Yang mau dengerin di youtube bisa mampir ke channel saya ya..
Kenalin namaku Nadia, Aku tinggal di kota Malang yang terletak di propinsi Jawa Timur. Sebagian dari cerita ini mungkin akan didominasi dengan masa kecilku yang sangat kental dengan hal ghaib.
Indigo?
Bukan , aku sendiri tidak bisa menilai mengenai ini.
Mungkin lebih bisa dikatakan kalau aku termasuk orang yang peka atau sensitif.
Semua kejadian yang ingin kuceritakan ini bermula ketika Mbahkungku meninggal. Yang kumaksud adalah Mbahkung dari almarhumah mamaku.
MBAHKUNG
Beliau meninggal kurang lebih Tahun 2010, aku sedikit lupa. Tapi aku selalu mengingat jelas tanggal dan bulan meninggalnya mbahkung karena itu juga mirip dengan tanggal lahirku.
Aku lahir di tanggal satu bulan tujuh. Sedangkan mbahkung lahir di tanggal satu bulan satu dan meninggal di tanggal tujuh bulan tujuh. Entah apa ada yang aneh dengan hal ini? mungkin kita akan tahu nanti.
Mbahkungku ini sebenarya orang yang sangat sabar dan sayang dengan anak dan cucunya. Tapi semua itu akan berubah pada saat ada Mbahti di dekatnya. Seketika Mbahkung akan semakin tegas dan keras dengan cucu-cucunya.
Sejak kecil hingga berumur lima tahun aku tinggal di rumah Mbahkung. Beliau termasuk salah satu tokoh yang dikenal banyak orang.
Yang aku tahu orang-orang sekitar menganggap mbahkung sebagai tukang nyembuhin orang.
Aku kurang mengerti secara jelas karena saat itu aku masih kecil. Namun yang aku ingat di hari-hari tertentu mbahkung kedatangan banyak tamu dari segala kalangan yang minta ‘tombo’ atau kesembuhan.
Saat kecil dulu aku termasuk anak yang usil. Aku sering mengintip saat mbahkung kedatangan tamu. Disana aku melihat mbahkung selalu duduk bersimpuh dan bersuara dengan suara yang tidak kukenal.
Mbahkung bersuara seperti seorang nenek – nenek tua dengan tubuhnya yang membungkuk sangat rendah. Di sebelahnya ada mbahti yang menjaga dan mempersiapkan kebutuhan mbahkung.
Selain itu aku juga sering melihat mereka membeli dupa dan kembang yang saat itu aku sama sekali tidak mengerti kegunaanya. Bahkan sesekali aku pernah iseng menyalakan dupa itu karena kukira dupa itu adalah kembang api.
Saat mulai beranjak besar aku tidak lagi tinggal serumah dengan mbahkung, namun sesekali aku tetap sering bermain ke sana. Menurut saudara-saudaraku aku adalah cucu kesayangan mbahkung dan anak kesayanganya kebetulan juga adalah mamaku.
Saat aku duduk di bangku sekolah dasar aku sering mengingat tentang teman masa kecilku dulu.
Aku sangat dekat denganya, namun saat bermain denganya aku hampir tidak pernah besama dengan teman yang lain. Dia hanya menghampiriku saat aku sedang sendirian.
Aku juga sering menceritakan hal ini ke mbahkung , tapi hanya tersenyum mendengar ceritaku.
Setelah cukup besar aku mulai tahu dari warg bahwa beliau ternyata dikenal sebagai keturunan Kyai sakti yang disegani di daerahnya.
Makanya orang-orang kampung dulu sering berobat ke mbah.
Aku sangat ingat kisah saat seorang ibu yang membawa anaknya dengan panik yang ternyata anak itu menjadi sakit karena dipukul oleh genderuwo.
Mbahkung berusaha semampunya untuk menolong namun karena terlambat ditangani akhirnya anak itu meninggal.
Hal inilah yang sedikit membuka mataku mengenai bahayanya makhluk-makhluk ghaib yang ada di sekitar kami.
Beliau juga pernah menolong dokter yang “diganggu” orang. Di situpun awalnya aku heran, bahkan seorang dokter yang seharusnya mengobati orang lain malah datang ke Mbahkung yang notabene pendidikanya tidak setinggi mereka untuk meminta bantuan.
Ternyata memang ada faktor lain yang tidak bisa ditangani secara medis dan hanya dapat dibantu oleh orang seperti Mbahkungku ini.
Hihi, satu lagi yang aku suka. saat aku mau ujian , Mbahkung pasti sering memberikan minuman yang telah dibacakan doa-doa. Entah fungsinya untuk apa, tapi setelahnya aku selalu bisa menyelesaikan ujianku dengan lancar.
RUMAH KETINTANG
Saat memasuki kelas empat sekolah dasar papa pindah kerja ke kota surabaya. Saat itu juga kami ikut pindah ke sana dan saat itu aku sudah memiliki seorang adik laki-laki.
Aku pindah di daerah ketintang pada tahun dua ribuan.
Rumahnya cukup tua namun sangat luas. Rumah ini hanya emiliki satu lantai damun ada empat kamar tidur , dua kamar mandi dan sebuah garasi yang cuup besar. Ada juga taman di dalam dan luar rumah. Yang di dalam rumah seperti bekas kolam ikan.
Langit-langitnya cukup tinggi dan los tanpa penutup hanya menggunakan ram-raman. Bagusnya kalau malam masih bisa melihat langit, tapi kalau hujan rumah kami bisa jadi air terjun.. haha.
