kalong Profile picture
Nov 13, 2021 340 tweets >60 min read Read on X
-PESUGIHAN BULUS JIMBUNG-

"awakmu bakal metu bercak puteh. Soyo sue awakmu sugeh, soyo akeh bercak puteh iku, yen bercak puteh iku wes nutupi awakmu, iling-ilingo! Nyawamu bakal dadi penggantine!"

#bacahorror @bacahorror @JeroPoint Image
Disclaimer;

Segala bentuk nama dan lokasi dalam cerita ini disamarkan demi melindungi pihak lain yang ada dalam cerita. Untuk itu, bagi teman-teman yang menyadari segala bentuk ‘clue’ dalam cerita ini harap menyimpannya untuk diri sendiri saja.
Akan saya mulai nanti malam setelah tutup warung 😂🙏.
fenomena seperti ini memang jarang kita temui, apalagi bersinggungan langsung dengan pelaku, dan mungkin hanya sekelumit orang yang tahu akan ciri fisik tersebut. Dalam artian seseorang yang mampu atau mempunyai ilmu kebatinan.
Pada thread kali ini, saya akan sedikit menceritakan fenomena seperti judul di atas. Ini berdasarkan dari kisah nyata yang akan saya bumbui agar enak untuk di baca.
Malam itu secara tak sengaja, saya bertemu dengan seseorang, sebut saja Pak Joko. Kami berdua sudah saling mengenal satu sama lain. Mengobrol sembari menikmati kopi di angkringan.
Sampai di suatu obrolan kami terhenti, seseorang lewat dengan sepeda yang harganya bisa mencapai puluhan juta. Namun ada satu yang aneh yang membuat saya harus menanyakan satu hal kepada beliau.
Ya. Orang itu bersepeda dengan beberapa bercak putih di badannya. Hampir keseluruhan tertutup oleh bercak itu kecuali kepalanya.
Saya menyimpulkan seperti itu karena dari atas mata kaki dan ujung tangannya sudah menunjukkan warna putih, yang mana, warna itu seperti warna kulit yang terkena air panas yang mendidih atau seperti panu yang menjalar.
Saya langsung bertanya kepada Pak Joko terkait fenomena yang saya lihat, dan sebelumnya saya juga sudah pernah mendengar tentang pesugihan tersebut.

Pak Joko pun bercerita. Dan di sini akan saya mulai.
"Tokk, Tokk, Tokk...."

Begitulah bunyi kentongan yang dipukul ketika lelaki berperut buncit itu menjajakan dagangannya. Pelan namun pasti, terdengar nyaring di telinga. Meski suasana sudah sedikit gelap. Namun, gurat wajah lelaki itu masih menyiratkan semangat untuk berdagang.
"Tinggal beberapa porsi lagi habis," gumamnya, sembari mendorong gerobaknya berbelok ke arah gapura perkampungan.

Namun, sebelum gerobak itu masuk lebih dalam, sebentar ia menghentikan dan memalingkan wajahnya ke belakang, -
-sembari berteriak lantang seirama dengan gerak tangannya di permukaan kentongan kayu yang di gantung.

"Mie ayam ... Mie Ayam ...," teriaknya penuh semangat.

"Pak Rus ... Mie Ayam!"
Sontak penjual itu memfokuskan pandangannya ke depan. Rupanya perempuan berdaster merah dengan motif bunga itu adalah pelanggan setianya. Pak Rus lantas menghampiri perempuan yang biasa disapa Mbak Nur itu.
"Mie Ayam tiga porsi ya, Pak. Seperti biasanya," pinta Mbak Nur.

Sudah sepuluh tahun lamanya Rusman berdagang Mie Ayam keliling. Ia dan sang istri memberanikan diri mengadu nasib di kota.
Mencari nafkah jauh-jauh dari desa hanya berbekal ilmu membuat adonan Mie yang ia pelajari turun-temurun dari keluarga.

Meski telah bekerja tak kenal lelah, hidup mereka masih saja tak berubah. Mereka berdua tinggal di rumah kontrakan.
Ruangan sebesar 4x4 meter itu menjadi saksi bisu perjuangan keduanya dalam melawan ganasnya roda kehidupan. Sempit. Namun, di sanalah mereka bernaung dan merebahkan segala lelah yang melanda seusai lelah bekerja keras seharian.
Setiap pukul 02.00 dini hari, Rusman beserta istrinya selalu rutin ke pasar untuk membeli bahan-bahan dasar mie ayam yang akan mereka olah sebelum akhirnya Rusman jajakan. Tepat pukul 06.00 pagi, Rusman sudah siap untuk menjajakan dagangannya berkeliling kampung.
"Ini Mbak Mie-nya," ucap Rusman mempersilakan.

"Terima kasih, Pak," sahut Mbak Nur, seraya menyodorkan beberapa lembar uang sepuluh ribuan kepada Rusman.

"Alhamdulillah," desisnya pelan.
Rusman kembali menata beberapa mangkoknya dan berniat segera beranjak. Namun, seorang pria bertubuh kerempeng segera menghentikan langkahnya.

"Pak, Mie ayam satu, ya. Makan sini aja," lontarnya.

"Baik, Mas. Ditunggu dulu, ya."
Rusman lantas menurunkan sebuah bangku plastik dari atas gerobaknya dan mempersilakan pria itu duduk. Rusman tak membutuhkan waktu yang lama untuk menyediakan semangkok mie ayam dengan cita rasa gurihnya, sebab ini memang telah menjadi keahliannya.
"Silakan, Mas."

"Terima kasih, Pak."

Rusman yang nampak sibuk membereskan beberapa mangkok, sesekali matanya mengamati pelanggan yang sedang menikmati mie ayam yang ia buat. Tak berselang lama, lelaki bertubuh kurus itu berceletuk.

"Enak, Pak."
Rusman tersenyum kecil, ada sedikit kebanggaan dalam hatinya.

"Terima kasih, Mas," sahutnya pelan.
Selama hampir 15 menit Rusman menunggu pelanggan itu selesai menyantap mie-nya. Seusai menerima bayaran, Rusman segera membereskan mangkok dan mengembalikan kursi pada tempat semula. Ia lantas kembali mendorong gerobaknya berkeliling menyusuri jalan.
"Besok, lewat lagi ya, Pak," teriak pria berbadan kurus yang merupakan rekan baik Mbak Nur.

Rusman terus berjalan, sembari memalingkan wajahnya ke belakang lantas mengacungkan jempolnya ke atas.
Meski memiliki beberapa pelanggan tetap, hasil jualan Rusman masih begitu kurang untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Selama hampir sepuluh tahun hidup di kota, senyatanya ia masih saja melarat.
Ditambah lagi, ia jg istrinya yang belum memiliki momongan, seolah menambah beban dalam hidupnya. Namun, mereka tak lantas menyerah, keduanya berusaha keras agar momongan itu hadir di tengah-tengah mereka. Akan tetapi, sekeras apa pun upaya manusia, tetap Tuhanlah yang menentukan
Beberapa saat berjalan, Rusman memfokuskan pandangan beberapa meter ke depan, di mana sebuah pos kamling nampak begitu ramai.

Rusman mempercepat laju langkahnya, berharap salah satu dari kumpulan pria paruh baya itu bersedia membeli dagangannya.
"Mi ayam, Pak," ucap Rusman, sembari menyunggingkan senyum ringan.

Namun, tak ada satu pun yang bersedia membeli dagangannya. Hingga, Rusman memutuskan untuk kembali mendorong gerobaknya. Selama hampir 20 menit Rusman berkeliling, -
-ia membelokkan gerobaknya memasuki sebuah jalan gelap yang mengarah ke jalan raya.

"Astagfirullah!" Rusman terkejut bukan kepalang, saat sebuah mobil melaju begitu cepat, sebelum akhirnya terdengar suara benturan keras yang memekakkan telinga.
Rusman bergegas berlari ke depan, demi dapat melihat peristiwa nahas itu lebih dekat. Rusman kembali terkejut saat bola matanya melihat secara langsung mobil hitam itu nampak ringsek di bagian depan, seusai menabrak beton pembatas. Seusai mengamati mobil itu secara saksama,
rasanya Rusman merasa begitu familiar. Rusman lantas memberanikan diri melihat ke dalam, melalui kaca samping kemudi, di mana seorang lelaki berjas hitam nampak tertunduk di atas kemudi.

"Pak ... Pak ...."
Rusman mengguncang bahu lelaki itu secara perlahan. Namun, upayanya sia-sia, Rusman lantas menarik bahu lelaki itu hingga membuatnya bersandar di bahu kursi.

"Pak Susilo!" pekiknya terkejut.
Beberapa orang yang juga melihat peristiwa nahas itu, segera berkerumun mengelilingi mobil. Bahu-membahu mereka mengeluarkan tubuh Pak Susilo yang sedikit terjepit. Rusman yang juga turut andil dalam upaya evakuasi itu,
seolah tak percaya bahwa korban kecelakaan itu adalah tetangganya sendiri.

Seusai berhasil mengeluarkan tubuh Pak Susilo, Rusman lantas mengedarkan pandangan ke beberapa penjuru. Seolah ada sesuatu yang menarik perhatiannya.
Benar saja, ia mendapati ada kejanggalan yang nampak nyata di depannya. Namun, selekas kemudian ia tepis begitu saja. Mengingat banyaknya orang yang tengah dilanda kepanikan malam itu.
Beberapa orang nampak sibuk menghubungi tenaga medis. Adapula yang menelpon pihak berwajib demi mengusut penyebab peristiwa nahas malam itu.

"Alhamdulillah, masih hidup!" seru seorang lelaki, seusai memastikan detak jantung Pak Susilo.
Tak berselang lama, sirine mobil ambulan terdengar meraung-raung dari arah selatan. Semua orang nampak lega melihat mobil ambulan telah datang. Beberapa tenaga kesehatan segera memindahkan tubuh Pak Susilo di atas tandu dan segera melarikannya menuju Rumah Sakit.
Seusai Pak Susilo dievakuasi ke Rumah Sakit, Rusman kembali mengamati mobil hitam itu.

Sepintas ia merasakan ada hal ganjil dari mobil yang nampak ringsek itu. Bersamaan dengan itu, Rusman juga mencium aroma wangi beberapa jenis bunga dari sudut jalan.
Rusman memberanikan diri untuk menghampiri sudut jalan itu. Namun, niatnya seketika ia urungkan seusai matanya menangkap lampu sirine biru yang nampak menyilaukan mata.
Rusman lantas kembali mendorong gerobaknya dan pulang dengan rasa penasaran yang terus meraja.
Di tengah jalan menuju rumah, seketika terpikir dalam hatinya untuk mendalami sebuah ilmu hitam. Entah dari mana niat kotor itu muncul dalam benaknya. Mengingat nasibnya yang tak kunjung berubah, membuat Rusman bertekad untuk mengambil jalan pintas.
Pasalnya, di desa tempatnya tinggal dahulu, ilmu hitam adalah hal yang lumrah. Bahkan, hal klenik sudah menjadi makanan sehari-hari bagi penduduk desanya.
Di tengah lamunannya itu, kehadiran seorang kakek tua yang tiba-tiba muncul membuat Rusman terperanjat. Kakek tua itu menggeleng pelan, seolah tengah memberinya satu isyarat agar ia mengurungkan niat buruknya itu.
Sayangnya, saat Rusman hendak mendekatinya, seketika itu pula lelaki itu menghilang.
Belum paham akan isyarat itu, lantas Rusman melanjutkan perjalanan pulang. Hati dan pikirannya telah terasuki, dikuasai oleh niatan untuk mendalami ilmu hitam. Bahkan, tanpa memikirkan sedikit pun akibat dari perbuatannya kelak.
Maaf nich semalam sayah terus tilem 😂
Bosan dirundung kemiskinan, Rusman diam-diam mencari jalan pintas. Ia akhirnya memilih untuk mempelajari ilmu hitam, menukar nyawanya dengan harta. Rusman baru ingat, beberapa hari yang lalu, tepatnya saat mengobrol dengan seseorang di sebuah warung kopi.
"Pie Rus, dagangan mu? Laris?" tanya lelaki di depannya yang biasa di panggil Kartiman.
( gimana Rus, jualanmu? laris)

"Yo podo biasane, Man. Kadang iseh, kadang ludes" jawab Rusman pelan, sembari mengaduk-aduk kopi hitam miliknya yang masih panas.
(Seperti biasanya Man, kadang masih, kadang habis)

Kartiman memberi isyarat Rusman untuk mendekat, "Nek awakmu pengen laris, aku eneng solusi, Rus. Tapi iki resiko" tutur Kartiman nyaris berbisik.
(Kalau mau laris, aku ada solusi, tapi beresiko)
"Opo Man?" jawab Rusman, kala tak tahan lagi dengan rasa penasarannya setelah mendengar Kartiman.

