Diosetta Profile picture
Jan 27, 2022 1156 tweets >60 min read Read on X
GETIH IRENG ABDI LELEMBUT
(Darah Hitam Pengabdi Setan)

Darmowiloyo, keluarga keramat ini sudah dikenal tidak segan-segan utk menghabisi mereka yg bertentangan denganya dengan ilmu hitam.
apa hubungan Danan & Cahyo dengan mereka?

dibantu RT dulu ya 🙏
@bagihorror
@IDN_Horor Image
Nanti sepulang kerja saya upload cerita ini ,

sambil menunggu, mungkin bisa mampir ke Youtube dengerin saya ngoceh bareng @Wakhidnurrokhim

Hawa dingin terasa begitu menusuk di sekitar kaki gunung tempat Mbah Sarjo tinggal saat ini. Tidak seperti biasanya, Beliau merasakan seperti sedang terjadi sesuatu yang akan berdampak panjang.
Dari Jauh terlihat sepasang suami istri sedang berlari ke arah mbah Sarjo setelah turun dari sepeda ontelnya yang terlihat sudah berkarat.
Mereka berlari dengan terengah-engah seolah ingin menceritakan kabar yang sepertinya Mbah Sarjo sendiri sudah mengetahui dengan caranya sendiri.
“Mbah.. ngapunten nek kulo lancang, sedulur-sedulur kita mbah.. mereka wis kelewatan!”
(Mbah.. mohon maaf kalau saya lancang, saudara-saudara kita mbah.. mereka sudah keterlaluan)
Ucap perempuan itu dengan wajah yang penuh cemas.
Seorang pria di sebelahnya mencoba sekuat mungkin menahan tangis.
Ia mengeluarkan sebuah benda berbentuk kalung kuningan dengan permata yang menghiasi sekitarnya. Terlihat sebuah batu berwarna hitam legam mengambil posisi di tengah perhiasan itu.
“Mung iki mbah sing iso diselamatke seko Mbakyu.. Liyane wis ilang.”
(Cuma ini yang bisa diselamatkan dari Mbakyu.. lainya sudah hilang)
Mbah Sarjo menatap kedua orang itu dengan seksama. Ia memperhaTikan cucu-cucunya itu seolah memasTikan sesuatu. Setelahnya, ia menghela nafas seolah memutuskan suatu hal.
“Damar , Andara.. tinggalo ning kene telung dino, enteni aku mulih.. duwene mbakyumu iki ben tak gowo disik”
(Damar, Andara..tinggalah di sini tiga hari, tunggu aku pulang.. milik mbakyumu ini biar saya bawa dulu)
Mbah Sarjo membukakan pintu rumahnya untuk kedua cucunya itu. sebuah rumah tua yang sudah lapuk dengan berbagai benda yang tidak biasa terpajang di dinding kayu rumahnya. Bukan pusaka, hanya beberapa lukisan, topeng, dan sebuah selendang lusuh.
Namun Damar dan istrinya Andara tahu bahwa benda itu bukanlah benda biasa.
“Kowe kudu puoso mutih nganti aku tekan… ora usah wedi karo sedulurmu, ono sing jogo kalian neng kene”
(Kalian harus puasa mutih sampai aku kembali.. tidak usah takut dengan saudaramu, ada yang menjaga kalian di sini)
Mendengar ucapan itu Damar dan Andara segera merasa seolah ada yang menatapnya dari salah satu wujud rumah.
Di mata mereka yang terlihat hanya seseosok bayangan hitam menyerupai seorang perempuan yang sedang mengenakan selendang.
“Nyi Sendang Rangu…” Ucap Andara sambil menangkupkan tanganya memberi salam dan sedikit menunduk pada salah satu ingon atau pelindung keluarganya yang sudah menjaga keluarga mereka sejak dulu.
Damar sedikit menundukan kepala dan menghela nafas lega keTika roh wanita yang sudah ia kenal sejak kecil menemaninya di situ.
“Tiga malam ini akan sangat sulit untuk kalian… keikhlasan puasa dan tirakatmu yang menentukan kita akan hidup atau mati”
Mbah Sarjo membawa beberapa benda di bungkusan kainya dan bersiap meninggalkan rumahnya itu hanya dengan baju dan celana kain berwarna putih lusuh. Damar dan Andarapun mengihklaskan kepergian Mbah Sarjo dengan mencium tanganya.
Mbah Sarjo terlihat berjalan tanpa mengenakan alas kaki ke arah sebuah bukit. Memang menurut cerita turun temurun , di sanalah letak goa tempat Mbah Sarjo biasa melakukan semedi.
Tepat setelah Mbah Sarjo hilang dari pandangan Damar dan Andara segera menutup pintu rumah kayu itu dan terus berdoa berharap saudara-saudaranya tidak mengincar mereka seperti yang terjadi pada Mbakyu, kakak perempuan dari Damar.
“Salahe Mbakyu ki opo to dek.. kok liyane tegel mateni sedulur dewe nganti kaya ngono…”
(Salahnya Mbakyu itu apa to dek, kok yang linya tega membunuh dia sampai begitunya)
Ucap Damar yang masih belum bisa menahan rasa sedihnya atas meninggalnya kakak tertuanya dengan cara mengenaskan.
Kematian Mbakyu seharusnya sudah bisa diketahui oleh damar dari malam sebelumnya.
Saat itu Mbakyu muncul di mimpi Andara dan menunjukan sebuah kotak kayu yang dipendam di satu-satunya pohon Jati di halaman rumah Mbakyu.
Pagi harinya Damar yang khawatir saat mendengar cerita mengenai mimpi itu segera menghampiri rumah Mbakyu secepat mungkin.
Saat mendekati desa tempat tinggal Mbakyu mereka melihat puluhan warga desa berbondong-bondong meninggalkan desa dengan wajah yang ketakutan.
Tepat saat mendekati rumah mbakyu yang terletak di tanah sedikit lebih tinggi di ujung desa, suasana mulai berubah menjadi sangat mencekam.
Puluhan orang berada di sekitar rumah mbakyu dengan wajah yang penuh amarah.
Mereka berdiri di tempat yang berjauhan satu sama lain dan diam seperti mematung.
Damar mengenal mereka semua, orang orang ini masih memiliki hubungan darah dengan Damar dan Mbakyu.
Dan entah mengapa, sepertinya Damar merasakan seseorang yang berada di dalam rumah mbakyu adalah orang yang sangat dekat denganya.
“Ono opo iki!” (Ada apa ini?) Tanya Damar sambil melemparkan sepedanya dan berlari bersama andara menuju rumah mbakyu namun dengan sergap beberapa orang menahanya.
“Wis Mar, ra usah melu-melu” (Sudah Mar, nggak usah ikut-ikut)
Itu adalah Mas Sapto, Anak tertua dari Pakde Doso Kakak dari ayah Damar.
“iki ini opo mas? Mbakyu arep dikapake” (Ini ada apa mas? Mbakyu mau diapain?) Tanya Damar.
“Ojo Damar… Tulung, Ojo nyedak” (Jangan Damar, tolong jangan mendekat) Lanjut Mas Sapto yang sekuat tenaga menahan Damar dan Andara bersama beberapa orang lainya.
Tak lama setelahnya terdengar suara jeritan wanita dari dalam rumah mbakyu.
Suaranya begitu mengerikan dan sangat memekakan telinga.
“Wis Rampung” (sudah selesai) Ucap Mas Sapto.
Tak lama kemudian terlihat sesorang keluar dari rumah Mbakyu dengan membawa kepala yang sudah terpisah dari tubuhnya.
Itu adalah kepala seseorang yang sangat kukenal sejak kecil. Kepala Mbakyu.
Seketika wajah Damar menjadi pucat , tubuhnya lemas. Andara tak mampu lagi menahan tangisnya dan seketika jatuh terduduk.
Satu hal yang membuat Damar tidak habis pikir.
Yang menggenggam kepala Mbakyu itu adalah Mas Sedo, kakak kandung Damar sekaligus adik dari Wanita yang kepalanya sedang tergenggam di tanganya saat ini.
Saat ini wajah Damar penuh dengan amarah, sepertinya ia ingin ingin segera berlari ke arah sana, namun tiba-tiba Mas Sapto membacakan doa pada salah satu telapak tanganya dan memukulkanya di wajah Damar.
Dengan segera tubuh Damar terkulai tak berdaya dan hanya mampu menyaksikan semua kejadian di depan matanya tanpa mampu berbuat apa-apa.
“Andara , Jaga Suamimu.. selesaikan urusan kalian setelah mereka semua pergi”
Ucap Mas Sapto yang segera memerintahkan orang-orangnya untuk membawa Andara dan Damar bersembunyi salah satu rumah warga yang tidak terkunci.
Andara mengintip kejadian setelahnya melalui jendela rumah itu bersama dengan Damar.
Mas Sedo melempar kepala Mbakyu ke kobaran api unggun yang sudah disiapkan oleh orang-orangnya. Tak lama setelahnya seorang perempuan berparas ayu keluar dengan membawa sebuah peti kayu kecil yang biasa digunakan Mbakyu untuk menyimpan perhiasan peninggalan keluarga.
Wanita cantik itu adalah Dirnaya istri dari Mas Sedo.
Damar dan Andara berpikir, Apa ini semua semata karna harta atau warisan itu? sepertinya tidak.
Tindakan terkutuk ini tidak mungkin demi benda-benda yang pasti dengan sukarela mbakyu berikan kepada kami adik-adiknya bila meminta dengan baik-baik.
Setelahnya , Mas Sedo mengambil beberapa batang kayu yang sudah terbakar dan menyulutnya ke rumah Mbakyu yang sudah disiramkan dengan minyak tanah.
Saat api mulai melahap rumah itu mereka semua segera berbondong-bondong meninggalkan desa tanpa sepatah kata dan seperti tanpa penyesalan sedikitpun.
Damar dan Andara menangis tanpa henti bahkan hingga api di rumah mbakyu terbakar habis dan hanya menyisakan separuh dari temboknya.
Tepat saat Sapto meninggalkan Desa , Damar kembali bisa menggerakkan tubuhnya.
Saat itu juga Damar memaksakan dirinya untuk mengampiri sisa-sisa rumah yang terbakar itu.
Terlihat di bagian ruang tengah sisa tulang-belulang Mbakyu yang sebagian sudah menjadi abu. Damar menangis sekuat-kuatnya melihat hal itu.
Andara berusaha mencari petunjuk ke seluruh bangunan namun tidak ada yang tersisa di sana.
“Kita harus meminta penjelasan dari Sedo!” Damar berkata dengan penuh emosi.
Andara yang melihat wajah suaminya dipenuhi amarah memilih untuk lebih tenang dan mencari petunjuk di sana.
Ia teringat dengan mimpinya mengenai benda yang dikuburkan di bawah pohon jati di halaman itu.
“Jangan Mas.. jika mimpi semalam benar, seharusnya benda itu ada di bawah pohon jati. Kita bawa dulu ke mbah Sarjo.. mungkin ia bisa memberi petunjuk” Ucap Andara.
Mereka berdua sekuat tenaga menahan rasa sedihnya dan menelusuri sisa-sisa rumah Mbakyu menuju tempat yang ditunjukan di mimpi Andara.
Benar saja, ada bekas galian baru di sana.
Damar menggalinya dengan tangan kosong dan berhasil menemukan kotak kayu persis seperti yang ditunjukan di mimpi Andara. Mereka segera membukanya dan menemukan sebuah perhiasan kuningan berhiaskan perhiasan dan sebuah batu berwarna hitam.
Mereka memutuskan untuk membawanya ke Mbah Sarjo , seseorangnya di sesepuhkan di anggota keluarganya.
***
sudah cukup lama Damar dan Andara berdiam di rumah mbah Sardjo hingga mlampun mulai datang. Berbagai pemikiran muncul di pikiran Damar dan Andara.
Bagaimana mungkin hanya mereka yang tidak mengetahui penyebab dari tragedi ini?
Apakah mungkin Mas Sedo juga mengincar mereka berdua setelahnya?
Andara berjalan menuju keluar dengan membawa sebuah lampu teplok.
“Mau ke mana?” Tanya Damar.
“Mau masang ini di depan biar nggak gelap” Jawab Andara sambil memperhaTikan nyala api di lampu itu.
Ia berjalan menuju pintu dan membukanya perlahan. Namun tepat saat pintu itu terbuka tiba-tiba Andara menjatuhkan lampu itu hingga minyak tanah berceceran di tanah.
“Ono opo dik?” (Ada apa dik?) Tanya Damar.
Tak seperti sebelumnya, tepat saat pintu itu dibuka terdengar suara kerumunan orang seolah berada di sekeliling rumah ini.
Damar yang melihat istrinya bertingkah aneh segera menyusulnya dan menyaksikan pemandangan di luar bangunan.
Seketika Damar bertingkah sama seperti istrinya.
Mereka berdua tidak percaya dengan apa yang mereka lihat di luar. Suara kerumunan itu rupanya bukan berasal dari suara manusia,
melainkan suara dari berbagai macam makhluk yang mengelilingi rumah itu layaknya menyaksikan sebuah pertunjukan.
Makhluk halus yang hampir jarang mereka lihat kini berkumpul dengan berbagai wujud mulai dari siluman ular di atap rumah ,
puluhan roh penasaran di sekeliling desa, hingga sosok hantu perempuan yang melayang-layang di sekitar rumah itu.
“Wis nduk, ayo mlebu “ (Sudah nak, ayo masuk)
Suara wanita terdengar lembut di telinga kami bersamaan dengan munculnya bayangan wanita yang menghalangi kami untuk melihat keluar.
Rupanya Nyi Sendang Rangu sedaritadi melindungi rumah ini dari keberadaan makhluk makhluk itu.
Seketika mereka merasakan keadaan di rumah ini menjadi semakin mencekam.
Berbagai doa mereka bacakan untuk melindungi rumah ini dari niat jahat makhluk makhluk itu. mereka membaca setiap doa dan ayat suci tanpa terputus hingga akhirnya sesuatu membuat mereka tertidur.
“Damar, Andara… Masmu, Sedo wis memutuskan dadi pengikute Ki Brotowongso. Nek ketemu Sedo meneh ojo pernah nganggep de’e sedulurmu meneh..”
(Damar, Andara… Kakakmu, Sedo sudah memutuskan untuk menjadi pengikut Ki Brotowongso. Saat ketemu Sedo lagi, jangan pernah menganggap dia saudaramu lagi)
Itu ada suara Mbah Sarjo yang muncul di mimpi mereka berdua di malam pertama.
Damar masih jauh dari mengerti mengenai ucapan Mbah Sarjo itu namun ia tetap mengingt dengan baik semua petunjuk itu.
Sesuai Perintah Mbah Sarjo, Andara dan Damar melakukan puasa mutih dan berdiam di dalam bangunan tanpa keluar sama sekali.
Mereka menunggu Mbah Sarjo kembali sambil membaca doa-doa untuk melindungi rumah ini.
Malam kedua mbah Sarjo kembali mucul di mimpi mereka lagi.
Namun kali ini ia menceritakan tentang Ki Brotowongso yang ternyata memiliki kesaktian yang sudah ia sempurankan pemberian makhluk yang merasuki dirinya.
Menjelang malam ketiga, terdengar suara pintu yang digedor dengan keras. Kali ini jelas itu adalah ketukan manusia.
Damar dan Andara merasa ketakutan mendengar suara ketukan yang penuh dengan emosi itu.
“Damar Buka! Aku tau kowe ning jero!” (Damar, Buka! Aku tahu kamu di dalam)
Damar dan Andara tau sekali bahwa itu adalah suara Mas Sedo.
Namun mereka sama sekali tidak bisa menebak kedatangan kakaknya itu.
Amarah yang masih terus tersisa membuat Damar berniat menghadapi kakaknya itu, namun Andara yang masih ingat dengan peringatan Mbah Sarjo di mimpi mencoba menahan suaminya itu.
“Nyi Sendang Rangu.. tak bisakah kau balaskan dendam Mbakyu?” Teriak Damar pada sosok bayangan wanita anggun yang menghalangi pintu rumah itu.
Makhluk itu menggeleng dan berbalik ke arah pintu.
“Aku masih terikat perjanjian dengan leluhur kalian dan tidak bisa menyakiti keturunan kalian.. tunggu saja sebentar lagi.”
Suara ketukan terdengar hampir di setiap penjuru bangunan.
Aku tahu dengan jelas bahwa mereka tidak bisa sembarangan memasuki rumah ini dengan perlindungan Nyi Sendang Rangu.
Di tengah suara berisik itu tiba-tiba Andara menatap terpaku ke arah ruang belakang rumah. Ia menatap pada sesuatu yang perlahan terlihat semakin jelas.
Sosok wanita berwajah hitam berpakaian kebaya lusuh melayang mendekat dari arah tempat itu.
“Mas.. itu apa mas?” Ucap Andara yang ketakutan.
Makhluk itu melayang dan tersenyum memamerkan mulutnya yang berceceran cairan berwarna hitam.
Ia menarik tusuk kondenya dan mendekat ke Arah Andara.
“Wis wayahe kowe mati…” (Sudah saatnya kamu mati)
Suara makhluk itu menggema ke seluruh bagian ruangan.
Nyi Sendang Ranu tidak tinggal diam.
Ia berdiri tepat dihadapan Andara dan Damar untuk menyambut kedatangan makhluk itu.
“Demit sepertimu berani menantangku?” Ucap Nyi Sendang rangu yang mendekat ke arah makhluk itu.
Tubuhnya memang lebih kecil dari makhluk yang mendatangi kami.
Namun aku sangat mengerti kengerian dari kekuatan Nyi Sendang Rangu.
Wajah Ayu Nyi sendang rangu perlahan berubah.matanya memutih dan terus menatap ke makhluk itu.
Hanya dengan tatapanya wujud wanita itu menghitam seperti membusuk dan hanya menyisakan kepalanya saja.
Wujud itu tiba-tiba terjatuh dan sebuah benda menyerupai gelang kuningan yang sekarang terlihat semakin menghitam.
“I—itu mas, itu pusaka keluarga Tarjiwo..” Ucap Andara.
“Jadi mereka juga sudah bersekutu dengan Mas Sedo” Balas Damar.
Nyi Sendang Rangu mengangkat kepala makhluk itu dan memberikan peringatan.
“ikatanmu dengan keluarga itu sudah terlepas, aku kembalikan kau pada mereka.. mintalah bayaran atas permintaan mereka!”
Saat itu juga kepala itu menghilang dari tangan Nyi Sendang Rangu.
Tak lama setelahnya terdengar suara teriakan dari orang-orang yang berada diluar.
“A—apa yang terjadi nyi?” Tanyaku.
“Makhluk itu hanya meminta bayaran atas perlakuan itu padanya… sepertinya sepuluh nyawa dari keluarga itupun tidak cukup.” Jawab Ki Sendang Rangu.
Setelah kejadian itu suara dari luar rumah perlahan menghilang. Namun Andara dan Damar masih mengethui bahwa mereka masih berada di luar sana.
Suara langkah kaki yang sangat pelan terdengar mendekat samar-samar. Seperti suara langkah kaki tanpa mengenakan kasut.
Suara itu berdampingan dengan suara orang yang berkerumun membicarakan sesuatu.
Klek!
Tiba-tiba pitu rumah terbuka. Terlihat seorang kakek tua berjalan dengan tenangnya masuk ke dalam rumah.
“Mbah Sarjo!” Teriak Damar.
Damar dan Andara menoleh ke arah luar dan melihat semua orang di sana menatap ke suatu titik yang jauh dari rumah ini.
“Wis… Rungokno aku sek , ojo ngurusi mereka” (Sudah dengarkan aku dulu, jangan mengurusi mereka) Perintah Mbah Sarjo.
Mbah sarjo mengeluarkan sepasang benda entah dari mana. Itu adalah sebuah kalung kuningan yang dihiasi perhiasan dengan ukiran-ukiran kuno. Mirip seperti milik Mbakyu namun sudah terlihat berbeda.
“Andara, ini milikmu sekarang… Dengan memiliki musTika ini kalian sudah bukan bagian dari trah ini.” Ucap Mbah Sarjo.
“M—maksud mbah apa?” Tanya Damar.
“Kalian sudah tidak memiliki hubungan apapun lagi denganku maupun Sedo,
mereka tidak perlu lagi mencabut nyawa kalian” Jelas Mbah Sarjo.
Mbah Sarjo menceritakan tentang Sedo yang menjadi anak buah Ki Brotowongso dengan syarat harus menghabisi semua keluarga kandungnya dan hanya menyisakan dirinya sebagai keturunan terakhir.
Mendengar itu, Damar teringat dengan Mas Sapto yang menolongnya tadi.
“Lalu Mas Sapto bagaimana?”
“Sepertinya ia mempunyai rencananya asendiri” Jawab Mbah Sarjo.
Mbah Sarjo mengenakan MusTika itu pada Andara, seketika Damar menatap istrinya itu dengan tatapan yang berbeda.
“Dengan mengenakan MusTika itu orang akan patuh dengan kalian dan memandang kalian layaknya orang terpandang namun selalu ada bayaran atas setiap kekuatan..” Jelas Mbah Sarjo lagi.
“A—apa itu mbah?” Tanya Andara.
“Semakin menggunakan pusaka ini, maka kamu akan semakin membutuhkan seseorang untuk memenuhi gairahmu.. Karna itu Damar suamimu harus terus berada di sisimu” Jawab Mbah Sarjo.
Mbah Sarjo mengeluarkan sebuah benda lagi berupa cincin yang berhiaskan batu yang berwarna hitam legam.
“Ini untukmu Damar.. Ini akan melindungimu , kamu akan mengetahui mantra atas pusaka itu saat kamu sudah harus menggunakanya” Jelas Mbah Sarjo.
Damar Menerima sebuah cincin pusaka dengan batu berwarna hitam. Mereka sadar kedua pusaka itu dibuat dengan benda peninggalan Mbakyu Kemarin.
“Mulai sekarang namamu adalah Damar Aji Darmowiloyo , Bangunlah trah kalian sendiri dengan restu dariku. “
Seketika wajah takut Damar dan Andara berubah. Raut muka sedih terlihat di wajahnya. Entah bagaimana mereka harus berterima kasih kepada eyangnya itu.
“Lalu Mbah bagaimana?” Tanya Damar.
“Waktuku sudah selesai, Ikatan Nyi Sendang Rangu juga sudah kulepaskan. Tugas terakhirnya adalah mengantarku ke peristirahatan terakhir…”
Seketika saat itu juga wujud mbah Sarjo mulai menghilang perlahan. Suara langkah kaki terdengar kembali mendekat ke rumah.
Melihat pintu yang terbuka Sedo masuk dengan menggenggam sebuah kepala dengan wajah yang juga kukenal.
Itu adalah kepala Mbah Sarjo.
Damar berusaha sekuat tenaga berusaha tegar.
Rupanya sedari tadi Mas Sedo dan orang-orangnya menghabisi tubuh mbah sarjo sehingga memberikan kesempatan untuk sukmanya menemui kami.
“Kita sudah tidak ada urusan lagi… aku sudah bukan bagian dari kalian lagi” Ucap Damar yang menghadang langsung kakaknya untuk masuk lebih jauh.
“Cara yang pintar…” Ucap Sedo yang memperhaTikan tubuh Damar dari ujung kepala hingga ujung kaki.
Saat ini Ia melihat Damar sebagai orang yang berbeda dan tidak lagi merasakan hubungan darah diantara mereka.
“Maafkan aku Damar, aku tidak mau kamu menjadi penghalangku di kemudian hari”
Rupanya pemutusan ikatan itu tidaklah cukup.
Sedo masih berusaha mencoba membunuh Damar dengan mulai mencabut keris dari pinggangnya.
Damar mencoba mengusap cincin yang sudah terpasang di jarinya namun tiba-tiba niatnya terhenti.
“Cukup!” Teriak Andara dari dalam ruangan.
Ia keluar dengan mengenakan musTika pemberian Mbah Sarjo dan berdiri tepat di samping suaminya.
Saat itu juga tingkah laku Sedo berubah.
“Andara… tidak mungkin kamu Andara!” Ucapnya.
Tingkahnya terlihat aneh saat menatap Andara. Wajah beringasnya berubah menjadi seperti anjing yang siap patuh dengan tuanya.
Damar dan Andara saling menatap dan memutuskan apa yang akan kalian lakukan.
“Pergi dan lupakan keberadaan kami!” Perintah Andara.
“B—Baik Nyai!” Ucap Sedo yang seketika menjadi Patuh dengan ucapan Andara. Namun sepertinya ada sebagian dari sisi Sedo yang berusaha melawan pengaruh musTika itu.
“Cepat pergi!” Perintah Damar.
Seketika Sedo mundur meninggalkan rumah itu dan memerintahkan anak buahnya untuk pergi.
“Apa ini artinya musTika itu tidak akan bekerja untuk anggota keluarga kita?” Tanya Damar.
“Mungkin saja mas.. tapi kita juga harus berhati-hati menggunakan benda ini” Jawab Andara.
Malam itu mereka mendoakan Jasad Mbah Sarjo yang terpisah dengan kepalanya.
Dengan menggunakan mustika itu Damar dan Andara dapat melihat dengan jelas wujud Nyi sendang rangu yang berjalan mengantarkan Roh Mbah Sarjo ke arah sebuah hutan terdapat sebuah sendang yang merupakan asal dari Nyi Sendang Rangu.
***
(Bersambung part 2- Ikatan Takdir)
Terima kasih sudah mengikuti kisah ini, part 2 akan kembali ke masa dimana Danan dan Cahyo bertemu dengan Tika.. dan akan di upload sabtu ini.

seperti biasa yang mau sekedar mendukung atau membaca duluan bisa mampir ke @karyakarsa_id

karyakarsa.com/diosetta69/par…
dan sudah sampai part 3 di link ini..
Matur sembah nuwun 🙇‍♀️

karyakarsa.com/diosetta69/get…
GETIH IRENG ABDI LELEMBUT
(Darah Hitam Pengabdi Setan)
Part 2 - Ikatan Takdir

Sudah cukup Flashbacknya, kita kembali ke Timeline Danan can Cahyo lagi ya. Part ini agak pendek tapi semoga tetep bisa dinikmati

@bagihorror
@balakarsa
@IDN_Horor
@ceritaht
@qwertyping Image
Biar gak lupa ceritanya, mungkin bisa baca ulang Desa Tanggul mayit...

