TEROR PENGHUNI LAUT MALAM
Part 1 - Tabu Laut Tenggara
Upload pagi karena kemungkinan nanti bakal sibuk seharian.
cerita ini cuma 2 part kok, kali ini latar ceritanya di luar pulau Jawa, semoga saya bisa membawakan dengan baik. @bagihorror @mwv_mystic @IDN_Horor @ceritaht
“Darno ayo cepetan naik… kapal udah mau berangkat” panggil Fahri teman sekamarku di kapal pencari ikan untuk pelayaran kali ini.
Aku mematikan rokokku dan menyusul Fahri menaiki kapal.
“Perlengkapanmu udah dicek?” tanya Fahri padaku.
“perlengkapan apa to? Kan Cuma pelayaran kayak biasanya..” jawabku dengan sedikit cuek.
Bukannya sombong, aku memang termasuk anak buah kapal senior yang sudah puluhan kali ikut berlayar.
“bukan gitu .. kapal yang kita naiki ini kayaknya udah agak tua, jadi kayaknya perlu cek-cek safety tools juga” Ucap Fahri.
“ Iya.. tenang”aku tak menghiraukan Fahri dan menuju ke kamar untuk menaruh barang.
Tak lama setelahnya suara sirine kapal terdengar, tanda kapal sudah mulai berlayar.
Kami mulai melakukan tugas-tugas kami tanpa disuruh, sudah sewajarnya hal ini dapat kami lakukan karena hampir sebagian awak kapal yang mengikuti pelayaran ini adalah awak senior.
Ada yang memeriksa ruang pendingin, membantu di ruang mesin, atau sepertiku memeriksa peralatan jaring penangkap ikan di geladak kapal.
Sebelum sempat menyelesaikan pekerjaanku, tiba-tiba terdengar suara dari salah satu awak kapal dengan menggunakan pengeras.
“Kumpul! Semua kumpul! ada briefing dari bos!” Ucap salah seorang anak buah kapal melalui pengeras suara di tengah-tengah pekerjaan kami.
Kami segera meninggalkan pekerjaan kami dan berkumpul di geladak.
“Perhatian semuanya! Seperti yang sudah kalian tau, sudah beberapa pelayaran yang kita lalui tidak mendapatkan hasil yang maksimal..”
Ucap Bos yang sepertinya sudah bersiap menjelaskan sesuatu.
“Jadi kali ini kita akan berlayar ke arah tenggara.
Arah laut yang masih jarang disentuh nelayan lain… “
Laut di tenggara pulau kami memang jarang didatangi nelayan, selain karena medan karangnya yang berat , rumor mengenai hal ghaib di sana juga banyak beredar.
“Untuk navigasi saya sudah membawa navigator yang handal, jadi tidak perlu khawatir, fokus dengan tangkapan kalian” Lanjut bos.
Kami semua menyetujui tanpa ada yang berani membantah.
Aku sendiri sebenarnya penasaran dengan kondisi laut di tenggara. Selama pelayaran, aku belum pernah mendapat kesempatan ke sana. Semua itu karena memang tidak ada yang berani melanggar aturan tak tertulis ini.
Hari mulai malam, suhu air sudah mulai rendah, kami bersiap menebarkan jala sesuai petunjuk.
Dua orang anak buah kapal turun ke air, mereka membantu memasang posisi jala dari sisi yang berbeda.
Setelah semua siap,mesin kapal pun dimatikan. Setelah menyelesaikan tugasnya kedua anak buah kapal yang terjun kelautpun berenang kembali untuk naik ke kapal.
“Bener, di sini banyak ikanya” Ucap mereka yang menyaksikan sendiri keberadaan ikan-ikan di bawah laut yang sudah menjadi target kami.
Mendengarnya kami tersenyum dan menunggu hingga ikan-ikan itu terkurung di Jala yang kami sebar.
Beberapa jam kami menanti hingga benar-benar terlihat jaring mulai terasa berat.
…
“Tariiik!” Suara salah seorang anak buah kapal terdengar.
Kami segera mengambil posisi untuk mengatur menarik jaring yang telah terisi ikan dan menarik secepat mungkin dibantu dengan sebuah mesin penggulung yang sebenarnya jauh lebih berguna dari tenaga kami.
Sayangnya tak lama tiba-tiba jala kami terasa berat seperti menyangkut pada sesuatu.
“Tarik Darno.. tarik!” Ucap Fahri yang berada di sebelahku
“Nggak bisa .. nyangkut” jawabku.
Kami mencoba memperbaiki jaring, namun tiba-tiba tetesan air hujan mulai membasahi tubuh kami.
“Yah… hujan , masih bisa dapet ikan gak ini…” keluh Fahri padaku.
Hujan turun semakin deras, dan setelahnya tanpa dapat ditebak ombak datang dan melemparkan perahu dengan kencang, kami semua berhamburan memasuki kapal.
Sebagian awak kapal melabuhkan jangkar di tengah laut yang tiba-tiba segera mengganas menyusul derasnya hujan datang. Kami berharap jangkar ini mampu mempertahankan posisi kapal agar tidak terbawa gelombang tanpa arah.
Sayangnya kesialan kami belum selesai, sebuah sambaran petir membakar tiang kapal dan mematikan seluruh listrik yang ada di kapal.
Sebelum masuk ke dalam, sekelebat aku seolah melihat ada sesosok bayangan yang memanjat masuk ke kapal ini dari arah laut.
Aku mengira dia adalah awak kapal yang masih tertinggal di air untuk memperbaiki jaring, namun saat aku ingin keluar untuk membantunya sosok itu sudah tidak ada di sana.
Suasana panik saat itu membuatku memutuskan untuk melupakan kejadian itu dan melanjutkan masuk menuju kabin.
Malam ini dilalui tanpa adanya aliran listrik. Beberapa awak kapal yang memang bertugas untuk melakukan perawatan di bagian kelistrikan masih berkutat di ruangan genset.
Hening… Suasana di kapal ini seketika berubah menjadi hening. Hanya suara deburan ombak yang berani mengisi keheningan ini.
Dengan ombak setinggi ini tidak ada yang berani keluar untuk melakukan aktivitas di luar sana.
Kami hanya berharap badai di tempat ini segera berakhir dan kami masih memiliki kesempatan untuk mencari hasil tangkapan.
Aku mencoba untuk tidur dengan kondisi seperti ini. Namun sepertinya kali ini aku membutuhkan waktu lebih lama untuk tertidur.
Di tengah rasa kantukku, samar-samar terdengar suara pintu terbuka perlahan. Dengan setengah sadar aku membuka mata dan memastikan teman sekamarku masih berada di kasurnya.
Awalnya aku ingin membiarkan saja pintu yang terbuka itu dengan rasa kantuk yang telah menguasaiku. Namun gelombang laut membuat pintu itu terus berayun dan membuat suara gaduh.
Aku turun dari kasurku, berjalan perlahan dan menyentuh daun pintu untuk menutupnya. Tetapi sesuatu yang aneh melintas dengan cepat di depan mataku.
Seseorang yang belum pernah kami lihat melintas di depan pintu kamarku dengan wajah pucat dan tanpa ekspresi sama sekali. Gerakanya tidak seperti sedang berjalan layaknya manusia yang berjalan di kapal dengan guncangan ombak.
Ia seperti melayang…
Rasa kantuku hilang seketika bersamaan dengan rasa takut yang seketika muncul menyelimuti tubuhku.
Aku membutuhkan waktu untuk meyakinkan diri untuk menoleh ke arah lorong kamar memastikan siapa yang melintas di depanku tadi hingga akhirnya aku menoleh ke arah perginya sosok itu.
Tidak ada siapapun yang terlihat di sana selain kegelapan yang menyelimuti lorong kabin.
Tapi anehnya semua pintu kamar kabin anak buah kapal terbuka seperti yang terjadi di kamarku tadi.
Mataku tertuju pada sebuah cahaya yang muncul dari sebuah kamar yang ku tahu itu adalah kamar Fahri.