"Pesugihan, Rus" jawab Kartiman pelan, penuh antusias disertai senyum tawa mengembang.
Sejenak Rusman terdiam, Rusman sendiri yang awalnya hanya mengerutkan kening. Menatap penuh selidik ke arah Kartiman, tak berapa lama, perasaan itu kembali memancar bahkan terlihat jelas dari raut wajah Rusman. Rusman semakin antusias untuk mendengar penjelasan dari Kartiman.
"Pesugihan opo, Man?" tanya Rusman semakin penasaran.

"Bulus Jimbung!"

"Wes ayo lungo, tak jelasno nang omah!" pungkas Kartiman, mengajak Rusman untuk segera meninggalkan tempat itu. ( sudah ayo pergi, aku jelaskan di rumah)
Perbincangan seputar pesugihan itu terus berlanjut hingga keduanya sudah berada di ruang tamu. Kartiman masih sibuk dengan kertas yang ia bolak-balik, seperti mencari sesuatu, sampai akhirnya, Rusman terkejut dengan satu ucapan keras dari Kartiman, menyebut sebuah nama desa.
Rusman terhenyak, setelah mendengar nama desa itu, ia tau betul dengan desa tersebut, desa dimana salah satu perempuan yang bernama Siti yang tak lain istri Rusman dilahirkan. Namun setelah orangtua Siti meninggal, Rusman mengajak istrinya tinggal di kampung halamannya.
Rusman berfikir sejenak, apakah dia akan mengambil jalan itu atau tidak sama sekali.

***
Ia yang tengah duduk di kursi tamu berwarna coklat memudar, sambil menghiraukan rokok yang kini sudah mulai terbakar habis, tak menyadari jika di belakangnya, ada sosok wanita yang tengah terdiam memperhatikan penuh rasa heran akan sikapnya.
"Mas ... Mas Rus kenapa, kok ngelamun?" tanya sang wanita yang tak lain istri dari Rusman, kala tak tahan lagi dengan rasa penasaran melihat sikap suaminya.
Rusman tergelak kaget, mendengar suara istrinya, yang kini sudah berdiri tepat di belakang sambil menyentuh bahunya.
Membuyarkan lamunan Rusman. Namun, tak berapa lama, raut wajah Rusman terlihat memancar bahkan lebih terlihat jelas, saat dirinya ingin membicarakan sesuatu hal dengan istrinya.
Entah berapa lama Siti terhanyut oleh penjelasan dari suaminya tentang pesugihan yang akan ia lakukan, Siti menolak, namun sesaat kemudian, Siti mengiyakan setelah Rusman memberitahu jika kedepannya mereka akan hidup bergelimang harta.
Hingga tetiba ia bangkit dan beranjak menuju kamar mandi yang berada di belakang. Setelah menahan beberapa menit, menuntaskan hajatnya, Rusman hendak kembali dimana Siti sedang menunggu.
Namun langkahnya seketika terhenti, manakala pintu kamar mandi tiba-tiba tertutup keras, netranya menangkap satu sosok tengah berjalan cepat nyaris berlari ke arah samping ruangan kamar mandi.
Ia penasaran, baru saja kakinya menginjak lantai pawon, pencariannya terhenti ketika Rusman mendengar teriakan keras istrinya.
Disaat itulah, Rusman baru menyadari, istrinya sudah tergeletak di lantai. Dengan tergesa-gesa Rusman membopong tubuh Siti masuk ke dalam kamarnya. Setelah beberapa kali Rusman mengoles hidung Siti dengan minyak kayu putih, akhirnya Siti sadar.
Saat itulah, Rusman berniat untuk menanyakan kepada istrinya perihal apa yang terjadi beberapa menit yang lalu, namun setelah melihat kondisi Siti yang masih syok, ia urungkan niatnya.

***
Pagi hari setelah mengalami awal hal buruk, Rusman masih teringat dengan ucapan Kartiman tompo hari. Ia berniat siang ini akan bertolak ke kampung halaman istrinya setelah berpamitan dengan Siti. Wajahnya terlihat semangat dengan guratan yang semakin hari semakin jelas.
Terlihat jelas dari pancaran indra penglihatannya, sebuah semangat yang menggebu-gebu. Lain halnya dengan Siti istri Rusman, manakala ia masih teringat dengan sosok yang mendatangi malam itu.
Tapi lagi-lagi semua itu hanya mampu ia pendam. Berat baginya untuk mengatakan kepada Rusman atas apa yang telah dirinya alami semalam. Sejujurnya Siti menolak sendirian di rumah ketika Rusman berpamitan, namun, demi masa depan yang cerah, akhirnya -
-Siti mengijinkan Rusman untuk pergi sementara.
Rusman akhirnya memesan tiket kereta untuk tujuan kota gudeg, untuk menemui salah satu kerabatnya yang akan menemaninya.
Setelah 10 jam perjalanan, binar kebahagiaan terpancar dari raut wajah Rusman, manakala ia akhirnya tiba di stasiun yang kini terlihat lebih ramai hiruk pikuk para insan dari pada sepuluh tahun yang lalu.
Rusman berjalan keluar dari stasiun, sesekali matanya menyapu kesana-kemari, mencari seseorang yang akan menjemputnya. Saat itulah satu teriakkan lantang dari lelaki rambut gondrong menyadarkan Rusman yang sedang kebingungan.
"Rus..." teriaknya sembari melambaikan tangan, memberikan satu isyarat. Rusman seketika menoleh ke arah suara, kala ia mengetahui jika lelaki gondrong itu sudah berdiri tak jauh dari posisi Rusman berdiri.
Setelah berbincang dan menanyakan kabar, akhirnya mereka segera meninggalkan stasiun itu. Satu jam perjalanan, mereka berhenti sejenak di sebuah warung kopi pinggir jalan
Menikmati suasana pedesaan yang sudah mulai berkembang. Meski rembulan sudah menunjukkan wajahnya, namun tak membuat Rusman mengendurkan semangat. Beberapa saat kemudian, setelah Rusman menghabiskan beberapa teguk kopi miliknya, ia teringat dengan Siti.
Sepi dan dingin itulah yang Siti rasakan sepeninggalan suaminya. Malam itu ia berniat untuk mengunjungi tetangga dekatnya untuk mencari teman berbincang. Namun, saat langkah pertama Siti keluar, ia di buat tercengang, manakala, tepat di hadapannya,
ia melihat satu sosok yang sangat ia kenal. Siti mencoba untuk memastikan, apakah ia sedang berhalusinasi atau memang nyata. "Mas Rusman?", tanya Siti penuh selidik, "kok balik Mas? Gak jadi ta?".
Namun sosok yang mirip dengan suaminya itu hanya diam sembari berjalan masuk melewatinya. Siti mulanya sedikit curiga, namun setelah yakin jika itu Rusman suaminya, Siti menutup pintu. Ia segera bergegas melangkah menuju dapur.
Jari-jari tangannya langsung menakar gula serta bubuk kopi ke dalam gelas. Akan tetapi, sebelum ia menuangkan air panas pada gelas, Siti sedikit terjingkat kaget, kala satu siutan angin lembut nan dingin menerpa di balik telinganya.
Ketika tau, bahwa yang baru saja dilakukan dari belakang adalah Rusman. Apalagi, saat tangan Rusman mulai memeluk Siti dengan dibarengi jilatan lidah di lehernya, tampak mata Siti terpejam seperti tengah menikmati.
Sejenak mereka saling bertatapan, Rusman yang semakin agresif menatap lekat dari kaki sampai ujung rambut Siti. Membuat Siti sendiri merasa begitu aneh dengan sikap sosok suaminya.
Jantung Siti mulai terasa berdegup kencang dibarengi desiran darah yang mengalir lebih deras, ketika dengan perlahan sosok Rusman mendekatinya. Padahal, ia dan Rusman sudah hidup bersama beberapa tahun meski belum di karuniai keturunan.
Tak pernah ia merasakan hal seperti itu lagi setelah menikah. Namun malam itu, entah mengapa, ia merasakan hal lain saat berada tepat di hadapan sosok suaminya. Siti mencium bau aneh saat di peluk suaminya, seperti umbi bakar.
Sebentar kemudian, tubuh Siti terasa kaku ketika dengan pelan tangan Rusman memeluknya. Tak lama, Siti benar-benar merasakan hal aneh. Tidak biasanya suaminya sangat agresif, namun semua itu hanya mampu Siti ucap dalam hati.
Tanpa ia sadari tubuhnya sudah terdorong masuk kedalam kamar bersama tubuh dingin sosok suaminya.

Siti terbangun tanpa sehelai menutupi tubuhnya. Dengan kondisi yang masih lemas, pandangannya nanar menatap atap, manakala saat matanya menyapu ruangan, tak didapati sosok Rusman,
membuat dirinya meyakini bahwa sosok yang telah menggaulinya semalam bukanlah Rusman, suaminya. Entah berapa kali Siti merasakan kenikmatan, yang ia rasakan saat itu, seluruh tubuhnya terasa nyeri dan ngilu. Kekuatan Rusman malam itu terasa sangat berbeda dengan biasanya.
Beberapa pertanyaan sudah Siti siapkan untuk Rusman, namun, setelah mencari di setiap ruangan, ia tak mendapati suaminya berada. Siti terkejut setelah mendapati pesan text dari handphone miliknya, pesan dari Rusman yang mengabari, jika malam itu, ia sudah sampai di kota gudeg.
Seketika Siti terduduk dalam diam, meratapi kejadian beberapa jam yang lalu menimpanya. Pikirannya kalut memikirkan hal-hal selanjutnya yang akan terjadi. Dengan perasaan yang campur aduk, Siti bergegas menekan tombol pada layar handphonenya,
menelfon suaminya untuk menceritakan kejadian beberapa jam yang lalau.

Alih-alih memberi kenyamanan, justru Rusman menganggap jika Siti hanya bermimpi atau berhalusinasi. Siti yang mendengar kalimat itu, sedikit emosi, karena apa yang ia alami semalam memang nyata, namun,
beberapa menit kemudian setelah Siti terdiam, emosinya berangsur meredup kala Rusman memberikan kabar baik untuk kehidupan mereka.

