Yang mau dengerin di youtube bisa mampir ke channel saya ya..
Kenalin namaku Nadia, Aku tinggal di kota Malang yang terletak di propinsi Jawa Timur. Sebagian dari cerita ini mungkin akan didominasi dengan masa kecilku yang sangat kental dengan hal ghaib.
Indigo?
Bukan , aku sendiri tidak bisa menilai mengenai ini.
Mungkin lebih bisa dikatakan kalau aku termasuk orang yang peka atau sensitif.
Semua kejadian yang ingin kuceritakan ini bermula ketika Mbahkungku meninggal. Yang kumaksud adalah Mbahkung dari almarhumah mamaku.
MBAHKUNG
Beliau meninggal kurang lebih Tahun 2010, aku sedikit lupa. Tapi aku selalu mengingat jelas tanggal dan bulan meninggalnya mbahkung karena itu juga mirip dengan tanggal lahirku.
Aku lahir di tanggal satu bulan tujuh. Sedangkan mbahkung lahir di tanggal satu bulan satu dan meninggal di tanggal tujuh bulan tujuh. Entah apa ada yang aneh dengan hal ini? mungkin kita akan tahu nanti.
Mbahkungku ini sebenarya orang yang sangat sabar dan sayang dengan anak dan cucunya. Tapi semua itu akan berubah pada saat ada Mbahti di dekatnya. Seketika Mbahkung akan semakin tegas dan keras dengan cucu-cucunya.
Sejak kecil hingga berumur lima tahun aku tinggal di rumah Mbahkung. Beliau termasuk salah satu tokoh yang dikenal banyak orang.
Yang aku tahu orang-orang sekitar menganggap mbahkung sebagai tukang nyembuhin orang.
Aku kurang mengerti secara jelas karena saat itu aku masih kecil. Namun yang aku ingat di hari-hari tertentu mbahkung kedatangan banyak tamu dari segala kalangan yang minta ‘tombo’ atau kesembuhan.
Saat kecil dulu aku termasuk anak yang usil. Aku sering mengintip saat mbahkung kedatangan tamu. Disana aku melihat mbahkung selalu duduk bersimpuh dan bersuara dengan suara yang tidak kukenal.
Mbahkung bersuara seperti seorang nenek – nenek tua dengan tubuhnya yang membungkuk sangat rendah. Di sebelahnya ada mbahti yang menjaga dan mempersiapkan kebutuhan mbahkung.
Selain itu aku juga sering melihat mereka membeli dupa dan kembang yang saat itu aku sama sekali tidak mengerti kegunaanya. Bahkan sesekali aku pernah iseng menyalakan dupa itu karena kukira dupa itu adalah kembang api.
Saat mulai beranjak besar aku tidak lagi tinggal serumah dengan mbahkung, namun sesekali aku tetap sering bermain ke sana. Menurut saudara-saudaraku aku adalah cucu kesayangan mbahkung dan anak kesayanganya kebetulan juga adalah mamaku.
Saat aku duduk di bangku sekolah dasar aku sering mengingat tentang teman masa kecilku dulu.
Aku sangat dekat denganya, namun saat bermain denganya aku hampir tidak pernah besama dengan teman yang lain. Dia hanya menghampiriku saat aku sedang sendirian.
Aku juga sering menceritakan hal ini ke mbahkung , tapi hanya tersenyum mendengar ceritaku.
Setelah cukup besar aku mulai tahu dari warg bahwa beliau ternyata dikenal sebagai keturunan Kyai sakti yang disegani di daerahnya.
Makanya orang-orang kampung dulu sering berobat ke mbah.
Aku sangat ingat kisah saat seorang ibu yang membawa anaknya dengan panik yang ternyata anak itu menjadi sakit karena dipukul oleh genderuwo.
Mbahkung berusaha semampunya untuk menolong namun karena terlambat ditangani akhirnya anak itu meninggal.
Hal inilah yang sedikit membuka mataku mengenai bahayanya makhluk-makhluk ghaib yang ada di sekitar kami.
