Sosok KH. Khusnan Musthofa Ghufron tak terpisahkan dari perjalanan organisasi Nahdlatul Ulama. Bagaimana tidak, beliau adalah
ketua PWNU Lampung yang menjabat selama dua periode,yakni tahun 1992-1997 dan 1997-2002.
Pada masa kepengurusan KH. Khusnan, PWNU Lampung berhasil menggelar Musyawarah Alim Ulama Nasional (Munas) di tahun 1992. Munas yang digelar di GSG Unila dan Islamic Centre, Bandar Lampung,
itu dibuka oleh Wakil Presiden RI, Sudarmono. Acara yang berlangsung selama tiga hari itu berlangsung sukses.
Menurut KH. Syamsudin Tohir, salah seorang kerabat KH. Khusnan, pada masa itu tidak mudah menggelar acara besar, apalagi yang levelnya nasional.
Selain kesiapan daerah menurut penilaian PBNU, juga harus ada persetujuan dari pemerintah daerah. Termasuk juga faktor keamanan.
“Alhamdulillah, PWNU mendapat kepercayaan untuk menggelar Munas itu,” kata KH. Syamsudin, ketika ditemui di Pondok Pesantren Darul A’mal,
di Kota Metro, belum lama ini. Ponpes Darul A’mal ini adalah salah satu Ponpes milik keluarga KH. Khusnan.
Sifat seorang pemimpin yang selalu ingin membantu terpatri kuat pada kiai kelahiran Blitar, Jawa Timur, tahun 1942 itu. Syamsudin menuturkan,
KH. Khusnan sering menolong para ulama. Dirinya tak segan datang ke tempat para ulama yang membutuhkan bantuan. “ Bantuan untuk para kiai selalu dilakukan dalam hal apapun, termasuk juga urusan finansial. Pak kiai bahkan pernah menjual cincin isterinya untuk membantu kebutuhan
seorang ulama dalam melakukan aktivitas dakwah, ” ujarnya.
Pada masa orde baru, ulama kerap dicurigai berbagai pihak. KH. Khusnan kerap turun mengkordinasikan para ulama dengan aparat keamanan, sehingga aktivitas sehari-hari para ulama maupun kegiatan berdakwah,
berlangsung baik-baik saja.
Sikap kepemimpinan yang tegas namun suka membantu, membuat sang kiai dikenal dengan julukan “Singa Putih Penjaga Rimba Ulama”. Semasa hidupnya, suami dari Nyai Siti Muntamah ini, memang selalu mengenakkan pakaian putih.
Di mata keluarga, KH. Khusnan adalah orangtua yang sangat lembut. Salah seorang anaknya, H. Isro Sultoni, menuturkan, bila sedang berada di rumah, ayahnya lebih banyak berdiam diri. Bila membangunkan anak-anaknya sholat subuh pun, tidak dengan suara keras.
Dia cuma menepuk-nepuk kain horden kamar. “ Tapi bila sedang memberi ceramah bisa sangat lama dan suaranya keras seperti presiden Soekarno,” kenangnya.
Meski lembut di rumah, tapi di masyarakat, KH. Khusnan adalah seorang kiai yang tegas.
Suatu kali pernah KH. Khusnan memberikan tausyiah di daerah Lampung Timur, yakni di Desa Padang Ratu. Saat memberikan tausyiah, ada sekelompok preman mabuk yang memainkan gitarnya dengan gaduh sehingga suaranya mengganggu acara tersebut. Tiba-tiba, KH Khusnan turun dari
atas panggung, menghampiri kelompok pemuda tersebut, mengambil gitarnya dan membantingnya hingga hancur. Para pemuda tersebut hanya diam saja, lalu kemudian membubarkan diri.
Pernah pula suatu hari beliau mengundang para pejabat dan kalangan elit untuk mengikuti acara doa
bersama. Acara yang mestinya digelar ba’da sholat asyar itu molor lantaran keterlambatan salah seorang tamu undangan yang kebetulan adalah seorang pejabat. KH Khusnan marah dan menegur pejabat tersebut, ketika sang pejabat sudah berada di atas panggung. Semua tamu undang dibuat
kaget namun tak ada satupun yang berani bicara.
KH. Khusnan sangat dekat dengan ketua PBNU saat itu, Abdurrahman Wahid, alias Gus Dur. Apalagi ketika kedudukan sebagai ketua PWNU Lampung. Menurut KH. Syamsudin, kedekatan keduanya seperti kakak beradik. “Kalau datang ke Lampung,
Gus Dur lebih sering menginap di kediaman KH Khusnan, tidak mau menginap di hotel,” ujarnya.
Suatu ketika saat sedang ada acara NU di Jakarta, Gus Dur datang dengan mobil baru. KH. Khusnan bertanya, “Mobilnya baru ya Gus?”
