Di tengah malam seorang anak perempuan yang masih belia berjalan ke tengah lapangan dengan membawa sebuah boneka kayu buatan dengan batok kelapa yang dicat berwarna putih bergambarkan wajah bersama pakaian dan selendang seperti penari.
“Yati, kami minta tolong ya.. sudah setengah tahun desa ini kekeringan, kalau kali ini tidak ada hujan warga akan semakin kesusahan” Ucap seorang kepala desa yang di dampingi dengan kedua orang tua Yati.
“Sebisanya aja ya.. jangan dipaksakan” Ucap seorang pria yang merupakan ayah Yati.
Di tengah lapangan sudah diletakan beberapa keperluan ritual seperti kemenyan, kembang, dupa dan beberapa benda yang sulit dikenali.
Alat musik dan dekorasi pementasan juga sudah disiapkan di sana, hingga saat Yati siap, ia membakar dupa dan membawanya mengelilingi boneka yang ia bawa.
Sebuah mantra pemanggil diucapkan layaknya membentuk alunan nada yang mengajak untuk menari.
Seiring dengan setiap kata-kata berbahasa jawa kuno diucapkan, suara gong gamelan terdengar dipukul perlahan demi perlahan dengan beraturan..
Seperti detak jantung yang mulai bangkit suara gong tersebut seolah mengiringi kebangkitan sebuah sosok yang merasuki boneka yang didandani seperti penari itu.
Yati mulai kesulitan menahan getaran benda itu yang seolah bersiap mengamuk sehingga beberapa warga membantu memegangnya. Dan tepat ketika boneka itu berdiri, Yati melepaskanya.
Ia menorehkan gincu di bibirnya , mengangkat selendang di pinggangnya dan mulai menari mengitari boneka itu. Perlahan getaran itu berhenti dan mulai mengayun sendiri tanpa sentuhan dari siapapun.
Suasana mistis terasa ke seluruh penjuru desa. Sosok yang merasuki desa itu bukanlah roh biasa. Ia adalah roh tua yang dipilih Yati untuk bisa menurunkan hujan di desa itu yang telah setengah tahun ini kekeringan.
Warga merasa merinding, sebagian dari mereka masih tidak yakin dengan ritual ini. Sebagian dari mereka berbisik, bukan hanya manusialah yang menonton pementasan ini melainkan berbagai macam sosok makhluk halus di sekitar desa berkumpul di tempat ini.
Perlahan rasa ragu mereka menghilang ketika tetesan hujan membasahi tanah kering di lapangan itu.
Seketika seluruh warga tersenyum merasa senang dengan hujan yang turun membasahi tanah lapang dan segera ikut menari bersama merayakan turunya hujan pertama yang mebasahi desa itu setelah setengah tahun terakhir.
Anak perempuan itu adalah Yati. Seorang anak perempuan yang cukup aneh dan jarang bergaul dengan warga sekitar. Namun walaupun begitu warga selalu memperlakukanya dengan baik dan Ia juga tidak segan membantu warga dengan kemampuanya bila dibutuhkan.
Hanya saja Yati lebih senang bermain dengan “Warga desa” lainya yang tak kasat mata bersama boneka buatan favoritnya.
Boneka yang terkenal sejak jaman kerajaan mataram sebagai perantara makhluk dari alam lain dengan alam manusia untuk memanggil hujan, pengobatan, pesugihan , hinggal ilmu hitam.
Nini Thowok..
Part 2 - Dendam Sang Penari
Ketamakan dan rasa iri manusia selalu menjadi akar dari sebuah bencana yang mengakibatkan begitu banyak korban.
Saat itu rombongan penduduk kulit putih dan rombongan dari desa lain datang dengan sombongnya ingin menguasai kekayaan alam di desa yang sebenarnya cukup jauh dari pusat kota.
Mereka memaksa kepala desa untuk menyerahkan hasil panen dari warganya dengan berbagai ancaman.
Dan itu menjadi awal dari terjadinya sebuah tragedi yang sangat mengerikan.
Begitu banyak warga desa yang hasil panenya di rampas. Bahkan tak jarang pemilik lahan tidak disisakan sama sekali dari hasil panen yang mereka tanam.
Kepala desa mencoba mencari tahu ke wilayah lain, dan ternyata desa sekitar masih dilanda kekeringan sehingga orang-orang itu terus memaksa warga desa Yati untuk menyerahkan hasil panenya.
Dengan kemampuan Yati seluruh bangsawan pendatang yang berniat jahat pergi dengan sendirinya dari desa itu setelah terkena wabah gatal yang hanya menyerang warga pendatang.
Tak lama mereka tahu, itu adalah ulah Yati dan boneka Nini Thowoknya yang merapalkan kutukan untuk mengusir mereka.
Tak menyerah para penjajah bersama penghkianat-pengkhianat negri ini datang untuk menindas lagi warga desa Yati. Kali ini mereka datang dengan berbagai dukun ilmu hitam untuk membalas dendam.
Dengan sekuat tenaga warga melindungi Yati dan keluarganya hingga mengungsikanya di sebuah bangunan kayu di tengah hutan.
“Pergi! Ambil semua yang kalian inginkan dan tinggalkan desa ini!” Ucapk Pak Kades.
Seorang bangsawan menghampiri pak kades mengangkat bajunya dan memandang wajah kepada desa dengan bengis.
“Kami akan tetap mengambil semuanya tanpa kalian suruh!” Ucapnya dengan tersenyum.
Merasa jijik dengan perlakuan orang sebangsanya itu, pak kadespun melampiaskan emosinya dengan meludahi orang itu.
Sudah jelas itu membuat orang itu sangat kesal dan memutuskan untuk mengangkat kepala pak kades dan memenggalnya di depan warga desa.
Seketika seluruh warga desa melakukan perlawanan yang hampir membuat mereka kewalahan.
Tak terima dengan perlawanan warga desa yang kian memuncak, akhirnya mereka terbakar emosi dan memutuskan untuk membantai semua warga desa hingga mengejar Yati dan keluarganya.
