TEROR PENGHUNI LAUT MALAM
Part 1 - Tabu Laut Tenggara
Upload pagi karena kemungkinan nanti bakal sibuk seharian.
cerita ini cuma 2 part kok, kali ini latar ceritanya di luar pulau Jawa, semoga saya bisa membawakan dengan baik. @bagihorror @mwv_mystic @IDN_Horor @ceritaht
“Darno ayo cepetan naik… kapal udah mau berangkat” panggil Fahri teman sekamarku di kapal pencari ikan untuk pelayaran kali ini.
Aku mematikan rokokku dan menyusul Fahri menaiki kapal.
“Perlengkapanmu udah dicek?” tanya Fahri padaku.
“perlengkapan apa to? Kan Cuma pelayaran kayak biasanya..” jawabku dengan sedikit cuek.
Bukannya sombong, aku memang termasuk anak buah kapal senior yang sudah puluhan kali ikut berlayar.
“bukan gitu .. kapal yang kita naiki ini kayaknya udah agak tua, jadi kayaknya perlu cek-cek safety tools juga” Ucap Fahri.
“ Iya.. tenang”aku tak menghiraukan Fahri dan menuju ke kamar untuk menaruh barang.
Tak lama setelahnya suara sirine kapal terdengar, tanda kapal sudah mulai berlayar.
Kami mulai melakukan tugas-tugas kami tanpa disuruh, sudah sewajarnya hal ini dapat kami lakukan karena hampir sebagian awak kapal yang mengikuti pelayaran ini adalah awak senior.
Ada yang memeriksa ruang pendingin, membantu di ruang mesin, atau sepertiku memeriksa peralatan jaring penangkap ikan di geladak kapal.
Sebelum sempat menyelesaikan pekerjaanku, tiba-tiba terdengar suara dari salah satu awak kapal dengan menggunakan pengeras.
“Kumpul! Semua kumpul! ada briefing dari bos!” Ucap salah seorang anak buah kapal melalui pengeras suara di tengah-tengah pekerjaan kami.
Kami segera meninggalkan pekerjaan kami dan berkumpul di geladak.
“Perhatian semuanya! Seperti yang sudah kalian tau, sudah beberapa pelayaran yang kita lalui tidak mendapatkan hasil yang maksimal..”
Ucap Bos yang sepertinya sudah bersiap menjelaskan sesuatu.
“Jadi kali ini kita akan berlayar ke arah tenggara.
Arah laut yang masih jarang disentuh nelayan lain… “
Laut di tenggara pulau kami memang jarang didatangi nelayan, selain karena medan karangnya yang berat , rumor mengenai hal ghaib di sana juga banyak beredar.
“Untuk navigasi saya sudah membawa navigator yang handal, jadi tidak perlu khawatir, fokus dengan tangkapan kalian” Lanjut bos.
Kami semua menyetujui tanpa ada yang berani membantah.
Aku sendiri sebenarnya penasaran dengan kondisi laut di tenggara. Selama pelayaran, aku belum pernah mendapat kesempatan ke sana. Semua itu karena memang tidak ada yang berani melanggar aturan tak tertulis ini.
Hari mulai malam, suhu air sudah mulai rendah, kami bersiap menebarkan jala sesuai petunjuk.
Dua orang anak buah kapal turun ke air, mereka membantu memasang posisi jala dari sisi yang berbeda.
Setelah semua siap,mesin kapal pun dimatikan. Setelah menyelesaikan tugasnya kedua anak buah kapal yang terjun kelautpun berenang kembali untuk naik ke kapal.
“Bener, di sini banyak ikanya” Ucap mereka yang menyaksikan sendiri keberadaan ikan-ikan di bawah laut yang sudah menjadi target kami.
Mendengarnya kami tersenyum dan menunggu hingga ikan-ikan itu terkurung di Jala yang kami sebar.
Beberapa jam kami menanti hingga benar-benar terlihat jaring mulai terasa berat.
…
“Tariiik!” Suara salah seorang anak buah kapal terdengar.
Kami segera mengambil posisi untuk mengatur menarik jaring yang telah terisi ikan dan menarik secepat mungkin dibantu dengan sebuah mesin penggulung yang sebenarnya jauh lebih berguna dari tenaga kami.
Sayangnya tak lama tiba-tiba jala kami terasa berat seperti menyangkut pada sesuatu.
“Tarik Darno.. tarik!” Ucap Fahri yang berada di sebelahku
“Nggak bisa .. nyangkut” jawabku.
Kami mencoba memperbaiki jaring, namun tiba-tiba tetesan air hujan mulai membasahi tubuh kami.
“Yah… hujan , masih bisa dapet ikan gak ini…” keluh Fahri padaku.
Hujan turun semakin deras, dan setelahnya tanpa dapat ditebak ombak datang dan melemparkan perahu dengan kencang, kami semua berhamburan memasuki kapal.
Sebagian awak kapal melabuhkan jangkar di tengah laut yang tiba-tiba segera mengganas menyusul derasnya hujan datang. Kami berharap jangkar ini mampu mempertahankan posisi kapal agar tidak terbawa gelombang tanpa arah.
Sayangnya kesialan kami belum selesai, sebuah sambaran petir membakar tiang kapal dan mematikan seluruh listrik yang ada di kapal.
Sebelum masuk ke dalam, sekelebat aku seolah melihat ada sesosok bayangan yang memanjat masuk ke kapal ini dari arah laut.
Aku mengira dia adalah awak kapal yang masih tertinggal di air untuk memperbaiki jaring, namun saat aku ingin keluar untuk membantunya sosok itu sudah tidak ada di sana.
Suasana panik saat itu membuatku memutuskan untuk melupakan kejadian itu dan melanjutkan masuk menuju kabin.
Malam ini dilalui tanpa adanya aliran listrik. Beberapa awak kapal yang memang bertugas untuk melakukan perawatan di bagian kelistrikan masih berkutat di ruangan genset.
Hening… Suasana di kapal ini seketika berubah menjadi hening. Hanya suara deburan ombak yang berani mengisi keheningan ini.
Dengan ombak setinggi ini tidak ada yang berani keluar untuk melakukan aktivitas di luar sana.
Kami hanya berharap badai di tempat ini segera berakhir dan kami masih memiliki kesempatan untuk mencari hasil tangkapan.
Aku mencoba untuk tidur dengan kondisi seperti ini. Namun sepertinya kali ini aku membutuhkan waktu lebih lama untuk tertidur.
Di tengah rasa kantukku, samar-samar terdengar suara pintu terbuka perlahan. Dengan setengah sadar aku membuka mata dan memastikan teman sekamarku masih berada di kasurnya.
Awalnya aku ingin membiarkan saja pintu yang terbuka itu dengan rasa kantuk yang telah menguasaiku. Namun gelombang laut membuat pintu itu terus berayun dan membuat suara gaduh.
Aku turun dari kasurku, berjalan perlahan dan menyentuh daun pintu untuk menutupnya. Tetapi sesuatu yang aneh melintas dengan cepat di depan mataku.
Seseorang yang belum pernah kami lihat melintas di depan pintu kamarku dengan wajah pucat dan tanpa ekspresi sama sekali. Gerakanya tidak seperti sedang berjalan layaknya manusia yang berjalan di kapal dengan guncangan ombak.
Ia seperti melayang…
Rasa kantuku hilang seketika bersamaan dengan rasa takut yang seketika muncul menyelimuti tubuhku.
Aku membutuhkan waktu untuk meyakinkan diri untuk menoleh ke arah lorong kamar memastikan siapa yang melintas di depanku tadi hingga akhirnya aku menoleh ke arah perginya sosok itu.
Tidak ada siapapun yang terlihat di sana selain kegelapan yang menyelimuti lorong kabin.
Tapi anehnya semua pintu kamar kabin anak buah kapal terbuka seperti yang terjadi di kamarku tadi.
Mataku tertuju pada sebuah cahaya yang muncul dari sebuah kamar yang ku tahu itu adalah kamar Fahri.
Kemungkinan dia sudah mempersiapkan lampu emergency untuk keadaan seperti ini dan saat itu juga aku memutuskan untuk menghampirinya.
…
“Jangan…” Terdengar suara seperti seseorang yang menangis tak jauh dari tempatku berada.
“Jangan naik ke atas…”
Aku menoleh ke arah sebuah kamar gelap yang kulewati. Suasananya tidak jauh berbeda dengan kamarku.
Di sana terlihat seseorang sedang meringkuk ketakutan di lantai tanpa ada awak kabin lain yang berada di sekitarnya.
Saat aku mencoba mendekat, tiba-tiba pria itu segera berlari ke arah pintu dan membantingnya seolah melarangku untuk mendekat.
Samar-samar masih terdengar suara pria yang menahan pintu itu dari dalam mencoba memperingatkanku.
“Jangan naik ke atas… kita sudah melanggar tabu” ucapnya dengan nada yang ketakutan.
Aku mencoba mencerna apa yang ia maksud namun kupikir aku akan membicarakan ini dengan Fahri dan segera meninggalkan kamar itu dengan meraba-raba tembok kapal yang memanduku berjalan di kegelapan.
Sekali lagi.. belum jauh aku berjalan dari kamar tadi, aku merasakan ada sesuatu seperti memperhatikanku dari belakang. Aku mencoba tidak memperdulikannya dan terus melanjutkan langkahku.
Sayangnya rasa merinding yang muncul seketika seolah memastikan ada sesuatu yang memperhatikanku di balakang sana.
Dengan gemetar aku memutar tubuhku untuk memastikan sosok itu.
lorong yang tadi siang terlihat biasa saja kini terlihat mengerikan di tengah kegelapan, seolah lorong ini terlihat tidak memiliki ujung.
Jauh dari dalam kegelapan aku melihat sebuah pergerakan yang mendekat.