“Apa Pak Kusnan mau? Tapi aku bilang dulu isteri.
Karena ini punya isteri,” kata Gus Dur waktu itu. Tak dinyana isteri Gus Dur merestui dan jadilah Corolla LG tahun 1995 itu milik KH. Khusnan.
KH. Khusnan yang berasal dari Blitar, pindah ke Lampung mengikuti keluarganya pada tahun 1952. Ketika itu,
usia KH. Khusnan baru 10 tahun. Mereka menetap di Kecamatan Purbolinggo, Kabupaten Lampung Tengah (Sekarang Lampung Timur). Di tempat inilah Khusnan kecil belajar ilmu agama.
Ketika usianya 12 tahun, Khusnan diketahui kemampuan yang tak lazim. Ada yang menyebutnya
“Nulayani Adat” , karena sering melakukan hal-hal di atas batas normal akal manusia. Misalnya ketika Khusnan membuat angkring di bawah pohon kelapa di mana tempat tersebut digunakan untuk melakukan wirid atau amalan-amalan malam. Ketika siang, Khusnan kecil juga sering pergi.
Anehnya, tidak ada satu orangpun yang yang mengetahui kemana arah dan tujuannya.
Kiai Afandi, salah seorang guru Khusnan, pernah suatu kali bertanya,” Khusnan, sampean ki ko ndi lho?” Lalu Khusnan menjawab “Aku songko Gunung Kawi, nggone Mbahku.” Ketika ditanya hal serupa
di lain waktu, Khusnan menjawab “Aku songko kantor PBNU’. Rutinitas tersebut berlangsung hingga beliau beranjak dewasa.
Semasa mudanya, kisaran tahun 1965, KH. Khusnan aktif di GP Ansor. Ia menjadi ketua Ansor Way Jepara. “Saya ingat waktu itu sedang pecah Gestapu,”
kata KH.Syamsudin Tohir. Zaman PKI, Ansor diberdayakan ikut memberantas PKI. Ansor dijadikan Hansip dan diberinama ‘Hansip Rajawali’. Mereka dilatih dan diasramakan di Metro oleh TNI. Pak Khusnan juga turut serta.
Pada tahun 1978, KH. Khusnan juga terpilih sebagai anggota
DPRD Lampung Tengah dari Fraksi PPP. Dan pada 1982 dia kembali menjadi legislatif dan diberi mandat sebagai Wakil Ketua DPRD (juga dari fraksi PPP). Pada tahun 1987, dia berhenti total dari panggung politik dan fokus di organisasi NU.
Ketika duduk sebagai anggota DPRD,
KH. Khusnan berupaya membantu seluruh pondok pesantren yang berbasis NU. Seluruh pondok diupayakan mendapat bantuan. Bahkan, bantuan tersebut dapat berupa dana untuk membangun pesantren. Pekerjanya bisa dilakukan oleh para tetangga dengan cara bergotong royong. Jadi, pembangunan
yang mestinya satu lantai, bisa menjadi dua lantai dengan pola pembangunan bergotong royong itu.
Menurut KH. Syamsudin, semasa hidupnya, KH. Khusnan hidup tak begitu berkecukupan. Penghasilan dari gaji di DPRD yang ketika itu tidak besar,
banyak digunakan untuk keperluan berdakwah.
Kehidupannya mulai membaik justru ketika beliau didiagnosis dokter menderita penyakit ginjal. Banyak kalangan yang bersimpati membantu biaya pengobatan, termasuk pejabat dan bupati, karena ketokohannya.
Namun Allah berkehendak lain. KH. Khusnan Mustofa Gufron tutup usia pada Selasa, 21 Agustus 2001, sekitar pukul 07.46 WIB, dalam usia 54 tahun di Rumah Sakit Umum Daerah Abdoel Moeloek, Bandar Lampung. Saat itu, sang kiai masih menjabat sebagai ketua PWNU Lampung. Alfatihah
Sumber : KH. Syamsuddin | Pondok Pesantren Darul A'mal Pesantren Mulyojati Kec. Metro Barat Kota Metro lampung
• • •
Missing some Tweet in this thread? You can try to
force a refresh
[utas] Mengenal Mbah Moen; sosok komplit di NU
Oleh Gus @na_dirs
Berbicara muktamar NU yang sebentar lagi insya Allah akan diselenggarakan pada akhir Desember nanti, ada baiknya kita merenungkan sosok agung panutan warga nahdiyyin; KH Maimoen Zubair.
Sembilan puluh tahun adalah usia yang panjang. Namun tetap saja berita wafatnya KH Maimoen Zubair di tanah suci Mekkah saat itu menghentak kesadaran kita.
