Diosetta Profile picture
Jan 15, 2022 197 tweets 26 min read Read on X
TEROR PENGHUNI LAUT MALAM
Part 1 - Tabu Laut Tenggara

Upload pagi karena kemungkinan nanti bakal sibuk seharian.
cerita ini cuma 2 part kok, kali ini latar ceritanya di luar pulau Jawa, semoga saya bisa membawakan dengan baik.
@bagihorror
@mwv_mystic
@IDN_Horor
@ceritaht Image
“Darno ayo cepetan naik… kapal udah mau berangkat” panggil Fahri teman sekamarku di kapal pencari ikan untuk pelayaran kali ini.
Aku mematikan rokokku dan menyusul Fahri menaiki kapal.
“Perlengkapanmu udah dicek?” tanya Fahri padaku.
“perlengkapan apa to? Kan Cuma pelayaran kayak biasanya..” jawabku dengan sedikit cuek.
Bukannya sombong, aku memang termasuk anak buah kapal senior yang sudah puluhan kali ikut berlayar.
“bukan gitu .. kapal yang kita naiki ini kayaknya udah agak tua, jadi kayaknya perlu cek-cek safety tools juga” Ucap Fahri.
“ Iya.. tenang”aku tak menghiraukan Fahri dan menuju ke kamar untuk menaruh barang.
Tak lama setelahnya suara sirine kapal terdengar, tanda kapal sudah mulai berlayar.
Kami mulai melakukan tugas-tugas kami tanpa disuruh, sudah sewajarnya hal ini dapat kami lakukan karena hampir sebagian awak kapal yang mengikuti pelayaran ini adalah awak senior.
Ada yang memeriksa ruang pendingin, membantu di ruang mesin, atau sepertiku memeriksa peralatan jaring penangkap ikan di geladak kapal.
Sebelum sempat menyelesaikan pekerjaanku, tiba-tiba terdengar suara dari salah satu awak kapal dengan menggunakan pengeras.
“Kumpul! Semua kumpul! ada briefing dari bos!” Ucap salah seorang anak buah kapal melalui pengeras suara di tengah-tengah pekerjaan kami.
Kami segera meninggalkan pekerjaan kami dan berkumpul di geladak.
“Perhatian semuanya! Seperti yang sudah kalian tau, sudah beberapa pelayaran yang kita lalui tidak mendapatkan hasil yang maksimal..”
Ucap Bos yang sepertinya sudah bersiap menjelaskan sesuatu.
“Jadi kali ini kita akan berlayar ke arah tenggara.
Arah laut yang masih jarang disentuh nelayan lain… “
Laut di tenggara pulau kami memang jarang didatangi nelayan, selain karena medan karangnya yang berat , rumor mengenai hal ghaib di sana juga banyak beredar.
“Untuk navigasi saya sudah membawa navigator yang handal, jadi tidak perlu khawatir, fokus dengan tangkapan kalian” Lanjut bos.
Kami semua menyetujui tanpa ada yang berani membantah.
Aku sendiri sebenarnya penasaran dengan kondisi laut di tenggara. Selama pelayaran, aku belum pernah mendapat kesempatan ke sana. Semua itu karena memang tidak ada yang berani melanggar aturan tak tertulis ini.
Hari mulai malam, suhu air sudah mulai rendah, kami bersiap menebarkan jala sesuai petunjuk.
Dua orang anak buah kapal turun ke air, mereka membantu memasang posisi jala dari sisi yang berbeda.
Setelah semua siap,mesin kapal pun dimatikan. Setelah menyelesaikan tugasnya kedua anak buah kapal yang terjun kelautpun berenang kembali untuk naik ke kapal.
“Bener, di sini banyak ikanya” Ucap mereka yang menyaksikan sendiri keberadaan ikan-ikan di bawah laut yang sudah menjadi target kami.
Mendengarnya kami tersenyum dan menunggu hingga ikan-ikan itu terkurung di Jala yang kami sebar.
Beberapa jam kami menanti hingga benar-benar terlihat jaring mulai terasa berat.

“Tariiik!” Suara salah seorang anak buah kapal terdengar.
Kami segera mengambil posisi untuk mengatur menarik jaring yang telah terisi ikan dan menarik secepat mungkin dibantu dengan sebuah mesin penggulung yang sebenarnya jauh lebih berguna dari tenaga kami.
Sayangnya tak lama tiba-tiba jala kami terasa berat seperti menyangkut pada sesuatu.
“Tarik Darno.. tarik!” Ucap Fahri yang berada di sebelahku
“Nggak bisa .. nyangkut” jawabku.
Kami mencoba memperbaiki jaring, namun tiba-tiba tetesan air hujan mulai membasahi tubuh kami.
“Yah… hujan , masih bisa dapet ikan gak ini…” keluh Fahri padaku.
Hujan turun semakin deras, dan setelahnya tanpa dapat ditebak ombak datang dan melemparkan perahu dengan kencang, kami semua berhamburan memasuki kapal.
Sebagian awak kapal melabuhkan jangkar di tengah laut yang tiba-tiba segera mengganas menyusul derasnya hujan datang. Kami berharap jangkar ini mampu mempertahankan posisi kapal agar tidak terbawa gelombang tanpa arah.
Sayangnya kesialan kami belum selesai, sebuah sambaran petir membakar tiang kapal dan mematikan seluruh listrik yang ada di kapal.

Sebelum masuk ke dalam, sekelebat aku seolah melihat ada sesosok bayangan yang memanjat masuk ke kapal ini dari arah laut.
Aku mengira dia adalah awak kapal yang masih tertinggal di air untuk memperbaiki jaring, namun saat aku ingin keluar untuk membantunya sosok itu sudah tidak ada di sana.
Suasana panik saat itu membuatku memutuskan untuk melupakan kejadian itu dan melanjutkan masuk menuju kabin.
Malam ini dilalui tanpa adanya aliran listrik. Beberapa awak kapal yang memang bertugas untuk melakukan perawatan di bagian kelistrikan masih berkutat di ruangan genset.
Hening… Suasana di kapal ini seketika berubah menjadi hening. Hanya suara deburan ombak yang berani mengisi keheningan ini.
Dengan ombak setinggi ini tidak ada yang berani keluar untuk melakukan aktivitas di luar sana.
Kami hanya berharap badai di tempat ini segera berakhir dan kami masih memiliki kesempatan untuk mencari hasil tangkapan.
Aku mencoba untuk tidur dengan kondisi seperti ini. Namun sepertinya kali ini aku membutuhkan waktu lebih lama untuk tertidur.
Di tengah rasa kantukku, samar-samar terdengar suara pintu terbuka perlahan. Dengan setengah sadar aku membuka mata dan memastikan teman sekamarku masih berada di kasurnya.
Awalnya aku ingin membiarkan saja pintu yang terbuka itu dengan rasa kantuk yang telah menguasaiku. Namun gelombang laut membuat pintu itu terus berayun dan membuat suara gaduh.
Aku turun dari kasurku, berjalan perlahan dan menyentuh daun pintu untuk menutupnya. Tetapi sesuatu yang aneh melintas dengan cepat di depan mataku.
Seseorang yang belum pernah kami lihat melintas di depan pintu kamarku dengan wajah pucat dan tanpa ekspresi sama sekali. Gerakanya tidak seperti sedang berjalan layaknya manusia yang berjalan di kapal dengan guncangan ombak.
Ia seperti melayang…

Rasa kantuku hilang seketika bersamaan dengan rasa takut yang seketika muncul menyelimuti tubuhku.
Aku membutuhkan waktu untuk meyakinkan diri untuk menoleh ke arah lorong kamar memastikan siapa yang melintas di depanku tadi hingga akhirnya aku menoleh ke arah perginya sosok itu.
Tidak ada siapapun yang terlihat di sana selain kegelapan yang menyelimuti lorong kabin.
Tapi anehnya semua pintu kamar kabin anak buah kapal terbuka seperti yang terjadi di kamarku tadi.
Mataku tertuju pada sebuah cahaya yang muncul dari sebuah kamar yang ku tahu itu adalah kamar Fahri.
Kemungkinan dia sudah mempersiapkan lampu emergency untuk keadaan seperti ini dan saat itu juga aku memutuskan untuk menghampirinya.

