Yang mau dengerin di youtube bisa mampir ke channel saya ya..
Kenalin namaku Nadia, Aku tinggal di kota Malang yang terletak di propinsi Jawa Timur. Sebagian dari cerita ini mungkin akan didominasi dengan masa kecilku yang sangat kental dengan hal ghaib.
Indigo?
Bukan , aku sendiri tidak bisa menilai mengenai ini.
Mungkin lebih bisa dikatakan kalau aku termasuk orang yang peka atau sensitif.
Semua kejadian yang ingin kuceritakan ini bermula ketika Mbahkungku meninggal. Yang kumaksud adalah Mbahkung dari almarhumah mamaku.
MBAHKUNG
Beliau meninggal kurang lebih Tahun 2010, aku sedikit lupa. Tapi aku selalu mengingat jelas tanggal dan bulan meninggalnya mbahkung karena itu juga mirip dengan tanggal lahirku.
Aku lahir di tanggal satu bulan tujuh. Sedangkan mbahkung lahir di tanggal satu bulan satu dan meninggal di tanggal tujuh bulan tujuh. Entah apa ada yang aneh dengan hal ini? mungkin kita akan tahu nanti.
Mbahkungku ini sebenarya orang yang sangat sabar dan sayang dengan anak dan cucunya. Tapi semua itu akan berubah pada saat ada Mbahti di dekatnya. Seketika Mbahkung akan semakin tegas dan keras dengan cucu-cucunya.
Sejak kecil hingga berumur lima tahun aku tinggal di rumah Mbahkung. Beliau termasuk salah satu tokoh yang dikenal banyak orang.
Yang aku tahu orang-orang sekitar menganggap mbahkung sebagai tukang nyembuhin orang.
Aku kurang mengerti secara jelas karena saat itu aku masih kecil. Namun yang aku ingat di hari-hari tertentu mbahkung kedatangan banyak tamu dari segala kalangan yang minta ‘tombo’ atau kesembuhan.
Saat kecil dulu aku termasuk anak yang usil. Aku sering mengintip saat mbahkung kedatangan tamu. Disana aku melihat mbahkung selalu duduk bersimpuh dan bersuara dengan suara yang tidak kukenal.
Mbahkung bersuara seperti seorang nenek – nenek tua dengan tubuhnya yang membungkuk sangat rendah. Di sebelahnya ada mbahti yang menjaga dan mempersiapkan kebutuhan mbahkung.
Selain itu aku juga sering melihat mereka membeli dupa dan kembang yang saat itu aku sama sekali tidak mengerti kegunaanya. Bahkan sesekali aku pernah iseng menyalakan dupa itu karena kukira dupa itu adalah kembang api.
Saat mulai beranjak besar aku tidak lagi tinggal serumah dengan mbahkung, namun sesekali aku tetap sering bermain ke sana. Menurut saudara-saudaraku aku adalah cucu kesayangan mbahkung dan anak kesayanganya kebetulan juga adalah mamaku.
Saat aku duduk di bangku sekolah dasar aku sering mengingat tentang teman masa kecilku dulu.
Aku sangat dekat denganya, namun saat bermain denganya aku hampir tidak pernah besama dengan teman yang lain. Dia hanya menghampiriku saat aku sedang sendirian.
Aku juga sering menceritakan hal ini ke mbahkung , tapi hanya tersenyum mendengar ceritaku.
Setelah cukup besar aku mulai tahu dari warg bahwa beliau ternyata dikenal sebagai keturunan Kyai sakti yang disegani di daerahnya.
Makanya orang-orang kampung dulu sering berobat ke mbah.
Aku sangat ingat kisah saat seorang ibu yang membawa anaknya dengan panik yang ternyata anak itu menjadi sakit karena dipukul oleh genderuwo.
Mbahkung berusaha semampunya untuk menolong namun karena terlambat ditangani akhirnya anak itu meninggal.
Hal inilah yang sedikit membuka mataku mengenai bahayanya makhluk-makhluk ghaib yang ada di sekitar kami.
Beliau juga pernah menolong dokter yang “diganggu” orang. Di situpun awalnya aku heran, bahkan seorang dokter yang seharusnya mengobati orang lain malah datang ke Mbahkung yang notabene pendidikanya tidak setinggi mereka untuk meminta bantuan.
Ternyata memang ada faktor lain yang tidak bisa ditangani secara medis dan hanya dapat dibantu oleh orang seperti Mbahkungku ini.
Hihi, satu lagi yang aku suka. saat aku mau ujian , Mbahkung pasti sering memberikan minuman yang telah dibacakan doa-doa. Entah fungsinya untuk apa, tapi setelahnya aku selalu bisa menyelesaikan ujianku dengan lancar.
RUMAH KETINTANG
Saat memasuki kelas empat sekolah dasar papa pindah kerja ke kota surabaya. Saat itu juga kami ikut pindah ke sana dan saat itu aku sudah memiliki seorang adik laki-laki.
Aku pindah di daerah ketintang pada tahun dua ribuan.
Rumahnya cukup tua namun sangat luas. Rumah ini hanya emiliki satu lantai damun ada empat kamar tidur , dua kamar mandi dan sebuah garasi yang cuup besar. Ada juga taman di dalam dan luar rumah. Yang di dalam rumah seperti bekas kolam ikan.