***
Dirasa sudah cukup, mereka akhirnya melanjutkan perjalanan yang tertunda. Tiga puluh menit sudah berlalu dengan lelaki gondrong yang menjadi driver motor miliknya, juga sebagai penunjuk jalan, masih terus memacu dan mengarah ke ujung timur kota Jogja.
Sebuah keberanian yang luar biasa, dua orang yang hampir berusia senja yang rela menempuh perjalanan sepi dan terkenal akan angker. Rela melewati sela-sela hamparan sawah, demi sebuah urusan duniawi yang tak berpangkal.
"Meh tekan, Rus. Sampean siap to!" ucap lelaki gondrong sambil memelankan laju kendaraan. ( sudah hampir sampai Rus, kamu siap kan)

"Siap, Rip. Aku wes niat njobo njero!" jawab Rusman mantap, tegas, di sela gemuruh angin yang menerpa laju motor.
( siap rip, aku sudah niat luar dalam)
Lelaki gondrong yang akrab di panggil Surip akhirnya kembali menarik tuas gas, setelah mendengar tekad Rusman yang tak surut. Ia pun tak lagi segan-segan melewati jalanan sunyi, menembus semilir angin yang mulai dingin, di area sebuah hutan
Sepuluh menit kemudian, Surip menepikan kendaraan dan menghentikannya, di sisi sebuah persimpangan, menanyakan kembali niat Rusman. Rusman pun menjawab dengan jawaban lebih mantap lagi, "rasah kakean takon. kesuwen, Rip. Wes tekan durung!"
( jangan banyak tanya, kelamaan Rip, sudah sampai belum). Tawa keras terdengar dari mulut Surip yang penuh dengan kumis tebalnya, setelah mendengar jawaban Rusman. "Delok neh tekan, Rus!" ( sebentar lagi sampai)
Surip menyalakan kembali motornya, menembus jalanan gelap, hanya cahaya dari pantulan lampu motornya sebagai penerangan jalan. Hingga akhirnya mereka sampai pada sebuah rumah kecil, atau lebih di sebut sebuah gubuk setelah beberapa ratus meter berjalan.
Mereka berhenti tepat di depan plataran luas dengan pemandangan yang membuat mata tercengang. Setelah keberanian memenuhi benaknya, mereka memberanikan berjalan menuju tangga kayu yang mengarah ke atas.
Di mana terdapat sebuah pintu papan kayu berukir, sebagai akses utama untuk masuk ke dalam gubuk.
Sunyi dan hening, sebentar terasa menyentuh jiwa Rusman, Itulah yang Rusman rasakan saat tiba di sana. Namun dari semua itu, tak di pungkiri oleh Rusman bila ada ketidaknyamanan mulai menghinggapi. Dengan tatapan kebingungan sekaligus penasaran, Rusman menyapu pandangannya,
kemana semua orang pergi. Sejenak Rusman berdiam diri sebentar, merasakan kesunyian sejenak, sembari melihat langit-langit. Sedetik kemudian, "Krriieeettt....","Monggo, wes tak tunggu, Kang?"(silahkan, sudah saya tunggu)
Rusman dan Surip sedikit terperanjat kaget, mendengar suara pintu terbuka, di susul suara serak seorang lelaki tua berbaju serba hitam, dengan blangkon kain hitam membalut kepala, menutupi rambut putihnya.
"Njeh, Mbah. Niki kulo Surip," sahut Surip memperkenalkan diri. (Iya, Mbah. Ini saya Surip,)

"Ohh, yo. Kene mlebu." ajak lelaki tua, dengan wajah datar. (sini masuk)
Tanpa menyahut dan menunggu, Surip dan Rusman segera melangkah masuk mengikuti sosok pemilik gubuk. Sesampainya di dalam, tubuh Rusman seketika merinding. Raut di wajahnya begitu kentara ketika melihat isi dalam gubuk yang tak lebih luas dari kamarnya.
Di mana, di setiap sudut ruang berdinding papan, tertutupi kain hitam menjuntai. Terdapat juga sebuah tungku kecil yang mengeluarkan kepulan asap putih, dengan aroma khas wangi dupa kawi.
"Ono perlu opo, Kang. Kok bengi-bengi nekat rene?" tanya sosok lelaki tua, sembari menyalakan dupa kawi yang sebelumnya sudah hampir habis terbakar. (Ada kepentingan apa, Mas. Sudah malam seperti ini nekat ke sini?)
"Eh..Niki, Mbah. Rencang kulo, wonten keperluan. Bade nyuwun bantuan kaleh simbah, kangge ngrampungake masalae meniko," jawab Surip, sedikit terbata. (Ini, Mbah. Teman saya, ada perlu. Mau minta bantuan sama Simbah, untuk menyelesaikan masalahnya itu,)
"Opo keperluane, Kang?" tanya sang lelaki tua kembali. ( apa keperluannya)

Saat itu, Surip pun langsung memberi isyarat pada Rusman, agar dirinya sendiri yang menceritakan semua permasalahannya.
Satu tarikan nafas berat, mengawali cerita singkat Rusman. Ia begitu detail menceritakannya. Sang lelaki tua berperawakan tinggi kurus, yang mendengarkan begitu seksama, sebentar menganggukkan kepala beberapa kali.
Matanya sesaat menatap Surip dan Rusman bergantian. Sebelum tatapannya lekat pada Rusman.

"saiki jalukmu opo? tapi sak durunge, ilingo! yen kabeh seng tok karepke iku bakal kewujud, mesti ono penitene!" ucap sosok lelaki tua tegas, setelah mengetahui permasalahan yg dihadapi.
(sekarang maumu apa? tapi sebelumnya, ingat! kalau semua yang kamu inginkan itu bisa terwujud, pasti ada imbalannya!)

"Njeh, Mbah. Kulo siap kangge penitene nopo mawon, asal nopo seng dadi kekarepane kulo kelaksanan,"
jawab Rusman tanpa ragu, membuat sosok lelaki tua yang di panggil Mbah Harjo tersenyum tipis. (Iya, Mbah. Saya siap untuk imbalannya apa saja, asal apa yang menjadi keinginan saya terlaksana,)
Perbincangan terus berlanjut dengan semua tujuan dan apa yang di inginkan Rusman. Kenekatan Rusman yang di ungkapkan, membuat Surip sedikit terperanjat. Ia tak menduga, jika sahabat karibnya sedemikian berambisi, demi kekayaan yang melimpah, ia rela menggadaikan nyawanya sendiri.
Setelah semua keinginan telah mendapat kesanggupan Mbah Harjo, dan Rusman pun menyanggupi semua syaratnya, malam itu menjadi awal terjadinya sebuah perjanjian. Di mulai dengan sebuah ritual yang wajib bagi Rusman, dasar dari beberapa ritual selanjutnya.
Satu keanehan, seketika di rasakan Surip dan Rusman, manakala saat keduanya keluar dari jalan kecil menuju simpang tempat mereka memarkirkan kendaraan. Hampir saja Surip berbalik arah ingin memastikan ke tempat Mbah Harjo, jika tak di cegah oleh Rusman.
Bukan tanpa alasan Surip merasa ketakutan. Pasalnya, ia tau betul, jika di sekitar tempat itu, yang sudah beberapa kali ia datangi bahkan sebelum membawa Rusman, ia tak pernah melihat satupun rumah yang berdiri.
Namun kali ini, matanya jelas dan terang melihat sekeliling tempat itu telah berdiri puluhan rumah berjejer di sepanjang jalan. Tak hanya itu, hilir mudik dari beberapa sosok layaknya sebuah perkampungan, semakin membuat Surip ketakutan.
Buru-buru Surip menghidupkan mesin dan segera menarik tuas gas. Meninggalkan tempat yang aneh dan menakutkan baginya. Ia terus berfokus ke depan, ke jalanan yang di terangi pantulan cahaya lampu motornya.
Tanpa memperdulikan tatapan sosok-sosok wanita mengerikan dan sosok yang terbungkus kain putih.
Hingga tiba di ujung jalan perkampungan, lagi-lagi Surip di kejutkan satu pemandangan menakutkan. Di mana, tepat di depannya, puluhan pocong dan kuntilanak berbaris dan bergelantungan di bawah sebuah pohon randu alas yang tinggi menjulang,
menebarkan aroma bebauan yang membuat perut Surip bergejolak.

"Terus, Rip. Rausah di gagas"

Surip yang sudah di selimuti rasa takut, akhirnya meneruskan perjalanan setelah mendengar ucapan Rusman.
Meski telah terbiasa dengan hal-hal mistis, Surip baru kali ini merasakan hal menakutkan sampai membuat tubuhnya seolah mati rasa. Bahkan, saat melewati barisan sosok-sosok pocong dan keanekaragaman hayati kuntilanak,
rasa takutnya memaksa untuk meneteskan air matanya.

Surip akhirnya sedikit bernapas lega, saat setelah melewati beberapa meter pohon randu alas. Ia yang tak kuasa lagi menahan rasa tegang, sejenak menghentikan laju kendaraan.
Menarik nafas dalam-dalam, sebelum turun serta membalikan badan. Hal yang sama di lakukan oleh Rusman, dirinya yang berdiri di sisi Surip, bersamaan menatap ke arah belakang.

"Jancuk" satu umpatan terlontar dari mulut Surip, membuat Rusman seketika tertawa.
"Uwes, Rip. Saiki balik wae. Sesuk aku ijeh eneng ritual" sahut Rusman pelan.
( sudah, pulang saja. Besok aku masih ada ritual)

Surip mengangguk setelah mendengar penuturan Rusman. Ia kemudian kembali mengemudi menuju kediamannya, yang dilanjutkan istirahat.

***
Malam itu mendung, angin bertiup lebih dingin dari biasanya, membuat siapa pun orang yg merasakannya pasti menjadi gelisah. Hal itu yg dirasakan oleh Rusman, manakala, malam ini adalah malam terakhir untuknya melakukan ritual.
Rusman sedang berdiri di depan rumah yang tidak terlalu besar, menikmati malam dengan hiruk-pikuk suara binatang malam sembari menunggu Surip setelah menuntaskan pekerjaan sebagai kurir expedisi.
Seusai Rusman menyiapkan bekal dan syarat yang harus ia bawa, Supri segera menyalakan motor kesayangannya, memulai perjalanan menembus gelapnya malam. Di perjalanan yang masih ramai aktivitas para insan, Surip membuka obrolan agar suasana tidak canggung.
Tiga puluh menit sudah berlalu, Supri membelokkan kendaraannya dan berhenti setelah melewati persimpangan.

"Rip, lha endi sendang e?" tanya Rusman di sela-sela Surip sedang mengunci kendaraannya. ( dimana sendang nya)
"Kae lho, Rus!" jawab Surip.
(Itu lho rus)

Nampak sebuah gapura yang menjadi akses utama pintu masuk, mereka kemudian meninggalkan motornya di sisi barat. Tak dapat di pungkiri oleh Rusman saat itu, bahwa perasaannya muncul sebuah ketakutan yang luar biasa -
setelah apa yang ia lihat di depannya, kala netranya menangkap sebuah pohon besar yang menjulang tinggi menampakan sisi gelap tempat itu. Tepat dibawah pohon, terdapat sebuah sumber air yang jernih.
Malam itu tak seperti biasanya, terdengar suara gemuruh mulai bersahutan, menandakan hujan akan tiba, namun itu tak menyurutkan niat Rusman. Setiba disana, Rusman segera bergegas menggelar beberapa syarat yang ia bawa di pinggir sendang.
Ia tata rapi di bawah sebuah pohon besar yang ada di hadapannya.

Setelah siap, Rusman segera melucuti semua pakaiannya, hanya menyisakan celana dalam berwarna coklat memudar. Sesaat kemudian, Rusman perlahan masuk ke dalam sendang dan bersemedi.
Konon katanya, di sendang itu terdapat penunggu berupa bulus putih atau kura-kura berpunggung lunak. Hanya orang-orang yang beruntung yang dapat melihatnya. Bagi mereka yang dapat melihat bulus putih itu, maka segala keinginan akan terwujud.
Ketika bersemedi dengan fokus Rusman membaca sebuah mantra yang ia dapatkan dari Mbah Harjo. Air merendam setengah dadanya. Menyisakan sebagian kecil dada, leher, dan kepala yang tidak terendam.
Suasana seketika menjadi sepi dan hening, tiba-tiba Rusman mendengar percikan air yang berasal dari sisi sebelah kiri. Arus air yang mulanya tenang, tiba-tiba bergelombang. Tak lebih dari sepuluh detik, Rusman merasakan ada percik air yang mengenai wajahnya,
disaat itulah Rusman bisa melihat dengan jelas, sosok yang nyata di hadapannya. Tampak raut wajah Rusman sebentar mempias, namun setelahnya senyum Rusman mengembang tak percaya, bahwa apa yang ia lihat adalah seekor Bulus berwarna putih.
Sejenak Rusman terdiam, namun setelahnya beberapa kalimat permintaan terlontar dari mulut Rusman yang mulai bergetar karena kedinginan.