Manusia? Bukan…
Sesuatu yang berukuran pendek , tidak lebih tinggi dari lututku. Namun benda itu bergerak tanpa ada pengaruh guncangan di kapal ini.
Aku berusaha berpikir bahwa itu adalah tikus atau hewan lain. Atau setidaknya sebuah benda yang bisa bergerak.
Sayangnya prasangkaku musnah bersama kemunculan sesosok makhluk yang mendekat itu.
…
Kepala…
Sebuah kepala makhluk berambut panjang dengan wajahnya yang pucat muncul dari lantai lorong kabin seolah melayang mendekatiku.
Kepala yang semula hanya terlihat dari hitung hingga rambut perlahan semakin tinggi memamerkan tawanya yang lebar hingga ujung bibirnya hampir menyentuh telinganya.
Seketika tubuhku lemas dan terjatuh. Belum pernah aku melihat hal seperti ini sebelumnya.
Aku mencoba berdiri namun beberapa kali aku terjatuh kehilangan tenaga dan sialnya kepala itu semakin mendekat ke arahku.
“Se—setan! Tolong!”
Aku berusaha mencari pertolongan dari siapapun yang kuharap bisa mendengarkan suaraku namun sepertinya sama sekali tidak ada tanda-tanda seseorang yang mendengar.
Saat itu juga air mataku menetes menahan setiap kengerian yang menyelimuti tubuhku.
“Pergi! Tolooong! Pergii!” Aku sudah tidak tahu lagi dengan apa yang sudah kuucapkan.
Namun di tengah kesadaranku yang berada diambang-ambang, aku merasakan seseorang menarik tubuhku ke belakang.
Entah apa yang terjadi setelahnya, tiba-tiba aku sudah berada di sebuah kamar dengan sedikit cahaya dengan tangan yang menutup mulutku seolah bermaksud menahanku agar tidak berteriak.
Mereka yang menarikku segera mematikan lampu emergency di kamarnya dan menatap ke arah pintu kamar yang masih terbuka.
Kami menunggu dengan degup jantung yang terus berdetak dengan tidak tenang.
Mulutku tertutup, namun saat itu mataku masih bisa melihat dengan jelas sesosok kepala pucat yang melintas di depan pintu kamar kabin tepat dihadapanku.
Nafasku terengah-engah seolah tidak percaya dengan apa yang kulihat.
“Ssst… tenang dulu, biar aman dulu”
Terdengar suara seseorang yang kukenal berada diantara orang-orang yang menarikku. Itu adalah suara Fahri.
Mendengar suaranya aku menjadi cukup tenang. Aku mencoba mengatur nafasku dan mencoba mengumpulkan keberanianku.
Melihatku sudah mulai tenang, seseorang yang menahanku melepaskan tanganya dan berjalan mencoba mengintip ke arah luar.
Ia mencoba menutup pintu kamar. Namun entah mengapa pintu itu selalu terbuka dengan sendirinya.
“Kamu ngapain keluar kamar?” Ucap Fahri.
Aku membalikan badan, sudah ada dua orang lain di kamar ini selain Fahri.
“I—ini ada apa sebenarnya Fahri? Makhluk-makhluk itu apa?” Tanyaku.
Fahri menoleh kepada kedua temanya yang sepertinya juga tidak memiliki petunjuk.
“Kami juga nggak tahu Darno, seumur-umur ikut kapal orang belum pernah ada kejadian seperti ini” Jelas Fahri.
“Saya Karto ini teman saya Binsar.. kami kesini karena melihat kamar Fahri ada cahaya” Jelas seseorang yang bernama Karto.
Sepertinya dia yang tadi menyelamatkanku ke kamar ini.
“Terus teman sekamarmu mana Fahri?” Tanyaku.
“Entah, tadi dia bilang mau ke atas mengecek sesuatu.. tapi sudah beberapa jam dia tidak kembali” Jawab Fahri.
Seketika aku teringat perkataan seseorang dari salah satu kamar tadi yang melarangku untuk naik ke atas. Saat itu juga aku merasakan firasat tidak enak dengan teman sekamar Fahri yang naik ke atas.
“Tadi.. di beberapa kamar sebelum kamar ini, ada awak kabin yang nangis dan bilang ke saya jangan naik ke atas..” Ceritaku pada mereka.
“Maksudnya gimana No?”
“Katanya kita sudah melanggar hal tabu… “
Saat itu juga Fahri dan kedua orang lainya saling bertatapan , terlihat raut wajah kekhawatiran terpampang di wajah mereka.
“Fahri, siapin barang-barang yang kemungkinan bisa terpakai.. senter, pisau, tali.. atau apa. Kita cek keadaan yang lain” Ucap Binsar yang terlihat paling berani di antara kami.
Fahri mengangguk dan mulai mempersiapkan tas dan mengambil barang-barang dari lokernya.
Beruntung Fahri masih bisa menemukan satu buah senter lagi sementara lampu emergency bisa kami simpan untuk hal darurat lain.
Dengan sigap kami membantu memasukan barang-barang itu ke dalam tas dan bersiap untuk meninggalkan kamar.
Sesekali suara sambaran petir terdengar memekakan telinga kami.
derasnya hujan yang turun menimbulkan suara bising yang membuat kami harus sedikit berteriak untuk berbicara satu sama lain.
“Gimana ada orang?” Tanya Binsar.
Karto yang sedang membuka pintu kamar menggeleng dan menunjukan sebuah kamar kosong dengan barang yang sudah berantakan.
“Nggak ada, mungkin dia sudah pergi duluan” Jawab Karto.
Kami melanjutkan perjalanan kami dan memeriksa satu persatu kamar yang kami lewati.
Tak seperti yang kami duga, kamar-kamar yang kami kira masih dihuni awak kapal ternyata sudah kosong.
Berarti sedari tadi hanya kamar di lorong ujung tempatku dan Fahri istirahatlah yang masih baru menyadari keadaan ini.
Sekilas aku teringat seseorang yang memperingatkanku tadi untuk tidak naik ke atas.
Tetapi sepertinya akan percuma bila aku menjemputnya untuk membawanya ke atas tempat yang ia larang itu.
Dengan hanya bermodalkan sebuah senter kami melanjutkan kami. semakin lama kami berjalan , semakin banyak hal aneh yang kurasakan.
Salah satu yang paling mengganggu adalah suara tangis seorang wanita yang tersamar oleh suara deburan ombak.
Jelas itu tidak biasa. Tidak ada awak kapal wanita di sini.
Entah apa Fahri dan yang lain mendengar hal serupa atau tidak, atau mungkin mereka juga memutuskan untuk pura-pura tidak mendengarkan seperti yang kulakukan.
“Fahri , kalian tunggu di sini sebentar…” Ucap Binsar yang seperti bersiap pergi ke suatu tempat dengan membawa satu-satunya senter.
“Heh.. mau ke mana!?” Tanya Fahri.
“Itu.. kamar mandi, sebentar saja.. dari tadi sudah kutahan” Jawab Binsar.
“Bisa-bisanya kamu di waktu begini..” Ucap Karto.
“Aku ikut…” Ucap Fahri.
Aku dan Karto serentak menatap Fahri, dengan adanya dua orang yang bertujuan sama, sepertinya aku dan Karto harus mengalah. Toh sebenarnya itu juga hal yang lumrah.
Bukan tanpa alasan aku memilih untuk menunggu di luar. Di film-film yang kutonton kamar mandi adalah salah satu tempat favorit kemunculan makhluk-makhluk halus yang berniat mengganggu.
Di tengah lamunanku dan Karto suara air kamar mandi terdengar seperti menandakan Binsar dan Fahri sudah menyelesaikan urusannya.
Ternyata Binsar dan Fahri memang tidak menghabiskan waktu lama di kamar mandi dan seperti terburu-buru keluar dari tempat itu.
“Sudah?” Tanyaku.
Fahri mengangguk, namun aku seperti melihat ada yang berbeda dari wajah mereka berdua.
“Kamu nggak papa kan Binsar?” Tanya Karto yang sepertinya juga merasa aneh dengan tingkah laku mereka berdua. Seperti sudah terjadi sesuatu di kamar mandi tadi.
Kami memutuskan untuk tidak bertanya lebih jauh, mungkin saja mereka memang sengaja tidak menceritakan untuk mencegah hal-hal buruk terjadi lagi.
Kami berjalan perlahan di tengah kegelapan.
Sesekali aku menoleh kebelakang memperhatikan setiap jalan yang kami lalui di tengah kegelapan. Entah setelah selesai dari kamar mandi tadi aku merasakan udara lebih dingin dari biasanya.
Selang beberapa lama kami mendengarkan suara seperti pintu yang tertutup. Bukan suara ringan seperti pintu kamar, melainkan suara pintu yang lebih besar seperti pintu kamar mandi.
Tak lama setelahnya sebelum mencapai tikungan lorong , Karto menarik lenganku dan menahanku untuk mengikuti Fahri dan Binsar.
“Ke—kenapa To?” Tanyaku.
“Ssst… kita mundur dulu” Ucap Karto sambil berbisik.
“Terus Fahri sama Binsar gimana?” Tanyaku berbisik mengikuti nada suara Karto.
Karto memberiku isyarat untuk menoleh ke belakang. Samar-samar dari sana terlihat cahaya senter yang menyorot ke dinding Lorong.
Seketika aku teringat, tadi senter dipegang oleh Binsar. Tapi kenapa sepanjang perjalanan dari kamar mandi tadi Binsar tidak menyalakan senternya.
Aku mulai mengerti maksud Karto dan segera mundur ke belakang tepat ke arah cahaya itu.
“Kalian kemana? Kok ninggalin kita?” Tanya Fahri yang tiba-tiba muncul dari arah belakang kami.
Seketika keringat dingin mengucur deras di tubuhku.
“Emangnya kalian bisa liat jalan tanpa senter?” Lanjut Binsar.
