak punya dengkul” teriakku yang segera kembali bersembunyi sementara Wanasura kembali mengalihkan perhatianya lagi.
Sayangnya kesempatan kedua sulit untuk di dapat, sebuah pukulan besar dari gada Jogorawu berhasil mengenai tubuh Wanasura dan membuatnya hampir tidak berdaya.
Aku ingin berteriak sekeras mungkin , namun itu jelas akan membahayakanku.
Entah apa yang aku pikirkan hingga aku memutuskan menaiki tubuh Jogorawu dan mencoba menyerangnya tepat di punuk punggungnya.
Sayangnya aku tidak bisa mengeluarkan kekuatan sekuat tadi.
Aku menyerangnya bertubi-tubi namun hanya sedikit berdampak padanya hingga ia menghempaskan tubuhku tak jauh dari tubuh Wanasura.
Sakit…
tanpa sadar sudah banyak luka-luka di sekujur tubuhku.
Namun ini belum ada apa-apanya dengan yang diterima oleh Wanasura.
Aku berjalan tertatih menghampiri Wanasura yang tengah tersungkur menahan lukanya.
“Wanasura, kembali ke tubuhku! Kita cari cara lain..” Perintahku.
Tingkah lakunya menolak namun aku terus memaksa hingga ia kembali merasuk ke tubuhku tepat sebelum serangan Jogorawu mengenai kami.
Aku berlari sekuat tenaga menjauh dari makhluk itu mencoba mencari cara untuk menyelamatkan diri darinya.
Berbeda dengan saat tadi. Kini aku merasakan kesadaran Wanasura berada di tubuhku, sepertinya kali ini kami terhubung seperti saat aku bertarung bersama kliwon.
Sialnya… saat ini Jogorawu sudah berada di hadapanku lagi.
Mata merah Jogorawu memandangku dengan penuh amarah. Namun sebelum seranganya mengenai tubuhku tiba-tiba Jogorawu terpental oleh sebuah serangan yang muncul dari sisi hutan lain.
Itu adalah bocah Gondrong tadi..
“Kita pergi dulu..” Ucap Giridaru yang muncul dari dalam kegelapan hutan.
“Kita melarikan diri ke mana?” Tanyaku yang segera berlari mengikuti arahan Giridaru.
“Tidak.. kita akan bertarung denganya di tempat lain!” Jelasnya.
Terlihat dari sisi semak-semak hutan bocah gondrong itu mengikuti kami sambil menghalau demit-demit yang mengikuti kami.
“Kalau kita menyatukan kekuatan, apa kita bisa mengalahkan Jogorawu?” Tanyaku.
“Belum cukup.. tapi aku merasakan ada kekuatan yang akan datang di suatu tempat di hutan ini, kita ambil pertaruhan ini” Ucapnya.
Sepanjang perjalanan kami melihat berbagai jenis demit dengan berbagai wujud, namun mereka sama sekali tidak menyadari keberadaan kami.
Mungkin ini adalah ilmu miliki kera Giridaru ini.
Sebuah sendang… Mirip dengan sendang di alas wetan. Namun di sini tidak hanya satu. Yang terlihat di mataku ada lebih dari lima kolam di sana.
“Giridaru, aku tidak setuju bila harus mengembalikan dia ke alamku!” Ucapku.
“Tenang dulu.. bukan itu rencanaku”
Tak lama setelah bocah gondrong itu sampai ditempat ini, ia menceburkan tubuhnya ke masing-masing sendang dengan terburu-buru dan melakukan meditasi.
Sendang itu menandakan kelima jin penguasa hutan ini yang tidak pernah menampakan wujudnya lagi hingga saat ini.
Sendang pertama meminjamkan kebijaksanaan.
Sendang kedua memberikan keberanian
Sendang ketiga memberikan pengetahuan.
Dan sendang kembar memberikan kesadaran dan pemulihan.
Ilmu yang ia miliki membuatnya mengamuk tanpa sadar. Tapi kelima sendang ini bisa mengisi kesadaran bocah itu untuk sementara waktu sehingga ia bisa bertarung dengan sadar.
Aku mulai mengerti, begitu rumitnya hidup di alam ini. seandainya ada yang bilang ini mimpipun aku akan percaya.
Saat ini aku hanya berharap untuk terbangun dengan sayur lodeh buatan bulek dan memakanya bersama kliwon.
Plakk!
“Mikirin apa kamu? Sana siap-siap! Jogorawu sudah dekat!” Ucap Giridaru.
“Lha terus aku yang ngelawan?” Tanyaku bingung.
“Nggak usah bohong, Wanasura ada di dalam tubuhmu dan kamu juga tahu cara menggunakan kekuatanya kan!” Ucap Giridaru.
Benar yang dikatakan Giridaru. Aku memang ingin mencoba kekuatan yang sering kulakukan dengan kliwon saat bersama Wanasura kali ini.
Aku menunggu dengan berhat-hati tepat di sisi hutan tempat kami datang dan samar-samar aku mulai mendengar suara langkah kaki besar yang mendekat.
Tapi tunggu.. itu bukan hanya suara satu langkah kaki.
Puluhan! Bahkan mungkin lebih dari itu.
Seketika terkesibak kabut di kedalaman hutan itu saat Jogorawu berlari ke arah kami, kali ini dengan pasukanya yang tidak kalah mengerikan.
Mereka lebih terlihat seperti sosok hewan buas berbulu hitam yang patuh dengan perintah Jogorawu.
“Gi—gimana ini Giridaru? nggak mungkin kita lawan mereka semua!” Ucapku.
“Nggak! sudah jelas apa yang harus kita lakukan..
Kabur!”
Aku menoleh ke arah Giridaru, ia benar-benar berlari menghampiri Bocah Gondrong itu ke hutan yang lebih dalam.
“Bocah.. Dari sendang yang mana kamu masuk ke hutan ini?” Tanya Giridaru.
“Nggak… nggak tahu, tapi…”
Belum sempat aku menjawab tiba-tiba muncul sekumpulan pasukan kera menyergap Jogorawu dan pasukanya sebelum sempat memasuki pelataran sendang hutan ini.
“I—Itu?”
Tanyaku saat melihat sosok kera besar mirip Wanasura memimpin pasukan itu.
“Benar! Itu Wanasudra.. dia datang tepat waktu”
Aku segera berlari ke arah kera itu, ke arah kliwon dengan wujud yang jauh berbeda dan lebih mengerikan dari wujud kecilnya sat mencuri pisang di rumah Bu Darmi.
“Kliwon!” Teriaku.
