Kisah ini akan dituliskan dalam sudut pandang orang pertama (aku) karena berdasarkan kesaksian narasumber tunggal.
Segala bentu nama tokoh dan tempat disamarkan demi menjaga privacy yang bersangkutan.
-------
Siapa yang tak terkejut, juga hati mana yang tak ciut begitu melihat bendera kuning berkibar tepat di depan rumah?
“Siti Marsiah Binti Suyanto”
Tubuhku melemas seketika usai membaca nama lengkap ibu yang tertulis di bendera duka tersebut.
Aku tinggal di lingkungan padat penduduk. Sejak bapak pergi ke Negeri seberang mengadu nasib di perantauan, keluargaku menjadi keluarga yang cenderung tertutup.
Ibu sehari-hari sibuk bekerja di pabrik dan tak punya waktu untuk bersosialisasi dengan tetangga seperti dulu.
Aku melangkah ragu menuju rumah, kaki-kakiku gemetar, setibanya di teras, tubuhku langsung didekap oleh Bi Yani yang menangis tersedu. Aku masih tak mengatakan apa pun dan tak ingin percaya pada siapa pun, bagiku, ini terlalu mendadak.
Aku mendesak melangkah lurus ke dalam rumah untuk memastikan jasad siapa yang sebenarnya sedang terbaring tertutup kain di ruang tengah itu.
Darahku berdesir ke kepala, jantungku berdegup cepat, sesuatu yang tertahan kini pecah membuncah bersama tangis yang tak lagi bisa kubendung.
Di hadapanku, tebalut kain tubuh lunglai berwajah pucat dan mata tertutup dari seorang wanita paruh baya yang baru pagi tadi masih kucium punggung tangannya—
Tak kusangka pelukan hangat diawal hari bukan sekedar ucapan hati-hati di jalan, melainkan merupakan salam perpisahan untuk terakhir kali dari Ibu.
“Ibu sudah tidak ada ris, kena serangan jantung pas lagi kerja di pabrik” ucap Bi Yani memegang kedua pundakku.
“IBU GAK PUNYA PENYAKIT JANTUNG!” Jawabku histeris.
Kepergian Ibu yang terlalu mendadak dengan alasan yang bagiku tidak bisa diterima oleh akal menyisakan banyak pertanyaan tercecer.
Seorang laki-laki paruh baya berjanggut tebal mengenakan pakaian duka serba hitam menghampiriku, beliau memperkenalkan diri sebagai teman ibu namun wajahnya asing karena ini pertama kali kami bertemu.
--
--“Tenang, sabar, ibu gak kemana-mana” bisiknya sembari memelukku.
-------------------------------
Helow! Akhirnya saya bisa nge-thread lagi setelah hampir 1 bulan off.
Thread ini akan di lanjutkan selepas laga semifinal #AFFSuzukiCup ya, mau nonton bola dulu, hehe. Doain Indonesia menang!
Oiya, kalian bisa dukung saya untuk terus berkarya dan menulis melalui link berikut: saweria.co/JeroPoint
Terima kasih banyak ya atas apresiasi ya! Semoga kita sama-sama diberkahi kesehatan, keselamatan dan rezeki.
--------Lanjut--------
Namaku Haris, saat peristiwa ini terjadi usiaku masih 14 tahun, kala itu aku duduk di bangku kelas 2 SMP. Sejak bapak menjadi TKI aku tinggal bersama ibu, kakak perempuan dan adik laki-lakiku yang masih berusia 3 tahun.
Selepas meninggalnya Ibu, mbahku untuk sementara tinggal di rumah membantu mengasuh adik.
Aku tidak sepandai Bang Jero dalam merangkai kata, terima kasih kepada Bang Jero yang sudah memperbaiki bahkan menyusun ulang tulisanku agar mudah dipahami dan yang membaca dapat ikut terbawa.
Aku tidak tahu darimana harus memulai cerita ini, tapi yang pasti, kala itu, kepergian ibu yang secara tiba-tiba mengejutkan semua pihak, kami semua masih tidak percaya kalau ibu sudah benar-benar tiada, bahkan setelah jenazahnya dimakamkan, adik masih saja rewel mencari-cari ibu
Namun rentetan peristiwa yang terjadi setelah hari pemakaman ibu, sempat membuatku percaya,
Bawah ibu benar-benar masih-
ADA.
Malam itu, seluruh saudara-saudaraku masih berkumpul di rumah, kami merencanakan tahlil bersama untuk mendoakan ibu.