Karto hanya terdiam melihat kemunculan Binsar dan Fahri. Sepertinya ia pun mencoba menahan rasa takutnya sebelum menceritakan apa yang terjadi.
“Bu—bukanya kalian sudah keluar dari kamar mandi sejak tadi” Tanyaku.
Fahri dan Binsar saling menatap.
“ini kita baru selesai, susah juga gelap-gelapan di kamar mandi” Jelas Fahri.
“Emang ada apaan?”
Karto yang terlihat pucat mencoba mengatakan apa yang terjadi tadi.
“tadi kami melihat kalian berdua sudah keluar dari kamar mandi, jadi kami ngikutin.. pas di tikungan lorong kami melihat cahaya senter yang dibawa Binsar dari belakang. Dari situ baru aku sadar ada yang aneh..” Jelas Karto.
Binsar terlihat menelan ludahnya, namun sepertinya ia masih bisa untuk menahan rasa takutnya.
“Ya sudah.. kita lanjutin perjalanan dulu, kita pastiin dulu ke atas.. coba cari Bos atau petugas di atas” Lanjut Binsar yang segera mengambil posisi terdepan dengan senternya.
Aku mempersiapkan nyaliku sebelum akhirnya berjalan mengikuti Binsar yang berjalan di depan kami.
Baru saja berjalan.. belum ada beberapa menit, tiba-tiba Binsar terhenti di tikungan lorong tempat kami tari berhenti.
Wajah Binsar terlihat terpaku menatap sesuatu yang tertutup tikungan lorong dari arah pandanganku.
Apa mungkin mereka masih ada di sana?
Wajah Binsar terlihat pucat. Aku dan yang lain segera mempercepat langkahku menghampiri Binsar.
Benar, mereka masih ada di sana..
Berdiri tak bergerak menuju tangga yang berada tidak jauh dari hadapanya.
“I—itu mereka!” Ucapku dengan suara yang gemetar.
Dari belakang wujud mereka hampir tidak ada bedanya dengan Fahri dan Binsar. Namun saat cahaya senter itu menyinarinya, sontak mereka menoleh ke arah kami berempat.
Pucat… Wajahnya sungguh pucat, kayaknya kulit manusia yang sudah terendam berhari-hari di lautan. Hampir seluruh bagian wajahnya menyerupai Binsar dan Fahri namun ada sesuatu yang berbeda.
Aku mencoba memikirkan apa perbedaan dari wajah mereka namun aku belum menyadarinya.
Melihat kejadian itu Aku menarik tubuh Binsar dan yang lain.
“Lari… !” Ucapku.
Aku memandu mereka kembali menuju sebuah kamar dengan pintu yang terbuka di dekat kami. di situ kami menutup pintu rapat-rapat dan kembali mematikan lampu senter.
Entah makhluk itu mengikuti kami atau tidak, tapi sepertinya kami sepakat untuk tidak bersembunyi dalam waktu yang lama.
“Kita nggak bisa begini terus… Kita berempat! Kalau ketemu makhluk begituan lagi, Tabrak aja!” Ucap Binsar dengan logatnya yang khas. Sepertinya dia sudah lupa wajah pucatnya saat tadi melihat wajah makhluk itu.
“Aku takut… tapi aku setuju sama Binsar, kalau begini terus kita bisa terjebak di sini” Lanjut Fahri.
Aku pun sama. Kami berempat, seharusnya kami berani menghadapi apapun yang muncul.
Setelah mempersiapkan nyali, kami kembali keluar. Kali ini masing-masing dari kami menggenggam sesuatu untuk melindungi diri mulai dari pisau lipat dan pipa besi pendek yang kami temukan di tempat kami bersembunyi.
Kami berjalan perlahan menuju tikungan lorong tempat kami berpapasan dengan dua orang yang menyerupai Fahri dan Binsar. Beruntung, Kedua makhluk itu sudah tidak ada di sana.
Sebuah tangga kecil terlihat sudah berada di hadapan kami. Di atas lantai adalah ruangan yang setara dengan geladak kapal. Di sana merupakan kamar petugas pengawas dan beberapa pihak yang bertanggung jawab dengan pelayaran ini.
Kami bergegas menaiki tangga itu satu persatu hingga mencapai lorong besar yang menunjukan pintu-pintu ruangan yang berhadapan langsung dengan jendela kapal.
Di sini aku bisa melihat dengan lebih baik dari cahaya bulan yang masuk melalui jendela.
Namun kami masih membutuhkan penerangan dari senter yang dibawa oleh Binsar.
“Fahri… di sini sepi juga, perasaanku nggak enak” Ucapku.
Fahri tidak menjawab. Diamnya menjelaskan bahwa perasaan yang mereka rasakan tak jauh berbeda dari yang kami rasakan.
Sesekali hantaman ombak menggoyahkan kapal ini sehingga kami harus berpegangan pada sebuah tiang.
“Jadi sekarang kita ke arah mana?” Tanyaku pada yang lainya.
“Mungkin kita coba ke ruang kendali dulu” Jawab Fahri.
Aku setuju. Namun sebelum kami pergi , aku melihat Karto terpaku di depan kaca jendela yang basah dengan derasnya hantaman air hujan.
“Ki—kita jangan keluar” Ucap Karto. Kali ini giliran wajahnya yang terlihat pucat.
Sesuatu pasti sedang terjadi di luar sana. Dengan segera aku menghampiri Karto dan mendekat ke arah kaca jendela yang basah itu.
Tepat saat melihat keluar ke arah geladak melalui kaca jendela ini, saat itu juga aku merasa ragu bisa selamat dari tempat ini.
Berbeda dengan kondisi di dalam sini, di luar terlihat banyak orang yang sedang berdiri di geladak.
Mereka tersebar hampir di setiap sisi kapal.
Bukan… mereka bukan awak kapal. wujudnya benar-benar seperti manusia dan berpakaian layaknya manusia biasa seperti kami.
Namun wajahnya pucat, posisi berdirinya yang tidak terpengaruh oleh goyangan kapal yang sangat kencang membuatku memastikan bahwa mereka bukanlah manusia biasa.
Ah iya… aku ingat sesuatu. Perbedaan dari makhluk yang menyerupai Fahri dan Binsar tadi juga terdapat di makhluk-makhluk itu.
Tidak ada belahan di antara bibir dan hidung makhluk-makhluk itu. Sekilas, perbedaan itulah yang paling jelas diantara mereka dan manusia biasa.
Sayangnya bukan itu yang seharusnya kukhawatirkan.
Saat ini di tengah gelapnya malam dan derasnya hujan semua makhluk itu sedang menatap ke satu arah yang sama dengan wajah penuh amarah.
Suara petir dan kilatan cahaya memperjelas wujud mereka yang sedang menatap ke arah kami.
“Pe—pergi! Kita pergi!” Ucap Binsar.
“Tapi kemana?” Tanya Fahri yang juga terlihat panik.
Aku tidak bisa berpikir apa ada tempat aman di kapal ini? Setidaknya sampai kita bisa bertahan hingga besok pagi.
“I—itu! Lihat itu!”
Kali ini Karto yang masih ketakutan menunjuk ke satu arah di luar jendela.
Perlahan kami berjalan kembali ke arah jendela dan menatap ke arah yang ditunjukan oleh Karto.
Masih dengan tatapan mengerikan dari makhluk-makhluk itu. Namun bukan itu yang ditunjukan oleh Karto.
Melainkan sesosok jasad yang tergantung terbalik di salah satu tiang kapal dengan tambang yang terikat di kakinya.
Jelas jasad itu tidak mati dengan cara yang wajar. Itu semua terlihat dari tubuhnya yang tergantung terbalik dengan darah segar mengalir dari setiap lubang di wajahnya.
“I—itu bos?” Ucap Fahri yang masih tidak percaya.
Aku mengangguk sementara Binsar yang sebelumnya masih mampu menahan rasa takutnya kini terjatuh lemas seolah satu-satunya harapan kami untuk selamat sudah tergantung di sana.
Entah apa yang akan terjadi lagi di malam ini. Yang pasti kami harus bersiap menghadapi makhluk-makhluk itu yang perlahan mendekat menghampiri kami.
Bersambung part terakhir - Jasad Di dalam Tong
(Update malam jumat - 20/1/2022)
Terima kasih telah mengikuti part ini hingga selesai. Mohon maaf apabila ada kesalahan dalam penulisan ataupun bagian cerita yang menyinggung.
Bagi yang ingin membaca part akhir duluan atau sekedar memberi support bisa mampir ke @karyakarsa_id ya..🙏
Sambil nunggu selesai di upload nanti malem, bisa mampir ke Radio Tengah Malam dengerin saya sama @Wakhidnurrokhim ngoceh bahas pesugihan...
Sekalian mau minta tolong temen2 buat subscribe , like atau ninggalin komen ya ☺️🙏
Terima kasih
Makhluk yang menyerupai manusia, tanpa garis belahan diantara bibir dan hidungnya. Aku pernah mendengar cerita mengenai-makhluk makhluk ini di beberapa tempat seperti di pedalaman hutan sekitar danau.
Bagi mereka yang memilik “kemampuan” konon mereka bisa melihat bahwa makhluk ini memiliki peradaban sendiri.
Tapi ini di tengah laut, Jauh dari tempat-tempat yang sering di ceritakan itu.
“Sekarang kita harus gimana?” Tanya Fahri yang masih bingung dengan keadaan ini.
“Ki—kita ga nyoba nolongin bos, siapa tahu dia masih bisa di tolong” Ucap Karto.
“Gila kamu ya! Itu sama saja kita nyemplung ke kolam buaya! Buaya masih bisa dibunuh pake senjata.. nah makhluk-makhluk itu gimana?” Bantah Binsar.