Satu- persatu orang kulit putih berseragam menyisir rumah demi rumah dan menarik mereka keluar untuk dihabisi baik dengan senapan maupun benda tajam.
Mereka sudah tidak peduli lagi dengan sumber daya desa, masih banyak desa yang bisa mereka jajah.
Hingga akhirnya pemandangan mengerikan terlihat di depan mata Yati yang bersembunyi di rumah kayu di tengah hutan itu. Warga yang melindunginya dan orang tuanya mati dibantai di depan matanya.
Dengan penuh dendam Yati memanggil roh – roh di sekitarnya untuk merasuki boneka nini thowok yang menemaninya untuk membalas semua perbuatan orang-orang yang membantai seluruh desa dan keluarganya.
“Aku nyeluk kowe kabeh sing ning alam lain… pateni kabeh wong sing numpahke getih ning lemah iki”
(Aku memanggil kalian semua yang ada di alam lain.. bunuh semua orang yang menumpahkan darah di tanah ini)
Seketika boneka Nini Thowok itu bergerak dan mengamuk, namun tak lama setelahnya boneka itu jatuh tak bergerak.
Samar-samar Yati mendengar suara dari salah seorang roh yang ia kenal. Roh itu memberi tahu bahwa semua roh yang selama ini membantunya telah dibelenggu oleh dukun-dukun bayaran itu. Saat ini tak ada lagi yang bisa menolongnya dari pembantaian itu.
“Boneka ini akan membalaskan dendamku atas kematian bapak,ibu, dan warga desa.. “
Ucap Yati dengan penuh amarah dan air mata yang tidak berhenti menetes dari pipinya.
“bila tidak ada lagi dari kalian yang bisa merasuki boneka ini maka hanya satu yang bisa..”
Yati mengambil sebatang kayu runcing yang terdapat di bangunan tua itu dan sekuat tenaga menusukan ke jantungnya.
Dengan mulut yang berlumuran darah Yati menorehkan tetesan darahnya di pipi boneka nini thowok itu, menyalakan dupa dan membacakan mantra pemanggil.
“Dengan perantaraan boneka kayu penari ini aku memanggil roh penuh dendam untuk membalas perbuatan manusia biadab di luar sana.. Aku memanggil…
Aku…”
…
Kobaran Api besar membakar desa yang telah melakukan pemberontakan terhadap juragan-juragan , penjajah, dan antek-anteknya.
Mereka mengejar hingga ke rumah kayu di tengah hutan dan menemukan jasad anak perempuan dengan kayu runcing menusuk jantungnya bersama.
Ketika sesrang dukun mencoba mengeluarkan jasad Yati, sesuatu yang mengerikan terlihat di rumah itu.
sesosok boneka nini thowok terlihat melayang di atas langit-langit rumah itu dan jatuh menusuk tubuh dukun itu dengan kayu runcing tepat di punggungnya berkali kali tanpa ampun.
Dukun itu meronta-ronta dan tidak dapat menyelamatkan diri. Ketika ada orang lain yang mencoba masuk untuk menyelamatkan dukun itu, seketika tubuh orang itu menghitam seperti membusuk tak lama setelah ia memasuki bangunan tua itu.
Tepat sebelum boneka terkutuk itu keluar dari bangunan , orang-orang sakti suruhan dari manusia-manusia biadab itu membacakan berbagai mantra untuk melemahkan boneka nini thowok itu dan menyegel rumah kayu itu dengan ilmunya sehingga Boneka itu terkurung tak bisa keluar.
Cerita mengenai pembantaian Yati dan warga desa hilang begitu saja seiiring dengan begitu banyaknya pembantaian yang dilakukan penjajah dan bangsawan tamak di jaman itu.
Mereka melupakan keberadaan sosok roh Yati yang mendiami boneka Nini Thowok dan terkurung di rumah kayu di tengah hutan.
Boneka itu terus menumpuk kebencian dan dendam pada semua orang yang membiarkan warga desa dan orang tuanya mati hingga dan tidak ada yang tahu kengerian apa yang akan terjadi ketika boneka itu terlepas dari kurunganya.
(Bersambung part 3 tamatnya - Malam jumat depan ya )
TEROR BONEKA PENARI
Part 3 - Legenda Kelam Boneka Penari
Kepergian para penjajah dari bumi Nusantara membuat perubahan yang sangat besar di negeri ini dan mengakibitkan pembangunan besar-besaran yang terjadi di berbagai lini.
Beruntung aku hidup di Jaman ini di mana begitu banyaknya kebutuhan untuk sumber daya pembangunan seperti yang diusahakan oleh tempatku bekerja saat ini, Industri Kayu.
Sebuah perusahaan yang cukup besar , menerima ijin untuk mengelola sumber daya hutan dan melakukan penebangan untuk memenuhi kebutuhan pasar lokal tentunya dengan tanggung jawab untuk penanaman kembali seperti yang sudah diamanahkan oleh pimpinan-pimpinan baru negara ini.
Indra, itu namaku..
Ini bulan kelima aku bekerja di perusahaan ini setelah memutuskan merantau dari kampung halamanku di Jawa Timur.
“Yah, Sayur lodeh lagi..” Ucap seseorang yang berdiri di sampingku sambil mengantri makan siang yang disediakan oleh perusahaan kami.
Itu Fahmi, Teman satu bagianku yang sudah lebih lama beberapa bulan lebih dulu di tempat ini. Kami cukup akrab karna kami tinggal di daerah yang berdekatan.
“Lha kenapa? kan enak.. dulu di kampungku gak jauh-jauh dari telo, nasi jagung, ketemu tempe aja udah seneng” Ucapku.
“Ya.. kalo perbandinganya begitu bener juga sih. Tapi namanya bosen kan wajar Dra..”
Kantin karyawan kami hanya bangunan non permanen yang didirikan menggunakan papan-papan triplek. Untungya jumlah meja dan kursi tersedia cukup banyak walau sampai keluar-luar.
“Dra, katanya minggu depan kita mulai ngegarap hutan sebelah barat, bener ga itu?” Tanya Indra sambil mengunyah sayur lodehnya dengan lahap, bertentangan sekali dengan ucapanya tadi.
