Diosetta Profile picture
Jan 15, 2022 197 tweets 26 min read Read on X
TEROR PENGHUNI LAUT MALAM
Part 1 - Tabu Laut Tenggara

Upload pagi karena kemungkinan nanti bakal sibuk seharian.
cerita ini cuma 2 part kok, kali ini latar ceritanya di luar pulau Jawa, semoga saya bisa membawakan dengan baik.
@bagihorror
@mwv_mystic
@IDN_Horor
@ceritaht Image
“Darno ayo cepetan naik… kapal udah mau berangkat” panggil Fahri teman sekamarku di kapal pencari ikan untuk pelayaran kali ini.
Aku mematikan rokokku dan menyusul Fahri menaiki kapal.
“Perlengkapanmu udah dicek?” tanya Fahri padaku.
“perlengkapan apa to? Kan Cuma pelayaran kayak biasanya..” jawabku dengan sedikit cuek.
Bukannya sombong, aku memang termasuk anak buah kapal senior yang sudah puluhan kali ikut berlayar.
“bukan gitu .. kapal yang kita naiki ini kayaknya udah agak tua, jadi kayaknya perlu cek-cek safety tools juga” Ucap Fahri.
“ Iya.. tenang”aku tak menghiraukan Fahri dan menuju ke kamar untuk menaruh barang.
Tak lama setelahnya suara sirine kapal terdengar, tanda kapal sudah mulai berlayar.
Kami mulai melakukan tugas-tugas kami tanpa disuruh, sudah sewajarnya hal ini dapat kami lakukan karena hampir sebagian awak kapal yang mengikuti pelayaran ini adalah awak senior.
Ada yang memeriksa ruang pendingin, membantu di ruang mesin, atau sepertiku memeriksa peralatan jaring penangkap ikan di geladak kapal.
Sebelum sempat menyelesaikan pekerjaanku, tiba-tiba terdengar suara dari salah satu awak kapal dengan menggunakan pengeras.
“Kumpul! Semua kumpul! ada briefing dari bos!” Ucap salah seorang anak buah kapal melalui pengeras suara di tengah-tengah pekerjaan kami.
Kami segera meninggalkan pekerjaan kami dan berkumpul di geladak.
“Perhatian semuanya! Seperti yang sudah kalian tau, sudah beberapa pelayaran yang kita lalui tidak mendapatkan hasil yang maksimal..”
Ucap Bos yang sepertinya sudah bersiap menjelaskan sesuatu.
“Jadi kali ini kita akan berlayar ke arah tenggara.
Arah laut yang masih jarang disentuh nelayan lain… “
Laut di tenggara pulau kami memang jarang didatangi nelayan, selain karena medan karangnya yang berat , rumor mengenai hal ghaib di sana juga banyak beredar.
“Untuk navigasi saya sudah membawa navigator yang handal, jadi tidak perlu khawatir, fokus dengan tangkapan kalian” Lanjut bos.
Kami semua menyetujui tanpa ada yang berani membantah.
Aku sendiri sebenarnya penasaran dengan kondisi laut di tenggara. Selama pelayaran, aku belum pernah mendapat kesempatan ke sana. Semua itu karena memang tidak ada yang berani melanggar aturan tak tertulis ini.
Hari mulai malam, suhu air sudah mulai rendah, kami bersiap menebarkan jala sesuai petunjuk.
Dua orang anak buah kapal turun ke air, mereka membantu memasang posisi jala dari sisi yang berbeda.
Setelah semua siap,mesin kapal pun dimatikan. Setelah menyelesaikan tugasnya kedua anak buah kapal yang terjun kelautpun berenang kembali untuk naik ke kapal.
“Bener, di sini banyak ikanya” Ucap mereka yang menyaksikan sendiri keberadaan ikan-ikan di bawah laut yang sudah menjadi target kami.
Mendengarnya kami tersenyum dan menunggu hingga ikan-ikan itu terkurung di Jala yang kami sebar.
Beberapa jam kami menanti hingga benar-benar terlihat jaring mulai terasa berat.

“Tariiik!” Suara salah seorang anak buah kapal terdengar.
Kami segera mengambil posisi untuk mengatur menarik jaring yang telah terisi ikan dan menarik secepat mungkin dibantu dengan sebuah mesin penggulung yang sebenarnya jauh lebih berguna dari tenaga kami.
Sayangnya tak lama tiba-tiba jala kami terasa berat seperti menyangkut pada sesuatu.
“Tarik Darno.. tarik!” Ucap Fahri yang berada di sebelahku
“Nggak bisa .. nyangkut” jawabku.
Kami mencoba memperbaiki jaring, namun tiba-tiba tetesan air hujan mulai membasahi tubuh kami.
“Yah… hujan , masih bisa dapet ikan gak ini…” keluh Fahri padaku.
Hujan turun semakin deras, dan setelahnya tanpa dapat ditebak ombak datang dan melemparkan perahu dengan kencang, kami semua berhamburan memasuki kapal.
Sebagian awak kapal melabuhkan jangkar di tengah laut yang tiba-tiba segera mengganas menyusul derasnya hujan datang. Kami berharap jangkar ini mampu mempertahankan posisi kapal agar tidak terbawa gelombang tanpa arah.
Sayangnya kesialan kami belum selesai, sebuah sambaran petir membakar tiang kapal dan mematikan seluruh listrik yang ada di kapal.

Sebelum masuk ke dalam, sekelebat aku seolah melihat ada sesosok bayangan yang memanjat masuk ke kapal ini dari arah laut.
Aku mengira dia adalah awak kapal yang masih tertinggal di air untuk memperbaiki jaring, namun saat aku ingin keluar untuk membantunya sosok itu sudah tidak ada di sana.
Suasana panik saat itu membuatku memutuskan untuk melupakan kejadian itu dan melanjutkan masuk menuju kabin.
Malam ini dilalui tanpa adanya aliran listrik. Beberapa awak kapal yang memang bertugas untuk melakukan perawatan di bagian kelistrikan masih berkutat di ruangan genset.
Hening… Suasana di kapal ini seketika berubah menjadi hening. Hanya suara deburan ombak yang berani mengisi keheningan ini.
Dengan ombak setinggi ini tidak ada yang berani keluar untuk melakukan aktivitas di luar sana.
Kami hanya berharap badai di tempat ini segera berakhir dan kami masih memiliki kesempatan untuk mencari hasil tangkapan.
Aku mencoba untuk tidur dengan kondisi seperti ini. Namun sepertinya kali ini aku membutuhkan waktu lebih lama untuk tertidur.
Di tengah rasa kantukku, samar-samar terdengar suara pintu terbuka perlahan. Dengan setengah sadar aku membuka mata dan memastikan teman sekamarku masih berada di kasurnya.
Awalnya aku ingin membiarkan saja pintu yang terbuka itu dengan rasa kantuk yang telah menguasaiku. Namun gelombang laut membuat pintu itu terus berayun dan membuat suara gaduh.
Aku turun dari kasurku, berjalan perlahan dan menyentuh daun pintu untuk menutupnya. Tetapi sesuatu yang aneh melintas dengan cepat di depan mataku.
Seseorang yang belum pernah kami lihat melintas di depan pintu kamarku dengan wajah pucat dan tanpa ekspresi sama sekali. Gerakanya tidak seperti sedang berjalan layaknya manusia yang berjalan di kapal dengan guncangan ombak.
Ia seperti melayang…

Rasa kantuku hilang seketika bersamaan dengan rasa takut yang seketika muncul menyelimuti tubuhku.
Aku membutuhkan waktu untuk meyakinkan diri untuk menoleh ke arah lorong kamar memastikan siapa yang melintas di depanku tadi hingga akhirnya aku menoleh ke arah perginya sosok itu.
Tidak ada siapapun yang terlihat di sana selain kegelapan yang menyelimuti lorong kabin.
Tapi anehnya semua pintu kamar kabin anak buah kapal terbuka seperti yang terjadi di kamarku tadi.
Mataku tertuju pada sebuah cahaya yang muncul dari sebuah kamar yang ku tahu itu adalah kamar Fahri.
Kemungkinan dia sudah mempersiapkan lampu emergency untuk keadaan seperti ini dan saat itu juga aku memutuskan untuk menghampirinya.

“Jangan…” Terdengar suara seperti seseorang yang menangis tak jauh dari tempatku berada.
“Jangan naik ke atas…”
Aku menoleh ke arah sebuah kamar gelap yang kulewati. Suasananya tidak jauh berbeda dengan kamarku.
Di sana terlihat seseorang sedang meringkuk ketakutan di lantai tanpa ada awak kabin lain yang berada di sekitarnya.
Saat aku mencoba mendekat, tiba-tiba pria itu segera berlari ke arah pintu dan membantingnya seolah melarangku untuk mendekat.
Samar-samar masih terdengar suara pria yang menahan pintu itu dari dalam mencoba memperingatkanku.
“Jangan naik ke atas… kita sudah melanggar tabu” ucapnya dengan nada yang ketakutan.
Aku mencoba mencerna apa yang ia maksud namun kupikir aku akan membicarakan ini dengan Fahri dan segera meninggalkan kamar itu dengan meraba-raba tembok kapal yang memanduku berjalan di kegelapan.
Sekali lagi.. belum jauh aku berjalan dari kamar tadi, aku merasakan ada sesuatu seperti memperhatikanku dari belakang. Aku mencoba tidak memperdulikannya dan terus melanjutkan langkahku.
Sayangnya rasa merinding yang muncul seketika seolah memastikan ada sesuatu yang memperhatikanku di balakang sana.
Dengan gemetar aku memutar tubuhku untuk memastikan sosok itu.
lorong yang tadi siang terlihat biasa saja kini terlihat mengerikan di tengah kegelapan, seolah lorong ini terlihat tidak memiliki ujung.
Jauh dari dalam kegelapan aku melihat sebuah pergerakan yang mendekat.
Manusia? Bukan…
Sesuatu yang berukuran pendek , tidak lebih tinggi dari lututku. Namun benda itu bergerak tanpa ada pengaruh guncangan di kapal ini.
Aku berusaha berpikir bahwa itu adalah tikus atau hewan lain. Atau setidaknya sebuah benda yang bisa bergerak.
Sayangnya prasangkaku musnah bersama kemunculan sesosok makhluk yang mendekat itu.