Ia mendengar suaraku dan segera meninggalkan pertarungan menghampiriku. Entah aku tidak bisa mengerti apa yang kupikirkan, di satu sisi aku senang bertemu denganya dan di satu sisi aku khawatir karena ia juga ikut terjebak di alam ini.
Tepat saat mendekatiku, Kliwon kembali ke tubuh kera kecil dan naik kepundakku. Di saat yang sama Wanasura keluar dari tubuhku dan menyambut kembaranya itu.
Aku rasa kita tidak ada lagi yang perlu kami takutkan. Bocah Gondrong itu juga sudah menyelesaikan meditasinya dan bersiap memasuki medan perang.
Satu persatu pasukan Jogorawu dihabisi hingga tidak berdaya oleh bocah gondrong bersama pasukan yang dibawa oleh kliwon.
Kliwon menghampiri Giridaru seolah mengucapkan salam dan menyampaikan pesan padanya.
Kini Jogorawu terlihat gentar saat melihat Wanasura dan kliwon kembali ke wujud kera raksasanya dan menghampirinya.
Aku bersiap berlari menaiki salah satu tubuh mereka. Namun dengan cepat Giridaru menarik tubuhku.
“Sudah.. sudah tidak ada yang perlu di khawatirkan. Sekarang kita hanya penonton” Ucap Giridaru.
Benar kata Giridaru , Wanasura dan Kliwon memiliki dengan mudah berhasil mengimbangi kekuatan Jogorawu hingga beberapa kali ia terpental.
Sebuah pertarungan yang tidak masuk di akal bila dilihat oleh manusia biasa.
Seekor kera kecil yang sering iseng dengan warga desa dan melemparkan kacang ke anak kecil , kini bertarung dengan sosok raksasa yang seukuran pohon yang biasa dipanjat olehnya.
Aku begitu semangat berteriak kepada kedua kera kembar raksasa itu sementara Giridaru memperhatikan dengan cemas bocah gondrong yang membantu pertarungan itu.
“Bocah.. sesuatu akan datang ke tempat ini dan menyelesaikan pertempuran ini,” Ucap Giridaru.
Aku menoleh tanpa tahu maksudnya.
“Saat itu terjadi akan ada sesuatu yang bisa membawamu kembali ke alamu”
“T—tunggu, Kamu bisa meramal masa depan? Jadi kamu kera cenayang?” Tanyaku.
Giridaru menghela nafas dan bersiap menyampaikan sesuatu.
“Yang kamu bilang sedikit benar, bangsa kera wanamarta sudah dibekali dengan kekuatan ghaib sejak lahir.. dan yang terpilih bisa samar-samar melihat beberapa saat kedepan” Jelasnya.
Aku cukup lega, itu berarti aku bisa kembali ke tempat paklek setelah semua masalah ini selesai.
“Saat kesempatan itu tiba, sahabatmu wanasudra atau yang kamu panggil kliwon itu tidak bisa ikut denganmu.. ”
“Tadi Wanasudra berkata setelah ini selesai ia akan kembali ke hutan Wanamarta,
dia salah satu kunci untuk membersihkan hutan ini dari makhluk-makhluk mengerikan yang ada di sini”
Seketika tubuhku lemas, aku tidak dapat membayangkan bila harus mencuri pisang di kebun Bu Darmi sendirian. Dan tidak ada yang menemaniku saat dihukum oleh paklek.
Tapi bila tujuanya seperti itu, aku benar-benar tidak bisa menentangnya.
“Wanasudra punya satu permintaan..” Lanjutnya.
“Bawalah Wanasura bersamamu, raganya sudah mati di alamu.. saat hutan ini sudah kembali normal, Wanasura sudah tidak punya tubuh lagi untuk didiami dan ia akan lenyap saat itu juga”
Dengan segera aku menyetujui ucapan Giridaru. Aku tidak ada masalah dengan keberadaan Wanasura di tubuhku. Terlebih ia terhubung dengan Kliwon.
..
“Kalau begitu , jangan halangi aku untuk bersenang-senang dengan mereka” Ucapku yang segera berlari menuju medan tempur dan menaiki tubuh Kliwon dengan bulunya yang terasa sangat nyaman.
“Kliwon.. katanya kamu mau tinggal di alam ini?” Tanyaku.
Kliwon hanya menoleh dan memberikan senyuman yang dipaksakan sambil menghindari serangan Jogorawu.
“Aku nggak masalah… “
“Tapi kalau di sini kamu jangan nakal lagi sama teman-temanmu.
Jangan sampai mereka kira aku yang ngajarin kamu nakal..” Ucapku sambil menahan air mata.
…
“Berarti kamu juga nggak boleh marah kalau jatah pisangmu dari kebun Bu Darmi aku makan ya…”
Terlihat juga mata kliwon berkaca-kaca namun ia terus berusaha tegar..
Aku membacakan mantra penguat raga dan menyalurkanya pada kliwon hingga pukulanya bisa mementalkan Jogorawu.
“Oleh-oleh dari mas linggar di rumah Bulek juga belum habis, tapi tenang aja nanti aku bagi-bagi sama Ani..”
…
Seketika Kliwon kembali ke tubuh keranya , menaiki pundakku dan menggenggam dengan erat. Ia menyentuh kedua tanganku dan memberi kekuatan seperti saat kami bertarung bersama sebelumnya.
Aku berlari ke arah Wanasura dan membantunya menghajar Jogorawu dengan kekuatan dari kliwon.
Sebuah pertarungan yang sengit antara kami bertiga melawan Jogorawu.
Aku ingin menikmati pertarungan ini sebaik-baiknya saat hangatnya kekuatan kliwon mengalir di tubuhku dan keberadaan kliwon yang berada di pundaku.
Sayangnya Jogorawu tidak menyerah, ia mengambil gada hitam besarnya dan menyalurkan kekuatan yang sangat besar ke pusaka itu.
Namun saat gadanya berayun sebuah benda menyambar dari suatu tempat dan menghancurkan pusaka Jogorawu itu.
Kami semua menoleh ke arah datangnya benda itu yang ternyata berasal dari dalam salah satu sendang.
“I—itu pusaka temanya mas linggar”
Ucapku saat melihat sebuah batu berbentuk pisau yang menancap di tanah setelah menghancurkan pusaka Jogorawu.
Terlihat cahaya menyerupai benang putih terhubung dengan pusaka itu.
Aku seperti merasakan keberadaan Paklek dari cahaya itu.
“Bocah… sekarang waktunya!” Ucap Giridaru.
Giridaru menghampiriku dan mengambil pusaka itu.