“Hutan barat yang ada bangunan tuanya itu? kalau beneran sih nekat namanya..” Balasku.
Hutan sisi barat sebenarnya hanya hutan biasa sama seperti hutan lain yang kami garap. Namun saat pekerja sebelumnya mencoba untuk memasuki hutan itu, tiba-tiba segerombolan orang berbaju hitam melarang pekerja untuk masuk.
Anehnya gerombolan orang-orang itu segera menghilang tanpa jejak tepat setelah memperingati pekerja yang hendak masuk ke hutan itu.
Pernah juga tiba-tiba seorang mandor yang tidak mengindahkan peringatan itu masuk ke dalam hutan dan ditemukan tidak sadarkan diri di sekitar sungai.
Saat tersadar ia berteriak-teriak seperti orang gila.
“Ampun nek… ampun… hentikan nek…” Kata-kata itu terus terucap dari mulutnya hingga perusahaan memutuskan untuk memulangkanya.
Mungkin karena sudah cukup banyak pekerja baru yang tidak mengetahui tentang hutan itu , mereka memutuskan untuk mencoba menggarap hutan itu lagi.
“Kabarnya kali ini Bos minta bantuan dukun dari warga sekitar untuk mengusir penunggu hutan itu” Cerita Fahmi.
“Dukun? Beneran udah gila tuh si bos.. kalau kenapa-kenapa yang jadi korban kita yang di lapangan bukan dia” Balasku.
“Ya kita positif thinking dulu aja, siapa tahu beneran berhasil..”
Aku menghela nafas dan melanjutkan makanku.
“Semoga saja bukan kita yang ditugaskan di sana ya .. “
…
Aku dan Fahmi tinggal di mess yang disediakan perusahaan , sebuah mess yang cukup besar dan diisi hampir lebih dua puluh karyawan.
Seperti biasa , jumlah kamar mandi yang hanya ada tiga bilik membuat kami selalu mengantri setiap akan berangkat kerja ataupun sepulang kerja.
Kami sudah terbiasa dengan ini, malahan di saat-saat beginilah kami lebih sering ngobrol.
“Malam ini jangan ada yang keluar mess ya, dan tutup semua pintu dan jendela. Jangan dibuka apapun yang terjadi” Ucap Tito staff senior yang sekaligus menjadi koordinator di mess ini.
Mendengar ucapan itu suara berbisik muncul di antara semua buruh yang sedang mengantri untuk mandi.
“Jadi bener, malam ini dukun suruhan bos akan masuk ke hutan itu?”
“Haduh.. bener-bener nekad si bos, pokoknya kalau sampai aku yang kebagian di hutan itu, aku milih resign”
“Sama… ternyata sebelum hutan ini di garap sama perusahaan ini, sudah banyak korban jiwa di hutan barat itu, aku masih sayang nyawa”
Entah, semengerikan apa kejadian-kejadian yang ada di sana. Sepertinya yang aku tahu hanya sedikit dari hal besar yang tersembunyi di sana.
...
Terdengar suara musik mengalun dengan lembut bersamaan dengan suara seorang pria yang meneriakan kata-kata penyemangat untuk penari.
Ini tengah malam, tidur nyenyakku terganggu dengan suara-suara musik yang entah tidak dapat dijelaskan dari mana asalnya. Apalagi mess ini cukup jauh dari pemukiman warga.
Aku mencoba menutup mata untuk melanjutkan tidurku.Tetapi suara alunan musik itu mendayu-dayu dengan lembut dan perlahan semakin keras.
Sayu-sayu aku melihat bayangan seseorang yang menari di balik tirai jendela kamarku.
Bukan.. bukan tarian, orang itu hanya bergoyang secara simetris ke kiri dan kanan seperti mengikuti arah angin. Namun entah mengapa gerakanya seperti mengikuti alunan suara musik itu.
Penasaran dengan bayangan itu, aku memutuskan untuk menghampiri ke jendela tepat saat bayangan itu mendekat.
Aku menyibakkan gorden jendela yang hanya terbuat dari kain usang.
Anehnya bayangan yang mendekat itu tidak terlihat di manapun dan suara musik tadipun tidak terdengar sama sekali.
Aneh, sungguh aneh.. saat aku memalingkan tubuhku suara musik itu mulai terdengar lagi dan tak lama setelahnya tiba tiba terdengar suara jendela yang diketuk dengan ketukan yang sangat lambat.
“Si—siapa?”
Tidak ada satupun yang menjawab, namun bayangan seseorang terlihat berdiri terpaku di balik jendela kamarku. Dan ketika aku membuka tirai itu sekali lagi, aku terjatuh tersungkur ke lantai setelah melihat pemandangan yang mengerikan.
Sebuah boneka yang dibuat dari batok kelapa yang dicat berwarna putih dan didandani layaknya penari berdiri di depan jendela kamarku melayang, tanpa pijakan.
Seketika aku teringat ucapan Tito tadi untuk tidak membuka pintu ataupun jendela apapun yang terjadi. Aku telah melakukan sebuah kesalahan.
Sebelum aku sempat berlari mendadak keberadaan makhluk itu menghilang bersamaan dengan kedipan mataku tanpameninggalkanjejak sama sekali.
Tak melewatkan kesempatan, aku menutup kembali tirai jendela kamarku dan berusaha melupakan kejadian mengerikan itu.
…
“Ini! Nenek inilah dukun brengsek yang menghalangi kita untuk menggarap hutan barat” Ucap Bos dengan seorang pria berbaju hitam dan berjenggot panjang di sisinya.
Di hadapanya terlihat seorang nenek yang tergantung tak berdaya di atas pohon dengan kepala di bawah bersama bermacam macam bekas luka di sekujur tubuhnya.
Bos dengan sengaja menunjukan pemandangan mengerikan itu kepada anak buahnya dengan maksud memberi tahu bahwa kami tidak perlu takut lagi untuk menggarap hutan barat karena penyebab kutukan di hutan itu sudah diatasi.