"Kulo kepingin sugih, Mbah. Kagungan toko bakso, mobil, lan griya. kula ugi kajeng gadhah lare mbah" tutur Rusman selama bersemedi di air.
(Aku ingin kaya mbah, punya 15 toko bakso, mobil, dan rumah. Aku juga ingin punya anak mbah).

Bulus itu kemudian berbicara “nanging ono regane!" (Tapi ada harganya)
“awakmu bakal metu bercak puteh. Soyo sue awakmu sugeh, soyo akeh bercak puteh iku, yen bercak puteh iku wes nutupi awakmu, iling-ilingo! Nyawamu bakal dadi penggantine!" tuturnya dengan suara berat.
( Di tubuhmu akan muncul bercak putih. Semakin kamu kaya, semakin lebar bercak putih itu. Dan ketika bercak putih itu menyelimuti tubuhmu, ingat, nyawamu sebagai gantinya)
"Njih, Mbah. Kulo pun siap" jawab Rusman dibarengi anggukkan.

"Sakwise iki, awakmu bakal ndelok opo sik tok karepke terkabul".
(Setelah ini, kamu akan melihat apa yang kamu minta akan terkabul)
Tiba-tiba tubuhnya terasa panas serta sesak di bagian dada yang menembus ke punggung belakang. Namun tak sampai sepuluh detik, Rusman merasakan kembali perubahan aneh di tubuhnya.
Ia juga merasa bila otot-otot yang menjalar, seperti lentur tergerak dengan sendirinya. Dan tepat di saat itu, netra Rusman melihat sebuah kilatan cahaya yang kemudian menyambar tubuhnya.
"Bukak en mripatmu. Awakmu wes rampung. Wes ono seng bakal ngewangi seko sak jroning kawah peteng ing jagad lelembut!"(Buka matamu. Kamu sudah selesai. Sudah ada yang akan membantumu dari tempat kegelapan yang maha luas bangsa lelembut!)
Kali ini suara dari sosok Bulus itu terdengar tegas dan menggema di telinga Rusman, membuatnya segera membuka mata, seperti perintah yang di ucapkan.

Harum semerbak tercium memenuhi rongga hidung Rusman, sesaat sebelum matanya terbuka.
Setelahnya, decak kagum bersamaan bola matanya yang terbelalak, menandakan sesuatu yang aneh tengah Rusman alami. Bagaimana tidak, yang kini terpampang di depannya, di sekelilingnya, adalah sebuah pemandangan yang begitu nyata di rasa Rusman,
beberapa restoran bakso dengan plakat nama dirinya, rumah bak istana dan tiga anak kecil yang sedang bermain dengan Siti istri Rusman.
Rasa kagum Rusman sesaat terhenti ketika matanya menangkap sesosok makhluk yang aneh, nyaris seperti persilangan antara manusia dan hewan tengah berjalan ke arahnya. Namun, di saat bersamaan, Rusman juga merasakan sesuatu yang aneh menjalar melewati urat-urat sarafnya.
Semakin lama, hal itu semakin membuat Rusman seperti orang lumpuh, hingga akhirnya ia pun tak sadarkan diri.

*****
"Rus, tangi. Rus!" Surip menggoyang-goyangkan tubuh Rusman, ketika melihat Rusman sudah tergeletak di pinggir sendang dengan posisi bertelanjang dada.
Rusman yang saat itu dalam posisi terbaring dan merasakan guncangan, seketika terbangun. Dengan kondisi terlihat bingung, ia hanya terdiam, mengedarkan netranya, menyapu pandangannya.
"Wes rampung, Rus. Ayo ndang mulih !" Suara cempreng Surip akhirnya membuat Rusman tersadar penuh. Ia kemudian bangkit, cepat-cepat mengenakan pakaiannya. (Sudah selesai Rus, ayo buruan pulang)
Tak berapa lama, dengan sudah kembali rapi, Rusman dan Surip meninggalkan sendang itu. Tapi sebelum meninggalkan tempat yang tak pernah ia tau tanpa adanya Surip, tempat yang kini telah mengubah jalan hidupnya,
beberapa pesan dari sosok Bulus putih, menjadi langkah pertama bagi Rusman menapaki satu perjalanan panjang.

***
Ramai, jalanan kota yang dipenuhi kesibukan aktivitas para insan, meski langit dalam keadaan terik sekalipun, namun hal itu tak membuat mereka-mereka mengendurkan semangat untuk mencari nafkah.
Begitu juga dengan Rusman, terik matahari beserta hiruk pikuknya, seakan tak mempengaruhi jiwanya. Pikiran dan benaknya saat itu terselimuti rasa bahagia atas apa yang akan dirinya lakukan setelah tiba di kota.
Hari itu, saat matahari mulai merangkak naik, Rusman memutuskan untuk pulang ke kota. Laju kereta yang ia tumpangi semakin berpacu kencang, dirinya ingin segera sampai di rumah, bertemu dengan sang istri, dan akan mencoba menceritakan semuanya.
Malam pun tiba, Rusman akhirnya sampai di Stasiun terakhir yang kemudian di lanjutkan perjalanan menggunakan ojek pangkalan. Sesaat kemudian, saat Rusman melewati sebuah bangunan dengan halaman luas.
Ia tau, bahkan sering melewati jalan di depan rumah yang di dominasi warna coklat tua. Tapi untuk pertama kali, dirinya merasakan hal aneh saat melewati rumah milik Pak Susilo. Seketika bulu kuduknya berdiri, menandakan ketakutan hadir menyelimuti nya.
Namun ia belum paham akan isyarat itu. Tak lama, tukang ojek itu menepi dan berhenti, meninggalkan Rusman sendiri setelah menerima dua lembaran uang sepuluh ribuan
"Dek ... Dek! buka pintunya!"
Untuk kesekian kalinya Rusman mengetuk dan memanggil istrinya.

"Iya, Kang". Tak lama, dari arah dalam, Siti muncul dengan rambut acak-acakan selaras dengan baju daster lusuh yang di kenakan nya.
Sesampainya ia di dalam, tepatnya di ruang keluarga yang terhubung dengan kamarnya, Rusman menyandarkan tubuhnya di atas kursi panjang, menerawang sesuatu, seakan bayangan itu menari-nari di atas kepalanya.
Thread ini masih panjang banget, jadi kalo lama updatenya gpp ya 🙏. Secara garis besar setelah di tinggal mati suami, istrinya juga nglakuin pesugihan yang tak kalah seremnya. Jadi....

Akan seru kalau baca ceritanya.

tungguin ya. 🙏
Sambil ngopi ya...
@AgilRSapoetra
Siti yang sudah menunggu suaminya pulang, lantas menuju dapur untuk membuatkan secangkir kopi.
Siti kemudian buru-buru meletakkan segelas kopi dan duduk di samping sosok Rusman. Menatap sebentar, sebelum menawarkannya.
"Mas, gimana kemarin?" tanya Siti setelah beberapa saat suaminya tersenyum bahagia.

"Nanti aku ceritakan, Dek. Ini kopinya aku minum dulu, ya" sahut Rusman di barengi dengan menyulut rokok kretek miliknya.
Sepuluh menit berlalu, tepatnya setelah jam dinding menunjukkan pukul dua belas malam. Rusman membuka cerita. Siti sendiri awalnya hanya mengerutkan kening. Menatap penuh selidik ke arah suaminya.
Tak lama, Siti pun terhenyak, melebarkan dua bola matanya, menatap lekat dari mimik wajah Rusman, yang kini mulai serius bercerita.

"Ya ampun, Mas. Itu beneran? Berarti kamu berhasil ya, Mas?" ucap Siti seolah masih belum percaya dengan apa yang di dengarnya.
"Iya, Dek. Aku berhasil bertemu dengan Bulus Putihnya" jawab Rusman menegaskan.

Siti tak henti-hentinya berdecak kagum dan memuji sang suami. Ia tersenyum, tertawa riang sembari merencanakan sesuatu. Tanpa tau apa yang bakal mereka alami setelah hari itu.

***
Sebelum saya lanjut.
Silahkan mampir dan dukung saya di @karyakarsa_id . Dan tentunya cerita "BULUS JIMBUNG" sudah update di karyakarsa.

Monggo di unjuk rumiyen.

@diosetta
@RestuPa71830152
@Wakhidnurrokhim

karyakarsa.com/KALONG
Keesokan harinya, seperti biasa. Rusman bersiap berangkat untuk menjajakan dagangannya setelah Siti beres menyiapkan segala sesuatu yang di butuhkan Rusman. Hari ini tak seperti biasanya, Siti beserta Rusman mengawali dengan menambahkan menu lain, yakni bakso urat.
Sekaligus memperbanyak porsinya. Pelan namun pasti, gerobak ia dorong seirama dengan suara pukulan mangkok, sesekali berhenti di tiap persimpangan.

Tak lama setelah itu, saat Rusman berhenti di salah satu kantor besar sembari membunyikan pukulan mangkok,
beberapa pengunjung datang menghampiri Rusman. Dengan cekatan ia melayani semua pembeli dengan baik. Rasa bahagia Rusman saat itu, begitu melihat para pembelinya melahap bakso dan mie ayam yang ia buat. Tak hanya sampai di situ saja,
beberapa pengunjung yang mendadak berhenti dan membeli dagangan Rusman, membuat ia sedikit kewalahan. Hanya butuh waktu kurang dari empat jam, dagangan Rusman kala itu ludes alias habis terjual.
Ia tak menyangka dengan hal itu, sebegitu cepatnya dagangan terjual habis dengan tempo yang cepat. Berbeda dengan beberapa waktu yang lalu, sebelum ia memulai perjanjian itu, ia harus menguras tenaga untuk berkeliling kota, terkadang dagangan masih tersisa,
namun kali ini sungguh membuat Rusman berdecak kagum, membuat senyum Rusman mengembang.

Malam itu Rusman mengajak Siti untuk menghitung hasil jualannya. Mereka sebelumnya sudah memperkirakan hasilnya, namun kali ini, lebih tepatnya Siti di buat terkejut dengan satu keanehan.
Pendapatan yang seharusnya ia dapatkan nyatanya malah lebih berkali-kali lipat. Tak lama, Siti pun terhenyak, melebarkan dua bola matanya, menatap lekat beberapa tumpukan uang yang ada didalam tas slempang milik suaminya.
"Ya ampun, Mas. Ini beneran hasil hari ini, Mas?" ucap Siti seolah masih belum percaya dengan apa yang di lihatnya.

"Iya, Dek" jawab Rusman singkat, sebelum ia mengetahuinya.
Namun setelah beberapa detik kemudian, Rusman di buat terkejut dengan uang yang di keluarkan Siti dari tas slempang miliknya. Mata Rusman membelalak lebar, seperti tidak percaya dengan apa yang dilihatnya, di hadapannya.
Yang seharusnya beberapa lembar saja, namun saat itu yang ia lihat adalah bendelan uang jutaan terikat rapi dengan karet gelang warna merah.
Malam itu, kebahagiaan seketika menyeruak dalam rumah kontrakan sederhana Rusman. Siti tersenyum, tertawa riang sembari merencanakan penggunaan uang itu untuk kebutuhan hidup dan dagangnya. Rusman menyadari ternyata pesugihan itu berhasil.