“Jangan…” Terdengar suara seperti seseorang yang menangis tak jauh dari tempatku berada.
“Jangan naik ke atas…”
Aku menoleh ke arah sebuah kamar gelap yang kulewati. Suasananya tidak jauh berbeda dengan kamarku.
Di sana terlihat seseorang sedang meringkuk ketakutan di lantai tanpa ada awak kabin lain yang berada di sekitarnya.
Saat aku mencoba mendekat, tiba-tiba pria itu segera berlari ke arah pintu dan membantingnya seolah melarangku untuk mendekat.
Samar-samar masih terdengar suara pria yang menahan pintu itu dari dalam mencoba memperingatkanku.
“Jangan naik ke atas… kita sudah melanggar tabu” ucapnya dengan nada yang ketakutan.
Aku mencoba mencerna apa yang ia maksud namun kupikir aku akan membicarakan ini dengan Fahri dan segera meninggalkan kamar itu dengan meraba-raba tembok kapal yang memanduku berjalan di kegelapan.
Sekali lagi.. belum jauh aku berjalan dari kamar tadi, aku merasakan ada sesuatu seperti memperhatikanku dari belakang. Aku mencoba tidak memperdulikannya dan terus melanjutkan langkahku.
Sayangnya rasa merinding yang muncul seketika seolah memastikan ada sesuatu yang memperhatikanku di balakang sana.
Dengan gemetar aku memutar tubuhku untuk memastikan sosok itu.
lorong yang tadi siang terlihat biasa saja kini terlihat mengerikan di tengah kegelapan, seolah lorong ini terlihat tidak memiliki ujung.
Jauh dari dalam kegelapan aku melihat sebuah pergerakan yang mendekat.
Manusia? Bukan…
Sesuatu yang berukuran pendek , tidak lebih tinggi dari lututku. Namun benda itu bergerak tanpa ada pengaruh guncangan di kapal ini.
Aku berusaha berpikir bahwa itu adalah tikus atau hewan lain. Atau setidaknya sebuah benda yang bisa bergerak.
Sayangnya prasangkaku musnah bersama kemunculan sesosok makhluk yang mendekat itu.