Langit-langitnya cukup tinggi dan los tanpa penutup hanya menggunakan ram-raman. Bagusnya kalau malam masih bisa melihat langit, tapi kalau hujan rumah kami bisa jadi air terjun.. haha.
Di dekat taman ada ruang tamu dan ruang keluarga.
Selain itu di dekat dapur ada sebuah sumur yang baunya sangat mengganggu pada saat itu.
“Ojo Pak… ojo tinggal ning kene. Hawane singup”
(Jangan pak, jangan tinggal di sini. Hawanya tidak enak)
Aku mendengar perbincangan ibu yang tidak setuju untuk tinggal dirumah ini. namun bapak merasa keadaan sudah mendesak dan kita harus segera pindah, jadi pendapat ibu harus mengalah.
Walaupun begitu mbahkung sudah memantau rumah ini dan memasang “pagar” untuk melindungi rumah ini.
Saat tinggal dirumah ini aku sering mendengar suara burung hantu dari atas,
pernah saat adiku bermain di atap bersama teman-temanya ternyata mereka menemukan burung-burung itu membuat sarang dia atas rumahku. Dan katanya ternyata mereka dan tetangga lain mengenal rumahku ini sebagai rumah yang angker.
Keangkeran rumah ini dipertegas dengan pengakuan dari anak pemilik rumah. Rumah ini adalah rumah warisan tapi anak-anak pemilik rumah tidak ada yang mau menempati rumah ini.
Walaupun mereka bercerita seperti itu, kami yang tinggal di rumah ini tidak pernah mendapat gangguan yang berarti bahkan hingga adiku keduaku lahir.
Adik pertamaku biasa dipangil Pindi dan adik keduaku biasa dipanggil Saka. Saat saka lahir aku sudah kelas enam sekolah dasar.
Dengan kelahiranya keluarga ini bertambah besar dan mama terlihat semakin sibuk hingga akhirnya kami memutuskan untuk mencari pembantu.
MBAK IDAH
Pembantu kami bernama Zubaidah yang berasal dari daerah Dampit kabupaten malang. Mbak Idah ini menempati kamar belakang yang memang lama tidak digunakan. Tidak ada yang aneh selama awal-awal bekerja.
Namun sejak kedatanganya kami mulai menyadari hal-hal aneh yang ada di rumah ini ketika kami sudah memiliki tenaga pembantu untuk benar-benar bersih-bersih seluruh bagian rumah yang selama ini kami hiraukan.
Kami akhirnya mengetahui mengenai kamar mandi belakang yang ternyata menjadi sarang kelabang. Hal itu baru diketahui saat mbak Idah membersihkanya. Ukuran kelabang di sana sangat besar. Malah kata ibu kalau banyak hewan seperti itu biasanya tempat itu ada penunggunya.
Dengan adanya pembantu kami mencoba untuk menguras sumur di dekat dapur. Sayangnya walaupun sudah beberapa kali di kuras sumur itu tetap mengeluarkan bau yang mengganggu.
Adalagi hal aneh di garasi. Lampu di garasi hampir tidak pernah awet. Setiap kami memasang lampu pasti selalu mati. Kami mencoba memeriksa kelistrikan dan bolak balik mengganti lampu tapi tidak ditemukan permasalahanya.
Akhirnya kami memutuskan tidak menggunakan lampu sama sekali di garasi.
Suatu ketika seorang teman bapak yang bisa melihat hal ghaib mampir ke rumah dan ia berkata di beberapa tempat dirumah kami ada yang menempati.
Yang cukup jelas ada di di sumur tapi teman bapak tidak bilang mengenai wujudnya. Ia hanya menyuruh memasukan ikan di sumur itu dan kami mengikuti saranya.
Entah apa alasanya Mbak Idah tidak pernah mau bila ditinggal sendirian di rumah, dia juga tidak pernah mau menggunakan kamar mandi belakang. Alasanya karena takut. Tapi dia tidak pernah mau menjelaskan ia takut karena apa.
Sampai akhirnya suatu saat mbak idah minta pulang dengan alasan kangen anaknya yang ada di desa. Kami berusaha mengerti keinginanya dan mengantarkanya kembali ke desanya di kabupaten Malang.
Jaman itu daerah rumah mbak idah masih sepi. Hanya hutan-hutan dan sawah sawah yang terlihat sepanjang perjalanan. Jarak dari satu rumah ke rumah lainpun saling berjauhan.
Kami sampai di rumah Mbak Idah sekitar jam tujuh malam. Sehingga kami memutuskan untuk tidak lama berada di sana dan segera kembali ke kota malang.
Karena sudah malam, aku yang saat itu masih kecil tertidur saat perjalanan pulang.
Namun samar-samar aku mendengar perbincangan diantara bapak dan ibu.
“Papa.. itu ada orang.. perempuan.. kok larinya kenceng, hampir nyamain mobil kita” Tanya ibu yang melihat sesuatu dari spion mobil di sisinya. Namun bapak hanya diam dan fokus menyetir.
“Pa.. tambah banter pa, kok tambah banter iku mlayu e.. ati-ati pa” (Pak tambah kenceng, kok tambah kenceng itu larinya) Ucap ibu yang mulai merasa aneh.