Kepala…
Sebuah kepala makhluk berambut panjang dengan wajahnya yang pucat muncul dari lantai lorong kabin seolah melayang mendekatiku.
Kepala yang semula hanya terlihat dari hitung hingga rambut perlahan semakin tinggi memamerkan tawanya yang lebar hingga ujung bibirnya hampir menyentuh telinganya.
Seketika tubuhku lemas dan terjatuh. Belum pernah aku melihat hal seperti ini sebelumnya.
Aku mencoba berdiri namun beberapa kali aku terjatuh kehilangan tenaga dan sialnya kepala itu semakin mendekat ke arahku.
“Se—setan! Tolong!”
Aku berusaha mencari pertolongan dari siapapun yang kuharap bisa mendengarkan suaraku namun sepertinya sama sekali tidak ada tanda-tanda seseorang yang mendengar.
Saat itu juga air mataku menetes menahan setiap kengerian yang menyelimuti tubuhku.
“Pergi! Tolooong! Pergii!” Aku sudah tidak tahu lagi dengan apa yang sudah kuucapkan.
Namun di tengah kesadaranku yang berada diambang-ambang, aku merasakan seseorang menarik tubuhku ke belakang.
Entah apa yang terjadi setelahnya, tiba-tiba aku sudah berada di sebuah kamar dengan sedikit cahaya dengan tangan yang menutup mulutku seolah bermaksud menahanku agar tidak berteriak.
Mereka yang menarikku segera mematikan lampu emergency di kamarnya dan menatap ke arah pintu kamar yang masih terbuka.
Kami menunggu dengan degup jantung yang terus berdetak dengan tidak tenang.
Mulutku tertutup, namun saat itu mataku masih bisa melihat dengan jelas sesosok kepala pucat yang melintas di depan pintu kamar kabin tepat dihadapanku.
Nafasku terengah-engah seolah tidak percaya dengan apa yang kulihat.
“Ssst… tenang dulu, biar aman dulu”
Terdengar suara seseorang yang kukenal berada diantara orang-orang yang menarikku. Itu adalah suara Fahri.
Mendengar suaranya aku menjadi cukup tenang. Aku mencoba mengatur nafasku dan mencoba mengumpulkan keberanianku.
Melihatku sudah mulai tenang, seseorang yang menahanku melepaskan tanganya dan berjalan mencoba mengintip ke arah luar.
Ia mencoba menutup pintu kamar. Namun entah mengapa pintu itu selalu terbuka dengan sendirinya.
“Kamu ngapain keluar kamar?” Ucap Fahri.
Aku membalikan badan, sudah ada dua orang lain di kamar ini selain Fahri.
“I—ini ada apa sebenarnya Fahri? Makhluk-makhluk itu apa?” Tanyaku.
Fahri menoleh kepada kedua temanya yang sepertinya juga tidak memiliki petunjuk.
“Kami juga nggak tahu Darno, seumur-umur ikut kapal orang belum pernah ada kejadian seperti ini” Jelas Fahri.
“Saya Karto ini teman saya Binsar.. kami kesini karena melihat kamar Fahri ada cahaya” Jelas seseorang yang bernama Karto.
Sepertinya dia yang tadi menyelamatkanku ke kamar ini.
“Terus teman sekamarmu mana Fahri?” Tanyaku.
“Entah, tadi dia bilang mau ke atas mengecek sesuatu.. tapi sudah beberapa jam dia tidak kembali” Jawab Fahri.
Seketika aku teringat perkataan seseorang dari salah satu kamar tadi yang melarangku untuk naik ke atas. Saat itu juga aku merasakan firasat tidak enak dengan teman sekamar Fahri yang naik ke atas.
“Tadi.. di beberapa kamar sebelum kamar ini, ada awak kabin yang nangis dan bilang ke saya jangan naik ke atas..” Ceritaku pada mereka.
“Maksudnya gimana No?”
“Katanya kita sudah melanggar hal tabu… “
Saat itu juga Fahri dan kedua orang lainya saling bertatapan , terlihat raut wajah kekhawatiran terpampang di wajah mereka.
“Fahri, siapin barang-barang yang kemungkinan bisa terpakai.. senter, pisau, tali.. atau apa. Kita cek keadaan yang lain” Ucap Binsar yang terlihat paling berani di antara kami.
Fahri mengangguk dan mulai mempersiapkan tas dan mengambil barang-barang dari lokernya.
Beruntung Fahri masih bisa menemukan satu buah senter lagi sementara lampu emergency bisa kami simpan untuk hal darurat lain.
Dengan sigap kami membantu memasukan barang-barang itu ke dalam tas dan bersiap untuk meninggalkan kamar.
Sesekali suara sambaran petir terdengar memekakan telinga kami.
derasnya hujan yang turun menimbulkan suara bising yang membuat kami harus sedikit berteriak untuk berbicara satu sama lain.
“Gimana ada orang?” Tanya Binsar.
Karto yang sedang membuka pintu kamar menggeleng dan menunjukan sebuah kamar kosong dengan barang yang sudah berantakan.
“Nggak ada, mungkin dia sudah pergi duluan” Jawab Karto.
Kami melanjutkan perjalanan kami dan memeriksa satu persatu kamar yang kami lewati.
Tak seperti yang kami duga, kamar-kamar yang kami kira masih dihuni awak kapal ternyata sudah kosong.
Berarti sedari tadi hanya kamar di lorong ujung tempatku dan Fahri istirahatlah yang masih baru menyadari keadaan ini.
Sekilas aku teringat seseorang yang memperingatkanku tadi untuk tidak naik ke atas.
Tetapi sepertinya akan percuma bila aku menjemputnya untuk membawanya ke atas tempat yang ia larang itu.
Dengan hanya bermodalkan sebuah senter kami melanjutkan kami. semakin lama kami berjalan , semakin banyak hal aneh yang kurasakan.
Salah satu yang paling mengganggu adalah suara tangis seorang wanita yang tersamar oleh suara deburan ombak.
Jelas itu tidak biasa. Tidak ada awak kapal wanita di sini.
Entah apa Fahri dan yang lain mendengar hal serupa atau tidak, atau mungkin mereka juga memutuskan untuk pura-pura tidak mendengarkan seperti yang kulakukan.
“Fahri , kalian tunggu di sini sebentar…” Ucap Binsar yang seperti bersiap pergi ke suatu tempat dengan membawa satu-satunya senter.
“Heh.. mau ke mana!?” Tanya Fahri.
“Itu.. kamar mandi, sebentar saja.. dari tadi sudah kutahan” Jawab Binsar.
“Bisa-bisanya kamu di waktu begini..” Ucap Karto.
“Aku ikut…” Ucap Fahri.
Aku dan Karto serentak menatap Fahri, dengan adanya dua orang yang bertujuan sama, sepertinya aku dan Karto harus mengalah. Toh sebenarnya itu juga hal yang lumrah.
Bukan tanpa alasan aku memilih untuk menunggu di luar. Di film-film yang kutonton kamar mandi adalah salah satu tempat favorit kemunculan makhluk-makhluk halus yang berniat mengganggu.
Di tengah lamunanku dan Karto suara air kamar mandi terdengar seperti menandakan Binsar dan Fahri sudah menyelesaikan urusannya.
Ternyata Binsar dan Fahri memang tidak menghabiskan waktu lama di kamar mandi dan seperti terburu-buru keluar dari tempat itu.
“Sudah?” Tanyaku.
Fahri mengangguk, namun aku seperti melihat ada yang berbeda dari wajah mereka berdua.
“Kamu nggak papa kan Binsar?” Tanya Karto yang sepertinya juga merasa aneh dengan tingkah laku mereka berdua. Seperti sudah terjadi sesuatu di kamar mandi tadi.
Kami memutuskan untuk tidak bertanya lebih jauh, mungkin saja mereka memang sengaja tidak menceritakan untuk mencegah hal-hal buruk terjadi lagi.
Kami berjalan perlahan di tengah kegelapan.
Sesekali aku menoleh kebelakang memperhatikan setiap jalan yang kami lalui di tengah kegelapan. Entah setelah selesai dari kamar mandi tadi aku merasakan udara lebih dingin dari biasanya.
Selang beberapa lama kami mendengarkan suara seperti pintu yang tertutup. Bukan suara ringan seperti pintu kamar, melainkan suara pintu yang lebih besar seperti pintu kamar mandi.
Tak lama setelahnya sebelum mencapai tikungan lorong , Karto menarik lenganku dan menahanku untuk mengikuti Fahri dan Binsar.
“Ke—kenapa To?” Tanyaku.
“Ssst… kita mundur dulu” Ucap Karto sambil berbisik.
“Terus Fahri sama Binsar gimana?” Tanyaku berbisik mengikuti nada suara Karto.