yuk kita mulai ceritanya..
“Coba mas tanya.. nama kamu siapa?” Tanya Cahyo kepada seorang anak yang berada di hadapanya.
“Ningsih…”
Anak itu menjawab dengan tatapan tanpa ekspresi sedikitpun.
“Dek, nama kamu Tika.. Bapak ini ayahmu” Ucap Cahyo lagi, namun anak itu hanya menggeleng.
Cahyo kembali duduk bersama kami meninggalkan anak kecil itu lagi.
“Mohon maaf ya mas, seharusnya kami tidak pantas meminta tolong Mas Danan dan Mas Cahyo setelah semua kejadian di desa itu” Ucap ayah dari anak itu.
“Pak Gito… kalau kami sudah datang ke sini berarti kami sudah siap membantu, tidak usah sungkan lagi” Jawabku.
“Kulo nuwun!”
Terdengar suara seseorang yang ku kenal telah sampai di depan pintu rumah dan melepas sandalnya yang lusuh.
“M—monggo pak, silahkan masuk” Ucap Pak Gito.
“Paklek kok ikutan ke sini? “ Tanya Cahyo dengan wajah yang sudah kutahu bersiap untuk meledek Paklek.
“Lah.. Paklek ra oleh teko? Terus piye Tahu isine Bulek? tak gowo mulih meneh?”
(Lah Paklek nggak boleh datang? Terus gimana Tahu isi dari Bulek ? Paklek bawa pulang lagi?)
Jawab Paklek dengan wajah yang tidak kalah nakalnya.
“O—ora Paklek, Oleh.. oleh banget.. kene duduk samping Cahyo”
(N—nggak Paklek, Boleh.. boleh banget, sini duduk di sebelah Cahyo) Ucap Cahyo yang segera menghampiri Paklek dan membawakan kantong kresek yang dibawa Paklek.
Aku hanya menutup mulutku mencoba menahan tawa melihat tingkah laku mereka.
Pak Gito menyambut kedatangan Paklek dengan perbincangan-perbincangan kecil dan sedikit menceritakan tentang kejadian di desa yang sering disebut dengan nama Desa Tanggul Mayit itu.
“Maaf Paklek , malah jadi ngerepotin.. saya kira mas Danan dan Cahyo cukup untuk membantu anak saya ini”Ucap Pak Gito.
Memang aku yang memanggil Paklek ke sini. Aku dan Cahyo sudah mencoba untuk memulihkan kesadaran Tika namun tetap gagal.
Kemungkinan ilmu yang di tanam di tubuhnya itu sudah melekat terlalu dalam.
“Nggak Papa Pak Gito, kalo urusan gebukin demit Si Panjul ini Ahlinya.. sayangnya dia sibuk ngurusin kliwon sampai kabur terus kalau disuruh belajar” Jawab Paklek.
Cahyo hanya menggaruk kepalanya sambil mencomot tahu isi buatan Bulek yang sudah dihidangkan di hadapan mereka.
Setelah meminta Ijin pada Pak gito , Paklek memeriksa keadaan Tika yang semenjak datang ke sini hanya merenung tanpa emosi dan menuruti perintah siapapun yang menyuruhnya.
Setelah memeriksa beberapa bagian kepala Tika, Paklek ijin untuk membasuh lengan dan wajahnya dengan air dan pergi ke dapur.
Terdengar suara Paklek sedang menumbuk dan meracik sesuatu. Terdengar juga suara bisikan seolah sedang membacakan doa untuk sesuatu yang ia buat.
“Ini di minum dulu ya.. biar sehat lagi” Ucap Paklek sembari memberikan segelas minuman yang baru saja ia buat.
“Itu apa Paklek? “ Tanya Cahyo.
“Jamu, Kamu mau? Ambil aja di belakang..” Ucap Paklek pada Cahyo.
Cahyo segera mengambil gelas dan menuangkan minuman racikan Paklek itu.
Aku memperhaTikan Tika yang mulai menyeruput minuman itu. Seolah kehilangan akal. Mata Tika tiba-tiba melotot dan segera menghabisan minuman buatan Paklek secepatnya.
“Pait Paklek… Ini Jamu opo” Tanya Cahyo yang datang dari belakang sambil menunjukan gelasnya.
“Jenenge jamu yo pait, nek manis jenenge Kartimi” (Namanya Jamu ya Pahit, kalau manis namanya Kartimi) Canda Paklek.
Aku hanya tersenyum melihat perbincangan mereka berdua namun aku tahu pasti sebuah perubahan terjadi pada Tika.
“Ojo pak… ojo… aku raoleh lungo..” (Jangan pak, jangan… aku tidak boleh pergi)
Terdengar suara Tika yang sebelumnya tenang tiba-tiba merengek memomohon pada Paklek.
“Lha Kowe iki sopo? ngopo nempati tubuh Tika..” (Lha kamu itu siapa? kenapa nempatin tubuh Tika?) Tanya Paklek.
“Kulo Ningsih pak, nek kulo lungo ono sing bakal nyakiti kulo..” (Saya Ningsih pak, Kalau saya pergi akan ada yang menyakiti saya) Jawab sosok yang mendiami tubuh Tika itu.
Mendengar ucapan itu sontak aku dan Cahyo ikut mendekat.
“Sopo? ngomong wae?” (siapa? Bilang saja?) Tanya Cahyo.
“Iyo Ningsih bilang saja, biar mas-masmu ini yang ngebantu” Tambahku.
Roh Ningsih masih terlihat ketakutan , namun saat menoleh kearahku dan Cahyo sepertinya ia ingin mengatakan sesuatu.
“Buto.. enek buto sing bakal muncul nek kulo ninggalke rogo iki” (Raksasa… ada raksasa yang akan muncul kalau saya meninggalkan tubuh ini) Jawabnya dengan nada suara yang ketakutan
Seketika terasa getaran dari kaca rumah Pak Gito seolah suatu “Sosok” mencoba mengancam kami.
“Pak Gito, jangan jauh-jauh dari Paklek ya… Ningsih, kamu bisa keluar sekarang, makhluk itu biar kami yang urus.” Ucapku yang segera berdiri sembari mengajak Cahyo menuju kekuatan yang menyebabkan getaran tadi.
Ningsih menatap Paklek dengan ragu.
“Sudah.. ikuti kata mas-masmu , nanti Paklek akan membantu kamu sampai kamu tenang” Ucap Paklek.
Mendengar janji Paklek, Sosok Roh Ningsih meninggalkan tubuh Tika yang seketika terkulai lemah.
Itu adalah roh seorang anak yang seumuran dengan Tika. Mungkin saja mereka punya weton yang sama sehingga bisa merasuki tubuh Tika tanpa meyakiti tubuhnya.
“D—dia datang…” Ucap roh Ningsih dengan wajah yang ketakutan.
“Danan.. opo enek buto teko awan-awan ngene?” (Nan.. apa ada raksasa datang siang-siang begini?) Tanya Cahyo.
“Mbuh… gak tau, kita liat aja…” Balasku.
Kami berdua menghampiri sosok yang menyebabkan getaran dan berbagai dentuman di sekitar rumah pak Gito.
Buto? Bukan… sosok yang menghampiri kami adalah seseorang pria berambut hitam panjang bertelanjang dada dengan wajah yang dipenuhi kumis dan janggut.
Sekilas penampilanya seperti manusia biasa yang mengenakan celana kain hitam dan kalung kuningan layaknya abdi keraton.
“Ningsih… rene kowe!” (Ningsih , ke sini kamu!) perintah pria itu dangan nada mengancam.
Segera aku dan Cahyo berdiri menghadang tepatdi hadapan pria itu.
“Itu… itu Butonya!” Ucap roh Ningsih.
“Cahyo, Jangan lengah… kalau ia benar Buto dan bisa mengambil wujud seperti ini,berarti dia bukan buto biasa” Peringatku kepada Cahyo.
Cahyo mengangguk, sepertinya ia juga merasakan bahaya dari makhluk hadapanya.
“Ningsih sudah bukan bagian dari kalian.. biarkan dia tenang” Ucap Cahyo.
Entah, terlihat wibawa yang mengerikan dari makhluk berwujud pria ini. ia hanya melipat tanganya ke belakang namun instingku memaksa untuk lebih waspada.
Merasa mendapat peralawanan dari kami makhluk itu maju menerjang dan menghantamkan pukulan dari tanganya yang seperti terlihat membesar.
Cahyo berhasil menahan serangan itu, namun dari setiap serangan yang kami terima samar-samar kami melihat wujud asli dari pria itu. Raksasa hijau dengan pakaian laksana abdi kerajaan.
“Heh… Lha ternyata Buto Ijo…” Ucap Cahyo.
“Lha iyo… tetep jangan lengah” Balasku.
Kali ini Cahyo yang maju menerjang ke arah makhluk itu , ia melepaskan sarungnya dan mengalihkan setiap pukulan dari buto berwujud manusia itu dengan sarungnya.
“Wanasura!!”
Seketika salah satu lengan Cahyo berubah menyerupai lengan kera raksasa dan berbenturan dengan dengan pukulan dari Buto itu.
Cahyo unggul dalam adu kekuatan itu, terlihat pria itu terpental dengan darah hitam yang bermuncratan dari mulutnya.
Cahyo bersiap menyerang kembali , tetapi mendadak kekuatan hitam datan menyelimuti sekitar rumah ini. suasana siang hari yang sebelumnya cerah kini berubah menjadi gelap.
Tiba-tiba Paklek memanggil Cahyo dan menyuruhnya mundur.
“Panjul uwis!” Ucap Paklek. Sepertinya ia merasakan akan ada resiko bila meneruskan pertarungan ini.
Buto berwujud manusia itu kembali berdiri dan meludahkan cairan hitam yang masih tersisa di mulutnya.
“Sing mbok lawan dudu aku, aku mung salah siji ingon Trah Brotowongso.. Buto Lowo ijo”
(Yang kamu lawan buakan aku, aku hanya salah satu ingon ari keturunan Brotowongso.. Boto Lowo Ijo) Ucapnya dengan wajah mengancam.
Ini yang aku takutkan. Saat ikut campur dengan perseturuan antar trah, yang kami hadapi bukan demit demit biasa. Melainkan ingon-ingon milik keluarga itu yang sudah dibekali dengan kesaktian dan pusaka.
“Raden tidak akan tinggal diam dengan perbuatan kalian.. “ Ucapnya dengan perlahan menghilang bersama kekuatan hitam yang menyelimuti tempat ini.

Saat keadaan kembali aman kami kembali menghampiri Paklek yang masih berjaga melindungi tubuh Tika dan roh Ningsih.
“Wis Ningsih.. Paklek bacakan doa ya, setelah ini Ningsih bisa tenang dan tidak ada makhluk yang bisa mengganggu Ningsih lagi. Ucap Paklek”
Roh Ningsih mengangguk dan mengikuti semua arahan Paklek.
“Matur suwun yo mas, terima kasih… salam untuk Tika, dia anak yang baik” Ucapnya yang perlahan menghilang dengan doa-doa dan ayat suci yang dibacakan oleh Paklek.
Tepat saat roh Ningsih menghilang Tika mulai tersadar.
“B—bapak, ini di mana?” Tanya Tika.
Pak Gito yang melihat Tika kembali sadar segera memeluk anak perempuan satu-satunya itu.
“Ini di rumah nak, kamu sudah pulang… maafkan bapak ya nak” Ucap Pak Gito yang terlihat terharu menatap wajah Tika.
Berbeda dengan Tika yang selama ini kami lihat, kini ia terlihat bisa menunjukan perasaanya walaupun masih bingung dengan apa yang terjadi.
“Tika inget sama mas-masnya… mereka yang bertarung melawan dukun yang ngurung Tika” Ucap tika.
Aku dan Cahyo segera mendekat ke arah anak perempuan itu.
“Nama saya Danan, nah yang sarungan ini mas Cahyo…” Balasku dengan berusaha untuk membuatnya tidak takut dengan kami.
“Sudah-sudah , Dek Tika istirahat dulu saja… dirasuki roh selama bertahun tahun itu bukan permasalahan sepele” Ucap Paklek sambil memberikan segelas air putih yang sudah dibacakan doa-doa untuk Tika.
Tika meminum air itu dan perlahan mulai mendapatkan tenaganya kembali.
“Terima kasih ya Paklek, Mas Danan , Mas Cahyo… berkat kalian Tika sudah bisa sadar. Selanjutnya biar saya yang melanjutkan..” Ucap Pak Gito.
Aku yang sedang menikmati segelas teh hangat sedikit merasa aneh dengan ucapan Pak Gito.
“Selanjutnya? Apa masih ada masalah lain pak?” Tanyaku.
Pak Gito menggeleng , namun matanya tidak menatap ke arahku. Walaupun begitu aku tahu dia bukan menyembunyikan hal buruk.
“Tidak Mas… saya tidak mau melibatkan masnya lebih jauh lagi” jawab Pak Gito.
Mendengar perkataan itu Paklek dan Cahyo segera mendekat ke arah kami.
“Lebih baik diceritakan saja Pak… siapa tahu kami bisa bantu” Ucap Paklek.
Pak Gito menatap kami kembali, sepertinya ia merasa sungkan. Tapi kami tetap memaksanya untuk bercerita.
Pak Gito menjelaskan mengenai Tika, sebagian sudah kami ketahui saat di Desa Tanggul Mayit bahwa Tika ada lah anak di luar pernikahan dari Pak Gito dan Nyai kanjeng.
Nyai Kanjeng adalah orang terpandang dari Trah Darmowiloyo. Sedangkan Pak Gito hanyalah bawahan dari keluarga itu yang pada akhirnya, keberadaan Tika menjadi aib bagi keluarga Darmowiloyo.
Namun setelah berbagai kejadian kemarin, mereka memutuskan untuk memberikan hak Tika sebagai anak biasa dan dirawat lagi oleh pak Gito.
Sayangnya masalah mereka tidak selesai semudah itu. Beberapa hari yang lalu Nyai Kanjeng kembali menemui pak Gito dan memberikan sebuah cincin dengan batu yang berwarna hitam legam. Sebuah cincin yang sempat digunakan oleh dukun yang mengurung Tika.
“Nyai Kanjeng meminta kami untuk menyimpan benda ini. ini adalah pusaka terakhir keluarga Darmowiloyo.. “ Jelas Pak Gito.
“Katanya mungkin suatu saat Tika membutuhkan benda ini untuk menyatakan keberadaanya sebagai bagian dari trah Darmowiloyo sekaligus mungkin pusaka ini bisa melindungi Tika”
Tunggu… aku benar-benar tidak mengerti dengan situasi ini.
“Maksud Pak Gito, Nyai kanjeng ingin mengakui Tika sebagai bagian keluarganya? Atau bagaimana?” Tanyaku.
Pak Gito mengangguk.
“Tanpa Mustika pengasihan yang dimiliki Nyai kanjeng, akan banyak musuh dari keluarganya yang akan mencoba mencelakai mereka.. Nyai Kanjeng sudah bersiap menerima setiap resikonya untuk membalas dosa-dosanya. Tapi setidaknya dia ingin Tika Selamat” Jelas Pak Gito.
Aku mengingat mustika yang dimiliki Nyai kanjeng yang berhasil aku putihkan. Kekuatanya memang mengerikan, namun tak kusangka akan berpengaruh sebesar ini.
“Pak… berarti ibu dalam bahaya?” Ucap Tika yang ternyata mendengar percakapan kami dari tadi.
Aku sungguh takjub dengan perasaan yang dimiliki Tika, ia sedikitpun tidak menaruh dendam pada ibunya yang telah memperlakukanya seperti itu dan malah merasa khawatir.
“Tenang Tika.. yang penting kamu aman dulu di sini, bapak yang akan menjaga kamu” Ucap Pak Gito.
“Mas Danan sama Mas Cahyo kan hebat? Berarti bisa nolongin ibunya Tika?” Ucapnya dengan polos.
Aku dan Cahyo saling bertatapan, namun tiba-tiba tangan Paklek mendorong kepala kami berdua dari belakang.
“Ora usah kakean mikir.. “ (tidak usah kebanyakan berfikir) Ucap Paklek tiba-tiba
“Tenang saja, mas-mas ini akan nolongin ibumu.. kalau mereka nggak mau , lapor sama Paklek ya”
Aku mengusap kepalaku yang di dorong oleh Paklek.
Memang kami tidak ada niat menolak permintaan Tika, namun aku masih tetap merasa ragu bila harus berurusan dengan masalah keluarga orang lain.
“Kenapa Danan? Masih ragu? Inget.. ini salahmu juga, kalau mustika itu tidak kamu putihkan jadinya ga akan begini” Ucap Cahyo dengan nada yang meledek.
“Enak wae.. kalau nggak aku putihkan kamu sudah jadi kacung nyai kanjeng di sana, bisa-bisa kamu disuruh jadi ledek ketek (Topeng monyet) di alun-alun” Balasku.
“Uaseemmm.. enak wae ledek ketek, tak laporke kliwon siap-siap diamuk kowe” (asem, enak aja topeng monyet.. tak laporin kliwon siap-siap dimarahin kamu) Balas Cahyo.
Paklek dan lainya hanya tersenyum melihat tingkah kami. Namun satu hal yang sudah pasti. Kami sudah memutuskan untuk membantu Tika hingga masalahnya selesai hingga ke akar-akarnya.
Lagipula kami juga mengingat dengan jelas dari pertarungan tadi, sepertinya seseorang yang menyandang nama Brotowongso itu juga sudah menandai dan bersiap mengincar kami lagi.
***
(Bersambung…)
Terim kasih banyak untuk teman-teman yang sudah mengikuti cerita ini.

mohon maaf apabila ada salah kata atau bagian cerita yang menyinggung.

Seperti biasa , untuk yang mau membaca kelanjutanya duluan part 3 & 4 sudah ada di @karyakarsa_id 🙏
karyakarsa.com/diosetta69/get…
GETIH IRENG ABDI LELEMBUT
Part 3 - Kesumat

Upload nanti malem ya.. minta tolong bantu retweet dulu biar rame.

@IDN_Horor
@ceritaht
@txtdarialamlain Image
Bukan di daerah mewah seperti yang kami perkirakan, tapi kami malah diajak melewati hutan-hutan yang hanya memiliki jalur untuk satu mobil.
“Pak Gito… saya kira Nyai Kanjeng tinggal di rumah mewah di daerah kota, gak nyangka malah masuk ke hutan-hutan begini” Tanyaku penasaran.
Sambil menyetir dengan hati-hati Pak Gito mencoba menjawab pertanyaanku dengan sepengetahuan dia.
“Benar, nyai kanjeng punya rumah dan lahan yang besar di pinggir kota. Tapi seperti yang saya jelaskan kemarin, keberadaanya mungkin diincar oleh musuh-musuhnya sehingga ia memilih untuk tinggal di pendopo yang selama ini menjadi ‘rumah aman’ untuk Nyai kanjeng”
Pejelasan dari Pak Gito cukup masuk akal, sepanjang perjalanan tadipun kami sudah melihat beberapa makhluk yang berdiam di berbagai pohon yang tinggi memperhatikan kami seolah diperintahkan untuk berjaga memantau apa yang terjadi.
“Danan! Paklek nan! Ada yang aneh sama paklek!” Suara Cahyo tiba-tiba memecah lamunanku. Seketika aku segera menoleh ke belakang tempat paklek duduk dan benar saja, wajah Paklek terlihat tegang dan sedikit pucat.
“Paklek! Kenapa Paklek? Paklek ada serangan?” Aku mencoba melihat keadaan sekitar, namun tak menemukan serangan apapun di sekitar kami.
Khawatir dengan keadaan paklek, akupun bersiap membacakan mantra untuk memulihkan paklek dari kekuatan yang menyerangnya namun tiba-tiba paklek menahanku.
Tidak seperti tadi… Cahyo tidak terlihat panik dan seolah menahan tawanya.
“Ora Danan… ora… iki lho mobile” (Nggak Danan… nggak, ini lho mobilnya) Ucap Paklek.
“Mobilnya kenapa paklek?” Tanyaku.
“Dingin… dingin banget, Paklek arep nyilih sarunge cahyo ora dikei.. Masuk angin nek koyo ngene..”
(Dingin.. dingin banget, Paklek mau minjem sarungnya Cahyo nggak dikasi,masu angini ini…) Ucap paklek yang terlihat lemas sementara Cahyo menahan tawanya.
“Ealah Panjul! Tega bener kamu…” Ucapku.
“Lho… Paklek kan Pendekar sakti mandraguna, mosok iyo ra tahan dingin” Balasnya sambil tertawa.
Mendengar perbincangan kami Pak Gito segera mematikan AC mobil dan membuka jendela.
“Ngene wae yo paklek.. pake AC alam aja” (Begini saja ya paklek, Pakai AC Alam saja) Ucap Pak Gito.
Paklek menarik nafas sedalam-dalamnya menikmati udara yang masuk melalui jendela mobil mewah milik Nyai Kajeng ini.
“Nah… ngene lho, mbok yo dari tadi” (Nah gini lho.. harusnya dari tadi aja) Terlihat wajah paklek perlahan mulai pulih dari pucatnya.
“Nasib.. Nasib… nduwe Paklek kok ndeso” Ledek Cahyo yang segera dibalas paklek dengan lemparan sandal jepit lusuh miliknya.
Belum sempat menyaksikan pertengkaran mereka tiba-tiba Pak Gito melambatkan kendaraanya. Terlihat sebuah bangunan joglo yang besar dengan beberapa rumah pendamping di sekitarnya layaknya sebuah desa kecil.
“Pak.. ibu ada di sini?”Tanya Tika yang mulai terbangun dari tidurnya selama perjalanan.
“Iya Tika.. Jaga kesopanan ya, kita harus tetap sadar diri” Jawab Pak Gito.
Tika mengangguk patuh sembari merapikan rambut dan pakaianya yang berantakan karena tertidur selama perjalanan.
Pak gito memarkirkan mobil tak jauh dari bangunan yang paling besar di tempat itu.
Seseorang keluar dari salah satu rumah kecil di sisi bangunan utama selah memastikan siapa yang datang.
Seorang wanita yang sudah berumur mengenakan kebaya. Aku menduga dia adalah seseorang yang dipercaya untuk menjaga rumah ini.
“Niki rencange kulo Yu Nijah… bade ketemu nyai kanjeng..” (Ini teman-teman saya Yu Nijah, Mau bertemu dengan Nyai Kanjeng)
Samar-samar aku mendengar perbincangan antara Pak Gito dan seorang perempuan yang dipanggil dengan nama Yu Nijah itu.
Tempat yang cukup aneh , terlihat tidak ada bangunan lain selain bangunan yang ditempati Nyai kanjeng dan bangunan pendampingnya. Padahal terlihat ada beberapa tempat yang sepertinya pernah ada rumah penduduk di sana.
“Paklek , Mas Danan, Mas Cahyo.. ayo masuk , Nyai kanjeng ada di dalem” Ucap Pak Gito.
Aku meninggalkan rasa heranku dan berniat menanyakanya nanti saat bertemu dengan Nyai kanjeng.
Sementara aku berjalan masuk, Yu Nijah terlihat sangat sopan menundukan kepalanya menyambut kami.
Kami masuk ke sebuah rumah kayu yang luas dan terlihat penuh peralatan antik. Jelas bangunan ini lebih pantas disebut Rumah Mewah bernuansa kayu dibanding disebut pendopo.
“Ngapunten Nyai Kanjeng , kulo lancang…”
Belum sempat menyelesaikan perkataanya Pak Gito terhenti dengan perkataan Nyai Kanjeng.
“Wis Mas Gito, ra usah sopan-sopan… gowonen masuk kabeh, ben digaweke unjukkan sik karo Yu Nijah”
(Sudah Mas Gito, tidak usah sopan-sopan… bawa masuk saja semua, biar dibuatkan minuman sama Yu Nijah) Potong Nyai kanjeng.
Wajah Pak Gito terlihat cukup heran. Sebelumnya tidak pernah Nyai Kanjeng menyambut seseorang ataupun dirinya dengan begini santainya.
“Saya belum mengerti maksud kalian kemari… tapi terima kasih sudah menyembuhkan Tika dan mengajak Tika ke sini” Ucap Nyai Kanjeng pada kami.
Aku dan Paklek segera mengambil posisi duduk di di kursi kayu yang nyaman berhadapan dengan Nyai Kanjeng, sementara Cahyo masih menikmati memandang ornamen-ornamen indah yang menghiasi ruangan ini.
“Nyai.. ini Paklek, beliau yang sudah membantu Tika..”
Pak Gito memperkenalkan Paklek kepada Nyai Kanjeng dan disambut dengan anggukan yang anggun. Sebenarnya semenjak memasuki rumah ini aku sudah memperhatikan gelagat paklek yang menjadi serius.
Kami memulai pembicaraan sambil menikmati kopi dan suguhan yang disajikan oleh Yu Nijah. Sedari tadi Tika masih merasa canggung dengan Nyai kanjeng, walaupun aku tahu dia ingin sekali mendekat ke ibunya itu.
“Saya sudah siap menerima apapun konsekuensi atas kesalahan yang saya lakukan di desa tanggul mayit. Tapi tolong… seperti ucapan kalian saat di desa itu, setidaknya Tika bisa selamat dari mereka yang ingin membalas dendam kepada Trah Darmowiloyo”
Aku tidak pernah menyangka kata-kata itu akan keluar dari Nyai Kanjeng yang sebelumnya sempat berniat menumbalkan Tika.
Mata Tika terlihat berkaca-kaca, seolah tika menerima ucapan Nyai Kanjeng tadi sebagai ungkapan rasa sayang seorang ibu yang dulu hampir tida pernah ia rasakan. Aku hanya sedikit tersenyum dan mengusap kepala Tika.
“Masalahnya Nyai.. Tika juga tidak ingin Nyai Kanjeng kenapa-kenapa, makanya dia meminta kami untuk mencari jalan keluar agar Nyai bisa selamat” Balasku.
Nyai kanjeng menatap Tika sebentar dan menoleh dengan tatapan yang sendu.
“Masalahnya, kalian tidak tahu sebesar apa Kutukan yang dimiliki keluarga kami.. terlebih atas perbuatan-perbuatan saya sebelumnya” Balasnya .
“Itulah tujuan kami ke sini Nyai.. mungkin Nyai bisa menceritakan akar permasalahanya kepada kami… “ Lanjut Paklek.
Nyai kanjeng menghela nafas, sepertinya ia tidak yakin kami bisa banyak membantu. Kini ia menatapku dengan mata yang penuh emosi dan berkaca-kaca.

“B—Bagaimana… kalau kamu memiliki seorang anak, dan aku mengambilnya dengan paksa untuk dijadikan tumbal… “
Ucapnya Tiba-tiba.
“Apa kalian masih ingin menolong saya?”
Nyai kanjeng beralih menoleh ke arah Paklek dengan suaranya yang gemetar.
“Bagaimana kalau saat kamu pulang , yang terlihat hanya kepala istrimu yang tergantung tanpa diketahui di mana badanya.“
Seketika itu juga aku dan Paklek bergidik ngeri dan mulai merasa bimbang dengan apa yang kami lakukan.
Mendengar setiap ucapan Nyai Kanjeng , Cahyo mendekat ikut memperhatikan ke arah Nyai Kanjeng.
Saat itu juga Nyai kanjeng menoleh ke arah Cahyo dan menatap dengan tatapan yang sama.
“Bagaimana bila saat perjalananmu pulang kamu menemukan jasad kedua orang tuamu dibuang di jalan dengan jasad yang tidak utuh”
Berbeda dengan aku dan paklek, Cahyo membalas tatapan Nyai kanjeng dengan serius dan berjalan mendekat.
“Saya akan mendoakan mereka agar mereka tenang, dan mencari cara untuk menghentikan pembunuhnya…
bukan untuk balas dendam, tapi agar kejadian itu tidak akan terjadi lagi kepada orang lain..” Jawab Cahyo dengan yakinya.
Seketika aku teringat tentang masa kecil cahyo yang menyaksikan sendiri kematian kedua orang tuanya, dan bahkan seluruh warga desanya oleh perbuatan demit yang menyamar sebagai kelompok Ludruk.
Aku dan Paklek menghela nafas, Nyai kanjengpun pasti tidak pernah menyangkat penyataan itu akan keluar dari mulut seseorang. seketika pernyataan Cahyo menjawab keraguan kami semua dan paklekpun mencoba berbicara.
“Sudah..sudah, Dosa Nyai Kanjeng dan Keluarga urusanya dengan Tuhan… dan benar kata si Panjul ini, Urusan kami adalah menghentikan agar hal-hal itu tidak terjadi kepada orang lain, Termasuk kepada Trah Darmowiloyo”
Aku ikut mengangguk dan memantapkan niat kami. Namun sepertinya Nyai Kanjeng masih terlihat gelisah. Namun sebelum kami mencoba meyakinkan Nyai lagi tiba-tiba terdengar suara langkah kaki yang berlari mendekat dari luar.
“Nyai! Nyai! D—di luar ada..”
Yu Nijah membuka pintu dengan terburu-buru dengan dengan nafas yang tersengal-sengal.
“Demit! Ada Demit Nyai..”
Mendengar ucapan Yu Nijah , serentak kami meninggalkan kursi kami dan berlari keluar menuju arah yang ditunjukan oleh Yu Nijah.
Benar saja, tepat ketika keluar dari pendopo kami mencium bau busuk yang menyengat hingga kami sulit untuk berkonsentrasi mencari keberadaan makhluk yang dimaksud oleh Yu Nijah.
Aku dan Cahyo memperhatikan sekitar, mencari keberadaan makhluk yang menjadi asal dari bau busuk ini dan penglihatan kami terhenti di salah satu sebuah pohon yang tiba-tiba saja sudah mengering.
Entah bagaimana aku menggambarkannya, makhluk yang berada di sana berwujud seperti manusia yang sangat kurus. Mungkin tubuhnya hanya seukuran bambu yang dilapisi kulit dengan tangan yang menjuntai sampai ke tanah.
Aku memperhatikan wajahnya yang memandang entah kemana dengan mata hitamnya yang sayu dengan kepalanya yang hanya sebagian yang ditumbuhi rambut panjang.
Tanpa berpikir panjang aku membacakan doa-doa dan ayat suci untuk mengusir makhluk itu.
namun Bau busuk malah kian menyengat.
Sialnya Bau busuk yang diciptakan makhluk itu menarik sekumpulan pocong yang mulai mengelilingi bangunan pendopo ini. Seketika itu juga pemandangan di sekitar tempat ini lebih pantas disebut sebagai desa demit dibanding tempat tinggal.
Cahyo berinisiatif menghampiri makhuk itu dan mencoba menyerangnya dengan pukulanya hingga makhluk itu terpental. Sayangnya makhluk itu segera berdiri seolah serangan Cahyo tidak banyak terpengaruh terhadapnya.
Sekali lagi Cahyo bersiap menyerang, namun tiba-tiba ia terhenti saat menyaksikan tangan yang ia gunakan untuk menyerang mahluk itu tiba-tiba memerah dan dipenuhi dengan bisul.
“Panjul! Mundur!” Teriak Paklek yang segera sigap membacakan mantra untuk menghilangkan kutukan di lengan Cahyo.
“Paklek.. firasatku nggak enak, sepertinya makhluk itu membawa teluh…”
Ucap Cahyo sambil tetap waspada dengan keberadaan makhluk yang terlihat tidak mencoba untuk mendekat.
“Tunggu, kalau begitu jangan-jangan tujuan dari makhluk itu… “
Belum sempat paklek menyelesaikan ucapanya tiba-tiba Tika keluar dari Pendopo dengan tergesa-gesa.
“Mas Danan… Ibu.. Tolong Ibu Mas!” Teriak Tika.
Mendengar teriakan tika kami segera berlari ke dalam pendopo sementara Cahyo tetap mengawasi makhluk itu dari puntu pendopo.
Di dalam rumah terlihat Nyai Kanjeng sedang menahan sakit dan terlihat darah berceceran di sekitar mulutnya.
“Paklek..?” Aku menengok ke arah Paklek.
“Iya danan.. ini santet” Jawab Paklek.
Dengan segera Paklek meletakan telapak tanganya ke dahi Nyai kanjeng dan membacakan doa yang kutahu sebagai doa untuk mengusir ilmu hitam.
Seolah merespon doa-doa paklek, Tubuh nyai kanjeng terlihat aneh. Ia menggelepar di tanah dengan mata yang melotot seolah ingin keluar dari tempatnya.
“Mati… uwong iki pantes mati” (Mati.. orang ini pantas mati) Ucap Nyai kanjeng dengan suara yang sama sekali berbeda dari sebelumnya.
“Paklek… Ibu kenapa paklek?” Tangis tika yang khawatir dengan keadaan ibunya yang terlihat mengerikan saat itu.
“Tika.. tenang saja, Mas Danan di sini buat bantu ibumu kok.. Bantu doa ya, supaya hal-hal buruknya cepat pergi” Ucapku berusaha menenangkan Tika.
Rupanya yang menyerang Nyai kanjeng bukan hanya satu serangan.
Santet yang dikirimkan mungkin menyembabkan luka dalam di tubuh Nyai Kanjeng dan itu terlihat masih terus bertambah.
Di satu sisi, muncul sesosok makhluk yang merasuki Nyai Kanjeng dan menguasai tubuhnya.
“Orang luar tidak usah ikut campur… atau kamu juga akan menjadi musuh kami!” Ucap sosok yang merasuki nyai kanjeng.
Sementara Paklek berusaha menahan santet yang mencoba masuk ke tubuh Nyai Kanjeng,
aku mencoba memfokuskan mata batinku dan memastikan sosok yang merasuki tubuh Nyai Kanjeng.
Sekilas aku melihat sosok wanita dengan wajah berwarna hitam mengenakan kebaya lusuh dan tubuh yang sudah bersimbah cairan berwarna hitam.
Saat mengetahui wujudnya aku segera membacakan ajian muksa pangrekso untuk melindungi nyai kanjeng dari hal buruk yang bisa dilakukan makhluk ini. sayangnya sudah terlambat.
Tak lama setelahnya Nyai Kanjeng berhenti meronta dengan wajahnya yang terkulai dan matanya yang masih terus terbuka.
“I—Ibu! “ Teriak tika yang semakin panik.
“Paklek.. Nyai Kanjeng?” Tanyaku yang berharap mendapatkan jawaban tidak seperti yang kuperkirakan.
Paklek menghela nafas dan menutup doa-doanya.
“Danan.. Paklek berhasil menangkal santetnya..” Ucap Paklek.
“T—tapi , kenapa nafas nyai kanjeng tidak ada paklek? Denyut nadinya juga hampir tidak ada..” Tanyaku yang masih mencoba berusaha untuk tenang.
“Makhluk itu… makhluk yang merasukinya tadi berhasil membawa pergi sukma Nyai Kanjeng” Jelas Paklek.
“Berarti masih ada harapan?” Tanyaku.
Paklek mengangguk.
Saat ini aku mengerti apa yang harus kulakukan.
Cahyo menjaga Pendopo ini dari makhluk makhluk yang mungkin menyerang dari luar. Paklek menjaga agar tidak ada santet lagi yang masuk ke tubuh Nyai kanjeng. Dan berarti akulah yang harus menjemput sukma Nyai Kanjeng untuk kembali ke raganya.
Dengan segera aku menarik sebuah keris pusaka yang kusimpan di sukmaku dan membawanya ke dekat nyai kanjeng.
“Mas… mas Danan mau ngapain?” Tanya Tika yang khawatir.
Sekali lagi aku mengusap kepala Tika.
“Mas mau jemput Ibumu dulu , Doain Mas Danan ya..”
Mendengar jawabanku tika menghapus air matanya dan mengangguk. Dia benar-benar anak yang kuat.
Aku mengambil posisi duduk bersila dan mulai memisahkan sukma dari ragaku dengan kekuatan dari keris ragasukma dan segera mencari
keberadaan makhluk yang membawa pergi sukma nyai kanjeng.
Jejak sukmanya menuntunku ke sebuah tempat yang menyerupai rawa-rawa dengan pohon-pohon berwarna hitam. Di sana terlihat sosok roh wanita tua berwajah hitam dengan rambut putih yang tergerai mencoba menghadangku.
“Uwis.. ora usah diteruske” (Sudah , tidak usah diteruskan) Ucapnya.
“Dia harus membayar atas perbuatanya..”
Aku tidak mempedulikan ucapanya dan segera mengangkat kerisku untuk menghujamkan ke tubuhnya.
Makhluk itu menghindar dengan mudah seperti angin yang tiba-tiba berada di belakangku.
“Kamu ingin membunuhku, sama seperti dia menghabisi keluargaku?”
Tepat saat aku menoleh dan bersiap menyerang,
makhluk itu menahan tanganku dan segera menghilang dan berpindah ke tempat yang jauh.
“Kamu boleh membunuhku… tapi nanti setelah aku menghabisi seluruh Trah Darmowiloyo sampai tak bersisa”
Aku tidak menyerah begitu saja dan menuju tempat dimana makhluk itu pergi.
Tepat saat sampai di tempat ia berhenti seketika aku menjadi mual dengan pemandangan yang kulihat.
Berbagi bentuk potongan tubuh manusia berceceran di tempat itu , beberapa kepala juga tertusuk oleh bambu dan di susun secara rapi di tengah-tengah tempat ini.
“Demit brengsek! Ini semua perbuatanmu??! Ucapku yang mulai terbawa emosi.
“kehkehekhe… Aku? Aku tidak sekejam mereka… mereka membunuh seluruh anggota keluargaku tanpa belas kasihan.
Dan aku hanya membalas dengan mengambil sukma mereka untuk melampiaskan semua dendamku … khekhekehe” Ucapnya sambil tertawa puas.
Aku yang terbawa amarah segera menyerang wanita itu namun hampir tidak ada celah untuku mengenainya.
Ia hanya bergerak bagaikan angin yang tidak tersentuh.
Berbagai cara kupikirkan agar seranganku berhasil, namun semua seolah percuma hingga akhirnya tanpa sengaja aku menyadari keberadaan wujud sukma Nyai kanjeng yang tergantung di sebuah pohon.
“Jangan nekad..” Ucap Makhluk itu saat menyadari aku sudah menemukan sosok itu.
Ia terlihat marah dan seperti membacakan sebuah mantra. Saat itu juga aku merasa sukmaku kian melemah , mungkin mantra ini yang ia gunakan selama ini sehingga sukma dari korbanya tidak berdaya.
Dengan wajah penuh amarah ia menarik sebuah benda yang menyerupai tusuk konde dan menusukkanya ke sukmaku yang kian lemah. Saat itu juga aku melihat luka yang dibuat tusuk konde semakin menghitam dan menyebar.
Aku yakin ini bukan benda biasa.
Aku tidak berdaya dan terbaring di sekitar potongan-potongan tubuh yang berserakan. Namun aku tidak menyerah dan mencoba membacakan doa yang diajarkan paklek untuk menahan kutukan yang disalurkan melalui tusuk konde ini.
“dasar bocah Goblok… percuma.. “ Ucap mahkhluk itu yang berjalan ke arahku dengan membacakan mantranya lagi seolah bersiap menghabisiku.
Aku menggenggam kerisku dan bersiap menerima serangan apapun yang akan ia lancarkan,
tapi tanpa terduga tiba-tiba muncul cahaya putih di hadapanku. Sebuah cahaya yang muncul dari sebuah api yang hangat.
Geni Baraloka!
ini adalah ilmu milik paklek! Aku tertolong!
Dengan keberadaan Geni baraloka aku memulihkan tubuhku dari luka yang mengandung kutukan dari tusuk konde yang sepertinya merupakan sebuah pusaka.
Makhluk itu terlihat panik.
“Brengsek… ternyata kalian bukan orang sembarangan!” Ucapnya dengan kesal.
Makhluk itu kembali mencoba membacakan mantranya, namun terlihat sukmanya semakin melemah.
“A--Api apa itu? kenapa bisa jadi begini?” Ucapnya heran.
Aku melihat keanehan dari makhluk itu.
“Tunggu! Kau bukan demit kiriman seseorang! Kamu manusia yang merubah sukmamu menjadi demit??!” Tanyaku setelah sadar akan pengaruh geni baraloka dengan makhluk itu.
“Brengsek! Kamu tidak tahu apa yang sudah kukorbankan untuk mendapatkan kekuatan untuk membalas dendam ini!”
Teriaknya kesal, namun sukma hitamnya semakin memudar seolah memaksanya untuk kembali ke tubuhnya.
“Awas kalian.. dendamku akan terus kubalaskan sampai tuntas!” Ucapnya yang segera pergi meninggalkanku di tempat mengerikan ini.
Aku menghela nafas lega, sepertinya serangan dari nenek itu berdampak dengan ragaku yang dijaga oleh paklek sehingga paklek mengirimkan geni baraloka ini.
Tanpa menunggu lebih lama aku memeriksa sukma nyai kanjeng yang masih utuh dan mengarahkanya untuk kembali bersamaku.
Geni Baraloka yang dikirimkan pakle kutinggalkan di tempat ini. Saat Api ini semakin besar nanti aku akan kembali ke tempat ini untuk menenangkan sukma yang sudah tidak berwujud hasil pelampiasan wanita tua berwajah hitam itu.
Tepat saat kembali ke tubuhku aku merasakan rasa sakit tepat di dada tempat serangan makhluk itu menusukku.
“Danan..kowe rapopo?” Ucap cahyo yang khawatir dengan kondisiku. Mungkin seandainya ia juga memiliki ilmu ragasukma dia juga sudah menyusulku sedari tadi.
“Ora.. rapopo, untung paklek tepat waktu…” Balasku.
Aku menoleh ke arah nyai Kanjeng yang berangsur-angsur pulih setelah sukmanya kembali.
Cahyo membantu membopongku mendekat ke arah Nyai Kanjeng.