Di dekat taman ada ruang tamu dan ruang keluarga.
Selain itu di dekat dapur ada sebuah sumur yang baunya sangat mengganggu pada saat itu.
“Ojo Pak… ojo tinggal ning kene. Hawane singup”
(Jangan pak, jangan tinggal di sini. Hawanya tidak enak)
Aku mendengar perbincangan ibu yang tidak setuju untuk tinggal dirumah ini. namun bapak merasa keadaan sudah mendesak dan kita harus segera pindah, jadi pendapat ibu harus mengalah.
Walaupun begitu mbahkung sudah memantau rumah ini dan memasang “pagar” untuk melindungi rumah ini.
Saat tinggal dirumah ini aku sering mendengar suara burung hantu dari atas,
pernah saat adiku bermain di atap bersama teman-temanya ternyata mereka menemukan burung-burung itu membuat sarang dia atas rumahku. Dan katanya ternyata mereka dan tetangga lain mengenal rumahku ini sebagai rumah yang angker.
Keangkeran rumah ini dipertegas dengan pengakuan dari anak pemilik rumah. Rumah ini adalah rumah warisan tapi anak-anak pemilik rumah tidak ada yang mau menempati rumah ini.
Walaupun mereka bercerita seperti itu, kami yang tinggal di rumah ini tidak pernah mendapat gangguan yang berarti bahkan hingga adiku keduaku lahir.
Adik pertamaku biasa dipangil Pindi dan adik keduaku biasa dipanggil Saka. Saat saka lahir aku sudah kelas enam sekolah dasar.
Dengan kelahiranya keluarga ini bertambah besar dan mama terlihat semakin sibuk hingga akhirnya kami memutuskan untuk mencari pembantu.
MBAK IDAH
Pembantu kami bernama Zubaidah yang berasal dari daerah Dampit kabupaten malang. Mbak Idah ini menempati kamar belakang yang memang lama tidak digunakan. Tidak ada yang aneh selama awal-awal bekerja.
Namun sejak kedatanganya kami mulai menyadari hal-hal aneh yang ada di rumah ini ketika kami sudah memiliki tenaga pembantu untuk benar-benar bersih-bersih seluruh bagian rumah yang selama ini kami hiraukan.
Kami akhirnya mengetahui mengenai kamar mandi belakang yang ternyata menjadi sarang kelabang. Hal itu baru diketahui saat mbak Idah membersihkanya. Ukuran kelabang di sana sangat besar. Malah kata ibu kalau banyak hewan seperti itu biasanya tempat itu ada penunggunya.
Dengan adanya pembantu kami mencoba untuk menguras sumur di dekat dapur. Sayangnya walaupun sudah beberapa kali di kuras sumur itu tetap mengeluarkan bau yang mengganggu.
Adalagi hal aneh di garasi. Lampu di garasi hampir tidak pernah awet. Setiap kami memasang lampu pasti selalu mati. Kami mencoba memeriksa kelistrikan dan bolak balik mengganti lampu tapi tidak ditemukan permasalahanya.
Akhirnya kami memutuskan tidak menggunakan lampu sama sekali di garasi.
Suatu ketika seorang teman bapak yang bisa melihat hal ghaib mampir ke rumah dan ia berkata di beberapa tempat dirumah kami ada yang menempati.
Yang cukup jelas ada di di sumur tapi teman bapak tidak bilang mengenai wujudnya. Ia hanya menyuruh memasukan ikan di sumur itu dan kami mengikuti saranya.
Entah apa alasanya Mbak Idah tidak pernah mau bila ditinggal sendirian di rumah, dia juga tidak pernah mau menggunakan kamar mandi belakang. Alasanya karena takut. Tapi dia tidak pernah mau menjelaskan ia takut karena apa.
Sampai akhirnya suatu saat mbak idah minta pulang dengan alasan kangen anaknya yang ada di desa. Kami berusaha mengerti keinginanya dan mengantarkanya kembali ke desanya di kabupaten Malang.
Jaman itu daerah rumah mbak idah masih sepi. Hanya hutan-hutan dan sawah sawah yang terlihat sepanjang perjalanan. Jarak dari satu rumah ke rumah lainpun saling berjauhan.
Kami sampai di rumah Mbak Idah sekitar jam tujuh malam. Sehingga kami memutuskan untuk tidak lama berada di sana dan segera kembali ke kota malang.
Karena sudah malam, aku yang saat itu masih kecil tertidur saat perjalanan pulang.
Namun samar-samar aku mendengar perbincangan diantara bapak dan ibu.
“Papa.. itu ada orang.. perempuan.. kok larinya kenceng, hampir nyamain mobil kita” Tanya ibu yang melihat sesuatu dari spion mobil di sisinya. Namun bapak hanya diam dan fokus menyetir.
“Pa.. tambah banter pa, kok tambah banter iku mlayu e.. ati-ati pa” (Pak tambah kenceng, kok tambah kenceng itu larinya) Ucap ibu yang mulai merasa aneh.
“Wis ma ojo diliat, doa wae” (Sudah ma , jangan dilihat.. doa saja) Ucap bapak yang juga seperti sedang membaca doa.
“Pa… Iku uwonge di sebelah kaca papa” (Pa itu orangnya di sebelah kaca papa)
Saat itu ibu melihat seorang wanita berkerudung putih dan berbaju putih tersenyum menyeringai di kaca sebelah bapak.