Kepala…
Sebuah kepala makhluk berambut panjang dengan wajahnya yang pucat muncul dari lantai lorong kabin seolah melayang mendekatiku.
Kepala yang semula hanya terlihat dari hitung hingga rambut perlahan semakin tinggi memamerkan tawanya yang lebar hingga ujung bibirnya hampir menyentuh telinganya.
Seketika tubuhku lemas dan terjatuh. Belum pernah aku melihat hal seperti ini sebelumnya.
Aku mencoba berdiri namun beberapa kali aku terjatuh kehilangan tenaga dan sialnya kepala itu semakin mendekat ke arahku.
“Se—setan! Tolong!”
Aku berusaha mencari pertolongan dari siapapun yang kuharap bisa mendengarkan suaraku namun sepertinya sama sekali tidak ada tanda-tanda seseorang yang mendengar.
Saat itu juga air mataku menetes menahan setiap kengerian yang menyelimuti tubuhku.
“Pergi! Tolooong! Pergii!” Aku sudah tidak tahu lagi dengan apa yang sudah kuucapkan.
Namun di tengah kesadaranku yang berada diambang-ambang, aku merasakan seseorang menarik tubuhku ke belakang.
Entah apa yang terjadi setelahnya, tiba-tiba aku sudah berada di sebuah kamar dengan sedikit cahaya dengan tangan yang menutup mulutku seolah bermaksud menahanku agar tidak berteriak.
Mereka yang menarikku segera mematikan lampu emergency di kamarnya dan menatap ke arah pintu kamar yang masih terbuka.
Kami menunggu dengan degup jantung yang terus berdetak dengan tidak tenang.
Mulutku tertutup, namun saat itu mataku masih bisa melihat dengan jelas sesosok kepala pucat yang melintas di depan pintu kamar kabin tepat dihadapanku.
Nafasku terengah-engah seolah tidak percaya dengan apa yang kulihat.
“Ssst… tenang dulu, biar aman dulu”
Terdengar suara seseorang yang kukenal berada diantara orang-orang yang menarikku. Itu adalah suara Fahri.
Mendengar suaranya aku menjadi cukup tenang. Aku mencoba mengatur nafasku dan mencoba mengumpulkan keberanianku.
Melihatku sudah mulai tenang, seseorang yang menahanku melepaskan tanganya dan berjalan mencoba mengintip ke arah luar.
Ia mencoba menutup pintu kamar. Namun entah mengapa pintu itu selalu terbuka dengan sendirinya.
“Kamu ngapain keluar kamar?” Ucap Fahri.
Aku membalikan badan, sudah ada dua orang lain di kamar ini selain Fahri.
“I—ini ada apa sebenarnya Fahri? Makhluk-makhluk itu apa?” Tanyaku.
Fahri menoleh kepada kedua temanya yang sepertinya juga tidak memiliki petunjuk.
“Kami juga nggak tahu Darno, seumur-umur ikut kapal orang belum pernah ada kejadian seperti ini” Jelas Fahri.
“Saya Karto ini teman saya Binsar.. kami kesini karena melihat kamar Fahri ada cahaya” Jelas seseorang yang bernama Karto.
Sepertinya dia yang tadi menyelamatkanku ke kamar ini.
“Terus teman sekamarmu mana Fahri?” Tanyaku.
“Entah, tadi dia bilang mau ke atas mengecek sesuatu.. tapi sudah beberapa jam dia tidak kembali” Jawab Fahri.
Seketika aku teringat perkataan seseorang dari salah satu kamar tadi yang melarangku untuk naik ke atas. Saat itu juga aku merasakan firasat tidak enak dengan teman sekamar Fahri yang naik ke atas.
“Tadi.. di beberapa kamar sebelum kamar ini, ada awak kabin yang nangis dan bilang ke saya jangan naik ke atas..” Ceritaku pada mereka.
“Maksudnya gimana No?”
“Katanya kita sudah melanggar hal tabu… “
Saat itu juga Fahri dan kedua orang lainya saling bertatapan , terlihat raut wajah kekhawatiran terpampang di wajah mereka.
“Fahri, siapin barang-barang yang kemungkinan bisa terpakai.. senter, pisau, tali.. atau apa. Kita cek keadaan yang lain” Ucap Binsar yang terlihat paling berani di antara kami.
Fahri mengangguk dan mulai mempersiapkan tas dan mengambil barang-barang dari lokernya.
Beruntung Fahri masih bisa menemukan satu buah senter lagi sementara lampu emergency bisa kami simpan untuk hal darurat lain.
Dengan sigap kami membantu memasukan barang-barang itu ke dalam tas dan bersiap untuk meninggalkan kamar.
Sesekali suara sambaran petir terdengar memekakan telinga kami.
derasnya hujan yang turun menimbulkan suara bising yang membuat kami harus sedikit berteriak untuk berbicara satu sama lain.
“Gimana ada orang?” Tanya Binsar.
Karto yang sedang membuka pintu kamar menggeleng dan menunjukan sebuah kamar kosong dengan barang yang sudah berantakan.
“Nggak ada, mungkin dia sudah pergi duluan” Jawab Karto.
Kami melanjutkan perjalanan kami dan memeriksa satu persatu kamar yang kami lewati.
Tak seperti yang kami duga, kamar-kamar yang kami kira masih dihuni awak kapal ternyata sudah kosong.
Berarti sedari tadi hanya kamar di lorong ujung tempatku dan Fahri istirahatlah yang masih baru menyadari keadaan ini.
Sekilas aku teringat seseorang yang memperingatkanku tadi untuk tidak naik ke atas.
Tetapi sepertinya akan percuma bila aku menjemputnya untuk membawanya ke atas tempat yang ia larang itu.
Dengan hanya bermodalkan sebuah senter kami melanjutkan kami. semakin lama kami berjalan , semakin banyak hal aneh yang kurasakan.
Salah satu yang paling mengganggu adalah suara tangis seorang wanita yang tersamar oleh suara deburan ombak.
Jelas itu tidak biasa. Tidak ada awak kapal wanita di sini.
Entah apa Fahri dan yang lain mendengar hal serupa atau tidak, atau mungkin mereka juga memutuskan untuk pura-pura tidak mendengarkan seperti yang kulakukan.
“Fahri , kalian tunggu di sini sebentar…” Ucap Binsar yang seperti bersiap pergi ke suatu tempat dengan membawa satu-satunya senter.
“Heh.. mau ke mana!?” Tanya Fahri.
“Itu.. kamar mandi, sebentar saja.. dari tadi sudah kutahan” Jawab Binsar.
“Bisa-bisanya kamu di waktu begini..” Ucap Karto.
“Aku ikut…” Ucap Fahri.
Aku dan Karto serentak menatap Fahri, dengan adanya dua orang yang bertujuan sama, sepertinya aku dan Karto harus mengalah. Toh sebenarnya itu juga hal yang lumrah.
Bukan tanpa alasan aku memilih untuk menunggu di luar. Di film-film yang kutonton kamar mandi adalah salah satu tempat favorit kemunculan makhluk-makhluk halus yang berniat mengganggu.
Di tengah lamunanku dan Karto suara air kamar mandi terdengar seperti menandakan Binsar dan Fahri sudah menyelesaikan urusannya.
Ternyata Binsar dan Fahri memang tidak menghabiskan waktu lama di kamar mandi dan seperti terburu-buru keluar dari tempat itu.
“Sudah?” Tanyaku.
Fahri mengangguk, namun aku seperti melihat ada yang berbeda dari wajah mereka berdua.
“Kamu nggak papa kan Binsar?” Tanya Karto yang sepertinya juga merasa aneh dengan tingkah laku mereka berdua. Seperti sudah terjadi sesuatu di kamar mandi tadi.
Kami memutuskan untuk tidak bertanya lebih jauh, mungkin saja mereka memang sengaja tidak menceritakan untuk mencegah hal-hal buruk terjadi lagi.
Kami berjalan perlahan di tengah kegelapan.
Sesekali aku menoleh kebelakang memperhatikan setiap jalan yang kami lalui di tengah kegelapan. Entah setelah selesai dari kamar mandi tadi aku merasakan udara lebih dingin dari biasanya.
Selang beberapa lama kami mendengarkan suara seperti pintu yang tertutup. Bukan suara ringan seperti pintu kamar, melainkan suara pintu yang lebih besar seperti pintu kamar mandi.
Tak lama setelahnya sebelum mencapai tikungan lorong , Karto menarik lenganku dan menahanku untuk mengikuti Fahri dan Binsar.
“Ke—kenapa To?” Tanyaku.
“Ssst… kita mundur dulu” Ucap Karto sambil berbisik.
“Terus Fahri sama Binsar gimana?” Tanyaku berbisik mengikuti nada suara Karto.
Karto memberiku isyarat untuk menoleh ke belakang. Samar-samar dari sana terlihat cahaya senter yang menyorot ke dinding Lorong.
Seketika aku teringat, tadi senter dipegang oleh Binsar. Tapi kenapa sepanjang perjalanan dari kamar mandi tadi Binsar tidak menyalakan senternya.
Aku mulai mengerti maksud Karto dan segera mundur ke belakang tepat ke arah cahaya itu.
“Kalian kemana? Kok ninggalin kita?” Tanya Fahri yang tiba-tiba muncul dari arah belakang kami.
Seketika keringat dingin mengucur deras di tubuhku.
“Emangnya kalian bisa liat jalan tanpa senter?” Lanjut Binsar.
Karto hanya terdiam melihat kemunculan Binsar dan Fahri. Sepertinya ia pun mencoba menahan rasa takutnya sebelum menceritakan apa yang terjadi.
“Bu—bukanya kalian sudah keluar dari kamar mandi sejak tadi” Tanyaku.
Fahri dan Binsar saling menatap.
“ini kita baru selesai, susah juga gelap-gelapan di kamar mandi” Jelas Fahri.
“Emang ada apaan?”
Karto yang terlihat pucat mencoba mengatakan apa yang terjadi tadi.
“tadi kami melihat kalian berdua sudah keluar dari kamar mandi, jadi kami ngikutin.. pas di tikungan lorong kami melihat cahaya senter yang dibawa Binsar dari belakang. Dari situ baru aku sadar ada yang aneh..” Jelas Karto.
Binsar terlihat menelan ludahnya, namun sepertinya ia masih bisa untuk menahan rasa takutnya.
“Ya sudah.. kita lanjutin perjalanan dulu, kita pastiin dulu ke atas.. coba cari Bos atau petugas di atas” Lanjut Binsar yang segera mengambil posisi terdepan dengan senternya.
Aku mempersiapkan nyaliku sebelum akhirnya berjalan mengikuti Binsar yang berjalan di depan kami.
Baru saja berjalan.. belum ada beberapa menit, tiba-tiba Binsar terhenti di tikungan lorong tempat kami tari berhenti.
Wajah Binsar terlihat terpaku menatap sesuatu yang tertutup tikungan lorong dari arah pandanganku.
Apa mungkin mereka masih ada di sana?
Wajah Binsar terlihat pucat. Aku dan yang lain segera mempercepat langkahku menghampiri Binsar.
Benar, mereka masih ada di sana..
Berdiri tak bergerak menuju tangga yang berada tidak jauh dari hadapanya.
“I—itu mereka!” Ucapku dengan suara yang gemetar.
Dari belakang wujud mereka hampir tidak ada bedanya dengan Fahri dan Binsar. Namun saat cahaya senter itu menyinarinya, sontak mereka menoleh ke arah kami berempat.
Pucat… Wajahnya sungguh pucat, kayaknya kulit manusia yang sudah terendam berhari-hari di lautan. Hampir seluruh bagian wajahnya menyerupai Binsar dan Fahri namun ada sesuatu yang berbeda.
Aku mencoba memikirkan apa perbedaan dari wajah mereka namun aku belum menyadarinya.
Melihat kejadian itu Aku menarik tubuh Binsar dan yang lain.
“Lari… !” Ucapku.
Aku memandu mereka kembali menuju sebuah kamar dengan pintu yang terbuka di dekat kami. di situ kami menutup pintu rapat-rapat dan kembali mematikan lampu senter.
Entah makhluk itu mengikuti kami atau tidak, tapi sepertinya kami sepakat untuk tidak bersembunyi dalam waktu yang lama.
“Kita nggak bisa begini terus… Kita berempat! Kalau ketemu makhluk begituan lagi, Tabrak aja!” Ucap Binsar dengan logatnya yang khas. Sepertinya dia sudah lupa wajah pucatnya saat tadi melihat wajah makhluk itu.
“Aku takut… tapi aku setuju sama Binsar, kalau begini terus kita bisa terjebak di sini” Lanjut Fahri.
Aku pun sama. Kami berempat, seharusnya kami berani menghadapi apapun yang muncul.
Setelah mempersiapkan nyali, kami kembali keluar. Kali ini masing-masing dari kami menggenggam sesuatu untuk melindungi diri mulai dari pisau lipat dan pipa besi pendek yang kami temukan di tempat kami bersembunyi.
Kami berjalan perlahan menuju tikungan lorong tempat kami berpapasan dengan dua orang yang menyerupai Fahri dan Binsar. Beruntung, Kedua makhluk itu sudah tidak ada di sana.
Sebuah tangga kecil terlihat sudah berada di hadapan kami. Di atas lantai adalah ruangan yang setara dengan geladak kapal. Di sana merupakan kamar petugas pengawas dan beberapa pihak yang bertanggung jawab dengan pelayaran ini.
Kami bergegas menaiki tangga itu satu persatu hingga mencapai lorong besar yang menunjukan pintu-pintu ruangan yang berhadapan langsung dengan jendela kapal.
Di sini aku bisa melihat dengan lebih baik dari cahaya bulan yang masuk melalui jendela.
Namun kami masih membutuhkan penerangan dari senter yang dibawa oleh Binsar.
“Fahri… di sini sepi juga, perasaanku nggak enak” Ucapku.
Fahri tidak menjawab. Diamnya menjelaskan bahwa perasaan yang mereka rasakan tak jauh berbeda dari yang kami rasakan.
Sesekali hantaman ombak menggoyahkan kapal ini sehingga kami harus berpegangan pada sebuah tiang.
“Jadi sekarang kita ke arah mana?” Tanyaku pada yang lainya.
“Mungkin kita coba ke ruang kendali dulu” Jawab Fahri.
Aku setuju. Namun sebelum kami pergi , aku melihat Karto terpaku di depan kaca jendela yang basah dengan derasnya hantaman air hujan.
“Ki—kita jangan keluar” Ucap Karto. Kali ini giliran wajahnya yang terlihat pucat.
Sesuatu pasti sedang terjadi di luar sana. Dengan segera aku menghampiri Karto dan mendekat ke arah kaca jendela yang basah itu.
Tepat saat melihat keluar ke arah geladak melalui kaca jendela ini, saat itu juga aku merasa ragu bisa selamat dari tempat ini.
Berbeda dengan kondisi di dalam sini, di luar terlihat banyak orang yang sedang berdiri di geladak.
Mereka tersebar hampir di setiap sisi kapal.
Bukan… mereka bukan awak kapal. wujudnya benar-benar seperti manusia dan berpakaian layaknya manusia biasa seperti kami.
Namun wajahnya pucat, posisi berdirinya yang tidak terpengaruh oleh goyangan kapal yang sangat kencang membuatku memastikan bahwa mereka bukanlah manusia biasa.
Ah iya… aku ingat sesuatu. Perbedaan dari makhluk yang menyerupai Fahri dan Binsar tadi juga terdapat di makhluk-makhluk itu.
Tidak ada belahan di antara bibir dan hidung makhluk-makhluk itu. Sekilas, perbedaan itulah yang paling jelas diantara mereka dan manusia biasa.
Sayangnya bukan itu yang seharusnya kukhawatirkan.
Saat ini di tengah gelapnya malam dan derasnya hujan semua makhluk itu sedang menatap ke satu arah yang sama dengan wajah penuh amarah.
Suara petir dan kilatan cahaya memperjelas wujud mereka yang sedang menatap ke arah kami.
“Pe—pergi! Kita pergi!” Ucap Binsar.
“Tapi kemana?” Tanya Fahri yang juga terlihat panik.
Aku tidak bisa berpikir apa ada tempat aman di kapal ini? Setidaknya sampai kita bisa bertahan hingga besok pagi.
“I—itu! Lihat itu!”
Kali ini Karto yang masih ketakutan menunjuk ke satu arah di luar jendela.
Perlahan kami berjalan kembali ke arah jendela dan menatap ke arah yang ditunjukan oleh Karto.
Masih dengan tatapan mengerikan dari makhluk-makhluk itu. Namun bukan itu yang ditunjukan oleh Karto.
Melainkan sesosok jasad yang tergantung terbalik di salah satu tiang kapal dengan tambang yang terikat di kakinya.
Jelas jasad itu tidak mati dengan cara yang wajar. Itu semua terlihat dari tubuhnya yang tergantung terbalik dengan darah segar mengalir dari setiap lubang di wajahnya.
“I—itu bos?” Ucap Fahri yang masih tidak percaya.
Aku mengangguk sementara Binsar yang sebelumnya masih mampu menahan rasa takutnya kini terjatuh lemas seolah satu-satunya harapan kami untuk selamat sudah tergantung di sana.
Entah apa yang akan terjadi lagi di malam ini. Yang pasti kami harus bersiap menghadapi makhluk-makhluk itu yang perlahan mendekat menghampiri kami.

