Bukankah sia-sia belaka bila kita punya rumah tapi setiap ingin masuk rumah kita sendiri, kita harus meminta izin terlebih dahulu pada tetangga?
Sudah gitu, kudu bayar pula.
Bagaimana kalau kondisi kita sebagai bangsa ternyata memang seperti itu?
Kita mengaku telah merdeka sejak 17 Agustus 1945 namun faktanya, tidak sepenuhnya seperti itu. Pada halaman rumah kita sendiri yang berada di Natuna dan Kepulauan Riau,
berlaku aturan bahwa kita wajib minta izin pada tetangga kita Singapura. Pada dua wilayah itu masih dikuasai oleh Singapura dan luar biasanya, penguasaan itu diakui secara internasional.
.
.
Setiap kali pesawat terbang kita ingin masuk pada wilayah itu, wajib hukumnya bagi kita meminta izin otoritas Singapura sebagai penguasa Flight Information Region (FIR).
Ya, wilayah udara kita pada titik itu benar masih dikuasai oleh Singapura. Indonesia tidak berdaulat pada wilayah itu. Kita belum merdeka.
Itu menunjuk pada pengakuan International Civil Aviation Organization (ICAO) sejak tahun 1946. ICAO menyatakan bahwa Indonesia dianggap belum mampu mengatur lalu lintas udara pada wilayah yang disebut sektor A, B, dan C.
Oleh karenanya, sejak tahun 1946 hingga saat ini, sebagian FIR pada wilayah Barat Indonesia masih berada di bawah pengelolaan FIR Singapura. Secara keseluruhan, Singapura menguasai sekitar 1.825 kilometer wilayah udara.
Wilayah itu mencakup Kepulauan Riau, Tanjung Pinang, Natuna, Sarawak dan Semenanjung Malaya.
.
.
Berbagai upaya untuk merebut demi mendapatkan pengakuan internasional atas Indonesia sebagai negara kepulauan yang memiliki kedaulatan penuh dan eksklusif pada ruang udara di atas wilayahnya telah dilakukan sejak 1990 an.
Pada tahun 1993 saat pemerintahan Soeharto, Indonesia mencoba meyakinkan ICAO di Bangkok, Thailand, untuk bisa mengambil alih FIR. Namun gagal.
Pada pemerintahan SBY, Undang-undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan disahkan.
Pasal 458 UU itu menjelaskan Wilayah udara Republik Indonesia, yang pelayanan navigasi penerbangannya didelegasikan kepada negara lain berdasarkan perjanjian sudah harus dievaluasi dan dilayani oleh
lembaga penyelenggara pelayanan navigasi penerbangan paling lambat 15 tahun sejak Undang-Undang itu berlaku, berarti hingga 2024.
.
.
Itu seharusnya merupakan mandat bagi siapapun Presiden Indonesia untuk menjalankannya.
Sampai pada akhir pemerintahan kedua SBY, mandat itu tetap tak dapat dijalankan. Wilayah itu masih dikuasai oleh Singapura
Ketika Presiden Jokowi memerintah pada 2014, Instruksi Presiden tertanggal 18 September 2015 yang meminta agar pengambilalihan FIR dari Singapura dilakukan lebih cepat, yaitu pada 2019 diterbitkan.
Pada 12 September 2019, Kerangka Negosiasi FIR telah ditandatangani. Kemudian, Pada 7 Oktober 2019 tim teknis kedua negara telah melakukan pertemuan intensif.
Dan akhirnya, pada 25 Januari 2022 Presiden Joko Widodo bertemu dengan PM Singapura Lee Hsien Loong untuk menandatangani kesepakatan terkait FIR ini di Bintan.
Indonesia secara resmi telah berhasil mengambil alih pelayanan ruang kendali udara atau flight information region (FIR) di wilayah Natuna, Kepulauan Riau dari Singapura.
"Jadi, kita benar-benar sudah merdeka dalam arti sebenarnya sekarang?"
Masih butuh satu step lagi, kedua negara tersebut masih harus secara bersama menyampaikan kesepakatan batas FIR ini kepada ICAO untuk segera disahkan.
Itu soal pengakuan Internasional dan dalam ini diwakili oleh ICAO.