“Ikuti Benang cahaya itu… mereka sudah menunggumu” Ucap Sosok pusaka yang merasuki Giridaru.
“Cepat! Kami bisa mengurus ini semua…” Ucap Giridaru yang mendapatkan kembali kesadaranya.
Aku tidak tahu harus berbuat apa. Namun Giridaru segera menariku ke arah sendang tempat pusaka itu muncul.
Wanasura segera menghampiriku dan merasuki tubuhku setelah kliwon memberi isyarat padanya.
Dan saat itu juga aku tersadar, bahwa kesadaran Wanasura dan kliwon berhubungan dengan erat. Kini tidak ada lagi yang kukhawatirkan.
Aku meninggalkan Kliwon yang masih bertarung dengan Jogorawu dengan hasil yang sudah bisa kami pastikan.
“Aku akan tetap di sini… suatu saat takdir akan mengantarkanku kembali ke pemilikku” Ucap pusaka itu melalui tubuh Giridaru.
“Giridaru, aku pamit… sampaikan salamku pada bocah Gondrong itu”
“heh… jangan seenaknya, Bocah itu punya nama.. orang di sukunya menyebutnya dengan nama…”
Tepat sebelum Giridaru menyelesaikan kata-katanya, sebuah serangan dari anak buah Giridaru terhempas ke arah kami dan mendorongku ke dalam sendang.
Dengan mengikuti benang cahaya itu aku berenang ke arah lubang hitam tempat benang cahaya itu memandu kami
***
Bara api Paklek melindungi Linggar dan Linus dari serangan roh-roh yang mendekat. Awalnya mereka merasa tenang hingga terdengar suara langkah kaki besar yang mendekat ke arah mereka.
Saat semakin mendekat terlihat sosok Buto atau raksasa dengan wajah bengis yang bersiap melampiaskka amarahya setelah bertahun-tahun terkurung di hutan ini.
Api dari Paklek tidak mampu meredakan amarah buto itu dan tepat saat lengan buto itu akan meraih mereka. Tiba-tiba Buto itu terhenti saat melihat tatapan mata Linggar yang memerah seperti mengancam Buto itu dan membuatnya mundur.
“Li—linggar, Apa itu?” Tanya linus yang bingung.
“Nggak… aku nggak tahu, apa itu tadi?” Jawab Linggar yang juga terlihat bingung.
Sayangnya itu hanya menolong mereka sementara dan Buto itu kembali maju dan menyerang lagi.
Sekali lagi tepat saat raksasa itu hampir mendekat ke Linggar dan Linus, Buto itu terpental.
Kali ini bukan karena linggar, tapi karena seseorang yang datang dengan basah kuyup dengan kekuatan lengan yang membesar seperti dirasuki oleh sesuatu.
“Panjul?” Ucap Linggar.
“Hehe.. Matur suwun yo mas, ngapunten pusakane mas linus tertinggal di sana. Nanti saya jelaskan semuanya” Jelas Cahyo.
Tepat saat itu juga Paklek mendapatkan kesadaranya kembali dan membantu menenangkan buto itu.
Tidak butuh waktu lama untuk membereskan perkara di hutan ini . Kami meninggalkan hutan ini tanpa masalah berarti.
Tanpa keberadaaan Jogorawu hutan ini hanya berubah menjadi hutan angker biasa.
Roh-roh yang mengamuk akan tenang dengan sendirinya seiring perjalanan waktu.
Kini Mereka bisa meninggalkan hutan ini dengan tenang.
Warga desa Ranggilawupun sudah bisa hidup tenang tanpa rasa cemas akan mengamuknya demi alas di hutan itu.
***
Catatan Penulis :
Linggar Sasena , satu-satunya nama karakter yang tidak saya samarkan di cerita saya. Memang ini atas permintaan beliau sendiri.
Mungkin suatu saat kalian akan bertemu denganya dan dia dengan senang hati akan menceritakan tentang kisahnya saat bertemu dengan monyet kembar penjaga hutan saat ia masih muda dulu.
Kalau memang takdir mempertemukan kalian, jangan lupa cerita-cerita ke saya ya.
EPILOG
“Sudah Jangan bodoh… satu keping itu untuk membawa tubuh demit itu dan satu untukmu, kamu jelas tau apa yang kita lindungi hingga harus berbuat sejauh ini”
Ucapku yang segera melompat dari tubuh Wanasura dan menghampiri Danan.
“Nggak.. ga mungkin aku ninggalin kamu di tempat ini”
Mata Danan mulai berkaca-kaca saat membayangkan harus meninggalkanku di tempat mengerikan ini.
Haha.. aku pernah merasakan kejadian ini saat dulu meninggalkan kliwon dulu.
Tapi kali ini berbeda, aku pasti akan mencari cara untuk kembali.
“Tenang Danan, aku ga sendirian.. ada Wanasura dan Kliwon yang menemaniku” Ucapku dengan mencoba memberikan senyuman padanya.
Danan menoleh ke retakan dimensi jagad segoro demit, dan terlihat lubangnya semakin mengecil.
Ia seperti akan mencoba memaksaku untuk pergi keluar gerbang itu.
Untungnya saat ia menoleh ke arahku aku sudah siap bersama Wanasura untuk menghempaskan danan dan tubuh demit ludruk itu ke dalam lubang yang dipenuhi energi gelap itu.
“Danan… Tolong jaga Sekar dan Paklek” Teriakku setelah melemparkanku ke lubang dan segera kembali menerjang gerombolan demit yang mencoba menerobos ke alam manusia.
…
Aku, Wanasura,Kliwon menahan semua makhluk yang dipanggil ludruk itu untuk memasuki celah jagad segoro demit di belakang kami hingga akhirnya benar-benar menutup.
“Wanasura, Kliwon.. tahu kan apa yang harus kita perbuat setelah ini?” Ucapku.
Mereka berdua mengangguk.
“Kabuuur!!! “Ucapku memandu mereka.
Sebelum meninggalkan tempat itu sebuah benda jatuh dari sisa retakan gerbang itu.
Itu adalah patahan kayu dengan ukiran bertuliskan jawa kuno. Aku merasakan aura mbah wira di sini.
Sekuat tenaga, kami berlari menghindari seluruh mahkluk-makhluk tadi.
Untungnya tanpa perintah dari demit ludruk mereka tidak lagi mengincar kami.
Sayangnya alam ini memiliki kesadaran sendiri yang mencoba merasuki pikiranku.
“Kliwon! Kita harus pergi dari tempat ini secepatnya..”
Kami sampai ke sebuah tempat di mana terdapat sendang hitam yang sangat luas. Satu persatu pasukan kliwon masuk ke tempat itu, dan menyisakan kami bertiga.