Beliau juga pernah menolong dokter yang “diganggu” orang. Di situpun awalnya aku heran, bahkan seorang dokter yang seharusnya mengobati orang lain malah datang ke Mbahkung yang notabene pendidikanya tidak setinggi mereka untuk meminta bantuan.
Ternyata memang ada faktor lain yang tidak bisa ditangani secara medis dan hanya dapat dibantu oleh orang seperti Mbahkungku ini.
Hihi, satu lagi yang aku suka. saat aku mau ujian , Mbahkung pasti sering memberikan minuman yang telah dibacakan doa-doa. Entah fungsinya untuk apa, tapi setelahnya aku selalu bisa menyelesaikan ujianku dengan lancar.
RUMAH KETINTANG
Saat memasuki kelas empat sekolah dasar papa pindah kerja ke kota surabaya. Saat itu juga kami ikut pindah ke sana dan saat itu aku sudah memiliki seorang adik laki-laki.
Aku pindah di daerah ketintang pada tahun dua ribuan.
Rumahnya cukup tua namun sangat luas. Rumah ini hanya emiliki satu lantai damun ada empat kamar tidur , dua kamar mandi dan sebuah garasi yang cuup besar. Ada juga taman di dalam dan luar rumah. Yang di dalam rumah seperti bekas kolam ikan.
Langit-langitnya cukup tinggi dan los tanpa penutup hanya menggunakan ram-raman. Bagusnya kalau malam masih bisa melihat langit, tapi kalau hujan rumah kami bisa jadi air terjun.. haha.
Di dekat taman ada ruang tamu dan ruang keluarga.
Selain itu di dekat dapur ada sebuah sumur yang baunya sangat mengganggu pada saat itu.
“Ojo Pak… ojo tinggal ning kene. Hawane singup”
(Jangan pak, jangan tinggal di sini. Hawanya tidak enak)
Aku mendengar perbincangan ibu yang tidak setuju untuk tinggal dirumah ini. namun bapak merasa keadaan sudah mendesak dan kita harus segera pindah, jadi pendapat ibu harus mengalah.
Walaupun begitu mbahkung sudah memantau rumah ini dan memasang “pagar” untuk melindungi rumah ini.
Saat tinggal dirumah ini aku sering mendengar suara burung hantu dari atas,
pernah saat adiku bermain di atap bersama teman-temanya ternyata mereka menemukan burung-burung itu membuat sarang dia atas rumahku. Dan katanya ternyata mereka dan tetangga lain mengenal rumahku ini sebagai rumah yang angker.
Keangkeran rumah ini dipertegas dengan pengakuan dari anak pemilik rumah. Rumah ini adalah rumah warisan tapi anak-anak pemilik rumah tidak ada yang mau menempati rumah ini.
Walaupun mereka bercerita seperti itu, kami yang tinggal di rumah ini tidak pernah mendapat gangguan yang berarti bahkan hingga adiku keduaku lahir.
Adik pertamaku biasa dipangil Pindi dan adik keduaku biasa dipanggil Saka. Saat saka lahir aku sudah kelas enam sekolah dasar.
Dengan kelahiranya keluarga ini bertambah besar dan mama terlihat semakin sibuk hingga akhirnya kami memutuskan untuk mencari pembantu.
MBAK IDAH
Pembantu kami bernama Zubaidah yang berasal dari daerah Dampit kabupaten malang. Mbak Idah ini menempati kamar belakang yang memang lama tidak digunakan. Tidak ada yang aneh selama awal-awal bekerja.
Namun sejak kedatanganya kami mulai menyadari hal-hal aneh yang ada di rumah ini ketika kami sudah memiliki tenaga pembantu untuk benar-benar bersih-bersih seluruh bagian rumah yang selama ini kami hiraukan.
Kami akhirnya mengetahui mengenai kamar mandi belakang yang ternyata menjadi sarang kelabang. Hal itu baru diketahui saat mbak Idah membersihkanya. Ukuran kelabang di sana sangat besar. Malah kata ibu kalau banyak hewan seperti itu biasanya tempat itu ada penunggunya.