“Wis ma ojo diliat, doa wae” (Sudah ma , jangan dilihat.. doa saja) Ucap bapak yang juga seperti sedang membaca doa.
“Pa… Iku uwonge di sebelah kaca papa” (Pa itu orangnya di sebelah kaca papa)
Saat itu ibu melihat seorang wanita berkerudung putih dan berbaju putih tersenyum menyeringai di kaca sebelah bapak.
“Wis biarin” Bapak berusaha tidak merespon kemunculan orang itu.
Setelah itu wanita itu terlihat berlari lebih cepat dan masuk ke sebuah rumah besar sebelum akhirnya menghilang.
“kok ilangnya cepet banget pak” Tanya ibu heran.
“wis ma.. uwis, sudah.. nanti tak kasi tau” Balas bapak.
Sesampainya di kota saat keadaan sudah mulai ramai bapak mulai bercerita ke ibu.
“Ma.. yang tadi itu kuntilanak. Papa udah liat di spion. Orangnya jelek, wajahnya hancur berdarah-darah. “ cerita bapak.
“Itu tadi nggak ada rumah ma, tadi makhluk itu berlari ke arah pohon-pohon. Dia masuk ke situ lalu hillang”
Seketika wajah ibu menjadi pucat dan berkali-kali membaca istighfar.
Setelah itu kami memutuskan untuk mampir ke rumah mbahkung sebelum kembali ke surabaya.
Mbak Idah akhirnya memutuskan untuk tidak bekerja lagi di tempat kami dengan alasan tidak bisa jauh dari anak. Padahal kami sudah cocok dan mengijinkanya mengajak anaknya ke rumah kami tapi mbak idah tetap ga mau. Entah apa alasan yang sebenarnya ia sembunyikan.
Setelah Mbak Idah ada pembantu lagi yang bekerja di keluargaku, seorang janda. Ia tinggal di rumah kami dengan membawa seorang anaknya juga. Aku memanggilnya mbak Rom.
Berbeda dengan Mbak idah, Mbak Rom ini jauh lebih pemberani. Ia menempati kamar belakang di bawah tangga jemuran di samping kamar mandi.
Pernah aku menanyakan pada Mbak Rom apa dia tidak takut di tempat itu
“Sudah biasa , Yang penting dia tidak mengganggu saya juga berusaha tidak mengganggu” Jawabnya dengan santainya.
Sesekali aku penasaran dan bertanya kembali apa benar tidak pernah di ganggu sampai akhirnya Mbak Rom cerita.
“Kadang ada yang aneh, kayak ada orang merokok. Ada yang naik turun tangga pas rumah sedang kosong . ada juga yang lempar-lempar batu.
Tapi saya berusaha biasa saja”
Dia sungguh berani dan hampir tidak pernah mengeluh. Sayangnya Mbak Rom tidak lama tinggal di rumahku.
Mbak Rom ketahuan sering (maaf) ‘mencuri’ baju –baju adikku, mungkin karena anaknya sama-sama laki-laki.
Saat sudah ketahuan kami terpaksa memberhentikan dia. Padahal tidak jarang kami juga sering membelikan baju dan mainan juga untuk anaknya.
Singkat cerita kami sudah berganti pembantu sampai empat kali selain mbak idah dan mbak rom dua pembantu lainya masih muda.
Tapi mereka menghilang sendiri dan tidak kembali lagi ke rumah tanpa mau menceritakan sama sekali apa alasan kepergian mereka.
Untungnya saat itu Saka sudah cukup besar dan bisa disambi.
Jadi kami memutuskan untuk ridak sewa pembantu lagi dan aku yang lebih banyak membantu mama untuk beres-beres.
Sayangnya setelah itu sebuah permasalahan menimpa keluarga kami. Tepatnya pada saat aku menginjak kelas satu SMP.
Saat itu karir papa melejit diumurnya yang cukup muda. Sayangnya bukan hanya hal baik saja yang datang pada saat itu tapi sebuah musibah yang sama sekali tidak pernah kusangka.
Dengan karirnya yang sukses banyak wanita yang tertarik dengan papa dan akhirnya entah kenapa Papa bisa kepincut dengan seorang perempuan entah dari mana asalnya.
PELET
Di umurku yang masih belum mengerti dengan permasalahan keluarga aku menyaksikan tak jarang Papa dan Mama bertengkar dengan masalah yang tidak kuketahui sampai aku mendengar kabar mengenai papa yang dekat dengan seorang perempuan.
Itu adalah salah satu ujian terbesar untuk keluarga kami. Saat itu Pindi menginja kelas satu SD dan Saka berumur satu tahun.
Keadaan di rumah mulai tidak nyaman , apalagi Papa sempat tidak pernah pulang selama kurang lebih tiga bulan lamanya.
Papa yang selama ini aku kenal sebagai sosok panutan kini berubah drastis dan tega meninggalkan kami dan Saka yang masih berumur satu tahun.
Hampir tiap hari aku melihat mama menangis. Namun setiap aku mendekat mama selalu berusaha terlihat tegar di depan anak-anaknya.
“Ma… Papa kok nggak pulang-pulang?”
Seringkali aku menanyakan keberadaan papa ke mama.
“Papa lagi kerja Nadia..”