Bersambung part terakhir - Jasad Di dalam Tong
(Update malam jumat - 20/1/2022)
Terima kasih telah mengikuti part ini hingga selesai. Mohon maaf apabila ada kesalahan dalam penulisan ataupun bagian cerita yang menyinggung.

Bagi yang ingin membaca part akhir duluan atau sekedar memberi support bisa mampir ke @karyakarsa_id ya..🙏

karyakarsa.com/diosetta69/2-t…
TEROR PENGHUNI LAUT MALAM
Part Akhir - Jasad di dalam Tong

@IDN_Horor
@qwertyping
@bacahorror
@bagihorror
@ceritaht
@RestuPa71830152 Image
Sambil nunggu selesai di upload nanti malem, bisa mampir ke Radio Tengah Malam dengerin saya sama @Wakhidnurrokhim ngoceh bahas pesugihan...

Sekalian mau minta tolong temen2 buat subscribe , like atau ninggalin komen ya ☺️🙏

Terima kasih

Makhluk yang menyerupai manusia, tanpa garis belahan diantara bibir dan hidungnya. Aku pernah mendengar cerita mengenai-makhluk makhluk ini di beberapa tempat seperti di pedalaman hutan sekitar danau.
Bagi mereka yang memilik “kemampuan” konon mereka bisa melihat bahwa makhluk ini memiliki peradaban sendiri.

Tapi ini di tengah laut, Jauh dari tempat-tempat yang sering di ceritakan itu.

“Sekarang kita harus gimana?” Tanya Fahri yang masih bingung dengan keadaan ini.
“Ki—kita ga nyoba nolongin bos, siapa tahu dia masih bisa di tolong” Ucap Karto.
“Gila kamu ya! Itu sama saja kita nyemplung ke kolam buaya! Buaya masih bisa dibunuh pake senjata.. nah makhluk-makhluk itu gimana?” Bantah Binsar.
“Sudah , Kita pergi dulu.. kita cek awak kapal yang lain”
Aku segera menarik tubuh mereka menuju lorong lagi setidaknya kami berusaha menjauh dari makhluk-makhluk itu.
Di ujung dari lorong ini adalah ruangan genset, kami memutuskan untuk menghampiri mekanik yang sedang membetulkan genset kapal.
Suasana lorong begitu sepi, tidak terdengar suara awak kapal lain.
“Binsar, Karto ada kenalan kalian yang tugas di lantai ini?” Tanyaku.
Binsar dan Karto menggeleng.
“Aku dan Karto awak cabutan, sisanya sepertinya awak tetap kapal ini” Jawab Binsar.
Rupanya mereka juga sama seperti aku dan Fahri hanya awak buah kapal tambahan yang biasa dipekerjakan untuk pelayaran dalam jangka waktu lama.
Ruangan genset terletak di ujung lorong ini berbeda dengan di bawah, lorong ini memiliki lampu emergency yang menyala redup dari ujung ruangan genset itu.
Kami berjalan perlahan, keberadaan sedikit cahaya yang menerangi lorong memberikan sedikit keberanian kepada kami untuk menuju tempat itu.
Sesekali aku menoleh ke arap ruangan-ruangan yang kami lewati dan mengintip melalui jendela kaca, berharap ada orang lain yang bisa membantu kami. Namun sayangnya tidak ada seorangpun yang bisa kutemukan.
“Harusnya ada lebih dari lima puluh orang kan di kapal ini? Kenapa tidak ada yang terlihat lagi ya?” Tanya Fahri.
Tidak ada yang berani menjawab pertanyaan Fahri, terutama setelah kami melihat kondisi bos yang sudah tak bernyawa di luar sana.
“Aku hanya berharap mereka masih hidup seperti kita” ucapku yang dibalas dengan tatapan mereka bertiga.
Memang itulah kekhawatiran kami saat ini, sepanjang perjalanan tadi kami tidak menemukan seorangpun manusia yang berpapasan dengan kami.
“Itu ruanganya, yang ada lampu warna merah” Jelas Karto.
Fahri berjalan maju mendekat dan memegang gagang pintu yang terbuat dari besi itu.
“Hati-hati Fahri, diintip dulu.” Ucapku.
Fahri membuka sedikit pintu ruangan genset. Walau sudah sehati-hati mungkin namun suara engsel pintu yang sudah berkarat tetap menimbulkan suara.
“Halo!! Ada Orang?” Teriak Binsar.
Kami berpencar ke ruangan yang cukup luas itu. Rupanya ruangan ini juga bersebelahan dan menyambung dengan gudang peralatan.

“Bang… darurat bang, ada orang di sini?” Teriak Binsar lagi. Namun tidak ada satupun suara yang menjawab teriakanya.
Fahri menemukan lampu emergency dan berinisiatif menyalakanya. Seketika rungan menjadi lebih terang dan kami dapat melihat dengan lebih baik.
Dengan cahaya yang cukup jelas, tiba-tiba mataku tertuju pada kumpulan tong-tong besar yang terbuat dari bahan besi kaleng di sudut ruangan. Tong-tong itu hampir memakan seperempat dari ruangan ini.