Namun Pria paruh baya berjanggut yang kutemui siang tadi datang bersama empat orang lain yang juga mengaku sebagai teman ibu.
“Pak-Bu, saya minta izin, amanat dari almarhum, baiknya hari ini kita mendoakan almarhum secara tertutup saja oleh keluarga dan kerabat dekat, kita lakukan tradisi nyusur tanah dulu, tahlilnya bisa dimulai besok”
--
Entah amanat apa yang dimaksud—hanya saja, kalimat itulah yang aku ingat dilontarkan oleh kakek tua berjanggut yang belakangan diketahui bernama Pak Agus.
Setelah beruding, keluargaku akhirnya menyetujui, acara nyusur tanah sebetulnya hampir sama dengan tahlil pada umumnya, namun biasanya dilakukan secara intim atau tertutup tepat di hari orang tersebut meninggal dan ditambah ritual budaya tertentu yang ikut disematkan.
Di keluargaku tidak ada yang pernah melakukan ‘nyusur tanah’, maka dari itu pimpinan acara diserahkan ke Pak Agus untuk mengimami prosesi nyusur tanah.
Di antara rekan-rekan lainnya, Pak Agus nampak sebagai sosok yang paling dituakan. Mereka terlihat memanuti dan segan kepada pak Agus. Selepas isya, acara nyusur tanah pun dimulai.
Pak Agus membakar buhur sebagai pembuka yang mana aromanya begitu semerbak menambah kesan sakral.
Ayat-ayat doa dikumandangkan tentu ditunjukan untuk almarhum Ibu. Kami semua hikmat dalam duka, namun malam itu aku merasa suasana menjadi mencekam dan ada segetir takut yang mencuat.
Aku merasa di rumah ini sangat ramai bahkan terasa penuh sesak.
Pandanganku tertuju pada kak intan—kakakku itu memang salah satu orang yang paling histeris terpukul oleh kepergian ibu.
Aku melihat Kak Intan tertunduk dengan pandangan kosong, di kening dan wajahnya banjir oleh keringat yang menetes menggumpal seperti orang sakit.
Aku khawatir, namun tak lama kemudian kak Intan menangis tersedu tetapi lidahnya tetap membaca kalimah-kalimah doa.
Kepala kak Intan mulai bergoyang mengayun ke kiri dan kanan hingga membawa separuh badannya ikut bergerak, dia nampak hanyut dalam lantunan doa-doa, namun semakin lama gerakannya semakin cepat. Kak Intan menjadi aneh!
Tiba-tiba dia menyeringai tajam, kedua bola matanya menilik ke sekitar.
Suara lantunan doa Kak Intan semakin keras dan sangat faseh bahkan tanpa membaca buku panduan kitab!
Sebaliknya, suara pak Agus menjadi kecil dan semakin lama tak terdengar lagi. Dia justru memperhatikan Kak Intan.
Suara dan gerakan tubuh Kak Intan semakin cepat tak terkendali, Pak Agus kemudian dengan sigap menghampiri Kak Intan dan memegang kepalanya.
“Intan?!” Pak Agus mencoba mengajak Kak Intan berbicara.
Semua pasang mata teralih ke arah Pak Agus dan Kak Intan, seketika mereka berhenti mengaji dan suasana menjadi hening.
Namun Kak Intan mendongakan kepalanya balik menatap Pak Agus, dia tersenyum kemudian melanjutkan membaca kalimah-kalimah doa seorang diri dengan suara berat dan nada mengayun memekik.
“Astagfirullahaladzim, Siapa kamu?!” raut kepanikan terlihat jelas diwajah Pak Agus.
“AGUS! Lanjutkan Mengaji” Kak Intan menyentak Pak Agus, kemudian dia menyeringai.
“KAMI SEMUA MENGIKUTI MENGAJI”
Ujar Kak Intan yang sudah dipastikan sedang dirasuki oleh Makhluk Gaib.
“Wahai makhluk Allah, siapa kamu?!” tegas pak Agus
“SA-YA SITI!” Jawab lugas kak Intan dengan suara berat dan menyentak—Makhluk yang merasuki Kak Intan mengaku sebagai Ibu!
Aku tak berkutik, aku ketakutan, di satu sisi waktu itu aku meyakini bahwa Kak Intan benar-benar dirasuki oleh Ibu, tapi kenapa ibu mengucap kata “Kami Semua” --itu artinya juga banyak makhluk lain yang tak kasat mata juga ada di sini.
Jujur aku benar-benar takut, bahkan bila mengingat kejadian itu lagi aku masih merinding. Wajah Kak Intan begitu pucat dan nampak mengerikan malam itu.