Hanya itu jawaban dari Mama, namun aku baru sadar bahwa setiap pertanyaanku waktu itu pasti semakin menambah luka di hati Mama.
Ketika sudah mulai tidak mampu menahan permasalahan ini akhirnya mama menghubungi keluarga Papa dan menceritakan semua masalah ini. Hal ini membuat mereka kaget hingga akhirnya memutuskan untuk mendatangi ke rumh kami.
Saat itu mama sangat sulit untuk bercerita seolah semua bebanya sudah menumpuk begitu besar hingga mama hanya bisa menangis. Melihat Mama menangis seketika juga kami anak-anaknya juga ikut menangis.
Sebenarnya Pakde dan Bude sempat blang, kalau mau cerai mereka tidak akan menghalangi karena memang sudah tiga bulan kami tidak diberi nafkah lahir dan batin. namun mereka akan tetap berusaha membantu masalah ini.
Saat itu yang banyak membantu kami adalah Almarhum Pakde Hardi. Beliau benar-benar orang yang sangat baik.
(Alfatihah..mohon doanya untuk beliau)
Banyak hal yang terjadi, dan selama itu Pakdelah yang membantu kami baik secara finansial hingga kebutuhan kami.
Dan ternyata mereka juga membantu untuk mencari keberadaan papa dengan bantuan dari seorang Kyai.
Berdasarkan petunjuk dari Kyai itu akhirnya keluarga Papa berhasil menemukan keberadaan perempuan itu di daerah Sepanjang, Sidoarjo.
Di sanalah rumah Lina, perempuan yang membuat papa tega meninggalkan keluarganya.
Menurut Kyai yang membatu kami, Perempuan bernama Lina itu menggunakan baju Papa untuk menarik perhatian Papa dengan menggunakan ilmu Pelet.
Ibunya Lina sendirilah yang melakukan ritual itu seolah memang sudah berniah jahat sejak awal.
keluarga papa datang ke rumah Lina dengan bantuan perangkat desa sekitar yang memang sudah curiga dan mendengarkan cerita dari keluarga Papa.
Mereka melakukan penggeledahan dan akhirnya menemukan barang-barang Papa di rumah perempuan itu.
Dengan bantuan dari Kyai tersebut dan beberapa orang yang memang mengerti, Akhirnya Papa kembali ke rumah dengan sendirinya.
Apakah masalah selesai?
Tidak,
masalah baru mulai bermunculan .
Entah ada hubunganya dengan perempuan bernama Lina itu atau tidak, akhirnya papa mendapat masalah dengan bossnya yang mengakibatkan Papa dipindah kerjakan ke Kota Makasar. Dan kami berempat tetap tinggal di Surabaya.
Setelah ditinggal oleh Papa rumah yang kami tinggali terasa berbeda.
Rumah yang sebelumnya nyaman kini mulai terasa menakutkan.
Hampir semua anggota keluarga merasakan kejadian-kejadian yang mengerikan.
Aku akan menceritakan semuanya kisah yang kami alami, teror-teror mengerikan yang kami dapat setelah kepergian Papa..
semua akan kuceritakan di catatan berikutnya..
(Bersambung…)
• • •
Missing some Tweet in this thread? You can try to
force a refresh
Suara derap kuda terdengar memecah keheningan malam, mendekati barak prajurit dengan cepat. Para penunggangnya turun tergesa-gesa, wajah-wajah mereka penuh ketegangan. Mereka langsung menuju tenda besar di tengah barak, tempat raja berada.
"Berhenti! Raja ada di dalam!" seorang penjaga menahan mereka dengan tangannya terentang.
"Kami harus bertemu yang mulia! Ini keadaan darurat!" Pemimpin mereka bersikeras.
Penjaga itu memerhatikan mereka sejenak, mengenali lencana-lencana khas yang menghiasi seragam mereka. Pasukan elit Cakra Manunggal, yang langsung di bawah komando Prabu Ramawijaya.
"Baiklah, tunggu sebentar…" ujar sang penjaga sambil memasuki tenda.
Ramawijaya telah menduduki tahta dan membangun kerajaan Darmawijaya sebagai kerajaan dengan pertahanan militer yang kokoh.
Mereka mampu menggetarkan kerajaan besar di sekitarnya, namun bukan itu tujuan utamanya. Perang para danyang semakin dekat, dan bertahun-tahun lamanya, bencana semakin melanda.
Tak lama kemudian, mereka diizinkan masuk. Di dalam tenda, Prabu Ramawijaya dan para patihnya tampak berkumpul, membahas sesuatu yang tampaknya mendesak.
Pemimpin pasukan itu melangkah maju dan berkata tegas, "Yang mulia, kabar ini harus disampaikan segera."
Prabu Ramawijaya menatapnya tajam. "Panglima Cakra, aku mengenalmu terlalu baik untuk tahu bahwa kau tak akan menggangguku tanpa alasan. Katakan."
Dengan satu langkah cepat, Panglima Cakra mendekat dan tiba-tiba mencabut pedangnya. Patih-patih lain sontak bereaksi, namun terlambat. Pedang Cakra menembus dada Patih Renggana.
"Cakra! Apa yang kau lakukan?!" Patih Raksawira menghunus pedangnya, mengarahkannya tepat ke leher Panglima Cakra.