Dengan adanya pembantu kami mencoba untuk menguras sumur di dekat dapur. Sayangnya walaupun sudah beberapa kali di kuras sumur itu tetap mengeluarkan bau yang mengganggu.
Adalagi hal aneh di garasi. Lampu di garasi hampir tidak pernah awet. Setiap kami memasang lampu pasti selalu mati. Kami mencoba memeriksa kelistrikan dan bolak balik mengganti lampu tapi tidak ditemukan permasalahanya.
Akhirnya kami memutuskan tidak menggunakan lampu sama sekali di garasi.
Suatu ketika seorang teman bapak yang bisa melihat hal ghaib mampir ke rumah dan ia berkata di beberapa tempat dirumah kami ada yang menempati.
Yang cukup jelas ada di di sumur tapi teman bapak tidak bilang mengenai wujudnya. Ia hanya menyuruh memasukan ikan di sumur itu dan kami mengikuti saranya.
Entah apa alasanya Mbak Idah tidak pernah mau bila ditinggal sendirian di rumah, dia juga tidak pernah mau menggunakan kamar mandi belakang. Alasanya karena takut. Tapi dia tidak pernah mau menjelaskan ia takut karena apa.
Sampai akhirnya suatu saat mbak idah minta pulang dengan alasan kangen anaknya yang ada di desa. Kami berusaha mengerti keinginanya dan mengantarkanya kembali ke desanya di kabupaten Malang.
Jaman itu daerah rumah mbak idah masih sepi. Hanya hutan-hutan dan sawah sawah yang terlihat sepanjang perjalanan. Jarak dari satu rumah ke rumah lainpun saling berjauhan.
Kami sampai di rumah Mbak Idah sekitar jam tujuh malam. Sehingga kami memutuskan untuk tidak lama berada di sana dan segera kembali ke kota malang.
Karena sudah malam, aku yang saat itu masih kecil tertidur saat perjalanan pulang.
Namun samar-samar aku mendengar perbincangan diantara bapak dan ibu.
“Papa.. itu ada orang.. perempuan.. kok larinya kenceng, hampir nyamain mobil kita” Tanya ibu yang melihat sesuatu dari spion mobil di sisinya. Namun bapak hanya diam dan fokus menyetir.
“Pa.. tambah banter pa, kok tambah banter iku mlayu e.. ati-ati pa” (Pak tambah kenceng, kok tambah kenceng itu larinya) Ucap ibu yang mulai merasa aneh.
“Wis ma ojo diliat, doa wae” (Sudah ma , jangan dilihat.. doa saja) Ucap bapak yang juga seperti sedang membaca doa.
“Pa… Iku uwonge di sebelah kaca papa” (Pa itu orangnya di sebelah kaca papa)
Saat itu ibu melihat seorang wanita berkerudung putih dan berbaju putih tersenyum menyeringai di kaca sebelah bapak.
“Wis biarin” Bapak berusaha tidak merespon kemunculan orang itu.
Setelah itu wanita itu terlihat berlari lebih cepat dan masuk ke sebuah rumah besar sebelum akhirnya menghilang.
“kok ilangnya cepet banget pak” Tanya ibu heran.
“wis ma.. uwis, sudah.. nanti tak kasi tau” Balas bapak.
Sesampainya di kota saat keadaan sudah mulai ramai bapak mulai bercerita ke ibu.
“Ma.. yang tadi itu kuntilanak. Papa udah liat di spion. Orangnya jelek, wajahnya hancur berdarah-darah. “ cerita bapak.
“Itu tadi nggak ada rumah ma, tadi makhluk itu berlari ke arah pohon-pohon. Dia masuk ke situ lalu hillang”
Seketika wajah ibu menjadi pucat dan berkali-kali membaca istighfar.
Setelah itu kami memutuskan untuk mampir ke rumah mbahkung sebelum kembali ke surabaya.
Mbak Idah akhirnya memutuskan untuk tidak bekerja lagi di tempat kami dengan alasan tidak bisa jauh dari anak. Padahal kami sudah cocok dan mengijinkanya mengajak anaknya ke rumah kami tapi mbak idah tetap ga mau. Entah apa alasan yang sebenarnya ia sembunyikan.