Pak Agus tak berkata barang sepatah kata. Kedua matanya menatap penuh Kak Intan, namun garis wajahnya mengisyaratkan Pak Agus seperti terkejut oleh suatu hal yang mana hanya dirinya yang mengetahui.
[GAMBAR ILUTRASI PAK AGUS]
Berikutnya, sapuan cepat tangan Pak Agus di wajah ke Intan seketika membuat Tubuh Kak Intan terkulai lemas dan roboh ke lantai.
Kak Intan tak sadarkan diri. Acara Nyusur Tanah pun seolah seperti dipercepat dan ditutup dengan singkat oleh Pak Agus.
Setelah itu, Pak Agus dan rombongannya seperti tergesa-gesa berpamitan. Kemudian malam itu, menjadi awal mulai dari rentetan teror dan kejadian aneh menimpa kami bahkan juga satu kampung!
Hari baru dimulai, malam terasa lebih dingin dari biasanya, tak ada lagi sapa hangat atau pengingat dari seorang Ibu yang mengayomi.
Peristiwa Kak Intan di malam nyusur tanah tadi meninggalkan banyak pertanyaan juga ketakutan bagiku. Sudah hari ke-empat tapi Kak Intan masih berprilaku aneh seperti bukan dirinya.
Aku dan adik dilarang oleh mbah untuk mendekati kak Intan. Entah apa alasannya, mbah hanya bilang, Kak Intan masih belum sehat dan masih terbaring lemas ditemani mbah dikamarnya.
Di dapur Aku pernah tak sengaja melihat Kak Intan memakan kembang yang seharusnya untuk kuburan ibu.
Kak Intan memakan kembang-kembang itu dengan lahap, namun begitu melihatku, raut wajahnya langsung berubah seperti marah, kemudian mbah datang dan buru-buru membawa Kak Intan ke kamar.
Sejak Kak Intan sakit, mbah tidur menemani Kak Intan di kamarnya. Sedangkan aku sekamar dengan adikku, kami memiliki ranjang susun—aku tidur di bagian atas sedangkan adik di ranjang bawah.
Seperti malam-malam sebelumnya, malam ini aku juga masih tidak bisa tidur cepat. Meski sudah dilapisi selimut tetapi mataku masih terjaga mengawang menatap ke langit-langit rumah yang tampak dekat dari tempat aku berbaring.
Sejak kepergian Ibu, aku merasa asing di rumah sendiri, setiap sudut di rumah ini menjadi tampak menyeramkan.
Tiap malam aku sering mendengar suara-suara aneh; Wanita merintih, Suara Ibu memanggil-manggil, dan suara kaset jadul yang terputar sendiri memainkan lagu favorit ibu yang biasa didengarkannya.
[SOUND ON // Gunakan Headset]
Lagu itu kini terputar lagi, seseorang seperti sedang menyalakan kaset di kamar Ibu padahal kamar Ibu sudah dibiarkan kosong.
Mbah menggembok kamar Ibu dengan alasan agar tidak ada barang yang diambil dulu sebelum bapak pulang.
Bulu romaku meremang hebat, disusul oleh rasa takut yang menyerang kuat. Aku berbalik telungkup menutupi kepala dan kedua telingaku dengan bantal. Suara lagu klasik itu terdengar semakin keras.
Jelas sekali, suara itu bersumber dari kamar Ibu yang terletak di ruangan sebelah kamarku.
Aku mendengar suara langkah kaki menyeret datang mendekat berjalan di lorong depan kamar.
Aku mendengarkan suara langkah itu dengan seksama berharap itu adalah suara langkah mbah. Suara langkah itu berhenti tepat di depan pintu kamarku.
Aku menunggu beberapa saat tetapi kenapa tidak ada yang masuk. Aku merasa seperti ada orang yang berdiri di depan pintu kamarku.
“Mbah..?”
“Kak Intan ..?”
“Mbah ...?”
Aku memanggil-manggil, namun tidak ada jawaban apa pun.
"Kreeeekkkkkkk"
Suara engsel pintu terdengar membuka perlahan.
Aku mengintip, pintu memang terbuka setengah,
namun tak ada siapa pun-.
Terdengar lagi suara langkah kaki cukup keras namun suaranya berjarak terkesan bertempo lambat.
Aku balik menutupi wajahku lagi dengan bantal namun lagu-lagu suaranya berhenti di depan pintu kamarku---
berikutnya ....
—aku menoleh lagi,
Berapa terkejutnya aku dari balik sela pintu yang terbuka setengah berdiri sosok pocong bewajah hitam yang menatapku dengan tajam!