Kemungkinan dia sudah mempersiapkan lampu emergency untuk keadaan seperti ini dan saat itu juga aku memutuskan untuk menghampirinya.
…
“Jangan…” Terdengar suara seperti seseorang yang menangis tak jauh dari tempatku berada.
“Jangan naik ke atas…”
Aku menoleh ke arah sebuah kamar gelap yang kulewati. Suasananya tidak jauh berbeda dengan kamarku.
Di sana terlihat seseorang sedang meringkuk ketakutan di lantai tanpa ada awak kabin lain yang berada di sekitarnya.
Saat aku mencoba mendekat, tiba-tiba pria itu segera berlari ke arah pintu dan membantingnya seolah melarangku untuk mendekat.
Samar-samar masih terdengar suara pria yang menahan pintu itu dari dalam mencoba memperingatkanku.
“Jangan naik ke atas… kita sudah melanggar tabu” ucapnya dengan nada yang ketakutan.
Aku mencoba mencerna apa yang ia maksud namun kupikir aku akan membicarakan ini dengan Fahri dan segera meninggalkan kamar itu dengan meraba-raba tembok kapal yang memanduku berjalan di kegelapan.
Sekali lagi.. belum jauh aku berjalan dari kamar tadi, aku merasakan ada sesuatu seperti memperhatikanku dari belakang. Aku mencoba tidak memperdulikannya dan terus melanjutkan langkahku.
Sayangnya rasa merinding yang muncul seketika seolah memastikan ada sesuatu yang memperhatikanku di balakang sana.
Dengan gemetar aku memutar tubuhku untuk memastikan sosok itu.
lorong yang tadi siang terlihat biasa saja kini terlihat mengerikan di tengah kegelapan, seolah lorong ini terlihat tidak memiliki ujung.
Jauh dari dalam kegelapan aku melihat sebuah pergerakan yang mendekat.
Manusia? Bukan…
Sesuatu yang berukuran pendek , tidak lebih tinggi dari lututku. Namun benda itu bergerak tanpa ada pengaruh guncangan di kapal ini.
Aku berusaha berpikir bahwa itu adalah tikus atau hewan lain. Atau setidaknya sebuah benda yang bisa bergerak.
Sayangnya prasangkaku musnah bersama kemunculan sesosok makhluk yang mendekat itu.
…
Kepala…
Sebuah kepala makhluk berambut panjang dengan wajahnya yang pucat muncul dari lantai lorong kabin seolah melayang mendekatiku.
Kepala yang semula hanya terlihat dari hitung hingga rambut perlahan semakin tinggi memamerkan tawanya yang lebar hingga ujung bibirnya hampir menyentuh telinganya.
Seketika tubuhku lemas dan terjatuh. Belum pernah aku melihat hal seperti ini sebelumnya.
Aku mencoba berdiri namun beberapa kali aku terjatuh kehilangan tenaga dan sialnya kepala itu semakin mendekat ke arahku.
“Se—setan! Tolong!”
Aku berusaha mencari pertolongan dari siapapun yang kuharap bisa mendengarkan suaraku namun sepertinya sama sekali tidak ada tanda-tanda seseorang yang mendengar.
Saat itu juga air mataku menetes menahan setiap kengerian yang menyelimuti tubuhku.
“Pergi! Tolooong! Pergii!” Aku sudah tidak tahu lagi dengan apa yang sudah kuucapkan.
Namun di tengah kesadaranku yang berada diambang-ambang, aku merasakan seseorang menarik tubuhku ke belakang.
Entah apa yang terjadi setelahnya, tiba-tiba aku sudah berada di sebuah kamar dengan sedikit cahaya dengan tangan yang menutup mulutku seolah bermaksud menahanku agar tidak berteriak.
Mereka yang menarikku segera mematikan lampu emergency di kamarnya dan menatap ke arah pintu kamar yang masih terbuka.
Kami menunggu dengan degup jantung yang terus berdetak dengan tidak tenang.
Mulutku tertutup, namun saat itu mataku masih bisa melihat dengan jelas sesosok kepala pucat yang melintas di depan pintu kamar kabin tepat dihadapanku.
Nafasku terengah-engah seolah tidak percaya dengan apa yang kulihat.
“Ssst… tenang dulu, biar aman dulu”
Terdengar suara seseorang yang kukenal berada diantara orang-orang yang menarikku. Itu adalah suara Fahri.
Mendengar suaranya aku menjadi cukup tenang. Aku mencoba mengatur nafasku dan mencoba mengumpulkan keberanianku.
Melihatku sudah mulai tenang, seseorang yang menahanku melepaskan tanganya dan berjalan mencoba mengintip ke arah luar.
Ia mencoba menutup pintu kamar. Namun entah mengapa pintu itu selalu terbuka dengan sendirinya.
“Kamu ngapain keluar kamar?” Ucap Fahri.
Aku membalikan badan, sudah ada dua orang lain di kamar ini selain Fahri.
“I—ini ada apa sebenarnya Fahri? Makhluk-makhluk itu apa?” Tanyaku.
Fahri menoleh kepada kedua temanya yang sepertinya juga tidak memiliki petunjuk.
“Kami juga nggak tahu Darno, seumur-umur ikut kapal orang belum pernah ada kejadian seperti ini” Jelas Fahri.
“Saya Karto ini teman saya Binsar.. kami kesini karena melihat kamar Fahri ada cahaya” Jelas seseorang yang bernama Karto.
Sepertinya dia yang tadi menyelamatkanku ke kamar ini.
“Terus teman sekamarmu mana Fahri?” Tanyaku.
“Entah, tadi dia bilang mau ke atas mengecek sesuatu.. tapi sudah beberapa jam dia tidak kembali” Jawab Fahri.
Seketika aku teringat perkataan seseorang dari salah satu kamar tadi yang melarangku untuk naik ke atas. Saat itu juga aku merasakan firasat tidak enak dengan teman sekamar Fahri yang naik ke atas.
“Tadi.. di beberapa kamar sebelum kamar ini, ada awak kabin yang nangis dan bilang ke saya jangan naik ke atas..” Ceritaku pada mereka.
“Maksudnya gimana No?”
“Katanya kita sudah melanggar hal tabu… “
Saat itu juga Fahri dan kedua orang lainya saling bertatapan , terlihat raut wajah kekhawatiran terpampang di wajah mereka.
“Fahri, siapin barang-barang yang kemungkinan bisa terpakai.. senter, pisau, tali.. atau apa. Kita cek keadaan yang lain” Ucap Binsar yang terlihat paling berani di antara kami.
Fahri mengangguk dan mulai mempersiapkan tas dan mengambil barang-barang dari lokernya.
Beruntung Fahri masih bisa menemukan satu buah senter lagi sementara lampu emergency bisa kami simpan untuk hal darurat lain.
Dengan sigap kami membantu memasukan barang-barang itu ke dalam tas dan bersiap untuk meninggalkan kamar.
Sesekali suara sambaran petir terdengar memekakan telinga kami.
derasnya hujan yang turun menimbulkan suara bising yang membuat kami harus sedikit berteriak untuk berbicara satu sama lain.
“Gimana ada orang?” Tanya Binsar.
Karto yang sedang membuka pintu kamar menggeleng dan menunjukan sebuah kamar kosong dengan barang yang sudah berantakan.
“Nggak ada, mungkin dia sudah pergi duluan” Jawab Karto.
Kami melanjutkan perjalanan kami dan memeriksa satu persatu kamar yang kami lewati.
Tak seperti yang kami duga, kamar-kamar yang kami kira masih dihuni awak kapal ternyata sudah kosong.
Berarti sedari tadi hanya kamar di lorong ujung tempatku dan Fahri istirahatlah yang masih baru menyadari keadaan ini.
Sekilas aku teringat seseorang yang memperingatkanku tadi untuk tidak naik ke atas.
Tetapi sepertinya akan percuma bila aku menjemputnya untuk membawanya ke atas tempat yang ia larang itu.