Karto memberiku isyarat untuk menoleh ke belakang. Samar-samar dari sana terlihat cahaya senter yang menyorot ke dinding Lorong.
Seketika aku teringat, tadi senter dipegang oleh Binsar. Tapi kenapa sepanjang perjalanan dari kamar mandi tadi Binsar tidak menyalakan senternya.
Aku mulai mengerti maksud Karto dan segera mundur ke belakang tepat ke arah cahaya itu.
“Kalian kemana? Kok ninggalin kita?” Tanya Fahri yang tiba-tiba muncul dari arah belakang kami.
Seketika keringat dingin mengucur deras di tubuhku.
“Emangnya kalian bisa liat jalan tanpa senter?” Lanjut Binsar.
Karto hanya terdiam melihat kemunculan Binsar dan Fahri. Sepertinya ia pun mencoba menahan rasa takutnya sebelum menceritakan apa yang terjadi.
“Bu—bukanya kalian sudah keluar dari kamar mandi sejak tadi” Tanyaku.
Fahri dan Binsar saling menatap.
“ini kita baru selesai, susah juga gelap-gelapan di kamar mandi” Jelas Fahri.
“Emang ada apaan?”
Karto yang terlihat pucat mencoba mengatakan apa yang terjadi tadi.
“tadi kami melihat kalian berdua sudah keluar dari kamar mandi, jadi kami ngikutin.. pas di tikungan lorong kami melihat cahaya senter yang dibawa Binsar dari belakang. Dari situ baru aku sadar ada yang aneh..” Jelas Karto.
Binsar terlihat menelan ludahnya, namun sepertinya ia masih bisa untuk menahan rasa takutnya.
“Ya sudah.. kita lanjutin perjalanan dulu, kita pastiin dulu ke atas.. coba cari Bos atau petugas di atas” Lanjut Binsar yang segera mengambil posisi terdepan dengan senternya.
Aku mempersiapkan nyaliku sebelum akhirnya berjalan mengikuti Binsar yang berjalan di depan kami.
Baru saja berjalan.. belum ada beberapa menit, tiba-tiba Binsar terhenti di tikungan lorong tempat kami tari berhenti.
Wajah Binsar terlihat terpaku menatap sesuatu yang tertutup tikungan lorong dari arah pandanganku.
Apa mungkin mereka masih ada di sana?
Wajah Binsar terlihat pucat. Aku dan yang lain segera mempercepat langkahku menghampiri Binsar.
Benar, mereka masih ada di sana..
Berdiri tak bergerak menuju tangga yang berada tidak jauh dari hadapanya.
“I—itu mereka!” Ucapku dengan suara yang gemetar.
Dari belakang wujud mereka hampir tidak ada bedanya dengan Fahri dan Binsar. Namun saat cahaya senter itu menyinarinya, sontak mereka menoleh ke arah kami berempat.
Pucat… Wajahnya sungguh pucat, kayaknya kulit manusia yang sudah terendam berhari-hari di lautan. Hampir seluruh bagian wajahnya menyerupai Binsar dan Fahri namun ada sesuatu yang berbeda.
Aku mencoba memikirkan apa perbedaan dari wajah mereka namun aku belum menyadarinya.
Melihat kejadian itu Aku menarik tubuh Binsar dan yang lain.
“Lari… !” Ucapku.
Aku memandu mereka kembali menuju sebuah kamar dengan pintu yang terbuka di dekat kami. di situ kami menutup pintu rapat-rapat dan kembali mematikan lampu senter.
Entah makhluk itu mengikuti kami atau tidak, tapi sepertinya kami sepakat untuk tidak bersembunyi dalam waktu yang lama.
“Kita nggak bisa begini terus… Kita berempat! Kalau ketemu makhluk begituan lagi, Tabrak aja!” Ucap Binsar dengan logatnya yang khas. Sepertinya dia sudah lupa wajah pucatnya saat tadi melihat wajah makhluk itu.
“Aku takut… tapi aku setuju sama Binsar, kalau begini terus kita bisa terjebak di sini” Lanjut Fahri.
Aku pun sama. Kami berempat, seharusnya kami berani menghadapi apapun yang muncul.
Setelah mempersiapkan nyali, kami kembali keluar. Kali ini masing-masing dari kami menggenggam sesuatu untuk melindungi diri mulai dari pisau lipat dan pipa besi pendek yang kami temukan di tempat kami bersembunyi.
Kami berjalan perlahan menuju tikungan lorong tempat kami berpapasan dengan dua orang yang menyerupai Fahri dan Binsar. Beruntung, Kedua makhluk itu sudah tidak ada di sana.
Sebuah tangga kecil terlihat sudah berada di hadapan kami. Di atas lantai adalah ruangan yang setara dengan geladak kapal. Di sana merupakan kamar petugas pengawas dan beberapa pihak yang bertanggung jawab dengan pelayaran ini.
Kami bergegas menaiki tangga itu satu persatu hingga mencapai lorong besar yang menunjukan pintu-pintu ruangan yang berhadapan langsung dengan jendela kapal.
Di sini aku bisa melihat dengan lebih baik dari cahaya bulan yang masuk melalui jendela.
Namun kami masih membutuhkan penerangan dari senter yang dibawa oleh Binsar.
“Fahri… di sini sepi juga, perasaanku nggak enak” Ucapku.
Fahri tidak menjawab. Diamnya menjelaskan bahwa perasaan yang mereka rasakan tak jauh berbeda dari yang kami rasakan.
Sesekali hantaman ombak menggoyahkan kapal ini sehingga kami harus berpegangan pada sebuah tiang.
“Jadi sekarang kita ke arah mana?” Tanyaku pada yang lainya.
“Mungkin kita coba ke ruang kendali dulu” Jawab Fahri.
Aku setuju. Namun sebelum kami pergi , aku melihat Karto terpaku di depan kaca jendela yang basah dengan derasnya hantaman air hujan.
“Ki—kita jangan keluar” Ucap Karto. Kali ini giliran wajahnya yang terlihat pucat.
Sesuatu pasti sedang terjadi di luar sana. Dengan segera aku menghampiri Karto dan mendekat ke arah kaca jendela yang basah itu.
Tepat saat melihat keluar ke arah geladak melalui kaca jendela ini, saat itu juga aku merasa ragu bisa selamat dari tempat ini.
Berbeda dengan kondisi di dalam sini, di luar terlihat banyak orang yang sedang berdiri di geladak.
Mereka tersebar hampir di setiap sisi kapal.
Bukan… mereka bukan awak kapal. wujudnya benar-benar seperti manusia dan berpakaian layaknya manusia biasa seperti kami.
Namun wajahnya pucat, posisi berdirinya yang tidak terpengaruh oleh goyangan kapal yang sangat kencang membuatku memastikan bahwa mereka bukanlah manusia biasa.
Ah iya… aku ingat sesuatu. Perbedaan dari makhluk yang menyerupai Fahri dan Binsar tadi juga terdapat di makhluk-makhluk itu.
Tidak ada belahan di antara bibir dan hidung makhluk-makhluk itu. Sekilas, perbedaan itulah yang paling jelas diantara mereka dan manusia biasa.
Sayangnya bukan itu yang seharusnya kukhawatirkan.
Saat ini di tengah gelapnya malam dan derasnya hujan semua makhluk itu sedang menatap ke satu arah yang sama dengan wajah penuh amarah.
Suara petir dan kilatan cahaya memperjelas wujud mereka yang sedang menatap ke arah kami.
“Pe—pergi! Kita pergi!” Ucap Binsar.
“Tapi kemana?” Tanya Fahri yang juga terlihat panik.
Aku tidak bisa berpikir apa ada tempat aman di kapal ini? Setidaknya sampai kita bisa bertahan hingga besok pagi.
“I—itu! Lihat itu!”
Kali ini Karto yang masih ketakutan menunjuk ke satu arah di luar jendela.
Perlahan kami berjalan kembali ke arah jendela dan menatap ke arah yang ditunjukan oleh Karto.
Masih dengan tatapan mengerikan dari makhluk-makhluk itu. Namun bukan itu yang ditunjukan oleh Karto.
Melainkan sesosok jasad yang tergantung terbalik di salah satu tiang kapal dengan tambang yang terikat di kakinya.
Jelas jasad itu tidak mati dengan cara yang wajar. Itu semua terlihat dari tubuhnya yang tergantung terbalik dengan darah segar mengalir dari setiap lubang di wajahnya.
“I—itu bos?” Ucap Fahri yang masih tidak percaya.
Aku mengangguk sementara Binsar yang sebelumnya masih mampu menahan rasa takutnya kini terjatuh lemas seolah satu-satunya harapan kami untuk selamat sudah tergantung di sana.
Entah apa yang akan terjadi lagi di malam ini. Yang pasti kami harus bersiap menghadapi makhluk-makhluk itu yang perlahan mendekat menghampiri kami.