***
Keesokan harinya, tanpa Rusman sadari, bercak putih di tubuh Rusman mulai muncul. Waktu itu saat Rusman selesai dari mandi paginya, masih dalam keadaan bertelanjang dada ia bercermin, menata rambutnya agar terlihat lebih rapi.
Tak sengaja Rusman melihat ada sesuatu yg di rasa aneh, tepat di dada Rusman sebelah kiri atas, ia melihat dengan jelas bercak putih itu sebesar telapak tangan orang dewasa.

Konon katanya bercak putih muncul itu sesuai dengan kekayaan yang ia dapatkan.
Semakin ia mendapatkan kekayaan yang lebih, maka bercak putih yg muncul juga akan lebih besar.

Hal pertama yang di lakukan Rusman adalah menunjukkan kepada istrinya. Keduanya sudah sepakat dengan apa yang akan mereka dapatkan di kemudian hari,
begitu juga dengan kematian Rusman. Siti sudah mengikhlaskan suaminya, jika kelak ia akan ditinggal selamanya.

Puluhan menit Rusman menunggu di depan pintu, hingga tak sabar lagi akhirnya ia memanggil istrinya untuk yang kesekian kalinya.
Namun tak ada jawaban sama sekali, kembali ia merasakan hal aneh ketika ia hendak masuk ke dalam rumah.

Rusman sempat terdiam bingung. Berpikir mungkin istrinya sedang di kamar mandi. Akan tetapi, sesampainya ia di dalam, tepatnya di ruang keluarga, mata Rusman membelalak lebar
"Siapa kamu!" teriak Rusman dengan keras dan tegas.

Spontan Rusman tersulut amarah saat mendapati dgn jelas satu sosok baru saja keluar dari dalam kamar istrinya.
Bukannya takut atau berlari kabur, sosok berjubah hitam yg baru saja di bentak Rusman malah berhenti dalam posisi membelakangi.
Sejenak suasana hening, Rusman yang sejak awal terbakar amarah, sedikit mengendur melihat sosok berjubah hitam itu seperti ada keanehan. Mata Rusman lekat menatapi sosok yang berjarak empat meteran darinya.
Sekilas seperti dia pernah bertemu dengan sosok itu. Namun kala dirinya ingin lebih mendekat untuk memastikan, Rusman tiba-tiba saja malah tersurut mundur.

Kini, amarahnya, keberaniannya seolah terkikis ketika sosok itu lebih dulu membalikan badan.
Jelas dan sangat jelas Rusman melihat seraut wajah tak asing dari sosok itu. Wajah serta tubuh yang baru dua hari lalu ia lihat, kini nyata ada di hadapannya.

***
"Mbah Harjo!" pelan, penuh ketakutan suara Rusman.

Tubuhnya gemetar, keringat mengucur deras membasahi kening dan wajah. Apalagi, ketika sosok itu mendekati dirinya sembari menyeringai, tubuh Rusman goyah. Kakinya terasa kaku, tak mampu ia gerakan.
Tubuhnya hanya mampu menyandar di dinding, membiarkan sosok Mbah Harjo mendekati hingga tepat berada di hadapannya.
"Aku teka mrene kanggo ngandhani sampeyan, opo sing wis ditindakake ora biso dibatalake. elingo! uripmu dadi taruhane!" ucap sosok Mbah Harjo lirih di telinga kanan Rusman.
(aku datang kesini untuk memberi tahu, apa yang sudah kamu lakukan tidak akan bisa di batalkan. ingat! nyawamu taruhannya)
Rusman hanya mengangguk. Ingin mengeluarkan kata-kata namun nafasnya seakan terputus, dadanya terasa panas tersesaki dengusan nafas sosok Mbah Harjo yang beraroma kembang melati.
Setelah mengucapkan beberapa kalimat, sosok Mbah Harjo pun beranjak meninggalkan Rusman yang sedikit demi sedikit mulai bernafas lega. Meski tak berlangsung lama, namun kejadian itu membuat mental Rusman runtuh. Ia benar-benar di buat syok.
Sesaat lamanya hanya mampu terduduk menyandar pada dinding. Mencoba menguasai diri dan mengumpulkan tenaga.
Saat dirasa mampu berdiri dan bisa menguasai pikiran, Rusman kemudian bangkit. Melangkah perlahan menuju ke dalam kamar. Ia ingin segera mencari istrinya, untuk segera berangkat guna mencari kios yang akan mereka gunakan untuk membuka cabang pertamanya.
Beberapa kios sudah mereka kunjungi, akhirnya mereka mendapatkan tempat yang strategis. Tepatnya di pinggir jalan utama dekat dengan perkantoran dan pabrik. Tak butuh waktu lama, Rusman kemudian menyodorkan uang sewa selama lima tahun.
Walaupun jarak kios dengan rumah yang lumayan memakan waktu, namun itu tak membuatnya mengurungkan niatnya.

Sesampainya di rumah setelah semua perlengkapannya terbeli, Rusman mengajak Siti berunding mengenai karyawan yang akan mereka rekrut.
Akhirnya setelah beberapa lamanya mereka berunding, Rusman menyetujui saran Siti dengan mencari karyawan di kampung halaman.
Tiga karyawan sudah Rusman dapatkan, tinggal menunggu waktu untuk membuka cabang pertamanya. Seperti biasa di jam yang sama Rusman sudah berangkat untuk menjajakan dagangannya. Namun kali ini Rusman berniat untuk mampir sebentar di warung untuk sekedar ngopi pagi.
"Assalamu'alaikum, Mbok" sapa Rusman kepada wanita paruh baya yang sedang menggoreng tempe.

"Wa'alaikumsalam. Kok sue ra mampir, nendi wae, Rus?" sahut wanita paruh baya yang biasa di panggil Mbok Ratmi. ( kok lama gak mampir, kemana saja)
"Hehe... Kopi siji yo, Mbok"
( kopi satu ya, Mbok)

"Iyo, Rus. Gak sarapan po?"

"Mboten, Mbok. Ngopi mawon"
( tidak, ngopi saja)
Sudah satu minggu ini Rusman tidak mampir di warung Mbok Ratmi, membuat wanita paruh baya itu sedikit menaruh curiga. Karena biasanya, Rusman setiap pagi dan sore sepulang berkeliling hampir setiap hari ia mampir ke warung itu.
Tempat mencurahkan rasa sedih dan bahagianya ketika dagangannya laku terjual. Namun tidak untuk hari ini, Rusman berniat mampir untuk sekedar memberitahukan bahwasanya ia akan membuka cabang pertamanya. Mendengar hal itu sontak membuat Mbok Ratmi berdecak kagum.
Beberapa wejangan terlontar dari bibir tipis Mbok Ratmi, Rusman hanya mengiyakan, karena pada dasarnya, Rusman tidak suka di ceramahi. Tak terasa sepuluh menit berlalu, Rusman berpamitan setelah kopi yang ia minum sudah habis.
Baru beberapa langkah ke depan, suara Mbok Ratmi mengagetkan Rusman dari belakang. "Rus. Ati-ati lehmu golek duit, ya. Sing barokah".

Rusman berhenti sejenak, menatap wajah Mbok Ratmi sebentar, " Njih, Mbok" kemudian melanjutkan perjalanannya.
Kurang lebih sepuluh meter didepan, tepatnya di depan kantor yang sebelumnya. Beberapa motor sedang terparkir di sebelah kantor yang biasa Rusman lewati. Ternyata yang tak lain dan bukan, itu adalah pelanggan Mie ayam dan Bakso milik Rusman.
Rusman kaget, karena baru kali ini sebelum dirinya sampai, sudah ditunggu oleh puluhan pelanggan yang menunggunya. Dirasa sudah siap, Rusman bergegas menghampiri pelanggannya tersebut.
"Akhirnya sampai juga, Pak. Kami disini sudah nungguin lama, loh" ujar salah satu pelanggan yang sudah kedua kalinya membeli dagangan Rusman.
Ternyata, dari sekian banyak pelanggan yang datang itu, adalah pelanggan yang sebelumnya pernah membeli dagangan Rusman. Mereka dengan lahap menyantapnya. Hampir tiga puluh porsi keluar pagi itu dengan tempo satu jam.
Di karenakan keramaian itu, membuat beberapa pelanggan baru penasaran ingin mencicipi Mie ayam dan Bakso milik Rusman.
"Aku sugih... Aku sugih..." batin Rusman sembari menghitung uang yang ada di dalam loker gerobaknya dengan senyum yang mengembang. (Aku kaya... Aku kaya)
Namun waktu itu ia belum sadar, jiwanya tertutupi rasa serakah, pikirannya terpaku pada kekayaan, bahwa, keesokan harinya ia akan mendapatkan bercak putih yang semakin lebar.
Tak terasa hari begitu sangat cepat, seratus porsi habis terjual dalam tempo yang sangat cepat. Rusman kembali tersenyum bahagia, rasa lelahnya terbayarkan. Keinginan untuk menjadi pengusaha sukses sudah ada di depan mata.
Namun apalah arti dari semuanya, jika kekayaan itu hasil dari kemusyrikan.
Allah SWT berfirman dalam surah Al-Luqman ayat 13 yang berbunyi:

وَاِذْ قَالَ لُقْمٰنُ لِابْنِهٖ وَهُوَ يَعِظُهٗ يٰبُنَيَّ لَا تُشْرِكْ بِاللّٰهِ ۗاِنَّ الشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيْمٌ
Arab-latin:
wa iż qāla luqmānu libnihī wa huwa ya'iẓuhụ yā bunayya lā tusyrik billāh, innasy-syirka laẓulmun 'aẓīm
Artinya: "Dan (ingatlah) ketika Lukman berkata kepada anaknya, ketika dia memberi pelajaran kepadanya, "Wahai anakku! Janganlah engkau mempersekutukan Allah, sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar." (QS. Al-Luqman: 13)

***
Bagian 8 & 9 PESUGIHAN BULUS JIMBUNG bisa di baca duluan di KaryaKarsa
klik link berikut:

@diosetta
@qwertyping
@RestuPa71830152
karyakarsa.com/KALONG/8-pesug…
Bagian 9 PESUGIHAN BULUS JIMBUNG bisa di baca duluan di Karyakarsa.
Link berikut:

@diosetta
@qwertyping

karyakarsa.com/KALONG/9-pesug…
Hingga tak lama dirinya sampai di kontrakan sederhana miliknya. Rusman segera bergegas masuk dan memanggil istrinya. Rasa bahagia Rusman saat itu, terlihat dari raut wajahnya yang semakin hari semakin terpancar.
Perlahan ia membuka tas slempang miliknya, "Aku yakin, bengi iki aku dadi wong sugih" gumamnya dalam hati Rusman. Ia yakin betul dengan ucapannya. ( aku yakin, malam ini aku jadi orang kaya)
Sementara Siti istri Rusman, di dalam kamar ia sedang sibuk dengan beberapa catatan yang sedang ia tulis di sebuah buku kecil miliknya. Seperti yang sudah di rencanakan sebelumnya, jika esok hari cabang pertamanya akan di buka.
Beberapa perlengkapan juga sudah tertata rapi di kios barunya. Yang tanpa Rusman ketahui ternyata ketiga karyawan yang akan menjaga toko baru miliknya sudah datang.

***
Malam itu suasana terasa begitu berbeda, tak seperti malam malam sebelumnya. Dingin menusuk tulang, membuat Rusman merasa gelisah. Hanya terdengar suara detak jam dinding. Berdetak-detak memberi nada di malam sunyi.
Sebenarnya Rusman membenci suara itu, semakin larut, suara detak itu semakin keras terdengar. Perasaan takut mulai menyeruak dipikirannya, tak terasa jam sudah menunjukkan pukul dua belas malam. Semakin larut, suasana semakin hening.
Rusman masih terjaga, ia resapi dan hayati detak demi detak jam dinding itu. Tak terasa Rusman larut bersama detak detak itu...tiba-tiba tak butuh waktu lama Rusman mulai mendengar sesuatu.