“Wis biarin” Bapak berusaha tidak merespon kemunculan orang itu.
Setelah itu wanita itu terlihat berlari lebih cepat dan masuk ke sebuah rumah besar sebelum akhirnya menghilang.
“kok ilangnya cepet banget pak” Tanya ibu heran.
“wis ma.. uwis, sudah.. nanti tak kasi tau” Balas bapak.
Sesampainya di kota saat keadaan sudah mulai ramai bapak mulai bercerita ke ibu.
“Ma.. yang tadi itu kuntilanak. Papa udah liat di spion. Orangnya jelek, wajahnya hancur berdarah-darah. “ cerita bapak.
“Itu tadi nggak ada rumah ma, tadi makhluk itu berlari ke arah pohon-pohon. Dia masuk ke situ lalu hillang”
Seketika wajah ibu menjadi pucat dan berkali-kali membaca istighfar.
Setelah itu kami memutuskan untuk mampir ke rumah mbahkung sebelum kembali ke surabaya.
Mbak Idah akhirnya memutuskan untuk tidak bekerja lagi di tempat kami dengan alasan tidak bisa jauh dari anak. Padahal kami sudah cocok dan mengijinkanya mengajak anaknya ke rumah kami tapi mbak idah tetap ga mau. Entah apa alasan yang sebenarnya ia sembunyikan.
Setelah Mbak Idah ada pembantu lagi yang bekerja di keluargaku, seorang janda. Ia tinggal di rumah kami dengan membawa seorang anaknya juga. Aku memanggilnya mbak Rom.
Berbeda dengan Mbak idah, Mbak Rom ini jauh lebih pemberani. Ia menempati kamar belakang di bawah tangga jemuran di samping kamar mandi.
Pernah aku menanyakan pada Mbak Rom apa dia tidak takut di tempat itu
“Sudah biasa , Yang penting dia tidak mengganggu saya juga berusaha tidak mengganggu” Jawabnya dengan santainya.
Sesekali aku penasaran dan bertanya kembali apa benar tidak pernah di ganggu sampai akhirnya Mbak Rom cerita.
“Kadang ada yang aneh, kayak ada orang merokok. Ada yang naik turun tangga pas rumah sedang kosong . ada juga yang lempar-lempar batu.
Tapi saya berusaha biasa saja”
Dia sungguh berani dan hampir tidak pernah mengeluh. Sayangnya Mbak Rom tidak lama tinggal di rumahku.
Mbak Rom ketahuan sering (maaf) ‘mencuri’ baju –baju adikku, mungkin karena anaknya sama-sama laki-laki.
Saat sudah ketahuan kami terpaksa memberhentikan dia. Padahal tidak jarang kami juga sering membelikan baju dan mainan juga untuk anaknya.
Singkat cerita kami sudah berganti pembantu sampai empat kali selain mbak idah dan mbak rom dua pembantu lainya masih muda.
Tapi mereka menghilang sendiri dan tidak kembali lagi ke rumah tanpa mau menceritakan sama sekali apa alasan kepergian mereka.
Untungnya saat itu Saka sudah cukup besar dan bisa disambi.
Jadi kami memutuskan untuk ridak sewa pembantu lagi dan aku yang lebih banyak membantu mama untuk beres-beres.
Sayangnya setelah itu sebuah permasalahan menimpa keluarga kami. Tepatnya pada saat aku menginjak kelas satu SMP.
Saat itu karir papa melejit diumurnya yang cukup muda. Sayangnya bukan hanya hal baik saja yang datang pada saat itu tapi sebuah musibah yang sama sekali tidak pernah kusangka.
Dengan karirnya yang sukses banyak wanita yang tertarik dengan papa dan akhirnya entah kenapa Papa bisa kepincut dengan seorang perempuan entah dari mana asalnya.
PELET
Di umurku yang masih belum mengerti dengan permasalahan keluarga aku menyaksikan tak jarang Papa dan Mama bertengkar dengan masalah yang tidak kuketahui sampai aku mendengar kabar mengenai papa yang dekat dengan seorang perempuan.
Itu adalah salah satu ujian terbesar untuk keluarga kami. Saat itu Pindi menginja kelas satu SD dan Saka berumur satu tahun.
Keadaan di rumah mulai tidak nyaman , apalagi Papa sempat tidak pernah pulang selama kurang lebih tiga bulan lamanya.
Papa yang selama ini aku kenal sebagai sosok panutan kini berubah drastis dan tega meninggalkan kami dan Saka yang masih berumur satu tahun.
Hampir tiap hari aku melihat mama menangis. Namun setiap aku mendekat mama selalu berusaha terlihat tegar di depan anak-anaknya.
“Ma… Papa kok nggak pulang-pulang?”
Seringkali aku menanyakan keberadaan papa ke mama.
“Papa lagi kerja Nadia..”
Hanya itu jawaban dari Mama, namun aku baru sadar bahwa setiap pertanyaanku waktu itu pasti semakin menambah luka di hati Mama.
Ketika sudah mulai tidak mampu menahan permasalahan ini akhirnya mama menghubungi keluarga Papa dan menceritakan semua masalah ini. Hal ini membuat mereka kaget hingga akhirnya memutuskan untuk mendatangi ke rumh kami.
Saat itu mama sangat sulit untuk bercerita seolah semua bebanya sudah menumpuk begitu besar hingga mama hanya bisa menangis. Melihat Mama menangis seketika juga kami anak-anaknya juga ikut menangis.