Tak terlalu berlebihan bila Jokowi kita sebut sebagai salah satu Presiden yang berhasil mengantar bangsa ini keluar dari penjajahan bangsa asing.
"Tapi pada masa pemerintahannya pula kita dijajah budaya asing kan?"
Bukan dijajah. Kita lah yang justru pada faktanya menyediakan diri menjadi antek dari budaya asing itu. Berkedok agama, mereka datang dan menginjak martabat bangsa ini dengan menista budaya luhur nenek kita.
Tapi, itu sepertinya telah mendekati masa akhir. Persatuan kita sebagai satu bangsa dengan bhinekanya telah dimulai. Dari titik pusat dimana Ibu Kota Negara bernama Nusantara itu diletakkan pondasi, kebangkitan budaya juga dimulai dari sana.
Tiba-tiba, secara mengejutkan seluruh entitas budaya Nusantara bersatu dalam melawan penghina Kalimantan.
Adakah itu tanda bagi kebangkitan bangsa ini?
Saat kita sedang melakukan ikhtiar saat pembangunan Ibu Kota Negara dan muncul berita baik yakni kemerdekaan ruang udara kita yang terlalu lama dikuasai oleh asing kita terima, adakah itu bukan tanda?
Saat Kalimantan baru saja ditetapkan menjadi Ibu Kota baru, tiba-tiba seluruh elemen budaya Nusantara bersatu padu melawan kedegilan manusia tanpa budaya dan itu justru dimulai dari budaya Kalimantan yang terhina, bukankah itu juga seharusnya sebagai pertanda?
Bagi para skeptis, itu mungkin hanya soal kebetulan saja. Bagi masyarakat budaya, itu tentang semesta berbisik.
>>>>>
Terserah dengan anda, saya melihatnya sebagai pertanda baik. Indonesia memang sedang akan menuju pada tempat yang seharusnya, yakni sebagai bangsa yang besar. Dan IKN Nusantara adalah pengikat kebersamaan kita .
.
.
.
SRI MULYANI DAN BASUKI HADI MEMANG DUA TANDUK JOKOWI
.
.
.
Basuki Hadimuljono dan Sri Mulyani sepakat untuk menunda waktu pemberlakuan Tapera.
“Dari kapan ke kapan?”
Dari tahun 2027 ke waktu yang belum beliau sebut.
“Emang pak Jokowi ingin Tapera itu diberlakukan lebih cepat?”
Dalam PP terbaru, PP Nomor 21 Tahun 2024 tentang Perubahan Atas PP Nomor 25 Tahun 2020, beliau bicara terkait iuran wajib. Jokowi memberlakukan iuran wajib Tapera bagi pegawai negeri maupun pegawai swasta.
Harus diingat, PP itu lahir karena perintah konstitusi. Presiden wajib mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) setelah DPR mengesahkan sebuah UU, dalam hal ini UU No 4 tahun 2016 Tentang Tabungan Perumahan Rakyat.
Para wakil rakyatlah yang menggagas, mendiskusikan, mengesahkan UU itu dan lalu konstitusi mengharuskan Presiden membuat PP nya.
Dan Jokowi melalui PP terbaru tersebut tidak bicara atau merubah jangka waktu. Itu masih sama dengan isi PP lama, PP Nomor 21 tahun 2020 yakni 7 tahun atau tahun 2027.
Bantèng perkasa jelas adalah Jokowi. Dia memporak porandakan kemapanan tanpa teriak jumawa. Konon hanya dengan kerja, kerja dan kerja, tiba - tiba dia melampaui ekspektasi banyak pihak.
Sama seperti bantèng seharusnya, Jokowi pun bersenjatakan dua tanduknya, BASUKI dan Sri Mulyani.
Ketika kita bicara duet dua orang ini, ribuan kilometer jalan sebagai urat nadi sebuah bangunan ekonomi negara dengan puluhan bandara serta puluhan pelabuhan dan ribuan infrastruktur dalam bentuk lain terbangun melayani publik plus dengan fiskal terjaga adalah bukti tak terbantahkan.
Luar biasanya, sebagai orang yang sudah dianggap pahlawan, keduanya tak bicara politik, pun posisi. Tak bicara pilkada apalagi pilpres untuk karir dirinya. Berdua, mereka bekerja profesional hanya pada tupoksinya saja. Basuki bertempur di ranah eksekusi, Sri Mulyani menyediakan semua pelurunya sambil tetap menjaga ruang fiskal yang ada.