Dengan hanya bermodalkan sebuah senter kami melanjutkan kami. semakin lama kami berjalan , semakin banyak hal aneh yang kurasakan.
Salah satu yang paling mengganggu adalah suara tangis seorang wanita yang tersamar oleh suara deburan ombak.
Jelas itu tidak biasa. Tidak ada awak kapal wanita di sini.
Entah apa Fahri dan yang lain mendengar hal serupa atau tidak, atau mungkin mereka juga memutuskan untuk pura-pura tidak mendengarkan seperti yang kulakukan.
“Fahri , kalian tunggu di sini sebentar…” Ucap Binsar yang seperti bersiap pergi ke suatu tempat dengan membawa satu-satunya senter.
“Heh.. mau ke mana!?” Tanya Fahri.
“Itu.. kamar mandi, sebentar saja.. dari tadi sudah kutahan” Jawab Binsar.
“Bisa-bisanya kamu di waktu begini..” Ucap Karto.
“Aku ikut…” Ucap Fahri.
Aku dan Karto serentak menatap Fahri, dengan adanya dua orang yang bertujuan sama, sepertinya aku dan Karto harus mengalah. Toh sebenarnya itu juga hal yang lumrah.
Bukan tanpa alasan aku memilih untuk menunggu di luar. Di film-film yang kutonton kamar mandi adalah salah satu tempat favorit kemunculan makhluk-makhluk halus yang berniat mengganggu.
Di tengah lamunanku dan Karto suara air kamar mandi terdengar seperti menandakan Binsar dan Fahri sudah menyelesaikan urusannya.
Ternyata Binsar dan Fahri memang tidak menghabiskan waktu lama di kamar mandi dan seperti terburu-buru keluar dari tempat itu.
“Sudah?” Tanyaku.
Fahri mengangguk, namun aku seperti melihat ada yang berbeda dari wajah mereka berdua.
“Kamu nggak papa kan Binsar?” Tanya Karto yang sepertinya juga merasa aneh dengan tingkah laku mereka berdua. Seperti sudah terjadi sesuatu di kamar mandi tadi.
Kami memutuskan untuk tidak bertanya lebih jauh, mungkin saja mereka memang sengaja tidak menceritakan untuk mencegah hal-hal buruk terjadi lagi.
Kami berjalan perlahan di tengah kegelapan.
Sesekali aku menoleh kebelakang memperhatikan setiap jalan yang kami lalui di tengah kegelapan. Entah setelah selesai dari kamar mandi tadi aku merasakan udara lebih dingin dari biasanya.
Selang beberapa lama kami mendengarkan suara seperti pintu yang tertutup. Bukan suara ringan seperti pintu kamar, melainkan suara pintu yang lebih besar seperti pintu kamar mandi.
Tak lama setelahnya sebelum mencapai tikungan lorong , Karto menarik lenganku dan menahanku untuk mengikuti Fahri dan Binsar.
“Ke—kenapa To?” Tanyaku.
“Ssst… kita mundur dulu” Ucap Karto sambil berbisik.
“Terus Fahri sama Binsar gimana?” Tanyaku berbisik mengikuti nada suara Karto.
Karto memberiku isyarat untuk menoleh ke belakang. Samar-samar dari sana terlihat cahaya senter yang menyorot ke dinding Lorong.
Seketika aku teringat, tadi senter dipegang oleh Binsar. Tapi kenapa sepanjang perjalanan dari kamar mandi tadi Binsar tidak menyalakan senternya.
Aku mulai mengerti maksud Karto dan segera mundur ke belakang tepat ke arah cahaya itu.
“Kalian kemana? Kok ninggalin kita?” Tanya Fahri yang tiba-tiba muncul dari arah belakang kami.
Seketika keringat dingin mengucur deras di tubuhku.
“Emangnya kalian bisa liat jalan tanpa senter?” Lanjut Binsar.
Karto hanya terdiam melihat kemunculan Binsar dan Fahri. Sepertinya ia pun mencoba menahan rasa takutnya sebelum menceritakan apa yang terjadi.
“Bu—bukanya kalian sudah keluar dari kamar mandi sejak tadi” Tanyaku.
Fahri dan Binsar saling menatap.
“ini kita baru selesai, susah juga gelap-gelapan di kamar mandi” Jelas Fahri.
“Emang ada apaan?”
Karto yang terlihat pucat mencoba mengatakan apa yang terjadi tadi.
“tadi kami melihat kalian berdua sudah keluar dari kamar mandi, jadi kami ngikutin.. pas di tikungan lorong kami melihat cahaya senter yang dibawa Binsar dari belakang. Dari situ baru aku sadar ada yang aneh..” Jelas Karto.
Binsar terlihat menelan ludahnya, namun sepertinya ia masih bisa untuk menahan rasa takutnya.
“Ya sudah.. kita lanjutin perjalanan dulu, kita pastiin dulu ke atas.. coba cari Bos atau petugas di atas” Lanjut Binsar yang segera mengambil posisi terdepan dengan senternya.
Aku mempersiapkan nyaliku sebelum akhirnya berjalan mengikuti Binsar yang berjalan di depan kami.
Baru saja berjalan.. belum ada beberapa menit, tiba-tiba Binsar terhenti di tikungan lorong tempat kami tari berhenti.
Wajah Binsar terlihat terpaku menatap sesuatu yang tertutup tikungan lorong dari arah pandanganku.
Apa mungkin mereka masih ada di sana?
Wajah Binsar terlihat pucat. Aku dan yang lain segera mempercepat langkahku menghampiri Binsar.
Benar, mereka masih ada di sana..
Berdiri tak bergerak menuju tangga yang berada tidak jauh dari hadapanya.
“I—itu mereka!” Ucapku dengan suara yang gemetar.
Dari belakang wujud mereka hampir tidak ada bedanya dengan Fahri dan Binsar. Namun saat cahaya senter itu menyinarinya, sontak mereka menoleh ke arah kami berempat.
Pucat… Wajahnya sungguh pucat, kayaknya kulit manusia yang sudah terendam berhari-hari di lautan. Hampir seluruh bagian wajahnya menyerupai Binsar dan Fahri namun ada sesuatu yang berbeda.
Aku mencoba memikirkan apa perbedaan dari wajah mereka namun aku belum menyadarinya.
Melihat kejadian itu Aku menarik tubuh Binsar dan yang lain.
“Lari… !” Ucapku.
Aku memandu mereka kembali menuju sebuah kamar dengan pintu yang terbuka di dekat kami. di situ kami menutup pintu rapat-rapat dan kembali mematikan lampu senter.
Entah makhluk itu mengikuti kami atau tidak, tapi sepertinya kami sepakat untuk tidak bersembunyi dalam waktu yang lama.
“Kita nggak bisa begini terus… Kita berempat! Kalau ketemu makhluk begituan lagi, Tabrak aja!” Ucap Binsar dengan logatnya yang khas. Sepertinya dia sudah lupa wajah pucatnya saat tadi melihat wajah makhluk itu.
“Aku takut… tapi aku setuju sama Binsar, kalau begini terus kita bisa terjebak di sini” Lanjut Fahri.
Aku pun sama. Kami berempat, seharusnya kami berani menghadapi apapun yang muncul.
Setelah mempersiapkan nyali, kami kembali keluar. Kali ini masing-masing dari kami menggenggam sesuatu untuk melindungi diri mulai dari pisau lipat dan pipa besi pendek yang kami temukan di tempat kami bersembunyi.
Kami berjalan perlahan menuju tikungan lorong tempat kami berpapasan dengan dua orang yang menyerupai Fahri dan Binsar. Beruntung, Kedua makhluk itu sudah tidak ada di sana.
Sebuah tangga kecil terlihat sudah berada di hadapan kami. Di atas lantai adalah ruangan yang setara dengan geladak kapal. Di sana merupakan kamar petugas pengawas dan beberapa pihak yang bertanggung jawab dengan pelayaran ini.