Sebenarnya Pakde dan Bude sempat blang, kalau mau cerai mereka tidak akan menghalangi karena memang sudah tiga bulan kami tidak diberi nafkah lahir dan batin. namun mereka akan tetap berusaha membantu masalah ini.
Saat itu yang banyak membantu kami adalah Almarhum Pakde Hardi. Beliau benar-benar orang yang sangat baik.
(Alfatihah..mohon doanya untuk beliau)
Banyak hal yang terjadi, dan selama itu Pakdelah yang membantu kami baik secara finansial hingga kebutuhan kami.
Dan ternyata mereka juga membantu untuk mencari keberadaan papa dengan bantuan dari seorang Kyai.
Berdasarkan petunjuk dari Kyai itu akhirnya keluarga Papa berhasil menemukan keberadaan perempuan itu di daerah Sepanjang, Sidoarjo.
Di sanalah rumah Lina, perempuan yang membuat papa tega meninggalkan keluarganya.
Menurut Kyai yang membatu kami, Perempuan bernama Lina itu menggunakan baju Papa untuk menarik perhatian Papa dengan menggunakan ilmu Pelet.
Ibunya Lina sendirilah yang melakukan ritual itu seolah memang sudah berniah jahat sejak awal.
keluarga papa datang ke rumah Lina dengan bantuan perangkat desa sekitar yang memang sudah curiga dan mendengarkan cerita dari keluarga Papa.
Mereka melakukan penggeledahan dan akhirnya menemukan barang-barang Papa di rumah perempuan itu.
Dengan bantuan dari Kyai tersebut dan beberapa orang yang memang mengerti, Akhirnya Papa kembali ke rumah dengan sendirinya.
Apakah masalah selesai?
Tidak,
masalah baru mulai bermunculan .
Entah ada hubunganya dengan perempuan bernama Lina itu atau tidak, akhirnya papa mendapat masalah dengan bossnya yang mengakibatkan Papa dipindah kerjakan ke Kota Makasar. Dan kami berempat tetap tinggal di Surabaya.
Setelah ditinggal oleh Papa rumah yang kami tinggali terasa berbeda.
Rumah yang sebelumnya nyaman kini mulai terasa menakutkan.
Hampir semua anggota keluarga merasakan kejadian-kejadian yang mengerikan.
Aku akan menceritakan semuanya kisah yang kami alami, teror-teror mengerikan yang kami dapat setelah kepergian Papa..
semua akan kuceritakan di catatan berikutnya..
(Bersambung…)
• • •
Missing some Tweet in this thread? You can try to
force a refresh
(Sudut Pandang Galang…)
Suara gending gamelan mulai mengalun, menyatu dengan hembusan angin sore yang membawa aroma tanah basah setelah hujan ringan. Cahaya keemasan senja mulai meredup di balik pepohonan, memberikan kesan magis pada suasana di sekitar balai desa.
Aku, Raka, dan Farel masih duduk di beranda kayu, memandangi halaman yang mulai dipenuhi orang-orang. Seharian ini kami menghabiskan waktu bersama Wulan, tapi kini ia telah berpamitan untuk bersiap-siap.
Kami tahu, sebentar lagi pementasan akan dimulai—dan bersamaan dengan itu, kecemasan kami semakin menjadi.
Sebelum pergi, Wulan sempat berpesan dengan nada serius, “Sebelum pementasan selesai, kalian harus sudah pergi.”
Aku menatapnya, mencoba mencari jawaban di balik matanya yang sejenak tampak bimbang. “Kenapa, Lan?” tanyaku, berharap ia akan menjelaskan.
Namun jawabannya justru membuat kami semakin terdiam.
“Kalian seharusnya tidak berada di sini.”
Kalimat itu menggantung di udara, menciptakan gelombang ketegangan di antara kami. Aku ingin bertanya lebih jauh, tapi Wulan tidak memberi penjelasan lebih lanjut.
Ia hanya menyebutkan bahwa gelar “tamu” bagi seorang penari memiliki konsekuensi tertentu. Konsekuensi yang ia hindari untuk jelaskan, tetapi cukup untuk membuat kami mengerti bahwa itu bukanlah sesuatu yang baik.
Tak ada lagi yang bisa kami katakan, selain menerima kenyataan bahwa waktu kami di tempat ini sangat terbatas.
Farel, yang sejak tadi diam, akhirnya berbicara dengan suara mantap. “Begitu pementasan dimulai, kita harus cepat-cepat mencari sukma Tiwi dan pergi.”
Raka segera mengangguk setuju. “Benar! Jangan buang waktu.” Ia sudah bersiap, memastikan barang-barang kami dalam keadaan siap untuk dibawa sewaktu-waktu.
Tapi kemudian, Farel kembali bersuara, kali ini dengan nada lebih tegas. “Satu lagi.” Ia menatapku tajam, seakan ingin memastikan aku benar-benar mendengarkan. “Kalaupun kita belum menemukan Sukma Tiwi saat pementasan selesai, kita tetap harus pergi.”
Deg!
Jantungku seperti dipukul begitu saja. Pernyataan itu terasa begitu berat, tetapi aku tahu bahwa Farel tidak salah.
“I—iya…” suaraku lirih, hampir tidak terdengar.