Aku menatap pantulan dari air itu, itu adalah alam tempat Kliwon tinggal.
Tidak mungkin manusia sepertiku bisa tinggal di sana.
Tapi.. mungkin saja di sana lebih baik dari alam ini.
Saat aku mencoba mendekat tiba tiba kliwon menahanku, ia kembali ke tubuh kecilnya dan mengambil patahan kayu yang ada di genggamanku.
Ia menoleh ke arah sebuah pohon beringin besar yang tidak asing.
“I—itu! Pohon beringin tempat Candramukti dimakamkan? “ Kliwon tersenyum dengan gigi-giginya yang besar persis seperti senyumnya dulu. Tidak berubah sedikitpun.
Mungkin Patahan kayu ini yang menghubungkan alam ini dengan tempat Mbah wira berasal.
Aku teringat saat pertarungan melawan Brakaraswana bersama Danan dan Almarhum Pak Kuswara. Ternyata, alam itu juga terhubung dengan jagad segoro demit.
Kliwon berlari memandu kami ke sana dengan tubuh kecilnya sementara aku masih menaiki tubuh Wanasura.
“Kliwon.. kamu tidak kembali dengan pasukanmu?” tanyaku.
Kliwon menggeleng dan menaiki sisi sebelah pundak Wanasura.
“Berarti urusanmu sudah selesai?” tanyaku.
Ia mengangguk. Sepertinya tahun-tahun yang kulewatkan tanpa Kliwon berjalan lebih cepat di Alamnya.
Pantas saja tidak banyak perubahan dengan Wujud Kliwon.
“Wanasura bisa ikut kembali dengan merasu ke tubuhku, lalu apa kamu bisa masuk ke gerbang itu juga?” Tanyaku pada Kliwon tepat setelah sampai di depan pohon beringin.
Saat kami mendekat ada sebuah gerbang seperti yang dilewati danan tadi terbuka seiring dengan mendekatnya patahan kayu ini.
Kliwon kembali ke wujud kera raksasanya, dan kali ini sebuah benda sudah terikat di pinggangnya. Samar-samar aku mengingat benda itu.
Itu adalah pusaka mas linus sebuah batu berbentuk pisau.
“Itu? Pusaka mas linus?” Tanyaku.
Kliwon hanya mengangguk dan mendekatkanya ke patahan kayu mbah wira.
Aku tersadar! ukiran di pusaka itu persis dengan ukiran di patahan kayu yang kupegang.
Aku tertawa.. Rupanya semua ini sudah ditakdirkan. Aku benar-benar berterima kasih pada Yang Maha Pencipta atas perlindunganya padaku dan kehidupan yang se istimewa ini.
Jagad Segoro Demit..
Sebuah alam yang memiliki kesadaranya sendiri suatu tempat yang merupakan asal muasal demit di seluruh penjuru bumi. Aturan ruang dan waktu tidak berlaku di tempat mengerikan ini..
Tapi sekarang saatnya aku meninggalkan tempat ini…
…
Senja di pohon beringin , sebuah pemandangan yang indah sambil memandang anak-anak yang masih bermain petak umpet .
sayangnya mereka bukan anak-anak biasa.
Mereka adalah roh penasaran yang belum tenang di sekitar asrama di tempat ini.
Mungkin tidak ada salahnya bila aku bermain sebentar bersama mereka.
..
“Mas.. itu bukanya mas Cahyo?”
Terdengar suara anak kecil dari arah sekolah bersama seseorang yang sangat kukenal bersamanya.
Anak kecil itu bernama Gio, saat ini dia bersama Dia Temanku.
Seorang teman yang tidak pernah tega membiarkan orang lain atau bahkan roh lain kesusahan.
Sepertinya sapai saat ini dia juga sedang berusaha membantu roh-roh anak-anak yang belum tenang ini.
Ya.. dia adalah teman terbaiku, Dananjaya Sambara.
-TAMAT-
Akhirnya! selesai juga kisah singkat ini..
Sudah lunas ya hutang saya buat jelasin kisah Cahyo..
mohon maaf apabila ada salah kata dan hal yang menyinggung.
Seperti biasa kalau mau memberi support atau baca karya lain bisa mampir ke @karyakarsa_id ya
Satu manusia menantang takdirnya mendatangi Tanah Para Danyang seorang diri. Bli Waja mencari keberadaan sosok asal dari kekuatan yang ia miliki. Takdir membawanya pada pertarungan pengguna ilmu yang sama..
#bacahorror
Danan dan Cahyo berdiri di hadapan samudra tanpa batas. Ombak menderu kencang, seolah memekikkan kekuatan alam yang tak terbendung. Malam telah melewati puncaknya, namun bulan masih terselubung awan pekat, menyisakan kegelapan yang terasa berat.
"Kamu bilang wujud pusaka Ratu Ular itu mahkota? Tapi kamu nggak kepikiran, mahkota itu harusnya dipakai oleh siapa?" tanya Cahyo, menatap lautan.
"Ada banyak kemungkinan," jawab Danan tenang. "Salah satunya, sosok yang mewarisi kekuatan Ratu Pantai Selatan. Apalagi sekarang kita tahu, pusaka itu ada dalam perlindungannya."
"Blorong?" Cahyo bertanya dengan nada cemas.
Danan mengangguk. Kekhawatiran Cahyo bukan tanpa alasan. Sosok itu telah lama menguasai beberapa wilayah hitam di Tanah Jawa, membuat siapa pun gentar untuk berhadapan dengannya.
Tiba-tiba, suara kereta kencana terdengar mendekat. Namun, bukan dari arah daratan, melainkan dari tempat ombak bergemuruh.
"Suara ini... tidak asing," ujar Cahyo.
"Iya, suara yang sama seperti saat kita dijebak di gua oleh Bara," sahut Danan. "Kalau diingat, beliau sebenarnya sudah banyak membantu kita, meskipun secara tidak langsung."
Kereta itu berhenti tepat di tengah lautan yang mendadak tenang. Aneh, suasana berubah; mereka merasa seperti bukan lagi berada di tempat sebelumnya.
"Sudah kuduga, beliau tidak akan menemui kita langsung," kata Cahyo.
"Memang seharusnya begitu," balas Danan. "Kita, bangsa manusia, tidak seharusnya berurusan dengan mereka. Tuhan sudah memisahkan kita di alam yang berbeda untuk alasan itu."
Cahyo mengangguk setuju. Mereka pun duduk bersila dengan sopan dan memejamkan mata. Tiba-tiba, sebuah penglihatan datang menghampiri.