Setelah Mbak Idah ada pembantu lagi yang bekerja di keluargaku, seorang janda. Ia tinggal di rumah kami dengan membawa seorang anaknya juga. Aku memanggilnya mbak Rom.
Berbeda dengan Mbak idah, Mbak Rom ini jauh lebih pemberani. Ia menempati kamar belakang di bawah tangga jemuran di samping kamar mandi.
Pernah aku menanyakan pada Mbak Rom apa dia tidak takut di tempat itu
“Sudah biasa , Yang penting dia tidak mengganggu saya juga berusaha tidak mengganggu” Jawabnya dengan santainya.
Sesekali aku penasaran dan bertanya kembali apa benar tidak pernah di ganggu sampai akhirnya Mbak Rom cerita.
“Kadang ada yang aneh, kayak ada orang merokok. Ada yang naik turun tangga pas rumah sedang kosong . ada juga yang lempar-lempar batu.
Tapi saya berusaha biasa saja”
Dia sungguh berani dan hampir tidak pernah mengeluh. Sayangnya Mbak Rom tidak lama tinggal di rumahku.
Mbak Rom ketahuan sering (maaf) ‘mencuri’ baju –baju adikku, mungkin karena anaknya sama-sama laki-laki.
Saat sudah ketahuan kami terpaksa memberhentikan dia. Padahal tidak jarang kami juga sering membelikan baju dan mainan juga untuk anaknya.
Singkat cerita kami sudah berganti pembantu sampai empat kali selain mbak idah dan mbak rom dua pembantu lainya masih muda.
Tapi mereka menghilang sendiri dan tidak kembali lagi ke rumah tanpa mau menceritakan sama sekali apa alasan kepergian mereka.
Untungnya saat itu Saka sudah cukup besar dan bisa disambi.
Jadi kami memutuskan untuk ridak sewa pembantu lagi dan aku yang lebih banyak membantu mama untuk beres-beres.
Sayangnya setelah itu sebuah permasalahan menimpa keluarga kami. Tepatnya pada saat aku menginjak kelas satu SMP.
Saat itu karir papa melejit diumurnya yang cukup muda. Sayangnya bukan hanya hal baik saja yang datang pada saat itu tapi sebuah musibah yang sama sekali tidak pernah kusangka.
Dengan karirnya yang sukses banyak wanita yang tertarik dengan papa dan akhirnya entah kenapa Papa bisa kepincut dengan seorang perempuan entah dari mana asalnya.
PELET
Di umurku yang masih belum mengerti dengan permasalahan keluarga aku menyaksikan tak jarang Papa dan Mama bertengkar dengan masalah yang tidak kuketahui sampai aku mendengar kabar mengenai papa yang dekat dengan seorang perempuan.
Itu adalah salah satu ujian terbesar untuk keluarga kami. Saat itu Pindi menginja kelas satu SD dan Saka berumur satu tahun.
Keadaan di rumah mulai tidak nyaman , apalagi Papa sempat tidak pernah pulang selama kurang lebih tiga bulan lamanya.
Papa yang selama ini aku kenal sebagai sosok panutan kini berubah drastis dan tega meninggalkan kami dan Saka yang masih berumur satu tahun.
Hampir tiap hari aku melihat mama menangis. Namun setiap aku mendekat mama selalu berusaha terlihat tegar di depan anak-anaknya.
“Ma… Papa kok nggak pulang-pulang?”
Seringkali aku menanyakan keberadaan papa ke mama.
“Papa lagi kerja Nadia..”
Hanya itu jawaban dari Mama, namun aku baru sadar bahwa setiap pertanyaanku waktu itu pasti semakin menambah luka di hati Mama.
Ketika sudah mulai tidak mampu menahan permasalahan ini akhirnya mama menghubungi keluarga Papa dan menceritakan semua masalah ini. Hal ini membuat mereka kaget hingga akhirnya memutuskan untuk mendatangi ke rumh kami.