Kami bergegas menaiki tangga itu satu persatu hingga mencapai lorong besar yang menunjukan pintu-pintu ruangan yang berhadapan langsung dengan jendela kapal.
Di sini aku bisa melihat dengan lebih baik dari cahaya bulan yang masuk melalui jendela.
Namun kami masih membutuhkan penerangan dari senter yang dibawa oleh Binsar.
“Fahri… di sini sepi juga, perasaanku nggak enak” Ucapku.
Fahri tidak menjawab. Diamnya menjelaskan bahwa perasaan yang mereka rasakan tak jauh berbeda dari yang kami rasakan.
Sesekali hantaman ombak menggoyahkan kapal ini sehingga kami harus berpegangan pada sebuah tiang.
“Jadi sekarang kita ke arah mana?” Tanyaku pada yang lainya.
“Mungkin kita coba ke ruang kendali dulu” Jawab Fahri.
Aku setuju. Namun sebelum kami pergi , aku melihat Karto terpaku di depan kaca jendela yang basah dengan derasnya hantaman air hujan.
“Ki—kita jangan keluar” Ucap Karto. Kali ini giliran wajahnya yang terlihat pucat.
Sesuatu pasti sedang terjadi di luar sana. Dengan segera aku menghampiri Karto dan mendekat ke arah kaca jendela yang basah itu.
Tepat saat melihat keluar ke arah geladak melalui kaca jendela ini, saat itu juga aku merasa ragu bisa selamat dari tempat ini.
Berbeda dengan kondisi di dalam sini, di luar terlihat banyak orang yang sedang berdiri di geladak.
Mereka tersebar hampir di setiap sisi kapal.
Bukan… mereka bukan awak kapal. wujudnya benar-benar seperti manusia dan berpakaian layaknya manusia biasa seperti kami.
Namun wajahnya pucat, posisi berdirinya yang tidak terpengaruh oleh goyangan kapal yang sangat kencang membuatku memastikan bahwa mereka bukanlah manusia biasa.
Ah iya… aku ingat sesuatu. Perbedaan dari makhluk yang menyerupai Fahri dan Binsar tadi juga terdapat di makhluk-makhluk itu.
Tidak ada belahan di antara bibir dan hidung makhluk-makhluk itu. Sekilas, perbedaan itulah yang paling jelas diantara mereka dan manusia biasa.
Sayangnya bukan itu yang seharusnya kukhawatirkan.
Saat ini di tengah gelapnya malam dan derasnya hujan semua makhluk itu sedang menatap ke satu arah yang sama dengan wajah penuh amarah.
Suara petir dan kilatan cahaya memperjelas wujud mereka yang sedang menatap ke arah kami.
“Pe—pergi! Kita pergi!” Ucap Binsar.
“Tapi kemana?” Tanya Fahri yang juga terlihat panik.
Aku tidak bisa berpikir apa ada tempat aman di kapal ini? Setidaknya sampai kita bisa bertahan hingga besok pagi.
“I—itu! Lihat itu!”
Kali ini Karto yang masih ketakutan menunjuk ke satu arah di luar jendela.
Perlahan kami berjalan kembali ke arah jendela dan menatap ke arah yang ditunjukan oleh Karto.
Masih dengan tatapan mengerikan dari makhluk-makhluk itu. Namun bukan itu yang ditunjukan oleh Karto.
Melainkan sesosok jasad yang tergantung terbalik di salah satu tiang kapal dengan tambang yang terikat di kakinya.
Jelas jasad itu tidak mati dengan cara yang wajar. Itu semua terlihat dari tubuhnya yang tergantung terbalik dengan darah segar mengalir dari setiap lubang di wajahnya.
“I—itu bos?” Ucap Fahri yang masih tidak percaya.
Aku mengangguk sementara Binsar yang sebelumnya masih mampu menahan rasa takutnya kini terjatuh lemas seolah satu-satunya harapan kami untuk selamat sudah tergantung di sana.
Entah apa yang akan terjadi lagi di malam ini. Yang pasti kami harus bersiap menghadapi makhluk-makhluk itu yang perlahan mendekat menghampiri kami.
Bersambung part terakhir - Jasad Di dalam Tong
(Update malam jumat - 20/1/2022)
Terima kasih telah mengikuti part ini hingga selesai. Mohon maaf apabila ada kesalahan dalam penulisan ataupun bagian cerita yang menyinggung.
Bagi yang ingin membaca part akhir duluan atau sekedar memberi support bisa mampir ke @karyakarsa_id ya..🙏
Sambil nunggu selesai di upload nanti malem, bisa mampir ke Radio Tengah Malam dengerin saya sama @Wakhidnurrokhim ngoceh bahas pesugihan...
Sekalian mau minta tolong temen2 buat subscribe , like atau ninggalin komen ya ☺️🙏
Terima kasih
Makhluk yang menyerupai manusia, tanpa garis belahan diantara bibir dan hidungnya. Aku pernah mendengar cerita mengenai-makhluk makhluk ini di beberapa tempat seperti di pedalaman hutan sekitar danau.
Bagi mereka yang memilik “kemampuan” konon mereka bisa melihat bahwa makhluk ini memiliki peradaban sendiri.
Tapi ini di tengah laut, Jauh dari tempat-tempat yang sering di ceritakan itu.
“Sekarang kita harus gimana?” Tanya Fahri yang masih bingung dengan keadaan ini.
“Ki—kita ga nyoba nolongin bos, siapa tahu dia masih bisa di tolong” Ucap Karto.
“Gila kamu ya! Itu sama saja kita nyemplung ke kolam buaya! Buaya masih bisa dibunuh pake senjata.. nah makhluk-makhluk itu gimana?” Bantah Binsar.
“Sudah , Kita pergi dulu.. kita cek awak kapal yang lain”
Aku segera menarik tubuh mereka menuju lorong lagi setidaknya kami berusaha menjauh dari makhluk-makhluk itu.
Di ujung dari lorong ini adalah ruangan genset, kami memutuskan untuk menghampiri mekanik yang sedang membetulkan genset kapal.
Suasana lorong begitu sepi, tidak terdengar suara awak kapal lain.
“Binsar, Karto ada kenalan kalian yang tugas di lantai ini?” Tanyaku.
Binsar dan Karto menggeleng.
“Aku dan Karto awak cabutan, sisanya sepertinya awak tetap kapal ini” Jawab Binsar.
Rupanya mereka juga sama seperti aku dan Fahri hanya awak buah kapal tambahan yang biasa dipekerjakan untuk pelayaran dalam jangka waktu lama.
Ruangan genset terletak di ujung lorong ini berbeda dengan di bawah, lorong ini memiliki lampu emergency yang menyala redup dari ujung ruangan genset itu.
Kami berjalan perlahan, keberadaan sedikit cahaya yang menerangi lorong memberikan sedikit keberanian kepada kami untuk menuju tempat itu.
Sesekali aku menoleh ke arap ruangan-ruangan yang kami lewati dan mengintip melalui jendela kaca, berharap ada orang lain yang bisa membantu kami. Namun sayangnya tidak ada seorangpun yang bisa kutemukan.
“Harusnya ada lebih dari lima puluh orang kan di kapal ini? Kenapa tidak ada yang terlihat lagi ya?” Tanya Fahri.
Tidak ada yang berani menjawab pertanyaan Fahri, terutama setelah kami melihat kondisi bos yang sudah tak bernyawa di luar sana.
“Aku hanya berharap mereka masih hidup seperti kita” ucapku yang dibalas dengan tatapan mereka bertiga.
Memang itulah kekhawatiran kami saat ini, sepanjang perjalanan tadi kami tidak menemukan seorangpun manusia yang berpapasan dengan kami.
“Itu ruanganya, yang ada lampu warna merah” Jelas Karto.
Fahri berjalan maju mendekat dan memegang gagang pintu yang terbuat dari besi itu.
“Hati-hati Fahri, diintip dulu.” Ucapku.