Namun Panglima Cakra tak bergeming. "Aku tak akan bicara sampai pengkhianat ini tak lagi bernyawa," katanya dingin, sementara para penjaga dipanggil untuk menyelamatkan Patih Renggana yang sekarat.
Patih Raksawira tak bisa menahan amarahnya dan mengangkat pedang untuk menebas leher Panglima Cakra. Tapi tiba-tiba, suara berat terdengar dari arah pintu.
"Tahan, Raksawira!"
Semua mata tertuju pada seorang pria dengan pakaian lusuh dan tubuh penuh debu yang baru saja memasuki tenda. Walau penampilannya sederhana, auranya membuat para patih berhenti seketika.
"Abimanyu?! Cakra telah mencoba membunuh Patih Renggana! Kita tak bisa membiarkannya begitu saja!" seru Raksawira, mengarahkan ujung pedangnya ke Panglima Cakra. Namun, Abimanyu hanya menatap tajam.
Seluruh patih menundukkan kepala sedikit, sadar betul siapa pria itu.
Dia adalah Abimanyu Darmawijaya, pewaris dari Prabu Arya Darmawijaya, yang berjanji mendampingi Prabu Ramawijaya untuk menjaga Kerajaan Indrajaya sejak kepergian Raja Indrajaya.
Patih Renggana menekan luka di dadanya, mencoba mempertahankan nyawanya. Setiap tarikan napas terasa seperti api yang membakar, namun ia berusaha memperpanjang hidupnya sejenak, berharap ada seseorang yang membantunya.
Srratt!
Dalam sekejap, Abimanyu sudah berada di samping Prabu Ramawijaya, dan di tangannya tergenggam kepala Patih Renggana yang sudah terpenggal dari tubuhnya. Hening menggantung di udara, seakan waktu berhenti sejenak.
Tenda itu bergetar dalam kesunyian, hingga tubuh Patih Renggana menyadari bahwa ia telah kehilangan kepalanya. Seketika, semburan darah memuncrat deras, membuat para patih mundur ngeri.
“Jadi, dia pengkhianatnya?” tanya Prabu Ramawijaya dengan suara tenang, nyaris tak terpengaruh oleh pemandangan mengerikan itu.
Abimanyu mengangguk ringan sambil duduk di sisi Prabu Ramawijaya. “Benar. Dia adalah patih di kerajaan kita, namun sekaligus Raja di kerajaan Tunggul Giri.”
Suara gemuruh dari puncak Mahameru menggema, menggetarkan bumi dan langit. Mahameru, yang berdiri megah di Jawa Timur sebagai paku penyeimbang Pulau Jawa, kini memuntahkan isinya.
Dharrr!!!
Batu-batu besar terlontar dari kawahnya, menghantam pepohonan di kawasan Kalimati, menciptakan kepanikan di antara mereka yang ada di sana.
"Menyingkir!" teriak seseorang, memberi isyarat pada sekelompok pasukan yang menerobos letusan dahsyat itu.
"Ini gila! Siapa yang terpikirkan untuk menerobos letusan gunung seperti ini?!" teriak Raja Indrajaya dengan napas memburu, mencoba menghindari lontaran batu panas yang jatuh dari langit.
"Siapa lagi kalau bukan Pangeran Baswara, putra andalanmu itu, yang mulia..." sahut Panglima Brasma sambil melirik ke arah Baswara yang tanpa ragu maju lebih dahulu.
Di depan, Baswara membuka jalan dengan segenap tenaga, dibantu oleh kawanan kera putih yang melompat lincah di antara lahar. Seekor kera putih menari melompat di antar pepohonan, membaca aliran energi panas yang memancar dari gunung, menghindari setiap bahaya yang muncul.
"Ayah! Dia di sana!" teriak Baswara, menunjuk ke arah pusaran api yang berkobar di antara kepulan awan panas di puncak Mahameru.
Raja Indrajaya dan Panglima Brasma menyaksikan dengan mata mereka sendiri kekacauan itu, kekuatan yang tak terkendali memutar-mutar di puncak tertinggi pulau.
"Kalian, kembali! Setelah ini urusan kami sekarang!" seru Raja Indrajaya kepada para prajurit yang mendampingi mereka.
"Ta—tapi, yang mulia! Tempat itu terlalu berbahaya! Biarkan kami ikut bersama!" pinta seorang prajurit dengan nada cemas.
"Jangan sia-siakan nyawa kalian. Ramajaya dan Kerajaan Indrajaya masih membutuhkan kalian!" Raja Indrajaya menegaskan, suaranya penuh kewibawaan.
Walaupun hati mereka berat, para prajurit itu pun memutuskan untuk mundur, meninggalkan tiga sosok yang akan melanjutkan perjalanan ke pusat bencana.
"Prajurit Indrajaya!" panggil Baswara tiba-tiba. Ia menghampiri para prajurit yang berbalik badan. Mereka menoleh, menatapnya dengan kebingungan.
“Sampaikan salamku pada Ramajaya, dan berikan ini padanya.” Baswara melepas sebuah ikatan tali dari pinggangnya dan menyerahkannya kepada salah satu prajurit.
Begitu tali itu berpindah tangan, prajurit tersebut terhenyak oleh beban kekuatan yang terkandung di dalamnya. Dengan susah payah, ia menggenggam tali itu.