Bersambung part terakhir - Jasad Di dalam Tong
(Update malam jumat - 20/1/2022)
Terima kasih telah mengikuti part ini hingga selesai. Mohon maaf apabila ada kesalahan dalam penulisan ataupun bagian cerita yang menyinggung.

Bagi yang ingin membaca part akhir duluan atau sekedar memberi support bisa mampir ke @karyakarsa_id ya..🙏

karyakarsa.com/diosetta69/2-t…
TEROR PENGHUNI LAUT MALAM
Part Akhir - Jasad di dalam Tong

@IDN_Horor
@qwertyping
@bacahorror
@bagihorror
@ceritaht
@RestuPa71830152 Image
Sambil nunggu selesai di upload nanti malem, bisa mampir ke Radio Tengah Malam dengerin saya sama @Wakhidnurrokhim ngoceh bahas pesugihan...

Sekalian mau minta tolong temen2 buat subscribe , like atau ninggalin komen ya ☺️🙏

Terima kasih

Makhluk yang menyerupai manusia, tanpa garis belahan diantara bibir dan hidungnya. Aku pernah mendengar cerita mengenai-makhluk makhluk ini di beberapa tempat seperti di pedalaman hutan sekitar danau.
Bagi mereka yang memilik “kemampuan” konon mereka bisa melihat bahwa makhluk ini memiliki peradaban sendiri.

Tapi ini di tengah laut, Jauh dari tempat-tempat yang sering di ceritakan itu.

“Sekarang kita harus gimana?” Tanya Fahri yang masih bingung dengan keadaan ini.
“Ki—kita ga nyoba nolongin bos, siapa tahu dia masih bisa di tolong” Ucap Karto.
“Gila kamu ya! Itu sama saja kita nyemplung ke kolam buaya! Buaya masih bisa dibunuh pake senjata.. nah makhluk-makhluk itu gimana?” Bantah Binsar.
“Sudah , Kita pergi dulu.. kita cek awak kapal yang lain”
Aku segera menarik tubuh mereka menuju lorong lagi setidaknya kami berusaha menjauh dari makhluk-makhluk itu.
Di ujung dari lorong ini adalah ruangan genset, kami memutuskan untuk menghampiri mekanik yang sedang membetulkan genset kapal.
Suasana lorong begitu sepi, tidak terdengar suara awak kapal lain.
“Binsar, Karto ada kenalan kalian yang tugas di lantai ini?” Tanyaku.
Binsar dan Karto menggeleng.
“Aku dan Karto awak cabutan, sisanya sepertinya awak tetap kapal ini” Jawab Binsar.
Rupanya mereka juga sama seperti aku dan Fahri hanya awak buah kapal tambahan yang biasa dipekerjakan untuk pelayaran dalam jangka waktu lama.
Ruangan genset terletak di ujung lorong ini berbeda dengan di bawah, lorong ini memiliki lampu emergency yang menyala redup dari ujung ruangan genset itu.
Kami berjalan perlahan, keberadaan sedikit cahaya yang menerangi lorong memberikan sedikit keberanian kepada kami untuk menuju tempat itu.
Sesekali aku menoleh ke arap ruangan-ruangan yang kami lewati dan mengintip melalui jendela kaca, berharap ada orang lain yang bisa membantu kami. Namun sayangnya tidak ada seorangpun yang bisa kutemukan.
“Harusnya ada lebih dari lima puluh orang kan di kapal ini? Kenapa tidak ada yang terlihat lagi ya?” Tanya Fahri.
Tidak ada yang berani menjawab pertanyaan Fahri, terutama setelah kami melihat kondisi bos yang sudah tak bernyawa di luar sana.
“Aku hanya berharap mereka masih hidup seperti kita” ucapku yang dibalas dengan tatapan mereka bertiga.
Memang itulah kekhawatiran kami saat ini, sepanjang perjalanan tadi kami tidak menemukan seorangpun manusia yang berpapasan dengan kami.
“Itu ruanganya, yang ada lampu warna merah” Jelas Karto.
Fahri berjalan maju mendekat dan memegang gagang pintu yang terbuat dari besi itu.
“Hati-hati Fahri, diintip dulu.” Ucapku.
Fahri membuka sedikit pintu ruangan genset. Walau sudah sehati-hati mungkin namun suara engsel pintu yang sudah berkarat tetap menimbulkan suara.
“Halo!! Ada Orang?” Teriak Binsar.
Kami berpencar ke ruangan yang cukup luas itu. Rupanya ruangan ini juga bersebelahan dan menyambung dengan gudang peralatan.

“Bang… darurat bang, ada orang di sini?” Teriak Binsar lagi. Namun tidak ada satupun suara yang menjawab teriakanya.
Fahri menemukan lampu emergency dan berinisiatif menyalakanya. Seketika rungan menjadi lebih terang dan kami dapat melihat dengan lebih baik.
Dengan cahaya yang cukup jelas, tiba-tiba mataku tertuju pada kumpulan tong-tong besar yang terbuat dari bahan besi kaleng di sudut ruangan. Tong-tong itu hampir memakan seperempat dari ruangan ini.