Fahri membuka sedikit pintu ruangan genset. Walau sudah sehati-hati mungkin namun suara engsel pintu yang sudah berkarat tetap menimbulkan suara.
“Halo!! Ada Orang?” Teriak Binsar.
Kami berpencar ke ruangan yang cukup luas itu. Rupanya ruangan ini juga bersebelahan dan menyambung dengan gudang peralatan.
“Bang… darurat bang, ada orang di sini?” Teriak Binsar lagi. Namun tidak ada satupun suara yang menjawab teriakanya.
Fahri menemukan lampu emergency dan berinisiatif menyalakanya. Seketika rungan menjadi lebih terang dan kami dapat melihat dengan lebih baik.
Dengan cahaya yang cukup jelas, tiba-tiba mataku tertuju pada kumpulan tong-tong besar yang terbuat dari bahan besi kaleng di sudut ruangan. Tong-tong itu hampir memakan seperempat dari ruangan ini.
“Fahri! Darno! Kesini!” Ucap Binsar dengan nada suara yang sedikit bergetar.
Aku dan Fahri segera berlari menghampirinya. Binsar menunjuk ke salah satu celah antar mesin dan menyorotkan senternya.
Seketika aku terjatuh saat melihat sosok yang ditunjukan oleh cahaya senter Binsar.
Jasad seorang laki-laki yang masih berpakaian seragam mekanik , lengkap dengan sarung tangan karet dan sepatu bootnya terlihat seolah sedang bersembunyi di celah mesin itu.
Namun bukan itu saja yang mengerikan. Kami bisa memastikan ia sudah mati karena di wajahnya sudah tiadak ada lagi bola mata dan digantikan dengan aliran darah di pipinya yang sudah mengering.
“di—dia sudah mati?” Tanya Karto yang menyusul kami memperhatikan jasad itu.
“Sudah, sekarang kita jangan pikirkan yang lain.. yang penting bagaimana cara kita bisa selamat”
Binsar mencoba menguatkan kami yang semakin ketakutan setelah melihat hal ini.
Suara ombak menderu menemani kami yang masih belum bisa memastikan apa yang harus kami lakukan setelah ini.
Binsar membongkar barang-barang di sekitar gudang dan memisahkan beberapa benda seperti suar, senter, dan benda-benda yang mungkin saja kami butuhkan.
“Sebenarnya apa yang terjadi, kenapa makhluk-makhuk ini bisa mengincar kapal ini?” Ucapku yang terduduk lelah di salah satu sudut ruangan ini.
“Sudah, aku tidak peduli… yang penting bagaimana cara kita bisa selamat dan tidak mati seperti mereka.” Jawab Karto.
Ucapan Karto tidak ada yang salah, namun tetap saja aku masih merasa penasaran.
Di tengah lamunanku aku melihat sebuah buku yang cukup tebal. Seingatku itu buku yang sering dibawa oleh bos. Dengan segera aku berdiri dan mengambilnya.
Itu adalah sebuah catatan pelayaran singkat yang sudah dijalani oleh bos selama ini. Aku membacanya hingga mencapai lembar yang menunjukan tanggal kemarin.
Di halaman itu terselip sebuah kertas bergambar peta lautan. Sebuah catatan kaki tertulis di bawah gambar peta itu.
Note : Buang Tong-tong itu di tiga tempat yang berbeda
Seketika aku melihat peta itu kembali dan melihat beberapa tempat sudah ditandai dengan tanda silang. Ketiga tempat itu masih berada di sekitar laut tenggara.
“Fahri, binsar, Karto.. coba liat ini” Panggilku.
Mereka menghampiriku dan segera memperhatikan buku catatan yang kutunjukan.
“Rupanya Bos ada tujuan lain ke laut ini.” Jelasku.
“Memangnya isi tong itu apa? Limbah?” Tanya Karto.
“Nggak tahu, nggak tertulis di sini” Balasku lagi.
Tak berselang lama tiba-tiba sebuah ombak besar kembali menghantam kapal ini dan menjatuhkan kami bertiga. Tak hanya itu , sebuah tong besar yang sebelumnya berada di atas tong lainya terjatuh hingga tutupnya terbuka.
Mendengar suara yang keras itu, spontan Binsar mengarahkan senternya ke tong itu.
“t—tangan! Itu tangan!” Teriak Karto saat melihat tangan muncul dari tong itu.
“Mayat? Tong itu berisi mayat!!”
Mendengar ucapan karto kami bergegas menghampiri tong itu dan memperhatikan isinya.
Benar kata Karto, tong ini berisi jasad seseorang. Ini bukan jasad biasa, sebagian tubuh jasad ini dicor dengan semen di dalam tong ini hingga tidak bisa bergerak.
Terlihat juga bekas siksaan di tubuh mayat yang mati dengan mengenaskan itu.
Aku memperhatikan catatan tadi dan menyadari, lokasi pertama adalah tempat kami menebarkan jala tadi.
“Bos brengsek!!!” Teriak Binsar sambil melampiaskan kekesalan dengan menendang barang-barang di sekitarnya.
Wajah panik kembali muncul di wajah kami semua.
“Aku tau wajah jasad itu, dia orang penting yang sering muncul di berita televisi” Ucap Fahri dengan wajahnya yang pucat.
Ini perbuatan yang keji. Rupanya kapal ini juga membawa tugas lain untuk membuang jasad di dalam tong ini ke laut.
Mereka sengaja memilih laut tenggara yang memang dihindari oleh para nelayan.
“Jadi ini alasan kapal ini di kutuk, kita bukan cuma melanggar tabu, tapi juga sudah bertindak kelewatan” Ucap Karto.
Aku terduduk lemas mengetahui kenyataan ini.
Fahri dan yang lainyapun terlihat gelisah sambil memeriksa tong lain yang kemungkinan memiliki isi yang sama.
Melihat semua ini aku sedikit berdoa berharap semua jasad ini bisa mendapatkan ketenangan walaupun mereka mati dengan jasad cara yang mengenaskan.
Di tengah kepanikan itu kami mendengar suara ramai dari luar ruangan. Suara itu seperti sura manusia yang mengikuti suara lebah yang berdengung.
Suara itu terus bersahut-sahutan dan semakin lama terdengar semakin mendekat.
Aku tidak mampu lagi membayangkan apa yang berada di luar. Bila memang mengincar kami, bisa saja makhluk itu sudah ada di luar.
“Kita harus keluar dari kapal ini..”
Fahri mengajak kami berdiri dan mencoba berjalan ke arah pintu.
“Badainya masih besar Fahri, setidaknya kita bertahan sampai besok pagi” Bantah Binsar.
“Awalnya itu rencanaku, tapi dengan semua kenyataan ini tidak ada kepastian kita bisa selamat sampai besok.” Jelas Fahri.
“Aku orang laut.. lebih memilih mati karena ombak laut dari pada dibunuh setan-setan itu”
Entah seketika ucapan Fahri itu membuat kami berpikir hal yang serupa.
Benar ucapanya, sudah ratusan badai kami hadapi dan kami bisa bertahan hingga sekarang. Dibanding harus berhadapan dengan setan-setan itu aku lebih memilih berhadapan dengan badai ini.
Saat itu juga Binsar mengambil benda-benda yang sudah ia kumpulkan dan menghampiri kami menuju pintu.
“Sekoci harusnya ada di geladak belakang, kita bisa kesana lewat ruangan yang tidak jauh dari sini di sana ada tangga” Ucap Binsar yang sepertinya tergerak dengan ucapan Fahri.
Setelah siap kami membuka pintu ruangan dan kembali menghadapi lorong yang disinari dengan cahaya remang-remang itu.
Sayangnya sekarang lorong itu sudah tidak sama seperti yang kami lewati tadi.
Di hadapan kami bersliweran makhluk yang melintas dari satu ruangan-ke ruangan lain yang seolah berjalan namun sebenarnya mereka melayang dan menembus dinding-dinding ruangan itu.
Wajah mereka terlihat datar dengan warna kulitnya yang pucat. Namun setidaknya wajah mereka tidak menunjukan rasa amarah seperti yang terlihat di geladak tadi.