“Nyai Langgarwiryo… “
Ucap Nyai kanjeng begitu tersadar dari kejadian tadi. Ia berkata dengan tatapan kosong seolah berusaha mengingat sesuatu.
“Dulu salah satu anggota keluarganya memfitnah Raden Anjar , kakak tertua saya.
Kami yang tidak terima marah dan mengirimkan santet untuk menghabisi seluruh keluarganya” Jelas Nyai Kanjeng.
“Sepertinya pusaka yang ia kenakan saat itu berhasil menyelamatkanya hingga ia berniat untuk membalas dendam..”
Aku , Cahyo, dan Paklek saling berpandangan. Kini kami tahu dengan jelas masalah apa yang kami hadapi.
“Gimana Mas… Paklek? Masih tetap mau membantu kami kan?” Tanya Pak Gito.
Cahyo menepuk pundak Pak Gito bermaksud untuk menenangkanya.
“Tenang Pak Gito, kami masih di sini kok…” ucapnya.
“Nyai Kanjeng, mungkin nyai kanjeng punya petunjuk untuk menyelesaikan permasalahan ini?” Tanya paklek yang sepertinya mendapatkan sedikit petunjuk.
Nyai Kanjeng berfikir sejenak, ia seolah berusaha mengingat sesuatu yang mungkin bisa menjadi petunjuk.
“Nyi sendang Rangu…”
Sebuah nama diucapkan oleh nyai kanjeng.
“Itu siapa Nyai?” Tanyaku.
“Dulu ia adalah Ingon pelindung leluhur kami sebelum leluhur kami memutuskan untuk memisahkan diri dari keluarga dan mengangkat nama Trah Darmowiloyo” Jelasnya.
“Seandainya bisa menemukan sosok itu, mungkin ia bisa memberi petunjuk..”
Nama itu tidak terdengar asing di telingaku. Namun aku tidak bisa mengingat lebih jauh.
“Terus saat ini makhluk itu ada di mana Nyai?” Tanya Cahyo.
Nyai kanjeng menggeleng.
“Saya tidak tahu, tapi ada seseorang yang mungkin tahu keberadaanya. Dia adalah Raden Anjar, kakak tertua. Dialah yang mengurus semua pusaka yang dimiliki keluarga kami.. temasuk cincin batu hitam yang dimiliki tika saat ini” Jelasnya.
Nyai kanjeng menceritakan tentang saudara tertuanya yang tinggal di kaki gunung. Dia mengasingkan diri untuk menjaga makam keluarga Darmowiloyo.
Aku menoleh ke arah cahyo, sepertinya ia juga membaca pikiranku untuk mencari tahu tentang Randen Anjar.
“Kalau begitu setelah ini kita harus menemui Raden Anjar.. terlebih sepertinya aku penasaran dengan makhluk yang bernama Nyi Sendang Rangu itu” Ucapku.
Cahyo mengangguk setuju.
“Kalian pergilah… Biar Paklek yang di sini..” Ucap paklek yang tidak kuduga. Sepertinya aku mengerti, sementara kami pergi harus ada yang menjaga nyai kanjeng dan tika dari serangan seperti tadi.
“Iyo paklek.. bener, Harus ada yang menjaga Nyai Kanjeng dan Tika. Hampir saja kami kelupaan” Ucapku.
“Halah… jangan mikir yang bagus-bagus… bilang aja paklek takut mabok lagi naik mobil to!” Ucap Cahyo dengan nada yang meledek.
Kali ini tas paklek yang melayang tepat ke wajah cahyo hingga dia terjatuh.
“Nek wis ngerti yo meneng2 wae!” (Kalau sudah tau ya diam-diam saja) Ucap paklek sambil memelototi Cahyo.
“Ya sudah besok biar saya yang mengantar Mas Danan dan Mas Cahyo… mohon titip Tika dan Nyai kanjeng ya Paklek” Pinta Pak Gito yang dibalas dengan anggukan oleh paklek.
Cahyo berdiri dan menghampiri ke arah pintu.
“Yowis.. kalau gitu sekarang tinggal beresin , demit-demit yang daritadi masih nontonin kita dari luar biar kita bisa cepet tidur” Ucapnya sambil menerjang makhluk-makhluk yang sedari tadi belum pergi dari sekitar rumah ini.
***
(Bersambung Part 4- Sambara)
Terima kasih sudah mengikuti part ini sampai selesai. mohon maaf apabila ada kesalahan penulisan atau bagian cerita yang menyinggung.

Part 4 agak panjang yang akan mempertemukan Danan dengan "Sambara" yang lain..

yang mau baca duluan silahkan mampir ya.

karyakarsa.com/diosetta69/get…
GETIH IRENG ABDI LELEMBUT
(Darah Hitam Pengabdi Setan)
Part 4 - Sambara

Kita upload malam ini ya buat nemenin malam minggu kalian, kata temen-temen yang baca di karyakarsa sih part ini seru 😄

@bagihorror
@IDN_Horor
@bacahorror
@txtdarialamlain
@ceritaht
@HorrorTweetID Image
Suara motor vespa tua memecah keheningan desa yang terletak di kaki gunung.

“Cahyo.. ngopo ndandak nganggo montormu iki to? Nek diterke Pak Gito kan penak”
(Cahyo , Kenapa harus naik motormu ini sih? Kan kalau dianter Pak Gito lebih enak)
Protesku pada Cahyo yang memutuskan untuk pergi ke desa ini menggunakan motornya dibanding diantar dengan mobil mewah milik Nyai Kanjeng.

“Orapopo nan… biar Pak Gito ikut jagain Tika, lagian paklek gak bisa kemana-mana kalau ga ada Pak Gito di sana” Jelas Cahyo.
Aku paham, namun naik motor tua untuk jalur berbatu seperti ini bukanlah ide bagus.

Dengan berbekal sebuah kertas yang bergambar peta kasar mengenai lokasi Raden Anjar, kami menyusuri desa ke desa dan beberapa kali melewati pinggir hutan untuk mencapai tempat ini.
Sebuah gapura bertuliskan nama Desa Jayopurwo terpampang di hadapan kami. Sayangnya kami sampai saat langit mulai gelap sehingga hampir tidak ada warga yang terlihat di desa ini.
Beruntung masih ada warung kopi yang buka, sehingga kami memutuskan untuk beristirahat sekaligus menggali informasi tentang keberadaan Raden Anjar.

“Kulo nuwun bu… “ (Permisi Bu)
Aku dan Cahyo memasuki sebuah warung kopi kecil berbentuk bangunan kayu sederhana dengan penerangan lampu oranye yang menimbulkan suasana sendu di kampung ini.

“Monggo mas… ngopi?” Jawab seorang perempuan paruh baya yang menjaga warung itu.
“Nggih bu.. gorengane ditokno sisan yo bu” (Iya bu.. gorenganya dikeluarin sekalian bu) Balas Cahyo.

Kami meletakan barang bawaan kami di kursi dan merenggangkan tubuh kami di depan kedai kopi ini sambil menghirup udara di desa ini yang masih segar.
Suara jangkrik dan beberapa tokek terdengar dari hutan-hutan di sekitar desa ini.

“Sama-sama di tengah hutan, tapi desa ini jauh lebih nyaman dibanding pendopo Nyai kanjeng kemaren ya Cahyo?”
“Iyo.. bener, sudah lama nggak ngerasa suasana begini.. kamu nggak kangen ke desa Windualit Nan?

Benar juga, suasana desa ini sedikit mirip dengan suasana di desa Windualit yang sama-sama terletak di tengah hutan.
“Iya ya… jadi kangen, habis masalah ini selesai kita mampir ke sana gimana? “ Ajakku.

“Ide bagus… Sekar apa kabar ya kira-kira?”
“Halah… bilang aja dari awal kamu kangen sekar” Ledekku.

“Iyo.. Ra mung sekar, Kangen juga ketemu Pak Sardi dan warga desa lain” Balasnya.
Ucapan Cahyo seketika mengingatkanku saat dulu aku tersesat di desa Windualit. Ketika aku terpisah dari Rama dan Yanto saat mendaki gunung merapi dulu.
“Sendang Banyu Ireng… apa itu ada hubunganya dengan Nyi Sendang Rangu ya? Entah kenapa aku merasa tidak asing dengan nama itu..” Tanyaku pada Cahyo.

“Jangan asal cocok-cocokan nan.. kalau memang ada hubunganya nanti kita juga akan tau sendiri” Balas Cahyo.
Tak berapa lama terdengar suara gelas radu bersama langkah kaki yang mendekat.
“Monggo mas, kopinya saya taruh di dalam apa di depan?” Ucap ibu penjaga warung.
“Di sini aja bu.. matur nuwun” Balasku.
Dua gelas kopi dan pisang goreng hangat menemani kami beristirahat sebelum melanjutkan perjalanan.
“Ngapunten Bu.. Ibu kenal dengan Raden Anjar?” Tanyaku pada ibu itu yang sedang merapikan meja makan di dalam warung.
“Ooo.. Raden Anjar, mas-mas ini mau mencari pusaka?” Ibu itu bertanya balik kepada kami.
Aku beradu pandang dengan Cahyo, kami tidak menyangka kalau Raden Anjar ini sering dicari oleh para pencari pusaka.
“Eh.. mboten bu, nggak… saya diminta tolong saudara Raden Anjar untuk menemui beliau” Balasku.
Ibu itu menatap kami berdua seolah memastikan sesuatu.
“Lantas tujuan kalian apa? Resikonya terlalu besar bila ingin bertemu Raden Anjar… beberapa orang mempertaruhkan nyawanya untuk menemui beliau hanya demi sebuah pusaka. Kalau tidak mencari apapun resikonya tidak sebanding..” Ucap Ibu itu.
Mendengar perkataan ibu itu seketika kami tidak menganggap ia sebagai ibu penjaga warung biasa, Ibu itu sepertinya lebih dari sekedar penjaga warung di desa kecil ini.
“Yang kami cari memang bukan pusaka, tapi resikonya sebanding dengan yang kami perjuangkan kok bu” Jawab Cahyo.

“Benar bu, tujuan kami meminta petunjuk dari beliau untuk menolong kenalan kami.. mungkin ibu bisa memberi petunjuk cara untuk menemui Raden Anjar” Tambahku.
Sekali lagi Ibu itu memperhatikan kami berdua secara bergantian.

“Bisa , tapi habiskan dulu kopi dan gorenganya… istirahat dulu saja, nanti kita lanjut” Balas ibu itu.
Aku sedikit tersenyum mendapat tanggapan baik dari ibu itu dan kembali menikmati suasana tenang di kedai kopi ini sambil menyeruput kopi hitam yang terasa istimewa dengan udara dingin ini.
“Saya tahu kalian bukan orang biasa.. tapi kalian tetap harus hati-hati. Saat mencapai ujung desa kalian akan melihat komplek pemakaman di salah satu bukit kecil. Pergilah ke arah sana, dan bawa benda ini”
Ibu itu menyerahkan kepada kami bungkusan kertas yang tertutup seperti ada sesuatu di dalamnya.
“Ini apa bu?” Tanyaku sambil menerawang apakah benda ini merupakan jimat atau sejenisnya.
“tenang, benda ini bukan seperti yang kamu pikirkan… serahkan saja pada Raden Anjar kalau kalian berhasil bertemu dia” Balas Ibu itu seolah bisa membaca pikiranku.
“Sampaikan padanya, salam dari Bu Ninik , Kapan ngopi di sini lagi?” Lanjutnya.
Mendengar ucapan ibu itu aku sedikit tersenyum dan berjanji akan menyampaikan pesanya sementara Cahyo menyerahkan uangnya untuk membayar kopi dan gorengan yang hampir sebagian besar dihabiskan oleh Cahyo sendiri.
“Matur nuwun Bu Ninik.. pisang gorengnya enak!” Ucap Cahyo sambil meninggalkan kedai itu.

Sesuai petunjuk dari Ibu penjaga warung tadi, kami melaju vespa tua Cahyo lagi ke arah ujung desa hingga terlihat sebuah bukit seperti yang disebutkan Bu Ninik tadi.
Sebuah bukit dengan kompleks pemakaman tua yang dipisahkan dengan pagar yang juga sudah berkarat. Terdapat pohon beberapa pohon kamboja besar di berbagai sisi pemakaman ini bersama pohon pohon besar yang sepertinya sudah ada sejak awal sebelum pemakaman ini ada.
“Cahyo.. kita ke sananya besok pagi aja gimana? Kayaknya kalau ke sana malem-malam kayak cari perkara” Ucapku.
“Awalnya aku juga mikir gitu tadi Nan, tapi waktu kita nggak banyak.
Nyai Kanjeng dan Tika bisa mendapat serangan kapan saja, lagipula bila ada hal yang aneh dengan Raden Anjar, justu kita bisa tahu lebih jelas di malam hari” Balas Cahyo.
Ucapan Cahyo ada benarnya, kami harus mempersingkat waktu sebelum semakin banyak permasalahan yang akan terjadi. Tapi apa benar ada seseorang yang tinggal di komplek pemakaman semengerikan ini.
“Nan.. ono fansmu kuwi ning ngarep” (Nan ada penggemarmu tuh di depan) Ucap Cahyo dengan tertawa.
Aku menoleh ke arah yang ditunjukkan oleh Cahyo.
Itu adalah sebuah makam dimana ada sesosok makhluk berwujud wanita berbaju putih lusuh menyeringai menatap ke arahku dengan wajah penuh darah.

Benar, dia kuntilanak…
Mungkin ini yang di maksud ibu itu, sudah banyak demit yang menanti di pemakaman ini sebelum sampai ke tempat Raden Anjar.

“Ojo ngomong ngono, mesakke…” (Jangan bilang begitu , kasihan) Ucapku yang segera menghampiri makhluk itu.
Seketika makhluk itu terlihat kaget, mungkin karena jarang ada manusia yang berani mendekatinya.
“Mbakyu… ini makam siapa?” tanyaku.
Makhluk itu tidak menjawab, ia malah menoleh ke arah pohon dan dari sana terlihat sosok makhluk seukuran anak kecil pucat tanpa busana.
Aku menduga makhluk menyerupai tuyul itu adalah anaknya.

“Ya sudah, kami bacakan doa ya supaya kalian bisa tenang” Ucapku yang segera disusul dengan Cahyo yang menghampiri disampingku dengan posisi siap untuk melantunkan doanya.
Perlahan sosok makhluk itu mulai memudar dari hadapan kami, semoga saja mereka benar-benar bisa tenang dengan doa yang kami bawakan. Tetapi sebelum mereka benar-benar hilang, sosok tuyul anak kecil itu menghampiriku dan mendekat.
“Masnya hati-hati ya, ada yang mau membunuh kalian berdua dari dekat sini” Ucapnya sambil berbisik dan segera menghilang sesaat setelah menyampaikan hal itu.

Seketika ucapan itu membuat aku dan Cahyo semakin waspada.
Cukup mencurigakan, ini adalah sebuah pemakaman namun tidak banyak makhluk gentayangan seperti pemakaman pada umumnya.

Aku dan Cahyo merasakan kekuatan yang tidak biasa dari salah satu pohon di tempat ini.
Saat menoleh ke arahnya terlihat sosok makhluk berwujud ular berkepala manusia melilit di rantingnya dan menatapku dengan mata yang merah menyala.

Entah apa yang terjadi, seketika sebuah ingatan merasuk ke pikiranku. Beberapa dialog terdengar seolah terucap di sekitarku.

“J—Jangan Raden Anjar , dia nggak salah… “ Terdengar suara wanita yang di susul penglihatan seorang pria berbaju jawa menggenggam parang menyapu leher seorang pria hingga terputus.
“Jangan ada yang tersisa, atau mereka akan membalaskan dendamnya pada kita semua” Kali ini terdengar suara seorang pria dengan suara yang berwibawa, aku menduga itu adalah suara Raden Anjar.
Sebuah desa yang seluruh warganya telah terkena teluh berwujud berbagai penyakit terlihat bersimbah darah dengan mayat-mayat warganya yang bergelimpangan di jalan.
Raden Anjar pergi meninggalkan tempat itu sambil memandang sebuah pusaka berbentuk pedang pendek yang menawan sementara beberapa orang sudah siap untuk membereskan sisa-sisa jenazah di sana.
Aku kembali pada kesadaranku sementara makhluk di pohon itu masih terus memandang kami. Namun sekarang aku tahu, makhluk itu adalah sosok wanita yang melarang Raden Anjar untuk membunuh warga di desa tadi.

Cahyo membantu menahan tubuhku yang hampir terjatuh.
“Sepertinya Raden Anjar sama kejamnya dengan Nyai Kanjeng… dia orang yang gila pusaka bahkan ia tega menghabisi satu desa demi merebut sebuah pusaka” Jelasku pada Cahyo.
“Kamu mendapat penglihatan?” Tanya Cahyo
Aku mengangguk.
“Mahkhluk itu yang menunjukkanya padaku, tapi entah bagaimana sampai dia bisa berwujud seperti itu” Jawabku.
Cahyo terlihat khawatir. Namun sepertinya makhluk tadi tidak memiliki maksud lain selain memperlihatkan hal itu padaku.
Kami terus berjalan menyusuri pemakaman , samar-samar kami merasakan adanya sosok makhluk yang mengintai kami. Kami belum menemukan sosoknya namun nafsu membunuhnya tak dapat disembunyikan. Mungkin dialah yang diceritakan oleh sosok berwujud tuyul tadi.
Setelah melewati bukit yang dipenuhi dengan pemakaman , kami melihat sebuah rumah joglo yang dengan kayu-kayu yang sudah reyot. Aku cukup ragu masih ada orang yang menempati rumah dengan kondisi seperti ini.

“Masuk mas..”
Belum sempat kami mengetuk , tiba-tiba pintu rumah itu sudah terbuka dengan sosok perempuan yang meminta kami untuk masuk.
“Ini benar kediaman Raden Anjar? “ Tanya Cahyo.
“Iya… silahkan duduk dulu ” Jawabnya.
Perempuan itu mempersilahkan kami duduk di kursi bambu tua dengan beberapa hidangan ringan sederhana yang sudah disediakan di hadapan kami dan meninggalkan kami.
Aku cukup heran bagaimana mereka bisa tahu tentang kedatangan kami.
Sementara ini aku berfikir ‘suruhan’ milik keluarga Darmowiloyolah yang memberi informasi mengenai kedatangan kami.
Perempuan itu kembali setelah mengabari kedatangan kami kepada seseorang yang ada di dalam dan duduk di hadapan kami.
“Jadi kalian Trah Sambara yang diceritakan oleh Bapak?” Tanya perempuan itu pada kami.
Cahyo menoleh ke arahku. Hampir saja aku mengangguk, namun aku merasakan ada kejanggalan. Aku tidak pernah menyebutkan nama trahku pada Nyai kanjeng dan yang lain sebelumnya.
Lalu bagaimana mereka bisa tahu?
“Bukan nduk… Bukan mereka” (Bukan nak.. bukan mereka) Terdengar suara renta seseorang yang datang dari dalam rumah.
“Mereka kenalan Bulekmu , Bapak baru saja diberi tahu”
Seorang kakek tua dengan jenggot putih berjalan tertatih-tatih dengan tongkatnya. Perempuan yang ternyata merupakan anaknya itu segera berdiri membantu ayahnya untuk menghampiri kami.
Walau sudah tua , aku masih bisa mengenali bahwa dia adalah Raden Anjar seperti yang terlihat di penglihatanku tadi.
Cahyo menyadari kebingunganku dan berinisiatif membuka pembicaraan.
“Ngapunten Raden Anjar… memangnya siapa lagi yang akan datang kemari?” Tanya Cahyo.
“Oh.. Mereka pemuda dari Trah Sambara, saya mau menyerahkan pusaka terakhir yang saya miliki kepada mereka..” Jelasnya.
Aku semakin bingung mendengar penyataan itu dari Raden Anjar.
Siapa lagi trah sambara yang tersisa selain aku dan Paklek? Apa mungkin ada nama keluarga yang sama dengan trah kami.
“Jadi apa yang bisa saya bantu untuk kalian..” Buka Raden Anjar.
“Ini Raden, Berdasarkan informasi Nyai Kanjeng hanya Raden Anjar yang bisa memberi tahu keberadaan Nyi Sendang Rangu yang bisa melindungi Trah Darmowiloyo, termasuk Raden Anjar juga ..” Ucapku.
Raden Anjar menghela nafas, dari matanya terlihat sedikit penyesalan.
“Kalau saya, saya sudah tidak peduli dengan apa yang terjadi dengan saya bila harus menanggung semua dosa yang saya lakukan.. harapan saya, Ajeng anak saya yang tersisa satu-satunya ini bisa selamat..” Ucapnya.
Rupanya yang terjadi dengan Raden Anjar mirip seperti yang dialami oleh Nyai Kanjeng. Ia meninggalkan semua ilmunya demi anaknya satu-satunya.
“Makanya pusaka terakhir saya akan saya serahkan kepada mereka yang berasal dari Trah Sambara dengan tujuan mereka mau melindungi Ajeng sebagai gantinya.” Lanjutnya.
“T—tidak usah Raden, kalau kami berhasil menemui Nyi Sendang Rangu, harusnya ia bisa melindungi seluruh trah Darmowiloyo kan?” Balasku yang sedikit ragu bila Raden Anjar menyerahkan pusaka terakhirnya pada Trah sambara yang ia maksud.
Raden Anjar menggeleng sambil menghela nafasnya. Terlihat sangat banyak kekhawatiran di wajahnya.
“Nyi Sendang rangu hanya akan melindungi kami bila kami masih putih. Namun dengan dosa sebanyak ini, sudah pasti ia bahkan tidak sudi menemui kami” Jelasnya.
Penjelasan yang masuk akal, pantas saja Raden Anjar tidak mencari sendiri keberadaan Nyi Sendang Rangu walaupun mengetahui keberadaanya.
Perlahan suara langkah kaki terdengar mendekat ke arah rumah ini. Ajeng dengan sigap bersiap membukakan pintu.
Sepertinya mereka adalah Orang dari trah sambara yang mereka tunggu.
“Kulo Nuwun…”
Raden Anjar berusaha berdiri menyambut mereka.
Ada dua orang pemuda seumuran dengan kami yang mengenakan kemeja jawa dengan keris yang terikat di kain di pinggangnya.
“Nah… ini mereka, Ringga dan Gadnri Sambara… “ Ucap Raden Anjar memperkenalkan mereka kepada kami.
“Kowe kenal Nan?“(Kamu kenal nan?) Tanya Cahyo padaku.
Aku menggeleng dan membalas mereka dengan senyuman seadanya.
“Sebentar saya ambil benda itu… “ Ucap Raden Anjar dengan semangat. Ia berjalan dengan berhati-hati ke dalam kamarnya.
“Masnya mencari pusaka juga ya?” Tanya seseorang yang bernama Ringga dengan wajahnya yang ramah. Namun Cahyo membalas dengan raut muka yang terlihat kesal.
“Halah… pusaka opo mas, yang dikasi ke masnya itu pusaka terakhir Raden Anjar” Ucapnya dengan ketus. Aku menyenggol bahu Cahyo menyuruhnya untuk sedikit lebih sopan, setidaknya sampai kami tahu siapa mereka.
“Ngapunten yo mas.. kami butuh pusaka itu untuk melindungi mereka yang lemah” Ucap seseorang yang bernama Gandri, namun di telingaku ucapan itu terdengar seperti ucapan yang jumawa dari seorang pemuda.
Raden Anjar kembali dengan membawa sebuah kotak berukiran naga yang terlihat sangat terawat. Ia kembali ke posisinya dan membuka kotak itu.
Sebuah keris..
Warangka atau tutup keris itu diapisi dengan sepuhan emas yang membuatnya terlihat mewah.
Kedua pemuda yang mengaku berasal dari trah sambara itu menatapnya dengan senang.
“Keris ini dibuat untuk salah satu pangeran di kerajaan jaman dulu, kekuatan di dalamnya sangat melimpah bila kalian dapat menggunakanya dengan benar..”Ucap Raden Anjar.
“Saya titipkan pusaka ini untuk kalian…”
“Tunggu Raden Anjar , tidak bisa semudah itu…” Ucap Cahyo tiba-tiba yang segera kurespon dengan sikutanku di bahunya.
“Maksud mas Cahyo apa? “ Tanya Raden Anjar.
“Saya mau menguji kemampuan mereka berdua… apa mereka pantas mendapatkan pusaka hebat ini!” Ucap Cahyo.
“Jangan kurang ajar! Mereka ini Trah sambara.. walau nama mereka tidak terkenal tapi mereka sudah banyak mengalahkan berbagai siluman” Ucap Raden Anjar yang mulai kesal.
“Masalah itu saya sudah tahu, terlihat jelas dari apa yang mereka lakukan dengan makhluk-makhluk di luar sana.. “ Balas Cahyo lagi.
“Maksudmu apa?” Tanya Raden Anjar.
Aku juga baru menyadari suasana di luar sudah berubah drastis semenjak kedatangan mereka.
“Oh itu… tenang saja Raden, siluman dan makhluk di luar sana sudah saya habisi semua agar tidak mengganggu Raden dan Ajeng lagi..” Ucap Ringga.
Raden Anjar segera berdiri dan pergi keluar, ia melihat sudah tidak ada lagi roh yang berada di sana sementara beberapa siluman sudah sekarat seperti terkena berbagai macam serangan.
“Tenang Raden, tidak usah khawatir.. saya hanya menguji mereka, karna sebenarnya saya pernah bertemu langsung dengan Trah Sambara” Ucap Cahyo.
Raden menatap wajah Cahyo dengan sedikit keraguan namun akhirnya ia mengangguk setuju.
Anehnya mata Raden Anjar terlihat berkaca-kaca setelah melihat kondisi di luar rumahnya.
“Jangan sombong kamu bocah ndeso.. kami tidak pernah merasa pernah mengenalmu! “ Balas seseorang yang bernama Gandri.
Seketika suasana di tempat ini menjadi tegang. Kami semua keluar menuruti permintaan Cahyo.
“Pendekar sambara pernah menolong penduduk desa kandimaya dari serangan Buto Lireng!” Ucap Cahyo.
“Benar, itu adalah orang tua kami.. “ Balas Gandri.
Mendengar pengakuan itu aku ikut menghampiri Cahyo. Pernyataanya jelas merupakan kebohongan.
“Kalau kamu memang berniat menghalangi kami mendapatkan pusaka itu, berarti kamu musuh kami!” Ucap Ranggi yang mencoba mendekat seolah bersiap menyerang Cahyo.
Sayangnya itu hanya tipuan, seketika sosok bayangan sudah ada di belakang Cahyo dan bersiap menyergapnya. Untungnya Cahyo dengan sigap menahan serangan itu dengan lenganya yang sudah diperkuat dengan roh Wanasura.
“Hahaha… roh apa itu? Monyet?” Ledek mereka setelah melihat roh wanasura yang merasuki Cahyo. Namun Cahyo tidak bergeming.