“Fahri! Darno! Kesini!” Ucap Binsar dengan nada suara yang sedikit bergetar.
Aku dan Fahri segera berlari menghampirinya. Binsar menunjuk ke salah satu celah antar mesin dan menyorotkan senternya.
Seketika aku terjatuh saat melihat sosok yang ditunjukan oleh cahaya senter Binsar.
Jasad seorang laki-laki yang masih berpakaian seragam mekanik , lengkap dengan sarung tangan karet dan sepatu bootnya terlihat seolah sedang bersembunyi di celah mesin itu.
Namun bukan itu saja yang mengerikan. Kami bisa memastikan ia sudah mati karena di wajahnya sudah tiadak ada lagi bola mata dan digantikan dengan aliran darah di pipinya yang sudah mengering.
“di—dia sudah mati?” Tanya Karto yang menyusul kami memperhatikan jasad itu.
“Sudah, sekarang kita jangan pikirkan yang lain.. yang penting bagaimana cara kita bisa selamat”
Binsar mencoba menguatkan kami yang semakin ketakutan setelah melihat hal ini.
Suara ombak menderu menemani kami yang masih belum bisa memastikan apa yang harus kami lakukan setelah ini.
Binsar membongkar barang-barang di sekitar gudang dan memisahkan beberapa benda seperti suar, senter, dan benda-benda yang mungkin saja kami butuhkan.
“Sebenarnya apa yang terjadi, kenapa makhluk-makhuk ini bisa mengincar kapal ini?” Ucapku yang terduduk lelah di salah satu sudut ruangan ini.
“Sudah, aku tidak peduli… yang penting bagaimana cara kita bisa selamat dan tidak mati seperti mereka.” Jawab Karto.
Ucapan Karto tidak ada yang salah, namun tetap saja aku masih merasa penasaran.
Di tengah lamunanku aku melihat sebuah buku yang cukup tebal. Seingatku itu buku yang sering dibawa oleh bos. Dengan segera aku berdiri dan mengambilnya.
Itu adalah sebuah catatan pelayaran singkat yang sudah dijalani oleh bos selama ini. Aku membacanya hingga mencapai lembar yang menunjukan tanggal kemarin.
Di halaman itu terselip sebuah kertas bergambar peta lautan. Sebuah catatan kaki tertulis di bawah gambar peta itu.
Note : Buang Tong-tong itu di tiga tempat yang berbeda
Seketika aku melihat peta itu kembali dan melihat beberapa tempat sudah ditandai dengan tanda silang. Ketiga tempat itu masih berada di sekitar laut tenggara.
“Fahri, binsar, Karto.. coba liat ini” Panggilku.
Mereka menghampiriku dan segera memperhatikan buku catatan yang kutunjukan.
“Rupanya Bos ada tujuan lain ke laut ini.” Jelasku.
“Memangnya isi tong itu apa? Limbah?” Tanya Karto.
“Nggak tahu, nggak tertulis di sini” Balasku lagi.
Tak berselang lama tiba-tiba sebuah ombak besar kembali menghantam kapal ini dan menjatuhkan kami bertiga. Tak hanya itu , sebuah tong besar yang sebelumnya berada di atas tong lainya terjatuh hingga tutupnya terbuka.
Mendengar suara yang keras itu, spontan Binsar mengarahkan senternya ke tong itu.
“t—tangan! Itu tangan!” Teriak Karto saat melihat tangan muncul dari tong itu.
“Mayat? Tong itu berisi mayat!!”
Mendengar ucapan karto kami bergegas menghampiri tong itu dan memperhatikan isinya.
Benar kata Karto, tong ini berisi jasad seseorang. Ini bukan jasad biasa, sebagian tubuh jasad ini dicor dengan semen di dalam tong ini hingga tidak bisa bergerak.
Terlihat juga bekas siksaan di tubuh mayat yang mati dengan mengenaskan itu.
Aku memperhatikan catatan tadi dan menyadari, lokasi pertama adalah tempat kami menebarkan jala tadi.
“Bos brengsek!!!” Teriak Binsar sambil melampiaskan kekesalan dengan menendang barang-barang di sekitarnya.
Wajah panik kembali muncul di wajah kami semua.
“Aku tau wajah jasad itu, dia orang penting yang sering muncul di berita televisi” Ucap Fahri dengan wajahnya yang pucat.
Ini perbuatan yang keji. Rupanya kapal ini juga membawa tugas lain untuk membuang jasad di dalam tong ini ke laut.
Mereka sengaja memilih laut tenggara yang memang dihindari oleh para nelayan.
“Jadi ini alasan kapal ini di kutuk, kita bukan cuma melanggar tabu, tapi juga sudah bertindak kelewatan” Ucap Karto.
Aku terduduk lemas mengetahui kenyataan ini.
Fahri dan yang lainyapun terlihat gelisah sambil memeriksa tong lain yang kemungkinan memiliki isi yang sama.
Melihat semua ini aku sedikit berdoa berharap semua jasad ini bisa mendapatkan ketenangan walaupun mereka mati dengan jasad cara yang mengenaskan.
Di tengah kepanikan itu kami mendengar suara ramai dari luar ruangan. Suara itu seperti sura manusia yang mengikuti suara lebah yang berdengung.
Suara itu terus bersahut-sahutan dan semakin lama terdengar semakin mendekat.
Aku tidak mampu lagi membayangkan apa yang berada di luar. Bila memang mengincar kami, bisa saja makhluk itu sudah ada di luar.
“Kita harus keluar dari kapal ini..”
Fahri mengajak kami berdiri dan mencoba berjalan ke arah pintu.
“Badainya masih besar Fahri, setidaknya kita bertahan sampai besok pagi” Bantah Binsar.
“Awalnya itu rencanaku, tapi dengan semua kenyataan ini tidak ada kepastian kita bisa selamat sampai besok.” Jelas Fahri.
“Aku orang laut.. lebih memilih mati karena ombak laut dari pada dibunuh setan-setan itu”
Entah seketika ucapan Fahri itu membuat kami berpikir hal yang serupa.
Benar ucapanya, sudah ratusan badai kami hadapi dan kami bisa bertahan hingga sekarang. Dibanding harus berhadapan dengan setan-setan itu aku lebih memilih berhadapan dengan badai ini.
Saat itu juga Binsar mengambil benda-benda yang sudah ia kumpulkan dan menghampiri kami menuju pintu.
“Sekoci harusnya ada di geladak belakang, kita bisa kesana lewat ruangan yang tidak jauh dari sini di sana ada tangga” Ucap Binsar yang sepertinya tergerak dengan ucapan Fahri.
Setelah siap kami membuka pintu ruangan dan kembali menghadapi lorong yang disinari dengan cahaya remang-remang itu.
Sayangnya sekarang lorong itu sudah tidak sama seperti yang kami lewati tadi.
Di hadapan kami bersliweran makhluk yang melintas dari satu ruangan-ke ruangan lain yang seolah berjalan namun sebenarnya mereka melayang dan menembus dinding-dinding ruangan itu.
Wajah mereka terlihat datar dengan warna kulitnya yang pucat. Namun setidaknya wajah mereka tidak menunjukan rasa amarah seperti yang terlihat di geladak tadi.
“gimana lanjut?” bisiku pada mereka.
Fahri mengangguk. Saat itu juga Binsar mengambil posisi di depan dan berjalan menuju salah satu ruangan.
Itu adalah dapur kapal , aku memang ingat tempat ini memiliki tangga menuju ke atas .
Perlahan kami mendekat ke arah pintu ruangan itu sambil berhati-hati berharap makhluk-makhluk yang bersliweran di lorong tidak menyadari keberadaan kami.
Aku mengintip melalui kaca dapur kapal untuk memastikan keamanan ruangan itu.
Sialnya, tiba-tiba muncul wajah yang menempel mendekat ke arah kaca pintu itu menatapku dengan aneh.
Hampir saja aku terjatuh namun fahri menahan tubuhku.
Binsar yang sudah tidak bisa lagi menahan emosinya segera membuka pintu dan terdengar suara tubuh yang terjatuh di belakang pintu itu.
Jasad lagi..
Fahri memastikan denyut nadi dari tubuh yang terjatuh di belakang pintu itu dan menggeleng memberikan isyarat kepada kami.
Rupanya wajah yang menempel di pintu itu adalah anak buah kapal yang bernasib sama dengan petugas di ruangan genset tadi, tapi setidaknya dia meninggal dengan tubuh yang utuh.
Sekali lagi kami mendoakan jasad-jasad ini agar setidaknya mereka tenang di alam sana.
Sebuah tangga kecil terlihat di sudut ruangan. Binsar memimpin kami menaiki tangga itu hingga tiba di salah satu bagian di geladak kapal yang sedikit lebih tinggi.
Hujan yang deras seketika membasahi tubuh kami. Sesekali suara petir menggelegar seolah terdengar tepat di sebelah kami.
“Itu disana!” tunjuk binsar.
Kami melihat ke sisi belakang kapal. Terlihat sekoci tergntung di sana. Dari beberapa sekoci yang seharusnya ada di sana, masih ada dua yang tergantung.
“Sepertinya sudah ada yang pergi lebih dulu dari kita”
Ucapan binsar itu semakin menguatkan tekad kami untuk meninggalkan kapal ini.
Sebelum menuju sekoci, aku menoleh memeriksa ke sekitar kapal sementara yang lain masih sedikit bersembunyi. Dan memang kekhawatiran kami benar-benar terjadi.
Makhluk-makhluk pucat itu masih menguasai geladak kapal dan sesekali berpindah tanpa kami tau tujuan mereka.
“Mereka masih di sana, di dekat sekoci juga ada..” Jelasku.
Kami berpikir keras untuk menghindari mereka dan bisa menurunkan sekoci namun tidak ada satupun ide yang kami temukan.
“Harus ada umpan agar kita bisa menurunkan sekoci itu..” Ucapku.
“Tidak ada umpan-umpanan, kita berempat harus kembali hidup-hidup!” Ucap Binsar membantah ucapanku.
Ucapan Binsar itu seketika membuatku merasa bersalah dan mengurunkan niatku.
Tak lama setelahnya terdengar suara langkah kaki yang berjalan terseok-seok melalui tangga keluar.
Aku mengingat warna baju orang yang berlari itu. Itu adalah pria yang tadi melarangku pergi ke atas.
Dia mencoba berlari sekuat tenaga dan sesekali terjatuh. Mataku mencoba mengikuti ke arah mana pria itu berlari yang ternyata ke jasad Bos yang tergantung dengan mengenaskan.
Wajah pria itu terlihat hampir putus asa namun terus memberanikan dirinya.
“Kalian turunkan sekoci, aku coba jemput dia..” Perintahku pada mereka bertiga.
“Jangan gila darno! “ Bantah Fahri.
“Dia orang yang melarangku ke atas tadi, mungkin dia punya rencana” Ucapku. Setidaknya itulah yang kupikirkan.
Tanpa mempedulikan pendapat mereka aku mengejar pria itu dan mengarah ke jasad bos yang tergantung.
Fahri, Binsar, dan Karto bersiap mengambil posisi menurunkan sekoci yang sebenernya mampu menampung lebih dari sepuluh orang itu.
“Ke sini! Kita pergi!” Teriaku pada pria itu namun ia hanya menoleh dan kembali ke tujuanya sementara semua setan itu sudah mulai menatap ke arahku.
Di tengah hujan yang masih turun dengan deras pria itu memanjat tiang dan menggunakan sebilah pisau untuk memotong tali yang menggantung jasad bos.
Tak lama kemudian jasad itu terjatuh di lantai geladak dengan darah yang masih mengalir bercampur dengan air hujan.
Pria itu berlari menghampiriku berlari dengan tersengal-sengal sementara setan-setan itu memperhatikan jasad yang terjatuh itu.
“Lari!” Perintahnya.
Aku membantunya menopang tubuh pria itu yang sepertinya sudah kelelahan.
Sekali saat aku menoleh terlihat di makhluk-makhluk itu seketika berkumpul mengerubungi jasad bos yang sudah mengenaskan.
Mereka menatap dengan penuh amarah, menggenggam hamppir setiap bagian tubuhnya dan mencabik-cabik dengan kutu mereka yang tajam.
“Mereka sedang apa?” tanyaku.
“Sudah, nanti saya jelaskan.. yang penting kira selamat dulu” Ucapnya.
Aku setuju dan segera berlari menuju sekoci yang sudah diturunkan.
Dengan bantuan Binsar dan Fahri kami menaiki sekoci dan melepaskan tali yang menyambungkan sekoci ini dengan perahu.
Saat terpisah dari kapal seketika gelombang besar menghantam sekoci ini menjauh dari perahu. Kami sekuat tenaga berpegangan agar tidak terlempar ke lautan.
Saat itulah keanehan mulai terjadi. Gelombang yang menghantam sekoci seketika mereda. Namun jauh dari pandangan tadi badai dan gelombang laut masih menerjang Kapal besar yang kami tinggalkan.
Dari jauh Kapal itu terlihat seolah bukan lagi kapal yang dimiliki manusia. Puluhan bahkan mungkin ratusan makhluk berwajah pucat berdiri memenuhi seluruh kapal dan memandang ke arah kami.
Saat itu juga aku merasakan keputusan kami sudah tepat untuk meninggalkan kapal itu.
“Apa Masih ada orang lain di perahu itu?” Tanyaku.
Pria itu menggeleng.
“kalaupun ada, mungkin mereka tidak bisa selamat lagi” Jawabnya.
“Saya Ilham.. awak kapal juga seperti kalian, sebelum kalian ke atas saya sudah naik duluan dan melihat setan-setan itu menaiki kapal.”
Kami memperhatikan cerita seseorang yang mengaku bernama Ilham itu. Lambat laun juga saat sekoci ini menjauh dari kapal hujanpun mulai reda dan ombak semakin tenang.
“Lalu bagaimana bos bisa mati?” Tanya Binsar.
“Sejak awal makhluk itu memang mengincar bos dan awak yang sebelumnya melompat ke laut menebar jala.. Saat bos mati sebagian dari kami berinisiatif menggantung jasad bos agar bisa mengalihkan perhatian makhluk itu dan bersembunyi..”
“Lalu kamu ketakutan memperingatkanku supaya tidak naik ke atas?” Potongku.
Ilham mengangguk.
“saat mendengar suara kalian pergi aku menyusul ke atas dan melihat semua teman-temanku mati terbunuh. Saat itu juga aku merasa harus meninggalkan kapal dan naik ke atas.” Lanjutnya.
Fahri mencoba ikut campur dalam perbincangan ini. Sepertinya ada yang membuatnya penasaran.
“Ilham.. apa kamu pegawai kapal ini?” tanya Fahri.
“Bukan, saya baru ikut di pelayaran ini” Jawabnya.
Dari jawaban itu kami mengambil kesimpulan, sepertinya yang diincar oleh makhluk itu hanya anak buah kapal tetap yang bekerja langsung di bawah bos itu.
Kami yang lelah sudah tidak ingin berbicara lebih jauh lagi.
Saat ini kami masih harus menyimpan tenaga hingga menemukan daratan atau menemui kapal yang lewat.
Sayangnya ini laut tenggara, sangat jarang ada kapal nelayan yang berlayar ke sini.
Mungkin sudah sehari semalam kami terombang abing di laut ini. Beruntung Binsar sudah membawa beberapa logistik dan peralatan di tasnya yang membantu kami untuk mencari ikan sementara air hujan dari badai itu bisa kami kumpulkan untuk air minum.
Setelah cukup lama di tengah kesadaran kami tiba-tiba binsar berdiri , mengambil suar dan menembakkanya ke langit. Rupanya ada kapal patroli yang mendekat ke arah kami.
“I—itu kapal! Kita selamat!” Ucap Binsar.
Petugas laut itu curiga dengan kapal nelayan kami yang tidak kembali dan tidak ada kabar. Beruntung kapal itu adalah kapal milik perusahaan yang besar sehingga keberadaanya masih terpantau.
Saat itu kami memulihkan diri dan memberikan keterangan mengenai kejadian yang kami alami. Mulai dari badai datang hingga soal keberadaan makhluk-makhluk halus itu.
Petugas yang sudah seniorpun menanggapi cerita kami. Salah satu alasan laut tenggara dilarang untuk dilayari salah satunya adalah karna adanya mitos keberadaan “suku asli” yang berada di sisi alam lain lautan tenggara.
Jujur aku merasa kaget karena belum pernah mendengar cerita itu. Hampir semua cerita di kapal kami ceritakan kepada petugas. Namun Aku, Fahri, Karto, dan Binsar sepakat untuk tidak menceritakan mengenai jasad di dalam tong itu demi keselamatan kami.