Suara senjata beradu di tengah rumah terpencil di pinggir hutan. Bukan sebuah kekacauan, namun sebuah pemandangan unik dimana seorang pendekar bertarung melawan lebih dari lima anak- anak kecil.
“Eyang! Ini jurus kodok terbang dari bukit nestapa!”
Seorang anak melakukan sebuah gerakan lucu sambil mengayunkan tongkat kayunya yang panjang.
“Heh! Kertasukmo, mana ada kodok bisa terbang?!” Ucap pendekar itu sambil tertawa dan menghindarinya.
“Hahaha! Dia emang hobinya gitu, Eyang Daryana! Ngasi nama jurus aneh-aneh, tapi gerakannya nggak jelas!” Tawa Purbawengi yang masih mencari celah untuk menyerang Daryana dengan sebuah senjata pisau di tangannya.
“Biarin! Kata Bapak, ngasi nama jurus harus keren biar lawan gentar!” Balas Kertasukmo.
Brakk!! Brakk!! Brakk!!
Beberapa pukulan sekaligus menjatuhkan anak-anak yang mengepung Daryana.
“Aduh! Sakit, Eyang!” Keluh Wirabumi yang terjatuh merasakan pukulan paling keras diantara yang lainnya. Namun dengan segera Daryana mengulurkan tangannya.
“Maaf, Eyang sengaja. Karena kelak, kamulah yang akan menjadi pelindung mereka semua..” Ucap Daryana
Wirabumi tak lagi mengeluh. Ia berdiri dengan bangga mendengar ucapan Daryana, Eyang kebangganya itu.
Mereka pun berkumpul kembali ke pendopo untuk beristirahat sekaligus menghabiskan waktu di sana.
Itu adalah terakhir kalinya Daryana menemui cucu-cucunya. Perjalanan hidupnya membuatnya menemui wanita-wanita hebat yang mengaguminya.
Keempat istri Daryana terpencar di berbagai daerah dan dari mereka lahirlah orang tua dari Wirabumi, Kertasukmo, Purbawengi, dan keturunan Sambara yang lain.
Setelah menyempurnakan Ajian Pemutih Raga, Daryana melakukan perjalanan untuk mencari ayahnya Widarpa Dayu Sambara. Setidaknya di umur sehatnya ia ingin melakukan perjalanan, dan memastikan keadaan ayahnya yang telah lama menghilang dan tak lagi menemuinya.
Sama seperti Widarpa, walau keberadaanya menghilang dari keluarganya, ia telah meninggalkan serpihan-serpihan kesaktiannya yang mungkin bisa akan berguna bagi keturunannya kelak. Sebelum dirinya menua, Daryana berniat mengamalkan ilmunya serta menemukan ayahnya itu.
Cahyo kembali ke desa itu, tempat dimana ia telah berdosa pada penduduk yang tinggal di sana. Sebuah desa yang dihuni oleh Trah keluarga yang mengucilakna dirinya. Trah Rojobedes...
Semoga teman-teman berkenan meninggalkan komen setelah membaca part ini..
Wabah di desa Darmo Kulon menewaskan lebih dari dua puluh nyawa. Anggoro sudah berusaha semaksimal mungkin, namun ia tak mampu berbuat banyak kepada mereka yang sudah sekarat.
Setidaknya, kedatangan Anggoro menghentikan jumlah korban yang terus bertambah.
“Ustad. Apa yang terjadi antara Mas Cahyo dan Raden Suto Benggolo di bukit? Mengapa Mas Cahyo tidak kembali ke sini?” Anggoro terlihat cemas saat mengetahui Ustad Imran kembali tanpa Cahyo.
“Tidak usah khawatir. Mas Cahyo baik-baik saja. Pasti kamu juga dengar suara khas knalpot vespanya saat melintas tadi, kan?”
Anggoro memang mengingat suara berisik yang melintasi desa setelah subuh. Ia baru sadar bahwa itu suara motor tua milik Cahyo.
“Lantas kenapa Mas Cahyo tidak kembali ke desa, Ustad?”
Ustad Imran menghela nafas menunjukkan wajahnya yang bingung menjelaskan apa yang terjadi.
“Apa yang ia hadapi jauh lebih besar dari bencana yang ada di desa ini, Mas Anggoro. Sesuatu yang benar-benar tak terbayangkan oleh manusia pada umumnya..”
Anggoro membaca raut muka Ustad Imran. Ia mencoba memahami kegelisahan dalam dirinya. Namun satu kabar dari Ustad Imran cukup membuat Anggoro dan warga desa lega.
Ustad Imran mengatakan bahwa tanah di desa Darmo Kulon sudah diruwat. Tak ada lagi kutukan yang mengikat desa tempat mereka tinggal. Jasad-jasad sudah bisa dimakamkan di tanah mereka.
Mendengar kabar itu, warga desa, terutama mereka yang ditinggalkan oleh keluarganya tak mampu menahan air mata.
Kini mereka benar-benar terlepas dari kutukan Raden Suto Benggolo. Namun Ustad Imran sendiri belum bisa tenang. Semua tidak ada artinya jika Cahyo gagal menangani sosok yang jauh lebih berkuasa dari Raden Suto Benggolo itu.