“Sudah , Kita pergi dulu.. kita cek awak kapal yang lain”
Aku segera menarik tubuh mereka menuju lorong lagi setidaknya kami berusaha menjauh dari makhluk-makhluk itu.
Di ujung dari lorong ini adalah ruangan genset, kami memutuskan untuk menghampiri mekanik yang sedang membetulkan genset kapal.
Suasana lorong begitu sepi, tidak terdengar suara awak kapal lain.
“Binsar, Karto ada kenalan kalian yang tugas di lantai ini?” Tanyaku.
Binsar dan Karto menggeleng.
“Aku dan Karto awak cabutan, sisanya sepertinya awak tetap kapal ini” Jawab Binsar.
Rupanya mereka juga sama seperti aku dan Fahri hanya awak buah kapal tambahan yang biasa dipekerjakan untuk pelayaran dalam jangka waktu lama.
Ruangan genset terletak di ujung lorong ini berbeda dengan di bawah, lorong ini memiliki lampu emergency yang menyala redup dari ujung ruangan genset itu.
Kami berjalan perlahan, keberadaan sedikit cahaya yang menerangi lorong memberikan sedikit keberanian kepada kami untuk menuju tempat itu.
Sesekali aku menoleh ke arap ruangan-ruangan yang kami lewati dan mengintip melalui jendela kaca, berharap ada orang lain yang bisa membantu kami. Namun sayangnya tidak ada seorangpun yang bisa kutemukan.
“Harusnya ada lebih dari lima puluh orang kan di kapal ini? Kenapa tidak ada yang terlihat lagi ya?” Tanya Fahri.
Tidak ada yang berani menjawab pertanyaan Fahri, terutama setelah kami melihat kondisi bos yang sudah tak bernyawa di luar sana.
“Aku hanya berharap mereka masih hidup seperti kita” ucapku yang dibalas dengan tatapan mereka bertiga.
Memang itulah kekhawatiran kami saat ini, sepanjang perjalanan tadi kami tidak menemukan seorangpun manusia yang berpapasan dengan kami.
“Itu ruanganya, yang ada lampu warna merah” Jelas Karto.
Fahri berjalan maju mendekat dan memegang gagang pintu yang terbuat dari besi itu.
“Hati-hati Fahri, diintip dulu.” Ucapku.
Fahri membuka sedikit pintu ruangan genset. Walau sudah sehati-hati mungkin namun suara engsel pintu yang sudah berkarat tetap menimbulkan suara.
“Halo!! Ada Orang?” Teriak Binsar.
Kami berpencar ke ruangan yang cukup luas itu. Rupanya ruangan ini juga bersebelahan dan menyambung dengan gudang peralatan.
“Bang… darurat bang, ada orang di sini?” Teriak Binsar lagi. Namun tidak ada satupun suara yang menjawab teriakanya.
Fahri menemukan lampu emergency dan berinisiatif menyalakanya. Seketika rungan menjadi lebih terang dan kami dapat melihat dengan lebih baik.
Dengan cahaya yang cukup jelas, tiba-tiba mataku tertuju pada kumpulan tong-tong besar yang terbuat dari bahan besi kaleng di sudut ruangan. Tong-tong itu hampir memakan seperempat dari ruangan ini.
“Fahri! Darno! Kesini!” Ucap Binsar dengan nada suara yang sedikit bergetar.
Aku dan Fahri segera berlari menghampirinya. Binsar menunjuk ke salah satu celah antar mesin dan menyorotkan senternya.
Seketika aku terjatuh saat melihat sosok yang ditunjukan oleh cahaya senter Binsar.
Jasad seorang laki-laki yang masih berpakaian seragam mekanik , lengkap dengan sarung tangan karet dan sepatu bootnya terlihat seolah sedang bersembunyi di celah mesin itu.
Namun bukan itu saja yang mengerikan. Kami bisa memastikan ia sudah mati karena di wajahnya sudah tiadak ada lagi bola mata dan digantikan dengan aliran darah di pipinya yang sudah mengering.
“di—dia sudah mati?” Tanya Karto yang menyusul kami memperhatikan jasad itu.
“Sudah, sekarang kita jangan pikirkan yang lain.. yang penting bagaimana cara kita bisa selamat”
Binsar mencoba menguatkan kami yang semakin ketakutan setelah melihat hal ini.
Suara ombak menderu menemani kami yang masih belum bisa memastikan apa yang harus kami lakukan setelah ini.
Binsar membongkar barang-barang di sekitar gudang dan memisahkan beberapa benda seperti suar, senter, dan benda-benda yang mungkin saja kami butuhkan.
“Sebenarnya apa yang terjadi, kenapa makhluk-makhuk ini bisa mengincar kapal ini?” Ucapku yang terduduk lelah di salah satu sudut ruangan ini.
“Sudah, aku tidak peduli… yang penting bagaimana cara kita bisa selamat dan tidak mati seperti mereka.” Jawab Karto.
Ucapan Karto tidak ada yang salah, namun tetap saja aku masih merasa penasaran.
Di tengah lamunanku aku melihat sebuah buku yang cukup tebal. Seingatku itu buku yang sering dibawa oleh bos. Dengan segera aku berdiri dan mengambilnya.
Itu adalah sebuah catatan pelayaran singkat yang sudah dijalani oleh bos selama ini. Aku membacanya hingga mencapai lembar yang menunjukan tanggal kemarin.
Di halaman itu terselip sebuah kertas bergambar peta lautan. Sebuah catatan kaki tertulis di bawah gambar peta itu.
Note : Buang Tong-tong itu di tiga tempat yang berbeda
Seketika aku melihat peta itu kembali dan melihat beberapa tempat sudah ditandai dengan tanda silang. Ketiga tempat itu masih berada di sekitar laut tenggara.
“Fahri, binsar, Karto.. coba liat ini” Panggilku.
Mereka menghampiriku dan segera memperhatikan buku catatan yang kutunjukan.
“Rupanya Bos ada tujuan lain ke laut ini.” Jelasku.
“Memangnya isi tong itu apa? Limbah?” Tanya Karto.
“Nggak tahu, nggak tertulis di sini” Balasku lagi.
Tak berselang lama tiba-tiba sebuah ombak besar kembali menghantam kapal ini dan menjatuhkan kami bertiga. Tak hanya itu , sebuah tong besar yang sebelumnya berada di atas tong lainya terjatuh hingga tutupnya terbuka.
Mendengar suara yang keras itu, spontan Binsar mengarahkan senternya ke tong itu.
“t—tangan! Itu tangan!” Teriak Karto saat melihat tangan muncul dari tong itu.
“Mayat? Tong itu berisi mayat!!”
Mendengar ucapan karto kami bergegas menghampiri tong itu dan memperhatikan isinya.
Benar kata Karto, tong ini berisi jasad seseorang. Ini bukan jasad biasa, sebagian tubuh jasad ini dicor dengan semen di dalam tong ini hingga tidak bisa bergerak.
Terlihat juga bekas siksaan di tubuh mayat yang mati dengan mengenaskan itu.
Aku memperhatikan catatan tadi dan menyadari, lokasi pertama adalah tempat kami menebarkan jala tadi.
“Bos brengsek!!!” Teriak Binsar sambil melampiaskan kekesalan dengan menendang barang-barang di sekitarnya.
Wajah panik kembali muncul di wajah kami semua.
“Aku tau wajah jasad itu, dia orang penting yang sering muncul di berita televisi” Ucap Fahri dengan wajahnya yang pucat.
Ini perbuatan yang keji. Rupanya kapal ini juga membawa tugas lain untuk membuang jasad di dalam tong ini ke laut.
Mereka sengaja memilih laut tenggara yang memang dihindari oleh para nelayan.
“Jadi ini alasan kapal ini di kutuk, kita bukan cuma melanggar tabu, tapi juga sudah bertindak kelewatan” Ucap Karto.
Aku terduduk lemas mengetahui kenyataan ini.
Fahri dan yang lainyapun terlihat gelisah sambil memeriksa tong lain yang kemungkinan memiliki isi yang sama.
Melihat semua ini aku sedikit berdoa berharap semua jasad ini bisa mendapatkan ketenangan walaupun mereka mati dengan jasad cara yang mengenaskan.
Di tengah kepanikan itu kami mendengar suara ramai dari luar ruangan. Suara itu seperti sura manusia yang mengikuti suara lebah yang berdengung.
Suara itu terus bersahut-sahutan dan semakin lama terdengar semakin mendekat.
Aku tidak mampu lagi membayangkan apa yang berada di luar. Bila memang mengincar kami, bisa saja makhluk itu sudah ada di luar.
“Kita harus keluar dari kapal ini..”
Fahri mengajak kami berdiri dan mencoba berjalan ke arah pintu.
“Badainya masih besar Fahri, setidaknya kita bertahan sampai besok pagi” Bantah Binsar.
“Awalnya itu rencanaku, tapi dengan semua kenyataan ini tidak ada kepastian kita bisa selamat sampai besok.” Jelas Fahri.
“Aku orang laut.. lebih memilih mati karena ombak laut dari pada dibunuh setan-setan itu”
Entah seketika ucapan Fahri itu membuat kami berpikir hal yang serupa.
Benar ucapanya, sudah ratusan badai kami hadapi dan kami bisa bertahan hingga sekarang. Dibanding harus berhadapan dengan setan-setan itu aku lebih memilih berhadapan dengan badai ini.
Saat itu juga Binsar mengambil benda-benda yang sudah ia kumpulkan dan menghampiri kami menuju pintu.
“Sekoci harusnya ada di geladak belakang, kita bisa kesana lewat ruangan yang tidak jauh dari sini di sana ada tangga” Ucap Binsar yang sepertinya tergerak dengan ucapan Fahri.
Setelah siap kami membuka pintu ruangan dan kembali menghadapi lorong yang disinari dengan cahaya remang-remang itu.