Perlahan-lahan detak detak jarum jam dinding itu mulai berbicara, mulai berkata-kata.
Awalnya pelan, tak jelas, tapi Rusman mencoba untuk bersabar. Harmoni antara detak jantungnya dengan detak jam dinding itu mulai seirama, hingga suara yang tak asing itu semakin jelas terdengar.

"Rus... Rusman"
Teman-teman bisa baca PESUGIHAN BULUS JIMBUNG di @karyakarsa_id
Di sana, ceritanya udah tamat ya.
@diosetta
@Wakhidnurrokhim
@RestuPa71830152
@JeroPoint
@mwv_mystic
@SimpleM81378523

Linknya ini 👇
karyakarsa.com/KALONG/10-tama…
Perlahan Rusman bersujud, bersimpuh di sela isak tangis penuh kebahagiaan sembari memunguti satu persatu bendelan uang yang berserak di lantai. Hatinya benar-benar terasa bahagia, tak terlukis dalam benaknya.
Apalagi, saat ia sampai pada tepian ranjang, mendapati sang istri sedang memunguti tumpukan uang itu.

Rusman terduduk di samping tubuh Siti yang menampakkan wajah bahagianya. Meratapi nasib yang mulai malam ini sudah berubah 360 derajat.
Mereka kemudian berlomba-lomba untuk segera membereskan tumpukan uang itu dan di masukan ke dalam almari. Dan di saat itulah, satu pikiran berkelebat perihal momen untuk melakukan hubungan suami istri tersalurkan. Berharap akan diberikannya momongan.
Pagi pun tiba, terlihat Rusman yang masih tertidur pulas. Berbeda dengan Siti, ia sudah bersiap untuk pergi ke toko barunya, dengan senyum mengembang dan rasa bahagia yang terpancar dari raut wajahnya, ia melangkah keluar.
Bergegas untuk segera membuka cabang pertama warung Mie ayam dan Bakso. Terpampang dengan jelas dan mencolok sebuah nama plakat
"WARUNG BAKSO & MIE AYAM PAK RUS ASLI W*******"

***
Dengan tertatih Rusman bangkit. Berjalan pelan mendekati lemari kayu di sudut kiri kamar. Perlahan ia membuka salah satu pintu lemari, sebentar menatap tumpukan kain lama, sebelum mengalihkan pandangan ke bagian tengah.
Sekali lagi ia sempat terperangah, seperti malam itu hanya mimpi, ia tak percaya melihat isi di dalamnya. Di mana, dirinya melihat bagian tengah lemari itu telah dipenuhi oleh tumpukan uang. Akan tetapi, saat tangannya menyentuh, mengambil beberapa tumpuk,
uang itu sangat nyata baginya. Membuat ia yakin bila semua yang ada di depan matanya bukanlah mimpi.

"Hahaha...mulai saiki aku dadi wong sugih. Raono sing iso nyaingi aku neng kene. AKU SUGIH...HAHAHA...AKU SUGIH" gumam Rusman dengan penuh amarah.
( mulai sekarang aku sudah kaya. Tidak ada yang bisa menyaingi ku disini. Aku kaya... Hahaha... Aku kaya)

Rusman akhirnya menutup kembali pintu lemari dan mengambil beberapa untuk ia gunakan membeli sebuah kendaraan roda empat dan menguncinya setelah memastikan.
Ia pun beranjak balik mendekat ke ranjang dan berbaring. Sesekali Rusman menatap plafon kamarnya. Dalam pikirannya, terbayang akan masa depan setelah hari ini. Tak lupa dengan senyum tawa khasnya, ia semakin terlihat seperti orang gila.
Di sisi lain, bercak putih yang ada di tubuh Rusman kini sudah mulai penuh dan menutupi kulit aslinya di bagian dadanya hingga batas tenggorokan. Ia juga tak peduli dengan bercak itu, yang terpenting adalah ia akan hidup mewah. itulah tujuan Rusman.
Dengan banyak uang ia bisa memenuhi semua kebutuhannya termasuk membeli baju yang ia rancang agar bisa menutupi bagian yang terdapat bercak putih tersebut.

Karena pada dasarnya, harta yang diperoleh dari musyrik/ menyekutukan Allah SWT, itu tidak akan abadi.
Hari itu, saat matahari mulai merangkak naik, Rusman memutuskan untuk segera menyusul Siti yang sudah terlebih dulu berangkat. Tak lupa Rusman berdandan lebih religius, memakai sorban motif hitam putih untuk menutupi bagian lehernya.
Namun sebelum ia menyusul Siti, ia berencana untuk membeli kendaraan roda empat pabrikan Jepang. Sebuah kendaraan yang menjadi primadona di tahun 2000-an.
Setelah apa yang di inginkan Rusman terpenuhi, ia kemudian menyusul Siti ke warung barunya. Tiga puluh menit berlalu, Rusman tiba di sana. Tak dapat dipungkiri, awal buka cabang pertama sudah dipenuhi oleh pengunjung yang mengantri,
membuat pengendara lain penasaran yang berujung mampir ke warung Rusman.

Sudah tak kaget lagi bagi Rusman jika warungnya akan ramai pengunjung seperti ini, ia lagi-lagi bergumam jika dalam tempo kurang dari satu tahun, ia akan menjadi seorang pengusaha sukses.
Orang terkaya di kampungnya dan mempunyai banyak cabang warung Mie ayam dan bakso. Seperti yang ia lihat sebelumnya saat melaksanakan ritual.
Menjelang sorop, setelah memastikan warung sudah tutup, Rusman bersama Siti akhirnya memutuskan untuk melihat sebuah rumah yang sebelumnya sudah ia targetkan untuk dibeli. Ia juga tak lupa untuk memberikan bonus pertama untuk ketiga karyawannya.
Sampailah ia di sebuah bangunan penuh ukiran Jawa dan berhalaman luas. Ia tau, bahkan sering melewati jalan di depan rumah yang di dominasi warna putih dan emas. Tapi untuk pertama kali, dirinya memasuki halaman rumah ini.
Sampailah ia di sebuah bangunan penuh ukiran Jawa dan berhalaman luas. Ia tau, bahkan sering melewati jalan di depan rumah yang di dominasi warna putih dan emas. Tapi untuk pertama kali, dirinya memasuki halaman rumah ini.
"Permisi ... Sore...." sapa Rusman setelah langkahnya sampai di depan pintu berdaun kayu jati penuh ukiran.

Berulang-ulang suara Rusman menyapa, sampai akhirnya satu suara langkah dari dalam, kemudian di susul derit pintu terbuka,
menandakan jika seseorang telah merespon sapaan Rusman.

"Silahkan, ada perlu apa, Mas?" sahut seorang lelaki tua yang baru saja membuka pintu dan menatap penuh selidik pada Rusman.
NITIP ya 🤭 Image
"Silahkan, ada perlu apa, Mas?" sahut seorang lelaki tua yang baru saja membuka pintu dan menatap penuh selidik pada Rusman.

Rusman terdiam sebentar. Ia sedikit gugup mendapati tatapan dari lelaki tua itu. Namun demi tujuannya, ia segera menjelaskan kedatangannya.
"Maaf, Mbah. Saya ingin bertemu dan bicara sama pemilik rumah ini," jawab Rusman pelan dan sopan.

Sang lelaki tua itu sebentar terdiam. Jagunnya naik turun, tatapannya menajam, seperti mengerti tujuan Rusman saat itu.
"Silahkan masuk, Mas" ujar lelaki tua mempersilahkan Rusman masuk.

Ada rasa takjub, tapi juga takut, saat Rusman melangkah masuk mengikuti sang lelaki tua itu. Takjub melihat isi dalam rumah yang begitu berkesan dan belum pernah ia lihat di manapun.
Hampir semua isi dalam rumah itu terbuat dari hasil ukiran kayu jati yang mengkilap. Tampak sekali kesan mewah berkelas tinggi, dalam penilaian Rusman.
Akan tetapi, ketika matanya tertuju pada tiap-tiap patung yang terpajang di setiap sudut ruangan, perasaan Rusman seketika menciut, ngeri.
Ia melihat jika patung-patung itu seperti hidup. Mengawasi tiap langkahnya sedari awal masuk, hingga ia sampai pada sebuah ruangan besar seukuran rumahnya.
Di sana, di ruangan yang tak kalah mewahnya, Rusman dan Siti di persilahkan duduk oleh sang lelaki tua. Lama Rusman terdiam, duduk sendiri di kursi berwarna kuning ke emasan. Matanya terus mengitari ruangan yang kadang menimbulkan decak kagum.
Hingga pandangannya berhenti pada lukisan di dinding sisi kanan ruangan itu, hatinya mulai merasakan sebuah kegelisahan.

Sedikit takut Rusman kala melihat lima lukisan yang berjejer di dinding dengan ukuran yang sama.
Di mana, salah satu dari lukisan itu, di posisi bagian tengah adalah lukisan seorang perempuan. Lukisan yang menurutnya seperti nyata, menarik perhatian mata Rusman untuk berlama-lama menatapinya.
Entah berapa lama Rusman menatapi sosok wanita ayu dalam lukisan itu, hingga tak menyadari bila di depannya seorang lelaki tua itu sudah mengamati sedari tadi.

"Ada perlu apa, Mas?" tanya sang lelaki tua, menyadarkan Rusman.
"Ehh ... maaf, Mbah," jawab Rusman gugup mendapati teguran dari sang lelaki tua itu.

"Gini, Mbah. Jadi tujuan saya kemari untuk menanyakan perihal rumah yang mau di jual itu" imbuh Rusman menjelaskan tujuannya.
"Oh ... Begitu. Iya, Mas, sebelumnya perkenalken, saya Mbah Atmojo. Dan rumah ini memang mau saya jual, tapi dengan harganya apakah Mas gak masalah?"
Rusman mengangguk, "Njih, Mbah. Kalau menurut saya harga rumah ini sepadan dengan bentuk rumah yang mewah dan halaman luas seperti ini" jawab Rusman mantap.
Mbah Atmojo yang mendengarkan sesekali menyunggingkan senyum sinis, seakan mengerti tentang penjelasan dari Rusman. "kalau begitu kapan bisa kita proses jual-belinya, Mas?"
Mendengar hal itu, Rusman kemudian memberikan uang tanda jadi setelah memastikan semua kondisi bangunan dan seisinya.

"Satu minggu lagi bisa, Mbah?" tawar Rusman semakin mantap. Hingga akhirnya setelah hal tawar-menawar sudah di sepakati, Rusman dan Siti pun berpamitan.

***
Pagi menjelang siang, hari yang ditunggu-tunggu pun telah tiba, Rusman beserta Siti mengunjungi rumah Mbah Atmojo untuk melaksanakan akad jual-beli rumah mewah tersebut. Rasa bahagia yang tak dapat dilukiskan terpancar dari raut wajah Rusman dan Siti.
Manakala, sebentar lagi mereka akan mempunyai rumah mewah seperti apa yang mereka impikan. Dengan stelan batik sidomukti, mereka segera menunggangi kendaraan barunya menuju rumah Mbah Atmojo.
"Silahkan, Pak Rusman dan Mbah Atmojo. Tanda tangan di sini." Perintah Pejabat tanah sembari menunjukan letak kolom, yang harus di tanda tangani.

"Saya harap, setelah ini Pak Rusman dan Bu Siti betah tinggal di rumah barunya!" sambung Pejabat tanah dan anggukkan Mbah Atmojo,
setelah memasukan selembar kertas perjanjian jual-beli yang sudah di tanda tangani Rusman dan Mbah Atmojo ke dalam map.