Sosok pocong itu lebih tinggi dan lebih besar dari ukuran manusia pada umumnya, hal itu membuat wajahnya seraya garis lurus sejajar denganku yang ada di ranjang atas.
Tubuhku lemas, aku ingin berteriak keras namun sulit sekali untuk bersuara.
Badanku mematung kaku. Satu-satunya hal yang dapat aku lakukan ialah hanya membalikan kepala menutupi wajahku dengan bantal.
Napasku tersengal-sengal berderu cepat, aku benar-benar panik ketakutan.
Aku juga kepikiran adik yang ada di kasur bawah, setelah lama terbujur kaku di balik bantal, aku menarik napas panjang memberanikan diri menoleh lagi ke arah pintu.
Napasku terlepas lega begitu melihat sosok pocong itu sudah tidak ada lagi di depan pintu kamar.
Aku mendengar suara adik mendengkur, aku melongokan kepala ke bawah untuk memeriksa adik,
Namun aku malah mendapati penampakan yang membuat kedua mataku terbelalak.
Ada sosok Ibu yang sedang memeluk adik mengeloninya, dan wajah ibu menatap ke arahku sembari tersenyum menyeringai lebar dengan kedua mata yang melotot.
Bersama dengan itu, lagu klasik dari kaset favorit ibu terputar lagi,
Kali ini suaranya sangat kencang mengetuk gendang telinga
[SOUND ON]
“MBAAHHHHHHHHHHH!!!!!!!!!!”
Refleks mataku terpejam kemudian berteriak sekenceng-kencengnya memanggil Mbah.
Suara derap langkah berjalan cepat ke arah kamarku dan aku mendengar suara adik menangis tetapi aku masih tidak berani membuka Mata sampai suara Mbah kudengar menenangkan.
“Haris, heh haris kenapa ?”mbah menepuk-nepuk kepalaku.
Aku membuka Mata, lalu turun ke bawah kemudian menangis memeluk Mbah.
Malam itu aku belum berani menceritakan apa pun, tetapi aku meminta Mbah untuk tidur bersama kami di kamar.
Kami pun tertidur berdesakan di satu ranjang bertiga bersama adik.
----------------
Versi Thread sudah mencapai akhir, masih banyak kisah selanjutnya yang tak termuat dalam Thread karena akan menjadi terlalu panjang--
Namun, malam itu ialah awal mula dari rentetan teror Ibu dan belasan makhluk lainnya yang juga ikut meneror seisi rumahku.
Terlebih sejak kepulangan bapak ke rumah, teror semakin menjadi-jadi hingga kembalinya Pak Agus yang menyatakan Ibu ingin membawa kami satu keluarga untuk ikut dengannya ke Akhirat!
Tidak hanya keluargaku, tetangga-tetangga kampungku hingga tukang nasi goreng mengaku melihat penampakan ibu dalam rupa menyeramkan.
Teror ini berlangsung selama 40 hari sejak ibu meninggal, kami meyakini sosok yang mengganggu kami bukanlah ibu, melainkan jin jahat yang memanipulatif.
Untuk kalian yang penasaran dengan kisah selanjutnya, sudah kami siapkan medium yang lebih leluasa untuk berkisah melalui format E-Book (Mini Novel bergambar) lengkap dengan ilustrasi berdasarkan kejadian yang terekam.
Silahkan DM saya untuk mendapatkan E-Booknya.
Akhir kata terima kasih sudah membaca Thread edisi “Setelah Kematian Ibu” kali ini,
Satu kalimat penutup dari saya
:---
“Semua kehidupan ialah Fana, namun memori akan terkenang abadi membekas tanpa lekang oleh waktu dan ‘mereka' kerap kali menggunakan emosi dan memori manusia untuk menyerupai dengan tujuan menyesatkan.”
Kalian bisa dukung saya untuk terus menulis dan berkarya melalui link berikut: saweria.co/JeroPoint
Jangan lupa untuk yg ingin mendapatkan E-Book (mini novel bergambar) “Setelah Kematian Ibu” silahkan DM saya.
Di rawa besar yang menjadi hilir dari tempat ditemukannya mayat-mayat hanyut yg hilang.
Seorang pengemudi perahu (nelayan) mengatakan bahwa ia ketemu seorang bapak yg mau pesugihan menumbalkan anaknya sendiri.
"Bapak itu minta di antar ketemu kuncen desa."