Saat itu mama sangat sulit untuk bercerita seolah semua bebanya sudah menumpuk begitu besar hingga mama hanya bisa menangis. Melihat Mama menangis seketika juga kami anak-anaknya juga ikut menangis.
Sebenarnya Pakde dan Bude sempat blang, kalau mau cerai mereka tidak akan menghalangi karena memang sudah tiga bulan kami tidak diberi nafkah lahir dan batin. namun mereka akan tetap berusaha membantu masalah ini.
Saat itu yang banyak membantu kami adalah Almarhum Pakde Hardi. Beliau benar-benar orang yang sangat baik.
(Alfatihah..mohon doanya untuk beliau)
Banyak hal yang terjadi, dan selama itu Pakdelah yang membantu kami baik secara finansial hingga kebutuhan kami.
Dan ternyata mereka juga membantu untuk mencari keberadaan papa dengan bantuan dari seorang Kyai.
Berdasarkan petunjuk dari Kyai itu akhirnya keluarga Papa berhasil menemukan keberadaan perempuan itu di daerah Sepanjang, Sidoarjo.
Di sanalah rumah Lina, perempuan yang membuat papa tega meninggalkan keluarganya.
Menurut Kyai yang membatu kami, Perempuan bernama Lina itu menggunakan baju Papa untuk menarik perhatian Papa dengan menggunakan ilmu Pelet.
Ibunya Lina sendirilah yang melakukan ritual itu seolah memang sudah berniah jahat sejak awal.
keluarga papa datang ke rumah Lina dengan bantuan perangkat desa sekitar yang memang sudah curiga dan mendengarkan cerita dari keluarga Papa.
Mereka melakukan penggeledahan dan akhirnya menemukan barang-barang Papa di rumah perempuan itu.
Dengan bantuan dari Kyai tersebut dan beberapa orang yang memang mengerti, Akhirnya Papa kembali ke rumah dengan sendirinya.
Apakah masalah selesai?
Tidak,
masalah baru mulai bermunculan .
Entah ada hubunganya dengan perempuan bernama Lina itu atau tidak, akhirnya papa mendapat masalah dengan bossnya yang mengakibatkan Papa dipindah kerjakan ke Kota Makasar. Dan kami berempat tetap tinggal di Surabaya.
Setelah ditinggal oleh Papa rumah yang kami tinggali terasa berbeda.
Rumah yang sebelumnya nyaman kini mulai terasa menakutkan.
Hampir semua anggota keluarga merasakan kejadian-kejadian yang mengerikan.
Aku akan menceritakan semuanya kisah yang kami alami, teror-teror mengerikan yang kami dapat setelah kepergian Papa..
semua akan kuceritakan di catatan berikutnya..
(Bersambung…)
• • •
Missing some Tweet in this thread? You can try to
force a refresh
Tegar mengamati tanpa ekspresi. Perlahan ia berkata, “Sekte Pangiwa.”
“Pangiwa?” ulang Ujang, belum paham.
“Aliran kiri. Mereka mencari ‘kesempurnaan’ dengan membakar tubuh dan jiwa lewat hawa nafsu. Makin mabuk, makin hilang kendali, makin jauh dari dunia—mereka percaya, itu mendekatkan mereka pada kekuatan leluhur.”
Ujang menelan ludah. “Jadi ini ‘ibadah’ yang mereka omongin tadi…”
Tegar hanya mengangguk. Sementara itu, suara gamelan makin keras. Nada-nadanya tak wajar—seperti dimainkan tangan yang bukan manusia.
Mereka berdua berpindah posisi diam-diam, mengamati kerumunan itu dari balik gelap. Tiba-tiba, Ujang menunjuk ke panggung.
“Gar… itu Pak Baskoro, kan?”
Tegar menyipitkan mata. Di tengah keramaian, terlihat seorang pria tua dengan jubah gelap, berdiri tegak memantau dari belakang altar. Wajahnya tenang, bahkan tersenyum. Tapi matanya kosong, seperti tak ada jiwa di dalamnya.
“Baskoro… tuan tanah itu?”