“gimana lanjut?” bisiku pada mereka.
Fahri mengangguk. Saat itu juga Binsar mengambil posisi di depan dan berjalan menuju salah satu ruangan.
Itu adalah dapur kapal , aku memang ingat tempat ini memiliki tangga menuju ke atas .
Perlahan kami mendekat ke arah pintu ruangan itu sambil berhati-hati berharap makhluk-makhluk yang bersliweran di lorong tidak menyadari keberadaan kami.
Aku mengintip melalui kaca dapur kapal untuk memastikan keamanan ruangan itu.
Sialnya, tiba-tiba muncul wajah yang menempel mendekat ke arah kaca pintu itu menatapku dengan aneh.
Hampir saja aku terjatuh namun fahri menahan tubuhku.
Binsar yang sudah tidak bisa lagi menahan emosinya segera membuka pintu dan terdengar suara tubuh yang terjatuh di belakang pintu itu.
Jasad lagi..
Fahri memastikan denyut nadi dari tubuh yang terjatuh di belakang pintu itu dan menggeleng memberikan isyarat kepada kami.
Rupanya wajah yang menempel di pintu itu adalah anak buah kapal yang bernasib sama dengan petugas di ruangan genset tadi, tapi setidaknya dia meninggal dengan tubuh yang utuh.
Sekali lagi kami mendoakan jasad-jasad ini agar setidaknya mereka tenang di alam sana.
Sebuah tangga kecil terlihat di sudut ruangan. Binsar memimpin kami menaiki tangga itu hingga tiba di salah satu bagian di geladak kapal yang sedikit lebih tinggi.
Hujan yang deras seketika membasahi tubuh kami. Sesekali suara petir menggelegar seolah terdengar tepat di sebelah kami.
“Itu disana!” tunjuk binsar.
Kami melihat ke sisi belakang kapal. Terlihat sekoci tergntung di sana. Dari beberapa sekoci yang seharusnya ada di sana, masih ada dua yang tergantung.
“Sepertinya sudah ada yang pergi lebih dulu dari kita”
Ucapan binsar itu semakin menguatkan tekad kami untuk meninggalkan kapal ini.
Sebelum menuju sekoci, aku menoleh memeriksa ke sekitar kapal sementara yang lain masih sedikit bersembunyi. Dan memang kekhawatiran kami benar-benar terjadi.
Makhluk-makhluk pucat itu masih menguasai geladak kapal dan sesekali berpindah tanpa kami tau tujuan mereka.
“Mereka masih di sana, di dekat sekoci juga ada..” Jelasku.
Kami berpikir keras untuk menghindari mereka dan bisa menurunkan sekoci namun tidak ada satupun ide yang kami temukan.
“Harus ada umpan agar kita bisa menurunkan sekoci itu..” Ucapku.
“Tidak ada umpan-umpanan, kita berempat harus kembali hidup-hidup!” Ucap Binsar membantah ucapanku.
Ucapan Binsar itu seketika membuatku merasa bersalah dan mengurunkan niatku.
Tak lama setelahnya terdengar suara langkah kaki yang berjalan terseok-seok melalui tangga keluar.
Aku mengingat warna baju orang yang berlari itu. Itu adalah pria yang tadi melarangku pergi ke atas.
Dia mencoba berlari sekuat tenaga dan sesekali terjatuh. Mataku mencoba mengikuti ke arah mana pria itu berlari yang ternyata ke jasad Bos yang tergantung dengan mengenaskan.
Wajah pria itu terlihat hampir putus asa namun terus memberanikan dirinya.
“Kalian turunkan sekoci, aku coba jemput dia..” Perintahku pada mereka bertiga.
“Jangan gila darno! “ Bantah Fahri.
“Dia orang yang melarangku ke atas tadi, mungkin dia punya rencana” Ucapku. Setidaknya itulah yang kupikirkan.
Tanpa mempedulikan pendapat mereka aku mengejar pria itu dan mengarah ke jasad bos yang tergantung.
Fahri, Binsar, dan Karto bersiap mengambil posisi menurunkan sekoci yang sebenernya mampu menampung lebih dari sepuluh orang itu.
“Ke sini! Kita pergi!” Teriaku pada pria itu namun ia hanya menoleh dan kembali ke tujuanya sementara semua setan itu sudah mulai menatap ke arahku.
Di tengah hujan yang masih turun dengan deras pria itu memanjat tiang dan menggunakan sebilah pisau untuk memotong tali yang menggantung jasad bos.
Tak lama kemudian jasad itu terjatuh di lantai geladak dengan darah yang masih mengalir bercampur dengan air hujan.
Pria itu berlari menghampiriku berlari dengan tersengal-sengal sementara setan-setan itu memperhatikan jasad yang terjatuh itu.
“Lari!” Perintahnya.
Aku membantunya menopang tubuh pria itu yang sepertinya sudah kelelahan.
Sekali saat aku menoleh terlihat di makhluk-makhluk itu seketika berkumpul mengerubungi jasad bos yang sudah mengenaskan.
Mereka menatap dengan penuh amarah, menggenggam hamppir setiap bagian tubuhnya dan mencabik-cabik dengan kutu mereka yang tajam.
“Mereka sedang apa?” tanyaku.
“Sudah, nanti saya jelaskan.. yang penting kira selamat dulu” Ucapnya.
Aku setuju dan segera berlari menuju sekoci yang sudah diturunkan.
Dengan bantuan Binsar dan Fahri kami menaiki sekoci dan melepaskan tali yang menyambungkan sekoci ini dengan perahu.
Saat terpisah dari kapal seketika gelombang besar menghantam sekoci ini menjauh dari perahu. Kami sekuat tenaga berpegangan agar tidak terlempar ke lautan.
Saat itulah keanehan mulai terjadi. Gelombang yang menghantam sekoci seketika mereda. Namun jauh dari pandangan tadi badai dan gelombang laut masih menerjang Kapal besar yang kami tinggalkan.
Dari jauh Kapal itu terlihat seolah bukan lagi kapal yang dimiliki manusia. Puluhan bahkan mungkin ratusan makhluk berwajah pucat berdiri memenuhi seluruh kapal dan memandang ke arah kami.
Saat itu juga aku merasakan keputusan kami sudah tepat untuk meninggalkan kapal itu.
“Apa Masih ada orang lain di perahu itu?” Tanyaku.
Pria itu menggeleng.
“kalaupun ada, mungkin mereka tidak bisa selamat lagi” Jawabnya.
“Saya Ilham.. awak kapal juga seperti kalian, sebelum kalian ke atas saya sudah naik duluan dan melihat setan-setan itu menaiki kapal.”
Kami memperhatikan cerita seseorang yang mengaku bernama Ilham itu. Lambat laun juga saat sekoci ini menjauh dari kapal hujanpun mulai reda dan ombak semakin tenang.
“Lalu bagaimana bos bisa mati?” Tanya Binsar.
“Sejak awal makhluk itu memang mengincar bos dan awak yang sebelumnya melompat ke laut menebar jala.. Saat bos mati sebagian dari kami berinisiatif menggantung jasad bos agar bisa mengalihkan perhatian makhluk itu dan bersembunyi..”
“Lalu kamu ketakutan memperingatkanku supaya tidak naik ke atas?” Potongku.
Ilham mengangguk.
“saat mendengar suara kalian pergi aku menyusul ke atas dan melihat semua teman-temanku mati terbunuh. Saat itu juga aku merasa harus meninggalkan kapal dan naik ke atas.” Lanjutnya.
Fahri mencoba ikut campur dalam perbincangan ini. Sepertinya ada yang membuatnya penasaran.
“Ilham.. apa kamu pegawai kapal ini?” tanya Fahri.
“Bukan, saya baru ikut di pelayaran ini” Jawabnya.
Dari jawaban itu kami mengambil kesimpulan, sepertinya yang diincar oleh makhluk itu hanya anak buah kapal tetap yang bekerja langsung di bawah bos itu.