Sayangnya sekarang lorong itu sudah tidak sama seperti yang kami lewati tadi.
Di hadapan kami bersliweran makhluk yang melintas dari satu ruangan-ke ruangan lain yang seolah berjalan namun sebenarnya mereka melayang dan menembus dinding-dinding ruangan itu.
Wajah mereka terlihat datar dengan warna kulitnya yang pucat. Namun setidaknya wajah mereka tidak menunjukan rasa amarah seperti yang terlihat di geladak tadi.
“gimana lanjut?” bisiku pada mereka.
Fahri mengangguk. Saat itu juga Binsar mengambil posisi di depan dan berjalan menuju salah satu ruangan.
Itu adalah dapur kapal , aku memang ingat tempat ini memiliki tangga menuju ke atas .
Perlahan kami mendekat ke arah pintu ruangan itu sambil berhati-hati berharap makhluk-makhluk yang bersliweran di lorong tidak menyadari keberadaan kami.
Aku mengintip melalui kaca dapur kapal untuk memastikan keamanan ruangan itu.
Sialnya, tiba-tiba muncul wajah yang menempel mendekat ke arah kaca pintu itu menatapku dengan aneh.
Hampir saja aku terjatuh namun fahri menahan tubuhku.
Binsar yang sudah tidak bisa lagi menahan emosinya segera membuka pintu dan terdengar suara tubuh yang terjatuh di belakang pintu itu.
Jasad lagi..
Fahri memastikan denyut nadi dari tubuh yang terjatuh di belakang pintu itu dan menggeleng memberikan isyarat kepada kami.
Rupanya wajah yang menempel di pintu itu adalah anak buah kapal yang bernasib sama dengan petugas di ruangan genset tadi, tapi setidaknya dia meninggal dengan tubuh yang utuh.
Sekali lagi kami mendoakan jasad-jasad ini agar setidaknya mereka tenang di alam sana.
Sebuah tangga kecil terlihat di sudut ruangan. Binsar memimpin kami menaiki tangga itu hingga tiba di salah satu bagian di geladak kapal yang sedikit lebih tinggi.
Hujan yang deras seketika membasahi tubuh kami. Sesekali suara petir menggelegar seolah terdengar tepat di sebelah kami.
“Itu disana!” tunjuk binsar.
Kami melihat ke sisi belakang kapal. Terlihat sekoci tergntung di sana. Dari beberapa sekoci yang seharusnya ada di sana, masih ada dua yang tergantung.
“Sepertinya sudah ada yang pergi lebih dulu dari kita”
Ucapan binsar itu semakin menguatkan tekad kami untuk meninggalkan kapal ini.
Sebelum menuju sekoci, aku menoleh memeriksa ke sekitar kapal sementara yang lain masih sedikit bersembunyi. Dan memang kekhawatiran kami benar-benar terjadi.
Makhluk-makhluk pucat itu masih menguasai geladak kapal dan sesekali berpindah tanpa kami tau tujuan mereka.
“Mereka masih di sana, di dekat sekoci juga ada..” Jelasku.
Kami berpikir keras untuk menghindari mereka dan bisa menurunkan sekoci namun tidak ada satupun ide yang kami temukan.
“Harus ada umpan agar kita bisa menurunkan sekoci itu..” Ucapku.
“Tidak ada umpan-umpanan, kita berempat harus kembali hidup-hidup!” Ucap Binsar membantah ucapanku.
Ucapan Binsar itu seketika membuatku merasa bersalah dan mengurunkan niatku.
Tak lama setelahnya terdengar suara langkah kaki yang berjalan terseok-seok melalui tangga keluar.
Aku mengingat warna baju orang yang berlari itu. Itu adalah pria yang tadi melarangku pergi ke atas.
Dia mencoba berlari sekuat tenaga dan sesekali terjatuh. Mataku mencoba mengikuti ke arah mana pria itu berlari yang ternyata ke jasad Bos yang tergantung dengan mengenaskan.
Wajah pria itu terlihat hampir putus asa namun terus memberanikan dirinya.
“Kalian turunkan sekoci, aku coba jemput dia..” Perintahku pada mereka bertiga.
“Jangan gila darno! “ Bantah Fahri.
“Dia orang yang melarangku ke atas tadi, mungkin dia punya rencana” Ucapku. Setidaknya itulah yang kupikirkan.
Tanpa mempedulikan pendapat mereka aku mengejar pria itu dan mengarah ke jasad bos yang tergantung.
Fahri, Binsar, dan Karto bersiap mengambil posisi menurunkan sekoci yang sebenernya mampu menampung lebih dari sepuluh orang itu.
“Ke sini! Kita pergi!” Teriaku pada pria itu namun ia hanya menoleh dan kembali ke tujuanya sementara semua setan itu sudah mulai menatap ke arahku.
Di tengah hujan yang masih turun dengan deras pria itu memanjat tiang dan menggunakan sebilah pisau untuk memotong tali yang menggantung jasad bos.
Tak lama kemudian jasad itu terjatuh di lantai geladak dengan darah yang masih mengalir bercampur dengan air hujan.
Pria itu berlari menghampiriku berlari dengan tersengal-sengal sementara setan-setan itu memperhatikan jasad yang terjatuh itu.
“Lari!” Perintahnya.
Aku membantunya menopang tubuh pria itu yang sepertinya sudah kelelahan.
Sekali saat aku menoleh terlihat di makhluk-makhluk itu seketika berkumpul mengerubungi jasad bos yang sudah mengenaskan.
Mereka menatap dengan penuh amarah, menggenggam hamppir setiap bagian tubuhnya dan mencabik-cabik dengan kutu mereka yang tajam.
“Mereka sedang apa?” tanyaku.
“Sudah, nanti saya jelaskan.. yang penting kira selamat dulu” Ucapnya.
Aku setuju dan segera berlari menuju sekoci yang sudah diturunkan.
Dengan bantuan Binsar dan Fahri kami menaiki sekoci dan melepaskan tali yang menyambungkan sekoci ini dengan perahu.
Saat terpisah dari kapal seketika gelombang besar menghantam sekoci ini menjauh dari perahu. Kami sekuat tenaga berpegangan agar tidak terlempar ke lautan.
Saat itulah keanehan mulai terjadi. Gelombang yang menghantam sekoci seketika mereda. Namun jauh dari pandangan tadi badai dan gelombang laut masih menerjang Kapal besar yang kami tinggalkan.
Dari jauh Kapal itu terlihat seolah bukan lagi kapal yang dimiliki manusia. Puluhan bahkan mungkin ratusan makhluk berwajah pucat berdiri memenuhi seluruh kapal dan memandang ke arah kami.
Saat itu juga aku merasakan keputusan kami sudah tepat untuk meninggalkan kapal itu.
“Apa Masih ada orang lain di perahu itu?” Tanyaku.
Pria itu menggeleng.
“kalaupun ada, mungkin mereka tidak bisa selamat lagi” Jawabnya.
“Saya Ilham.. awak kapal juga seperti kalian, sebelum kalian ke atas saya sudah naik duluan dan melihat setan-setan itu menaiki kapal.”
Kami memperhatikan cerita seseorang yang mengaku bernama Ilham itu. Lambat laun juga saat sekoci ini menjauh dari kapal hujanpun mulai reda dan ombak semakin tenang.
“Lalu bagaimana bos bisa mati?” Tanya Binsar.
“Sejak awal makhluk itu memang mengincar bos dan awak yang sebelumnya melompat ke laut menebar jala.. Saat bos mati sebagian dari kami berinisiatif menggantung jasad bos agar bisa mengalihkan perhatian makhluk itu dan bersembunyi..”
“Lalu kamu ketakutan memperingatkanku supaya tidak naik ke atas?” Potongku.
Ilham mengangguk.
“saat mendengar suara kalian pergi aku menyusul ke atas dan melihat semua teman-temanku mati terbunuh. Saat itu juga aku merasa harus meninggalkan kapal dan naik ke atas.” Lanjutnya.
Fahri mencoba ikut campur dalam perbincangan ini. Sepertinya ada yang membuatnya penasaran.
“Ilham.. apa kamu pegawai kapal ini?” tanya Fahri.
“Bukan, saya baru ikut di pelayaran ini” Jawabnya.
Dari jawaban itu kami mengambil kesimpulan, sepertinya yang diincar oleh makhluk itu hanya anak buah kapal tetap yang bekerja langsung di bawah bos itu.
Kami yang lelah sudah tidak ingin berbicara lebih jauh lagi.
Saat ini kami masih harus menyimpan tenaga hingga menemukan daratan atau menemui kapal yang lewat.
Sayangnya ini laut tenggara, sangat jarang ada kapal nelayan yang berlayar ke sini.
Mungkin sudah sehari semalam kami terombang abing di laut ini. Beruntung Binsar sudah membawa beberapa logistik dan peralatan di tasnya yang membantu kami untuk mencari ikan sementara air hujan dari badai itu bisa kami kumpulkan untuk air minum.
Setelah cukup lama di tengah kesadaran kami tiba-tiba binsar berdiri , mengambil suar dan menembakkanya ke langit. Rupanya ada kapal patroli yang mendekat ke arah kami.
“I—itu kapal! Kita selamat!” Ucap Binsar.
Petugas laut itu curiga dengan kapal nelayan kami yang tidak kembali dan tidak ada kabar. Beruntung kapal itu adalah kapal milik perusahaan yang besar sehingga keberadaanya masih terpantau.
Saat itu kami memulihkan diri dan memberikan keterangan mengenai kejadian yang kami alami. Mulai dari badai datang hingga soal keberadaan makhluk-makhluk halus itu.
Petugas yang sudah seniorpun menanggapi cerita kami. Salah satu alasan laut tenggara dilarang untuk dilayari salah satunya adalah karna adanya mitos keberadaan “suku asli” yang berada di sisi alam lain lautan tenggara.