Ujang mengangguk. “Dia calon kepala desa. Anak buahnya sering ngirim hasil panen ke pasar. Tapi… aku nggak pernah tahu dia ikut-ikut ginian.”
Tegar tak menjawab. Perhatiannya tertarik pada sosok lain.
Di tengah panggung, berdiri seseorang dengan pakaian lengkap kesenian: rompi tua, celana pendek batik, dan… sebuah topeng kayu. Topeng itu tampak sangat tua, hitam, penuh retakan, dan bermata kosong. Meski wajahnya tertutup, entah kenapa aura sosok itu membuat udara di sekitar terasa lebih dingin.
Sabda Pangiwa bukan sekadar petuah. Ia adalah jalan terlarang, gelap & menggoda, yg konon bisa menuntun manusia pada puncak kesempurnaan. Namun, tak sedikit yg hancur sebelum sampai, tertelan oleh bayang-bayang jalur itu sendiri…”
#bacahorror
“Bercintalah hingga tubuhmu lelah meraba gairah yang hampa, mabuklah sampai setiap tegukan menjadi sia-sia, bersenang-senanglah sampai tawa tak lagi meninggalkan gema. Lalui semuanya… hingga yang fana kehilangan maknanya, dan jiwamu terlepas dari jerat dunia. Itulah saat ketika kesempurnaan menampakkan wajahnya yang sunyi.
Sabda Pangiwa bukan sekadar petuah. Ia adalah jalan terlarang, gelap dan menggoda, yang konon bisa menuntun manusia pada puncak kesempurnaan. Namun, tak sedikit yang justru hancur sebelum sampai, tertelan oleh bayang-bayang jalur itu sendiri…”
Sosok pria misterius muncul dengan membawa sebuah keranda. Dengan tubuh yang penuh goresan mantra dan topeng bujang ganong menutupi wajahnya, ia menantang wahah terakhir Triyamuka Kala..
@bacahorror #bacahorror @IDN_Horor
Beberapa saat sebelumnya…
Seorang pemuda berambut gondrong berjalan perlahan dengan ransel tergantung di satu pundak. Matanya menyapu sekeliling, mengamati jalanan tanah yang lengang dan rumah-rumah panggung yang tampak asing.
Di kejauhan, debur ombak terdengar samar, desa ini berada di pesisir timur, namun Tegar sama sekali tidak tahu namanya.
Seorang pria paruh baya dengan kulit legam baru saja menurunkan jaring dari sepeda motornya. Ia mengernyit saat melihat Tegar.
“Lho… jarang-jarang desa kami kedatangan orang baru,” sapa pria itu ramah.
Tegar menggaruk kepalanya, kebingungan. “Saya juga nggak niat ke sini, Pak. Tadinya numpang truk barang ke Surabaya… tapi ketiduran. Tahu-tahu diturunin di jalan besar sana.”
Pria itu tertawa pendek. “Bisa-bisanya nyasar sampai sini. Nama sampean siapa?”
“Tegar, Pak. Asal saya dari selatan Jawa Timur.”
“Wah, jauh juga. Saya Pak Unggul. Ayo duduk dulu. Jalanan sepi kalau siang begini.”
Tegar duduk di kursi panjang dari bambu di depan rumah Pak Unggul. Angin laut bertiup pelan membawa aroma garam dan sesuatu yang lain—bau amis, atau mungkin asap dari tungku pembakaran.
“Kalau mau balik, besok aja, Mas Tegar,” lanjut Pak Unggul. “Kendaraan umum cuma lewat sampai jam dua belas siang. Setelah itu, sepi.”
“Lho, nggak bisa nyegat bus di jalan besar?”
Pak Unggul tersenyum, matanya menatap kosong ke arah hutan. “Coba aja kalau mau nekad. Tapi masnya pasti lihat sendiri tadi, kan? Jalanan sepi, hutan kiri kanan. Malam... gelap total.”
Tegar terdiam. Ia tidak ingin bermalam di tempat asing, tapi kenyataan memaksanya.
“Sudahlah. Nginep aja di sini. Nggak usah sungkan,” ujar Pak Unggul sambil berdiri.