Waktu itu gak sengaja singgah ke sebuah rawa besar yang tersohor di Jawa Tengah. Sejatinya tempat itu sangat indah, saya memutuskan naik perahu mengelilingi rawa yang lebih pantas disebut danau.
Saya gak sebut nama rawanya yah, karena kalian orang sekitar pasti tau betul sama rawa ini.
Sudah bisa tebak dimana? ..
Pas di dermaga sebelum naik perahu, ngobrol sama pemancing, dia bilang--
“Mereka me-ruqyahku, tapi aku tidak melihat mereka mengeluarkan sesuatu dari dalam diriku, tapi justru malah memasukan ‘jin’ lain ke dalam tubuhku.”
Utas singkat dari balik ‘Pondok’
- A Thread-
#CeritaSerem
Mungkin judul utas di atas menyisakan pertanyaan “Loh, kok bisa? Bukannya ruqyah membersihkan diri? kenapa jadi sebaliknya?” ...
Betul, sejatinya Ruqyah ialah salah satu bentuk ruwatan diri yang memiliki segudang manfaat--
Namun sayangnya, banyak ‘oknum’ yang memanfaatkan label ruqyah tersebut untuk kepentingan pribadi. Kisah singkat ini menjadi satu dari sekian banyak contoh kasusnya.
Silahkan tandai, RT, tinggalkan jejak atau markah judul thread teratas agar tidak terlewat update-nya.
“Aku yakin betul naik kereta malam itu, tapi orang-orang melihat aku jalan kaki di atas rel.”
KERETA MALAM
-PEMBERANGKATAN TERAKHIR-
A THREAD
#CeritaSerem
Kisah ini terjadi pada 2006 silam, kala itu santer rumor beredar mengenai 'pemberangkatan terakhir ialah kereta gaib'.
Sila tinggalkan jejak, RT, like atau tandai dulu judul utas di atas agar thread tidak hilang atau ketinggalan update.
Maleman kita mulai.
Ini sepenggal kisah yang sampai sekarang membuatku parno naik kereta di jam malam. Peristiwa itu amat melekat diingatan bagaimana aku menempuh perjalanan tanpa sadar JKT-YK dalam waktu hampir 5 hari tapi rasanya waktu berhenti di satu malam pertama--
Satu dari ke-lima pendaki ini seketika kejang-kejang. Saat mereka berupaya turun, mereka malah terjebak masuk ke pasar yg sebelumnya tak pernah mereka lihat.
"KAMI DITERIAKI SURUH PULANG.”
A Thread
#ceritaserem
Tinggalkan jejak atau tandai judul utas di atas agar tidak hilang.
Kalian yang suka mendaki ada pengalaman ganjil selama nanjak?
Sambil nunggu cerita ini up, boleh cerita di reply ya.
Maleman kita mulai …
-- Mari Kita Mulai--
2012,
Waktu itu, aku baru lulus SMA. Lagi masa tenang setelah UN. Salah satu juniorku minta diantar untuk 'nanjak' ke gunung salak.
Rombongan mereka tak banyak, hanya 4 orang : 2 perempuan, 2 laki-laki.
Dalang ditemukan tewas saat mencoba memp*rkosa sindennya.
“SINDEN BUKANLAH PELACUR YANG BISA KALIAN ‘PAKAI’ SEENAKNYA!”, ucap Rinjani sebelum pingsan di samping jasad si dalang yang kepalanya sudah melintir dengan tusuk konde yang menancap di telinga.
#SindenGaib #KisahNyata
Di pedalaman Trenggalek, ada sebuah urban legend tentang sosok arwah sinden yg gemar mendatangi dan merasuki sinden-sinden cantik dgn suara yg indah.
Namun, dalam satu pagelaran, akan ada korban yg hilang.
Mengapa?
Sila tandai, Like atau tinggalkan jejak, nnti malam kita mulai
Cerita tentang sinden ini bukanlah rahasia umum lagi, terutama di dunia kesenian tradisional
tanah Jawa, yaitu pewayangan. Sinden merupakan kunci utama untuk menampilkan eloknya
iringan lagu dengan nyanyian yang terdengar menyayat meski merdu.
Foto di atas dikirim oleh narasumber yg menemukan gumpalan rambut tertamam di halaman rumahnya.
Silahkan tandai, RT atau like judul utas di atas agar tidak hilang. Nanti malam kita lanjut.
--Mari kita mulai--
Panggil saja aku Yuli, Sudah tiga tahun ini, keluargaku satu per satu meninggal secara tidak wajar. Anggota keluarga kami terdiri dari 5 orang, dan sekarang hanya tersisa 2 (Aku dan Ibu).