Jujur aku merasa kaget karena belum pernah mendengar cerita itu. Hampir semua cerita di kapal kami ceritakan kepada petugas. Namun Aku, Fahri, Karto, dan Binsar sepakat untuk tidak menceritakan mengenai jasad di dalam tong itu demi keselamatan kami.
TAMAT
Terima kasih untuk semua pembaca yang sudah mengikuti cerita ini hingga selesai. mohon maaf apabila ada salah kata atau bagian cerita yang menyinggung...
sehubungan dengan berakhirnya kisah ini, kita akan lanjut lagi ke kisah baru
yang kembali ke timeline cerita Danan dan Cahyo yang berjudul :
Darah Hitam Pengabdi Setan (Getih Ireng Abdi Lelembut)
akan tayang pada malam jumat tgl 27/1/22
yang mau baca duluan atau memberi dukungan bisa mampir Karyakarsa ya, sekaligus 2 part.. ^^ karyakarsa.com/diosetta69/par…
• • •
Missing some Tweet in this thread? You can try to
force a refresh
Satu manusia menantang takdirnya mendatangi Tanah Para Danyang seorang diri. Bli Waja mencari keberadaan sosok asal dari kekuatan yang ia miliki. Takdir membawanya pada pertarungan pengguna ilmu yang sama..
#bacahorror
Danan dan Cahyo berdiri di hadapan samudra tanpa batas. Ombak menderu kencang, seolah memekikkan kekuatan alam yang tak terbendung. Malam telah melewati puncaknya, namun bulan masih terselubung awan pekat, menyisakan kegelapan yang terasa berat.
"Kamu bilang wujud pusaka Ratu Ular itu mahkota? Tapi kamu nggak kepikiran, mahkota itu harusnya dipakai oleh siapa?" tanya Cahyo, menatap lautan.
"Ada banyak kemungkinan," jawab Danan tenang. "Salah satunya, sosok yang mewarisi kekuatan Ratu Pantai Selatan. Apalagi sekarang kita tahu, pusaka itu ada dalam perlindungannya."
"Blorong?" Cahyo bertanya dengan nada cemas.
Danan mengangguk. Kekhawatiran Cahyo bukan tanpa alasan. Sosok itu telah lama menguasai beberapa wilayah hitam di Tanah Jawa, membuat siapa pun gentar untuk berhadapan dengannya.
Tiba-tiba, suara kereta kencana terdengar mendekat. Namun, bukan dari arah daratan, melainkan dari tempat ombak bergemuruh.
"Suara ini... tidak asing," ujar Cahyo.
"Iya, suara yang sama seperti saat kita dijebak di gua oleh Bara," sahut Danan. "Kalau diingat, beliau sebenarnya sudah banyak membantu kita, meskipun secara tidak langsung."
Kereta itu berhenti tepat di tengah lautan yang mendadak tenang. Aneh, suasana berubah; mereka merasa seperti bukan lagi berada di tempat sebelumnya.
"Sudah kuduga, beliau tidak akan menemui kita langsung," kata Cahyo.
"Memang seharusnya begitu," balas Danan. "Kita, bangsa manusia, tidak seharusnya berurusan dengan mereka. Tuhan sudah memisahkan kita di alam yang berbeda untuk alasan itu."
Cahyo mengangguk setuju. Mereka pun duduk bersila dengan sopan dan memejamkan mata. Tiba-tiba, sebuah penglihatan datang menghampiri.
"Mas Danan! Mas Cahyo!"
Suara lembut Lara Sukma terdengar dari kejauhan. Ia berjalan anggun, ditemani Abdi Jinten yang setia di sisinya. Namun, Danan dan Cahyo hanya bisa membalas dengan senyuman, tetap bertahan dalam posisi meditasi.
Suasana berubah. Kini mereka berada di sebuah keraton yang seolah mengapung di atas lautan. Tempat itu dipenuhi aura sakral, dihormati oleh penghuni samudra dan bahkan oleh gelombang laut itu sendiri.
"Kau baik-baik saja di sini?" tanya Danan kepada Lara Sukma.
"Jangan khawatir, Mas. Di sinilah seharusnya tempatku berada. Lagipula, aku hanya berada dalam wujud ini selama beberapa puluh tahun. Setelah itu, aku bisa menitis menjadi ular, burung, ikan, atau apa pun," jawab Lara Sukma sambil tersenyum.
"Takut ketemu di Magetan," bisik Cahyo, membuat Danan melotot kesal.
"Memangnya di Magetan ada apa, Mas?" tanya Lara Sukma polos.
"Nggak ada apa-apa! Pecelnya enak!" Cahyo buru-buru mengalihkan pembicaraan.
"Yang pecelnya enak itu Madiun," goda Danan.
"Berisik!" Cahyo memotong, sementara Abdi Jinten hanya tersenyum menahan tawa.
Abdi Jinten kemudian mendekati mereka berdua. Wajahnya serius, penuh kewibawaan.
"Kanjeng Ratu telah memahami maksud kalian. Namun, beliau ingin kalian mengerti sesuatu," ucapnya tenang.
"Apa itu, Abdi Jinten?" tanya Danan penasaran.
Dharrr! Dharrr!
Penglihatan mereka pecah, menampilkan sebuah keris tua yang menancap di dasar laut. Keris itu berkarat, dikelilingi aura mengerikan, menciptakan gelombang yang membawa kematian.
"I—itu... Pusaka Mayit?" Cahyo berseru.
Abdi Jinten mengangguk. Penglihatan lain muncul, menampilkan Lara Sukma bertakhta di sebuah telaga. Dari sana, pusaka-pusaka diciptakan oleh para empu yang menjalin perjanjian dengan roh alam.
"Kanjeng Ratu menyerahkan keputusan kepada kalian," ujar Abdi Jinten. "Namun, kalian harus tahu, roh leluhur Sambara telah melemah. Manjing Marcapada kembali terbentuk, dan Angkarasaka bisa dibangkitkan."
Mereka saling berpandangan, menyadari beratnya situasi.
"Kalau begitu, apa yang harus kami lakukan?" tanya Cahyo.
Abdi Jinten menjawab dengan berat, "Kalian harus siap menghadapi segalanya, meskipun harus mati atau menghancurkan kedua pusaka para danyang itu."
Danan dan Cahyo terdiam. Akhirnya, mereka mengangguk.
Danan dan Cahyo saling bertatapan. Keadaan ini berbeda dengan yang ia bayangkan.
“Apakah berarti kabar baik?” Tanya Danan.
Abdi Jinten menggeleng dan berpaling memandang penglihatan yang juga dilihat oleh Danan dan Cahyo itu.
“Jika kalian memutuskan untuk menggunakan kemampuan Pusaka Sukma dan Pusaka Mayit, akan ada tragedi besar yang melibatkan para pengagung pusaka di alam ini…”
“Cukup, Abdi Jinten. Kami mengerti maksud Kanjeng Ratu.” Cahyo menyambungkan niat Danan. “Jika kami tahu apa yang akan terjadi, kami akan bimbang.”
Mendengar perkataan itu Abdi Jinten menghela nafas dan mundur. Mereka mengerti maksud Danan dan Cahyo.
“Baiklah kalau itu keputusan kalian. Terakhir, Kanjeng Ratu hanya menegaskan bahwa dirinya tidak ada di sisi manapun. Entah itu manusia, para Danyang putih, atau Danyang hitam. Jangan pernah berharap apapun dari beliau.”
“Tenang, Abdi Jinten. Kami tahu kepada siapa kami harus menggantungkan doa dan harapan kami.” Jawab Danan tegas.
Seketika penglihatan itu menghilang. Tak ada lagi yang hendak disampaikan oleh Abdi Jinten. Ia hanya tersenyum bersama pudarnya penglihatan keraton, lara sukma, dan para penjaga laut yang mulai mendekat masuk. Saat penglihatan itu memudar, suara ombak kembali terdengar.
Danan dan Cahyo pun membuka mata dan mereka masih tetap berada di tempatnya semula di hadapan deru samudra laut selatan. Kali ini rembulan tak lagi tertutup awan, cahayanya terpantulkan pada sesuatu yang berada di pantai terbawa ombak.
Mereka pun berdiri dari posisinya dan mengenali benda berbentuk mahkota yang sebagian sisinya sudah membatu.
"Jadi ini benda yang membuat ricuh para danyang?" tanya Cahyo dengan suara bergetar, matanya terpaku pada mahkota tua yang tergeletak di pasir. Bentuknya anggun namun menyeramkan; sebagian sisinya telah membatu, memancarkan aura dingin yang menusuk kulit.
"Ya," jawab Danan pelan, nadanya berat. "Kita harus menyegelnya bersama Manjing Marcapada yang baru saja bangkit kembali. Ini tugas yang leluhurku gagal selesaikan."
Danan perlahan menunduk, tangannya meraih mahkota itu. Saat jarinya menyentuh permukaannya, sebuah getaran kuat menyambar, menghantam tubuh mereka seperti arus listrik tak kasatmata.
Deg!
Seketika, hawa dingin menyelimuti. Bukan hanya dingin biasa—ini dingin yang menggerogoti jiwa, membuat jantung mereka berdegup kencang. Cahyo menelan ludah, tubuhnya gemetar tanpa ia sadari.
"Ini... ini yang dimaksud oleh Mbah Purnomo?" tanyanya, mencoba memastikan.
"Ya," jawab Danan singkat, matanya terpaku pada mahkota di tangannya. "Dengan ini, seluruh danyang hitam di Tanah Jawa akan mengincar kita."
Hawa berat semakin terasa. Angin yang tadinya tenang mendadak bertiup kencang, membawa bisikan-bisikan asing yang menggema di telinga mereka. Cahyo menoleh ke sekeliling, bayangan hitam seperti kabut mulai merayap di tepi pantai.