Siang itu, Tegar memutuskan berjalan keliling desa. Ia melihat kehidupan sederhana para nelayan—menjemur ikan, memperbaiki jaring, memanggul ember-ember besar ke perahu. Tapi ada satu pemandangan yang membuatnya berhenti.
Sebuah perahu kecil merapat ke dermaga, membawa dua ekor ikan tuna raksasa.
Tegar mengernyit. Alat tangkap mereka tampak sangat sederhana. Jangankan alat berat, jala pun tampak rapuh.
Ia mendekat. Di sudut kapal, ia melihat kembang tujuh rupa, kemenyan, dan sebuah tungku tanah kecil. Aromanya menusuk.
“Pak, ikan segede itu ditangkap pakai apa? Nggak mungkin jala, kan?” tanya Tegar, heran.
Seorang nelayan tertawa pendek. “Mas baru pertama kali ke sini, ya?”
“Iya, baru nyasar tadi.”
“Ikan ini nggak bisa dijala atau dipancing, Mas.”
“Lha terus... gimana nangkapnya?”
“Disantet.” jawab nelayan itu tenang sambil menurunkan ikan bersama rekannya.
“Disantet?” Tegar mengulang pelan, tak yakin ia mendengar benar.
“Iya. Disantet dulu, baru ngambang. Habis itu tinggal dinaikkan ke kapal,” jawab nelayan lain dengan nada biasa, seperti menjelaskan cara menanak nasi.
Tegar menyingkir. Tubuhnya merinding. Tapi yang lebih aneh, warga desa tidak tampak takut atau tabu saat menyebut kata ‘santet’. Seolah itu bagian dari rutinitas harian.
Menjelang malam, Tegar kembali ke rumah Pak Unggul. Tapi langkahnya terhenti saat melihat keramaian menuju pantai. Obor-obor menyala, wajah-wajah warga tegang. Tegar mengikuti mereka.
Sesampainya di tepi laut, Tegar melihat beberapa kapal nelayan terdampar di pasir. Suasana sunyi, hanya suara ombak dan isak tangis yang terdengar.
“Mati... mereka semua mati...” gumam seorang ibu dengan suara gemetar.
“Siapa?” tanya Tegar pelan pada orang di sebelahnya.
“Nelayan yang pergi tiga hari lalu. Baru balik... tapi begini.”
Tegar mendekat. Di depan matanya, jasad-jasad nelayan terbujur kaku. Tubuh mereka utuh, tidak ada luka. Namun... mata mereka, hilang. Hanya rongga kosong yang tersisa.
“Tidak ada tanda pukulan, tidak ada luka. Tapi matanya... dicungkil, entah oleh apa…” bisik salah satu warga.
Paklek tiba di desa Ki Satmo. Kemunculan pusaka kadewatan disana membawa petaka yang mengerikan, namun hanya tempat itu yang bisa menghubungkan paklek dengan Pusakayana...
Cahaya putih menyilaukan mata. Dalam sekejap, lambang mandala yang menyatu di telapak tangan Danan dan Cahyo lenyap begitu saja—dan bersama cahaya itu, tubuh mereka terpental kembali ke zaman di mana ratusan nyawa dipertaruhkan hanya dalam satu kedipan mata.
Langit berwarna kelabu. Udara mencekam.
Di hadapan mereka, samar-samar tergambar satu pertarungan yang bergerak begitu lambat yang berat sebelah.
Bli Waja, berdiri tegak meski tubuhnya mulai koyak, ia berusaha menahan satu wajah dari makhluk terkutuk itu, Sang Triyamuka Kala yang berusaha lepas dari penjara waktu Bli Waja.
Danan mendongak, menatap salah satu wajah yang sebelumnya berhadapan dengannya. Kini ia tahu, wajah itu tak lain adalah perwujudan jahat Sang Hyang Talapraja.
Waktu terhenti saat akar-akar dari wajah itu berhenti tepat saat akan menembus roh Nyi Sendang Rangu.
“Danan… kau berhasil?” Sebuah suara akrab menyela keheningan.