Raka menepuk bahuku dengan lembut. “Lang… kuatkan hatimu,” katanya dengan nada penuh keyakinan. “Nggak boleh ada korban lagi. Kalau kita tidak menemukan Tiwi di sini, berarti dia memang tidak ada.”
Aku menarik napas dalam, lalu mengangguk. Aku menatap mata kedua sahabatku dengan tekad yang bulat. Aku tidak boleh bimbang. Raka dan Farel sama pentingnya bagiku, dan aku tidak akan mengorbankan mereka hanya karena keraguanku.
Melihat keteguhanku, Farel mengangkat sudut bibirnya tipis, lalu menepuk bahuku sebelum merangkulku. “Bagus…” katanya singkat.
Tanpa perlu berkata lebih banyak, kami bertiga pun melangkah menuju balai desa tempat dimana panggung kayu yang sederhana sudah berdiri dan para pemain gamelan sudah memainkan alatnya.
…
“Monggo, Mas. Kue-kue sama jajanannya ada di sebelah sana. Teh dan kopi juga ada, jangan sungkan-sungkan,” suara lembut seorang ibu menyambut kedatangan kami.
Aku, Farel, dan Raka berdiri di pelataran sebuah rumah yang cukup besar. Di tengahnya, sebuah tumpeng megah diletakkan di atas meja kayu panjang, dikelilingi oleh aneka jajanan pasar dan makanan-makanan yang terlihat begitu menggoda.
(Sudut Pandang Cahyo…)
Kabut tebal menyelimuti jalur sempit yang kami lalui. Setiap langkah terasa berat, seolah-olah ada ribuan mata tak terlihat yang terus mengintai dari balik pepohonan kering di sekitar.
Suasana begitu mencekam, bahkan napas kami terdengar lebih keras dari suara angin yang berhembus pelan.
Aku terus melangkah, tapi bayangan kebimbangan menyelimuti pikiranku.
“Danan... apa yang kita lakukan ini sudah benar?” ucapku dengan suara gemetar.
Danan berjalan di sampingku, menoleh sebentar sebelum kembali menatap lurus ke depan. Sorot matanya menandakan ia pun tak yakin.
“Entahlah, Jul... Tapi ini satu-satunya cara. Mbah Dirwo bilang Wiralaya bisa membantu kita.”
Aku melirik sosok tua yang berjalan di depan kami.
Wiralaya... pria bertubuh kurus dengan rambut panjang beruban yang menutupi sebagian wajahnya. Sorot matanya kosong, seperti menatap sesuatu yang tidak bisa kami lihat.
Tangannya kurus dan keriput, mencengkeram tongkat kayu yang terus menghantam tanah lembab setiap kali ia melangkah.
Kabut semakin tebal. Langit abu-abu yang tadi samar-samar terlihat kini benar-benar lenyap. Di tempat ini, siang dan malam terasa tidak ada bedanya. Dunia seperti terjebak di antara waktu.
“Sebenarnya kita mau ke mana, Mbah Wiralaya?” tanyaku mencoba memberanikan diri.
Pria tua itu tiba-tiba menghentikan langkah. Aku tersentak. Perlahan ia melirik ke arahku—tatapan yang begitu tajam hingga membuat bulu kudukku meremang.
Wiralaya tidak menjawab. Namun... di saat itulah tangan hitam berkeriput muncul begitu saja dari kabut pekat, mencengkeram tubuhku dengan kekuatan luar biasa.
“PANJUL!!”
Aku mendengar teriakan Danan, tapi semuanya terjadi begitu cepat. Dunia di sekelilingku berputar—kabut, pepohonan, dan sosok Danan menghilang dalam sekejap. Aku merasa dihempaskan ke tempat lain, tubuhku terlempar tanpa aku tahu melewati apa.
Saat aku membuka mata, tubuhku terbaring di atas tanah yang dingin dan lembab. Nafasku memburu, dadaku terasa sesak. Aku mencoba bangkit, tapi sesuatu menindih tubuhku.
Sosok pocong.
Makhluk itu berdiri di atasku, tubuhnya kaku dengan kain kafan yang penuh bercak darah. Wajahnya membusuk... kulitnya terkelupas hingga memperlihatkan tulang di beberapa bagian. Matanya cekung dan hampir keluar dari lubang tengkorak yang menghitam.
“Udu wayahe kowe tangi meneh... Wektumu wis rampung... Aku mung njaluk panggonanku... Kowe sing ngganti...”
(Bukan waktumu lagi untuk bangun lagi... Waktumu sudah habis... Aku hanya meminta tempatku... Kamu yang menggantikan...)
Suaranya dalam, berat, seolah berasal dari dasar kubur. Bau anyir darah bercampur tanah basah menusuk hidungku. Tubuhku bergetar hebat saat pocong itu mulai tersenyum, memperlihatkan deretan gigi kuning berlumuran lendir.
Aku mencoba meronta, tapi tekanan di dadaku semakin kuat. Napasku tersengal-sengal.
“Nggak... nggak sudi aku!”
Aku memanggil satu-satunya harapan yang kupunya.
“WANASURA!!”
Tidak ada jawaban.
Aku memanggil lagi, lebih keras. “WANASURA!!!”
Tapi... sunyi. Bahkan energi di dalam tubuhku terasa lenyap. Seolah sesuatu telah memutuskan ikatan antara aku dan Wanasura—jiwa roh penjaga yang selama ini mendiami tubuhku.