Fajar baru saja menyapa, tapi sinar matahari masih malu-malu menyusup di balik kabut pagi. Suara ayam berkokok bersahutan, menjadi latar saat Dirga dan Guntur berdiri di depan rumah. Tas besar menggantung di punggung mereka, menyiratkan tekad yang tak tergoyahkan.
“Kalian tidak harus pergi dari desa ini…” Suara berat Abah mencoba menahan langkah mereka.
“Abah, ini satu-satunya cara,” jawab Dirga dengan mata tajam. “Setan nenek itu dan makhluk berwujud singa tak akan berhenti mengejar. Jika kami tetap di sini, desa ini akan hancur.”
“Dirga benar, Abah. Kami akan lebih aman bersama Nyai Jambrong,” tambah Guntur.
Abah terdiam, menghela napas panjang. Mata tuanya menatap anak-anaknya dengan perasaan bercampur aduk. Ia tahu, keputusan ini tidak diambil sembarangan.
“Kalau begitu, Abah tidak melarang. Tapi bawa ini.” Abah menyerahkan telepon genggam tua milik Emak. “Sering-sering kabari kami.”
“Iya, Abah. Dirga janji,” balas Dirga.
Tak lama, Emak muncul tergesa-gesa dari dalam rumah, membawa kantong plastik penuh bekal. “Ini nasi buat kalian. Jangan sampai ngerepotin Nyai Jambrong, ya!” katanya dengan suara bergetar.
“Iya, Emak. Terima kasih. Dirga pamit.”
“Guntur juga pamit, Mak.”
Mereka mencium tangan Abah dan Emak sebelum melangkah menuju terminal. Di sepanjang jalan, perasaan mencekam tak kunjung pergi. Hati mereka terusik oleh bayangan kegelapan yang seolah mengikuti setiap langkah.
Beberapa hari sebelumnya, mereka telah menyelamatkan Hisna dari gubuk terkutuk dan menitipkannya pada keluarga terpercaya.
Namun kabar yang datang kemudian membuat bulu kuduk meremang: Pakde Hisna, yang diduga pelaku ritual itu, ditemukan tewas mengenaskan dengan tubuh terkoyak seperti dicakar makhluk buas.
“Itu pasti makhluk berwujud singa atau harimau itu,” gumam Dirga saat mendengar kabar dari Hisna di telepon.
“Tapi kenapa makhluk itu justru membunuh Pakdenya, yang jelas-jelas melakukan ritual?” tanya Guntur, bingung.
Dirga menggeleng. Jawaban tak pernah jelas. Hanya satu yang pasti: mereka harus segera menemui Nyai Jambrong.
( Sudut pandang Danan…)
Perasaan yang aneh dan menggugah muncul di benakku, seperti bisikan lembut yang mengusik kesadaranku. Ingatanku perlahan kembali, dan jantungku terasa tertusuk tajam saat mengingat apa yang terjadi ketika aku kembali ke alam manusia.
Setiap detik yang berlalu terasa seperti beban yang menekan dadaku, mengingatkan akan dosa yang tak termaafkan.
...
Ketika mataku terbuka, bukan Nyi Sendang Rangu yang kulihat di sampingku, melainkan sosok perempuan cantik yang begitu anggun dan menawan. Kebaya hitamnya membalut tubuhnya dengan sempurna, menonjolkan lekuk tubuhnya yang memikat.
Ia berbaring di atasku, membuatku terperangkap dalam pesonanya. Kulitnya sehalus sutra, dan setiap gerakannya memancarkan keanggunan yang memabukkan.
“... Kau sudah bangun rupanya?” Suaranya lembut dan menenangkan, namun tubuhku masih belum sepenuhnya bisa bergerak. Suara itu menyusup ke dalam pikiranku, menenangkan sekaligus membangkitkan rasa takut yang samar.
“..Si—siapa ka..” Aku berusaha berbicara, namun kata-kataku terhenti oleh sentuhan lembut jarinya.
“Sssttt…” Jari lentiknya menahan bibirku, membuatku terdiam.
Wajahnya begitu dekat, aroma melati yang menyengat menguar dari tubuhnya, membius kesadaranku. Matanya menatap dalam ke mataku, seolah menelanjangiku hingga membuatku tak berdaya di hadapannya.
“Darah yang mengalir di tubuhmu memikatku. Aku benar-benar tak mampu menahannya...”
Sebuah kecupan lembut menyentuh bibirku, dan telapak tangannya membelai rambutku dengan penuh kelembutan. Sentuhannya seperti kejutan listrik yang menjalar ke seluruh tubuhku, membuatku terhanyut dalam gairah yang ia ciptakan.
Saat itu, pikiranku kosong, dan aku terhanyut dalam pesonanya, tak mampu melawan daya tariknya yang memabukkan.
...
“Tidak! Tidak mungkin! Aku tidak mungkin melakukan perbuatan itu?!” Aku terperangah, tak percaya dengan ingatan yang kembali menghantuiku. Setiap kenangan terasa seperti belati yang menusuk hatiku, mengingatkan akan pengkhianatan yang telah kulakukan.
Sosok itu mendekat, wajahnya cemberut seperti seorang kekasih yang merajuk. “Mas jahat!” katanya dengan nada manja, namun senyumnya yang licik tak bisa kusembunyikan dari pandanganku.
“Bukankah kita sudah menyatu? Aku milikmu, Mas!” Suaranya menggoda, namun di balik itu ada ancaman halus yang membuatku merinding.
Aku terjatuh berlutut di tanah, suara gamelan di sekitarku berubah menjadi sendu, seolah menegaskan dosa yang telah kulakukan. Setiap denting gamelan seperti mengiringi penyesalanku, menambah beban di hatiku.
Bayangan Naya muncul di benakku, sosok wanita yang begitu polos dan penuh kasih, yang telah kukhianati. “Naya... maafin, Mas...” Air mataku mulai menetes, menandai penyesalan yang mendalam. Setiap tetes air mata adalah pengakuan atas kesalahan yang tak termaafkan.
Perempuan itu berjongkok, mengangkat daguku dengan lembut. “Sebaiknya kita terima saja takdir kita...” Bisiknya, mendekatkan bibirnya padaku, bersiap menciumku yang masih terperangkap dalam rasa bersalah dan penyesalan. Bibirnya hampir menyentuh bibirku, namun hatiku berteriak menolak, terbelah antara hasrat dan dosa yang menghantui.
“Treng teng!! Teng!!! Teng!!!”
Suara bising tiba-tiba memecah kesunyian gending yang mengalun dari hutan-hutan di sekelilingku. Awalnya, aku hampir mengabaikannya, namun suara itu semakin mendekat, diiringi teriakan dan sebuah helm yang melayang ke arahku.
“Jangan dekat-dekat Danan! Dia sudah punya pacar!”
Suara itu sangat familiar.
Dhuakkk!!Helm itu menghantam wajahku tepat saat aku menoleh ke arah sumber suara.
“CAHYO?!” Aku berteriak, bingung sekaligus kesal dengan kemunculannya yang tiba-tiba dan perbuatannya melempar helm padaku.
“Eh! Ma—maaf, Nan! Niatnya mau ngelempar ke setan genit itu!” sahut Cahyo sambil buru-buru memarkirkan motor Vespa tuanya yang suaranya mengalahkan gamelan gaib di hutan itu.
Aku berdiri dengan bantuan Danan, sementara Cahyo menunjuk perempuan di hadapanku dengan wajah kesal.
“Roro Mayit! Umurmu sudah ratusan tahun lebih! Seleramu masih berondong? Malu kau sama Nyai Jambrong!” teriak Cahyo.
“Kamu ngancem apa lagi pantun, Jul?” bisikku.
“Lha nggak tahu, nyambung gitu aja...” jawab Cahyo asal.
Ternyata benar, sosok perempuan itu adalah Roro Mayit. Cahyo menjelaskan bahwa ia mengetahui keberadaanku dan tentang Roro Mayit dari Mbok Sar.
“Mas Danan…” Suara Roro Mayit kembali terdengar manja, wajahnya tampak cemas setelah kedatangan Cahyo.
“Heh! Heh! Nggak usah sok manja!” Cahyo menanggapi dengan ketidaksukaan yang jelas.
“Berisik! Kau pengganggu!” balas Roro Mayit. Entah mengapa, wujud dan tingkah Roro Mayit semakin mendekati sosok yang membuatku nyaman.
“Jul... telah terjadi sesuatu antara...” aku mencoba menjelaskan.
“Aku tidak suka ada pengganggu! Aku pergi saja!” Roro Mayit tiba-tiba melayang menjauh dari kami.
Anehnya, dia tidak melakukan apapun. Tak ada kutukan, tak ada serangan. Aku masih merasakan betapa mengerikan sesuatu yang berasal dari dalam dirinya, namun dia benar-benar tidak menyerang kami.
Hujan mengguyur deras, disertai angin kencang yang menerbangkan dedaunan dan menghantam pepohonan. Kilat menyambar tanpa henti, menerangi kegelapan malam dengan cahaya yang menakutkan.
Di tengah badai ini, pasukan Cakra Manunggal berdiri tegak di atas reruntuhan istana salah satu kerajaan sekutu Tunggul Giri yang telah mereka tundukkan.
Prabu Ramajaya, dengan pakaian perangnya yang penuh noda darah dan lumpur, berdiri di depan rakyat yang ketakutan, suaranya menggema melawan gemuruh badai.
“Mulai saat ini, seluruh rakyat di kerajaan ini berada dalam perlindungan Kerajaan Indrajaya!” serunya tegas.
Para warga yang sebelumnya gemetar karena ketakutan mulai merasakan sedikit ketenangan. Nyawa mereka telah terselamatkan dari ritual penumbalan massal yang diinisiasi oleh raja mereka sendiri, yang kini telah tewas di tangan pasukan Indrajaya.