“Terus ingon temenmu yang satu itu apa? Lutung?” Ledek mereka lagi dengan penuh tawa.
Cahyo berjalan menghampiri Ranggi dengan wajah tenang. Sosok bayangan hitam berdiri di hadapan ranggi bersiap menahan Cahyo.

Dengan lengan Cahyo yang diselimuti kekuatan wanasura, ia memukul sekuat tenaga ke arah roh bayangan hitam itu.
Seketika makhluk itu terpental bersama dengan Ranggi yang berada di belakangnya.

“Mosok kalah karo ketek?” (Masa Kalah sama monyet?) Ucap Cahyo membalas ledekan mereka.
“Wanasura roh ras kera dari hutan Wanamarta, Bukan Ingon yang diambil dengan bayaran sukma manusia seperti milik kalian”

Gandri terlihat marah dengan ledekan Cahyo namun ia lebih memilih untuk membantu Ranggi terlebih dahulu.
“Raden Anjar, jangan serahkan pusaka itu kepada mereka.. mereka bukan dari Trah Sambara” Teriak Cahyo kepada Raden Anjar.

“Bohong! Bocah itu menginginkan pusaka itu.. sampai berani melukai kami” Balas mereka.

Raden Anjar terlihat bingung.
“Trah sambara diwarisi dua pusaka keris.. Keris Rogosukmo dan Keris Sukmogeni” Ucap Cahyo.

Kedua pria itu tersenyum dan mengeluarkan keris dari ikatan kainya masing masing.
“Maksudmu ini?” Ucap Ranggi yang mengeluarkan keris berukiran kuno dari pinggangnya dan Gandri yang mengeluarkan keris perak dari tas kainya.
“Mungkin kamu harus merasakan kekuatan kedua keris ini agar menyadari siapa kami” Jelas Gandri yang segera menghujamkan keris itu kearah Cahyo. Dari setiap gerakan keris itu muncul percikan api yang sesekali hampir membakar kulit Cahyo.
“Keris sukmageni menghasilkan api dari sukma pemiliknya untuk melawan musuh seperti kamu..” Ucap Gandri sambil terus menyerang Cahyo. Ia hanya menggeleng merespon cerita karangan dari Gandri
Ranggi menyusul Gandri dan menyerang menggunakan keris pusaka yang dia akui sebagai keris rogosukmo.
Serangan mereka berdua mulai membuat Cahyo merasa kerepotan hingga beberapa luka goresan muncul di tubuh Cahyo.
Aku bersiap membantunya namun ia memberi isyarat kepadaku untuk tidak ikut campur.
“Wanasura!” Teriak Cahyo.
Seketika lengan dan kaki Cahyo diselimuti kekuatan yang membuat ia mampu bergerak dengan lebih cepat.
Dengan Ajian penguat raga, Cahyo sekali lagi membuat mereka terpental.
Ranggi yang merasa terdesak meletakkan keris itu didadanya dan mulai membaca sebuah mantra.
“Keris rogosukmo mampu menyatukan pemiliknya dengan sukma ingonya.. jangangan salahkan aku bila kau sampai mati” Ucap Ranggi.

Seketika sebuah mantra yang familiar mulai terdengar..

Jagad lelembut ra nduwe wujud...

Surga loka Surga khayangan…
Aku tertegun mendenar mantra itu, apa mungkin mantra itu juga diwariskan dengan orang lain. Atau ternyata mereka juga memiliki hubungan darah denganku.

Kulo nimbali..

Langit boten nduwe roso..

Mati rogo ninggal sukmo...
Namun saat mendengar akhir dari mantra itu aku yakin , mereka bukan bagian dari trah keluargaku. Itu jelas berbeda dari mantra yang diturunkan oleh bapak.
Saat mantra itu selesai seketika tubuh Ranggi berubah menjadi hitam , tubuhnya membesar dengan mata yang memerah.
Ia seperti mulai kehilangan kedali.
“Hati-hati Cahyo!” Teriakku.
Cahyo sadar akan bahaya itu dan melompat menjauh. Ranggi yang menyatu dengan ingonya mengejarnya sementara Gandri terus melancarkan serangan.
Serangan demi serangan saling beradu di area pemakaman , kilatan api dan dentuman terdengar dari tempat mereka bertarung jelas mereka berdua cukup kuat untuk menandingi Cahyo.
Tapi entah mengapa aku merasakan seperti ada suatu bahaya yang mengintai seperti saat sebelum masuk kerumah raden tadi.
Aku memutuskan untuk menajamkan mata batinku dan mengecek kondisi di sekitar kami.
Hawa membunuh itu semakin kurasakan, namun tidak ada satupun sosok yang dapat kulihat. Sampai akhirnya samar-samar aku melihat asap hitam menuju pertarungan Cahyo.

“Cahyo kembali! Ada yang tidak beres!” Teriakku.

Cahyo merespon teriakanku dan menjauh dari kedua orang itu.
“Cih! Sombong di awal saja… ternyata penakut” Ucap Gandri sementara Ranggi masih dalam kendali ingonya itu.

Tanpa kami duga tiba-tiba dari asap hitam yang mendekat tadi muncul sebuah lengan dari makhluk bertubuh besar yang menangkap tubuh ranggi yang kerasukan.
“R—Ranggi! “ Teriak Gandri yang segera berusaha menyerang lengan makhluk itu. Sayangnya serangan itu tidak menimbulkan luka apapun.

Tepat saat kabut itu hilang, terlihat wujud raksasa hitam yang membuka mulutnya.
Ia mengangkat tubuh Ranggi dan memakanya dengan sadis hingga darah bermuncratan di sekitar pemakaman.
“R—Ranggi!!”

Gandri terlihat panik, ia mencoba lari ke arah kami namun makhluk itu bersiap untuk mengejarnya.

“T—Tolong!” Teriak Gandri.
Aku dan Cahyo segera berlari ke arahnya dan bersiap menolongya, namun tiba-tiba muncul sosok menyerupai manusia dari kabut hitam tadi di tempat raksasa itu datang.

Sosok itu menggenggam sebuah keris, dan menusukkan ke lengan raksasa yang mencoba meraih Gandri.
“Pergi!” Teriak orang itu sembari menghadang raksasa itu seorang diri.

Gandri berlari tertatih tatih ke arah kami, kami menangkapnya dan bersiap berlari membantu sosok yang datang itu yang sepertinya juga seorang manusia.
Ia membacakan sebuah mantra, namun sebelum mantra itu selesai dibacakan tiba-tiba raksasa itu kembali menghilang ke dalam kabut.

Aku menghentikan langkahku, namun tiba-tiba sosok manusia yang muncul dari dalam kabut itu berbalik berlari ke arah kami.
“Awas! Pergi!” Teriaknya.
Seketika aku tersadar ada segumpalan kabut hitam di atas kami. Dari sana muncul lengan raksasa sama seperti saat tadi ia menyergap Ranggi.

Dengan cepat aku dan Cahyo menarik Raden Anjar dan Gandri yang ada di dekat kami.
Namun kami tidak sempat menggapai Ajeng yang masih berada di dekat rumah.

“Ajeng! Lari!” Teriakku , namun raksasa itu terlalu cepat. Lenganya sudah hampir mencapai Ajeng.
Aku tidak menyadari apa yang terjadi saat itu, tiba-tiba ajeng sudah ada didekat kami bersama seorang anak remaja yang menitipkan ajeng pada kami.

“Tolong jaga mereka dulu..” Ucapnya yang segera meninggalkan kami menuju kemunculan raksasa itu bersama pendekar tadi.
“Pakde.. aku mengalihkan perhatian makhluk itu, pakde lanjutin mantranya” Perintah anak itu.

Aku hampir tidak percaya melihat apa yang ada di hadapanku. Biasanya kami yang terlibat dengan pertarungan seperti ini. tapi kali ini kami bisa menonton tanpa harus melakukan apa-apa.
Pria yang dipanggil Pakde itu membacakan mantra yang memunculkan cahaya putih sementara anak remaja itu berkali-kali menahan serangan raksasa itu.

Aku menoleh ke arah Cahyo, Sekilas aku jadi teringat saat ia masih sering berlatih bersama Paklek dulu.
“Pakde ras buto itu raganya saja yang kuat, sukmanya lemah… serang sukmanya “ Teriakku mencoba memberi petunjuk.
Pria itu menoleh seolah merespon ucapanku. Seketika cahaya putih menyelimuti kerisnya dan ia menghujamkan keris itu ke sebuah titik di punggung raksasa itu yang berhubungan langsung dengan sukmanya.
Raksasa itu terlihat kesakitan dan berlari menjauh kedalam kabut yang segera menghilang di kegelapan malam. Mereka mencoba mengejar namun sepertinya mereka untuk memilih menahan diri.

Setelah beberapa suasana mulai kembali tenang, kamipun berusaha mengatur nafas kami.
“Bapak.. itu tadi apa?” Tanya Ajeng pada Raden Anjar.

“Itu pasti salah satu ingon Brotowongso..” Jawab Raden Anjar.

Aku menoleh ke arahnya bersiap menanyakan pernyataanya itu, namun aku memilih menahanya dulu untuk menemui kedua orang yang menyelamatkan kami tadi.
“Kalian tidak apa-apa? “ Tanya orang yang dipanggil Pakde itu kepada kami. walaupun dipanggil pakde, sepertinya umurnya tidak jauh berbeda dari aku dan Cahyo.

“I—iya, kami tidak apa-apa, terima kasih pendekar” Ucap Raden Anjar.
Cahyo terlihat celingak celinguk mencari sesuatu.

“Golek opo to jul?” Tanyaku.

“Itu lho.. orang tadi, sopo jenenge? Gandri? Kok ra ono? Kabur?” (itu lho.. orang tadi, siapa namanya? Gandri? Kok nggak ada? Kabur?) Ucap Cahyo.
Benar juga, rupanya orang itu sudah tidak ada di sekitar kami.

“Raden.. Gandri hilang, Kerisnya?” Teriakku.
Kami semua berlari ke dalam rumah dan beruntung keris itu masih ada di tempatnya.

“Pakde.. itu..” Ucap anak remaja itu sambil menujukkan keris itu pada pakdenya.
Orang yang dipanggil Pakde itu mengangguk paham.

“Ayo masuk dulu.. kita bicara di dalam” Undang Raden Anjar.
Kami kembali ke dalam rumah. Aku meneguk kopi hitam yang di suguhkan tadi sekedar untuk menenangkan rasa tegangku.
Cahyo dengan sigap menikmati singkong goreng yang sedari tadi belum sempat ia sentuh.

“Pakde! Tadi keren lho.. bisa ngalahin raksasa sebesar itu” ucap Cahyo sambil mengunyah singkong goreng yang masih dimulutnya.

“Iya Pakde.. itu tadi apa to?” Tanyaku penasaran.
Ajeng mengantarkan beberapa minuman lagi, sementara paklek membereskan pusaka terakhirnya itu dengan wajah kecewa.

Seseorang yang dipanggil dengan sebutan pakde itu menceritakan bahwa sebenarnya ia sudah datang ke tempat ini sejak kemarin,
namun mereka merasakan keberadaan makhluk yang mencoba menyerang tempat ini. Itu adalah buto ingon kiriman keluarga brotowongso itu.
Mereka berdua memutuskan untuk menghentikan raksasa itu sebelum mendatangi Raden Anjar.
Sayangnya mereka terjebak di kabut hitam yang dibawa raksasa itu dan bertarung di sana hingga buto itu menampakan diri lagi untuk memakan kekuatan dari ingon yang merasuki Ranggi.

“Nah, berarti kalian sudah memiliki tujuan saat ke tempat ini kemarin?” Tanyaku.
Mereka mengangguk.

“Tujuan kami adalah itu..” Seseorang yang dipanggil pakde itu menunjuk pada sebuah keris yang sebelumnya ingin diserahkan kepada Trah sambara palsu itu.

“Jadi kalian juga mengincar pusaka ini?” Tanya Raden Anjar.
“Bukan begitu.. sebelumnya ijinkan saya memperkenalkan diri kami dulu. Ini Dirga murid saya… tepatnya Dirga Darmawijaya” Ucapnya.

Seketika raut wajah Raden Anjar berubah saat mendengar nama itu.
“Darmawijaya... Akhirnya saya mengerti mengapa kalian mengincar keris ini” Ucap Raden Anjar.

“Tunggu.. maksud Raden apa?” Tanyaku.
“Seperti yang saya ceritakan tadi, keris ini adalah keris yang dibuat untuk seorang pangeran kerajaan untuk melindungi diri di masa pelarianya… keris ini dibuat oleh Prabu Arya dari kerajaan Darmawijaya untuk puteranya..” Jelasnya.
Tunggu, nama itu sepertinya terdengar tidak asing bagiku.

“yang Raden Anjar bilang itu benar” Balas orang yang dipanggil Pakde itu.

“Berarti kalian merupakan keturunan bangsawan dari Prabu Arya Darmawijaya itu?” Tanya Cahyo.
“Bukan.. Dirgalah yang berasal dari keturunan Darmawijaya. Tapi keluarga kami juga sudah saling berhubungan sejak jaman kerajaan dulu hingga sekarang” Jelasnya.
“Oh iya.. malah saya lupa mengenalkan, Nama saja Jagad…
Jagad Putra Sambara… ”

(Bersambung….)
(Tapi gak jadi… langsung lanjut aja ceritanya di halaman berikutnya)
Jagad Putra Sambara…
Aku dan Cahyo kembali saling menatap. Wajah bingung semakin terpampang di wajah Cahyo.

“Sambara meneh… ora usah ngapusi to Mas.. Tak kira sampeyan orang apik” (Sambara lagi.. nggak usah bohong mas, saya kira kamu orang baik) Oceh Cahyo.
“Maksud masnya apa? Memang itu nama saya… mungkin memang bukan nama keluarga terkenal, tapi saya tidak bohong” Ucap seseorang yang mengaku bernama Jagad Putra Sambara.

Sekilas aku mengingat jurus yang ia gunakan saat menikam raksasa tadi.
“Sebentar Cahyo , mungkin ia tidak bohong… “ Ucapku.

“Lha.. kamu kenal apa ngga?” jawab cahyo.
Aku menggeleng.

“Tapi Jurusnya tadi, mirip dengan jurus yang digunakan Daryana” Jelasku.

Seketika seseorang yang bernama Jagad itu menoleh ke arahku.
“Kamu mengenal eyang saya? Eyang Daryana?” Ucapnya.

“Uwis nan.. ga usah ditutup-tutupi lagi, Ini teman saya namanya Dananjaya Sambara, jadi mas jagad tidak usah pura-pura juga” Ucap Cahyo.
Seketika wajah mereka terlihat kaget, terutama Raden Anjar. Ia tidak menyangka dengan ucapan Cahyo.

“Pantas kalian mati-matian menyangkal kedua orang tadi..” Ucap Raden Anjar yang akhirnya mengerti sikap kami tadi.
“Aku gak inget kalau Mas Bimo punya anak, tapi kalau kamu kenal dengan Eyang Daryana kemungkinan kamu juga tidak berbohong… “ Ucap Mas Jagad.

“Lah… Masnya kenal Paklek? Paklek Bimo” Ucap Cahyo.

“Ya kenal.. walaupun jauh, saya dan Mas Bimo masih sepupu” Jelasnya.
“Kulo Putrane Bisma Mas Jagad…” (Saya anaknya Bisma Mas Jagad) Jawabku memotong pembicaraan mereka.

“Owalaaah… Putrane Bisma karo kirana ya? Pantes kalian tidak kenal saya.. Bapakmu itu kelewat pinter, dia milih ngarit di sawah ketimbang tinggal di kota” Jelas Mas Jagad.
Aku sedikit tertawa, Almarhum bapak memang orang paling santai dan tidak mau dipusingkan dengan hiruk pikuk kota.

“Pakde.. beneran dia saudara pakde?” Tanya Dirga.

Sebelum Mas Jagad sempat menjawab, Aku berdiri dan berpindah duduk ke dekat Dirga.
“Maaf ya Raden Anjar.. jadi reunian keluarga begini” Ucapku.

“Tidak apa-apa mas.. saya ingin mendengar kelanjutan cerita kalian..” Balasnya.

Aku duduk di hadapan Dirga, meletakan tanganku di dada dan menarik sebuah keris dari sukmaku.
Wajah Raden Anjar, Dirga , dan Jagad terlihat kaget.

“Dirga , peganglah.. apa kamu mengenal keris ini?” Tanyaku pada Dirga.

Ia terkesima melihat keris itu. Namun lebih dari itu ia seperti mendapat sebuah penglihatan yang membuatnya teriangat akan sesuatu.
“Keris Rogosukmo?” Ucapnya sambil tersenyum.

“Jadi keris ini benar-benar ada?”

Aku mengangguk, Mas Jagad ikut memperhatikan keris itu sementara Dirga mulai bercerita.
“Aku mendapat cerita turun temurun dari keluargaku. Salah satunya tentang seorang patih yang menolong leluhurku Prabu Arya dan melindunginya hingga akhir hayatnya.
Leluhurku pernah memberikan pusaka kebangganya saat kelahiran anak dari patih itu… pusaka itu adalah benda ini Keris Rogosukmo..” Cerita Dirga.

Aku dan Cahyo tersenyum mendengar cerita itu masih diteruskan hingga sampai ke generasi kami.
“Kamu tahu siapa nama patih itu?” Tanya Cahyo yang mulai terlihat sok tau.

Dirga menggeleng.

“Patih kakek demit edan Widarpa Dayu Sambara” Ucap Cahyo.

Aku segera memukul kepala Cahyo yang mencoba bercanda dengan Dirga.
“Kami memanggilnya Eyang Widarpa… bahkan sampai jadi setelah mati dan menjadi demitpun ia masih mencari makam Prabu Arya Darmawijaya, Raja yang paling ia banggakan” jelasku.

“Maksudnya? Kalian pernah bertemu dengan Eyang Widarpa?” Tanya Mas Jagad penasaran.
“Wohh… bukan ketemu lagi, sudah habis ini badan dipukulin sama dia Cuma gara-gara nyebut demit edan” Ucap Cahyo.

Aku tersenyum setiap teringat kejadian Eyang widarpa yang tak pernah absen memukul cahyo yang sering mengatai Eyang Widarpa Demit edan.
Sementara itu aku menceritakan mengenai mantra yang mampu membuatku memanggil roh leluhur yang masih berada di alam ini, termasuk eyang widarpa dan Pendekar Daryana.
Mas Jagad juga mengetahui mengenai mantra itu, namun ia tidak bisa menggunakanya tanpa perantara keris rogosukmo yang hanya diwariskan kepadaku.

Raden Anjar ikut memperhatikan ceritaku dan seolah ingin ikut berbicara.
“Darmowiloyo.. itu adalah nama Trah keluarga kami, dulu leluhur kami mengambil nama itu agar mirip dengan nama Prabu Arya Darmawijaya.

Berharap Trah ini bisa sebaik dirinya.. sayangnya kami gelap mata dengan kekuatan yang kami miliki.” Jelas Raden Anjar.
Tidak ada satupun dari kami yang merespon ucapanya karena tidak tahu harus menjawab apa, hingga akhirnya Raden Anjar mengeluarkan kembali kerisnya dan menggesernya ke depan Dirga.

“Saya kembalikan pusaka ini.. mungkin semua ini memang sudah digariskan” Ucapnya Pasrah.
Dirga dan Mas Jagad berterima kasih menerima keikhlasan Raden Anjar. Namun masih ada sesuatu yang mengganjal untukku.

“Maaf Mas Jagad… dari sebelumnya Raden Anjar memang sudah berniat menyerahkan pusaka ini untuk kedua orang yang mengaku sebagai Trah sambara tadi..” Ucapku.
“Raden berharap mereka berdua akan melindungi Ajeng sebagai ganti menerima pusaka terakhir pemberian Raden Anjar ini”

Dirga dan Mas Jagad saling berpandang, sepertinya mereka menyepakati sesuatu.
“Tenang saja Raden Anjar, sebagai gantinya kami yang akan menerima amanah itu.. kami akan melindungi Ajeng dan Raden Anjar” Ucap Mas Jagad. Seketika wajah raden Anjar berubah senang.

“Memangnya melindungi kalian dari apa Raden? Siluman” Tanya Dirga.

Raden Anjar menggeleng.
“Trah Brotowongso… dan orang-orang yang ingin membalas dendam terhadap perbuatan kejiku dulu” Jelasnya sambil sedikit menunduk.

“Tenang saja Raden, kalau kami berhasil menemui Nyi Sendang Rangu kalian pasti bisa tidur dengan tenang” Tambahku.
Mendengar ucapan itu Raden Anjar segera berdiri dan kembali masuk ke kamarnya. Ia keluar dengan membawa sebuah selendang tua lusuh dan menyerahkanya kepadaku.
“Ada sebuah sendang di hutan Gunung timur… datanglah ke sana, dan hanyutkan selendang ini… jika beliau berkenan, kalian bisa menemuinya..” Jelas Raden Anjar.

“Maksud Raden, Menemui Nyi Sendang Rangu?” Tanya Cahyo.
Raden Anjar mengangguk. Aku cukup senang mendapat petunjuk mengenai keberadaan ingon milik keluarga darmowiloyo itu.

“Mas Jagad, Dirga.. apa saya boleh meminta tolong?” Tanyaku.

“Apa itu danan?”
“Apa kalian bisa tinggal di sini untuk melindungi Raden Anjar dan Ajeng hingga kami berhasil menemui Nyi Sendang Rangu?” Tanyaku.

Mas Jagad menoleh ke arah Dirga seolah meminta persetujuan.
“Kalian tidak usah khawatirkan saya, yang pasti tolong pastikan Ajeng Selamat” Balas Raden Anjar.

“Wah gak bisa gitu” Ucap Cahyo sambil mengeluarkan sesuatu dari kantungnya.
“Kalau Raden Anjar kenapa-kenapa, nanti ada yang khawatir..” Ucap Cahyo sambil menyerahkan sebuah bungkusan kertas titipan bu ninik tadi.

“I—ini apa?” Tanya Raden Anjar.

“Mbuh.. titipan dari Bu Ninik, katanya kapan mampir ke warungnya lagi?” Ucap Cahyo.
Benar juga, aku hampir lupa menyampaikan hal ini kepada raden anjar. Ia segera membuka bungkusan kecil itu dan menjadi sedikit tersenyum. Akupun penasaran isi dari bungkusan itu.

“Itu apa Raden?” Tanyaku.
“Kopi.. coba kalian cium, aromanya Kopi Bu Ninik emang nggak ada duanya” Ucap Raden Anjar dengan wajah yang sumringah.

Aku senang melihat wajah Raden anjar yang berubah polos seperti itu.
Aku tak menyangka bahwa dulunya ia adalah orang yang kejam seperti yang ditunjukan dari penglihatan makhluk berwujud ular berkepala manusia itu.
“Dirga, Mas Jagad sekali lagi.. saya titip Raden Anjar dan Ajeng ya,

sebagai gantinya..

nanti saya ajak ke persemayaman terakhir Prabu Arya Darmawijaya leluhurmu itu.. pasti kamu belum tau kan?” Ucapku.

“Yang bener mas? Di mana?” Tanya Dirga dengan semangat.
“Di Kaki gunung merapi ada desa terpencil bernama desa windualit, ada sebuah hutan yang dikenal dengan nama Alas Mayit.

Aku, Cahyo dan Eyang widarpa akhirnya berhasil menemukan peristirahatan terakhir leluhurmu itu di sebuat tempat yang bernama.. Sendang Banyu ireng” Jelasku.
Mas Jagad dan Dirga terlihat semangat, mereka berjanji akan menjaga Ajeng dan Raden Anjar hingga kami kembali.

“Ya sudah Raden, kami pamit dulu ya.. doakan kami berhasil dan bisa segera kembali ke sini..” Ucap Cahyo.
Raden anjar sedikit batuk dan menutup kembali bungkusan pemberian Bu Ninik.

“Kalian tidak usah kembali lagi ke sini..” Ucap Raden Anjar dengan tiba-tiba.

Aku dan Cahyo segera menoleh mendengar perkataan itu.

“Maksud Raden apa?” Tanyaku.
“Iya.. lain kali tidak usah ke sini, tidak ada lagi pusaka yang kusimpan di makam keluarga ini.” Ucapnya.

“Jadi kalau mau ke sini, kita ketemu di warung Bu Ninik saja ya sambil ngopi” Lanjutnya lagi.
Aku tersenyum.. tak kusangka , sebungkus kecil bubuk kopi pemberian bu ninik mampu merubah kepribadian Raden Anjar begitu cepatnya.
“Satu lagi.. sepertinya saya pernah mendengar sesuatu yang kamu sebut dengan nama Sendang Banyu ireng itu.. semoga saja saat kalian kembali saya sudah berhasil mengingatnya..”

(Bersambung Part 5 - Nyi Sendang Rangu)
Terima kasih sudah mengikuti part panjang ini sampai selesai.
mohon maaf apabila ada salah kata atau bag cerita yang menyinggung.

seperti biasa untuk yang mau baca duluan atau sekedar mengukung bisa mampir ke @karyakarsa_id ya.. 🙏😆

karyakarsa.com/diosetta69/get…
GETIH IRENG ABDI LELEMBUT
Part 5- Nyi Sendang Rangu

Pencarian keberadaan Nyi Sendang Rangu menyebabkan danan dan Cahyo terlibat perang Santet yang dialami oleh sebuah desa..

Otw upload, sambil bantu retweet ya..
@IDN_Horor
@bagihorror
@ceritaht
@cerita_setann
@HorrorBaca Image
Sekali lagi Vespa tua milik Cahyo berhasil membawa kami tiba di sebuah perkampungan yang cukup terpencil di daerah Gunung Timur. Sebuah perkampungan yang cukup padat dengan pasar yang masih tradisional digelar di dekat pintu masuknya.
“Nan… Jajan sek piye?” (Nan Jajan dulu gimana?) Ucap Cahyo yang menghentikan motornya tak jauh dari bakul kue di pasar itu.

“Ora luwe? Mangan sego sisan piye?” (Nggak laper? Makan nasi sekalian gimana?) Balasku.
“Yo luwe.. tapi kuwi lho, lemper, gethuk, kue cucur.. manggil-manggil njaluk dituku” (Ya laper, tapi itu lho, lemper,gethuk, kuw cucur manggil-manggil minta dibeli) Lanjut Cahyo.
“Yo bener sih omonganmu, nek luwe neh karik mangan meneh…” (Ya bener sih ucapanmu, kalau lapar lagi tinggal makan lagi)
Kali ini aku setuju dengan Cahyo setelah melihat berbagai jajanan kampung yang digelar di pasar itu.
“Monggo mas… Jajan dulu”Ucap seorang ibu yang menawarkan daganganya di hadapan kami.

“Nggih mbok, ketoke enak-enak kabeh iki…” (Iya bu.. kayaknya enak semua ini) Jawab Cahyo yang dengan sigap mengambil beberapa kue dalam sebuah kantong plastik.
Aku mengambil beberapa jajanan dan menaruhnya di kantong kresek yang sedang di bawa Cahyo. Sementara itu tak jauh dari posisi kami berada terdengar suara kerumunan orang yang berjalan seolah mengiringi sesuatu.