“Sudah! Kalian sudah tidak perlu khawatir lagi dengan hutan itu! Mulai besok kita mulai kerjakan sektor barat”
Bos dengan tegas memberikan perintah kepada kami dan memerintahkan kami untuk bubar meninggalkan nenek dukun itu terbaring lemah di tanah.
Tepat ketika semua buruh sudah pergi aku masih terpaku dengan tubuh lemah nenek itu dan tidak tega dengan apa yang terjadi denganya.
Setelah keadaan mulai aman aku mengambil perlengkapan P3k , menurunkan nenek itu dan mengobati luka-lukanya.
Dengan perlahan aku menutup semua luka di kulitnya menggunakan perban dan membalurkan minyak gosok ke bagian yang memar.
“Nek.. benar apa yang dikatakan Bos kalau nenek seorang dukun?”
Dengan lemahnya nenek itu mengangguk tanpa menyangkal.
“Mandor sebelumnya ditemukan tak sadarkan itu juga ulah nenek?”
Reaksi yang sama ditunjukan ditunjukan olehnya dengan wajah yang meringis kesakitan. Namun aku merasa penasaran tentang alasanya melakukan itu.
“Kenapa nek?” Tanyaku.
“Bangunan tua itu.. terkutuk” ucapnya dengan lemas. “Pergi dari tempat ini secepatnya sebelum terlambat”
Nenek tua itu berusaha mengeluarkan kata-kata itu sekuat tenaga sebelum akhirnya berusaha berdiri dan berusaha meninggalkanku dengan tertatih tatih dan aku berusaha membantunya untuk mulai berjalan.
“Aku tidak bisa berbuat apa-apa lagi, akan ada banjir getih dan darah akan bertumpahan di mana-mana.”
“Maksud nenek apa?”
“Pergilah bocah, nyawamu tidak sebanding dengan apapun yang kamu dapatkan di tempat ini”
Nenek itu kembali berjalan tertatih dan meninggalkanku.
Entah apa yang kulakukan ini benar atau salah. Tapi kalau sampai nenek itu kembali dan membalas dendam tentu aku akan merasa sangat bersalah.
…
“Heh Fahmi, gimana? Petugas yang dipekerjakan di sektor barat jadi pada resign?” Tanyaku pada Fahmi yang lebih dulu sampai di kantin.
“Mana? Nggak ada.. mereka jadi percaya diri dengan adanya dukun itu, dan lebih lagi… gaji mereka dinaikin. Mana ada yang mau resign” Jelas Fahmi.
Aku menghela nafas sambil menyeruput teh hangatku.
“Aku ada perasaan gak enak Fahmi..”
Fahmi menoleh ke arahkudan menatapku seolah ingin menyampaikan sesuatu.
“Dra.. kalau ada satu aja kejadian aneh setelah dibukanya sektor hutan barat, mungkin aku bakal resign” Ucapnya tiba-tiba.
Seketika aku merasa heran, tidak mungkin Fahmi mengatakan hal itu dengan tiba-tiba. Pasti sesuatu terjadi padanya baru-baru ini.
“E—emang kenapa mi? kok tiba-tiba?” Tanyaku.
“Halah, aku ceritain juga nggak ada yang bakal percaya” Jawabnya yang segera meletakan piringnya ke tempat piring kotor dan meninggalkanku.
Apa mungkin Fahmi juga melihat hal yang aneh semalam?
…
Saat sampai di mess terdengar beberapa cerita aneh dari buruh yang ditugaskan untuk mengukur wilayah kerja di sektor barat. Mulai dari buruh yang tiba-tiba pingsan hingga suara pintu yang di gedor dari dalam bangunan tua yang seharusnya tidak dihuni oleh siapapun.
Pasalnya bangunan tua itu disegel dengan kayu yang terpaku dari seluruh pintu dan jendelanya.
Fahmi yang mendengar cerita itu terlihat gelisah dan segera kembali ke kamarnya. Dengan segera aku mengejarnya dan mengikutinya.
“Fahmi, serius kamu mau pergi..” Ucapku saat ia mengambil tas besarnya dan mengemas barang-barangnya.
“Iya..” Balasnya singkat.
“Sebaiknya kamu juga ikut”
Aku menghela nafas panjang dan memperhatikan kecemasanya.
“Oke, aku ikut..” jawabku.
Fahmi kaget dengan jawabanku. Ia tidak menyangka aku akan menuruti kemauanya dengan begitu cepat.
“Tapi setidaknya besok kita pamit baik-baik dulu ke bos dan mandor”
Ia menatapku sejenak.
“Oke.. kalau cuma itu aku setuju” balasnya singkatt
Sulit untuk menyampaikan apa yang ada di benak kami berdua. namun satu yang aku mulai tahu, Fahmi juga sempat melihat hal aneh
seperti yang kulihat saat malam hari sewaktu dukun suruhan bos menangkap nenek itu.
…
Pagipun datang, aku dan fahmi segaja bersiap berangkat lebih pagi dengan mempersiapkan semua barang – barang kami.
“Apapun yang membuatmu mengambil keputusan ini, kamu harus menceritakanya selama perjalanan pulang nanti” Ucapku pada fahmi dan iapun mengangguk setuju.
Belum ada siapapun yang datang ke tempat briefing.
Peralatan-peralatan berat masih terparkir dengan rapi bersama dengan gudang peralatan yang terkunci. Namun samar-samar aku melihat sesuatu yang aneh di lapangan tempat biasa kami melakukan briefing.
Angin berhembus dengan kencang mengembuskan dedaunan kering di sekitar tempat itu.
Jauh dari tempat kami berdiri terlihat seseorang terbaring tak berdaya dengan darah yang mengalir keluar dari tubuhnya. Terlihat sebuah boneka kayu seukuran manusia menancah di dadanya.
“Dra.. apa itu dra?” Tanya Fahmi.
Aku mendekat dan memperhatikan dengan lebih jelas hingga menyadari seseorang yang terbaring itu adalah dukun suruhan bos. Benda yang menusuk dadanya adalah sebuah boneka yang didandani seperti penari dengan wajah putih terbuat dari batok kelapa.
Boneka itu mirip dengan yang menghampiriku di malam itu.