Kami yang lelah sudah tidak ingin berbicara lebih jauh lagi.
Saat ini kami masih harus menyimpan tenaga hingga menemukan daratan atau menemui kapal yang lewat.
Sayangnya ini laut tenggara, sangat jarang ada kapal nelayan yang berlayar ke sini.
Mungkin sudah sehari semalam kami terombang abing di laut ini. Beruntung Binsar sudah membawa beberapa logistik dan peralatan di tasnya yang membantu kami untuk mencari ikan sementara air hujan dari badai itu bisa kami kumpulkan untuk air minum.
Setelah cukup lama di tengah kesadaran kami tiba-tiba binsar berdiri , mengambil suar dan menembakkanya ke langit. Rupanya ada kapal patroli yang mendekat ke arah kami.
“I—itu kapal! Kita selamat!” Ucap Binsar.
Petugas laut itu curiga dengan kapal nelayan kami yang tidak kembali dan tidak ada kabar. Beruntung kapal itu adalah kapal milik perusahaan yang besar sehingga keberadaanya masih terpantau.
Saat itu kami memulihkan diri dan memberikan keterangan mengenai kejadian yang kami alami. Mulai dari badai datang hingga soal keberadaan makhluk-makhluk halus itu.
Petugas yang sudah seniorpun menanggapi cerita kami. Salah satu alasan laut tenggara dilarang untuk dilayari salah satunya adalah karna adanya mitos keberadaan “suku asli” yang berada di sisi alam lain lautan tenggara.
Jujur aku merasa kaget karena belum pernah mendengar cerita itu. Hampir semua cerita di kapal kami ceritakan kepada petugas. Namun Aku, Fahri, Karto, dan Binsar sepakat untuk tidak menceritakan mengenai jasad di dalam tong itu demi keselamatan kami.
TAMAT
Terima kasih untuk semua pembaca yang sudah mengikuti cerita ini hingga selesai. mohon maaf apabila ada salah kata atau bagian cerita yang menyinggung...
sehubungan dengan berakhirnya kisah ini, kita akan lanjut lagi ke kisah baru
yang kembali ke timeline cerita Danan dan Cahyo yang berjudul :
Darah Hitam Pengabdi Setan (Getih Ireng Abdi Lelembut)
akan tayang pada malam jumat tgl 27/1/22
yang mau baca duluan atau memberi dukungan bisa mampir Karyakarsa ya, sekaligus 2 part.. ^^ karyakarsa.com/diosetta69/par…
• • •
Missing some Tweet in this thread? You can try to
force a refresh
Tegar mengamati tanpa ekspresi. Perlahan ia berkata, “Sekte Pangiwa.”
“Pangiwa?” ulang Ujang, belum paham.
“Aliran kiri. Mereka mencari ‘kesempurnaan’ dengan membakar tubuh dan jiwa lewat hawa nafsu. Makin mabuk, makin hilang kendali, makin jauh dari dunia—mereka percaya, itu mendekatkan mereka pada kekuatan leluhur.”
Ujang menelan ludah. “Jadi ini ‘ibadah’ yang mereka omongin tadi…”
Tegar hanya mengangguk. Sementara itu, suara gamelan makin keras. Nada-nadanya tak wajar—seperti dimainkan tangan yang bukan manusia.
Mereka berdua berpindah posisi diam-diam, mengamati kerumunan itu dari balik gelap. Tiba-tiba, Ujang menunjuk ke panggung.
“Gar… itu Pak Baskoro, kan?”
Tegar menyipitkan mata. Di tengah keramaian, terlihat seorang pria tua dengan jubah gelap, berdiri tegak memantau dari belakang altar. Wajahnya tenang, bahkan tersenyum. Tapi matanya kosong, seperti tak ada jiwa di dalamnya.
“Baskoro… tuan tanah itu?”
Ujang mengangguk. “Dia calon kepala desa. Anak buahnya sering ngirim hasil panen ke pasar. Tapi… aku nggak pernah tahu dia ikut-ikut ginian.”
Tegar tak menjawab. Perhatiannya tertarik pada sosok lain.
Di tengah panggung, berdiri seseorang dengan pakaian lengkap kesenian: rompi tua, celana pendek batik, dan… sebuah topeng kayu. Topeng itu tampak sangat tua, hitam, penuh retakan, dan bermata kosong. Meski wajahnya tertutup, entah kenapa aura sosok itu membuat udara di sekitar terasa lebih dingin.
Sabda Pangiwa bukan sekadar petuah. Ia adalah jalan terlarang, gelap & menggoda, yg konon bisa menuntun manusia pada puncak kesempurnaan. Namun, tak sedikit yg hancur sebelum sampai, tertelan oleh bayang-bayang jalur itu sendiri…”
#bacahorror
“Bercintalah hingga tubuhmu lelah meraba gairah yang hampa, mabuklah sampai setiap tegukan menjadi sia-sia, bersenang-senanglah sampai tawa tak lagi meninggalkan gema. Lalui semuanya… hingga yang fana kehilangan maknanya, dan jiwamu terlepas dari jerat dunia. Itulah saat ketika kesempurnaan menampakkan wajahnya yang sunyi.
Sabda Pangiwa bukan sekadar petuah. Ia adalah jalan terlarang, gelap dan menggoda, yang konon bisa menuntun manusia pada puncak kesempurnaan. Namun, tak sedikit yang justru hancur sebelum sampai, tertelan oleh bayang-bayang jalur itu sendiri…”
Sosok pria misterius muncul dengan membawa sebuah keranda. Dengan tubuh yang penuh goresan mantra dan topeng bujang ganong menutupi wajahnya, ia menantang wahah terakhir Triyamuka Kala..
@bacahorror #bacahorror @IDN_Horor
Beberapa saat sebelumnya…
Seorang pemuda berambut gondrong berjalan perlahan dengan ransel tergantung di satu pundak. Matanya menyapu sekeliling, mengamati jalanan tanah yang lengang dan rumah-rumah panggung yang tampak asing.
Di kejauhan, debur ombak terdengar samar, desa ini berada di pesisir timur, namun Tegar sama sekali tidak tahu namanya.
Seorang pria paruh baya dengan kulit legam baru saja menurunkan jaring dari sepeda motornya. Ia mengernyit saat melihat Tegar.
“Lho… jarang-jarang desa kami kedatangan orang baru,” sapa pria itu ramah.
Tegar menggaruk kepalanya, kebingungan. “Saya juga nggak niat ke sini, Pak. Tadinya numpang truk barang ke Surabaya… tapi ketiduran. Tahu-tahu diturunin di jalan besar sana.”
Pria itu tertawa pendek. “Bisa-bisanya nyasar sampai sini. Nama sampean siapa?”
“Tegar, Pak. Asal saya dari selatan Jawa Timur.”
“Wah, jauh juga. Saya Pak Unggul. Ayo duduk dulu. Jalanan sepi kalau siang begini.”
Tegar duduk di kursi panjang dari bambu di depan rumah Pak Unggul. Angin laut bertiup pelan membawa aroma garam dan sesuatu yang lain—bau amis, atau mungkin asap dari tungku pembakaran.
“Kalau mau balik, besok aja, Mas Tegar,” lanjut Pak Unggul. “Kendaraan umum cuma lewat sampai jam dua belas siang. Setelah itu, sepi.”
“Lho, nggak bisa nyegat bus di jalan besar?”
Pak Unggul tersenyum, matanya menatap kosong ke arah hutan. “Coba aja kalau mau nekad. Tapi masnya pasti lihat sendiri tadi, kan? Jalanan sepi, hutan kiri kanan. Malam... gelap total.”
Tegar terdiam. Ia tidak ingin bermalam di tempat asing, tapi kenyataan memaksanya.
“Sudahlah. Nginep aja di sini. Nggak usah sungkan,” ujar Pak Unggul sambil berdiri.