“Mbok.. kuwi opo mbok?” (Bu , Itu apa bu?) Tanyaku.
“Oh… itu , lagi ada syukuran kampung ini..” Balasnya.

Aku memperhatikan rombongan itu yang diikuti oleh warga dari berbagai usia mulai dari anak-anak hingga mereka yang lanjut usia. Sebuah gunungan tumpeng dan berbagai hasil alam dibawa oleh rombongan itu.
“Lah memangnya mereka itu mau ke mana mbok?” Tanya Cahyo sambil mengunyah kue cucur yang baru saja dia beli.
“Ke Sendang, biasanya kami mengadakan syukuran di pinggir sendang di dalam hutan.. di sana kami akan menghabiskan bersama semua ‘berkat’ yang di bawa sambil bermain air di sendang itu” Jawab ibu itu.
Aku dan Cahyo saling bertatapan, setidaknya kami tidak perlu susah-susah untuk mencari sendang yang dimaksud oleh Raden Anjar.
Sambil duduk dan menikmati cemilan pasar, kami menyaksikan iring-iringan yang sebentar lagi lewat di hadapan kami. suara musik disetel menggunakan pengeras suara yang didorong dengan gerobak.
Awalnya Kami melihat rombongan ini seperti acara biasa , sampai akhirnya mata kami tertuju pada rombongan bagian belakang yang terdengr lebih sepi. Mereka hanya membawa sebuah galah panjang yang diatasnya tertusuk sebuah kepala…

T—tunggu, itu benar sebuah kepala?
“Nan.. itu nan, itu bener kepala manusia?” Tanya Cahyo padaku.
Aku mendekat dan memastikanya saat rombongan pembawa kepala itu lewat di hadapan kami.
“Iya Cahyo, itu beneran kepala… Mbok, ini sebenernya acara syukuran apa to?” Tanyaku pada Ibu penjual kue itu.
“Wajar kalau pendatang seperti kalian kaget, ini syukuran atas terbebasnya kampun ini dari kekejaman yang di lakukan oleh orang itu dan kerabat-kerabatnya.” Ucap ibu itu.
“Memangnya apa yang sudah dilakukan orang itu?” Tanya Cahyo.
Ibu itu menghela nafas, wajahnya terlihat tidak ingin untuk menjawab pertanyaan kami. Namu akhirnya ia berdiri dan berjalan ke hadapan kami yang sedang duduk di sebelah warungnya.
Ia melinting sedikit baju di lenganya dan menunjukkan sebagian lenganya yang terlihat berwarna hitam
“I—itu kenopo mbok?” Tanya Cahyo.
“Santet…?” Tambahku.
Ibu itu mengangguk dan kembali menutup lenganya.
“Beruntung saya bisa selamat, tapi tidak dengan anak dan suami saya..” Ucapnya dengan mata yang berkaca-kaca.
Cahyo segera berdiri dari tempat ia duduk dan mencoba menghibur ibu itu.
“Apa ini perbuatan dari orang yang kepalanya dipenggal itu?” Tanyaku.
“Benar… dia bangsawan biadab yang tega melakukan apa saja untuk memenuhi keinginanya. Kematianya adalah berkah bagi warga kampung ini” Ucap nenek itu dengan mata penuh dendam mengarah ke rombongan yang baru saja lewat itu.

“Danan…”
Cahyo menoleh ke arahku memberikan isyarat untuk memeriksa luka ibu itu. Aku mengangguk dan mengerti maksudnya.
“Ngapunten.. maaf bu? Bisa saya lihat lenganya?” Ucapku.
Ibu itu terlihat bingung, namun tetap menjulurkan lengan yang terluka oleh santet itu.
aku mengambil botol air minum yang ada di tasku, dan membacakan doa pembersih yang sudah kupelajari dari Paklek.
Sedikit-demi sedikit aku menuangkan air yang sudah kubacakan dengan doa pada bagian lengan yang menghitam itu.
“Mbok.. sesakit sakitnya luka yang diterima karena santet, itu tidak ada apa-apanya dibanding sakit yang diakibatkan oleh dendam yang disimpan terlalu lama.
Mungkin tidak mudah.. tapi saya harap Simbok mau pelan-pelan belajar memaafkan dan belajar mengikhlaskan anak ibu agar Ia juga bisa tenang..” Ucapku sambil berusaha memulihkan luka bekas santet yang dimiliki ibu itu.
Perlahan warna hitam di lengan Ibu itu memudar bersamaan dengan jatuhnya tetesan cairan berwarna hitam dan benda yang menyerupai tanah dari bekas lukanya.
Ibu tu menatapku dengan heran namun sepertinya ia mau mendengar ucapanku tadi.
“Gimana mbok? Masih sakit?” Tanya Cahyo setelah aku selesai mengobati lengan ibu itu.

“N—nggak sakit lagi, matur nuwun yo nang… Kalian ini sebenernya siapa to?” Tanya ibu itu.

“Nggak mbok, kami bukan siapa-siapa.. Cuma kebetulan lewat” Jawabku.
“Sudah kalian tidak usah bohong, kalian pasti ada maksud dan tujuan kan ke tempat ini?” Balasnya lagi.

Aku membereskan botol airku dan memasukanya kembali ke tas.
Akhirnya kami menceritakan maksud dan tujuan kami ke kampung ini kepada ibu itu untuk mencari sebuah sendang yang berada di Gunung timur dan sebenarnya sudah terjawab dengan arah pergi rombongan iring-iringan tadi.
“Ya sudah kalau kalian sudah nemuin tujuan kalian, pokoknya hati-hati…” Ucapnya.

“Mbok.. memangnya, orang yang nyantet Simbok itu namanya siapa?” Tanya Cahyo.
“Sugono … Sugono Darmowiloyo, keluarga itu memang keluarga biadab. Bila bertemu dengan mereka , segera menjauh dan jangan berurusan dengan mereka” Ucap Ibu itu.

“Ibu tahu bagaimana orang itu bisa mati?” tanyaku.
“ada yang membantu kami warga desa, seseorang dari keluarga Brotowongso...” Cerita Ibu itu.

“Brotowongso? Ceritakan mbok.. kami ingin tahu” Ucap Cahyo.

Kali ini ibu itu tidak ragu untuk bercerita kepada kami.
Rupanya sudah bertahun-tahun kampung ini dikuasai oleh seorang bangsawan bernama Sugono Darmowiloyo. Awalnya warga mengenalnya sebagai seseorang yang baik dan berkharisma. Iapun mempekerjakan warga desa untuk mengerjakan lahanya , sampai suatu saat hal mengerikan terjadi.
Kepala desa sebelumnya meninggal secara misterius setelah berseteru dengan Sugono setelah kepala desa membela salah satu warga yang lahanya diserobot oleh Sugono.
Sebelum meninggal pak kades berteriak kepanasan seolah terbakar padahal tidak ada api di sekitarnya.
Mantri yang mencoba mengobatinyapun heran, suhu tubuhnya normal dan tidak ada keanehan secara medis hingga di malam esoknya Pak Kades meninggal dengan luka bakar hampir di seluruh tubuhnya.
Semua warga melayat ke pemakaman pak kepala desa kecuali Sugono. Selang beberapa hari, warga yang berseteru dengan Sugono sebelumnyapun mati dengan cara yang sama, tidak hanya orang itu.. tapi juga seluruh anggota keluarganya mati dengan mengenaskan.
Kali ini Sugono datang ke pemakaman orang itu saat warga kampung sedang ramai. Seolah memberi pernyataan, Sugono menghampiri jasad mereka dan meludahinya. Seketika warga kampung menjadi emosi.
Namun mereka tidak mampu bergerak sedikitpun dari tempat mereka sampai Sugono pergi. Wargapun sadar bahwa Sugono merupakan pemilik ilmu hitam yang mengerikan.
Semenjak saat itu Sugono menjadi momok yang ditakuti warga . Saat itu juga ia mulai berlaku semena-mena.
Perbuatanya semakin parah ketika ia tertarik dengan seorang perempuan yang sudah bersuami, dengan terang-terangan Sugono memintanya untuk tidur denganya untuk memuaskan nafsunya. Permintaan itu sudah pasti ditolak mentah-mentah.
Anehnya, pada suatu malam saat suami wanita itu pergi tiba-tiba wanita itu berjalan menghampiri sendiri ke rumah Sugono. Menurut cerita yang beredar, ia menuruti semua kemauan Sugono untuk memuaskan nafsunya.
Saat suaminya pulang dan mendengar cerita yang beredar, ia datang dengan penuh amarah dengan membawa sebilah pisau di tanganya.
Tak ada satupun serangan lelaki itu yang mampu menyentuh Sugono hingga ia kelelahan.
Sugono menertawakanya , dan membiarkan wanita itu kembali pulang bersama pria itu. Sayangnya itu hanya karena Sugono sudah bosan denganya.
Warga sekitar mendengar pertengkaran besar yang terjadi di rumah pasangan itu.
Besoknya ketika sang suami kembali kerumahnya, ia sudah melihat tubuh istrinya tergantung dengan tali yang mengikat di lehernya dengan mata yang masih terbuka yang terus menatap suaminya.
Mendengar teriakan histeris pria itu, wargapun datang namun nyawa wanita itu sudah tidak tertolong.
Wanita itu bukan satu-satunya, kejadian itu terjadi dengan beberapa wanita di desa ini. Setelah menjadi pemuas nafsu Sugono wanita itu pasti bunuh diri atau menjadi gila.
Alhasil banyak warga yang memiliki istri yang masih muda atau anak wanita untuk meninggalkan desa ini.
“Mbok… jangan-jangan anak Simbok juga jadi korban Sugono dan mati bunuh diri?” Tanyaku di tengah-tengah cerita ibu itu.
Ia mengangguk. Kali ini ia tidak mampu menahan air mata yang jatuh ke tanah
“Indi, nama anak saya, saat ia kembali dari rumah setan biadab itu dia tidak seperti Indi yang kukenal, tidak sedikit luka di tubuhnya, bahkan untuk menatap dirinya dicerminpun ia tidak sudi” Jelasnya.
“Suami saya kenal orang pintar dari desa sebelah, kami memanggilnya untuk menolong Indi agar tidak berakhir tragis seperti wanita lainya dan Indipun kembali pulih. Pulihnya Indi juga atas bantuan warga yang tidak pernah menyalahkan Indi atas pebuatan Sugono…”
Cahyo menatap ibu itu dengan semakin serius.
“Terus kenapa Indi bisa meninggal mbok?” Tanya Cahyo.
“Mengetahui kemampuan orang itu, warga memintanya untuk menghentikan Sugono dan mengusirnya dari kampung ini dengan ilmu yang ia punya.” Lanjut Ibu itu.
“Sayangnya ilmunya kalah, dan besoknya Kepala orang pintar itu sudah menggantung di pohon beringin di tengah desa sebagai peringatan ke warga kampung ini”

Aku semakin geram dengan cerita dari ibu itu. sepertinya aku tahu bagaimana kelanjutanya.
“Sugono yang tahu bahwa orang pintar itu adalah kanalan kami juga ikut menyerang kami di tengah malam dengan santet hingga Indi dan suami saya meninggal… seharusnya saya juga bernasib sama seperti mereka,
namun sebelum santet ini membunuh saya suara ayam berkokok dan langit mulai terang dan semua serangan itu terhenti”
Ibu itu kembali mengusap air matanya namun sepertinya ia masih ingin bercerita.
“Bu.. kue cucur sama lempernya ya” Ucap seseorang yang datang berbelanja.
Ibu itu membersihkan matanya , pergi melayani pembeli sebentar dan kembali lagi menghampiri kami.
“O, iya.. sampai lupa,udah cerita banyak tapi saya belum tau nama kalian..” Ucapnya.
“Saya Danan bu, ini temen saya Cahyo” Ucapku. Cahyo mengangguk mengiyakan.
“Panggil saya Mbok Yem saja… di kampung ini saya tinggal sendirian, makanya saya jualan di pasar biar bisa ada temen ngobrol. Kalian juga kalau bingung mau nginep bisa di rumah mbok di belakang pasar, tapi ya seadanya..” Ucapnya.
“Terima kasih mbok, kalau darurat nanti kami mampir… tapi saya penasaran kenapa bisa tiba-tiba ada keluarga Brotowongso yang membantu desa ini?” Balas Cahyo.
“Entah, tiba-tiba dia datang bertemu dengan kepala desa yang baru dan mendengar cerita tentang Darmowiloyo.. ia meminta kami mengumpulkan sepuluh ayam jantan hidup dan kepala kerbau hitam dan malamnya warga dilarang untuk keluar rumah sama sekali.” Jelas Mbok Yem.
“Malam itu adalah malam paling mencekam yang pernah kami rasakan. Dari dalam rumah, kami melihat makhluk-makhluk yang tidak pernah kami lihat sebelumnya.
Mulai dari bola api , puluhan pocong yang memadati desa, hingga makhluk besar yang bahkan wajahnya tidak dapat terlihat dari dalam rumah.
Perang ilmu mengakibatkan Sugono mati di kediamanya. Warga yang sudah menahan emosinya segera menyerbu rumahnya dan memenggal kepala Sugono.
Mereka berterima kasih pada anggota keluarga Brotowongso yang tidak mau menyebutkan namanya itu.”
Dari cerita Mbok Yem kini sudah jelas apa maksud dari acara syukuran tadi.
“Nan.. apa benar keluarga Brotowongso memang mencoba membantu warga desa ini?” Tanya Cahyo.
“Jangan lengah.. dari cerita Mbok Yem, yang digunakan tetap ilmu hitam. Kita harus tetap waspada” Jawabku.
Kami berterima kasih atas cerita dari Mbok Yem dan berpamitan. Bila urusan kami sudah selesai mungkin kami akan mampir untuk beristirahat sejenak di rumahnya.
Cahyo melaju motornya lagi menuju jalur hutan tempat kemana kerumunan tadi menuju. Tidak terlalu jauh, namun kami harus memarkirkan motor Cahyo di pinggir hutan dan berjalan kaki menuju arah keramaian di dalam hutan itu.
Sesuai cerita Mbok Yem, warga dengan meriahnya merayakan acaranya di sana. Aku mencari keberadaan kepala tadi yang akhirnya kutemukan sudah siap dikuburkan di pemakaman yang rupanya hanya berjarak beberapa ratus meter dari sendang ini.
“Masnya pendatang ya? ikutan saja.. itu tumpengnya pasti sisa kok” Ucap salah seorang warga yang mengajak kami bergabung.

“Matur nuwun mas… nonton dari sini saja sudah seneng kok , tadi juga sudah jajan di warung Mbok Yem, jadi masih kenyang.” Jawabku.
“Owalah.. kenalane Mbok Yem to? Ya sudah pokoknya kalau mau gabung-gabung aja ya… “ Balasnya lagi dengan ramah.

Aku dan Cahyo menyaksikan acara yang sebenarnya tidak terlalu lama itu hingga akhirnya mereka membubarkan diri dan membersihan sisa-sisa acara mereka.
“Sejahat-jahatnya manusia, saat sudah mati jasadnya berhak mendapat perlakuan yang layak. Karna hanya Yang mahakuasa yang berhak memberikan pembalasan” Ucapku yang segera menghampiri tempat kepala itu dimakamkan dan disusul oleh Cahyo.
Kami membacakan sedikit doa-doa agar roh dari jasad ini bisa tenang walau ia mati karna pembalasan atas perbutanya sendiri.

Setelahnya kami menghampiri sebuah sendang yang cukup besar. Airnya cukup segar, pantas saja warga dengan senang bermain di tempat ini.
namun aku sama sekali tidak merasakan adanya suasana mistis di sendang ini.
Sesuai petunjuk Raden Anjar, aku mengeluarkan sebuah selendang lusuh permberian Raden Anjar dan menghanyutkanya di sendang yang sangat jernih ini.
Suara hewan-hewan hutan kembali terdengar seusai acara warga tadi, seolah mereka mulai keluar dari persembunyianya. Kicauan burung terdengar merdu dari atas pohon yang masih indah dengan terpaan sinar matahari.
Cukup lama kami menunggu sambil menikmati keindahan alam ini, namun tidak ada apapun yang terjadi.
“Danan.. bener di sini sendangnya? Kok ga terjadi apa-apa?” Tanya Cahyo yang juga bingung.
“Mbuh.. tapi bukanya nggak ada sendang lain selain sendang ini? Apa mungkin…”
“Mungkin apa nan?”
“mungkin kita juga belum pantas untuk menemui Nyi Sendang Rangu..” Ucapku.
Cahyo terlihat berpikir.
“Terlepas apapun itu, aku juga tidak merasakan hal apapun dari tempat ini..” Ucap Cahyo.
Aku mengangguk. Cahyo segera menghampiri ke arah selendang itu dihanyutkan, melepas baju, dan melompat ke dalam sendang untuk mengambilnya.

“Nih nan.. Simpen dulu, coba kita cari informasi lagi” Ucap Cahyo sambil menyerahkan selendang pemberian Raden Anjar.
“Lah kamu mau kemana lagi? “ Tanyaku yang melihat Cahyo meninggalkanku ke arah ujung sendang satunya.
“Berenang Nan! Adem… kan dari pagi belum mandi! ayo melu nyebur” Ucapnya.
“Uassem.. nggak ngomong2”
Aku ikut melepas bajuku dan masuk kedalam sendang dengan air yang sangat jernih itu. bagaimanapun caraku memandangnya, sama sekali tidak ada hal yang aneh dari tempat ini. mungkin memang sendang ini hanyalah kolam mata air biasa.
Kami keasikan bermain air hingga tidak sadar hari semakin sore.
“Duh laper lagi… kita ke kampung tadi apa mau coba tanya-tanya ke tempat lain?” Tanya Cahyo.
“Ke kampung tadi lagi saja… keberadaan Sugono Darmowiloyo sepertinya memastikan ada hubunganya kampung itu dengan yang kita cari” Jawabku.
Cahyo setuju, ia menyarankan untuk mampir lagi ke tempat Mbok Yem jaga-jaga bila harus terpaksa bermalam di sana.
Vespa Cahyo sekali lagi melaju membelah hutan menuju kampung tadi. Kali ini kami datang dengan badan yang sudah segar tanpa bau keringat dan asap motor Cahyo seperti tadi. Entah hanya perasaanku atau memang samar-samar aku merasakan ada yang mengintai kami dari kejauhan.

***
Sampai didepan gerbang kampung itu keanehan tejadi, suasana di tempat ini sangat berbeda dengan tadi pagi.
“Nan… bener ini kan kampung yang tadi?” Tanya Cahyo.
“Bener kok.. tuh lapak Mbok Yem yang udah tutup” balasku.
“Kok sepi banget… orang-orang pada ke mana?”
“Nggak tahu.. udah pelan-pelan aja”
Saat ini belum gelap, tapi langit sudah memerah. Suasana di kampung ini mendadak berubah hening. Hanya suara berisik knalpot motor Cahyo yang terdengar memecah keheningan.
Bukan tidak ada orang, sesekali aku menoleh ke arah jendela warga dan terlihat ada yang mengintip dan segera menutup gordenya ketika aku menoleh.

“Mas Danan, Mas Cahyo.. ke sini!” Panggil seseorang sambil menepuk tanganya. Suara seseorang yang kami kenal.
“Cahyo.. itu Mbok Yem” Ucapku sambil menepuk punggung Cahyo.
Dengan segera Cahyo memutar motornya dan mengarah ke tempat Mbok Yem berada.
“Mbok.. ono opo to iki?” (Bu ada apa to iki?) Tanyaku.
“Sudah masuk dulu ke rumah… nanti saya ceritain” Jawabnya.
Kami menuruti perintah Mbok Yem untuk masuk ke rumah bangunan kayu tua yang mulai tidak terawat. Mungkin karena Mbok Yem hanya hidup sendiri sehingga kesulitan merawat rumah ini seorang diri.
“duduk saja dulu, tak bikinin minum” Ucapnya.
“Nggak usah repot-repot mbok.. “ Balas Cahyo yang kutahu hanya sekedar basa basi.
Aku dan Cahyo memandang keluar melalui jendela, terlihat matahari mulai tenggelam dan langitpun menjadi gelap.
“Sudah mas… tutup jendelanya, bahaya” Ucap Mbok Yem.
“Makanya Mbok ceritain, biar kami nggak penasaran..” Balas Cahyo.
Mbok Yem meletakkan dua gelas teh hangat di meja dan menyuruh kami untuk menjauh dari jendela.
Tadi tak lama setelah warga desa kembali ada sebuah mobil yang masuk ke desa menuju rumah Sugono.
Mereka menghadang warga desa dan mengaku berasal dari trah Darmowiloyo. Mereka bernama Darminto dan Girman.
Seorang warga mencoba mengusirnya, namun yang terjadi seseorang yang bernama Girman itu mengambil sebuah golok,
menarik lengan orang itu dan memotongnya dihadapan warga yang lain tanpa berkata-kata sedikitpun.
Sama seperti saat berhadapan dengan Sugono, warga tidak ada yang bisa bergerak saat Darminto menatap mereka semua.
“Terus, orang yang lenganya terputus itu bagaimana?” Tanya Cahyo.
“Dia sedang dilarikan ke rumah sakit kota… Yang terpenting kedua orang itu menyuruh warga desa memanggil keluarga Brotowongso yang membunuh saudaranya itu.
jika tidak malam ini seluruh warga desa akan mati dengan cara yang sama dengan Sugono” Cerita Mbok Yem.
Aku bertatapan dengan Cahyo. Kami tidak pernah menyangka keadaan akan menjadi seserius ini.
“Orang dari Brotowongso itu akan datang mbok?” Tanyaku.
“Entah… tapi, kepala desa sudah memanggilnya” Jawab Mbok Yem.
Malam semakin larut. Udara dingin mulai menyelimuti desa. Samar-samar mulai terdengar suara teriakan dari luar. Aku mencoba mengintip melalui jendela dan terlihat beberapa warga mencoba menyelinap keluar.
Sayangnya mereka dihadang sepasang makhluk berwujud pocong yang menjaga warga agar tidak keluar dari desa.
“Kasihan, kalian malah jadi terkurung di desa ini” Ucap Mbok Yem.
“Mbok.. nggak usah khawatir, nggak akan ada yang bisa menyentuh tempat ini…” Balasku.
Aku mulai merasakan kekuatan ilmu hitam yang mulai menyelimuti desa ini. awalnya aku ingin memasang mantra pelindung, namun apabila keberadaanku dan Cahyo ketahuan masalah mungkin akan semakin besar hingga aku memutuskan hanya menyembunyikan keberadaan rumah ini.
Saat ini suasana terasa begitu mengerikan, padahal tidak ada suara apapun bahkan kami tidak melihat ke arah luar. Tapi seluruh warga tahu dengan jelas ada kutukan yang siap menanti warga di sini.
“Nan nggak kita coba samperin mereka aja… siapa tahu mereka kenal Nyai Kanjeng” Ucap Cahyo.
“Tenang dulu Cahyo.. kita pastikan dulu keadaanya, kita juga harus tahu siapa orang dari trah Brotowongso itu. kalau sudah mulai ada serangan ke warga pasti kita turun tangan” Jelasku.
Cahyo setuju dan kembali menunggu.
Suara motor terdengar masuk ke dalam desa. Aku mengintip lewat jendela dan terlihat kepala desa sedang membonceng seseorang bapak paruh baya yang membawa berbagai macam barang.
“Itu.. itu orangnya! Dia yang beradu ilmu dengan Sugono!” Ucap Mbok Yem.
Belum sempat memasuki desa lebih jauh, sosok Pocong sudah menghadang motor pak Kades hingga ia hampir terjatuh. Sepertinya orang itu menyuruh pak kades untuk menjauh.
Seketika setelah Pak Kades memasuki salah satu rumah warga yang ada di dekatnya Pria paruh baya itu menghilang dari tempatnya berdiri. Saat itu juga berbagai macam makhluk halus muncul memenuhi seluruh desa.
“Itu.. Banaspati” Ucap Cahyo.
Terlihat bola api melayang ke arah yang tidak menentu. Beberapa dari bola api itu meledak diudara seolah ada yang menangkalnya. Dari arah rumah Sugono muncul makhluk berwujud manusia tanpa kepala dengan tubuh yang sudah membusuk.
Aku pernah melihat makhluk itu, tubuh itu seperti tubuh tumbal yang kulihat di desa tanggul mayit.
Salah satu bola api terhempas ke sebuah rumah warga. Tak lama kemudian seseorang keluar dari rumah itu meminta pertolongan.
“Tolong!! Tolong suami saya!” Ucap seorang wanita yang keluar dari rumah.
Tak menunggu lama, sosok makhluk berwujud mayat hidup tanpa kepala itu segera mengerubutinya. Wanita itu segera menyesal dan berlari .
Ia melihat kemunculan sosok pria yang mengaku berasal dari keluarga Brotowongso itu dan menghampirinya. Namun bukanya menolong, pria itu malah pergi berlari ke arah rumah Sugono dan membiarkan Wanita itu menjadi korban jasad tumbal yang segera mencoba mencabik-cabik tubuhnya.
“Danan.. nggak bisa! Kita harus ke sana…” Ucap Cahyo.
“Mbok Yem jangan keluar ruma ya.. “ Pamit ku pada Mbok Yem yang mencoba menahanku.
Cahyo berlari dengan cepat menuju arah wanita itu. aku membaca sebuah mantra untuk menghalau sosok pocong yang mencoba menahan Cahyo.
“Wanasura!”
Dengan sebuah teriakan , sontak lengan dan kaki Cahyo dipenuhi kekuatan hingga ia bisa melompat dengan cepat menuju wanita itu.
“Demit Brengsek! Udah mati saja masih ngerepotin!” Ucapnya sambil mengusir makhluk yang menyerang wanita itu.
Satu demi satu makhluk itu terpental, Cahyo menahan serangan-serangan brutal dari segala arah. Rupanya serangan ini memang tidak diarahkan ke arah seseorang yang berasal dari trah Brotowongso itu,
serangan ini memang bermaksud untuk menyerang warga desa saat kekuatanya sudah terkumpul.
Aku mencoba membantu wanita itu untuk berdiri dan mengantarnya ke rumah Mbok Yem.
“Mbok titip ya.. “ Ucapku.
“Kalian Jangan nekad… cepetan masuk!” Balas Mbok Yem sambil menerima wanita itu.
“Mbok Yem nggak usah khawatir, doakan saja aku dan Cahyo supaya selamat” Balasku yang segera pergi menyusul Cahyo.
Cahyo terlihat sedang kerepotan menghalau sosok genderuwo yang mencoba masuk ke rumah warga. Puluhan banaspati yang melayang di atas desa juga membuatku kerepotan untuk menahan agar tidak menyerang warga desa.
“Piye iki Danan? Kalau nggak nyerang empunya serangan ini nggak akan berhenti” Ucap Cahyo.
“Kalau kita tinggal warga desa dalam bahaya!” Balasku lagi.
“Arrrgh sial! “ Cahyo terlihat sangat kesal ketika tidak mampu menemukan cara untuk menghentikan makhluk makhluk yang terus bertambah ini.
Di satu sisi dari arah rumah Sugono terdengar suara dentuman yang mengerikan.
Aku menoleh ke arah sana dan melihat sosok bayangan raksasa berpakaian kerajaan yang dililit oleh sosok ular berbadan manusia yang terus mencoba menyerangnya.
“Mereka buka ingon biasa nan.. bakal repot iki!” Ucap Cahyo.
“Fokus lindungi warga dulu.. kita pikirin mereka nanti!”
Aku yang mulai merasa kerepotan mulai menarik sebuah keris dari dalam sukmaku. Sebuah keris warisan leluhurku yang mampu membuatku memisahkan wujud sukmaku.
“Cahyo.. jaga tubuhku sebentar, biar aku selesaikan makhluk yang diatas!” Ucapku.
Cahyo mengerti dan mendekat kearahku. Dengan wujud sukma aku bisa melayang ke arah banaspati yang berada di atas kami dan menangkalnya satu persatu dengan kekuatan dari keris ragasukma.
Setidaknya setelah seluruh banaspati menghilang kami memiliki sedikit waktu untuk kemedan tempur kedua trah pembuat kekacauan ini.
“Cahyo.. kita ke rumah Sugono! Kita hentikan mereka secepat mungkin!” Teriakku seketika saat kembali ke ragaku.
“Lha demit-demit iki piye..?” (Lha setan-setan ini gimana?) Tanya Cahyo.
“mereka baru akan berhenti ketik pengirim teluhnya sudah dikalahkan.. setidaknya sekarang kita punya sedkit waktu, tidak mungkin aku menghadapi mereka sendirian” Balasku.
Cahyo mengerti dan segera melumpuhkan demit-demit di sekelilingnya dan membuatnya terpental. Setidaknya demit-demit itu membutuhkan waktu bila ingin mendekat ke rumah-rumah warga.
Kami berlari menuju medan pertempuran antar kedua ingon peliharaan kedua trah.Tak butuh waktu lama hingga keberadaan kami berdua disadari oleh ketiga orang itu.
“Orang luar tidak usah ikut campur..” Ucap seorang pria yang kuduga bernama Girman salah satu dari trah Darmowiloyo.
Dia menghadang kami bersama dengan sosok mayat hidup tanpa kepala.
“Biar aku saja… makhluk ini sama seperti yang digunakan dukun di desa tanggul mayit” Ucap Cahyo.
Cahyo berhenti dan membacakan doa-doa untuk menenangkan roh yang terjebak di jasad-jasad itu sementara aku berlari ke arah Girman dan membacakan mantra di kepalan tanganku.
Tepat saat doa Cahyo selesai jasad itu kembali terkulai di tanah dan sosok Girman terlihat dengan jelas. Tanpa menyia-nyiakan kesempatan aku melepaskan ajian lebur saketi yang menyebapkan Girman terpental dan memuntahkan darah yang berwarna hitam dari mulutnya.
“Getih ireng… mereka sudah menjual jiwanya pada setan, hati-hati Cahyo!” Ucapku.
Melihat saudaranya terluka,Darminto tidak terima dan mencoba menyerang kami namun aku berhasil menahanya dengan mudah.
Mungkin karena sebagian kekuatanya terfokus pada ingon yang bertarung dengan orang dari keluarga Brotowongso itu.
“Wanasuraaa!!” Teriak Cahyo sekali lagi memanggil teman andalanya itu, roh bangsa kera dari hutan wanamarta.
Cahyo yang tidak sabaran masuk ke pertempuran kedua ingon berwujud buto dan ular berbadan manusia itu dengan menyatukan ajian penguat raga dan kekuatan wanasura.
Hanya dengan sekali pukulan kedua ingon itu terpental ke sisi masing-masing pemiliknya.
“Kalian ini ada di sisi siapa?” Ucap seorang pria dari trah Brotowongso.
“Kami di sini untuk melindungi warga dari pertempuran bodoh kalian!” Ucap Cahyo.
“Mereka warga yang menghabisi Sugono Saudara kami.. mereka pantas mati!” Ucap Darminto dengan wajah yang penuh emosi.
Aku menghadang Darminto yang medekat ke arah Cahyo.
“Kami juga ke sini atas petunjuk dari Nyai Kanjeng…” Ucapku.
“kalau gitu seharusnya kalian membantu kami menghabisi orang itu dan warga yang sudah membunuh Sugono! Bukan menyerang kami.” Teriak Girman sambil menahan sakitnya.
“Aku hanya bilang , kami ke sini atas petunjuk nyai kanjeng.. bukan berarti kami ada di pihak kalian! “ Balasku yang tetap waspada dengan situasi yang tidak bisa ditebak ini.
“Nyai kanjeng… nenek pecundang itu sudah tidak pantas menjadi pemimpin trah kami, bahkan ia tidak memiliki keturunan untuk melanjutkan wasiatnya.” Ucap Darminto.
“Kalian salah.. dia memiliki keturunan, seorang anak berhati bersih yang akan menghentikan perbuatan keji kalian para pendahulunya!” Jelasku.