“Fahri! Darno! Kesini!” Ucap Binsar dengan nada suara yang sedikit bergetar.
Aku dan Fahri segera berlari menghampirinya. Binsar menunjuk ke salah satu celah antar mesin dan menyorotkan senternya.
Seketika aku terjatuh saat melihat sosok yang ditunjukan oleh cahaya senter Binsar.
Jasad seorang laki-laki yang masih berpakaian seragam mekanik , lengkap dengan sarung tangan karet dan sepatu bootnya terlihat seolah sedang bersembunyi di celah mesin itu.
Namun bukan itu saja yang mengerikan. Kami bisa memastikan ia sudah mati karena di wajahnya sudah tiadak ada lagi bola mata dan digantikan dengan aliran darah di pipinya yang sudah mengering.
“di—dia sudah mati?” Tanya Karto yang menyusul kami memperhatikan jasad itu.
“Sudah, sekarang kita jangan pikirkan yang lain.. yang penting bagaimana cara kita bisa selamat”
Binsar mencoba menguatkan kami yang semakin ketakutan setelah melihat hal ini.
Suara ombak menderu menemani kami yang masih belum bisa memastikan apa yang harus kami lakukan setelah ini.
Binsar membongkar barang-barang di sekitar gudang dan memisahkan beberapa benda seperti suar, senter, dan benda-benda yang mungkin saja kami butuhkan.
“Sebenarnya apa yang terjadi, kenapa makhluk-makhuk ini bisa mengincar kapal ini?” Ucapku yang terduduk lelah di salah satu sudut ruangan ini.
“Sudah, aku tidak peduli… yang penting bagaimana cara kita bisa selamat dan tidak mati seperti mereka.” Jawab Karto.
Ucapan Karto tidak ada yang salah, namun tetap saja aku masih merasa penasaran.
Di tengah lamunanku aku melihat sebuah buku yang cukup tebal. Seingatku itu buku yang sering dibawa oleh bos. Dengan segera aku berdiri dan mengambilnya.
Itu adalah sebuah catatan pelayaran singkat yang sudah dijalani oleh bos selama ini. Aku membacanya hingga mencapai lembar yang menunjukan tanggal kemarin.
Di halaman itu terselip sebuah kertas bergambar peta lautan. Sebuah catatan kaki tertulis di bawah gambar peta itu.
Note : Buang Tong-tong itu di tiga tempat yang berbeda
Seketika aku melihat peta itu kembali dan melihat beberapa tempat sudah ditandai dengan tanda silang. Ketiga tempat itu masih berada di sekitar laut tenggara.
“Fahri, binsar, Karto.. coba liat ini” Panggilku.
Mereka menghampiriku dan segera memperhatikan buku catatan yang kutunjukan.
“Rupanya Bos ada tujuan lain ke laut ini.” Jelasku.
“Memangnya isi tong itu apa? Limbah?” Tanya Karto.
“Nggak tahu, nggak tertulis di sini” Balasku lagi.
Tak berselang lama tiba-tiba sebuah ombak besar kembali menghantam kapal ini dan menjatuhkan kami bertiga. Tak hanya itu , sebuah tong besar yang sebelumnya berada di atas tong lainya terjatuh hingga tutupnya terbuka.
Mendengar suara yang keras itu, spontan Binsar mengarahkan senternya ke tong itu.
“t—tangan! Itu tangan!” Teriak Karto saat melihat tangan muncul dari tong itu.
“Mayat? Tong itu berisi mayat!!”
Mendengar ucapan karto kami bergegas menghampiri tong itu dan memperhatikan isinya.
Benar kata Karto, tong ini berisi jasad seseorang. Ini bukan jasad biasa, sebagian tubuh jasad ini dicor dengan semen di dalam tong ini hingga tidak bisa bergerak.
Terlihat juga bekas siksaan di tubuh mayat yang mati dengan mengenaskan itu.
Aku memperhatikan catatan tadi dan menyadari, lokasi pertama adalah tempat kami menebarkan jala tadi.
“Bos brengsek!!!” Teriak Binsar sambil melampiaskan kekesalan dengan menendang barang-barang di sekitarnya.
Wajah panik kembali muncul di wajah kami semua.
“Aku tau wajah jasad itu, dia orang penting yang sering muncul di berita televisi” Ucap Fahri dengan wajahnya yang pucat.
Ini perbuatan yang keji. Rupanya kapal ini juga membawa tugas lain untuk membuang jasad di dalam tong ini ke laut.
Mereka sengaja memilih laut tenggara yang memang dihindari oleh para nelayan.
“Jadi ini alasan kapal ini di kutuk, kita bukan cuma melanggar tabu, tapi juga sudah bertindak kelewatan” Ucap Karto.
Aku terduduk lemas mengetahui kenyataan ini.
Fahri dan yang lainyapun terlihat gelisah sambil memeriksa tong lain yang kemungkinan memiliki isi yang sama.
Melihat semua ini aku sedikit berdoa berharap semua jasad ini bisa mendapatkan ketenangan walaupun mereka mati dengan jasad cara yang mengenaskan.
Di tengah kepanikan itu kami mendengar suara ramai dari luar ruangan. Suara itu seperti sura manusia yang mengikuti suara lebah yang berdengung.
Suara itu terus bersahut-sahutan dan semakin lama terdengar semakin mendekat.
Aku tidak mampu lagi membayangkan apa yang berada di luar. Bila memang mengincar kami, bisa saja makhluk itu sudah ada di luar.
“Kita harus keluar dari kapal ini..”
Fahri mengajak kami berdiri dan mencoba berjalan ke arah pintu.
“Badainya masih besar Fahri, setidaknya kita bertahan sampai besok pagi” Bantah Binsar.
“Awalnya itu rencanaku, tapi dengan semua kenyataan ini tidak ada kepastian kita bisa selamat sampai besok.” Jelas Fahri.
“Aku orang laut.. lebih memilih mati karena ombak laut dari pada dibunuh setan-setan itu”
Entah seketika ucapan Fahri itu membuat kami berpikir hal yang serupa.
Benar ucapanya, sudah ratusan badai kami hadapi dan kami bisa bertahan hingga sekarang. Dibanding harus berhadapan dengan setan-setan itu aku lebih memilih berhadapan dengan badai ini.
Saat itu juga Binsar mengambil benda-benda yang sudah ia kumpulkan dan menghampiri kami menuju pintu.
“Sekoci harusnya ada di geladak belakang, kita bisa kesana lewat ruangan yang tidak jauh dari sini di sana ada tangga” Ucap Binsar yang sepertinya tergerak dengan ucapan Fahri.
Setelah siap kami membuka pintu ruangan dan kembali menghadapi lorong yang disinari dengan cahaya remang-remang itu.
Sayangnya sekarang lorong itu sudah tidak sama seperti yang kami lewati tadi.
Di hadapan kami bersliweran makhluk yang melintas dari satu ruangan-ke ruangan lain yang seolah berjalan namun sebenarnya mereka melayang dan menembus dinding-dinding ruangan itu.
Wajah mereka terlihat datar dengan warna kulitnya yang pucat. Namun setidaknya wajah mereka tidak menunjukan rasa amarah seperti yang terlihat di geladak tadi.
“gimana lanjut?” bisiku pada mereka.
Fahri mengangguk. Saat itu juga Binsar mengambil posisi di depan dan berjalan menuju salah satu ruangan.
Itu adalah dapur kapal , aku memang ingat tempat ini memiliki tangga menuju ke atas .
Perlahan kami mendekat ke arah pintu ruangan itu sambil berhati-hati berharap makhluk-makhluk yang bersliweran di lorong tidak menyadari keberadaan kami.
Aku mengintip melalui kaca dapur kapal untuk memastikan keamanan ruangan itu.
Sialnya, tiba-tiba muncul wajah yang menempel mendekat ke arah kaca pintu itu menatapku dengan aneh.
Hampir saja aku terjatuh namun fahri menahan tubuhku.
Binsar yang sudah tidak bisa lagi menahan emosinya segera membuka pintu dan terdengar suara tubuh yang terjatuh di belakang pintu itu.
Jasad lagi..
Fahri memastikan denyut nadi dari tubuh yang terjatuh di belakang pintu itu dan menggeleng memberikan isyarat kepada kami.
Rupanya wajah yang menempel di pintu itu adalah anak buah kapal yang bernasib sama dengan petugas di ruangan genset tadi, tapi setidaknya dia meninggal dengan tubuh yang utuh.
Sekali lagi kami mendoakan jasad-jasad ini agar setidaknya mereka tenang di alam sana.
Sebuah tangga kecil terlihat di sudut ruangan. Binsar memimpin kami menaiki tangga itu hingga tiba di salah satu bagian di geladak kapal yang sedikit lebih tinggi.
Hujan yang deras seketika membasahi tubuh kami. Sesekali suara petir menggelegar seolah terdengar tepat di sebelah kami.
“Itu disana!” tunjuk binsar.
Kami melihat ke sisi belakang kapal. Terlihat sekoci tergntung di sana. Dari beberapa sekoci yang seharusnya ada di sana, masih ada dua yang tergantung.
“Sepertinya sudah ada yang pergi lebih dulu dari kita”
Ucapan binsar itu semakin menguatkan tekad kami untuk meninggalkan kapal ini.
Sebelum menuju sekoci, aku menoleh memeriksa ke sekitar kapal sementara yang lain masih sedikit bersembunyi. Dan memang kekhawatiran kami benar-benar terjadi.
Makhluk-makhluk pucat itu masih menguasai geladak kapal dan sesekali berpindah tanpa kami tau tujuan mereka.
“Mereka masih di sana, di dekat sekoci juga ada..” Jelasku.
Kami berpikir keras untuk menghindari mereka dan bisa menurunkan sekoci namun tidak ada satupun ide yang kami temukan.
“Harus ada umpan agar kita bisa menurunkan sekoci itu..” Ucapku.
“Tidak ada umpan-umpanan, kita berempat harus kembali hidup-hidup!” Ucap Binsar membantah ucapanku.
Ucapan Binsar itu seketika membuatku merasa bersalah dan mengurunkan niatku.
Tak lama setelahnya terdengar suara langkah kaki yang berjalan terseok-seok melalui tangga keluar.
Aku mengingat warna baju orang yang berlari itu. Itu adalah pria yang tadi melarangku pergi ke atas.
Dia mencoba berlari sekuat tenaga dan sesekali terjatuh. Mataku mencoba mengikuti ke arah mana pria itu berlari yang ternyata ke jasad Bos yang tergantung dengan mengenaskan.
Wajah pria itu terlihat hampir putus asa namun terus memberanikan dirinya.
“Kalian turunkan sekoci, aku coba jemput dia..” Perintahku pada mereka bertiga.
“Jangan gila darno! “ Bantah Fahri.
“Dia orang yang melarangku ke atas tadi, mungkin dia punya rencana” Ucapku. Setidaknya itulah yang kupikirkan.
Tanpa mempedulikan pendapat mereka aku mengejar pria itu dan mengarah ke jasad bos yang tergantung.
Fahri, Binsar, dan Karto bersiap mengambil posisi menurunkan sekoci yang sebenernya mampu menampung lebih dari sepuluh orang itu.
“Ke sini! Kita pergi!” Teriaku pada pria itu namun ia hanya menoleh dan kembali ke tujuanya sementara semua setan itu sudah mulai menatap ke arahku.
Di tengah hujan yang masih turun dengan deras pria itu memanjat tiang dan menggunakan sebilah pisau untuk memotong tali yang menggantung jasad bos.
Tak lama kemudian jasad itu terjatuh di lantai geladak dengan darah yang masih mengalir bercampur dengan air hujan.
Pria itu berlari menghampiriku berlari dengan tersengal-sengal sementara setan-setan itu memperhatikan jasad yang terjatuh itu.
“Lari!” Perintahnya.
Aku membantunya menopang tubuh pria itu yang sepertinya sudah kelelahan.
Sekali saat aku menoleh terlihat di makhluk-makhluk itu seketika berkumpul mengerubungi jasad bos yang sudah mengenaskan.
Mereka menatap dengan penuh amarah, menggenggam hamppir setiap bagian tubuhnya dan mencabik-cabik dengan kutu mereka yang tajam.
“Mereka sedang apa?” tanyaku.
“Sudah, nanti saya jelaskan.. yang penting kira selamat dulu” Ucapnya.
Aku setuju dan segera berlari menuju sekoci yang sudah diturunkan.
Dengan bantuan Binsar dan Fahri kami menaiki sekoci dan melepaskan tali yang menyambungkan sekoci ini dengan perahu.
Saat terpisah dari kapal seketika gelombang besar menghantam sekoci ini menjauh dari perahu. Kami sekuat tenaga berpegangan agar tidak terlempar ke lautan.
Saat itulah keanehan mulai terjadi. Gelombang yang menghantam sekoci seketika mereda. Namun jauh dari pandangan tadi badai dan gelombang laut masih menerjang Kapal besar yang kami tinggalkan.
Dari jauh Kapal itu terlihat seolah bukan lagi kapal yang dimiliki manusia. Puluhan bahkan mungkin ratusan makhluk berwajah pucat berdiri memenuhi seluruh kapal dan memandang ke arah kami.
Saat itu juga aku merasakan keputusan kami sudah tepat untuk meninggalkan kapal itu.
“Apa Masih ada orang lain di perahu itu?” Tanyaku.
Pria itu menggeleng.
“kalaupun ada, mungkin mereka tidak bisa selamat lagi” Jawabnya.
“Saya Ilham.. awak kapal juga seperti kalian, sebelum kalian ke atas saya sudah naik duluan dan melihat setan-setan itu menaiki kapal.”
Kami memperhatikan cerita seseorang yang mengaku bernama Ilham itu. Lambat laun juga saat sekoci ini menjauh dari kapal hujanpun mulai reda dan ombak semakin tenang.
“Lalu bagaimana bos bisa mati?” Tanya Binsar.
“Sejak awal makhluk itu memang mengincar bos dan awak yang sebelumnya melompat ke laut menebar jala.. Saat bos mati sebagian dari kami berinisiatif menggantung jasad bos agar bisa mengalihkan perhatian makhluk itu dan bersembunyi..”
“Lalu kamu ketakutan memperingatkanku supaya tidak naik ke atas?” Potongku.
Ilham mengangguk.
“saat mendengar suara kalian pergi aku menyusul ke atas dan melihat semua teman-temanku mati terbunuh. Saat itu juga aku merasa harus meninggalkan kapal dan naik ke atas.” Lanjutnya.
Fahri mencoba ikut campur dalam perbincangan ini. Sepertinya ada yang membuatnya penasaran.
“Ilham.. apa kamu pegawai kapal ini?” tanya Fahri.
“Bukan, saya baru ikut di pelayaran ini” Jawabnya.
Dari jawaban itu kami mengambil kesimpulan, sepertinya yang diincar oleh makhluk itu hanya anak buah kapal tetap yang bekerja langsung di bawah bos itu.
Kami yang lelah sudah tidak ingin berbicara lebih jauh lagi.
Saat ini kami masih harus menyimpan tenaga hingga menemukan daratan atau menemui kapal yang lewat.
Sayangnya ini laut tenggara, sangat jarang ada kapal nelayan yang berlayar ke sini.
Mungkin sudah sehari semalam kami terombang abing di laut ini. Beruntung Binsar sudah membawa beberapa logistik dan peralatan di tasnya yang membantu kami untuk mencari ikan sementara air hujan dari badai itu bisa kami kumpulkan untuk air minum.
Setelah cukup lama di tengah kesadaran kami tiba-tiba binsar berdiri , mengambil suar dan menembakkanya ke langit. Rupanya ada kapal patroli yang mendekat ke arah kami.
“I—itu kapal! Kita selamat!” Ucap Binsar.
Petugas laut itu curiga dengan kapal nelayan kami yang tidak kembali dan tidak ada kabar. Beruntung kapal itu adalah kapal milik perusahaan yang besar sehingga keberadaanya masih terpantau.
Saat itu kami memulihkan diri dan memberikan keterangan mengenai kejadian yang kami alami. Mulai dari badai datang hingga soal keberadaan makhluk-makhluk halus itu.
Petugas yang sudah seniorpun menanggapi cerita kami. Salah satu alasan laut tenggara dilarang untuk dilayari salah satunya adalah karna adanya mitos keberadaan “suku asli” yang berada di sisi alam lain lautan tenggara.
Jujur aku merasa kaget karena belum pernah mendengar cerita itu. Hampir semua cerita di kapal kami ceritakan kepada petugas. Namun Aku, Fahri, Karto, dan Binsar sepakat untuk tidak menceritakan mengenai jasad di dalam tong itu demi keselamatan kami.