Pocong itu tertawa terbahak-bahak, suara seraknya menggema di udara. Kafan yang membalut tubuhnya mulai sobek perlahan, memperlihatkan ratusan ular berbisa yang menggeliat di balik lipatan kain. Ular-ular itu melata, menyusup keluar dan menempel di tubuhku, melilit leher dan tanganku.
“Kafan ini sudah memintamu... kehkehkeh...”
Wajah pocong itu mendekat, hanya sejengkal dari wajahku. Bau busuk menyengat menembus hidung, membuat perutku mual. Matanya yang hampir lepas bergetar, menatapku dengan rasa puas.
Aku berusaha membaca doa-doa di dalam hati... tapi semakin aku membaca, semakin kuat kain kafan itu menjerat tubuhku.
“LEPASKAN!! LEPASKAN AKU!!”
Kafan itu hidup. Lembaran kainnya melilit tubuhku seperti ular, perlahan menyusup ke dalam mulutku, memaksaku diam. Aku menggigit kain kasar itu, tapi ia terus memaksa masuk.
Keringatku semakin menetes.
“Berkatmu aku bisa kembali memburu sukma di gunung ini... kehkehkeh...”
Makhluk itu berbalik, berjalan menjauh dengan langkah pincang, meninggalkanku dalam lilitan kafan yang semakin rapat. Aku mencoba meronta, tapi tak ada yang bisa kulakukan.
Dalam kegelapan itu, aku hanya bisa berdoa.
Perlahan-lahan, dunia di sekelilingku terasa semakin dingin... dan aku mulai kehilangan kesadaran.
“Sial!!” Aku mengumpat kesal, namun mulutku terus melantunkan doa tanpa henti. Napasku memburu, keringat dingin membasahi tubuhku yang gemetar. Tiba-tiba, suara gemuruh terdengar dari arah belakang.
Langkahku terhenti ketika tiba-tiba seseorang meraih tanganku dan menarikku dengan tergesa-gesa. Seorang perempuan berlari di hadapanku, napasnya memburu seolah dikejar sesuatu.
Wajahnya dipenuhi kecemasan, terutama setelah melihatku yang hendak memasuki sebuah desa yang tampak sunyi di kejauhan.
"Wulan, tapi Raka dan Farel... Mereka juga tersesat," ucapku, mencoba menjelaskan situasiku yang tak kalah membingungkan.
Mendengar itu, Wulan memperlambat langkahnya sejenak. Matanya mengawasi sekeliling dengan waspada, lalu tanpa banyak bicara, ia menarikku menuju rimbunan pepohonan di tepi jalan.
Sesampainya di sana, ia celingukan seakan mencari sesuatu atau seseorang. Setelah memastikan keadaan aman, ia menatapku dengan serius.
"Apa yang sebenarnya terjadi, Mas? Kenapa kalian bisa sampai ke sini? Bahkan dalam situasi seperti ini..." Suaranya lirih, tapi penuh kekhawatiran.
Aku menghela napas panjang. "Ceritanya panjang, Wulan. Awalnya ini tentang Tiwi..."
Aku mulai menjelaskan bagaimana kami sampai di sini. Wulan mendengarkan dengan saksama, raut wajahnya berubah-ubah seiring dengan ceritaku.
Awalnya ada kecemasan, lalu keterkejutan, dan entah kenapa, aku tidak lagi melihat ekspresi cemburu seperti yang pernah ia tunjukkan sebelumnya. Saat kusebutkan bahwa bagian sukma Tiwi masih tertinggal di sisi gaib Gunung Merapi, Wulan tampak semakin tegang.
"Bagaimana keadaan Tiwi? Apakah Mbah Dirwo membantu kalian?" tanyanya cepat.
"Tiwi sudah mendapat pertolongan dari Mas Danan. Sayangnya, kami belum sempat bertemu Mbah Dirwo. Tapi ada beberapa orang yang memahami hal gaib yang juga turun tangan membantu kami..." jawabku, mencoba menenangkan kekhawatirannya.
Meski tampak memahami, Wulan tetap gelisah. Ia menggigit bibirnya pelan, seperti sedang mempertimbangkan sesuatu.
"Masalahnya bukan hanya itu, Mas... Alam gaib di Merapi sedang bergejolak," ucapnya akhirnya.
Aku mengernyit. "Bergejolak? Maksudmu?"
Wulan mengangguk. Ia melirik ke arah desa yang semakin jauh dari pandangan kami. Matanya menangkap kehadiran seekor burung jalak yang bertengger di salah satu dahan pohon. Seolah mendapat isyarat, ia menarikku lebih jauh dari tempat itu.
"Farel dan Raka tidak sendirian. Ada seekor kera yang menjaga mereka," katanya tiba-tiba.
Aku terkejut. "Kamu tahu dari mana, Wulan?"
Alih-alih menjawab, Wulan hanya tersenyum kecil. Aku menatapnya lekat-lekat, mencoba mencari jawaban dari ekspresinya. Namun, aku sadar bahwa meskipun ia menjelaskan, belum tentu aku bisa benar-benar memahami apa yang ia ketahui.
"Saat ini, para penghuni desa gaib di gunung ini tengah gelisah. Keberadaan makhluk-makhluk asing yang bukan berasal dari Merapi mulai berdatangan dan mengganggu keseimbangan," ujar Wulan dengan nada serius.
Aku mengerutkan dahi. "Sesama makhluk pun bisa berseteru?"
Wulan mengangguk pelan. "Tentu saja, Mas. Setiap wilayah memiliki sosok kuat yang menjaga keseimbangannya.