“Boneka… Boneka itu!” Ucapku yang tak dapat kuteruskan ketika menyadari bahwa boneka itu mirip dengan yang kulihat saat tengah malam di jendela kamarku.
Kami mencoba melihat lebih dekat kejadian yang ada di depan mata kami. Namun samar-samar perlahan wajah boneka itu perlahan menoleh ke arah kami.
Boneka itu melayang perlahan dan menjatuhkan kayu runcingnya sekali lagi ke tubuh dukun itu hingga sekali lagi darah bermuncratan dari jasad tak bernyawa itu.
…
“Pergi… Pergi dari sini” Terdengar suara renta dari seorang nenek yang muncul di hadapan kami.
Ya, itu adalah nenek dukun yang kemarin dihajar habis-habisan oleh dukun itu.
“I—ini semua perbuatan nenek?” Tanyaku.
“Bodoh! Ikuti aku kalau masih sayang nyawa!” Perintah nenek itu.
Aku tidak yakin dengan apa yang terjadi namun perasaan mengerikan kurasakan dengan jelas dari posisi boneka itu berada.
Kami masuk ke dalah hutan menelusuri jalan-jalan yang jarang kami lewati.
“Dukun sok itu sudah mencoba membuka bangunan terkutuk itu. tidak akan ada yang selamat bila kalian masih berada di sini” Cerita nenek itu sambil berjalan dengan terburu-buru di hadapan kami.
“maksud nenek apa?” Tanya Fahmi.
“Iya nek.. kami juga sudah berniat untuk pergi sesuai perkataan nenek” Jawabku.
“Terlambat, makhluk itu sudah bebas.” Balasnya.
Kami berhenti di salah satu bagian sungai yang tidak jauh dari rute keluar proyek.
Nenek itu mengambil sekumpulan jerami dari kantungnya membaginya menjadi dua dan memaksa kami untuk memberikan sehelai rambut kami.
“Nek.. nenek mau apa?” Tanyaku.
Nenek itu tidak menjawab dan membacakan mantra yang hampir tidak bisa kumengerti apa maksudnya.
“Bawa ini dan pergi sejauh mungkin! Sekarang kita impas” Ucap nenek itu sambil menyerahkan kedua boneka jerami itu pada kami.
“Nggak! Nggak bisa gitu nek! Jelaskan dulu pada kami” Ucap Fahmi.
Bukanya menjawab nenek itu malah menoleh dan melotot sambil mengangkat badanya.
“Bocah- bocah goblok! Di tolong aja masih banyak nanya!” Ucap nenek itu.
Aku segera menengahi fahmi dan meminta maaf kepada nenek itu.
“Maafkan kami nek , tapi seandainya kami tahu apa yang terjadi mungkin kami bisa melakukan sesuatu..” Ucapku sesopan mungkin.
Nenek itu menghela nafas dan dengan terpaksa menceritakan kepada kami.
…
Selama ini nenek itu berusaha mengusir siapa saja yang mendekat ke hutan itu dengan berbagai cara. Pasalnya terdapat marabahaya yang disembunyikan di hutan itu.
Sampai pada saat dukun itu datang, ia menggunakan sebuah boneka pemanggil arwah untuk mengalahkan nenek itu.
Pertunjukan musik dilakukan oleh dukun itu bersama dengan anak buahnya dan memanggil roh untuk merasuki boneka itu. dan ia berhasil.
Roh itu mengikuti kemauanya hingga bisa mengalahkan nenek itu dengan menyebarkan berbagai kutukan yang membuat nenek itu tidak berdaya.
Setelahnya dukun itu menyiksanya seperti yang kami lihat saat briefing beberapa hari lalu.
Masih ada banyak kejadian aneh di hutan barat setelah kepergian nenek itu hingga dukun itu mencari penyebabnya dan terhenti di bangunan kayu tua terkutuk itu.
Tepat saat kayu-kayu yang menyegel rumah itu dibuka. Sosok boneka yang digunakan dukun itu mengamuk seperti berpindah tuan. Saat itu juga boneka itu mengutuk dukun itu dengan bantuan sesuatu yang ada di dalam bangunan hingga akhirnya seperti yang kalian lihat tadi.
Entah memang sudah ditakdirkan atau tidak. Sesuatu yang mendiami bangunan tua itu adalah boneka sejenis dengan yang dibuat oleh dukun itu namun sudah berumur ratusan tahun.
Roh yang berada di boneka itu sudah menyimpan dendamnya dengan sangat lama dan bersiap untuk melampiaskan kepada siapapun yang ada di dekatnya.
…
Mendengar cerita yang mengerikan itu kami merasa dilema untuk harus percaya dengan cerita aneh itu atau menganggapnya sebagai cerita biasa. Namun hal aneh yang terjadi di sekitar kami membuat kami untuk memilih menuruti nenek itu.
“Terima kasih nek..” Ucapku yang segera menarik Fahmi untuk pergi secepatnya dari hutan itu.
….
Sudah hampir seharian perjalanan kami untuk kembali ke kampung halaman Fahmi di kota Malang. Kota yang cukup jauh dari tempat kami bekerja.
Baru setelahnya aku akan melanjutkan perjalanan ke kampungku yang cukup terpencil
Di jaman dengan moda transportasi yang belum mumpuni ini kami harus berganti-ganti kendaraan beberapa kali dan menginap di terminal untuk sampai ke kota Malang.
“aku masih harus cerita tentang apa yang membuatku memaksa untuk berhenti?” Tanya Fahmi.
Aku menggeleng.
“Malam saat tito melarang kita untuk membuka pintu, Saat itu kamu melihat boneka itu juga kan?” Tanyaku.
Fahmi mengangguk. Sepertinya kami juga sudah terlalu lelah selama perjalanan dan memutuskan untuk menginap di terminal sebelum kembali ke rumah kami masing-masing.
…
Berita mengerikan terjadi di sebuah hutan perbatasan daerah jawa tengah.
Ditemukan puluhan pekerja mati mengenaskan dengan tubuh yang menghitam secara misterius. Tidak ditemukan bekas luka sayatan atau pukulan benda tumpul dari tubuh semua korban.