Sementara itu, Abimanyu berdiri di sisi Prabu Ramajaya, mengamati badai yang kian menggila. Petir menyambar hanya beberapa meter dari mereka, membuat suasana semakin mencekam.
“Kerajaan Tunggul Giri dan tiga kerajaan lainnya telah kita kuasai,” ujar Abimanyu, suaranya dingin namun penuh tekad. “Hanya ini yang bisa kita lakukan dalam peran kita sebagai manusia.”
Prabu Ramajaya menoleh dengan pandangan yang penuh keraguan. “Apa saatnya kita menyusul Ayah dan Baswara?” tanyanya, mengacu pada pasukan lain yang bertempur di wilayah berbeda.
Abimanyu menggelengkan kepala, rahangnya mengeras. “Kau baru saja memberikan pernyataan pada rakyat-rakyat itu,” ucapnya tajam, “dan sekarang kau berencana meninggalkan mereka?”
Ramajaya tersentak oleh teguran itu, namun kegelisahan di dalam hatinya terus bergolak. “Aku hanya merasa harus melakukan segala cara untuk menghentikan bencana ini,” jawabnya dengan nada penuh keputusasaan. “Bahkan jika nyawaku harus menjadi taruhannya.”
Abimanyu melangkah maju, menatap kakaknya dengan tatapan tajam yang penuh amarah dan tekad. “Jangan sombong, Ramajaya!” suaranya memotong derasnya hujan. “Tidak semua masalah harus kau tuntaskan sendiri. Ada saatnya kita menunggu.
Percayalah pada mereka yang tengah berjuang, dan pada takdir Sang Pencipta!”
Perkataan itu menghantam Prabu Ramajaya seperti guntur di dadanya. Ia menunduk sejenak, menggenggam gagang pedangnya yang dingin. Ia tahu Abimanyu benar, namun hatinya masih gelisah.
Di kejauhan, suara genderang perang masih terdengar, tanda bahwa pertempuran di Tanah Danyang belum usai. Namun untuk saat ini, Prabu Ramajaya memutuskan untuk bertahan bersama rakyat yang ia lindungi, berusaha memberi mereka harapan di tengah bencana yang mencekam.
Dengan tatapan yang lebih tenang namun tetap penuh tekad, ia memandang badai yang terus mengamuk di langit.
“Kami serahkan sisanya padamu, Ayah…” gumamnya pelan, seakan berdoa kepada mereka yang masih bertempur dan kepada Sang Pencipta, memohon kekuatan untuk melindungi orang-orang yang ia kasihi.
Suara derap kuda terdengar memecah keheningan malam, mendekati barak prajurit dengan cepat. Para penunggangnya turun tergesa-gesa, wajah-wajah mereka penuh ketegangan. Mereka langsung menuju tenda besar di tengah barak, tempat raja berada.
"Berhenti! Raja ada di dalam!" seorang penjaga menahan mereka dengan tangannya terentang.
"Kami harus bertemu yang mulia! Ini keadaan darurat!" Pemimpin mereka bersikeras.
Penjaga itu memerhatikan mereka sejenak, mengenali lencana-lencana khas yang menghiasi seragam mereka. Pasukan elit Cakra Manunggal, yang langsung di bawah komando Prabu Ramawijaya.
"Baiklah, tunggu sebentar…" ujar sang penjaga sambil memasuki tenda.
Ramawijaya telah menduduki tahta dan membangun kerajaan Darmawijaya sebagai kerajaan dengan pertahanan militer yang kokoh.
Mereka mampu menggetarkan kerajaan besar di sekitarnya, namun bukan itu tujuan utamanya. Perang para danyang semakin dekat, dan bertahun-tahun lamanya, bencana semakin melanda.
Tak lama kemudian, mereka diizinkan masuk. Di dalam tenda, Prabu Ramawijaya dan para patihnya tampak berkumpul, membahas sesuatu yang tampaknya mendesak.
Pemimpin pasukan itu melangkah maju dan berkata tegas, "Yang mulia, kabar ini harus disampaikan segera."
Prabu Ramawijaya menatapnya tajam. "Panglima Cakra, aku mengenalmu terlalu baik untuk tahu bahwa kau tak akan menggangguku tanpa alasan. Katakan."
Dengan satu langkah cepat, Panglima Cakra mendekat dan tiba-tiba mencabut pedangnya. Patih-patih lain sontak bereaksi, namun terlambat. Pedang Cakra menembus dada Patih Renggana.
"Cakra! Apa yang kau lakukan?!" Patih Raksawira menghunus pedangnya, mengarahkannya tepat ke leher Panglima Cakra.
Namun Panglima Cakra tak bergeming. "Aku tak akan bicara sampai pengkhianat ini tak lagi bernyawa," katanya dingin, sementara para penjaga dipanggil untuk menyelamatkan Patih Renggana yang sekarat.
Patih Raksawira tak bisa menahan amarahnya dan mengangkat pedang untuk menebas leher Panglima Cakra. Tapi tiba-tiba, suara berat terdengar dari arah pintu.
"Tahan, Raksawira!"
Semua mata tertuju pada seorang pria dengan pakaian lusuh dan tubuh penuh debu yang baru saja memasuki tenda. Walau penampilannya sederhana, auranya membuat para patih berhenti seketika.
"Abimanyu?! Cakra telah mencoba membunuh Patih Renggana! Kita tak bisa membiarkannya begitu saja!" seru Raksawira, mengarahkan ujung pedangnya ke Panglima Cakra. Namun, Abimanyu hanya menatap tajam.
Seluruh patih menundukkan kepala sedikit, sadar betul siapa pria itu.
Dia adalah Abimanyu Darmawijaya, pewaris dari Prabu Arya Darmawijaya, yang berjanji mendampingi Prabu Ramawijaya untuk menjaga Kerajaan Indrajaya sejak kepergian Raja Indrajaya.
Patih Renggana menekan luka di dadanya, mencoba mempertahankan nyawanya. Setiap tarikan napas terasa seperti api yang membakar, namun ia berusaha memperpanjang hidupnya sejenak, berharap ada seseorang yang membantunya.
Srratt!
Dalam sekejap, Abimanyu sudah berada di samping Prabu Ramawijaya, dan di tangannya tergenggam kepala Patih Renggana yang sudah terpenggal dari tubuhnya. Hening menggantung di udara, seakan waktu berhenti sejenak.
Tenda itu bergetar dalam kesunyian, hingga tubuh Patih Renggana menyadari bahwa ia telah kehilangan kepalanya. Seketika, semburan darah memuncrat deras, membuat para patih mundur ngeri.
“Jadi, dia pengkhianatnya?” tanya Prabu Ramawijaya dengan suara tenang, nyaris tak terpengaruh oleh pemandangan mengerikan itu.
Abimanyu mengangguk ringan sambil duduk di sisi Prabu Ramawijaya. “Benar. Dia adalah patih di kerajaan kita, namun sekaligus Raja di kerajaan Tunggul Giri.”
Suara gemuruh dari puncak Mahameru menggema, menggetarkan bumi dan langit. Mahameru, yang berdiri megah di Jawa Timur sebagai paku penyeimbang Pulau Jawa, kini memuntahkan isinya.
Dharrr!!!
Batu-batu besar terlontar dari kawahnya, menghantam pepohonan di kawasan Kalimati, menciptakan kepanikan di antara mereka yang ada di sana.
"Menyingkir!" teriak seseorang, memberi isyarat pada sekelompok pasukan yang menerobos letusan dahsyat itu.
"Ini gila! Siapa yang terpikirkan untuk menerobos letusan gunung seperti ini?!" teriak Raja Indrajaya dengan napas memburu, mencoba menghindari lontaran batu panas yang jatuh dari langit.
"Siapa lagi kalau bukan Pangeran Baswara, putra andalanmu itu, yang mulia..." sahut Panglima Brasma sambil melirik ke arah Baswara yang tanpa ragu maju lebih dahulu.
Di depan, Baswara membuka jalan dengan segenap tenaga, dibantu oleh kawanan kera putih yang melompat lincah di antara lahar. Seekor kera putih menari melompat di antar pepohonan, membaca aliran energi panas yang memancar dari gunung, menghindari setiap bahaya yang muncul.
"Ayah! Dia di sana!" teriak Baswara, menunjuk ke arah pusaran api yang berkobar di antara kepulan awan panas di puncak Mahameru.
Raja Indrajaya dan Panglima Brasma menyaksikan dengan mata mereka sendiri kekacauan itu, kekuatan yang tak terkendali memutar-mutar di puncak tertinggi pulau.
"Kalian, kembali! Setelah ini urusan kami sekarang!" seru Raja Indrajaya kepada para prajurit yang mendampingi mereka.
"Ta—tapi, yang mulia! Tempat itu terlalu berbahaya! Biarkan kami ikut bersama!" pinta seorang prajurit dengan nada cemas.
"Jangan sia-siakan nyawa kalian. Ramajaya dan Kerajaan Indrajaya masih membutuhkan kalian!" Raja Indrajaya menegaskan, suaranya penuh kewibawaan.
Walaupun hati mereka berat, para prajurit itu pun memutuskan untuk mundur, meninggalkan tiga sosok yang akan melanjutkan perjalanan ke pusat bencana.
"Prajurit Indrajaya!" panggil Baswara tiba-tiba. Ia menghampiri para prajurit yang berbalik badan. Mereka menoleh, menatapnya dengan kebingungan.
“Sampaikan salamku pada Ramajaya, dan berikan ini padanya.” Baswara melepas sebuah ikatan tali dari pinggangnya dan menyerahkannya kepada salah satu prajurit.
Begitu tali itu berpindah tangan, prajurit tersebut terhenyak oleh beban kekuatan yang terkandung di dalamnya. Dengan susah payah, ia menggenggam tali itu.