Keberadaan mereka bukan hanya sebagai pelindung, tapi juga sebagai pengatur batas antara alam manusia dan alam gaib. Jika keseimbangan itu terganggu..." Wulan tidak melanjutkan ucapannya, tapi dari sorot matanya, aku bisa merasakan betapa serius situasi ini.
Aku menelan ludah. Sekarang aku paham, kami tidak hanya tersesat di gunung ini, tapi juga terjebak di tengah-tengah sesuatu yang jauh lebih besar dari yang kami bayangkan.
"Ada satu lagi pertanyaan penting, Wulan." Kali ini aku yang menarik tangan Wulan hingga langkahnya terhenti.
"Apa, Mas?"
"Bagaimana kabarmu?"
Wulan berpaling dan menatapku dengan bingung. Sejenak ia tampak terkejut, sebelum akhirnya menjawab dengan suara sedikit canggung. "Eh, ba—baik, Mas."
Aku melihat raut wajahnya berubah, rona halus muncul di pipinya. Walaupun Wulan bukan manusia, ada sesuatu dalam dirinya yang selalu membuatku merasa nyaman. Namun sebelum aku bisa mengatakan lebih jauh, perasaan aneh tiba-tiba menyelimuti kami.
Hutan di sekitar semakin sunyi. Suasana menjadi dingin, dan aku bisa merasakan keberadaan sesuatu yang mendekat.
"Ada yang datang..." bisikku.
Wulan ikut menghentikan langkahnya, tubuhnya menegang. Dari balik bayangan pohon, seseorang muncul. Sosok itu adalah seorang lelaki tua dengan wajah penuh senyum. Namun, senyum itu terasa janggal.
"Buru-buru sekali, Mas sama Mbaknya? Di desa sedang ada acara, lho," ucap lelaki itu dengan nada ramah yang terdengar ganjil.
Wulan segera mengambil langkah maju, berdiri di depanku. "Terima kasih, Pak. Tapi kami sudah ada janji dengan seseorang," balasnya dengan sopan.
Senyum lelaki itu perlahan memudar.
Wajahnya berubah serius, tatapannya dingin. "Bukan seperti ini caranya meninggalkan desa..." Nada suaranya datar, tapi aku merasakan ancaman yang tersirat. "Seharusnya kamu mengerti, Wulan."
Aku menyadari bahwa ini bukan sekadar perbincangan biasa. Ada sesuatu yang hanya dipahami oleh para penghuni desa gaib ini.
"Nggih, Pak. Wulan lupa," jawab Wulan, suaranya lebih lembut. "Kami akan kembali ke desa sebentar lagi."
Mendengar jawaban itu, lelaki tua itu kembali tersenyum. "Bagus. Jangan lama-lama, keburu acaranya selesai."
"Nggih, Pak!" balas Wulan ceria.
Begitu lelaki itu berbalik dan mulai berjalan kembali ke hutan, tubuh Wulan tiba-tiba menegang.
"Lari!" teriaknya tiba-tiba.
Ia menarik tanganku, dan kami segera berlari menuju bagian hutan yang berkabut. Nafasku tersengal-sengal, dan aku bisa merasakan bahaya yang membuntuti kami.
"Apa bapak tadi berbahaya?" tanyaku di tengah langkah terburu-buru.
"Manusia tidak boleh berada di desa gaib itu, Mas. Sekali masuk, mereka harus menjadi bagian dari desa selamanya."
Kabut semakin pekat, menyelimuti jalur pendakian yang seharusnya tidak ada. Inilah jalur gaib yang kami cari, jalan menuju keberadaan Sukma Tiwi. Tapi kini, kami terjebak.
Dari balik kabut, bayangan-bayangan samar mulai bermunculan. Dayang-dayang keraton demit melayang mengelilingi kami, wajah mereka pucat dengan mata kosong menatap tanpa kedip.
Gaun panjang mereka berkibar tanpa suara, membentuk lingkaran semakin rapat. Udara menjadi dingin menggigit, menembus hingga ke tulang.
“Ini buruk,” bisikku, suaraku nyaris tenggelam dalam keheningan menyesakkan.
Lalu, dia muncul. Sosok kakek tua berdiri di hadapan kami, tubuhnya bungkuk dengan tongkat kayu tua yang dihantamkannya ke tanah hingga terdengar bunyi retakan. Kabut di sekitarnya bergetar, seakan tunduk pada kekuatannya.
Di tangan kirinya, tergantung sesuatu yang membuat darahku membeku—sebuah kepala manusia membusuk, matanya melotot kosong, bibirnya menyeringai ngeri. Bau busuk menyengat menghantam hidung, membuat perutku mual.
“Jangan berurusan dengannya!” seruku, suaraku bergetar saat melirik Galang, Farel, dan Raka yang wajahnya sudah pucat pasi. Tapi terlambat. Kakek itu tidak hanya menghalangi jalan. Dia mengincar kami.
“Kita sudah masuk ke wilayahnya,” bisikku, suaraku serak. “Kakek itu... dia tidak segan-segan mengambil nyawa manusia.”
Mata cekungnya bergerak lambat, memperhatikan kami satu per satu. Pandangannya terhenti pada Kliwon, kera yang berdiri di sampingku, bulunya meremang penuh kewaspadaan.
“Satu kepala saja cukup... Kuberi kalian kesempatan pergi,” suaranya parau, dalam dan dingin seperti datang dari dasar kubur. Tawaran yang terdengar seperti vonis mati.