Girman dan Darminto saling bertatap muka. Sepertinya mereka tidak percaya dengan perkataanku.
“Tidak mungkin.. anak dan suaminya sudah mati, kalau memang ada.. berarti dia adalah anak haram yang akan menjadi aib keluarga kami dan harus segera dihabisi” Balas Girman.
Cahyo yang mendengar ucapan Girman merasa emosi.
“Heh denger dukun goblok! Haram atau tidaknya manusia bukan ditentukan dari rahim siapa dia lahir… tapi dari perbuatan dan tingkah lakunya semasa hidup! Di mata kami kalianlah yang jauh lebih hina darinya..” Ucap Cahyo.
Girman yang merasa kesal dengan ucapan Cahyo membaca sebuah mantra dengan tatapan keji ke arah Cahyo. Sepertinya ia memanggil sosok mayat hidup tanpa kepala yang ternyata bersemayam di tanah sekitar rumah Sugono.
“Duh.. makhluk itu lagi, jangan-jangan kalian temenan sama dukun di desa tanggul mayit itu ?” Tanya Cahyo dengan tatapan yang sedikit meremehkan.
Girman sedikit terhenyak mendengar ucapan Cahyo.
“Jadi kalian! Jadi kalian yang menghalangi kami mengumpulkan seratus tumbal di desa itu! Kalian dari trah Rojobedes?” Ucap Girman.
Aku dan Cahyo saling menatap , kami ingin tertawa namun keadaan saat ini tidak memungkinkan untuk itu.
rupanya benar mereka memiliki hubungan dengan dukun itu.
“I—iya, aku Cahyo dari trah Rojobedes yang akan menghentikan pertempuran bodoh Darmowiloyo dan Brotowongso” Ucap Cahyo.
“Mas Darminto.. aku tahu cara membalas mereka” Ucap Girman yang segera menorehkan pisau ke telapak tanganya hingga darah menetes dengan deras ke tanah. Iya membacakan sebuah mantra hingga terdengar suara mengerikan dari berbagai penjuru hutan di sekitar desa ini.
“Getih ireng iki kanggo kowe sing iso nggowo nyowo seko deso iki..”(Darah hitam ini untuk kalian yang bisa membawa nyawa dari desa ini)
Seketika roh , arwah penasaran, demit alas dan makhluk-makhluk dari berbagai wujud yang ada di sekitar desa ini mendekat ke arah kami tergiur dengan darah Girman yang menetes di tanah.

“Habisi seluruh desa dan darah ini menjadi milik kalian!”Ucap Girman dengan puasnya.
Seketika aku dan Cahyo merasa panik dan ingin segera kembali ke desa. Namun ingon Darminto menahan kami.

“Hei jangan diam saja, bukankah kamu yang menolong desa ini membunuh Sugono dulu? “ Ucap Cahyo pada seseorang dari trah Brotowongso itu.
“Cih.. urusanku hanya menghabisi setiap orang dari trah Darmowiloyo yang sudah menghalangi tujuan keluarga kami. kalau kalian mau menghalangi, kalian juga harus mati” Jawabnya.
Sudah kuduga, tidak mungkin seseorang dengan ilmu hitam punya tujuan melindungi warga desa. Entah aku merasa ia juga masih memiliki tujuan jahat yang lainya.
Dari arah tempat rumah Sugono yang berada sedikit diatas desa kami melihat berbagai macam makhluk memasuki desa jauh lebih banyak dari jumlah sebelumnya.
Iring-iringan banaspati dan roh yang melayang seolah memilih dengan bebas rumah mana yang akan mereka cabut nyawa pemiliknya.
“Hentikan Girman! Urusanmu sama aku.. jangan libatkan warga desa” Ucap Cahyo namun Girman hanya membalasnya dengan senyuman puas.
Aku dan Cahyo mulai kewalahan menghadapi siluman ular anak buah dari ingon Darminto dan tidak mampu meninggalkan tempat ini.
“Nggak ada cara lain Cahyo.. aku harus ke desa dalam wujud sukma” Ucapku sambil menggenggam keris ragasukma di dadaku.
“Jangan bodoh! Ragamu bisa dihabisi dengan mudah oleh mereka! lagipula kamu sendiri bisa apa melawan demit sebanyak itu!” Tahan Cahyo.
Ucapan Cahyo benar, namun tidak mungkin aku membiarkan warga desa mati begitu saja.
Aku tidak mempedulikan ucapan Cahyo dan tetap berusaha memisahkan sukma dari ragaku. Namun saat setengah ragaku terpisah tiba-tiba terdengar sebuah suara di telingaku.
“Apa anak yang kau ceritakan itu benar?”
Itu suara wanita yang sangan halus dan indah.
Suaranya seperti jernihnya air yang menenangkan.
“Benar… siapa kamu?” Tanyaku.
Tidak ada jawaban atas pertanyaanku , namun sebuah sosok terlihat berjalan di tengah-tengah desa dengan anggun.
Seorang wanita berpakaian jawa dengan selendang yang anggun.
“Danan, jangan-jangan itu… “ Ucap Cahyo yang juga menyadari keberadaan makhluk itu.
“Iya Cahyo.. mungkin itu Nyi Sendang Rangu..” Balasku yang merasa yakin saat merasakan kekuatanya yang terasa hingga seluruh penjuru desa.
Wanita itu hanya melihat ke sekeliling desa menatap semua makhluk yang mendekat. Saat itu juga makhluk yang dipanggil oleh Girman gentar dan perlahan menjauh.
Tak ada satupun makhluk yang berani mendekat ke sosok yang ayu dan rupawan itu.
“Tidak.. tidak mungkin itu Nyi Sendang Rangu..” Ucap Girman.
Pria dari trah Brotowongso itupun terlihat gentar.
“Nyi Sendang Rangu… seharusnya ia sudah tidak ada. Bukan saatnya aku melawanya”
Ucapnya yang segera memanggil kembali ingonya dan pergi meninggalkan pertempuran ini.

Saat mengetahui warga desa sudah aman, aku mengambil kesempatan untuk membacakan mantra pada keris ragasukma hingga cahaya putih menyinarinya.
Dengan memanfaatkan wujud sukma, aku menghujamkan keris ini ke tubuh ingon berwujud ular berbadan manusia hingga ia menggelepar dan perlahan kehilangan kekuatanya.

“Kalian!” teriak Darminto yang tak terima dengan tindakanku.
Girman memperhatikan sekitarnya, tidak ada lagi makhluk yang tertarik dengan darah hitamnya. Kini mereka hanya tinggal berdua tanpa ada perlindungan dari siapapun.

“Nyi Sendang Rangu! Lindungi kami dari dua musuh ini!” Teriak Girman.
Benar juga, Nyi Sendang Rangu adalah ingon keluarga Darmowiloyo apakah mungkin ia mau menuruti perintah Girman.
Saat tidak ada lagi demit yang mengelilingi desa tiba-tiba terlihat seorang anak menerobos berlari keluar rumahnya.
“Ibu! Itu Ibu.. aku pernah liat perempuan itu di dekat sendang.” Ucapnya.
“Jangan keluar! Bahaya..” Ucap ibu dari anak itu yang segera menyusulnya untuk membawanya kembali ke dalam rumah.
Nyi Sendang Rangu hanya tersenyum ke arah anak itu dengan mengangkat satu jarinya ke mulut seolah memberi isyarat kepada anak itu untuk diam.
Terlihat beberapa warga yang penasaran ,termasuk Mbok Yem juga keluar dari rumahnya untuk melihat sosok Nyi Sendang Rangu.
Setelah memastikan warga desa aman , Nyi Sendang Rangu menghilang dari tengah-tengah desa dan seketika muncul di hadapan kami.
Cantik… sangat cantik. Mungkin jika bidadari benar ada, bisa jadi Nyi Sendang Rangu adalah salah satunya.
“Nyi.. Kami dari trah Darmowiloyo. Leluhur kami adalah tuanmu. Habisi kedua orang itu” Teriak Darminto.
Seketika Nyi Sendang Rangu berpindah tepat ke hadapan Darminto. Di hadapanya Nyi Sendang Rangu tidak secantik tadi.
Wajahnya berubah menjadi hitam mengerikan dengan mata yang memutih.
“Jangan salah paham.. hubunganku dengan leluhur kalian bukan tuan dan ingon. Aku melindungi mereka karena keinginanku sendiri.” Nyi Sendang Rangu dengan suara yang mengerikan.
Saat itu juga tubuh Darminto terlihat ketakutan. Girman hanya mampu menatap kejadian itu dari jauh tanpa bergerak sedikitpun.
Tak berapa lama setelahnya sesuatu tertarik dari tubuh Darminto dan Girman yang membuatnya terkulai tak berdaya di tanah.
“Nyi… apa yang nyi lakukan?” Tanyaku.
Sosok Nyi Sendang Rangu kembali seperti semula dan mengarah ke arah kami.
“aku menahan sukma mereka agar mereka tidak mencoba mencelakai warga desa lagi” Ucapnya.
Aku menoleh ke arah Cahyo, sedari tadi aku tidak mendengar suaranya sama sekali.
Di sebelahku Cahyo terlihat terpaku dengan mulut yang menganga dan mata yang terheran-heran.
“Ayu yo nan… Sekar kalah ayu..” (Cantik ya nan.. Sekar kalah cantik) Ucap Cahyo dengan polos.
Dengan segera aku menarik sarung dari tanganya dan melemparkan ke wajahnya.
“Heh.. yang sopan, umurnya ratusan kali umurmu itu..” Ucapku.
“Maaf Nyi Sendang Rangu.. saya Danan, teman saya ini Cahyo.. maksud kami ke sini memang mencari Nyi Sendang Rangu atas petunjuk Raden Anjar…” Ucapku.
Nyi Sendang Rangu menghampiri kami dengan wajah yang sangat ramah.
“Saya sudah membaca maksud kalian.. saya hanya mau memastikan sekali lagi, apa kalian benar-benar memilih untuk memihak trah Darmowiloyo seperti kedua orang ini” Tanyanya.
Kali ini Cahyo yang maju menghampiri Nyi Sendang Rangu.
“Jujur Nyi, kami tidak ingin berpihak pada siapapun. tapi ada seorang anak.. tidak.. sekarang ada dua anak yang bernama Mustika anak dari nyai kanjeng dan Ajeng anak dari Raden Anjar yang menginginkan orang tuanya bisa hidup menemani mereka” Ucap Cahyo.
“Walaupun orang tua mereka sudah membunuh banyak orang tanpa belas kasihan” Sahut Nyi Sendang Rangu.
“Mereka akan mendapat balasanya nyi, namun balas dendam dari musuh-musuhnya juga mengorbankan banyak nyawa tidak berdosa.
Kami terpaksa berada di pihak nyai kanjeng untuk mencari petunjuk cara menghentikan perseteruan ini.” Jelasku.
Nyi Sendang Rangu terlihat berfikir, sepertinya ia juga merasakan kekalutan di dalam dirinya.
Lagipula sudah ratusan tahun semenjak ia hidup berdampingan dengan keluarga atau manusia lainya.
“Aku mengerti, sekarang lebih baik kalian kembali ke tempat anak itu. saat keberadaan anak pemimpin trah diketahui akan sangat banyak musuh yang mengincarnya.”Ucap Nyi Sendang Rangu.
“Lalu Nyi Sendang Rangu bagaimana? Apa bisa membantu kami?” Tanyaku.
“Saya akan tetap di sini… Perlindungan yang sejati berasal dari Yang Maha Pencipta“ Jawabnya.
Memang, tidak ada yang salah dari ucapan Nyi Sendang Rangu itu tidak ada yang lebih mampu melindungi Tika dan kami semua selain perlindungan dari Yang Maha Pencipta.
“Benar Nyi, Berarti Nyi Sendang Rangu tidak bisa membantu kami?” Tanya Cahyo.
“Saya akan menilai sendiri nanti… namun seandainya anak itu dalam bahaya, saya mengijinkan kalian untuk memanggil saya.” Jawabnya.
“Tapi Nyi.. bagaimana cara kami memanggil seorang Nyi Sendang Rangu?” Tanyaku.
“Kamu sudah tahu caranya, bacakan mantra yang diwariskan leluhurmu dengan perantara keris ragasukma di genggamanmu..” Ucapnya
Aku tertegun dan Nyi Sendang Rangu segera menghilang meninggalkan kami.
Tidak mungkin ia kupanggil dengan menggunakan mantra itu, itu adalah mantra untuk memanggil leluhurku.
Kecuali Nyi Sendang Rangu adalah…

(Bersambung..)
Terima kasih sudah mengikuti hingga selesai. Mohon maaf apabila ada salah kata atau bagian cerita yang menyinggung.

Malam minggu ini libur dulu ya,persiapan nulis part 7 tamatnya yg bakal panjang

yg mau baca part 6nya duluan, bisa ke @karyakarsa_id ya ^^
karyakarsa.com/diosetta69/get…
GETIH IRENG ABDI LELEMBUT
Part 6 - Leluhur
Danan dan Cahyo akhirnya kembali setelah menemui Nyi Sendang Rangu. Mereka mendapati pendopo nyai kanjeng sudah seperti medan perang..Paklek seorang diri menahan berbagai serangan disana.

Baca diatas jam 18.00 ya, upload pelan2.. Image
Aku dan Cahyo melaju secepat mungkin ke arah Pendopo tempat persembunyian Nyai Kanjeng yang berada di pedalaman hutan. Mengerikan, tak seperti saat kami pertama kali ke tempat ini , hampir dari seluruh penjuru hutan terlihat makhluk berbagai wujud melayang menuju arah pendopo.
“Cahyo.. cepetan , kalau lawanya makhluk sebanyak ini Paklek pasti kewalahan!”Ucapku yang terus memaksa Cahyo untuk melaju dengan cepat.
“Sek to Nan, sabar.. mbok kowe liat ning ngarep kuwi ono opo”
(sebentar to Nan, sabar.. coba kamu lihat d depan itu ada apa) Ucap Cahyo yang perlahan mulai menghentikan motornya.
Benar kata Cahyo, di hadapan kami sudah berkumpul sejumlah pocong yang sepertinya berniat untuk menghalangi kami.
Di tempat ini tidak ada pemakaman, hampir dapat dipastikan pocong-pocong ini adalah kiriman seseorang.
“Mereka ini sebenernya gak ngerti atau pura-pura gak ngerti sihi.. melihara satu pocong buat penglaris aja hidupnya pasti gak tenang..
gimana kalau sebanyak ini” Ucap Cahyo kesal.
“Mereka gelap mata , justru kalau ada kesempatan.. tugas kita buat nyadarin mereka” Balasku.
Aku dan Cahyo membaca ayat-ayat suci untuk menenangkan jasad-jasad yang terbungkus kain kafan yang berdiri di hadapan kami.
Suara geraman dan tangisan terdengar dari penampakan-penampakan di hadapan kami. Entah itu suara tangisan atau suara amarah, semua terdengar jadi satu hingga tidak dapat dibedakan.
Saat perlahan demi perlahan sosok itu menghilang , aku dan Cahyo kembali menaiki motor Cahyo untuk melanjutkan perjalanan, Namun salah satu sosok pocong tadi terlihat berubah menyerupai kakek-kakek dan menghampiri kami.
“Matur suwun yo Le… Ati-ati karo sung uwis nduwe getih ireng, mereka dudu menungso meneh.” (Terima kasihya nak, hari-hati sama mereka yang sudah mempunyai darah hitam. Mereka bukan lagi manusia)
Ucap sosok kakek itu yang segera menghilang bersama dengan sosok lainya setelah memperingatkan kami.
“Getih ireng… apa mereka sudah tidak bisa kita anggap sebagai manusia lagi?”Tanya Cahyo.
“Seperti Girman kemarin ya? Aku nggak bisa mikir sekarang… nanti kita tanyakan sama Paklek juga” Jawabku yang segera memberi isyarat ke Cahyo untuk terus melaju Vespa Tua miliknya.
...
Seperti yang sudah kami duga, secara tak kasat mata Pendopo Nyai Kanjeng sudah berubah menjadi medan pertempuran.
“Paklek!” Teriakku yang melihat Palek sedang duduk bersila di hadapan pintu dengan menggenggam kerisnya.
Saat mendekat aku merasakan hawa panas , aku tahu ini adalah pelindung yang dipasang Paklek yang hanya membakar makhluk yang mendekat dengan niat jahat.
“Sana bantuin Paklek, biar aku yang jaga raga kalian…” Perintah Cahyo.
Dengan segera aku mengambil posisi di sebelah raga Paklek, membentuk posisi yang sama, menggenggam keris ragasukma di dada dan memisahkan sukma dari ragaku.
Mengerikan.. dalam wujud sukma terlihat dengan sangat jelas.
Paklek seorang diri menahan berbagai macam serangan siluman-siluman dari berbagai wujud. Tak hanya itu, terlihat beberapa wujud manusia melayang di sekitaran pendopo ini.
“Jangan bengong Danan, Paklek bisa ngurusin demit-demit ini..
kamu urus yang di belakang rumah, terlambat sedikit semua yang di pendopo dalam bahaya” Ucap Paklek.
Aku menoleh ke tempat yang diperintahkan oleh Paklek, di sana terlihat sosok makhluk wanita besar berambut hitam panjang.
Tapi sebenarnya aku tidak bisa membedakan apa itu rambut atau lendir.. sebagian tubuhnya seperti tenggelam di tanah sementara tangan dan sebagian tubuhnya merangkak berusaha menembus pelindung yang dibuat oleh Paklek.
Dengan penuh konsentrasi , aku membacakan sebuah mantra pada kepalan tanganku dan melemparkan ajian lebur saketi, sebuah pukulan jarak jauh untuk melumpuhkan makhluk itu.
sayangnya ia hanya sedikit terpental dan kembali lagi pada posisinya. Pantas saja Paklek tidak mampu menahan makhluk ini sambil melawan makluk lainya.
“Danan.. makhluk sekuat itu pasti punya pengikat entah jimat, pusaka, atau apa.. coba dicari dulu”
Teriak Cahyo yang menjaga tubuh kami sambil mengawasi pertempuran ini.
Benar kata Cahyo. Akupun memilih meninggalkan makhluk itu melayangkan sukmaku lebih tinggi dan mencoba membaca aliran kekuatan yang memperkuat makhluk itu.
Samar-samar namun terlihat, sebuah benda terkubur di bawah salah satu pohon. Di sana juga terlihat bekas tanah yang baru dikubur. Aku segera menghampirinya dan menghujamkan keris ragasukmaku ke tanah.
Sontak ledakan kecil muncul dari tanah dan mengeluakan benda berupa botol kayu kecil yang pecah oleh seranganku. Aliran benda kental berwarna hitam seperti keluar dari botol itu menyerupai darah yang sudah membusuk.
Saat itu juga suara teriakan menggema ke seluruh hutan, sosok makhluk wanita hitam bertubuh besar itu berteriak seperti merasa kesakitan. Tak menyia-nyiakan waktu, aku segera menghampirinya membacakan mantra pada kerisku dan menusukan ke tubuh makhluk itu.
Sekilas aku merasakan terdapat lebih dari satu jiwa yang membentuk makhluk ini. ada ratusan… ratusan nyawa yang ditumbalkan oleh pemilik ingon ini untuk bisa membuatnya patuh.
Kali ini di setiap seranganku kubacakan doa-doa yang kuharap bisa sedikit meringankan beban mereka yang mati dengan mengenaskan di tangan manusia biadab yang menumbalkan mereka hanya demi kekuatan fana ini.
Saat makhluk itu menghilang tiba-tiba salah satu sosok sukma manusia yang melayang terjatuh dan menjadi pucat seolah kekuatanya mulai menghilang.
“Brengsek kalian! Untuk apa kalian ikut campur urusan kami” Ucapnya.
Aku menghampiri Paklek, sepertinya dialah pemilik ingon itu.
“Sudah hentikan.. masih ada waktu untuk bertobat! Nyai Kanjeng dan Raden Anjar sudah memilih jalan yang benar. Sampai kapan kalian ingin seperti ini?” Teriakku.
“Sampai semua yang menghalangi tujuan kami Mati!” balasnya dengan penuh emosi.
Kali ini sukma salah seorang yang lain yang menyerang pendopo seperti membaca mantra. Hanya dengan mendengar ucapanya saja aku sudah merasakan bahaya. Tak lama setelahnya muncul siluman berwujud mancan tak jauh dari hadapan Cahyo.
“Hati-hati Cahyo!” Teriakku.
Namun sepertinya kekhawatiranku sia-sia. Dalam sekejap Sosok siluman macan itu segera terpental jauh ke arah pemanggilnya. Tak mau menyia-yiakan waktu, Paklek membacakan sebuah mantra dan memainkan gerakan tangan hingga muncul sebuah api.
Geni Baraloka… Salah satu ilmu terkuat milik Paklek. Ia melemparkan serpihan-serpihan apinya pada roh-roh penasaran yang diperbudak oleh mereka hingga roh itu bisa tenang dan pergi ke alam seharusnya.
Melihat kondisi pertempuran sudah berbalik, manusia dalam sosok sukma itu memilih untuk mundur dan menarik semua pengikutnya.
“Bukan hanya kami.. ada begitu banyak orang yang menginginkan kematian anak itu dan ibunya! Kalian pasti mati!” Ancam salah satu dari mereka.
Saat keadaan sudah aman, aku dan Paklek kembali ke raga kami dan segera masuk memastikan keadaan Tika dan yang lain. Sungguh pemandangan yang tidak pernah kusangka. Pak Gito , Tika , Nyai Kanjeng dan Yu Nijah sedang bersimpuh sambil melantunkan ayat-ayat suci.
“Paklek?” Tolehku pada Paklek.
“Tika yang ngajak.. dia yang mengajarkan ibunya sedikit demi sedikit mendalami agama” Jawab Paklek. Aku sedikit tersenyum dan perlahan menghampiri mereka.
“Mas Danan, Mas Cahyo… !” Sambut Tika dengan wajah cerianya. Sepertinya walaupun dalam keadaan mencekam , Tika juga mendapatkan hal baik yang bisa membuatnya tersenyum seperti itu. Tebakanku… hal baik itu adalah kedua orang tuanya berada di sisinya.
“Heh… kowe wis adus durung?(Kamu sudah mandi belum?) jangan-jangan dari pas Mas tinggal kamu belum mandi?” Goda Cahyo.
Tika yang berlari menghampiri kami seketika berhenti dengan memasang raut muka cemberutnya yang lucu.
“Halah.. jangan didengerin Tik , yang belum mandi itu mas Cahyo.. alasanya lagi dalam keadaan darurat terus” Timpalku.
Cahyo membalasnya dengan nyengir sambil sesekali mencium bau tubuhnya.
Belum lama kami memasuki Pendopo tiba-tiba terdengar suara menggelegar seperti suara benda yang terjatuh, sepertinya itu sebuah serangan yang terhalang olah perlindungan Paklek.
“Kita harus segera meninggalkan tempat ini… sepertinya akan semakin banyak serangan.” Ucapku.
“Paklek setuju.. tapi ke mana? Nyai Kanjeng ada tempat yang lebih aman?” Tanya Paklek ke Nyai Kanjeng namun ia hanya menggeleng.
“Selama ini tidak ada yang bisa menyerang keluarga Darmowiloyo sampai seperti ini…
jadi kami tidak pernah mempersiapkan untuk kejadian ini” Jawabnya.
Kami berpikir cukup keras hingga tiba-tiba Cahyo menghampiriku.
“Nan… aku penasaran, Mess yang dulu kita datangi di Desa tanggul Mayit sepertinya tidak ada yang berani masuk ke sana, termasuk demit-demit suruhan dukun itu… Apa ada kekuatan yang melindunginya?” Tanya Cahyo.
Seketika aku teringat kejadian saat menolong Yanto dan teman-temanya. Setiap saat aku meninggalkan Mess itu tubuhku merasakan adanya perbedaan aliran kekuatan yang membuatku terhuyung.
“Benar juga.. Nyai Kanjeng, sebenarnya itu tempat apa?” Tanyaku.
“Saya tidak tahu.. tapi menurut adat turun-temurun dari Trah Darmowiloyo, tempat itu tidak boleh dimasuki. Tempat itu menjijikkan karena hanya digunakan untuk menyimpan calon tumbal” Jelas Nyai Kanjeng.
Mendengar kata-kata itu aku sedikit kesal. Sebegitu rendah kah nyawa manusia di mata mereka Trah Darmowiloyo.
“Lalu mengapa saat itu Nyai Kanjeng menyimpan Jasad hidup anak Nyai Kanjeng di sana?” Tanyaku.
“Saat itu tumbal-tumbal yang disediakan memang untuknya sehingga ia harus berada dekat dengan calon tumbalnya..” Jawab Nyai Kanjeng.
Cahyopun merasa kesal mendengarnya.
“Itu pasti kata dukun itu kan?” Tanya Cahyo memastikan dan Nyai Kanjeng hanya mengangguk mengiyakan.
“Danan.. Kalau gitu kita ke sana!” Teriak Cahyo.
Saat itu juga semua yang ada di Pendopo setuju , Yu Nijah yang tidak ada hubungan apa-apa dengan kejadian ini akan kami turunkan di rumah keluarganya yang tak jauh dari hutan ini.
Pak Gito, Aku , Tika dan Nyai Kanjeng bersiap menggunakan mobil milik Nyai Kanjeng sementara Cahyo dan Paklek sedang membersihkan jok vespa tua Cahyo dan bersiap menaikinya.
“Paklek! Paklek kenal dengan Mas Jagad? Katanya sepupu Paklek dan masih ada hubungan darah dengan kita?” Tanyaku sementara Pak Gito sedang mempersiapkan mobilnya.
“Owalah Jagad… sudah lama nggak ketemu, lha kalian ketemu di mana?” Tanya Paklek.
“Di Rumah Raden Anjar.. saat ini nasib Raden Anjar tidak jauh dengan Nyai Kanjeng, Mas Jagad kumintai tolong untuk melindungi Raden Ajar dan anaknya..” Ucapku.
Saat itu juga Cahyo menoleh, seperti baru ingat sesuatu.
“Kalau begitu Raden Anjar pasti juga diincar Nan! Mungkin Nyai Kanjeng bisa mengirim utusan untuk mengajaknya ke mess” Teriak Cahyo.
Paklek menepuk pundak Cahyo dan menenangkan kami.
“Sudah.. tidak usah minta tolong Nyai Kanjeng, biar Paklek saja! Ayo cepat kita berangkat” Jawab Paklek.
“Lah Paklek juga bisa ngirim utusan ghaib? Kok aku baru tahu?” Tanya Cahyo.
“Utusan ghaib gundulmu! Tinggal nelpon Jagad aja kan bisa… jangan bilang kelamaan di Jagad segoro demit bikin kamu lupa teknologi jaman sekarang” Ucap Paklek.
Aku sedikit tertawa melihat Cahyo yang menggaruk-garuk kepalanya.
“Ya sudah Paklek, kira-kira mereka ada kendaraan untuk ke sana nggak ya?” Tanyaku.
“Lah , kalian nggak ngeliat pas ke sana Jagad naik apa?” Tanya Paklek.
Kami berdua menggeleng.
“Helikopter… udah nggak usah khawatir, Cepet Jalan..” Perintah Paklek lagi.
“Helikopter? Serius Paklek..” Tanyaku.
“Iya.. udah nggak usah musingin mereka..”
Saat itu Pak Gito memberi isyarat bahwa mobil sudah siap dan Nyai Kanjeng sudah masuk bersama Tika. Kami segera memulai perjalanan menuju mess tempat yang dulu selalu kami harap tak pernah ada.
...