Semua korban adalah buruh dan karyawan dari perusahaan yang memang mendapat ijin untuk mengelola sumberdaya hutan di perbatasan itu.
Hingga kini belum ditemukan apa penyebab kematian semua pekerja. Dugaan sementara para pekerja mati karena racun dari hewan berbisa yang membuat tubuhnya menjadi menghitam.
Perkembangan berita selanjutnya akan kami informasikan siang ini di radio kesayangan anda
…
Berita dari radio yang berada di warung itu membangunkan kami yang tengah tertidur di pinggir terminal. Perasaan berkecamuk merusak pagi yang harusnya menjadi semangat kami saat itu.
“Dra, boneka jerami!” Ucap Fahmi dengan tubuhnya yang masih terlihat bergetar merinding sama seperti yang kurasakan.
Dengan segera kami mengecek boneka jerami pemberian nenek itu yang kami simpan di tas, dan yang terjadi pada boneka itu membuat kami merasa tercengang.
Kedua boneka jerami itu berubah menjadi hitam legam dengan tiap helainya mulai rapuh dan rusak. Saat menggenggamnya aku merasakan kekuatan mengerikan yang membuat bulu kuduku berdiri.
Kami tidak dapat berkata apa-apa saat itu. mungkin saat ini hanya kami yang tahu penyebab kematian seluruh pekerja di hutan itu yang sama sekali tidak masuk di akal sehat manusia.
Tak hanya itu, mungkin hanya kami yang tahu bahayanya sosok makhluk yang menyebabkan kematian masal di sana , dan masih banyak korban yang akan bergelimpangan dengan keberadaan boneka penari berumur ratusan tahun itu.
-TAMAT-
Catatan penulis :
Kisah mengenai boneka Nini thowok / Nini Thowong / Chowong sudah banyak beredar di berbagai wilayah di Pulau jawa.
Sebagian besar menceritakan bahwa boneka Nini thowok ini adalah jelangkung perempuan yang berfungsi sebagai perantara manusia dengan roh.
Sebagian lagi bahkan menceritakan bahwa boneka Nini thowok ini merupakan kesenian daerah untuk menarik wisatawan dengan menampilkan tarian mistis dari boneka yang diisi dengan roh.
Namun tujuan dari cerita ini adalah mengingatkan kita tentang bahayanya keberadaan sosok “mereka” yang berada di alam lain yang tidak bisa kita kendalikan.
Kisah ini merupakan kisah turun temurun yang terjadi jauh cukup lama sebelum era modernisasi di mana budaya Jawa masih kental dengan klenik dan dunia mistis.
Dan keberadaan boneka yang menghuni bangunan itu masih belum diketemukan hingga sekarang.
Ada yang berpendapat bahwa ada orang sakti berhasil menenangkan rohnya dan menghancurkan boneka itu ,namun ada pula yang berpendapat boneka itu berada di suatu tempat dan masih mencari mangsa untuk melampiaskan dendamya.
Yang pasti mohon singkapi kisah ini dengan bijak. Silahkan diambil positifnya dan dibuang negatifnya.
Mohon maaf apabila ada salah kata atau bagian cerita yang menyinggung.
Terima kasih.
***
O iya, yang mau mendukung penulis dengan membeli E-Booknya bisa juga mampir di @karyakarsa_id ya ^^
Tidak bisa kupungkiri, perasaan yang menelusup dalam dadaku saat ini bukan hanya takut. Ini lebih dari itu. Ini adalah firasat kematian. Firasat yang hanya pernah kurasakan ketika aku menjejak Setra Gandamayit dan bertarung melawan entitas dari tanah Danyang.
Saat aku menoleh ke belakang, napasku langsung tertahan. Tiga kepala ogoh-ogoh itu kini menatap tajam ke arah kami. Dan matanya…
Mereka hidup. Mereka menghakimi.
“Cahyo!” seruku, lebih karena naluri daripada logika.
Seolah menjawab, tubuh Cahyo tiba-tiba menegang dan bersiap. Suaranya melenguh, dan dari matanya menyala cahaya merah membara.
Roh Wanasura telah merasukinya. Saat ini pun keris Ragasukma telah kugenggam di tanganku, ia muncul dengan sendirinya.
Keris Ragasukma bergetar hebat…
Brugghh!!
Sebuah suara keras mengagetkan dari arah Bli Waja. Kami menoleh, dan jantungku seperti diremas.
Bli Waja… tiba-tiba saja sudah berubah menjadi Rangda. Wujud ratu ilmu hitam itu terpampang jelas, anehnya ia terkapar di tanah.
Tubuhnya gemetar, wajahnya yang biasanya kuat dan tenang sekarang terlihat seperti disayat ketakutan.
Apa pun yang dilakukan kepala bermata tiga dari ogoh-ogoh itu telah menjatuhkannya dalam sekejap. Benar-benar dalam satu kedipan mata seolah mereka bertarung di waktu yang berbeda.
“Apa… yang… terjadi?” gumamku lirih, tapi tak ada waktu untuk jawaban.
Salah satu kepala—yang menyerupai kakek dengan rambut putih panjang dan lidah menjulur—menatap langsung ke arahku. Rambutnya melayang seperti hidup. Udara di sekitarnya mendadak lebih dingin, lebih padat—aku merasa paru-paruku tak mampu menghirup napas.
..Sebatang tombak tua, berkarat & berlumuran darah, menembus dari dalam mulutnya, merobek rahang dan bibirnya. Tombak itu memanjang penuh ukiran aneh, disertai semburan darah segar ..
@bagihorror #bacahorror @IDN_Horor @ceritaht
"Apa yang menjadikan sebuah benda memiliki gelar pusaka?”
PROLOG
malam itu, langit seperti bersumpah untuk tidak memberi ampun. Hujan mengguyur deras, namun ada yang jauh lebih ganjil dari sekadar badai petir. Ratusan burung gagak hitam berkerumun di satu titik, beterbangan dan bertengger di sekitar sebuah rumah tua di tengah lereng.