"Mas Danan! Mas Cahyo!"
Suara lembut Lara Sukma terdengar dari kejauhan. Ia berjalan anggun, ditemani Abdi Jinten yang setia di sisinya. Namun, Danan dan Cahyo hanya bisa membalas dengan senyuman, tetap bertahan dalam posisi meditasi.
Suasana berubah. Kini mereka berada di sebuah keraton yang seolah mengapung di atas lautan. Tempat itu dipenuhi aura sakral, dihormati oleh penghuni samudra dan bahkan oleh gelombang laut itu sendiri.
"Kau baik-baik saja di sini?" tanya Danan kepada Lara Sukma.
"Jangan khawatir, Mas. Di sinilah seharusnya tempatku berada. Lagipula, aku hanya berada dalam wujud ini selama beberapa puluh tahun. Setelah itu, aku bisa menitis menjadi ular, burung, ikan, atau apa pun," jawab Lara Sukma sambil tersenyum.
"Takut ketemu di Magetan," bisik Cahyo, membuat Danan melotot kesal.
"Memangnya di Magetan ada apa, Mas?" tanya Lara Sukma polos.
"Nggak ada apa-apa! Pecelnya enak!" Cahyo buru-buru mengalihkan pembicaraan.
"Yang pecelnya enak itu Madiun," goda Danan.
"Berisik!" Cahyo memotong, sementara Abdi Jinten hanya tersenyum menahan tawa.
Abdi Jinten kemudian mendekati mereka berdua. Wajahnya serius, penuh kewibawaan.
"Kanjeng Ratu telah memahami maksud kalian. Namun, beliau ingin kalian mengerti sesuatu," ucapnya tenang.
"Apa itu, Abdi Jinten?" tanya Danan penasaran.
Dharrr! Dharrr!
Penglihatan mereka pecah, menampilkan sebuah keris tua yang menancap di dasar laut. Keris itu berkarat, dikelilingi aura mengerikan, menciptakan gelombang yang membawa kematian.
"I—itu... Pusaka Mayit?" Cahyo berseru.
Abdi Jinten mengangguk. Penglihatan lain muncul, menampilkan Lara Sukma bertakhta di sebuah telaga. Dari sana, pusaka-pusaka diciptakan oleh para empu yang menjalin perjanjian dengan roh alam.
"Kanjeng Ratu menyerahkan keputusan kepada kalian," ujar Abdi Jinten. "Namun, kalian harus tahu, roh leluhur Sambara telah melemah. Manjing Marcapada kembali terbentuk, dan Angkarasaka bisa dibangkitkan."
Mereka saling berpandangan, menyadari beratnya situasi.
"Kalau begitu, apa yang harus kami lakukan?" tanya Cahyo.
Abdi Jinten menjawab dengan berat, "Kalian harus siap menghadapi segalanya, meskipun harus mati atau menghancurkan kedua pusaka para danyang itu."
Danan dan Cahyo terdiam. Akhirnya, mereka mengangguk.
Danan dan Cahyo saling bertatapan. Keadaan ini berbeda dengan yang ia bayangkan.
“Apakah berarti kabar baik?” Tanya Danan.
Abdi Jinten menggeleng dan berpaling memandang penglihatan yang juga dilihat oleh Danan dan Cahyo itu.
“Jika kalian memutuskan untuk menggunakan kemampuan Pusaka Sukma dan Pusaka Mayit, akan ada tragedi besar yang melibatkan para pengagung pusaka di alam ini…”
“Cukup, Abdi Jinten. Kami mengerti maksud Kanjeng Ratu.” Cahyo menyambungkan niat Danan. “Jika kami tahu apa yang akan terjadi, kami akan bimbang.”
Mendengar perkataan itu Abdi Jinten menghela nafas dan mundur. Mereka mengerti maksud Danan dan Cahyo.
“Baiklah kalau itu keputusan kalian. Terakhir, Kanjeng Ratu hanya menegaskan bahwa dirinya tidak ada di sisi manapun. Entah itu manusia, para Danyang putih, atau Danyang hitam. Jangan pernah berharap apapun dari beliau.”
“Tenang, Abdi Jinten. Kami tahu kepada siapa kami harus menggantungkan doa dan harapan kami.” Jawab Danan tegas.
Seketika penglihatan itu menghilang. Tak ada lagi yang hendak disampaikan oleh Abdi Jinten. Ia hanya tersenyum bersama pudarnya penglihatan keraton, lara sukma, dan para penjaga laut yang mulai mendekat masuk. Saat penglihatan itu memudar, suara ombak kembali terdengar.
Danan dan Cahyo pun membuka mata dan mereka masih tetap berada di tempatnya semula di hadapan deru samudra laut selatan. Kali ini rembulan tak lagi tertutup awan, cahayanya terpantulkan pada sesuatu yang berada di pantai terbawa ombak.
Mereka pun berdiri dari posisinya dan mengenali benda berbentuk mahkota yang sebagian sisinya sudah membatu.
"Jadi ini benda yang membuat ricuh para danyang?" tanya Cahyo dengan suara bergetar, matanya terpaku pada mahkota tua yang tergeletak di pasir. Bentuknya anggun namun menyeramkan; sebagian sisinya telah membatu, memancarkan aura dingin yang menusuk kulit.
"Ya," jawab Danan pelan, nadanya berat. "Kita harus menyegelnya bersama Manjing Marcapada yang baru saja bangkit kembali. Ini tugas yang leluhurku gagal selesaikan."
Danan perlahan menunduk, tangannya meraih mahkota itu. Saat jarinya menyentuh permukaannya, sebuah getaran kuat menyambar, menghantam tubuh mereka seperti arus listrik tak kasatmata.
Deg!
Seketika, hawa dingin menyelimuti. Bukan hanya dingin biasa—ini dingin yang menggerogoti jiwa, membuat jantung mereka berdegup kencang. Cahyo menelan ludah, tubuhnya gemetar tanpa ia sadari.
"Ini... ini yang dimaksud oleh Mbah Purnomo?" tanyanya, mencoba memastikan.
"Ya," jawab Danan singkat, matanya terpaku pada mahkota di tangannya. "Dengan ini, seluruh danyang hitam di Tanah Jawa akan mengincar kita."
Hawa berat semakin terasa. Angin yang tadinya tenang mendadak bertiup kencang, membawa bisikan-bisikan asing yang menggema di telinga mereka. Cahyo menoleh ke sekeliling, bayangan hitam seperti kabut mulai merayap di tepi pantai.