TAMAT
Terima kasih untuk semua pembaca yang sudah mengikuti cerita ini hingga selesai. mohon maaf apabila ada salah kata atau bagian cerita yang menyinggung...

sehubungan dengan berakhirnya kisah ini, kita akan lanjut lagi ke kisah baru
yang kembali ke timeline cerita Danan dan Cahyo yang berjudul :

Darah Hitam Pengabdi Setan (Getih Ireng Abdi Lelembut)

akan tayang pada malam jumat tgl 27/1/22

yang mau baca duluan atau memberi dukungan bisa mampir Karyakarsa ya, sekaligus 2 part.. ^^
karyakarsa.com/diosetta69/par…

• • •

Missing some Tweet in this thread? You can try to force a refresh
 

Keep Current with Diosetta

Diosetta Profile picture

Stay in touch and get notified when new unrolls are available from this author!

Read all threads

This Thread may be Removed Anytime!

PDF

Twitter may remove this content at anytime! Save it as PDF for later use!

Try unrolling a thread yourself!

how to unroll video
  1. Follow @ThreadReaderApp to mention us!

  2. From a Twitter thread mention us with a keyword "unroll"
@threadreaderapp unroll

Practice here first or read more on our help page!

More from @diosetta

Nov 21
PERANG TANAH DANYANG
Part 7 - Perang Pertama

Tiga zaman bersatu dalam peperangan makhluk dari alam yang tak kasat mata. Nyawa Manusia adalah amunisisnya..

#bacahorror @ceritaht @IDN_Horor @bacahorror Image
Suara derap kuda terdengar memecah keheningan malam, mendekati barak prajurit dengan cepat. Para penunggangnya turun tergesa-gesa, wajah-wajah mereka penuh ketegangan. Mereka langsung menuju tenda besar di tengah barak, tempat raja berada.

"Berhenti! Raja ada di dalam!" seorang penjaga menahan mereka dengan tangannya terentang.

"Kami harus bertemu yang mulia! Ini keadaan darurat!" Pemimpin mereka bersikeras.

Penjaga itu memerhatikan mereka sejenak, mengenali lencana-lencana khas yang menghiasi seragam mereka. Pasukan elit Cakra Manunggal, yang langsung di bawah komando Prabu Ramawijaya.

"Baiklah, tunggu sebentar…" ujar sang penjaga sambil memasuki tenda.

Ramawijaya telah menduduki tahta dan membangun kerajaan Darmawijaya sebagai kerajaan dengan pertahanan militer yang kokoh.

Mereka mampu menggetarkan kerajaan besar di sekitarnya, namun bukan itu tujuan utamanya. Perang para danyang semakin dekat, dan bertahun-tahun lamanya, bencana semakin melanda.

Tak lama kemudian, mereka diizinkan masuk. Di dalam tenda, Prabu Ramawijaya dan para patihnya tampak berkumpul, membahas sesuatu yang tampaknya mendesak.

Pemimpin pasukan itu melangkah maju dan berkata tegas, "Yang mulia, kabar ini harus disampaikan segera."

Prabu Ramawijaya menatapnya tajam. "Panglima Cakra, aku mengenalmu terlalu baik untuk tahu bahwa kau tak akan menggangguku tanpa alasan. Katakan."

Dengan satu langkah cepat, Panglima Cakra mendekat dan tiba-tiba mencabut pedangnya. Patih-patih lain sontak bereaksi, namun terlambat. Pedang Cakra menembus dada Patih Renggana.

"Cakra! Apa yang kau lakukan?!" Patih Raksawira menghunus pedangnya, mengarahkannya tepat ke leher Panglima Cakra.

Namun Panglima Cakra tak bergeming. "Aku tak akan bicara sampai pengkhianat ini tak lagi bernyawa," katanya dingin, sementara para penjaga dipanggil untuk menyelamatkan Patih Renggana yang sekarat.

Patih Raksawira tak bisa menahan amarahnya dan mengangkat pedang untuk menebas leher Panglima Cakra. Tapi tiba-tiba, suara berat terdengar dari arah pintu.

"Tahan, Raksawira!"

Semua mata tertuju pada seorang pria dengan pakaian lusuh dan tubuh penuh debu yang baru saja memasuki tenda. Walau penampilannya sederhana, auranya membuat para patih berhenti seketika.

"Abimanyu?! Cakra telah mencoba membunuh Patih Renggana! Kita tak bisa membiarkannya begitu saja!" seru Raksawira, mengarahkan ujung pedangnya ke Panglima Cakra. Namun, Abimanyu hanya menatap tajam.

Seluruh patih menundukkan kepala sedikit, sadar betul siapa pria itu.

Dia adalah Abimanyu Darmawijaya, pewaris dari Prabu Arya Darmawijaya, yang berjanji mendampingi Prabu Ramawijaya untuk menjaga Kerajaan Indrajaya sejak kepergian Raja Indrajaya.

Patih Renggana menekan luka di dadanya, mencoba mempertahankan nyawanya. Setiap tarikan napas terasa seperti api yang membakar, namun ia berusaha memperpanjang hidupnya sejenak, berharap ada seseorang yang membantunya.

Srratt!

Dalam sekejap, Abimanyu sudah berada di samping Prabu Ramawijaya, dan di tangannya tergenggam kepala Patih Renggana yang sudah terpenggal dari tubuhnya. Hening menggantung di udara, seakan waktu berhenti sejenak.

Tenda itu bergetar dalam kesunyian, hingga tubuh Patih Renggana menyadari bahwa ia telah kehilangan kepalanya. Seketika, semburan darah memuncrat deras, membuat para patih mundur ngeri.

“Jadi, dia pengkhianatnya?” tanya Prabu Ramawijaya dengan suara tenang, nyaris tak terpengaruh oleh pemandangan mengerikan itu.

Abimanyu mengangguk ringan sambil duduk di sisi Prabu Ramawijaya. “Benar. Dia adalah patih di kerajaan kita, namun sekaligus Raja di kerajaan Tunggul Giri.”
Read 15 tweets
Nov 14
PERANG TANAH DANYANG
Part 6 - Tanah Para Danyang

Awal mula Perang Para Danyang di masa lalu terungkap. Takdir darah sambara terikat di masa itu

#bacahoror Image
Suara gemuruh dari puncak Mahameru menggema, menggetarkan bumi dan langit. Mahameru, yang berdiri megah di Jawa Timur sebagai paku penyeimbang Pulau Jawa, kini memuntahkan isinya.

Dharrr!!!

Batu-batu besar terlontar dari kawahnya, menghantam pepohonan di kawasan Kalimati, menciptakan kepanikan di antara mereka yang ada di sana.

"Menyingkir!" teriak seseorang, memberi isyarat pada sekelompok pasukan yang menerobos letusan dahsyat itu.

"Ini gila! Siapa yang terpikirkan untuk menerobos letusan gunung seperti ini?!" teriak Raja Indrajaya dengan napas memburu, mencoba menghindari lontaran batu panas yang jatuh dari langit.

"Siapa lagi kalau bukan Pangeran Baswara, putra andalanmu itu, yang mulia..." sahut Panglima Brasma sambil melirik ke arah Baswara yang tanpa ragu maju lebih dahulu.

Di depan, Baswara membuka jalan dengan segenap tenaga, dibantu oleh kawanan kera putih yang melompat lincah di antara lahar. Seekor kera putih menari melompat di antar pepohonan, membaca aliran energi panas yang memancar dari gunung, menghindari setiap bahaya yang muncul.