TAMAT
Terima kasih untuk semua pembaca yang sudah mengikuti cerita ini hingga selesai. mohon maaf apabila ada salah kata atau bagian cerita yang menyinggung...

sehubungan dengan berakhirnya kisah ini, kita akan lanjut lagi ke kisah baru
yang kembali ke timeline cerita Danan dan Cahyo yang berjudul :

Darah Hitam Pengabdi Setan (Getih Ireng Abdi Lelembut)

akan tayang pada malam jumat tgl 27/1/22

yang mau baca duluan atau memberi dukungan bisa mampir Karyakarsa ya, sekaligus 2 part.. ^^
karyakarsa.com/diosetta69/par…

• • •

Missing some Tweet in this thread? You can try to force a refresh
 

Keep Current with Diosetta

Diosetta Profile picture

Stay in touch and get notified when new unrolls are available from this author!

Read all threads

This Thread may be Removed Anytime!

PDF

Twitter may remove this content at anytime! Save it as PDF for later use!

Try unrolling a thread yourself!

how to unroll video
  1. Follow @ThreadReaderApp to mention us!

  2. From a Twitter thread mention us with a keyword "unroll"
@threadreaderapp unroll

Practice here first or read more on our help page!

More from @diosetta

May 15
PUSAKAYANA
Part 3 - Untuk Aku di Masa Lalu

Masa lalu tak bisa diubah, tapi kenangan tentangnya bisa menjadi penuntun arah hidup manusia..

#bacahorror @bacahorror @ceritaht @IDN_Horor Image
Link Part Sebelumnya :
Part 1 : x.com/diosetta/statu…
Part 2 : x.com/diosetta/statu…
“Ada yang hidup dalam darah kita, lebih tua dari ingatan, lebih kuat dari waktu…

Warisan yang tak hanya diwariskan lewat nama, tapi lewat keberanian untuk memperbaiki luka yang tak terlihat oleh dunia....”
Read 33 tweets
May 8
PUSAKAYANA
Part 2 - Setelah Kematian

“Di sini, mereka yang mati tidak pergi ke alam baka…”

#bacahorror @bacahorror @ceritaht @IDN_Horor @bagihorrorImage
Part Sebelumnya :
Part 1 : Mimpi dari Sang Dewa
Tidak bisa kupungkiri, perasaan yang menelusup dalam dadaku saat ini bukan hanya takut. Ini lebih dari itu. Ini adalah firasat kematian. Firasat yang hanya pernah kurasakan ketika aku menjejak Setra Gandamayit dan bertarung melawan entitas dari tanah Danyang.