Mereka tidak bergerak, tidak bersuara—hanya menatap satu arah. Mata-mata mereka menyorot rumah itu dengan intensitas yang menyeramkan, seolah menanti sesuatu.
Di dalam rumah, cahaya lampu menyala remang. Asap dupa mengepul dari pojok-pojok ruangan, bercampur dengan aroma tanah basah dan darah yang belum kering.
“Tak usah berpura-pura! Manjing Marcapada hanya bisa dipanggil olehmu, bukan? Lakukan ritual itu sekarang juga!” Suara keras penuh ancaman itu memecah suasana.
Sekelompok orang berpakaian hitam pekat, jubah mereka basah oleh hujan, berdiri membentuk lingkaran. Wajah-wajah mereka tersembunyi di balik topeng, namun aura permusuhan memancar tajam.
Mereka mengepung seorang lelaki tua yang berlutut di tengah ruangan. Tubuhnya gemetar, bajunya lusuh dan basah oleh air serta air mata—Ki Satmo, sang penjaga rahasia yang telah lama memutuskan untuk tidak pernah membuka kembali pintu kegelapan itu.
Di seberangnya berdiri tiga orang yang lebih menyayat hati: dua anak kecil dan seorang wanita—istri dan anak-anaknya. Mereka berdiri tegak, tapi sorot mata mereka kosong, seperti telah direnggut jiwanya.
Masing-masing menggenggam pisau kecil, dan—dengan gerakan serentak yang menyakitkan—menancapkan pisau itu dangkal ke dada mereka sendiri.
“Lepaskan mereka! Manjing Marcapada adalah pusaka Para Danyang! Aku tak punya kekuatan untuk memanggilnya!” jerit Ki Satmo, suaranya nyaris putus oleh ketakutan.
Sebuah keranda bambu, diusung oleh para pria berikat berpakaian hitam.
Di dalamnya, terbaring Jasad Keramat yang diarak dan mendatangkan kematian bagi warga desa
@IDN_Horor @bagihorror #bacahorror
"Nak, jangan pernah kamu mengaku sebagai anak Bapak. Hapuskan nama Bapak dari namamu..."
Malam itu, suara tangis seorang remaja pecah di tengah keheningan sebuah gubuk tua yang tersembunyi di pematang sawah.
Di luar, angin menderu kencang membawa bau anyir lumpur dan kematian. Langit seperti ikut menangis, menggantung mendung tanpa hujan. Gubuk reyot itu menjadi satu-satunya tempat yang belum dijangkau oleh teror dari kegelapan.
"Nggak, Pak! Keluarga kita keluarga terhormat! Keluarga kita sudah menolong banyak orang! Tegar bangga dengan keluarga kita!"
BRAKK!!
Suara tubuh terhempas keras ke lantai
bambu mengguncang hati Tegar. Ia menoleh dan
melihat ayahnya tergolek di lantai, tubuhnya
kejang-kejang.
Dari telinga dan sudut matanya
mengalir darah hitam pekat yang tak wajar—seperti ada sesuatu yang sedang menggerogoti dari dalam.
Tegar berlari dan memeluk tubuh ayahnya. Tubuh itu panas, namun terasa sekarat. Tangannya gemetar, mencoba menahan kehancuran yang ia tahu tak bisa dihentikan.
"Jangan jadi mantri seperti Bapak, Le. Hiduplah dengan cara yang jauh berbeda. Pilihlah jalan yang tak bisa mereka temukan... Jangan... biarkan mereka menemukanmu..."
"Bapak! Jangan ngomong kayak gitu! Bapak pasti bisa sembuh! Bapak pasti bisa lawan penyakit ini!"
Sang ayah tersenyum tipis—senyum
seorang lelaki yang tahu ajalnya tinggal hitungan detik. Ia mengangkat tangannya dengan sisa tenaga, menyentuh wajah anaknya.
"Ini... sudah batasnya. Pergilah... Mereka akan sampai ke sini sebentar lagi..."
Tegar menggeleng, menggenggam tangan ayahnya erat-erat. "Tegar nggak akan ninggalin Bapak!"
"Keras kepala tidak akan membawa kebaikan, Le... Beberapa detik lagi... yang ada di hadapanmu cuma mayat... Jangan dendam... Bapak cuma ingin lihat kamu hidup..."
Tangis Tegar pecah. Air matanya jatuh satu per satu, membasahi dada ayahnya. Namun saat itulah, suara-suara itu terdengar dari kejauhan.
Suara obor.
Langkah-langkah berat.
Nyanyian lirih yang seperti mantra kematian.
Tegar menoleh. Dari celah bilik bambu, terlihat cahaya obor menyala—bergerak perlahan seperti ular api yang meliuk di tengah sawah. Di tengah arak-arakan itu, sesuatu yang membuat jantung Tegar serasa diremas oleh tangan tak kasatmata.
Sebuah keranda bambu, diusung oleh para pria berpakaian hitam. Di dalamnya, seonggok mayat keramat yang sudah membusuk dibungkus kain kafan dengan simbol- simbol aneh. Keranda itu bukan sekadar pengantar jenazah. Itu adalah momok yang menjadi penyebab kutukan di desa.
Tegar tahu. Mereka—orang-orang itu—telah membunuh seluruh keluarganya. Tidak dengan pisau atau senapan. Tapi dengan ritual. Dengan kematian yang dijadikan alat. Dan kini, mereka datang untuk menyelesaikan yang tersisa.
Hanya ia yang berhasil diselamatkan—dan untuk itu, ayahnya harus menukar nyawa.
"Tolong, Tegar... pergi..." bisik ayahnya, kali ini lebih lemah dari sebelumnya.
Kaki Tegar lemas. Hatinya ingin tetap tinggal, ingin menjaga sang ayah sampai akhir. Tapi naluri—dan rasa takut yang menyesakkan— memaksanya untuk memilih.
Ia menahan tangis, mencoba memaksakan senyum meski dadanya seperti disayat. "Bapak... Tegar akan jadi orang baik. Tegar akan hidup bahagia sampai tua. Tegar janji..."