"Ayah! Dia di sana!" teriak Baswara, menunjuk ke arah pusaran api yang berkobar di antara kepulan awan panas di puncak Mahameru.

Raja Indrajaya dan Panglima Brasma menyaksikan dengan mata mereka sendiri kekacauan itu, kekuatan yang tak terkendali memutar-mutar di puncak tertinggi pulau.

"Kalian, kembali! Setelah ini urusan kami sekarang!" seru Raja Indrajaya kepada para prajurit yang mendampingi mereka.

"Ta—tapi, yang mulia! Tempat itu terlalu berbahaya! Biarkan kami ikut bersama!" pinta seorang prajurit dengan nada cemas.

"Jangan sia-siakan nyawa kalian. Ramajaya dan Kerajaan Indrajaya masih membutuhkan kalian!" Raja Indrajaya menegaskan, suaranya penuh kewibawaan.

Walaupun hati mereka berat, para prajurit itu pun memutuskan untuk mundur, meninggalkan tiga sosok yang akan melanjutkan perjalanan ke pusat bencana.

"Prajurit Indrajaya!" panggil Baswara tiba-tiba. Ia menghampiri para prajurit yang berbalik badan. Mereka menoleh, menatapnya dengan kebingungan.

“Sampaikan salamku pada Ramajaya, dan berikan ini padanya.” Baswara melepas sebuah ikatan tali dari pinggangnya dan menyerahkannya kepada salah satu prajurit.

Begitu tali itu berpindah tangan, prajurit tersebut terhenyak oleh beban kekuatan yang terkandung di dalamnya. Dengan susah payah, ia menggenggam tali itu.
Read 12 tweets
Oct 31
PERANG TANAH DANYANG
Part 5 - Ratusan Tahun Yang Lalu

Widarpa menghilang, Daryana mulai bergerak. Bencana dimulai dari zaman itu...

#bacahorror @bacahorror Image
Suara senjata beradu di tengah rumah terpencil di pinggir hutan. Bukan sebuah kekacauan, namun sebuah pemandangan unik dimana seorang pendekar bertarung melawan lebih dari lima anak- anak kecil.

“Eyang! Ini jurus kodok terbang dari bukit nestapa!”

Seorang anak melakukan sebuah gerakan lucu sambil mengayunkan tongkat kayunya yang panjang.

“Heh! Kertasukmo, mana ada kodok bisa terbang?!” Ucap pendekar itu sambil tertawa dan menghindarinya.

“Hahaha! Dia emang hobinya gitu, Eyang Daryana! Ngasi nama jurus aneh-aneh, tapi gerakannya nggak jelas!” Tawa Purbawengi yang masih mencari celah untuk menyerang Daryana dengan sebuah senjata pisau di tangannya.

“Biarin! Kata Bapak, ngasi nama jurus harus keren biar lawan gentar!” Balas Kertasukmo.

Brakk!! Brakk!! Brakk!!

Beberapa pukulan sekaligus menjatuhkan anak-anak yang mengepung Daryana.

“Aduh! Sakit, Eyang!” Keluh Wirabumi yang terjatuh merasakan pukulan paling keras diantara yang lainnya. Namun dengan segera Daryana mengulurkan tangannya.

“Maaf, Eyang sengaja. Karena kelak, kamulah yang akan menjadi pelindung mereka semua..” Ucap Daryana

Wirabumi tak lagi mengeluh. Ia berdiri dengan bangga mendengar ucapan Daryana, Eyang kebangganya itu.

Mereka pun berkumpul kembali ke pendopo untuk beristirahat sekaligus menghabiskan waktu di sana.

Itu adalah terakhir kalinya Daryana menemui cucu-cucunya. Perjalanan hidupnya membuatnya menemui wanita-wanita hebat yang mengaguminya.

Keempat istri Daryana terpencar di berbagai daerah dan dari mereka lahirlah orang tua dari Wirabumi, Kertasukmo, Purbawengi, dan keturunan Sambara yang lain.

Setelah menyempurnakan Ajian Pemutih Raga, Daryana melakukan perjalanan untuk mencari ayahnya Widarpa Dayu Sambara. Setidaknya di umur sehatnya ia ingin melakukan perjalanan, dan memastikan keadaan ayahnya yang telah lama menghilang dan tak lagi menemuinya.

Sama seperti Widarpa, walau keberadaanya menghilang dari keluarganya, ia telah meninggalkan serpihan-serpihan kesaktiannya yang mungkin bisa akan berguna bagi keturunannya kelak. Sebelum dirinya menua, Daryana berniat mengamalkan ilmunya serta menemukan ayahnya itu.

***
Read 15 tweets
Oct 24
PERANG TANAH DANYANG
Part 4 - Penduduk Masa Lalu

Cahyo kembali ke desa itu, tempat dimana ia telah berdosa pada penduduk yang tinggal di sana. Sebuah desa yang dihuni oleh Trah keluarga yang mengucilakna dirinya. Trah Rojobedes...

@bacahorror #bacahorror Image
Part Sebelumnya bisa dibaca di sini ya :
part 1 : x.com/diosetta/statu…
part 2 : x.com/diosetta/statu…
Part 3 : x.com/diosetta/statu…

Semoga teman-teman berkenan meninggalkan komen setelah membaca part ini..
Wabah di desa Darmo Kulon menewaskan lebih dari dua puluh nyawa. Anggoro sudah berusaha semaksimal mungkin, namun ia tak mampu berbuat banyak kepada mereka yang sudah sekarat.

Setidaknya, kedatangan Anggoro menghentikan jumlah korban yang terus bertambah.

“Ustad. Apa yang terjadi antara Mas Cahyo dan Raden Suto Benggolo di bukit? Mengapa Mas Cahyo tidak kembali ke sini?” Anggoro terlihat cemas saat mengetahui Ustad Imran kembali tanpa Cahyo.

“Tidak usah khawatir. Mas Cahyo baik-baik saja. Pasti kamu juga dengar suara khas knalpot vespanya saat melintas tadi, kan?”

Anggoro memang mengingat suara berisik yang melintasi desa setelah subuh. Ia baru sadar bahwa itu suara motor tua milik Cahyo.

“Lantas kenapa Mas Cahyo tidak kembali ke desa, Ustad?”

Ustad Imran menghela nafas menunjukkan wajahnya yang bingung menjelaskan apa yang terjadi.

“Apa yang ia hadapi jauh lebih besar dari bencana yang ada di desa ini, Mas Anggoro. Sesuatu yang benar-benar tak terbayangkan oleh manusia pada umumnya..”

Anggoro membaca raut muka Ustad Imran. Ia mencoba memahami kegelisahan dalam dirinya. Namun satu kabar dari Ustad Imran cukup membuat Anggoro dan warga desa lega.

Ustad Imran mengatakan bahwa tanah di desa Darmo Kulon sudah diruwat. Tak ada lagi kutukan yang mengikat desa tempat mereka tinggal. Jasad-jasad sudah bisa dimakamkan di tanah mereka.

Mendengar kabar itu, warga desa, terutama mereka yang ditinggalkan oleh keluarganya tak mampu menahan air mata.

Kini mereka benar-benar terlepas dari kutukan Raden Suto Benggolo. Namun Ustad Imran sendiri belum bisa tenang. Semua tidak ada artinya jika Cahyo gagal menangani sosok yang jauh lebih berkuasa dari Raden Suto Benggolo itu.

“Setidaknya saya ingin menyampaikan, jika suatu saat ia membutuhkan kemampuan medis saya, saya siap membantu Mas Cahyo kapan saja..” Anggoro membersihkan tangannya sambil menatap langit pagi hari di desanya. Ustad Imran mendekat dan berdiri di sebelahnya.

“Saya merasa, waktu itu akan tiba…”

***
Read 10 tweets
Oct 17
Di Balik Jejak Melati
- a horror thread –

Bau Melati yang semula menenangkan kini berubah menjadi isyarat kematian.

Sosok pendendam yang membawa ketakutan untuk warga desa. Ia tak akan tenang sebelum dendamnya terpuaskan.

#bacahorror @bacahorror Image
Namaku Arya, seorang jurnalis lepas yang terbiasa menggali cerita kriminal, misteri, hingga horor.

Adrenalin selalu terpacu saat menemukan kisah misteri yang belum terungkap, dan biasanya aku mendapatkan info dari kantor, narasumber, atau teman-teman.
Tapi kali ini, sumbernya berbeda.
Berulang kali aku bermimpi tentang sebuah desa. Desa yang selalu sunyi saat malam tiba, penduduknya dicekam ketakutan oleh sosok tak kasat mata yang meneror mereka.
Read 66 tweets
Oct 17
PERANG TANAH DANYANG
Part 3 - Jeritan Alam terkutuk

Part 1 : Sendang Mayat
x.com/diosetta/statu…
Part 2 : Ratu
x.com/diosetta/statu…

#bacahorror @bacahorror Image
Ada legenda yang mengatakan bahwa manusia, hanya menempati satu dari sekian ribu alam yang diciptakan oleh Yang Maha Pencipta.

Alam manusia, alam roh, alam mimpi, alam antara, akhirat, khayangan, atau berbagai macam nama yang sering tersebut di berbagai kepercayaan mungkin memiliki tempat tersendiri yang tak mudah dijangkau oleh manusia.

Tapi di balik itu, setiap alam memiliki ikatannya sendiri dan saling mempengaruhi dengan caranya sendiri.