Saat aku menoleh ke belakang, napasku langsung tertahan. Tiga kepala ogoh-ogoh itu kini menatap tajam ke arah kami. Dan matanya…

Mereka hidup. Mereka menghakimi.

“Cahyo!” seruku, lebih karena naluri daripada logika.
Seolah menjawab, tubuh Cahyo tiba-tiba menegang dan bersiap. Suaranya melenguh, dan dari matanya menyala cahaya merah membara.

Roh Wanasura telah merasukinya. Saat ini pun keris Ragasukma telah kugenggam di tanganku, ia muncul dengan sendirinya.
Keris Ragasukma bergetar hebat…

Brugghh!!

Sebuah suara keras mengagetkan dari arah Bli Waja. Kami menoleh, dan jantungku seperti diremas.
Bli Waja… tiba-tiba saja sudah berubah menjadi Rangda. Wujud ratu ilmu hitam itu terpampang jelas, anehnya ia terkapar di tanah.

Tubuhnya gemetar, wajahnya yang biasanya kuat dan tenang sekarang terlihat seperti disayat ketakutan.

Apa pun yang dilakukan kepala bermata tiga dari ogoh-ogoh itu telah menjatuhkannya dalam sekejap. Benar-benar dalam satu kedipan mata seolah mereka bertarung di waktu yang berbeda.

“Apa… yang… terjadi?” gumamku lirih, tapi tak ada waktu untuk jawaban.

Salah satu kepala—yang menyerupai kakek dengan rambut putih panjang dan lidah menjulur—menatap langsung ke arahku. Rambutnya melayang seperti hidup. Udara di sekitarnya mendadak lebih dingin, lebih padat—aku merasa paru-paruku tak mampu menghirup napas.
Read 26 tweets
May 1
PUSAKAYANA
Part 1 - Mimpi dari Sang Dewa

..Sebatang tombak tua, berkarat & berlumuran darah, menembus dari dalam mulutnya, merobek rahang dan bibirnya. Tombak itu memanjang penuh ukiran aneh, disertai semburan darah segar ..

@bagihorror #bacahorror @IDN_Horor @ceritaht Image
"Apa yang menjadikan sebuah benda memiliki gelar pusaka?”
PROLOG

malam itu, langit seperti bersumpah untuk tidak memberi ampun. Hujan mengguyur deras, namun ada yang jauh lebih ganjil dari sekadar badai petir. Ratusan burung gagak hitam berkerumun di satu titik, beterbangan dan bertengger di sekitar sebuah rumah tua di tengah lereng.

Mereka tidak bergerak, tidak bersuara—hanya menatap satu arah. Mata-mata mereka menyorot rumah itu dengan intensitas yang menyeramkan, seolah menanti sesuatu.

Di dalam rumah, cahaya lampu menyala remang. Asap dupa mengepul dari pojok-pojok ruangan, bercampur dengan aroma tanah basah dan darah yang belum kering.

“Tak usah berpura-pura! Manjing Marcapada hanya bisa dipanggil olehmu, bukan? Lakukan ritual itu sekarang juga!” Suara keras penuh ancaman itu memecah suasana.

Sekelompok orang berpakaian hitam pekat, jubah mereka basah oleh hujan, berdiri membentuk lingkaran. Wajah-wajah mereka tersembunyi di balik topeng, namun aura permusuhan memancar tajam.

Mereka mengepung seorang lelaki tua yang berlutut di tengah ruangan. Tubuhnya gemetar, bajunya lusuh dan basah oleh air serta air mata—Ki Satmo, sang penjaga rahasia yang telah lama memutuskan untuk tidak pernah membuka kembali pintu kegelapan itu.

Di seberangnya berdiri tiga orang yang lebih menyayat hati: dua anak kecil dan seorang wanita—istri dan anak-anaknya. Mereka berdiri tegak, tapi sorot mata mereka kosong, seperti telah direnggut jiwanya.

Masing-masing menggenggam pisau kecil, dan—dengan gerakan serentak yang menyakitkan—menancapkan pisau itu dangkal ke dada mereka sendiri.

“Lepaskan mereka! Manjing Marcapada adalah pusaka Para Danyang! Aku tak punya kekuatan untuk memanggilnya!” jerit Ki Satmo, suaranya nyaris putus oleh ketakutan.
Read 25 tweets
Apr 18
SABDA PENGIWA - Keranda Tulah
Part 1

Sebuah keranda bambu, diusung oleh para pria berikat berpakaian hitam.

Di dalamnya, terbaring Jasad Keramat yang diarak dan mendatangkan kematian bagi warga desa

@IDN_Horor @bagihorror #bacahorrorImage
"Nak, jangan pernah kamu mengaku sebagai anak Bapak. Hapuskan nama Bapak dari namamu..."

Malam itu, suara tangis seorang remaja pecah di tengah keheningan sebuah gubuk tua yang tersembunyi di pematang sawah.

Di luar, angin menderu kencang membawa bau anyir lumpur dan kematian. Langit seperti ikut menangis, menggantung mendung tanpa hujan. Gubuk reyot itu menjadi satu-satunya tempat yang belum dijangkau oleh teror dari kegelapan.

"Nggak, Pak! Keluarga kita keluarga terhormat! Keluarga kita sudah menolong banyak orang! Tegar bangga dengan keluarga kita!"

BRAKK!!

Suara tubuh terhempas keras ke lantai
bambu mengguncang hati Tegar. Ia menoleh dan
melihat ayahnya tergolek di lantai, tubuhnya
kejang-kejang.

Dari telinga dan sudut matanya
mengalir darah hitam pekat yang tak wajar—seperti ada sesuatu yang sedang menggerogoti dari dalam.

Tegar berlari dan memeluk tubuh ayahnya. Tubuh itu panas, namun terasa sekarat. Tangannya gemetar, mencoba menahan kehancuran yang ia tahu tak bisa dihentikan.

"Jangan jadi mantri seperti Bapak, Le. Hiduplah dengan cara yang jauh berbeda. Pilihlah jalan yang tak bisa mereka temukan... Jangan... biarkan mereka menemukanmu..."

"Bapak! Jangan ngomong kayak gitu! Bapak pasti bisa sembuh! Bapak pasti bisa lawan penyakit ini!"

Sang ayah tersenyum tipis—senyum
seorang lelaki yang tahu ajalnya tinggal hitungan detik. Ia mengangkat tangannya dengan sisa tenaga, menyentuh wajah anaknya.

"Ini... sudah batasnya. Pergilah... Mereka akan sampai ke sini sebentar lagi..."

Tegar menggeleng, menggenggam tangan ayahnya erat-erat. "Tegar nggak akan ninggalin Bapak!"

"Keras kepala tidak akan membawa kebaikan, Le... Beberapa detik lagi... yang ada di hadapanmu cuma mayat... Jangan dendam... Bapak cuma ingin lihat kamu hidup..."

Tangis Tegar pecah. Air matanya jatuh satu per satu, membasahi dada ayahnya. Namun saat itulah, suara-suara itu terdengar dari kejauhan.
Suara obor.

Langkah-langkah berat.
Nyanyian lirih yang seperti mantra kematian.

Tegar menoleh. Dari celah bilik bambu, terlihat cahaya obor menyala—bergerak perlahan seperti ular api yang meliuk di tengah sawah. Di tengah arak-arakan itu, sesuatu yang membuat jantung Tegar serasa diremas oleh tangan tak kasatmata.
Sebuah keranda bambu, diusung oleh para pria berpakaian hitam. Di dalamnya, seonggok mayat keramat yang sudah membusuk dibungkus kain kafan dengan simbol- simbol aneh. Keranda itu bukan sekadar pengantar jenazah. Itu adalah momok yang menjadi penyebab kutukan di desa.

Tegar tahu. Mereka—orang-orang itu—telah membunuh seluruh keluarganya. Tidak dengan pisau atau senapan. Tapi dengan ritual. Dengan kematian yang dijadikan alat. Dan kini, mereka datang untuk menyelesaikan yang tersisa.

Hanya ia yang berhasil diselamatkan—dan untuk itu, ayahnya harus menukar nyawa.

"Tolong, Tegar... pergi..." bisik ayahnya, kali ini lebih lemah dari sebelumnya.

Kaki Tegar lemas. Hatinya ingin tetap tinggal, ingin menjaga sang ayah sampai akhir. Tapi naluri—dan rasa takut yang menyesakkan— memaksanya untuk memilih.

Ia menahan tangis, mencoba memaksakan senyum meski dadanya seperti disayat. "Bapak... Tegar akan jadi orang baik. Tegar akan hidup bahagia sampai tua. Tegar janji..."