Sang ayah ingin menjawab, namun suaranya tinggal bisikan. Tapi senyuman itu masih ada. Senyuman yang cukup untuk jadi kekuatan terakhir Tegar.
"Tegar pamit ya, Pak... Kalau semua sudah tenang, Tegar janji akan kembali. Akan kubur Bapak dan keluarga kita dengan layak..."
Tangan ayahnya yang lemah memberi isyarat. Isyarat terakhir untuk pergi. Tegar memposisikan tubuh ayahnya senyaman mungkin di amben kayu, lalu berdiri. Kakinya berat, tapi ia mulai melangkah.
Tanpa menoleh. Tanpa ragu.
Di belakangnya, suara arak-arakan semakin dekat. Gubuk itu akan menjadi saksi bisu kematian terakhir dari keluarga yang pernah dihormati.
Dan Tegar—ia kini menjadi satu-satunya pewaris nama yang harus ia kubur dalam-dalam.
Ada yang dirayakan. Pementasan ini lebih dari sekedar pementasan gaib semata.
Niat awalku menaiki merapi sekali lagi bukan untuk hal ini. Aku tak menyangka bahwa niat kami menolong Galang dan yang lain mencari sukma Tiwi akan berujung pada tragedi ‘Padu Kolo’, pertengkaran bangsa lelembut.
Dan saat ini, dihadapanku tengah menghadang sosok makhluk-makhluk utusan dari keraton demit. Lebih dari sekedar menangani mereka, aku harus mencari tahu mengapa mereka mengincar Galang dan Wulan.
Pertarungan sengit sempat terjadi di antara kami. Aku mempercayakan Galang dan yang lain pada Cahyo sementara aku menghadang mereka.
“Kau tidak perlu mempertaruhkan nyawamu demi mereka. Takdir mereka sudah ditetapkan menjadi tumbal merapi…” Sosok penari setinggi tiga meter itu masih mencoba untuk mempengaruhiku.
“Merapi tidak pernah meminta tumbal. Kalian makhluk terkutuklah yang menghasut dengan mengatasnamakan Merapi!” Sosok roh yang menutupi wajahnya dengan topeng badut pun muncul dari kejauhan.
Badut Pak Suradirja. Firasatku mengatakan bahwa alasannya tetap memakai topeng itu adalah sesuatu yang penting.
“Nyai Lendheng. Percayalah kalian bukan lawan pemuda ini..” Pak Suradirja mencoba menggertak mereka.
“SOMBONG! Keris karatanmu itu tak ada artinya dibanding pusaka keraton demit!”
Srattt!!!
Saat itu juga keris Ragasukmaku melayang melesat ke lehernya. Sosok bernama Nyai Lendheng itu menghindar, namun kerisku sempat melukainya.
“Aku tak suka banyak bicara!” Balasku kesal sekaligus menggenapi gertakan Pak Suradirja.
Kali ini Nyai Lendheng terlihat cemas. Luka di lehernya tak bisa menutup.
“Cih! Mengurus kalian hanya akan membuang waktuku. Sebentar lagi pementasan selesai! Bersiaplah, kali ini serangan dari keraton demit tak mengenal ampun!” Ucap Nyai Lendheng yang mundur bersama dayang-dayangnya.
Jelas itu adalah ancaman. Bukan ancaman kosong. Sebuah tragedi akan terjadi di gunung ini.
“Pak? Bagaimana roh bapak bisa sampai di sini?” Aku segera menghampiri sosok roh yang jasadnya telah mati di kota itu.
Semua perlahan terasa masuk akal. Mimpi-mimpi yang selama ini menghantuiku kini terajut menjadi satu kenyataan yang utuh. Tak heran jika aku selalu merasa terikat dengan Merapi. Ada sesuatu yang lebih besar di sini, sesuatu yang tertanam dalam diriku.
"Pantas saja kamu begitu terobsesi sama Merapi, Lang. Ternyata ada bagian dari dirimu yang memang berada di sini," ujar Farel dengan nada tak percaya. Wajahnya masih dipenuhi keterkejutan.
Tanganku tak bisa lepas dari genggaman Wulan. Adikku. Namun, ia kini bukan lagi manusia seutuhnya. Sukmanya saja yang tersisa, sementara tubuh ragawinya telah lama tiada
. Aku merasakan getir yang menusuk dada, tapi aku tahu ini bukan saatnya untuk larut dalam kesedihan.
"Akhirnya, tumbal yang hilang telah kembali..." Suara parau itu datang dari makhluk mengerikan di hadapan kami. Setan penari setinggi tiga meter itu menyeringai puas, matanya berkilat penuh kemenangan. Namun, Mas Danan tidak tinggal diam.
"Pergi! Kalian pergi dengan Cahyo! Cari sukma Tiwi dan tinggalkan gunung ini!" seru Mas Danan dengan tegas.
"Ngawur kowe, Nan!" Mas Cahyo membentak, jelas tak terima meninggalkan sahabatnya seorang diri menghadapi makhluk-makhluk mengerikan itu.
"Tenang, Jul. Aku nggak sendiri." Mas Danan memberikan isyarat. Tatapannya mengarah ke sudut gelap di belakang kami.
Dari kegelapan itu, muncul sosok yang membuat bulu kudukku meremang. Sosok badut dengan senyum mengerikan di wajahnya. Di tangannya tergenggam sebilah pisau yang berkilat tajam.
"Badut itu... Pak Suradirja?" suaraku bergetar saat menyebut nama yang tiba-tiba terlintas di pikiranku. "Rohnya sampai ke sini?"
Mas Danan mengangguk singkat. "Mungkin dia memang berasal dari tempat ini. Akan kuceritakan jika aku menemukan sesuatu. Sekarang pergi!"
Tanpa banyak pilihan, Mas Cahyo menarik lenganku, memaksa kami untuk segera berlari. Sekilas, aku melihat keris pusaka melayang-layang di udara, membentuk penghalang yang menjaga agar setan-setan itu tidak mengejar kami.
"Mas Cahyo! Apa yakin kita tinggalin Mas Danan?" Raka berteriak, rasa khawatir terlihat jelas di wajahnya.