Tapi satu alam pernah mati menyisakan kesadaran yang memaksa dirinya sebagai alam untuk mendapatkan energi hidup dari alam lain.

Alam itu sadar bahwa tak ada makhluk yang berhak memiliki keinginannya sendiri. Jika hanya ada satu kesadaran untuk semua makhluk di satu alam, maka alam itu akan bangkit menjadi alam yang terkuat.

Jagad Segoro demit. Hanya amarah dan nafsu yang diizinkan untuk ada di sana. Setiap makhluk perlahan akan melupakan dirinya dan menjadi satu kesadaran dengan alam itu.

Hanya kegilaan dan kekacauan yang terus ada mengorbankan darah dan nyawa untuk kembali lahirnya sebuah alam yang telah mati.
Akan ada waktunya alam ini merebut alam manusia untuk menjadi bagian darinya..

***
Dananjaya Sambara. Itu namaku, dan aku adalah seorang manusia. Iya! Aku benar-benar manusia. Namun saat ini aku terpaksa menjebak diriku di alam tempat bangsa setan, dan lelembut berasal. Sesuatu yang mengerikan akan terjadi jika kami tidak menghentikannya.

Sebuah peperangan antara makhluk yang sudah ada sejak ratusan tahun yang lalu akan terjadi dan mengoyak batas alam antara alam manusia dan Jagad Segoro Demit. Aku di sini untuk menghentikan itu semua.

Tapi, sepertinya keberadaanku tidak dibutuhkan.
Di hadapanku berdiri seorang sesepuh leluhur Trah Sambara yang telah mengurung dirinya di Jagad Segoro Demit Selama ratusan tahun. Seseorang yang menjaga kesakralan Trah Sambara dari alam terkutuk.

Eyang Wirabumi Dayu Sambara.

“Terlemah?” Gumamku saat Eyang Wirabumi mendakwaku sebagai trah sambara yang terlemah. Aku tak bisa membantahnya, mungkin ucapannya benar. Aku memang tidak memiliki ajian-ajian sesakti Paklek dan Jagad.

“Bagaimana bisa kalian membawa manusia seperti dia ke alam ini?! Apa tidak ada pilihan lain!!” Teriak Eyang Wirabumi pada Nyi Purbawengi dan Eyang Kertasukmo.

Mereka tak menjawab dan memilih mundur sambil tersenyum. Aku menoleh pada Nyi Sendang Rangu dan ia justru berpaling seolah tak ingin terlibat dengan permasalahan Trah Sambara.

“Arrrgggh!! Mengapa kalian jadi setolol ini! Jangan salahkan aku jika dia mati dalam pertempuran!” Teriaknya sambil berpaling membuang muka, namun baru melangkah sesaat ia kembali menoleh ke arahku dan menunjukkan jarinya ke wajahku.

“Dan kau! Jangan sampai kau menjadi batu sandungan untuk kami!” Ancam Eyang Wirabumi.
Aku berusaha untuk tidak merespon apapun. Selain tidak mengerti dengan keadaan di alam ini, Eyang pasti punya alasan untuk sebegitu selektifnya menilai aku dan yang lain.

“Dia hanya tidak ingin ada lagi yang mati..” Ucap Nyi Purbawengi.

“Percayalah, walau perangainya buruk dia salah satu leluhur kita yang paling baik,” Tambah Eyang Kertasukmo.

Aku hanya menghela nafas sambil berusaha tersenyum. Perangai emosinya itu memang sedikit mirip dengan Eyang Widarpa. Seandainya Eyang masih ada, mungkin akan seru jika mereka berdua bertemu.

“Kepala Ki Kundawayan itu, apa eyang yang menghabisinya?” Tanya Mas Jagad.

Tak hanya Mas Jagad, aku pun merasa penasaran bagaimana makhluk sekuat itu dan hampir membunuh kami bisa takluk begitu saja.
Eyang Wirabumi mencabut keris dari kepala itu. Ia melangkah menuju sebuah ruangan dimana terdapat sebuah cermin di sana.

“Aku melihat semua pertarungan kalian dari Koco Benggolo. Ledakkan kekuatan telur jagat membuatnya lemah, saat tiba di Jagad Segoro Demit, kami menggunakan kesempatan itu untuk menghabisinya..” Jelas Eyang Wirabumi.

“Kami?” Paklek bertanya.

Eyang Wirabumi memalingkan wajahnya dari cermin dan kembali menatap ke arah kami.

“Aku tidak seorang diri di sini, leluhur kalian yang lain terpencar di alam ini. Mereka menghimpun kekuatan dan memburu danyang yang bersekutu dengannya.”
Aku semakin penasaran dengan wujud dari leluhur-leluhurku. Hampir setiap dari mereka memiliki sifat yang berbeda, dan kehebatannya sendiri-sendiri. Setiap kemampuan itulah yang menurun kepada kami.

“Wirabumi, kau sudah mendapatkan pusaka itu?” Eyang Kertasukmo tiba-tiba membuka pembicaraan. Namun Eyang Wirabumi membalasnya dengan menggeleng dan menghela nafas.

“Aku hampir tidak percaya jika pusaka ratu ular itu memang ada di alam ini. Sudah ratusan tahun aku mencarinya, petunjuk yang kita miliki menuntun kami ke hasil yang kosong..”

Aku dan Paklek mempertanyakan apa yang dimaksud pusaka ratu ular itu? apa pusaka itu sepenting itu hingga leluhur kami mencari selama ratusan tahun.

“Eyang, apa pusaka ratu ular memang sepenting itu?” Tanyaku pada Nyi Purbawengi.

Nyi Purbawengi mengajak kami untuk duduk di ruangan itu. Koco benggolo terlihat menutup dengan sendirinya ketika kami menjauh. Sekilas aku melihat bayangan dua orang perempuan yang berjalan di sebuah desa tua. Tapi apa yang kulihat itu tidak untuk kubahas saat ini.

“Pusaka Ratu Ular merupakan penentu perang para danyang di zaman dulu. Kami semua hampir musnah oleh kekuatannya…” Jelas Nyi Purbawengi.

Ia menceritakan saat Danyang putih dan trah sambara berhasil menghentikan peperangan dengan menaklukkan danyang hitam, ada sosok danyang dari bukit pesisir yang berkhianat. Ia menggunakan pusaka ratu ular yang seketika memakan ratusan nyawa untuk membangkitkan kembali kekuatan danyang hitam.

“Pengkhianat?” Tanyaku.

Nyi Purbawengi mengangguk. Danyang itu menitiskan kekuatan dewi samudera, namun ia lahir dari tanah terkutuk.

“Siapa? Apa namanya dikenal di alam manusia?” Tanya Mas Jagad.

“Manusia memujanya untuk menanti berkah alam, namun ada yang menyembahnya untuk mendapatkan kekayaan. Di alam manusia ia merupakan sosok anggun yang dikenal dengan nama Dewi Naganingrum..” Eyang Kertasukmo mencoba menjelaskan.

Ia menambahkan bahwa nama dan sosok anggun itu hanyalah kedok. Wujud sebenarnya adalah seekor ular raksasa yang menguasai tanah bukit pesisir.

“Berarti saat ini dia ada di alam manusia?” Aku memastikan.

“Naganingrum hidup di dua alam. Ia mempunyai raga yang terkurung di alam ini, dan roh di alam manusia..” Jelas Nyi Purbawengi.

Braakk!!!
Pukulan keras Eyang Wirabumi menghantam lantai kayu bangunan itu.

“Kupastikan ia akan mati tak bersisa saat berhadapan denganku!!” Teriak Eyang Wirabumi.

Aku merasa ada permasalah pelik yang membuat Eyang Wirabumi begitu dendam dengan sosok Naganingrum itu.

Di tengah kebingungan itu, tiba-tiba koco benggolo memantulkan cahaya api yang begitu pekat. Eyang Wirabumi meninggalkan tempatnya dan bergegas menghampiri cermin itu. Ia buru-buru mengambil kerisnya lagi dan hendak meninggalkan ruangan.

“Eyang?! Ada apa?!” Tanyaku.

Jagad menatap ke koco benggolo dan wajahnya seketika diliputi amarah.

“Brengsek! Mereka membakar satu bangunan yang menampung puluhan anak kecil! Apa yang mereka lakukan?!”

Aku menghampiri ke arah mas jagad, dan pemandangan mengerikan itu benar-benar terpampang di koco benggolo. Suara anak-anak yang berteriak ketakutan pun terdengar samar dari cermin itu.

Eyang Wiraguna berhenti sejenak dan memanggil kami.

“Kalian! Ikut denganku?!” teriaknya tertuju kepada kami bertiga.

Aku menoleh ke arah Eyang Kertasukmo, Nyi Purbawengi, dan Nyi Sendang Rangu. Mereka mengangguk memberi isyarat agar kami mengikuti eyang Wirabumi.

***
Read 12 tweets

Did Thread Reader help you today?

Support us! We are indie developers!


This site is made by just two indie developers on a laptop doing marketing, support and development! Read more about the story.

Become a Premium Member ($3/month or $30/year) and get exclusive features!

Become Premium

Don't want to be a Premium member but still want to support us?

Make a small donation by buying us coffee ($5) or help with server cost ($10)

Donate via Paypal

Or Donate anonymously using crypto!

Ethereum

0xfe58350B80634f60Fa6Dc149a72b4DFbc17D341E copy

Bitcoin

3ATGMxNzCUFzxpMCHL5sWSt4DVtS8UqXpi copy

Thank you for your support!

Follow Us!

:(