Cahyo. Ia muncul dari sisi lain, tubuhnya terluka tapi matanya bersinar.
“Semoga saja… pusaka ini yang dimaksud,” jawab Danan sambil menggenggam erat belati tulang putih di tangannya.
Kembang Getih… Itulah yang semula Cahyo kira sebagai satu-satunya masalah di desa ini.
Sebuah bunga merah darah yang tumbuh diam-diam dari tanah bekas kematian, dan dengan cara yang mengerikan, menghidupkan kembali roh-roh warga yang mati mengenaskan.
Namun kini, Cahyo mulai sadar, ini bukan sekadar kutukan. Ini adalah luka dari masa lalu yang dibiarkan membusuk terlalu lama.
“Apa yang akan kita lakukan sekarang?” Cahyo bertanya, suaranya pelan namun tegas, mencoba memecah kebisuan yang menggantung berat di udara pagi.
Kerta berdiri mematung menatap arah desa, sementara Mbah Wongso duduk bersila di tanah, berusaha mengatur napas yang sejak tadi memburu. Ada duka dalam matanya, namun juga tekad yang mulai menyala kembali.
“Kita nggak mungkin kembali ke desa, kan?” Kerta akhirnya bersuara. “Berarti tujuan kita cuma satu.” Ia menoleh ke arah hutan, tempat dimana Kembang getih mekar.
“Jadi… saat ini kita tetap akan cari cara untuk menghentikan kutukan Kembang Getih itu?” tanya Mbah Wongso pelan.
Cahyo menggeleng pelan. Ada sesuatu yang menahannya untuk ikut menyepakati itu.
“Yakin, Mbah? Walaupun kutukannya dihentikan… aku nggak yakin mereka, para warga itu, akan benar-benar berhenti menyembah iblis Raden Reksomayit itu.”
Ucapannya bukan sinis—melainkan getir. Ia tahu betul bahwa dosa manusia lebih dalam dari sekadar bunga terkutuk. Dosa yang lahir dari rasa takut… atau haus akan pemuas nafsunya.
Mbah Wongso terdiam. Lama. Lalu mengangguk, pasrah tapi mantap.
“Lambang mandala Mbah... muncul demi menghentikan kutukan itu. Kalau itu jalannya, maka itu yang akan Mbah tempuh.”
Rasa sakit menjalar ke seluruh tubuh Cahyo tepat saat ia tersadar. Dadanya sesak, seakan ditindih batu. Napasnya terengah, dan dunia di sekelilingnya berputar perlahan. Dalam kepalanya, gema suara Bli Waja masih terngiang..
“Kau harus mencari cara mengalahkan satu wajah Triyamuka Kala. Waktu di tempat Wanasura akan berhenti—tapi hanya untuk sementara.”
Mata Cahyo menatap ke telapak tangan kanannya. Simbol mandala yang samar-samar berpendar di sana seperti hidup, denyutnya seirama dengan jantung Cahyo. Ia menggertakkan gigi dan berbisik..
“Wanasura... Aku pasti akan kembali sebelum waktu kembali berjalan...”
Cahyo berdiri perlahan. Sekelilingnya gelap dan sunyi. Di balik bayang-bayang pepohonan, rerumputan tinggi bergoyang ditiup angin malam yang dingin menggigit. Jauh di kejauhan, kilauan api samar menyala.
“Desa?”gumamnya, penuh ragu.
Semakin ia mendekat, nyala itu bertambah jelas—bukan cahaya lampu listrik, melainkan obor dan lampu minyak. Cahyo melangkah ke dalam sebuah desa tua yang tersembunyi di antara pepohonan, rumah-rumahnya berjauhan, terhubung hanya oleh jalan tanah setapak yang dipenuhi lumut.
Tak ada kabel. Tak ada suara mesin. Hanya desir angin dan bunyi dedaunan. Cahyo menyadari bahwa ia berada di zaman yang jauh di belakang.
Atmosfer terasa ganjil. Udara seperti lebih berat. Setiap langkah menimbulkan rasa tidak nyaman. Saat itulah ia mulai melihatnya—satu per satu...