Fajar baru saja menyapa, tapi sinar matahari masih malu-malu menyusup di balik kabut pagi. Suara ayam berkokok bersahutan, menjadi latar saat Dirga dan Guntur berdiri di depan rumah. Tas besar menggantung di punggung mereka, menyiratkan tekad yang tak tergoyahkan.
“Kalian tidak harus pergi dari desa ini…” Suara berat Abah mencoba menahan langkah mereka.
“Abah, ini satu-satunya cara,” jawab Dirga dengan mata tajam. “Setan nenek itu dan makhluk berwujud singa tak akan berhenti mengejar. Jika kami tetap di sini, desa ini akan hancur.”
“Dirga benar, Abah. Kami akan lebih aman bersama Nyai Jambrong,” tambah Guntur.
Abah terdiam, menghela napas panjang. Mata tuanya menatap anak-anaknya dengan perasaan bercampur aduk. Ia tahu, keputusan ini tidak diambil sembarangan.
“Kalau begitu, Abah tidak melarang. Tapi bawa ini.” Abah menyerahkan telepon genggam tua milik Emak. “Sering-sering kabari kami.”
“Iya, Abah. Dirga janji,” balas Dirga.
Tak lama, Emak muncul tergesa-gesa dari dalam rumah, membawa kantong plastik penuh bekal. “Ini nasi buat kalian. Jangan sampai ngerepotin Nyai Jambrong, ya!” katanya dengan suara bergetar.
“Iya, Emak. Terima kasih. Dirga pamit.”
“Guntur juga pamit, Mak.”
Mereka mencium tangan Abah dan Emak sebelum melangkah menuju terminal. Di sepanjang jalan, perasaan mencekam tak kunjung pergi. Hati mereka terusik oleh bayangan kegelapan yang seolah mengikuti setiap langkah.
Beberapa hari sebelumnya, mereka telah menyelamatkan Hisna dari gubuk terkutuk dan menitipkannya pada keluarga terpercaya.
Namun kabar yang datang kemudian membuat bulu kuduk meremang: Pakde Hisna, yang diduga pelaku ritual itu, ditemukan tewas mengenaskan dengan tubuh terkoyak seperti dicakar makhluk buas.
“Itu pasti makhluk berwujud singa atau harimau itu,” gumam Dirga saat mendengar kabar dari Hisna di telepon.
“Tapi kenapa makhluk itu justru membunuh Pakdenya, yang jelas-jelas melakukan ritual?” tanya Guntur, bingung.
Dirga menggeleng. Jawaban tak pernah jelas. Hanya satu yang pasti: mereka harus segera menemui Nyai Jambrong.
( Sudut pandang Danan…)
Perasaan yang aneh dan menggugah muncul di benakku, seperti bisikan lembut yang mengusik kesadaranku. Ingatanku perlahan kembali, dan jantungku terasa tertusuk tajam saat mengingat apa yang terjadi ketika aku kembali ke alam manusia.
Setiap detik yang berlalu terasa seperti beban yang menekan dadaku, mengingatkan akan dosa yang tak termaafkan.
...
Ketika mataku terbuka, bukan Nyi Sendang Rangu yang kulihat di sampingku, melainkan sosok perempuan cantik yang begitu anggun dan menawan. Kebaya hitamnya membalut tubuhnya dengan sempurna, menonjolkan lekuk tubuhnya yang memikat.
Ia berbaring di atasku, membuatku terperangkap dalam pesonanya. Kulitnya sehalus sutra, dan setiap gerakannya memancarkan keanggunan yang memabukkan.
“... Kau sudah bangun rupanya?” Suaranya lembut dan menenangkan, namun tubuhku masih belum sepenuhnya bisa bergerak. Suara itu menyusup ke dalam pikiranku, menenangkan sekaligus membangkitkan rasa takut yang samar.
“..Si—siapa ka..” Aku berusaha berbicara, namun kata-kataku terhenti oleh sentuhan lembut jarinya.
“Sssttt…” Jari lentiknya menahan bibirku, membuatku terdiam.
Wajahnya begitu dekat, aroma melati yang menyengat menguar dari tubuhnya, membius kesadaranku. Matanya menatap dalam ke mataku, seolah menelanjangiku hingga membuatku tak berdaya di hadapannya.
“Darah yang mengalir di tubuhmu memikatku. Aku benar-benar tak mampu menahannya...”
Sebuah kecupan lembut menyentuh bibirku, dan telapak tangannya membelai rambutku dengan penuh kelembutan. Sentuhannya seperti kejutan listrik yang menjalar ke seluruh tubuhku, membuatku terhanyut dalam gairah yang ia ciptakan.
Saat itu, pikiranku kosong, dan aku terhanyut dalam pesonanya, tak mampu melawan daya tariknya yang memabukkan.
...
“Tidak! Tidak mungkin! Aku tidak mungkin melakukan perbuatan itu?!” Aku terperangah, tak percaya dengan ingatan yang kembali menghantuiku. Setiap kenangan terasa seperti belati yang menusuk hatiku, mengingatkan akan pengkhianatan yang telah kulakukan.
Sosok itu mendekat, wajahnya cemberut seperti seorang kekasih yang merajuk. “Mas jahat!” katanya dengan nada manja, namun senyumnya yang licik tak bisa kusembunyikan dari pandanganku.
“Bukankah kita sudah menyatu? Aku milikmu, Mas!” Suaranya menggoda, namun di balik itu ada ancaman halus yang membuatku merinding.
Aku terjatuh berlutut di tanah, suara gamelan di sekitarku berubah menjadi sendu, seolah menegaskan dosa yang telah kulakukan. Setiap denting gamelan seperti mengiringi penyesalanku, menambah beban di hatiku.
Bayangan Naya muncul di benakku, sosok wanita yang begitu polos dan penuh kasih, yang telah kukhianati. “Naya... maafin, Mas...” Air mataku mulai menetes, menandai penyesalan yang mendalam. Setiap tetes air mata adalah pengakuan atas kesalahan yang tak termaafkan.
Perempuan itu berjongkok, mengangkat daguku dengan lembut. “Sebaiknya kita terima saja takdir kita...” Bisiknya, mendekatkan bibirnya padaku, bersiap menciumku yang masih terperangkap dalam rasa bersalah dan penyesalan. Bibirnya hampir menyentuh bibirku, namun hatiku berteriak menolak, terbelah antara hasrat dan dosa yang menghantui.
“Treng teng!! Teng!!! Teng!!!”
Suara bising tiba-tiba memecah kesunyian gending yang mengalun dari hutan-hutan di sekelilingku. Awalnya, aku hampir mengabaikannya, namun suara itu semakin mendekat, diiringi teriakan dan sebuah helm yang melayang ke arahku.