IKLAN : Kisah ini adalah cerita dari akun twitter @diosetta , apabila kalian membaca di situr Unroll seperti Threaderapp atau sejenisnya.. tolong luangkan waktu untuk sekedar follow/komen di akunya diosetta ya^^ Terima kasih

Malam semakin larut , kami melaju kendaraan dengan cepat. Rupanya prediksi Cahyo benar, Paklek juga diincar oleh orang-orang ini. Hal mengagetkan kuketahui saat aku menanyakan kepada Nyai Kanjeng, rupanya dari sekian banyak yang mengincar Tika dan Nyai Kanjeng ,
sebagian besar adalah saudara-saudara mereka sendiri yang ingin menghabisi Tika.
Keberadaan Tika sebagai anak dari pemimpin trah Darmowiloyo dianggap sebagai aib oleh saudara-saudara Nyai Kanjeng.
Walaupun tidak berniat untuk ikut campur dengan urusan Darmowiloyo, mereka tetap khawatir suatu saat Tika akan memiliki kemampuan untuk mengambil posisi tertinggi di trahnya.
Saat mulai memasuki jalan yang dikelilingi hutan, di tengah perbincangan kami tiba-tiba terdengar suara pukulan dari atap mobil. awalnya kami menganggap sebagai suara benda jatuh biasa. Namun suara itu terus berulang seperti sesuatu sedang berada di atas mobil ini.
“Mas Danan! I—itu apa? Tika Takut…”Aku menoleh kebelakang dan melihat wajah tika yang pucat pasi dipelukan Nyai Kanjeng. Ia menatap ke jendela di sebelahnya, dan terlihat dengan jelas sesuatu yang membuatnya sampai ketakutan seperti itu.
Itu adalah rambut hitam panjang menjuntai yang diikuti dengan wujud kepala seorang nenek tua yang menatap ke arah Tika dari atap mobil. Aku bersiap membacakan doa untuk mengusirnya,
namun kali ini gantian Pak Gito yang terlihat kaget hingga mobil yang kami tumpangi hampir keluar jalur.
“Mas s—setan… “ Ucap Pak Gito yang terlihat menjauhi jendela di sampingnya.
Rupanya niat mereka membunuh Tika tidak main-main hingga mengirimkan makhluk ini untuk mengejar kami.
Aku membacakan ajian muksa pangreksa untuk menghindari niat jahat dari makhluk-makhluk itu, namun sepertinya itu tidak cukup.
Aku harus keluar untuk menghadapi mereka, tapi ini bukan seperti di film-film action dimana aku bisa bertarung di atas mobil tanpa terjatuh. Bisa-bisa bukanya beradu dengan demit dan malah wajahku yang beradu dengan aspal.
Di tengah kebingunganku aku melihat Paklek sedang mengikatkan sarung Cahyo ke tubuhnya dan Cahyo seolah menjaga agar tubuhnya tidak terjatuh. Aku seperti membaca niat Paklek dan segera menarik keris Rogosukmo dari tubuhku.
“Mas.. mas Danan mau ngapain?” Tanya Pak Gito.
“Tolong jaga tubuh saya ya Pak.. “ Ucapku yang segera memisahkan sukmaku dari raga dengan menggenggam wujud ghaib Keris Ragasukma. Dengan tubuh Sukma aku dan Paklek bisa bertarung dengan Makhluk-makhluk kiriman ini tanpa takut terjatuh.
Dari atas mobil aku melihat sosok nenek dengan leher panjang yang menakuti Tika tadi berusaha memasuki mobil namun sesuatu seperti menghalanginya.
Saat itu juga aku menusuk roh itu dengan keris ragasukma hingga asap hitam keluar perlahan dari tubuhnya. Sayangnya dari sisi jendela Pak Gito makhluk serupa berbalik menyerangku dengan menyemburkan asap hitam yang membuatku hampir tidak bisa melihat keadaan sekitar.
Tanpa penglihatan yang jelas tiba-tiba sebuah luka gigitan tersemat di pundaku , wujud sukmaku tidak mengeluarkan darah.. namun rasa sakit juga dirasakan oleh tubuhku.
Aku mencari keberadaan makhluk-makhluk itu di tengah kepungan asap hitam,
namun tidak menemukanya sampai sebuah mantra terdengar menggema di sekitarku. Itu adalah suara Paklek.
Seketika Asap itu menghilang dan keberadaan kedua nenek itu kembali terlihat..
“Danan… segera habisi kedua makhluk itu. Mereka Cuma pembawa teluh.. Biar Paklek fokus mencari apa yang mereka bawa” Perintah Paklek.
Aku setuju dengan Paklek, mereka bukan makhluk yang sulit di hadapi.
Namun sesuatu yang mereka kirimkan mungkin bisa mempengaruhi Pak Gito atau kendaraan ini hingga mencelakakan kami semua.
Dengan segera aku membacakan doa untuk menenangkan kedua makhluk itu namun ternyata kekuatan hitam mengikat kedua makhluk ini yang membuat mereka patuh oleh mereka yang mengirimnya.
Paklek masuk ke dalam mobil dan mengeluarkan benda kecil yang terbungkus kain kafan seperti berisi tanah kuburan dan terikat jerami, entah ada apalagi yang berada di dalamnya. Yang pasti aku merasakan kekuatan hitam pekat dari benda itu.
Kedua makhluk tadi menjadi beringas ketika mengetahui teluh yang iya bawa telah diambil oleh Paklek dan mulai mengejar Paklek.
Tanpa pikir panjang aku membacakan doa ke arah keris rogosukmoku dan menghujamkanya ke arah kedua makhluk itu.
dan makhluk itupun menghilang di kegelapan bersama dengan melajunya mobil yang dikendarai Pak Gito.
Terlihat juga Paklek sudah membakar benda yang menjadi perantara teluh itu dan segera memerintahkan ku ke dalam mobil.
Mobil kami melaju semakin cepat hingga melalui halte proyek perusahaan milik Nyai Kanjeng. Tepat sebelum memasuki jalur hutan, tiba-tiba kendaraan kami dihadang oleh beberapa orang berpakaian lusuh yang dipimpin oleh seorang pria berpakaian jawa, .
lengkap dengan sarung dan keris yang terikat di pinggangnya.
“Siapa mereka Nyai Kanjeng?” Tanyaku pada Nyai Kanjeng.
“Raden Sarwo Kusumo.. anak tertua dari almarhum pakde saya” Jawabnya dengan gemetar.
Dari reaksi Nyai Kanjeng aku bisa menebak bahwa mereka tidak di pihak kami. Saat itu Kami turun dari mobil sementara Nyai Kanjeng menyembunyikan Tika di belakangnya.
“Nyai Kanjeng, saya masih menghormatimu sebagai saudara… Habisi anak haram itu sekarang,
dan kalian akan kubiarkan hidup” Ucapnya.
Jelas orang ini bukan orang biasa. Nyai Kanjeng yang pernah memangku posisi pemimpin trah saja sampai gemetar melihat orang ini.
“Bagaimana kalau dibalik.. kau bunuh saja saya, dan biarkan Tika hidup tenang dengan ayahnya..” Ucap Nyai Kanjeng yang dibalas dengan genggaman erat Tika di bajunya.
“Jangan bodoh.. kamupun sudah tau, darah Darmowiloyo yang sudah mengalir di tubuh bocah
itu tidak akan hilang sampai ia mati. Aku hanya menanyakan satu kali, nyawamu dipertaruhkan di sini” Ucapnya.
Aku berdiri di hadapan Nyai Kanjeng sementara Cahyo dan Paklek yang baru saja sampai segera memarkirkan motornya dan menyusul di sampingku.
Kami berharap keberadaan kami bisa memberi keberanian untuk Nyai Kanjeng, dan Pak Gito yang berniat melindungi Tika.
“Tidak usah kujawab.. kalian sudah tahu jawabanya!” Ucap Nyai Kanjeng.
Saat itu juga wajah Raden Sarwo Kusumo menjadi murka , ia mulai memerintahkan orang-orang suruhanya untuk menyerang kami.
“Paklek, gimana ini.. lawan kita orang , bukan demit..” Tanyaku.
“Tenang… mereka urusan si panjul aja, kita siap-siap urusin Abdi dalem itu..” ucap Paklek.
“Abdi dalem? Keraton mana yang make ilmu hitam begini Paklek?” Tanyaku.
“Dolanmu kurang adoh Nan… (Mainmu kurang jauh Nan..) banyak kerajaan ghaib yang mencari pengabdi seperti mereka ini” Jawab Paklek
Sekilas aku teringat kisah masa kecilku dulu mengenai keraton segoro kidul. Mungkin keraton seperti itu yang dimaksud Paklek.
Cahyo mulai sibuk menghalau anak buah Raden Sarwo Kusumo dengan kemampuan dari wanasura.
Sepertinya orang-orang ini juga dibekali jimat yang membuat mereka memiliki kemampuan untuk merepotkan Cahyo.
Raden Sarwo Kusumo hanya berjalan perlahan mendekat ke arah kami, secara spontan kami menahanya untuk mendekat.
Namun aneh… ia tidak melakukan apa-apa dan hanya melipatkan tanganya dibelakang dan seketika aku terpental cukup jauh saat ia mendekat.
“Mas Danan! “ Teriak Pak Gito, tapi matanya tidak mengarah ke arahku melainkan… ke Tubuhku!
Sukmaku terpisah sementara tubuhku terjatuh dihadapan Raden Sarwo Kusumo. Beruntung Paklek masih bisa mempertahankan Sukmanya di dalam raganya. Samar-samar terlihat pancaran kekuatan dari tubuh Paklek yang beradu dengan kekuatan hitam dari tubuh Randen Sarwo kusumo.
Semua ini terlihat jelas dengan wujud sukmaku. Sayangnya sukmaku terpisah dengan paksa sehingga aku harus menstabilkan wujud ini untuk memanggil wujud ghaib dari Keris ragasukma untuk bertarung.
Tak lama, Tubuh Paklek juga ikut terpental. Beruntung ia berhasil menjaga agar sukmanya tidak terpisah sepertiku.
“Sampai kapanpun Ilmu putih tidak akan mampu melawan kekuatan ini..” Jawabnya.
Cahyo yang mengetahui kondisi kami yang dalam bahaya segera menghempaskan setiap orang yang menyerangnya dan bersiap menyerang ke arah Raden Sarwo Kusumo itu.
“Kakek tua .. jangan sombong kamu!” Ucapnya sambil melompat untuk menghempaskan Raden Sarwo Kusumo dengan kekuatan dari wanasura. Anehnya sebelum sampai menyentuhnya, Cahyo terjatuh dan sesuatu terlempar dari dalam tubuhnya.
Sosok Roh kera Raksasa… Itu Wanasura! Wanasura Terpisah dari Tubuh Cahyo!
“Cahyo… Roh Wanasura!” aku mencoba memperingatkan Cahyo yang masih mengumpulkan kesadaran.
Mendengar teriakanku, seketika Cahyo panik.
Wanasura tidak memiliki tubuh fisik , akan sangat berbahaya bila terpisah dari tubuh Cahyo di alam manusia. Sukmaku menghampiri wanasura dan menuntunya kembali ke Cahyo yang berlari ke arahnya.
Setelah membantu menyatukanya kembali ke tubuh Cahyo aku segera mendekat ke tubuhku , namun kekuatan besar dari Raden Sarwo Kusumo menahanku untuk menyatu lagi.
“Habisi mereka.. Sukma mereka akan menambah kekuatan kalian” Ucap Raden Sarwo Kusumo pada sosok yang seketika muncul dari kegelapan hutan di belakangnya.
Bayangan hitam muncul dari belakang Raden kusumo, wujudnya semakin Jelas berwujud seperti manusia yang tingginya lebih dari dua kali manusia biasa dengan kepala kuda dan berbagai perhiasan yang biasa dikenakan oleh prajurit jaman dulu.
“Hati-hati Paklek.. makhluk itu Ingon peliharanya, Ki Jaran Rhundra.” Peringat Nyai Kanjeng.
“Makhluk itu sudah memakan ratusan sukma bahkan semenjak belum menjadi ingon Raden Sarwo Kusumo”
Mendengar ucapan Nyai Kanjeng aku sedikit panik, terlihat juga Cahyo setengah mati menahan roh wanasura untuk tetap di tubuhnya. Sayangnya yang kutakutkan terjadi..
Sukmaku yang paling lemah menjadi incaran Ki Jaran Rhundra yang segera menerjang ke arahku. Makhluk itu menggenggam senjata berupa cambuk layaknya pemain jatilan yang meunjukan aksinya.
Beruntung aku berhasil menarik Keris Ragasukmaku dan menahan serangan cambuknya. Namun tubuhnya yang besar membuatku sulit menghindarinya
Perlahan aku merasa sosok sukmaku mulai melemah.
Dan segera sadar, bahwa ini adalah pengaruh dari pusaka berwujud kuningan dengan batu merah darah yang dikalungkan di leher ingon ini.
Cahyo yang menyadari keadaan ini mencoba menolongku, namun Raden Sarwo Kusumo menatapnya dan mementalkan lagi roh wanasura.
Cahyo setengah mati mempertahankan temanya itu.
Paklek mencoba menyerang pria di hadapanya itu untuk melindungi Cahyo, namun naas.. kali ini tubuhnya tidak mampu bertahan hingga sukmanya juga ikut terlepas.
Ki Jaran Rhundra juga menyadari kemunculan sukma Paklek dan bersiap untuk menghabisinya juga.
Entah, tak ada lagi yang bisa kulakukan..
kuku-kuku hitam tajam Ki Jaran Rhundra terlihat mendekat ke arah sukmaku yang hampir tidak mampu bergerak seperti bersiap mengoyak dan memakanku. Namun tepat sebelum kuku itu menyentuhku, aku melihat sebuah keris melayang melewatiku dan menancap tepat di pusaka Ki Jaran Rhundra.
Aku ingat keris itu! Itu Pusaka Darmawijaya yang diserahkan Raden Anjar pada Dirga!
Aku menoleh ke belakang, sebuah mobil Pickup datang menghampiri kami dan mengarah ke arah Raden Sarwo Kusumo hingga ia mundur dari posisinya.
Tak menyia-nyiakan kesempatan aku dan Paklek segera kembali ke raga kami dan memastikan Wanasura sudah kembali menyatu dengan Cahyo.
“Bimo, Danan.. Semuanya Naik!” Teriak Mas Jagad yang berada di posisi sopir bersama Raden Anjar dan Ajeng di sebelahnya sementara Dirga di bak belakang segera menarik kembali keris pusakanya kembali ke tanganya.
Gila… apa ini kemampuan keris itu? ia bisa diterbangkan dan kembali kapanpun sesuai perintah pemiliknya.
Kami semua menaiki Mobil pick up yang dibawa Mas Jagad dan memastikan tidak ada yang tertinggal.
Raden Sarwo Kusumo yang mengetahui rencana kami bersiap berlari mendekat. Namun sebuah kekuatan muncul dari tatapan Raden Anjar di dalam mobil yang membuat Raden Sarwo Kusumo tak mampu menggunakan kekuatanya selama beberapa saat
Kamipun berhasil melarikan diri ke dalam jalur hutan , namun Raden Anjar memerintahkan suruhan ghaibnya untuk terus mengejar kami sementara ia bersiap menuju kendaraanya untuk mengejar kami ke dalam hutan.
“Paklek.. “ Ucap Cahyo tiba-tiba.
“Ngopo Njul?” (Kenapa Njul) Balas Paklek.
“Katanya helikopter?” Tanya Cahyo dengan mata yang melirik ke arah Paklek.
Akupun sedikit tertawa dengan pertanyaan Cahyo karna aku sudah menduga jawaban Paklek tadi tidak serius.
“Lah iya to.. bentuknya kan mirip Helikopter, Kalo bahasanya Jagad.. ini helikopter darat. Iya to Gad?” Jawab Paklek sambil mengetuk atap mobil diatas Mas jagad.
“Iyo… lha kan bentukane podo , mung ra iso mabur”
(Iya.. kan bentuknya sama, Cuma nggak bisa terbang) Lanjut mas Jagad sambil tertawa.
Terlihat wajah kecewa Cahyo atas jawaban itu yang diikuti dengan tawa Tika sambil menutup mulutnya.
“Nyai Kanjeng… bagaimana rasanya menaiki Helikopter Darat milik perusahaan sambara?”
Ucap Cahyo sambil menirukan suara reporter yang sering kami tonton di televisi.
Aku mencopot sandalku dan melemparkanya ke arah Cahyo.
“Heh.. sing serius! Kuwi lho.. itu, demit sing ngikutin nambah akeh!”
(Heh yang serius! Itu lho.. itu demit yang ngikutin nambah banyak) Ucapku.
“Haha.. Mas Cahyo lucu ya!” Ucap Dirga Polos.
“Kamu belum tau kalau dia denger kendang topeng monyet, tingkahnya lebih lucu lagi..” Lanjut Paklek yang disambut dengan tawa Dirga.
“Heh Paklek!” ucapku memperingatkan situasi ini pada Paklek yang malah ikut bercanda.
Saat itu kami mengatur posisi dimana Nyai Kanjeng , Tika dan Pak Gito berada di pojok sementara aku ,Cahyo, dirga, dan Paklek mengelilinginya untuk menghalau serangan dari berbagai arah.
“Awas Mas!” Teriak Dirga sembari melemparkan kerisnya ke arah sesosok bola api yang melayang ke arah Tika. Sayangnya kerisnya meleset , sepertinya Dirga masih belajar untuk mengendalikan kekuatanya.
Setidaknya seranganya memberikan kesempatan Paklek untuk membaca amalan api dan mengadunya dengan Banaspati itu.
“Gila.. untuk anak kecil saja mereka sampai mengirim banaspati..” Ucap Paklek.
Sayangnya tidak cukup sampai disitu, beberapa bola api mendekati kami lagi dari belakang.
“Nyai Kanjeng… Raden Sarwo Kusumo itu bisa ngirim berapa banaspati sih?” Tanya Cahyo Kesal.
Nyai Kanjeng menggeleng.
“Banaspati itu bukan kiriman Raden Sarwo Kusumo” Ucap Nyai Kanjeng.
Aku heran dan segera menoleh ke arah Nyai Kanjeng, namun mas jaga sedikit mengeluarakan kepalanya dari jendela dan berteriak ke arahku.
“Memangnya kalian saja yang bawa musuh! Kami juga bawa..” Ucapnya dengan nada seolah ini adalah hal biasa.
“Banaspati itu perbuatan Trah Brotowongso yang menyerang kami di rumah Raden Anjar mas..” Jelas Dirga. “Selain itu masih ada yang lain juga nanti..”
Jauh masuk ke arah desa, tiba- tiba tepat saat melewati persimpangan lahan perusahaan kami dihadang oleh beberapa orang berpakaian serba hitam layaknya dukun kawakan bersama orang suruhan dan sepeda motor yang terparkir.
“Berhenti! “ Teriak mereka dengan berdiri di satu-satunya jalur yang bisa dilalui mobil ini.
“Gila , bahkan mereka sampai sudah bersiap menghadang kami di dalam hutan ini..” Ucapku.
Cahyo mennggedor atap mobil sambil memberi isyarat Mas Jagad “Gas aja mas.. biar tak urus.”
Dengan kekuatan wanasura di kakinya, Cahyo melompat tepat di hadapan mobil dan menyingkirkan dukun itu dengan hempasan sarungnya yang diayunkan dengan tenaga wanasura. Setelahnya Ia berlari dengan kecepatan yang mampu menyaingi mobil ini dan kembali ke bak belakang.
Aku memberi isyarat berupa tanda jempol untuk memberitahukanya bahwa aksinya keren.
Sayangnya tak jauh setelahnya sudah ada lagi yang bersiap menghadang kami di depan, orang-orang dengan pakaian yang sama namun
sudah bersiap dengan berbagai jenis lelembut yang sudah berlompatan di atas pohon. Sementara di belakang orang-orang tadi sudah mengejar kami dengan motor yang terparkirtadi.
“Kita kemana Danan!” Teriak mas jagad.
Aku mencoba berpikir mencari cara untuk kabur, namun tidak ada jalan lain.
“Kita hadapin aja gimana?” Ucap Cahyo.
“Terlalu banyak… belum lagi di belakangnya ada Raden Sarwo Kusumo” Ucap Paklek.
Aku melihat sekitarku dan tiba-tiba teringat sebuah hutan tempat aku dan Cahyo bertemu dengan seorang nenek.
“Cahyo! Hutan itu!” Teriakku mencoba memberi isyarat pada Cahyo.
“Mas jagad! Belok! Parkir di mana aja terserah… kita masuk ke hutan itu!” Teriak Cahyo yang mengerti maksudku.
“tapi itu tempat apa?” Tanya Mas Jagad.
“Udah mas ikutin aja… mungkin di sana ada kesempatan kita untuk selamat!” Jawabku.
Sesuai perintah Cahyo Mas Jagad meninggalkan mobilnya diantara sela-sela pohon dan kami berlari menuju sebuah hutan dimana terdapat bangunan kayu tua misterius.
“Lari!! Tapi jangan terlalu dekat ke bangunan kayu itu!” Perintahku.
Cahyo berlari sambil menatap sekitar mencari keberadaan nenek yang dulu sempat bertemu dengan kami. dan beruntung , seperti sudah mengetahui kedatangan kami nenek itu menanti kami di salah satu persimpangan pohon yang penuh dengan semak.
“Kesini… “ Ucapnya sambil membawa kami ke salah satu tempat yang dipenuhi semak yang tinggi. Kami mengikutinya yang masih berjalan dengan terpincang-pincang hingga sampak ke sebuah gubuk yang dibuat dengan sisa-sia kayu bangunan perusahaan yang dulu pernah ada di tempat ini.
“Mbah… maaf mbah, kami kesini lagi” ucapku pada nenek itu.
“Sudah, Tidak apa.. yang penting kalian selamat” Ucapnya sambil menatap orang-orang yang bersama denganku.
“Mereka ini…?” Tanyanya bingung.
“Saya Bimo, Paklek mereka… ini Jagad dan Dirga, kebetulan kami berusaha melindungi orang-orang ini mbah…” Ucap Paklek dengan sopan.
Nenek itu mengangguk dengan gemetar. Sepertinya tenaganya sudah semakin termakan umur.
Ia melihat ke arah Nyai Kanjeng dan Raden Anjar lalu masuk sebentar ke arah gubuknya dan keluar dengan membawa sebuah perhiasan.
“Ini punyamu kan? Kamu yang meninggalkanya di mulut hutan ini?” Ucapnya pada Nyai Kanjeng.
“Benar mbah” ucap Nyai Kanjeng dengan wajah yang sedikit tertunduk.
“Berarti kamu Danastri… dan kamu Anjar?” Ucap Nenek itu.
Nyai Kanjeng dan Raden Anjar sontak mendekat ke nenek itu. Aku mengambil kesimpulan bahwa nama asli Nyai Kanjeng adalah Danastri..
“Maafkan Mbah ya Nduk.. Mbah nggak bisa nyelamatin suami dan anakmu” Ucap Nenek itu dengan tatapan sedih.
“Nggak mbah.. dulu saya sempat gelap mata, tapi sekarang saya sudah ikhlas..” Ucap Nyai Kanjeng.
“Mbah ini? jangan-jangan eyang kami? Nyai Betari Darmowiloyo leluhur kami yang mengasingkan diri?” Tanya Raden Anjar
Nenek itu mengangguk.
“Tapi jangan panggil saya dengan nama itu lagi… panggil mbah saja” Ucapnya sambil beberapa kali menepuk tubuh Raden Anjar dan Nyai Kanjeng seolah merasa terharu bisa bertemu dengan anggota keluarganya lagi.
“Kalian sembunyi dulu di tempat ini, saya harus mengawasi agar mereka yang mengejar kalian tidak merusak bangunan kayu itu” Lanjutnya.
“Aku ikut mbah… “Ucapku yang segera disusul oleh Cahyo. Belum sempat aku mengejarnya,
tiba-tiba terdengar suara ledakan dari bangunan tua itu. Mbah jadi semakin cemas dan berjalan semakin cepat dengan kakinya yang sudah sulit untuk berjalan.
“Keluar kau Nyai Kanjeng!” teriak seseorang yang berusaha masuk ke bangunan tua itu.
mereka membawa beberapa orang dan tak sedikit demit yang mengikutinya.
Kami mengintip dari balik semak semetara Mbah terlihat sangat cemas.
“Mbah… sebenarnya di dalam bangunan itu ada apa sih? “ Tanya Cahyo.
“Nanti kalian akan tahu sendiri… mungkin kedatangan kalian semua adalah pertanda saatnya menghadapi makhluk itu..” Jawabnya.
“maksud mbah…?”
“lebih dari seratus tahun saya menjaga tempat ini agar tidak ada yang mendekat ke bangunan tua itu..
namun umur saya tidak akan lama lagi, harus ada yang menghentikan makhluk di bangunan itu…” Jelasnya.
Kami memperhatikan lebih jelas ke arah bangunan itu. sepertinya mbah juga sudah memasang pelindung untuk menyamarkan tempat keberadaan kami.
Perlahan samar-samar aku mendengar suara alunan musik jawa pengiring tarian. Entah darimana suara itu berasal, tidak ada satupun alat musik di tempat ini.
tak berapa lama setelahnya seseorang mencoba melarikan diri dari bangunan itu dengan sebagian tubuhnya yang sudah menghitam…
“To—toloong!” Teriaknya
Pria itu berlari ke arah sebuah mobil yang kuduga ditumpangi oleh Raden Sarwo Kusumo dan segera turun menghampiri anak buahnya itu.

Deg!! Tak lama setelahnya jantungku berdetak dengan tidak teratur seolah ada bahaya besar yang akan muncul.
Wajah Cahyopun terlihat seram juga sudah merasakan hal ini.
Dari dalam bangunan melesat sebuah boneka kayu besar seukuran manusia. Benda itu melayang ke arah orang-orang berbaju dukun yang menyerbu ke arah hutan ini.
Berbagai macam mantra terdengar dari mulut mereka ke arah boneka itu, namun tak satupun serangan mereka yang berhasil.
Sebaliknya, perasaan dendam yang telah terkubur beratus tahun terasa di sekitar boneka itu hingga kekuatan hitam pekat menyelimuti boneka itu.
Makhluk itu berwujud sebuah boneka kayu berkepala batok kelapa yang mengenakan pakaian penari lusuh seperti sudah berumur. Riasan di wajahnya seolah terbuat dari darah seseorang.
“Boneka nini thowok? Selama ini boneka itu tersegel di bangunan itu?” Tanyaku.
Mbah mengangguk. Belum sempat bertanya lebih jauh tiba-tiba terdengar suara teriakan yang menggila dari teras bangunan itu. Aku menoleh dan melihat pemandangan yang mengerikan.
Sebagian dari dukun-dukun itu mati dengan tubuh yang menghitam sementara boneka itu melayang dan menancapkan kayu bagian tajam dari bawah tubuhnya ke siaapapun yang masih hidup hingga darah bermuncratan di tempat itu.
Tak hanya itu.. banaspati, pocong, dan demit alas yang menjadi pengikut boneka itu dengan tanpa perlawanan seolah siap mengikuti perintah boneka itu.
Melihat kejadian itu Raden Sarwo Kusumo memerintahkan sisa orang suruhanya untuk pergi dan segera masuk ke mobil untuk meninggalkan tempat ini.
“Pergi.. kita harus pergi sekarang, setelah ini makhluk pasti mengincar kita” Ucap mbah.
Kami berjalan dengan terburu-buru menuju tempat Paklek dan yang lain. Terlihat di sana Paklek dan Mas jagad sedang berbincang setelah cukup lama tidak bertemu.
….
Mbah masuk kembali kedalam gubuknya dan membawa beberapa boneka jerami dan melemparkanya ke beberapa sudut hutan dan sisanya tertumpuk di sekitar kami. entah mengapa aku tidak memiliki keinginan untuk bertanya benda apa itu.
“Paklek.. kita pasang pelindung. Makhluk mengerikan di bangunan itu baru saja bangkit” Ucapku.
Paklek tidak banyak bertanya dan segera membacakan doa pelindung dengan bantuan mas jagad. Dirga yang sudah berkenalan dengan Tika berusaha menenangkanya ,
sementara aku dan Cahyo bersiap di garis depan menyambut kedatangan makhluk itu.
Hening….
Hampir tidak ada suara selama beberapa saat setelah kami bersiap-siap. Entah kapan makhluk itu akan sampai ke tempat ini.
..
Seketika tanpa ada aba-aba tiba-tiba pelindung Paklek terpecah oleh sebuah gelombang hitam yang melintasi kami. kekuatanya begitu besar hingga membuat pohon di sekitar kami terlihat mengering.
“Apa itu tadi…?” Tanya Paklek.
“Paklek Fokus! Bangun pelindung lagi… seandainya tidak ada pelindung tadi pasti tubuh kita juga sudah membusuk oleh kutukan makhluk itu” Teriakku.
Paklek mengerti dan membangun lagi pelindungnya.
Sesekali suara tokek memecahkan keheningan , namun suaranya meredup seolah takut akan sesuatu.
Gelap.. cahaya dari gubuk mbah perlahan meredup.
Sayup-sayup terdengar suara musik jawa pengiring tarian dengan nada yang mengerikan diikuti suara semak-semak yang tersibak.
Dari tengah kegelapan hutan itu akhirnya Boneka nini thowok itu menujukkan wujudnya di hadapan kami dengan wajah mengerikan dan aura penuh dendam.
“Mati…”
Suara seorang perempuan terdengar berbisik oleh kami.
“Nini thowok??! Makhluk apa yang ada di dalamnya hingga bisa sejahat ini?” Tanya Mas Jagad.
“Nggak ada yang tau mas, yang pasti kutukanya bisa membuat tubuh manusia membusuk seketika” Teriak Cahyo.
Nyai Kanjeng berdiri dan melihat dengan jelas ke arah makhluk itu.
“Jadi makhluk ini yang telah membunuh anak dan suami saya… “ Ucapnya dengan suara gemetar.
Raden Anjar berusaha berdiri dan menenangkan Nyai Kanjeng.
“Uwis yu.. ada yang lebih penting sekarang” Ucapnya.
Boneka itu terlihat melayang dan menari-nari di hadapan kami. Tanpa sadar,sekali lagi gelombang hitam menghempaskan pelindung Paklek. Saat itu juga Mbah berjalan ke arah boneka itu dan mengikatkan sebuah tali yang terbuat dari kafan ke tubuh boneka itu.
Sayangnya boneka itu mengamuk dan melayang sampai akhirnya menusukan bagian runcingnya ke tubuh mbah. Perlahan luka itu menjadi menghitam sama seperti bagian tubuhnya yang telah membusuk.
“Mbah!” Teriakku khawatir.
Namun tak lama setelahnya luka mbah menutup kembali, dan salah satu boneka jerami yang tertumpuk berubah menghitam seperti menggantikan lukanya.
“Sudah mbah , jangan nekat!” Teriakku namun sepertinya tidak didengarkan.
“Cahyo jemput mbah itu, jagad coba buat pelindung bersama Cahyo… beri saya waktu memanggil geni baraloka” Perintah Paklek.
Kali ini Wajah Paklek terlihat sangat serius. Ia berkali-kali memutarkan tanganya dengan membaca mantra sambil menggenggam keris sukmageninya.
Sebuah api putih tercipta dan perlahan membesar dan terus membesar. Ia melemparkan geni baraloka ke boneka itu hingga terbakar, namun dengan cepat api Paklek termakan oleh kekuatan dendam yang memancar dari tubuh boneka itu.
Cahyo dengan sigap membawa Nenek kembali ke dekat kami, sementara Paklek kembali membesarkan geni baraloka. Kini api itu bukan untuk menyerang boneka itu melainkan untuk membakar kami semua.
Hangatnya api ini harusnya bisa melindungi kami dari serangan makhluk itu.
Tapi entah sampai kapan. Dendam makhluk itu semakin besar setiap melihat manusia.
“Api apa ini? hangat… luka kutukanku pulih sepenuhnya” ucap mbah.
“Ini Geni Baraloka milik Paklek, dia bisa memulihakan kutukan,dan menenangkan roh .. bener gitu kan mas Danan?” Ucap Mas Jagad.
Aku mengangguk. Rupanya ilmu Paklek juga sudah diketahui mas jagad.
Samar-samar dari cahaya api kami melihat sosok anak perempuan yang merasuki boneka nini thowok itu. wajahnya penuh dengan dendam dan seolah ingin membunuh siapapun yang dilihatnya.
Merespon Geni Baraloka Paklek, makhluk itu menerjang ke arah kami dengan diselimuti kekuatan hitam. Seketika jantung kami berdetak keras seolah merespon dendam makhluk itu.
“Kita harus gimana Paklek? Keluar dari api ini sebentar saja tubuh kita pasti membusuk…” Tanyaku.
“Entah, sekarang kita bertahan sekuat mungkin dulu.. Kamu bantu jaga api ini tetap menyala” Ucap Paklek.
Sial, aku tak menyangka akan ada kejadian seperti ini. menghadapi dari boneka itu kutukan yang bahkan bisa menghabisi kami dalam hitungan detik.
Mbahpun berusaha keluar dari api ini, sepertinya ia berusaha untuk menyegelnya lagi namun Cahyo menahanya.. ia melihat boneka jerami mbah menghitam dengan sendirinya tanpa menunggu serangan mengenai mbah.