Senyum lebar penuh kemenangan, seketika menggema di ruangan besar itu.
Rusman berkali-kali tertawa seperti orang gila, sepeninggalan Mbah Atmojo dan para pejabat tersebut. Tak henti-hentinya Rusman berdecak kagum setelah memasuki ruangan demi ruangan, melihat seisi rumah barunya yang begitu membuat mata tercengang saat melihatnya.
Di sisi lain, warung milik Rusman. Semakin hari semakin ramai, hingga tak mampu menampung para pengunjung yang datang. Sehari warung Rusman mampu menggaruk omset puluhan juta, membuat para karyawan kewalahan.
Tak hanya itu saja, pendapatan Rusman pun semakin hari semakin melimpah begitu juga dengan bercak putih ditubuhnya.

Malam itu, setelah selesai urusan jual-beli, sebelum Rusman dan Siti menempati rumah barunya, Rusman sedang duduk di pelataran teras rumah seorang diri,
menikmati malam yang sunyi sembari mengisap sebatang rokok. Dari belakang terdengar suara langkah kaki berjalan mendekati dirinya.

"Mas," kata Siti.
Rusman menoleh, dilihatnya Siti mengenakan stelan daster motif bunga berdiri dibelakang.
Siti melihat Rusman dengan sorot wajah yang nampak bahagia.

"Mas, aku hamil"
Rusman terkejut, membenarkan posisi duduknya. Ia menanyakan kembali perkataan Siti barusan.
"Opo, Dek? Kowe meteng?" Suaranya agak meninggi.
(Apa dek? Kamu hamil)
"Iyo, Mas. Aku hamil"
Binar kebahagiaan terpancar pada kedua wajah Rusman dan Siti, manakala, apa yang mereka tunggu, kehadiran sosok momongan untuk yang kesekian kalinya akhirnya datang juga.
Mobil hitam melintas di atas tanah berkontur aspal, di bawah rintikan gerimis yang sedari tadi tak kunjung reda. Dari kejauhan nampak sebuah rumah yang tak begitu besar, berpagar tralis besi berwarna hitam. Rusman dan Siti berhenti di depan rumah tersebut.
Terdengar suara pintu berderit, seseorang membuka pintu. Sosok wanita paruh baya berpakaian selayaknya ibu-ibu pada umumnya mempersilahkan mereka masuk, kemudian menutup pintu setelah memastikan tak ada lagi orang di luar.
Mereka berkonsultasi mengenai kehamilan pertamanya dan Rusman pun terkejut setelah mengetahui jika Siti benar-benar hamil anak kembar. Seperti apa yang Rusman lihat di sendang waktu itu.

***
Hari berganti hari, bulan berganti bulan di lalui Rusman dan Siti seperti biasa, normal layaknya orang lain. Meski dalam beberapa hal, khususnya cara bermasyarakat, keduanya sering menjadi gunjingan warga, terutama Rusman.
Namun bagi Rusman sendiri, bukanlah satu perkara penting untuk mengganggu aktivitasnya. Kehidupannya sekarang memang lebih dari mapan di banding tetangga-tetangga terdekatnya.
Memasuki bulan ke enam, bertepatan dengan usia kandungannya yang ke enam, Siti menghabiskan waktu hanya di dalam dan sekitaran rumah tanpa mau bersosialisasi. Begitu juga dengan Rusman yang mulai menampakan bercak putih di bagian paha hingga mata kaki.
Rusman dan Siti sangat menyayangi janin dalam rahimnya. Semua yang ia inginkan seperti umumnya wanita hamil untuk menyenangkan calon bayi, selalu terpenuhi. Tapi ada satu hal yang Siti lupakan, jika dirinya hidup dalam lingkup sebuah kampung.
Di mana, adat istiadat dan pantangan, khususnya wanita hamil masih di jaga erat.

***
Teman-teman bisa baca duluan di @karyakarsa_id
Di sana ceritanya udah selesai ya.

@diosetta
@Wakhidnurrokhim
@RestuPa71830152
@JeroPoint
@mwv_mystic
@SimpleM81378523

Linknya ini 👇
karyakarsa.com/KALONG/10-tama…
Kita lanjut lagi ya.
Jangan lupa ngopi dan selamat tahun baru 2022.

Semoga di tahun 2022 ini kita semua diberikan kelancaran rezeki, di berikan kesehatan, dijauhkan dari marabahaya, dan apa yang kita inginkan tercapai semuanya. Amin.
Perjalanan usaha Rusman berjalan mulus seperti apa yang ia inginkan, bahkan sekarang ia berhasil membuka cabang yang ke lima, bertepatan dengan kehamilan anak mereka. Rasa bahagia semakin bertambah ketika dua anak kembar itu mereka namai Gana dan Gani.
Namun Rusman menyadari akan satu hal, yaitu kekayaannya yang semakin bertambah, menandakan sisa hidupnya tak lama lagi, bercak putih yang sekarang sudah menjalar kesemua tubuhnya kecuali ujung lidahnya, membuat Rusman teringat sesuatu.
Sesuatu yang tak akan lama lagi ia rasakan menjadi seorang bapak dari kedua anak laki-laki nya. Namun, perjanjian tetep lah perjanjian, mau bagaimanapun caranya untuk membatalkan perjanjian itu tetap mustahil.
Malam itu lebih dingin dari biasanya, Rusman duduk merenung di halaman luas miliknya, mengatur sebuah rencana yang tanpa ia sadari akan sia-sia. Menyesal!! itulah yang tiba-tiba terbersit dalam hati Rusman.
Bagaimanapun, semua yang telah ia lakukan pada dirinya tak dapat ia pungkiri, tak dapat ia sanggah, karena memang awal dari semua masalah yang terjadi, adalah keserakahannya.
Memikirkan hal itu, membuat Rusman terisak, menangis tertahan. Batinnya berontak, menolak semua yang terjadi, tapi sekali lagi, semua telah terlambat....

***
Ramai, jalanan kota waktu itu. Meski langit telah berubah malam, namun hal itu tak membuat Rusman mengendurkan niatnya. Pikiran dan benaknya saat itu terhantui oleh kematian. Laju kendaraannya semakin berpacu kencang, ketika telah melewati jalanan kota.
Dirinya ingin segera sampai di rumah kawan lama, yang mana, waktu itu menemaninya bertamu di kediaman Mbah Harjo, dan akan mencoba menceritakan semuanya. Setelah hampir puluhan jam berkendara, akhirnya Rusman tiba di tempat tinggal Surip.
Namun, Surip menyambutnya dengan mata melotot dan raut berkerut menandakan suatu ketakutan dan keheranan.
"Loh.. Iki Rusman udu?" tanya Surip yang berdiri di ambang pintu. Ia terkejut melihat Rusman yang sudah berbeda. Bukan dari penampilan, melainkan kulitnya yang sudah berubah warna menjadi putih memerah. ( seperti kulit 'maaf' babi pink)
( ini Rusman bukan? )
"Iyo. iki aku Rusman"

Eneng opo, Rus? Ngopo balik maneh?"
( ada apa Rus? Kenapa kembali lagi)

Lantas ia menceritakan kepada Surip tentang semua yang telah ia lewati selama ini. Memang, setelah melakukan ritual itu, dirinya mendapatkan kekayaan yang sangat melimpah,
namun sekarang dirinya menyesal karena ia tak bisa menjadi bapak dari kedua anaknya.

Mendengar hal itu Surip pun bingung, harus ke siapa mereka meminta bantuan, manakala, dua hari sebelumnya, Mbah Harjo sudah meninggal karena teserang balik oleh dukun santet.
Hampir tak percaya dengan penuturan Surip, Rusman akhirnya memaksa untuk mengantarnya ke sana. Setelah sampai di gubuk Mbah Harjo, mereka tak menemukan apapun kecuali bunga kering yang bertaburan di halaman depan.
Sejenak Rusman terdiam, terduduk di pojokan teras depan rumah milik Mbah Harjo, tersedu, terisak, menangis tertahan. Namun, tiba-tiba angin kencang dibarengin bebauan bunga kamboja menyadarkan Rusman, ia tau betul dengan bebauan seperti itu, menandakan ada sosok yang datang,
sosok yang baginya menyeramkan. Manakala ia mendapati Surip sudah berdiri di hadapannya dengan mata sepenuhnya putih. Rusman pun terjingkat kaget, ia spontan berdiri, menggoyang-goyangkan tubuh Surip. Terbesit untuk meninggalkannya sendiri, namun sebelum itu,
Surip lantas berbicara dengan suara berbeda, lebih tegas dan berat.

"KABEH SIK WES TOK LAKONI, ORA BAKAL ISO DI BATALKE! NANGING, ENENG LORO PILIHAN! NYAWAMU OPO ANAKMU!"
( SEMUA YANG SUDAH KAMU LAKUKAN TIDAK BISA DI BATALKAN. TAPI, ADA DUA PILIHAN. NYAWAMU ATAU ANAKMU)
Sejenak suasana hening, Rusman yang sejak tadi ketakutan, tubuhnya gemetar, keringat mengucur deras membasahi kening dan wajah. Hanya mampu terdiam setelah mendengar sosok itu berkata. Memilih antara dirinya atau anaknya.
Apalagi, ketika sosok itu lebih mendekat sembari menyeringai, tubuh Rusman goyah. Kakinya terasa kaku, tak mampu ia gerakan. Tubuhnya hanya mampu menyandar di dinding, membiarkan sosok itu mendekati hingga tepat berada di hadapannya.
"Aku ngerti pilihanmu opo! saiki balio, bojo lan anak-anakmu nunggoni...MATIMU!"ucap sosok itu lirih di telinga kiri Rusman.
( aku tau apa pilihanmu. Sekarang pulang. Istri dan anak-anakmu sudah menunggumu... Mati)
Ia justru semakin ketakutan, nafasnya seakan terputus, dadanya terasa panas tersesaki dengusan nafas yang beraroma busuk.

Setelah mengucapkan beberapa kalimat, sosok itu pun pergi meninggalkan tubuh Surip yang sedikit demi sedikit mulai tersadar.
Meski tak berlangsung lama, namun kejadian itu membuat mental Rusman runtuh. Ia benar-benar di buat syok. Sesaat lamanya hanya mampu terduduk menyandar pada dinding. Mencoba menguasai diri dan mengumpulkan tenaga.
Setelah merasa mampu berdiri dan bisa menguasai pikiran, Rusman kemudian bangkit. Melangkah keluar perlahan menuju kendaraannya. Ia ingin segera pulang untuk melihat istri dan anaknya untuk yang terakhir kalinya. Surip masih dalam keadaan linglung,
sorot matanya kosong, berbicara lirih namun bisa Rusman dengar dengan jelas.

" MATI... MATI... MATI... "
Berulang kali Surip mengatakan hal itu, membuat Rusman tak fokus berkendara, laju kendaraan semakin cepat ia pacu, hingga tetiba terdengar benturan sangat keras sebelum akhirnya kendaraan yang ditumpangi Rusman terpental setelah menabrak pembatas jalan.
Kaca depan pecah membuat Surip terpelanting jauh ke depan. Sepersekian detik kemudian, saat Surip mencoba untuk bangun, bertepatan dengan Rusman yang mencoba untuk keluar dari kendaraannya. Tanpa Rusman sadari, tiba-tiba suara klakson keras mengalihkan pandangan Rusman.
Di sana, Rusman melihat dengan jelas dan nyata dihadapannya, Surip terlindas Truk, badannya tergilas, hingga kepala Surip memutar mengikuti roda, kejadian itu berlangsung sangat cepat, namun sialnya, Rusman melihat semuanya, melihat bagaimana tubuhnya yang terkoyak,
Pakaiannya melilit bagian bawah truk, dengan darah yg tercecer di sepanjang jalan. Rusman syok, diam, mematung, sebelum akhirnya tak sadarkan diri.