Sebagian besar dari kita pernah sangat berharap bahwa UU Perampasan Aset Koruptor benar bisa diberlakukan. Tapi harapan itu pupus saat hampir semua fraksi di DPR tak beranjak ingin membuat tuntas RUU tersebut.
Kita marah pada perilaku banyak pejabat negara ini yang tanpa malu - malu maling duit negara. Lebih lagi, kita muak dengan aturan hukum yang ada manakala si pejabat divonis penjara tapi justru masih dapat perlakuan istimewa di penjara.
Mereka seolah adalah adalah kaum istimewa negeri ini. Mereka jelas bukan bagian dari kita manakala diksi rakyat kita gunakan. Mereka bukan kita dan maka kita sepakat bila RUU Perampasan Aset Koruptor itu diundangkan.
Namun ketika kita bicara tentang sibuk aparat bea cukai yang belakangan ini rajin pungut pajak atas barang bawaan kita dari luar negeri, kita marah. Kita tak sepakat dengan perlakuan mereka pada banyak saudara kita. Kita marah karena bisa jadi kitalah suatu saat nanti adalah si korban.
“Tapi bukankah aparat itu belakangan ini benar keterlaluan?”
Sesekali kita pantas menggunakan angle berbeda. Kita lihat dari sudut yang tak banyak dibicarakan orang terutama sudut pandang orang - orang yang sedang merasa dirugikan.
Tak ada salahnya sesekali kita sedikit melambung dan melihat dari sudut yang sulit dimana justru keributan belakangan ini adalah bias perlawanan para pengemplang pajak yang selama ini sukses bermain dengan oknum bea cukai itu sendiri. Para pelaku jastip misalnya.
JANGANKAN INDONESIA YANG SANGAT KAYA DENGAN RAGAM BUDAYANYA| bahkan Arab Saudi negeri berlimpah minyak saja kini melirik industri pariwisata. Ada potensi devisa sangat besar yang sedang ingin mereka rebut.
Ga tanggung - tanggung, pada sektor ini mereka mentargetkan kontribusi sekitar 10 persen dari GDP pada tahun 2030 dan menerima 100 juta wisatawan per tahun dan menyediakan satu juta pekerjaan.
Tak seperti bangsa kita yang sangat kaya dengan budayanya, mereka membangun konsep wisata mewah.
Beberapa proyek pariwisata ambisius itu diantaranya adalah kota futuristik Neom di Provinsi Tabuk, barat laut negara yang menghadap Mesir di seberang Laut Merah.
BUDIMAN SUDJATMIKO, DIA PASTI ADALAH SIAPA - SIAPA
.
.
.
Kalau saat ini dia benderang berada di sisi sebelah Ganjar misalnya, 100 persen pasti gak ada kisah bulian padanya. Seratus persen ga ada ungkit mengungkit dosa - dosanya yang benar - benar sangat sulit dicari.
Budiman terlalu lurus. Bisa dibilang dia satu dari sejuta politisi kita yang idealis dan maka tetap miskin tanpa data deretan mobil mewah di garasinya.
Dan lalu, ketika korupsi sebagai penyakit paling lumrah yang selalu diidap oleh banyak politisi kita tak pernah bisa menjangkitinya, dia dikuliti soal kemiskinannya. Hutang - hutang pribadinya menarik hati dan minat para pencari dan pencatat dosa.
Berharap Budiman playing victim terhadap pemecatannya, percayalah itu tidak akan pernah terjadi. Budiman jauh dari sifat itu. Sejarah mencatatnya..
Berbeda dengan banyak politisi yang langsung berungkap marah ketika dipecat, dia justru dengan santun mengucapkan terimakasih telah bersama partai sekian puluh tahun.
Terhadap pemecatannya, Budiman hanya akan menjadi semakin besar. Sejarah juga sudah mencatatnya.
Ingat heroik kisah kudatuli 1996 di markas PDI Diponegoro 56? Dia dihabisi oleh rezim Orde Baru karena cita - citanya akan demokrasi. Butuh Jakarta harus dibakar oleh penguasa hanya untuk menghentikan langkahnya menuntut demokrasi itu.