“Jangan dekat-dekat Danan! Dia sudah punya pacar!”
Suara itu sangat familiar.
Dhuakkk!!Helm itu menghantam wajahku tepat saat aku menoleh ke arah sumber suara.
“CAHYO?!” Aku berteriak, bingung sekaligus kesal dengan kemunculannya yang tiba-tiba dan perbuatannya melempar helm padaku.
“Eh! Ma—maaf, Nan! Niatnya mau ngelempar ke setan genit itu!” sahut Cahyo sambil buru-buru memarkirkan motor Vespa tuanya yang suaranya mengalahkan gamelan gaib di hutan itu.
Aku berdiri dengan bantuan Danan, sementara Cahyo menunjuk perempuan di hadapanku dengan wajah kesal.
“Roro Mayit! Umurmu sudah ratusan tahun lebih! Seleramu masih berondong? Malu kau sama Nyai Jambrong!” teriak Cahyo.
“Kamu ngancem apa lagi pantun, Jul?” bisikku.
“Lha nggak tahu, nyambung gitu aja...” jawab Cahyo asal.
Ternyata benar, sosok perempuan itu adalah Roro Mayit. Cahyo menjelaskan bahwa ia mengetahui keberadaanku dan tentang Roro Mayit dari Mbok Sar.
“Mas Danan…” Suara Roro Mayit kembali terdengar manja, wajahnya tampak cemas setelah kedatangan Cahyo.
“Heh! Heh! Nggak usah sok manja!” Cahyo menanggapi dengan ketidaksukaan yang jelas.
“Berisik! Kau pengganggu!” balas Roro Mayit. Entah mengapa, wujud dan tingkah Roro Mayit semakin mendekati sosok yang membuatku nyaman.
“Jul... telah terjadi sesuatu antara...” aku mencoba menjelaskan.
“Aku tidak suka ada pengganggu! Aku pergi saja!” Roro Mayit tiba-tiba melayang menjauh dari kami.
Anehnya, dia tidak melakukan apapun. Tak ada kutukan, tak ada serangan. Aku masih merasakan betapa mengerikan sesuatu yang berasal dari dalam dirinya, namun dia benar-benar tidak menyerang kami.
Hujan mengguyur deras, disertai angin kencang yang menerbangkan dedaunan dan menghantam pepohonan. Kilat menyambar tanpa henti, menerangi kegelapan malam dengan cahaya yang menakutkan.
Di tengah badai ini, pasukan Cakra Manunggal berdiri tegak di atas reruntuhan istana salah satu kerajaan sekutu Tunggul Giri yang telah mereka tundukkan.
Prabu Ramajaya, dengan pakaian perangnya yang penuh noda darah dan lumpur, berdiri di depan rakyat yang ketakutan, suaranya menggema melawan gemuruh badai.
“Mulai saat ini, seluruh rakyat di kerajaan ini berada dalam perlindungan Kerajaan Indrajaya!” serunya tegas.
Para warga yang sebelumnya gemetar karena ketakutan mulai merasakan sedikit ketenangan. Nyawa mereka telah terselamatkan dari ritual penumbalan massal yang diinisiasi oleh raja mereka sendiri, yang kini telah tewas di tangan pasukan Indrajaya.
Sementara itu, Abimanyu berdiri di sisi Prabu Ramajaya, mengamati badai yang kian menggila. Petir menyambar hanya beberapa meter dari mereka, membuat suasana semakin mencekam.
“Kerajaan Tunggul Giri dan tiga kerajaan lainnya telah kita kuasai,” ujar Abimanyu, suaranya dingin namun penuh tekad. “Hanya ini yang bisa kita lakukan dalam peran kita sebagai manusia.”
Prabu Ramajaya menoleh dengan pandangan yang penuh keraguan. “Apa saatnya kita menyusul Ayah dan Baswara?” tanyanya, mengacu pada pasukan lain yang bertempur di wilayah berbeda.
Abimanyu menggelengkan kepala, rahangnya mengeras. “Kau baru saja memberikan pernyataan pada rakyat-rakyat itu,” ucapnya tajam, “dan sekarang kau berencana meninggalkan mereka?”
Ramajaya tersentak oleh teguran itu, namun kegelisahan di dalam hatinya terus bergolak. “Aku hanya merasa harus melakukan segala cara untuk menghentikan bencana ini,” jawabnya dengan nada penuh keputusasaan. “Bahkan jika nyawaku harus menjadi taruhannya.”
Abimanyu melangkah maju, menatap kakaknya dengan tatapan tajam yang penuh amarah dan tekad. “Jangan sombong, Ramajaya!” suaranya memotong derasnya hujan. “Tidak semua masalah harus kau tuntaskan sendiri. Ada saatnya kita menunggu.
Percayalah pada mereka yang tengah berjuang, dan pada takdir Sang Pencipta!”
Perkataan itu menghantam Prabu Ramajaya seperti guntur di dadanya. Ia menunduk sejenak, menggenggam gagang pedangnya yang dingin. Ia tahu Abimanyu benar, namun hatinya masih gelisah.
Di kejauhan, suara genderang perang masih terdengar, tanda bahwa pertempuran di Tanah Danyang belum usai. Namun untuk saat ini, Prabu Ramajaya memutuskan untuk bertahan bersama rakyat yang ia lindungi, berusaha memberi mereka harapan di tengah bencana yang mencekam.
Dengan tatapan yang lebih tenang namun tetap penuh tekad, ia memandang badai yang terus mengamuk di langit.
“Kami serahkan sisanya padamu, Ayah…” gumamnya pelan, seakan berdoa kepada mereka yang masih bertempur dan kepada Sang Pencipta, memohon kekuatan untuk melindungi orang-orang yang ia kasihi.
Suara derap kuda terdengar memecah keheningan malam, mendekati barak prajurit dengan cepat. Para penunggangnya turun tergesa-gesa, wajah-wajah mereka penuh ketegangan. Mereka langsung menuju tenda besar di tengah barak, tempat raja berada.
"Berhenti! Raja ada di dalam!" seorang penjaga menahan mereka dengan tangannya terentang.
"Kami harus bertemu yang mulia! Ini keadaan darurat!" Pemimpin mereka bersikeras.
Penjaga itu memerhatikan mereka sejenak, mengenali lencana-lencana khas yang menghiasi seragam mereka. Pasukan elit Cakra Manunggal, yang langsung di bawah komando Prabu Ramawijaya.
"Baiklah, tunggu sebentar…" ujar sang penjaga sambil memasuki tenda.