“Setidaknya saya ingin menyampaikan, jika suatu saat ia membutuhkan kemampuan medis saya, saya siap membantu Mas Cahyo kapan saja..” Anggoro membersihkan tangannya sambil menatap langit pagi hari di desanya. Ustad Imran mendekat dan berdiri di sebelahnya.
Bau Melati yang semula menenangkan kini berubah menjadi isyarat kematian.
Sosok pendendam yang membawa ketakutan untuk warga desa. Ia tak akan tenang sebelum dendamnya terpuaskan.
#bacahorror @bacahorror
Namaku Arya, seorang jurnalis lepas yang terbiasa menggali cerita kriminal, misteri, hingga horor.
Adrenalin selalu terpacu saat menemukan kisah misteri yang belum terungkap, dan biasanya aku mendapatkan info dari kantor, narasumber, atau teman-teman.
Tapi kali ini, sumbernya berbeda.
Berulang kali aku bermimpi tentang sebuah desa. Desa yang selalu sunyi saat malam tiba, penduduknya dicekam ketakutan oleh sosok tak kasat mata yang meneror mereka.
Ada legenda yang mengatakan bahwa manusia, hanya menempati satu dari sekian ribu alam yang diciptakan oleh Yang Maha Pencipta.
Alam manusia, alam roh, alam mimpi, alam antara, akhirat, khayangan, atau berbagai macam nama yang sering tersebut di berbagai kepercayaan mungkin memiliki tempat tersendiri yang tak mudah dijangkau oleh manusia.
Tapi di balik itu, setiap alam memiliki ikatannya sendiri dan saling mempengaruhi dengan caranya sendiri.
Tapi satu alam pernah mati menyisakan kesadaran yang memaksa dirinya sebagai alam untuk mendapatkan energi hidup dari alam lain.
Alam itu sadar bahwa tak ada makhluk yang berhak memiliki keinginannya sendiri. Jika hanya ada satu kesadaran untuk semua makhluk di satu alam, maka alam itu akan bangkit menjadi alam yang terkuat.
Jagad Segoro demit. Hanya amarah dan nafsu yang diizinkan untuk ada di sana. Setiap makhluk perlahan akan melupakan dirinya dan menjadi satu kesadaran dengan alam itu.
Hanya kegilaan dan kekacauan yang terus ada mengorbankan darah dan nyawa untuk kembali lahirnya sebuah alam yang telah mati.
Akan ada waktunya alam ini merebut alam manusia untuk menjadi bagian darinya..
***
Dananjaya Sambara. Itu namaku, dan aku adalah seorang manusia. Iya! Aku benar-benar manusia. Namun saat ini aku terpaksa menjebak diriku di alam tempat bangsa setan, dan lelembut berasal. Sesuatu yang mengerikan akan terjadi jika kami tidak menghentikannya.
Sebuah peperangan antara makhluk yang sudah ada sejak ratusan tahun yang lalu akan terjadi dan mengoyak batas alam antara alam manusia dan Jagad Segoro Demit. Aku di sini untuk menghentikan itu semua.
Tapi, sepertinya keberadaanku tidak dibutuhkan.
Di hadapanku berdiri seorang sesepuh leluhur Trah Sambara yang telah mengurung dirinya di Jagad Segoro Demit Selama ratusan tahun. Seseorang yang menjaga kesakralan Trah Sambara dari alam terkutuk.
Eyang Wirabumi Dayu Sambara.
“Terlemah?” Gumamku saat Eyang Wirabumi mendakwaku sebagai trah sambara yang terlemah. Aku tak bisa membantahnya, mungkin ucapannya benar. Aku memang tidak memiliki ajian-ajian sesakti Paklek dan Jagad.
“Bagaimana bisa kalian membawa manusia seperti dia ke alam ini?! Apa tidak ada pilihan lain!!” Teriak Eyang Wirabumi pada Nyi Purbawengi dan Eyang Kertasukmo.
Mereka tak menjawab dan memilih mundur sambil tersenyum. Aku menoleh pada Nyi Sendang Rangu dan ia justru berpaling seolah tak ingin terlibat dengan permasalahan Trah Sambara.
“Arrrgggh!! Mengapa kalian jadi setolol ini! Jangan salahkan aku jika dia mati dalam pertempuran!” Teriaknya sambil berpaling membuang muka, namun baru melangkah sesaat ia kembali menoleh ke arahku dan menunjukkan jarinya ke wajahku.
“Dan kau! Jangan sampai kau menjadi batu sandungan untuk kami!” Ancam Eyang Wirabumi.
Aku berusaha untuk tidak merespon apapun. Selain tidak mengerti dengan keadaan di alam ini, Eyang pasti punya alasan untuk sebegitu selektifnya menilai aku dan yang lain.
“Dia hanya tidak ingin ada lagi yang mati..” Ucap Nyi Purbawengi.
“Percayalah, walau perangainya buruk dia salah satu leluhur kita yang paling baik,” Tambah Eyang Kertasukmo.
Aku hanya menghela nafas sambil berusaha tersenyum. Perangai emosinya itu memang sedikit mirip dengan Eyang Widarpa. Seandainya Eyang masih ada, mungkin akan seru jika mereka berdua bertemu.
“Kepala Ki Kundawayan itu, apa eyang yang menghabisinya?” Tanya Mas Jagad.