Aku menelan ludah. Dia benar-benar menginginkan salah satu dari kami.
Dengan langkah gemetar, aku maju selangkah.
“Tak kubiarkan kau menyentuh mereka,” ucapku mantap, meski nyaliku hampir luruh.
Kakek itu menyeringai, mulutnya robek lebar memperlihatkan gigi-gigi hitam keropos. Tawanya pecah, menggema di antara pepohonan, memantul berkali-kali hingga terdengar seperti jeritan makhluk terkutuk. Udara tiba-tiba semakin dingin. Bayangan-bayangan di balik kabut bergerak gelisah.
Dayang-dayang demit itu tidak lagi sekadar mengelilingi. Mereka melayang maju dengan gerakan lambat, tangan-tangan kurus mereka terjulur ke arah Galang, Farel, dan Raka. Kabut tebal menyelimuti kaki mereka, menyeret mereka menjauh dariku.
Ini jebakan. Kakek tua itu mengalihkan perhatianku, sementara yang lain diincar untuk dijadikan tumbal.
“Kliwon!” teriakku.
Kliwon melesat cepat, tubuhnya lenyap ditelan kabut pekat. Aku hanya bisa berharap dia bisa menemukan mereka sebelum terlambat.
Sementara itu, aku harus bertahan di sini. Berhadapan dengan makhluk yang bahkan gunung ini sendiri telah mengutuknya.
...
Siang itu, aku duduk gelisah di kamar, jari-jariku bergerak resah di atas ransel yang masih kosong. Rasa cemas menggelegak di dadaku, memikirkan keadaan Tiwi. Aku tak bisa lagi menunda.
Aku harus kembali ke Merapi.
Tanpa banyak pikir, aku mulai mengemasi barang-barang. Tanganku gemetar saat memasukkan jaket, senter, dan beberapa keperluan lain. Saat melangkah keluar kamar, ibu memandangku dengan alis berkerut.
"Galang! Kok tiba-tiba begini?" tanyanya heran.
Aku menelan ludah, berusaha tetap tenang. "Iya, Bu. Janjian sama Mbah Dirwo, mumpung sempat katanya."
Aku terpaksa berbohong. Aku tak ingin ibu tahu alasan sebenarnya, bahwa ini bukan sekadar perjalanan biasa. Aku tak ingin ia khawatir kalau tahu aku kembali ke Merapi demi Tiwi.
Begitu keluar rumah, aku langsung mencari angkutan umum menuju terminal bus. Hawa siang terasa lebih menekan daripada biasanya, atau mungkin itu hanya pikiranku saja. Aku menaiki angkot menuju terminal untuk melanjutkan menaiki bus menuju Boyolali, memulai perjalanan yang terasa begitu berbeda dari sebelumnya.
Dulu, Tiwi dan yang lain ada di sisiku, menemani langkah-langkahku. Tapi kini, aku sendirian, hanya berteman kecemasan yang terus menghantui.
Kemunculan badut Pak Suradirja di rumah sakit kemarin masih mengusik pikiranku. Sosok itu benar-benar membuatku semakincemas. Ada sesuatu yang tak beres. Dan aku tahu, ini bukan kebetulan. Keadaan Tiwi pasti lebih genting dari yang kukira.
Aku menarik napas panjang, menatap jalanan yang berlalu di luar jendela bus. Aku harus menemukan menemukan jalan untuk mengembalikan sukma Tiwi sebelum apa yang ditakutkan Mas Danan benar terjadi.
JALUR MATI ALAS MERAPI
Pos 1 - Sukma yang Tertinggal
Tragedi di Merapi tahun lalu masih membekas di ingatan Galang dan yang lain. Mimpi yang sama terus muncul, dan kemunculan satu sosok membahayakan nyawa Tiwi.
Merapi memanggil kembali...
@bagihorror @IDN_Horor @bacahorror
Buat yang belum baca 2910 Mdpl bisa mampir ke sini ya :
-- Awan panas menyembur deras dari kubah lava Merapi, menghapus warna hijau lereng dengan abu kelabu. Orang-orang berlarian panik, teriakan mereka bersaing dengan gemuruh tak henti-henti.
Tanah di bawahku berguncang, membuat langkahku terhuyung. Suara-suara kacau memenuhi udara, tetapi tubuhku terus bergerak, entah bagaimana aku menjauh dari bencana yang mendekat.
“Pak?! Cepat!!” Suara seseorang perempuan menyentakku.
Di sela-sela kepulan debu dan kerumunan yang panik, samar-samar aku melihat seorang pria berhenti berlari. Ia berdiri diam, semakin menjauh dariku yang terus melangkah mundur.
“Tidak… larilah! Selamatkan dia! Wulan... dia diminta oleh Merapi…” suara pria itu terdengar parau, namun tegas. Aku terpaku.
Panas mulai membakar kulitku, seperti napas neraka yang mendekat. Dalam hitungan detik, aku melihatnya, awan panas itu melahap pria tadi, tanpa ampun. Ia lenyap dalam abu, tanpa perlawanan.
Gempa kian menggila. Langit menghitam, menutup cahaya terakhir dari dunia.
Rasa takut mencengkeramku erat, seperti cakar raksasa yang tak ingin melepaskan. Kakiku gemetar, napasku berat. Apakah ini akhirnya?
Sebelum semua itu menelan diriku, tiba-tiba semuanya memudar. --