Ramawijaya telah menduduki tahta dan membangun kerajaan Darmawijaya sebagai kerajaan dengan pertahanan militer yang kokoh.
Mereka mampu menggetarkan kerajaan besar di sekitarnya, namun bukan itu tujuan utamanya. Perang para danyang semakin dekat, dan bertahun-tahun lamanya, bencana semakin melanda.
Tak lama kemudian, mereka diizinkan masuk. Di dalam tenda, Prabu Ramawijaya dan para patihnya tampak berkumpul, membahas sesuatu yang tampaknya mendesak.
Pemimpin pasukan itu melangkah maju dan berkata tegas, "Yang mulia, kabar ini harus disampaikan segera."
Prabu Ramawijaya menatapnya tajam. "Panglima Cakra, aku mengenalmu terlalu baik untuk tahu bahwa kau tak akan menggangguku tanpa alasan. Katakan."
Dengan satu langkah cepat, Panglima Cakra mendekat dan tiba-tiba mencabut pedangnya. Patih-patih lain sontak bereaksi, namun terlambat. Pedang Cakra menembus dada Patih Renggana.
"Cakra! Apa yang kau lakukan?!" Patih Raksawira menghunus pedangnya, mengarahkannya tepat ke leher Panglima Cakra.
Namun Panglima Cakra tak bergeming. "Aku tak akan bicara sampai pengkhianat ini tak lagi bernyawa," katanya dingin, sementara para penjaga dipanggil untuk menyelamatkan Patih Renggana yang sekarat.
Patih Raksawira tak bisa menahan amarahnya dan mengangkat pedang untuk menebas leher Panglima Cakra. Tapi tiba-tiba, suara berat terdengar dari arah pintu.
"Tahan, Raksawira!"
Semua mata tertuju pada seorang pria dengan pakaian lusuh dan tubuh penuh debu yang baru saja memasuki tenda. Walau penampilannya sederhana, auranya membuat para patih berhenti seketika.
"Abimanyu?! Cakra telah mencoba membunuh Patih Renggana! Kita tak bisa membiarkannya begitu saja!" seru Raksawira, mengarahkan ujung pedangnya ke Panglima Cakra. Namun, Abimanyu hanya menatap tajam.
Seluruh patih menundukkan kepala sedikit, sadar betul siapa pria itu.
Dia adalah Abimanyu Darmawijaya, pewaris dari Prabu Arya Darmawijaya, yang berjanji mendampingi Prabu Ramawijaya untuk menjaga Kerajaan Indrajaya sejak kepergian Raja Indrajaya.
Patih Renggana menekan luka di dadanya, mencoba mempertahankan nyawanya. Setiap tarikan napas terasa seperti api yang membakar, namun ia berusaha memperpanjang hidupnya sejenak, berharap ada seseorang yang membantunya.
Srratt!
Dalam sekejap, Abimanyu sudah berada di samping Prabu Ramawijaya, dan di tangannya tergenggam kepala Patih Renggana yang sudah terpenggal dari tubuhnya. Hening menggantung di udara, seakan waktu berhenti sejenak.
Tenda itu bergetar dalam kesunyian, hingga tubuh Patih Renggana menyadari bahwa ia telah kehilangan kepalanya. Seketika, semburan darah memuncrat deras, membuat para patih mundur ngeri.
“Jadi, dia pengkhianatnya?” tanya Prabu Ramawijaya dengan suara tenang, nyaris tak terpengaruh oleh pemandangan mengerikan itu.
Abimanyu mengangguk ringan sambil duduk di sisi Prabu Ramawijaya. “Benar. Dia adalah patih di kerajaan kita, namun sekaligus Raja di kerajaan Tunggul Giri.”
Suara gemuruh dari puncak Mahameru menggema, menggetarkan bumi dan langit. Mahameru, yang berdiri megah di Jawa Timur sebagai paku penyeimbang Pulau Jawa, kini memuntahkan isinya.
Dharrr!!!
Batu-batu besar terlontar dari kawahnya, menghantam pepohonan di kawasan Kalimati, menciptakan kepanikan di antara mereka yang ada di sana.
"Menyingkir!" teriak seseorang, memberi isyarat pada sekelompok pasukan yang menerobos letusan dahsyat itu.
"Ini gila! Siapa yang terpikirkan untuk menerobos letusan gunung seperti ini?!" teriak Raja Indrajaya dengan napas memburu, mencoba menghindari lontaran batu panas yang jatuh dari langit.
"Siapa lagi kalau bukan Pangeran Baswara, putra andalanmu itu, yang mulia..." sahut Panglima Brasma sambil melirik ke arah Baswara yang tanpa ragu maju lebih dahulu.
Di depan, Baswara membuka jalan dengan segenap tenaga, dibantu oleh kawanan kera putih yang melompat lincah di antara lahar. Seekor kera putih menari melompat di antar pepohonan, membaca aliran energi panas yang memancar dari gunung, menghindari setiap bahaya yang muncul.
"Ayah! Dia di sana!" teriak Baswara, menunjuk ke arah pusaran api yang berkobar di antara kepulan awan panas di puncak Mahameru.
Raja Indrajaya dan Panglima Brasma menyaksikan dengan mata mereka sendiri kekacauan itu, kekuatan yang tak terkendali memutar-mutar di puncak tertinggi pulau.
"Kalian, kembali! Setelah ini urusan kami sekarang!" seru Raja Indrajaya kepada para prajurit yang mendampingi mereka.
"Ta—tapi, yang mulia! Tempat itu terlalu berbahaya! Biarkan kami ikut bersama!" pinta seorang prajurit dengan nada cemas.
"Jangan sia-siakan nyawa kalian. Ramajaya dan Kerajaan Indrajaya masih membutuhkan kalian!" Raja Indrajaya menegaskan, suaranya penuh kewibawaan.
Walaupun hati mereka berat, para prajurit itu pun memutuskan untuk mundur, meninggalkan tiga sosok yang akan melanjutkan perjalanan ke pusat bencana.
"Prajurit Indrajaya!" panggil Baswara tiba-tiba. Ia menghampiri para prajurit yang berbalik badan. Mereka menoleh, menatapnya dengan kebingungan.
“Sampaikan salamku pada Ramajaya, dan berikan ini padanya.” Baswara melepas sebuah ikatan tali dari pinggangnya dan menyerahkannya kepada salah satu prajurit.
Begitu tali itu berpindah tangan, prajurit tersebut terhenyak oleh beban kekuatan yang terkandung di dalamnya. Dengan susah payah, ia menggenggam tali itu.