Sang ayah ingin menjawab, namun suaranya tinggal bisikan. Tapi senyuman itu masih ada. Senyuman yang cukup untuk jadi kekuatan terakhir Tegar.

"Tegar pamit ya, Pak... Kalau semua sudah tenang, Tegar janji akan kembali. Akan kubur Bapak dan keluarga kita dengan layak..."

Tangan ayahnya yang lemah memberi isyarat. Isyarat terakhir untuk pergi. Tegar memposisikan tubuh ayahnya senyaman mungkin di amben kayu, lalu berdiri. Kakinya berat, tapi ia mulai melangkah.
Tanpa menoleh. Tanpa ragu.

Di belakangnya, suara arak-arakan semakin dekat. Gubuk itu akan menjadi saksi bisu kematian terakhir dari keluarga yang pernah dihormati.

Dan Tegar—ia kini menjadi satu-satunya pewaris nama yang harus ia kubur dalam-dalam.

***
Read 17 tweets
Apr 11
JALUR MATI ALAS MERAPI
Part Akhir II - Pusaka Para Dewa

Kita tuntaskan Part Akhir POV Danan dan Cahyo.
Bantu share sama komen ya temen-temen biar cerita-cerita horor bisa kembali ramai di kancah twitter.

#bacahorrorImage
Part sebelumnya
Part 1 : Sukma yang Tertinggal
x.com/diosetta/statu…
Part 2 : Hutan tak Kasat Mata
x.com/diosetta/statu…
Part 3 : Keraton Gaib
x.com/diosetta/statu…
Part 4 : Penari Dunia Arwah
x.com/diosetta/statu…
Part 5 : Perburuan Sukma
x.com/diosetta/statu…
Part 6 : Pusaka Merapi
x.com/diosetta/statu…
Part 7 : Temui Aku di Merapi
x.com/diosetta/statu…
PUSAKA PARA DEWA

(Sudut pandang Danan…)

Ada yang dirayakan. Pementasan ini lebih dari sekedar pementasan gaib semata.

Niat awalku menaiki merapi sekali lagi bukan untuk hal ini. Aku tak menyangka bahwa niat kami menolong Galang dan yang lain mencari sukma Tiwi akan berujung pada tragedi ‘Padu Kolo’, pertengkaran bangsa lelembut.

Dan saat ini, dihadapanku tengah menghadang sosok makhluk-makhluk utusan dari keraton demit. Lebih dari sekedar menangani mereka, aku harus mencari tahu mengapa mereka mengincar Galang dan Wulan.

Pertarungan sengit sempat terjadi di antara kami. Aku mempercayakan Galang dan yang lain pada Cahyo sementara aku menghadang mereka.

“Kau tidak perlu mempertaruhkan nyawamu demi mereka. Takdir mereka sudah ditetapkan menjadi tumbal merapi…” Sosok penari setinggi tiga meter itu masih mencoba untuk mempengaruhiku.

“Merapi tidak pernah meminta tumbal. Kalian makhluk terkutuklah yang menghasut dengan mengatasnamakan Merapi!” Sosok roh yang menutupi wajahnya dengan topeng badut pun muncul dari kejauhan.

Badut Pak Suradirja. Firasatku mengatakan bahwa alasannya tetap memakai topeng itu adalah sesuatu yang penting.

“Nyai Lendheng. Percayalah kalian bukan lawan pemuda ini..” Pak Suradirja mencoba menggertak mereka.

“SOMBONG! Keris karatanmu itu tak ada artinya dibanding pusaka keraton demit!”

Srattt!!!

Saat itu juga keris Ragasukmaku melayang melesat ke lehernya. Sosok bernama Nyai Lendheng itu menghindar, namun kerisku sempat melukainya.

“Aku tak suka banyak bicara!” Balasku kesal sekaligus menggenapi gertakan Pak Suradirja.

Kali ini Nyai Lendheng terlihat cemas. Luka di lehernya tak bisa menutup.

“Cih! Mengurus kalian hanya akan membuang waktuku. Sebentar lagi pementasan selesai! Bersiaplah, kali ini serangan dari keraton demit tak mengenal ampun!” Ucap Nyai Lendheng yang mundur bersama dayang-dayangnya.

Jelas itu adalah ancaman. Bukan ancaman kosong. Sebuah tragedi akan terjadi di gunung ini.

“Pak? Bagaimana roh bapak bisa sampai di sini?” Aku segera menghampiri sosok roh yang jasadnya telah mati di kota itu.
Read 17 tweets
Mar 28
JALUR MATI ALAS MERAPI
Part Akhir - Temui Aku di Merapi

Galang mendapati kenyataan bahwa Wulan adalah saudara kembarnya yang diminta Merapi. Tanpa ia sadari, sebagian sukma Tiwi menyadarinya lebih dulu..

@bacahorror @IDN_Horor @ceritaht Image
Part sebelumnya
Part 1 : Sukma yang Tertinggal
x.com/diosetta/statu…
Part 2 : Hutan tak Kasat Mata
x.com/diosetta/statu…
Part 3 : Keraton Gaib
x.com/diosetta/statu…
Part 4 : Penari Dunia Arwah
x.com/diosetta/statu…
Part 5 : Perburuan Sukma
x.com/diosetta/statu…
Part 5 : Pusaka Merapi
x.com/diosetta/statu…
Wulan adalah saudara kembarku?

Semua perlahan terasa masuk akal. Mimpi-mimpi yang selama ini menghantuiku kini terajut menjadi satu kenyataan yang utuh. Tak heran jika aku selalu merasa terikat dengan Merapi. Ada sesuatu yang lebih besar di sini, sesuatu yang tertanam dalam diriku.

"Pantas saja kamu begitu terobsesi sama Merapi, Lang. Ternyata ada bagian dari dirimu yang memang berada di sini," ujar Farel dengan nada tak percaya. Wajahnya masih dipenuhi keterkejutan.

Tanganku tak bisa lepas dari genggaman Wulan. Adikku. Namun, ia kini bukan lagi manusia seutuhnya. Sukmanya saja yang tersisa, sementara tubuh ragawinya telah lama tiada

. Aku merasakan getir yang menusuk dada, tapi aku tahu ini bukan saatnya untuk larut dalam kesedihan.

"Akhirnya, tumbal yang hilang telah kembali..." Suara parau itu datang dari makhluk mengerikan di hadapan kami. Setan penari setinggi tiga meter itu menyeringai puas, matanya berkilat penuh kemenangan. Namun, Mas Danan tidak tinggal diam.

"Pergi! Kalian pergi dengan Cahyo! Cari sukma Tiwi dan tinggalkan gunung ini!" seru Mas Danan dengan tegas.

"Ngawur kowe, Nan!" Mas Cahyo membentak, jelas tak terima meninggalkan sahabatnya seorang diri menghadapi makhluk-makhluk mengerikan itu.

"Tenang, Jul. Aku nggak sendiri." Mas Danan memberikan isyarat. Tatapannya mengarah ke sudut gelap di belakang kami.

Dari kegelapan itu, muncul sosok yang membuat bulu kudukku meremang. Sosok badut dengan senyum mengerikan di wajahnya. Di tangannya tergenggam sebilah pisau yang berkilat tajam.

"Badut itu... Pak Suradirja?" suaraku bergetar saat menyebut nama yang tiba-tiba terlintas di pikiranku. "Rohnya sampai ke sini?"

Mas Danan mengangguk singkat. "Mungkin dia memang berasal dari tempat ini. Akan kuceritakan jika aku menemukan sesuatu. Sekarang pergi!"

Tanpa banyak pilihan, Mas Cahyo menarik lenganku, memaksa kami untuk segera berlari. Sekilas, aku melihat keris pusaka melayang-layang di udara, membentuk penghalang yang menjaga agar setan-setan itu tidak mengejar kami.

"Mas Cahyo! Apa yakin kita tinggalin Mas Danan?" Raka berteriak, rasa khawatir terlihat jelas di wajahnya.
Read 16 tweets

Did Thread Reader help you today?

Support us! We are indie developers!


This site is made by just two indie developers on a laptop doing marketing, support and development! Read more about the story.

Become a Premium Member ($3/month or $30/year) and get exclusive features!

Become Premium

Don't want to be a Premium member but still want to support us?

Make a small donation by buying us coffee ($5) or help with server cost ($10)

Donate via Paypal

Or Donate anonymously using crypto!

Ethereum

0xfe58350B80634f60Fa6Dc149a72b4DFbc17D341E copy

Bitcoin

3ATGMxNzCUFzxpMCHL5sWSt4DVtS8UqXpi copy

Thank you for your support!

Follow Us!

:(