***
Di lain tempat, di rumah mewah milik Rusman. Siti masih dalam kondisi tertidur, di samping kanan ranjangnya terlihat dua bayi yang sangat lucu sedang terlelap. Terlihat juga beberapa suster sedang berjaga di kamar Siti, sembari menunggu Siti sadar.
Namun tiba-tiba saja, salah satu dari bayi yang tak berdosa itu menangis keras, membuat seisi rumah terkejut. Begitupun dengan Siti, ia ikut terbangun setelah mendengar tangisan anaknya. Salah satu suster itupun mencoba menenangkan, namun tetap saja, tak mau berhenti menangis.
Siti mencoba bangkit dan menggendong, seraya berucap lirih, "Gana... Kenapa, Nak?"

**
Sesaat kemudian, setelah Rusman sadar, ia kemudian bangkit dan berjalan menuju tempat Surip. Ceceran organ tubuh Surip ia masukan kedalam sebuah karung yang ia temukan di bagasi mobilnya.
Pandangannya kosong, berjalan gontai, sembari bergumam lirih, "ayo, Rip. Tak terno bali." ( tak antar pulang)
Sesampainya di sebuah jembatan yang hanya bisa dilalui satu kendaraan, Rusman turun. Diambilnya karung yang berisikan ceceran organ tubuh Surip, ia letakkan di bawah pohon besar sebelum meninggalkannya.
"Rip, aku balik sik, ya? Salam dinggo bapak karo ibuk." lirih, Rusman berucap sembari terkekeh kecil seperti anak-anak.
(Rip aku pulang dulu ya. Salam untuk bapak dan ibu)

***
Menjelang siang, mobil berhenti di depan rumah mewah di dalam perkampungan. Rumah itu ramai. Rusman menatap keramaian itu sebelum turun dari mobilnya. Hal pertama yang di rasakan Rusman saat turun dari mobil adalah pandangan mata tak menyenangkan dari orang-orang.
Beberapa warga sempat menghadang Rusman dengan tatapan sengit, manakala sejak bercak putih itu menyelimuti tubuhnya, hampir semua warga tak mengenalnya. Rusman tetap melanjutkan langkahnya mengabaikan suara ejekan dari salah satu mulut warga. "Mbung... Njimbung."
Mimik wajah Rusman mengencang, begitu mendengar lelaki itu berucap. Rusman menarik kaos lelaki itu kemudian hantaman keras melayang tepat mengenai mata lelaki itu. Beberapa warga sempat tersulut emosi setelah melihat kejadian cepat itu,
namun lelaki tua berpawakan kurus itu melerai sembari berucap lantang. "Sedelo meneh mati uwong iki, rasah di urusi!".
(Sebentar lagi orang ini mati. Biarkan saja)
Sesampainya Rusman di dalam kamar istrinya, dengan tatapan mengiba ia berjalan gontai kearah dua bayi yang sedang tertidur lelap, menangis sesenggukan sebelum akhirnya tak sadarkan diri.
Langit sudah tersebut malam, tepat pukul dua belas, sepuluh menit sebelum Rusman meninggal. Ia bermimpi bertemu sosok Mbah Harjo. Bersamaan dengan itu, ia mendengar suara yang tak asing baginya, suara berat dari sosok bulus Putih.
Dengan kening dipenuhi keringat, mata melotot, ia tengah mengejang di atas ranjang. Siti yang melihat pemandangan itu pun tak mampu membantu, karena kondisinya yang masih lemah. Sosok itu tengah menagih janji kepada Rusman.
" Wes wayahe, Rus. Ayo melu aku."
( sudah saatnya, Rus. Ayo ikut aku)

Tepat saat sosok itu mengatakan hal itu, dengan lidah menjulur keluar, Rusman mengeluarkan suara seperti orang dicekik. Sesaat kemudian akhir dari perjanjiannya pun selesai.
Perasaan campur aduk tengah Siti rasakan, manakala saat tubuh kaku milik suaminya terkapar di atas ranjang. Ia menangis sejadi-jadinya yang diakhiri dengan senyum menyeringai lalu pergi bersama dua anaknya meninggalkan tempat ini.
Tempat dimana dituntaskan sebuah pesugihan yang menghabisi nyawa suaminya sendiri.

***
Image
Siti melangkah menyusuri jalan perkampungan sebelum berhenti didepan sebuah pintu. Ia mendorong pintu perlahan kemudian berjalan mendekati sosok yang tengah duduk di kursi. Sosok itu lalu berkata, "Ameh kapan, Nduk lelakumu di wiwi tidur?".
Siti tak langsung menjawab, ia melihat foto wajah kedua anaknya yang kini memasuki akhir semester perkuliahan. " Delo meneh, Mbah. Nunggu anak-anakku rampung sekolah."
Sosok orang tua itu mengangguk, melangkah mundur meninggalkan ruangan. Saat menutup pintu, ia melihat seorang perempuan seumuran berdiri memandangnya dengan sorot mata mengiba. Ekpresi wajah Siti mulai berubah manakala sosok perempuan itu sangat ia kenal.
Meski ragu, namun keinginan Siti untuk membuat kedua anak-anaknya tak merasakan hidup susah rela mengorbankan nyawanya. Siti akhirnya memilih pergi, menunggu waktu yang tepat. Meninggalkan sementara tempat dimana ia akan melakukan sebuah perjanjian Lintu Nyawa.

***

• • •

Missing some Tweet in this thread? You can try to force a refresh
 

Keep Current with kalong

kalong Profile picture

Stay in touch and get notified when new unrolls are available from this author!

Read all threads

This Thread may be Removed Anytime!

PDF

Twitter may remove this content at anytime! Save it as PDF for later use!

Try unrolling a thread yourself!

how to unroll video
  1. Follow @ThreadReaderApp to mention us!

  2. From a Twitter thread mention us with a keyword "unroll"
@threadreaderapp unroll

Practice here first or read more on our help page!

More from @cerita_setann

Apr 25
Sebuah kisah tentang ISTRI yang melakukan pernikahan gaib dengan IBLIS demi KETURUNAN !!!

A Thread Horror
"SANG PENGANTIN IBLIS"

#bacahorror @asupanhororrr @IDN_Horor @bacahorror #pengantiniblis Image
September 1999

"Srekkk ... Srekkk ... Srekkk...."

Malam itu, suara langkah Kinanti terdengar mantap ketika menapaki jalanan tanah kering. Wajahnya terlihat datar, matanya menyorot penuh keberanian.
Ia terus saja berjalan menyusuri jalanan, sebelum akhirnya menghentikan langkahnya tepat di depan pintu sebuah rumah tak berpenghuni.

Hening dan gelap suasana di dalam rumah itu, membuat kesan seram begitu terasa. Namun hal itu tak membuat tekadnya goyah.
Read 53 tweets
Mar 11
-WARISAN PENARI-
"SAMPUR & KAWATURIH"

Jujur, banyak sekali DM yang masuk dan pembahasannya menarik semua. Mulai dari Gagar Mayang, Sampur / selendang, dan Kawaturih.

Tapi malam ini kita akan sedikit membahas tentang kengerian warisan sampur & kawaturih.

a thread

#bacahorror


Image
Image
Image
Image
Nah disini saya mau cerita sedikit tentang profesi seorang penari tradisional. Bisa di bilang seperti penari ronggeng atau semacamnya. Di cerita ini si ibu yang sudah terjun bertahun-tahun menjadi penari harus mengalami kengerian.
Di mana, yang seharunya itu di wariskan kepada anaknya, tapi si ibu ini memilih untuk tidak. Kenapa? Karena beliau tahu bagaimana rasanya dan kengeriannya ketika di ambang kematiannya. Beliau tidak mau anaknya akan bernasib sama.
Read 42 tweets
Mar 6
-POCONG CULI-

Sekitaran Demangan - Gejayan

"Tok...tok...tok...." pas di buka pintunya, ada pocong ngomong "...Culi"

a thread

#bacahorror #asupanhorror @asupanhororrr @IDN_Horor @merapi_uncover Image
Bagi teman-teman yang sudah lama tinggal di jogja, khususnya di daerah Demangan, pasti gak asing sama cerita pocong culi.

Menurut beberapa sumber, dulu di tahun 2000an, masyarakat sekitar Demangan di gegerkan sama teror pocong culi.
Ngerinya, pocong culi ini meneror warga sekitar dengan mengetuk pintu dan berteriak “culi...culi...” yang di artikan kalau pocong itu meminta untuk di lepaskan tali pocongnya.
Read 70 tweets
Mar 5
-BEGAL PESUGIHAN JALAN WATES-

Jalanan lurus, ngebut, kecelakaan = minimal rumah sakit dan maksimal kuburan

a thread

#bacahorror @gudangmistery @IDN_Horor Image
Banyak perbincangan tentang jalan propinsi jogja-wates yang terkenal dengan pemasangan BEGAL PESUGIHAN.

Jalanan lurus, ngebut, kecelakaan = minimal rumah sakit dan maksimal kuburan.
Di Kilometer berapa pemasangan pesugihannya, saya juga kurang tau, hanya saja, sepanjang jalan itu sering banget terjadinya kecelakaan. Bahkan kalo pas apes, kadang melihat beberapa kali korban sudah tergeletak di pinggir jalan atau di bawah kolong truk.
Read 22 tweets
Feb 12
THE REAL "SANTET LORO JIWO"

“Lanang menang milih, wedok menang nolak.”

A Thread

#bacahorror @gudangmistery @IDN_Horor Image
Sumatera 2018

Namaku Anis. Aku tinggal di Sumatera. Kejadian ini aku alami setelah menikah. tapi jauh sebelum itu, ketika masih sekolah, ada lelaki yang pernah suka sama aku. Namanya sebut ajaa Bowo.
Awal mula kita deket ketika ibuku jatuh sakit karena kecelakaan. Dikarenakan jarak sekolahan dgn rumahku jauh, aku gak bisa pulang buat jenguk ibuku. Dari sinilah aku meminta tolong Bowo untuk datang ke rumahku untuk melihat kondisi ibuku. Itu dikarenakan rumah kita memang dekat.
Read 58 tweets
Feb 7
“Ya beginilah, niatnya mondok mau cari ilmu agama, malah nemu hal munkar yg udah lama tersembunyi di pesantren. ((Bukan tempatnya)) Tapi ada penghuni di dalam tempat tersebut yg pernah ngelakuin hal biadab dan berusaha ia sembunyikan.”

a thread

#bacahorror Image
“Namanya Marlina. Dia salah satu santriwati di pondok pesantren ini. Dulu ketika mondok, dia menjadi korban bully karena bisu. Hal itu membuat Marlina ini mentalnya down. Sampai suatu ketika, karena kekurangannya itu,
ada salah satu oknum yg jg pengurus pondok sekaligus pemuka agama, melakukan tindakan munkar dan tak bermoral kepada Marlina. Marlina di lecehkan di salah satu ruangan pondok, sesaat setelah di suruh untuk mengembalikan buku hafalan.
Read 64 tweets

Did Thread Reader help you today?

Support us! We are indie developers!


This site is made by just two indie developers on a laptop doing marketing, support and development! Read more about the story.

Become a Premium Member ($3/month or $30/year) and get exclusive features!

Become Premium

Don't want to be a Premium member but still want to support us?

Make a small donation by buying us coffee ($5) or help with server cost ($10)

Donate via Paypal

Or Donate anonymously using crypto!

Ethereum

0xfe58350B80634f60Fa6Dc149a72b4DFbc17D341E copy

Bitcoin

3ATGMxNzCUFzxpMCHL5sWSt4DVtS8UqXpi copy

Thank you for your support!

Follow Us!

:(