Tak hanya Mas Jagad, aku pun merasa penasaran bagaimana makhluk sekuat itu dan hampir membunuh kami bisa takluk begitu saja.
Eyang Wirabumi mencabut keris dari kepala itu. Ia melangkah menuju sebuah ruangan dimana terdapat sebuah cermin di sana.
“Aku melihat semua pertarungan kalian dari Koco Benggolo. Ledakkan kekuatan telur jagat membuatnya lemah, saat tiba di Jagad Segoro Demit, kami menggunakan kesempatan itu untuk menghabisinya..” Jelas Eyang Wirabumi.
“Kami?” Paklek bertanya.
Eyang Wirabumi memalingkan wajahnya dari cermin dan kembali menatap ke arah kami.
“Aku tidak seorang diri di sini, leluhur kalian yang lain terpencar di alam ini. Mereka menghimpun kekuatan dan memburu danyang yang bersekutu dengannya.”
Aku semakin penasaran dengan wujud dari leluhur-leluhurku. Hampir setiap dari mereka memiliki sifat yang berbeda, dan kehebatannya sendiri-sendiri. Setiap kemampuan itulah yang menurun kepada kami.
“Wirabumi, kau sudah mendapatkan pusaka itu?” Eyang Kertasukmo tiba-tiba membuka pembicaraan. Namun Eyang Wirabumi membalasnya dengan menggeleng dan menghela nafas.
“Aku hampir tidak percaya jika pusaka ratu ular itu memang ada di alam ini. Sudah ratusan tahun aku mencarinya, petunjuk yang kita miliki menuntun kami ke hasil yang kosong..”
Aku dan Paklek mempertanyakan apa yang dimaksud pusaka ratu ular itu? apa pusaka itu sepenting itu hingga leluhur kami mencari selama ratusan tahun.
“Eyang, apa pusaka ratu ular memang sepenting itu?” Tanyaku pada Nyi Purbawengi.
Nyi Purbawengi mengajak kami untuk duduk di ruangan itu. Koco benggolo terlihat menutup dengan sendirinya ketika kami menjauh. Sekilas aku melihat bayangan dua orang perempuan yang berjalan di sebuah desa tua. Tapi apa yang kulihat itu tidak untuk kubahas saat ini.
“Pusaka Ratu Ular merupakan penentu perang para danyang di zaman dulu. Kami semua hampir musnah oleh kekuatannya…” Jelas Nyi Purbawengi.
Ia menceritakan saat Danyang putih dan trah sambara berhasil menghentikan peperangan dengan menaklukkan danyang hitam, ada sosok danyang dari bukit pesisir yang berkhianat. Ia menggunakan pusaka ratu ular yang seketika memakan ratusan nyawa untuk membangkitkan kembali kekuatan danyang hitam.
“Pengkhianat?” Tanyaku.
Nyi Purbawengi mengangguk. Danyang itu menitiskan kekuatan dewi samudera, namun ia lahir dari tanah terkutuk.
“Siapa? Apa namanya dikenal di alam manusia?” Tanya Mas Jagad.
“Manusia memujanya untuk menanti berkah alam, namun ada yang menyembahnya untuk mendapatkan kekayaan. Di alam manusia ia merupakan sosok anggun yang dikenal dengan nama Dewi Naganingrum..” Eyang Kertasukmo mencoba menjelaskan.
Ia menambahkan bahwa nama dan sosok anggun itu hanyalah kedok. Wujud sebenarnya adalah seekor ular raksasa yang menguasai tanah bukit pesisir.
“Berarti saat ini dia ada di alam manusia?” Aku memastikan.
“Naganingrum hidup di dua alam. Ia mempunyai raga yang terkurung di alam ini, dan roh di alam manusia..” Jelas Nyi Purbawengi.
Braakk!!!
Pukulan keras Eyang Wirabumi menghantam lantai kayu bangunan itu.
“Kupastikan ia akan mati tak bersisa saat berhadapan denganku!!” Teriak Eyang Wirabumi.
Aku merasa ada permasalah pelik yang membuat Eyang Wirabumi begitu dendam dengan sosok Naganingrum itu.
Di tengah kebingungan itu, tiba-tiba koco benggolo memantulkan cahaya api yang begitu pekat. Eyang Wirabumi meninggalkan tempatnya dan bergegas menghampiri cermin itu. Ia buru-buru mengambil kerisnya lagi dan hendak meninggalkan ruangan.
“Eyang?! Ada apa?!” Tanyaku.
Jagad menatap ke koco benggolo dan wajahnya seketika diliputi amarah.
“Brengsek! Mereka membakar satu bangunan yang menampung puluhan anak kecil! Apa yang mereka lakukan?!”
Aku menghampiri ke arah mas jagad, dan pemandangan mengerikan itu benar-benar terpampang di koco benggolo. Suara anak-anak yang berteriak ketakutan pun terdengar samar dari cermin itu.
Eyang Wiraguna berhenti sejenak dan memanggil kami.
“Kalian! Ikut denganku?!” teriaknya tertuju kepada kami bertiga.
Aku menoleh ke arah Eyang Kertasukmo, Nyi Purbawengi, dan Nyi Sendang Rangu. Mereka mengangguk memberi isyarat agar kami mengikuti eyang Wirabumi.