Saat itu, smartphone GNH pun tak berhenti menerima pesan, baik lewat jalur pribadi maupun Whatsapp group,
yang mengabarkan wafatnya Mustasyar PBNU (Pengurus Besar Nahdlatul Ulama). Bahkan sejumlah sahabat non-Muslim pun menghubungi GNH menyatakan dukanya atas kepergian Mbah Moen.
GNH masih terbayang saat itu, ketika menerima berita duka. GNH terdiam sesaat.
Sewaktu menjadi Ketua Umum PBNU, Gus Dur juga menjadi Ketua Dewan Kesenian Jakarta (DKJ). Ini membuat sejumlah Kiai sepuh murka, “Masak ketua NU ngurusi ketoprak!”
Banyak yang kemudian juga terkaget-kaget ketika Gus Dur dengan enteng memimpin Forum Demokrasi dan sering mengeluarkan pernyataan mengkritik Presiden Soeharto.
Sulit kemudian untuk memasukkan jimat NU ini ke dalam satu kategori saja.
Tambah satu lagi, Gus Dur sangat menggemari musik klasik dan juga jago mengulas pertandingan sepakbola. Belum lagi ia rajin menulis kolom di Tempo dan Kompas. Apalagi kalau sudah ngebanyol, rasanya pelawak beneran pun kalah lucu sama Gus Dur.
NDALEM; sibuk melayani keperluan rumah tangga kiai, entah masak, bersih-bersih, nyopir, laden, nyawah, atau lainnya. Santri ndalem ini bisa dibilang menduduki 'strata kesantrian tertinggi' di pondok.
NGANTOR; menjadi pengurus manajemen pesantren.
Ngurusi penerimaan santri baru, surat menyurat, event-event tertentu, narik syahriyah, nyusun jadwal ustadz, menindak pelanggaran, dan seterusnya.
MANGGUNG; kerap tampil dalam acara-acara pondok. Entah lomba, jadi vokalis, penabuh terbang, simakan, dan sebagainya.
Jenis ini biasanya terkenal di seantero komplek, banyak fansnya. Biasanya pulang ke pondok bawa berkat atau amplop.
Ketika Gus Miek masih berusia 9 tahun, Gus Miek sowan ke rumah Gus Ud (K.H. Mas’ud) Pagerwojo, Sidoarjo. Gus Ud adalah seorang tokoh kharismatik yang diyakini sebagai seorang wali.
Dia sering dikunjungi olah sejumlah ulama untuk dimintai doanya. Di rumah Gus Ud inilah untuk pertama kalinya Gus Miek bertemu K.H. Ahmad Siddiq, yang di kemudian hari menjadi orang kepercayaannya dan sekaligus besannya.
Saat itu, K.H. Ahmad Shiddiq masih berusia 23 tahun, dan tengah menjadi sekretaris pribadi K.H. Wahid Hasyim yang saat itu menjabat sebagai menteri agama. Sebagaimana para ulama yang berkunjung ke ndalem Gus Ud, kedatangan K H. Ahmad Shiddiq kendalem Gus Ud juga
[utas] Amalan Mbah Dalhar Watucongol Magelang, Agar Anak Kita Bebas Dari Pergaulan Buruk
Sebelum membaca ini, mohon kesediaannya untuk menghadiahkan Alfatihah kepada Almaghfurlah Mbah Dalhar. 🙏
Mbah KH. Dalhar Watucongol memberi amalan:
"Tirakati anakmu dengan membaca sholawat Munjiyah 1000 kali setiap hari wetonnnya selama tiga tahun berturut-turut. Lakukan itu sebelum anak masuk usia TK. Faidahnya,
Insya Allah kelak suatu hari si anak bakal kembali ke jalan yang benar/baik meski bergaul sama siapa saja."
Amalan ini saya terima dari KH. Chalwani Nawawi Berjan Purworejo pada hari Sabtu 3 April 2021 di PP. Raudlatul Falah Gembong Pati.
Kerapkali pengurus Pondok Pesantren Lirboyo mengambil foto Mbah KH. Marzuqi Dahlan, beliau marah. Bahkan, klisenya hangus walaupun dipotret secara sembunyi-sembunyi. Ini membuat sedih para pengurus saat itu,
karena sama sekali tidak mempunyai foto sang pengasuh.
Namun, ketika KH. Abd. Aziz Manshur menjabat sekretaris pondok, di mana saat itu diketuai oleh KH. A. Idris Marzuqi, beliau memiliki ide brilian. KH. Bahrul Ulum Marzuqi,
putra mbah Marzuqi yang saat itu berusia sekitar 10 tahun, beliau ajari cara mengoperasikan kamera, dan memintanya untuk memotret sang Bapak dalam beberapa momen.
Alhasil, ketika yang memotret adalah putranya sendiri yang sedang lucu-lucunya, Mbah Marzuqi tidak marah,