Siang itu, Tegar memutuskan berjalan keliling desa. Ia melihat kehidupan sederhana para nelayan—menjemur ikan, memperbaiki jaring, memanggul ember-ember besar ke perahu. Tapi ada satu pemandangan yang membuatnya berhenti.
Sebuah perahu kecil merapat ke dermaga, membawa dua ekor ikan tuna raksasa.
Tegar mengernyit. Alat tangkap mereka tampak sangat sederhana. Jangankan alat berat, jala pun tampak rapuh.
Ia mendekat. Di sudut kapal, ia melihat kembang tujuh rupa, kemenyan, dan sebuah tungku tanah kecil. Aromanya menusuk.
“Pak, ikan segede itu ditangkap pakai apa? Nggak mungkin jala, kan?” tanya Tegar, heran.
Seorang nelayan tertawa pendek. “Mas baru pertama kali ke sini, ya?”
“Iya, baru nyasar tadi.”
“Ikan ini nggak bisa dijala atau dipancing, Mas.”
“Lha terus... gimana nangkapnya?”
“Disantet.” jawab nelayan itu tenang sambil menurunkan ikan bersama rekannya.
“Disantet?” Tegar mengulang pelan, tak yakin ia mendengar benar.
“Iya. Disantet dulu, baru ngambang. Habis itu tinggal dinaikkan ke kapal,” jawab nelayan lain dengan nada biasa, seperti menjelaskan cara menanak nasi.
Tegar menyingkir. Tubuhnya merinding. Tapi yang lebih aneh, warga desa tidak tampak takut atau tabu saat menyebut kata ‘santet’. Seolah itu bagian dari rutinitas harian.
Menjelang malam, Tegar kembali ke rumah Pak Unggul. Tapi langkahnya terhenti saat melihat keramaian menuju pantai. Obor-obor menyala, wajah-wajah warga tegang. Tegar mengikuti mereka.
Sesampainya di tepi laut, Tegar melihat beberapa kapal nelayan terdampar di pasir. Suasana sunyi, hanya suara ombak dan isak tangis yang terdengar.
“Mati... mereka semua mati...” gumam seorang ibu dengan suara gemetar.
“Siapa?” tanya Tegar pelan pada orang di sebelahnya.
“Nelayan yang pergi tiga hari lalu. Baru balik... tapi begini.”
Tegar mendekat. Di depan matanya, jasad-jasad nelayan terbujur kaku. Tubuh mereka utuh, tidak ada luka. Namun... mata mereka, hilang. Hanya rongga kosong yang tersisa.
“Tidak ada tanda pukulan, tidak ada luka. Tapi matanya... dicungkil, entah oleh apa…” bisik salah satu warga.
Paklek tiba di desa Ki Satmo. Kemunculan pusaka kadewatan disana membawa petaka yang mengerikan, namun hanya tempat itu yang bisa menghubungkan paklek dengan Pusakayana...
Cahaya putih menyilaukan mata. Dalam sekejap, lambang mandala yang menyatu di telapak tangan Danan dan Cahyo lenyap begitu saja—dan bersama cahaya itu, tubuh mereka terpental kembali ke zaman di mana ratusan nyawa dipertaruhkan hanya dalam satu kedipan mata.
Langit berwarna kelabu. Udara mencekam.
Di hadapan mereka, samar-samar tergambar satu pertarungan yang bergerak begitu lambat yang berat sebelah.
Bli Waja, berdiri tegak meski tubuhnya mulai koyak, ia berusaha menahan satu wajah dari makhluk terkutuk itu, Sang Triyamuka Kala yang berusaha lepas dari penjara waktu Bli Waja.
Danan mendongak, menatap salah satu wajah yang sebelumnya berhadapan dengannya. Kini ia tahu, wajah itu tak lain adalah perwujudan jahat Sang Hyang Talapraja.
Waktu terhenti saat akar-akar dari wajah itu berhenti tepat saat akan menembus roh Nyi Sendang Rangu.
“Danan… kau berhasil?” Sebuah suara akrab menyela keheningan.
Cahyo. Ia muncul dari sisi lain, tubuhnya terluka tapi matanya bersinar.
“Semoga saja… pusaka ini yang dimaksud,” jawab Danan sambil menggenggam erat belati tulang putih di tangannya.
Kembang Getih… Itulah yang semula Cahyo kira sebagai satu-satunya masalah di desa ini.
Sebuah bunga merah darah yang tumbuh diam-diam dari tanah bekas kematian, dan dengan cara yang mengerikan, menghidupkan kembali roh-roh warga yang mati mengenaskan.
Namun kini, Cahyo mulai sadar, ini bukan sekadar kutukan. Ini adalah luka dari masa lalu yang dibiarkan membusuk terlalu lama.
“Apa yang akan kita lakukan sekarang?” Cahyo bertanya, suaranya pelan namun tegas, mencoba memecah kebisuan yang menggantung berat di udara pagi.
Kerta berdiri mematung menatap arah desa, sementara Mbah Wongso duduk bersila di tanah, berusaha mengatur napas yang sejak tadi memburu. Ada duka dalam matanya, namun juga tekad yang mulai menyala kembali.
“Kita nggak mungkin kembali ke desa, kan?” Kerta akhirnya bersuara. “Berarti tujuan kita cuma satu.” Ia menoleh ke arah hutan, tempat dimana Kembang getih mekar.
“Jadi… saat ini kita tetap akan cari cara untuk menghentikan kutukan Kembang Getih itu?” tanya Mbah Wongso pelan.
Cahyo menggeleng pelan. Ada sesuatu yang menahannya untuk ikut menyepakati itu.
“Yakin, Mbah? Walaupun kutukannya dihentikan… aku nggak yakin mereka, para warga itu, akan benar-benar berhenti menyembah iblis Raden Reksomayit itu.”
Ucapannya bukan sinis—melainkan getir. Ia tahu betul bahwa dosa manusia lebih dalam dari sekadar bunga terkutuk. Dosa yang lahir dari rasa takut… atau haus akan pemuas nafsunya.
Mbah Wongso terdiam. Lama. Lalu mengangguk, pasrah tapi mantap.
“Lambang mandala Mbah... muncul demi menghentikan kutukan itu. Kalau itu jalannya, maka itu yang akan Mbah tempuh.”
Rasa sakit menjalar ke seluruh tubuh Cahyo tepat saat ia tersadar. Dadanya sesak, seakan ditindih batu. Napasnya terengah, dan dunia di sekelilingnya berputar perlahan. Dalam kepalanya, gema suara Bli Waja masih terngiang..
“Kau harus mencari cara mengalahkan satu wajah Triyamuka Kala. Waktu di tempat Wanasura akan berhenti—tapi hanya untuk sementara.”
Mata Cahyo menatap ke telapak tangan kanannya. Simbol mandala yang samar-samar berpendar di sana seperti hidup, denyutnya seirama dengan jantung Cahyo. Ia menggertakkan gigi dan berbisik..
“Wanasura... Aku pasti akan kembali sebelum waktu kembali berjalan...”
Cahyo berdiri perlahan. Sekelilingnya gelap dan sunyi. Di balik bayang-bayang pepohonan, rerumputan tinggi bergoyang ditiup angin malam yang dingin menggigit. Jauh di kejauhan, kilauan api samar menyala.
“Desa?”gumamnya, penuh ragu.
Semakin ia mendekat, nyala itu bertambah jelas—bukan cahaya lampu listrik, melainkan obor dan lampu minyak. Cahyo melangkah ke dalam sebuah desa tua yang tersembunyi di antara pepohonan, rumah-rumahnya berjauhan, terhubung hanya oleh jalan tanah setapak yang dipenuhi lumut.
Tak ada kabel. Tak ada suara mesin. Hanya desir angin dan bunyi dedaunan. Cahyo menyadari bahwa ia berada di zaman yang jauh di belakang.
Atmosfer terasa ganjil. Udara seperti lebih berat. Setiap langkah menimbulkan rasa tidak nyaman. Saat itulah ia mulai melihatnya—satu per satu...