“Nama kamu siapa?”
Tiba-tiba terdengar suara tika yang melangkah ke arah ujung api ini. ia menatap ke sosok wanita yang merasuki boneka itu.
“Tika Kembali!” Perintahku. Namun ia tidak menghiraukan.
“Perempuan itu nangis!” Ucap Ajeng yang menyusul Tika sambil menoleh ke arah kami.
Melihat kedua anak perempuan itu sosok perempuan yang merasuki boneka itu mendadak berubah. Ia mengangkat wajahnya dan menatap Tika dan Ajeng.
“Sudah Yati… Saatnya kamu tenang” Ucap mbah yang kembali mencoba mendekatinya.
“Nama kamu Yati?” Tanya Tika yang nekat mendekat.
“Tika jangan… !” Nyai Kanjeng terlihat khawatir dan mengejarnya. Namun pak gito menahanya.
Yang kami takutkan terjadi, Boneka itu melesat dengan cepat ke arah tika, menatapnya dengan penuh amarah. ia tidak mempedulikan niat baik Tika dan sebaliknya ia bersiap menyerangnya.
“Aarrrghh… tidak , tidak ada pilihan lain… kita harus coba ini. Cahyo jaga mereka!” Perintahku.
Aku segera mengambil posisi menjauh dari yang lain dengan menggenggam keris rogosukmo di hadapan dadaku.
Aku mengingat wujud Nyi Sendang Rangu yang kutemui sebelumnya… entah apakah akan berhasil namun hanya ini cara yang bisa kupikirkan.
Sebuah mantra leluhur kubacakan dengan keris rogosukmo di genggamanku.

Jagad lelembut boten nduwe wujud..
Kulo nimbali..
Surga loka surga khayangan...

“Danan, Siapa yang kamu panggil?” Teriak Paklek yang sadar tidak ada leluhur kami yang masih gentayangan di alam ini.
Aku tidak mempedulikanya dan terus melanjutkan mantraku.

Ketuh mulih sampun nampani...
Tekan Asa Tekan Sedanten...

Rintik-rintik hujan mulai turun , mulai deras, dan semakin deras. Aku merasakan mantra ini berhasil.
Namun..

Bukan suara tertawa terkekeh Eyang widarpa yang terdengar ,

Ataupun langkah tegap Daryana yang mendekat..

Melainkan bayangan yang benih dan jernih terbentuk dari derasnya hujan yang mengguyur kami. perlahan sosok itu mulai muncul di hadapan kami.
Sosok wanita cantik bak bidadari yang segera mendekat ke arah Tika.

“Nyi Sendang Rangu! Dia benar-benar datang?” Teriak Cahyo tenang.

Tetesan air yang jatuh dari langit perlahan memadamkan api Paklek, padahal selama ini bahkan di dalam airpun api Paklek masih menyala.
Gelombang energi hitam yang dikeluarkan oleh boneka nini thowok itu tidak lagi membunuh kami yang basah oleh air yang jatuh bersamaan dengan keberadaan Nyi Sendang Rangu ini.
“Jadi.. dia yang bernama Nyi Sendang Rangu?” Tanya Nyai Kanjeng yang menghampiriku. Raden Anjar juga mendekat ke arahku dan memperhatikan sosok itu.
“Nyi.. ternyata Nyi Sendang Rangu benar-benar datang” Ucapku.
“Tenang Danan.. saya pasti memenuhi janji saya, sama seperti kamu yang menepati janjimu dengan hanya memanggilku saat anak ini dalam bahaya” ucapnya.
Kali ini sosok boneka nini thowok itu terlihat gentar.
Ia melayang mundur.. tak satupun kutukanya bisa bekerja di bawah hujan Nyi Sendang Rangu.
Boneka itu melayang mundur, namun tiba-tiba Nyi Sendang Rangu sudah berada di belakangnya.
“Wujud ini tidak pantas untukmu!” Ucap Nyi Sendang Rangu yang menggenggam kepala boneka itu dan menghancurkanya berkeping-keping. Sontak dihadapan kami berdiri dengan jelas roh wanita yang mungkin bernama Yati itu.
Wajahnya penuh amarah dan dendam, saat menatapnya wajah Nyi Sendang Rangu berubah menghitam dan semakin menyeramkan.
“Sepertinya wujud Nyi Sendang Rangu mengikuti wujud hati makhluk yang berhadapan dengan dia” Ucap Cahyo.
“Pantas saja pas kemarin menghadapi Darminto ia berubah menjadi menyeramkan…” Balasku.
“Pergi… jangan ikut campur urusanku” Ucap roh wanita bernama yati itu.
“Kalian sudah menghabisi orang-orang yang kusayangi… semua harus merasakan yang kurasakan”
Nyi Sendang Rangu terlihat marah dengan reaksi Roh Yati. Sepertinya ia bersiap untuk menghancurkan roh penuh dendam itu dengan kekuatanya.
“Yati.. ngomong begitu sambil nangis” Ucap Tika tiba-tiba.
Tanpa sadar kami semua menatap roh yati memastikan ucapan Tika. Nyi Sendang Rangu juga merespon ucapan Tika.
“Nyi… perempuan itu apa nggak boleh pergi dengan tenang?” Tanya tika.
“Setelah semua orang yang ia bunuh, termasuk kakakmu?” Tanya Nyi Sendang Rangu.
“Kalau saja dia ketemu Mas Danan atau Nyi Sendang Rangu semasa hidup, mungkin dia tidak akan jadi seperti ini” Tambah Ajeng.
Nyi Sendang Rangu kembali dengan paras cantiknya dan tersenyum kepada kedua anak wanita itu.
Dengan sekali kibasan selendangnya, mendadak yati menghilang dari pandangan kami.
Sosok makhluk yang sedari tadi hampir membunuh kami bisa ditenangkan oleh Nyi Sendang Rangu hanya dengan seperti itu?
Aku terheran-heran ,entah.. aku tidak bisa membayangkan sebesar apa kekuatan yang dimiliki Nyi Sendang Rangu.
“Biar kusimpan sukmanya, mungkin beristirahat di sendang rangu bisa memurnikan dendamnya yang telah tertimbun beratus-ratus tahun.”
Ucap Nyi Sendang Rangu dengan suara yang begitu menenangkan.
Seketika senyuman muncul di wajah Tika dan Ajeng. Mereka segera berlari kembali ke arah Nyai Kanjeng dan Raden Anjar. Dan satu yang kutahu,
sepertinya Nyi Sendang Rangu sama sekali tidak sudi menoleh ke arah Nyai Kanjeng dan Raden Anjar.
“Nyi.. kami masih harus menghadapi Raden Sarwo Kusumo dan Trah Brotowongso” Ucapku.
Ia mengangguk seolah memberikan persetujuan untuk membantu kami dan sesekali ia menatap Paklek dan Mas Jagad yang masih heran dengan keberadaan Nyi Sendang Rangu yang merespon mantra pemanggil leluhur sambara.
“Maaf Nyi kalau saya tidak sopan” Ucap Paklek tiba-tiba.
“Apa Nyi Sendang Rangu salah satu dari leluhur kami…?”

(Bersambung part Akhir….)
Terima kasih sudah mengikuti kisah ini hingga akhir, Part Terakhir akan kita upload minggu depan.
mohon maaf apabila ada salah kata atau bagian yang menyinggung

Bagi yang ingin baca duluan atau sekedar mendukung bisa mampir ke @karyakarsa_id ya..
karyakarsa.com/diosetta69/get…
GETIH IRENG ABDI LELEMBUT
Part Akhir- Wiwitan Lan Pungkasan

Hari ini saya upload, bacanya setelah jam 18.00 aja ya. poart ini panjang banget, jadi mungin bisa setengah harian uploadnya.

dibantu retweet dulu biar pada tau..
@bagihorror
@IDN_Horor
#diosetta Image
** Untuk teman-teman yang membaca di situs Unroll seperti threaderapp , bacautas dan sejenisnya, semoga berkenan mampir ke akun twitter saya sekedar folow dan ninggalin komen ya ^^
WIWITAN LAN PUNGKASAN
(Awal dan Akhir)

Sedo bersama istrinya berjalan menghampiri sebuah perkampungan di salah satu kaki gunung. Bangunan kayu tua mendominasi seluruh bagian kampung ini seolah tidak pernah diurus , padahal cukup banyak warga yang lalu lalang di sekitar Sedo.
Warga di sini juga cukup aneh, mereka hanya melakukan rutinitasnya sehari-hari untuk berkebun, mengurus ternak tanpa berbicara satu sama lain ataupun bertegur sapa. Sedo tidak mempedulikanya dan segera berjalan terus ke sebuah bangunan yang paling besar di desa itu.
sebuah bangunan seperti Candi dengan sebuah beberapa penjaga yang sudah siap menyambut Sedo.
“Persyaratan yang Ki Brotowongso minta sudah saya selesaikan” Ucap Sedo dengan sedikit hormat.
Mendengar suara Sedo, seseorang keluar dari balik tirai bangunan itu. Seorang Pria tua dengan dengan baju paling lusuh diantara semua penjaga di tempat ini namun tubuhnya dipenuhi berbagai perhiasan yang sebagian besar merupakan pusaka yang tidak biasa.
Walaupun penampilanya seperti itu, Mereka semua tau dengan jelas. Dia adalah penguasa tempat ini.. Ki Brotowongso.
“Aku sudah mengetahui semuanya, kamu gagal membunuh adikmu dan anak tertua dari pamanmu sudah mati terlebih dahulu sebelum kau sempat membunuhnya..”
Balas Ki Brotowongso.
“Damar sudah tidak ada ikatan denganku dan walau tak kubunuh Sapto tetap sudah mati Ki. Jika memang harus, aku akan mencari cara untuk membunuh Damar..” Ucap Sedo.
“Tidak… tidak usah, aku sudah menerima niatmu. Persyaratan juga sudah kalian penuhi… tunggu di sini. “ Lanjut Ki Brotowongso yang segera berbalik kembali ke balik tirai.
Sedo menunggu dengan sabar, sama sekali tidak terlihat penyesalan di matanya setelah membunuh setiap anggota keluarganya.
Tak lama kemudian Ki Brotowongso keluar dari tirainya lagi dan berjalan menghampiri Sedo dan Dirnaya.
“Kenakan kalung ini pada istrimu.. lalu ikuti aku!” Perintahnya dan segera berjalan meninggalkan bangunan utama menuju sebuah bangunan batu besar yang cukup di tengah hutan tak jauh dari kediamanya.
Sedo mengenakan kalung itu pada Dirnaya dan menuruti perintah Ki Brotowongso.
Itu hanyalah bangunan batu candi biasa yang sekilas di dalamnya hanya ada ruangan sebesar kamar, namun saat Sedo memasukinya semua isi di dalamnya benar-benar diluar perkiraan.
Isinya menyerupai salah satu bagian istana kuno dengan beberapa ruangan di sekitarnya.
“Kamu tidak kaget Sedo?” Tanya Ki Brotowongso.
“Aku sudah pernah mendengar tentang keraton ini, hanya saja aku tidak menyangka dapat memasukinya dengan cara seperti ini” Jawabnya.
Ki Brotowongso membawa Sedo dan Dirnaya ke dalam sebuah kamar yang gelap dengan batu persegi yang besar berada di tengah-tengahnya dan hanya diterangi cahaya api menyerupai obor dari empat sisi.
“Aku tanya lagi, kamu siap meninggalkan segalanya untuk menjadi Abdi dari keraton ini? Semua yang kamu inginkan di dunia ini hampir pasti kamu dapatkan bila kamu menjadi pengabdi di sini..” Tanya Ki Brotowongso memastikan lagi.
“Tidak ada alasan lagi untuk mundur..” Jawab Sedo dengan tegas.
Seketika nyala api di kamar itu mati bersamaan dengan jawaban Sedo. Tak lama kemudian terdengar suara teriakan perempuan tak jauh dari posisi Sedo berada. Itu adalah suara Dirnaya…
“Massss! Ini apa mass!! Tolong mas!” Teriak Dirnaya.
“Dirnaya!! Ada apa? Apa yang terjadi! Ki… apa maksudnya ini?” Teriak Sedo.
Suara Jeritan Dirnaya terdengar semakin keras , tak lama kemudian seseorang menyalakan sebuah obor di sudut ruangan hingga cahaya redup menyinari ruangan itu.
Di situlah Sedo baru melihat , kini Dirnaya sudah berada di batu persegi di tengah ruangan itu bersama dua sosok makhluk yang memegangi tubuhnya.
Makhluk itu berwujud manusia berkulit hitam legam dengan penuh borok di seluruh tubuhnya,
hanya sedikit rambut yang tersisa di kepalanya sementara mata merahnya terus melotot tanpa ada kulit penutup yang bisa membuatnya berkedip.
“Mas.. tolong mas!” Teriak Dirnaya yang berusaha memberontak ketika dibaringkan di batu itu.
Mas Sedo bersiap berlari menghampiri Dirnaya namun sosok bayangan berwujud penjaga menahan tubuhnya hingga berlutut ke arah Dirnaya.
“Ki ! Apa maksudnya ini!!” Teriak Sedo dengan penuh amarah.
“Bukankah kamu sendiri yang sudah yakin untuk menyerahkan segalanya?” Ucap Ki Brotowongso yang segera berjalan meninggalkan ruangan itu.
Raut muka penyesalan terlihat di Wajah Sedo. Ia menyaksikan kedua makhluk menjijikkan itu melucuti baju indah yang dikenakan oleh Dirnaya hingga kulit mulusnya terlihat jelas di hadapan semua makhluk yang ada di situ.
“Hentikan… Mas… hentikan mereka” Tangis Dirnaya sembari menatap Sedo dengan air matanya yang terus menetes.
Sedo berusaha memberontak namun kekuatan makhluk yang menjaganya membuatnya tidak berkutik.
Kini Sedo melihat di depan matanya, Seseorang yang selama ini selalu ia jaga kehormatanya tubuhnya dipermainkan oleh kedua makhluk itu. Tidak satupun bagian tubuh Dirnaya lolos dari jilatan makhkuk menjijkan itu.
kuku-kuku mereka yang tajam sesekali melukai kulit indah Dirnaya dengan penuh nafsu.
Tak cukup sampai disitu, kedua makhluk itu membawa Dirnaya ke hadapan Sedo , dan menyetubuhinya dengan tanpa belas kasihan tepat di hadapan mata sedo.
Sedo menangis sejadi-jadinya melihat perlakuan mereka pada Dirnaya. apalagi setiap Dirnaya melawan, makhluk itu tak segan-segan menghantamkan pukulan hingga membuat Dirnaya tersungkur di tanah.
“Yang akan kamu dapatkan akan jauh lebih banyak dari yang kamu berikan…”
Terdengar suara wanita berbisik di kuping Sedo, entah itu suara siapa. Namun ucapanya itu membuat Sedo berfikir apa saja yang akan ia dapatkan setelah semua kejadian ini.
Sedopun membunuh perasaanya dan menatap Dirnaya yang sedang dinikmati makhluk-makhluk itu dengan tatapan yang kosong.
Hampir setengah malam Sedo menyaksikan tontonan mengerikan itu hingga akhirnya suara pintu terbuka dan seseorang masuk ke dalam ruangan itu.
“Bagus… sekarang Ratu sudah bersedia menemuimu” Ucap Ki Brotowongso yang menjemput Sedo untuk ke ruangan lainya.
Tepat sebelum keluar dari ruangan, Sedo menoleh kembali ke arah Dirnaya dan melihat beberapa makhluk menjijikkan mulai berdatangan lagi dan bersiap menikmati tubuh Dirnaya.
“Ratu sangat pencemburu… ia tidak suka pengikutnya memiliki perasaan setia lebih dari dirinya” Jelas Ki Brotowongso.
“Sudah temui sendiri beliau..”
Ki Brotowongso mengantarkan Sedo ke sebuah pintu megah dan menyuruh Sedo masuk ke dalam.
Sebuah ruangan yang sangat megah, berbagai hiasan emas menghiasi setiap sudut ruangan ini. Ditengah-tengahnya terdapat sebuah kasur bersar yang ditutupi kelambu.
“Kamu yang bernama Sedo…” Ucap sosok wanita yang teramat cantik yang terduduk dibalik kelambu itu. Sangat cantik,
namun kekuatan yang memancar dari dirinya menandakan dia merupakan penguasa keraton ini.
“I—iya Ratu… “ Jawab Sedo yang tanpa sadar segera berlutut menghadap sosok penuh wibawa itu.
“Tidak usah takut… sekarang kemarilah dan temani saya” Ucap Ratu yang segera dipatuhi oleh Sedo.
Sedo memasuki balik kelambu itu dan melihat sosok perempuan yang sangt rupawan. Sedo gemetar tak mampu berfikir harus berbuat apa.
Namun sang ratu dengan anggunya menyentuh pipi sedo dan mencumbu bibirnya. Seketika Sedo tebakar oleh nafsu dan tergiur dengan keindahan tubuh Ratu.
Sama sekali tak pernah Sedo bayangkan, Sedo menyetubuhi sosok yang paling indah yang pernah ia lihat seumur hidupnya.
Ia tidak lagi teringat tentang nasib Dirnaya di ruangan lain dan terus menikmati malam itu bersama Ratu hingga terlelap. Anehnya di alam mimpinya ia tidak merasa berada di sebuah kamar,
melainkan berada di sebuah rawa bersama seekor ular besar yang melilitnya dan memakan sedikit demi sedikit bagian tubuhnya.
Saat terbangun Sedo tiba-tiba sudah berada di salah satu ruangan di kediaman Ki Brotowongso.
Sebuah perubahan terjadi pada dirinya tatapanya berubah lebih tajam. Dengan menutup matanya ia bisa merasakan apa yang akan terjadi denganya di beberapa saat kedepan. Kekuatan hitam seolah meluap dari dalam dirinya. Ia seperti bisa membuat siapa saja patuh dengan kekuatan ini.
Tak berapa lama setelah mengagumi dirinya suara pintu kamar terbuka. Ki Brotowongso masuk dengan wajah tersenyum.
“Sekarang apa kamu puas?” Tanya Ki Brotowongso.
“I—Iya Ki, ini sangat luar biasa..“ Jawab Sedo Kagum.
“Aku pernah bilang.. Semua yang kau inginkan pasti kau dapatkan, Ratu tidak akan mengecewakanmu” Lanjut Ki Brotowongso sambil menunjukkan seseorang yang menyusulnya dari belakang.
“Dirnaya!” Ucap Sedo.
Terlihat Dirnaya memasuki ruangan dengan wujud yang anggun. Tidak ada sedikitpun cacat di tubuhnya. Kulitnya terlihat lebih cerah dan menawan dengan kecantikan yang berlipat-lipat dibanding sebelumnya.
Seketika Sedo melompat dari tempat tidurnya dan memeluk Dirnaya yang dibalas dengan penuh kehangatan. Sedo merasa senang dan membawanya masuk ke kamar sementara Ki Brotowongso meninggalkan mereka berdua.
Sedo melampiaskan rindunya pada Dirnaya sepanjang hari. Tetapi Sedo juga merasa sedikit ada kejanggalan. Dirnaya saat ini menjadi sangat penurut , mematuhi setiap perintah Sedo tapa ada kehendak melawan.
“Sudah mau pergi?” Tanya Ki Brotowongso yang melihat Sedo dan Dirnaya meninggalkan kamarnya.
Sedo tidak menjawab dan terus melangkah meninggalkan bangunan Ki Brotowongso.
“Apa maksud sikapmu itu?” Tanya Ki Brotowongso yang segera menghampiri mereka.
Sedo membalikan badanya memancarkan kekuatan hitam dari tubuhnya dan mencekik tubuh kakek tua itu dengan kekuatan yang ia dapat dari Ratu.
“Saya sudah tidak membutuhkanmu lagi!” Ucap Sedo yang bersiap membunuh Ki Brotowongso.
Ki Brotowongso terlihat tak berdaya, ia hanya menatap Sedo yang sudah memiliki kekuatan dari ratu. Namun ternyata Ki Brotowongso tersenyum.
“Bagus.. sudah punya keberanian sekarang?” Ucap Ki Brotowongso.
Seketika sesosok makhluk besar menghantamkan tubuh Sedo hingga keluar. Tak hanya satu.. Ki Brotowongso diikuti sosok Buto dari berbagai ukuran.
“Butuh beratus-ratus tahun lagi bagimu untuk melawanku.. “ Ucapnya lagi. Ki Brotowongso menatap wajah sedo dan seketika Sedo merasa kesakitan tanpa sebab dengan pembuluh darahnya yang terlihat disekitar wajahnya.
“Sudah Ki!! Ampun!!” Teriak Sedo, Namun Ki Brotowongso belum puas , ia terus menyiksa sedo hingga cairan hitam kelluar dari matadan telinganya.
“Ampun ki!!” Teriak Sedo dengan nada yang memelas.
Merasa sudah memberi cukup pelajaran. Ki Brotowongsopun menghentikan seranganya pada Sedo.
“Kau pikir bisa seenaknya dengan kekuatanmu?! Aku menjadikanmu bagian dari kami tidak dengan cuma-Cuma!” Ucap Ki Brotowongso sambil menunjuk Sedo dengan penuh emosi.
“Sebagai bagian dari Trah Brotowongso Kau harus membawakan tumbal setiap bulan purnama ke tempat ini, Mengerti?!” Teriak Ki Brotowongso
“B—baik Ki”, ucap Sedo yang sangat ketakutan dengan perbedaan kekuatan mereka.
Ki Brotowongso tersenyum.
“Sebaiknya kau mencari yang banyak untuk dirimu juga… “
“Maksudnya untuk apa ki?” Tanya Sedo.
“Nanti kamu akan mengerti dengan sendririnya” Tutup Ki Brotowongso yang segera kembali ke kediamanya.
Hari semakin berlalu.. seluruh hal yang diinginkan Sedo pasti terpenuhi. Kini tidak hanya Dirnaya yang menjadi istri Sedo, belasan selir sudah ia miliki baik yang ia dapat dengan cara memaksa atau ia temukan sendiri.
Harta yang melimpah akan selalu memenuhi peti hartanya yang tidak pernah habis. Kekuatan yang ia miliki membuatnya ditakuti oleh orang-orang sakti di sekitarnya.
Setiap bulan purnama Sedo selalu mengirim seseorang yang akan menjadi tumbal ke Kediaman Ki Brotowongso. Hampir sebagian tumbalnya diambil dari orang-orang di sekitarnya.
Setelah begitu banyaknya orang hilang warga di sekitar Sedo cemas hingga meminta pertolongan ke Damar dan Andara yang sebelumnya merupakan Adik Sedo.
Merasa kasihan dengan warga, Damar dan Andara datang ke kediaman Sedo yang begitu mewah sekedar untuk berbicara denganya.
Tentunya dengan memawa mustika pemberian Mbah Sarjo.
Mendengar kedatangan Damar, Sedo dengan penuh semangat bersiap untuk membunuhnya dengan kemampuan yang ia miliki sekarang. Namun kenyataanya berbeda. Dihadapan mustika yang dikenakan Andara ,
Sedo tidak mampu menggunakan kekuatanya. Ia kembali menjadi Anjing yang patuh pada tuanya.
“Bahkan kekuatan dari ratu tidak mampu melawan mustika itu?” Tanya Sedo Dalam hati.
“Hentikan semua perbuatanmu, tidak ada lagi manusia yang boleh kamu tumbalkan!” Perintah Andara.
Dalam pengaruh mustika Itu Sedo menyetujui permintaan Andara, namun dalam hatinya ia masih mencari cara untuk mengalahkan adiknya itu.
Kejadian itu berhasil membuat Sedo berhenti mencari tumbal untuk Ki Brotowongso.
Nama Trah Darmowiloyopun dianggap sebagai pahlawan dan disegani oleh warga hingga Damar dan Andara memiliki keturunan dan mewariskan pusakanya itu ke anak-anaknya.
Sedo yang juga sudah berumur dipanggil oleh Ki Brotowongso.
Ia menuntut tumbal yang sudah bertahun-tahun tidak ia kirimkan. Sedo menceritakan semuanya dan membuat Ki Brotowongso murka. Namun selama memiliki mustika itu, mereka tidak mungkin bisa menyentuh Trah Darmowiloyo.
Sedo sudah ikhlas jika harus mati saat itu di tangan ki Brotowongso.
“Mati? Jangan konyol! Kau pikir apa yang terjadi pada kita apabila kita Abdi lelembut mati?” Tanya Ki Sedo.
Saat itu Sedo merasa kaget dan menatap Ki Brotowongso.
“Semua kekuatan,kekayaan, dan kejayaan yang kamu terima akan dibayar setelah kamu mati! Jiwa kita akan merasakan semua siksaan dari iblis-iblis itu tanpa ampun.” Ucap Ki Brotowongso dengan wajah yang menyesal.
“Semua kekuatan,kekayaan, dan kejayaan yang kamu terima akan dibayar setelah kamu mati! Jiwa kita akan merasakan semua siksaan dari iblis-iblis itu tanpa ampun.” Ucap Ki Brotowongso dengan wajah yang menyesal.
“Itu semua tidak hanya sementara… jiwa kita sudah dijanjikan untuk di neraka! Selamanya Sedo!”
Saat itu Sedo merasa ketakutan. Ia tidak pernah mengira bayaran atas pengabdianya pada iblis akan dibayar setelah ia mati.
Ia pikir semua orang yang ia bunuh, tumbal, Dirnaya adalah bayaran atas apa yang ia minta. Ternyata itu hanyalah syarat untuk menunjukan keseriusanya.
“Ki!! Terus kita harus gimana ki? “ Ucap Sedo dengan mata yang dipenuhi air mata ketika mengetahui Neraka sudah dijanjikan untuk mereka ketika mereka mati.”
“Tumbal yang kuminta itu adalah syarat untuk membuatku tetap hidup… aku belum siap menghadapi neraka, dan tidak akan pernah siap” Jelasnya.
“Aku akan terus mencari cara untuk hidup apapun caranya”
Sedo akhirnya mengerti perkataan Ki Brotowongso saat dulu meninggalkan kediaman ini. Rupanya Ki Brotowongso takut akan apa yang ia hadapi saat mati nanti. Saat ini ketakutan itu dirasakan juga oleh Sedo.
“Bawalah beberapa ingon Brotowongso, cari cara untuk terus hidup.. jika kamu tidak mampu mencarikan tumbal. Mereka bisa!” jelas Ki Brotowongso dan Sedopun mengikuti perintah Ki Brotowongso.
Damar dan Andara yang semakin tua akhirnya menginggal dengan tenang. Anak-anaknya tumbuh besar dan membentuk Trah Darmowiloyo yang sangat disegani banyak orang.
Sayangnya kebaikan leluhurnya tidak menurun ke sebagian dari mereka. Kemampuan yang mereka miliki membuat mereka merasa diatas segalanya.
Sedo yang merasa iri dengan mereka sesekali mengirimkan teluh dan membunuh bayi dari keluarga Darmowiloyo tanpa tujuan yang jelas. Saat ini ia sudah semakin tua, Dirnayapun sudah mati meninggalkanya. Ia hidup dengan mempersembahkan tumbal pada Ratu untuk memperpanjang umurnya.
Raden Jarga Darmowiloyo, salah satu cucu dari Damar dan Andara. dialah yang pertama kali menyadari keanehan ini dan berhasil menemukan bahwa bayi-bayi yang mati itu adalah ulah Sedo.
Ia membawa pusaka cincin bermata hitam untuk melawan Sedo dan mustika Andara yang dikenakan Istrinya.
Sedo yang mengetahui hal itu mencari cara untuk memisahkan mereka berdua dan menghadapi Raden Jarga sendiri.
Cincin pusaka damar telah diisi olehnya dan menjadi kediaman ingon yang Raden Jarga dapat dari perjalana spiritualnya.
Ingon berwujud kesatria kerajaan miliknya berhasil mengimbangi buto yang dibawa Sedo. Namun Sedo sama sekali tidak gentar.
Tanpa adanya mustika Andara, Sedo sangat percaya diri menghadapi Raden Jarga.
“Akhirnya aku bisa balas dendam dengan keturunan Damar..” Ucap Sedo dengan tawa yang tresengal-sengal.
“Jangan sombong.. peliharaanmutu bahkan belum mampu menjatuhkan ingonku” Tantang Raden Jarga.
Dengan sekali tatap ingon yang dibawa raden jara segera terbakar dan menghilang bersama dengan nyala api. Hal ini memnbuat Raden Jarga menjadi panik. Ia merapalkan ilmu yang ia miliki, namun itu semua sia-sia.
Sedo memerintahkan Butonya untuk menyerang Raden Jarga hingga tidak berdaya. Tubuhnya bergelimang darah namun Sedo enggan menghabisinya.
“Bunuh! Bunuh saja saya!” Ucap Raden Jarga dengan suara yang hampir hilang.
“Kekuatan pusakamu itu tidak akan mampu melawan abdi dalem sepertiku… membunuhmu hanya akan menghilangkan kesenangan, aku lebih suka membunuh keturunan kalian satu persatu dan menyaksikan keputus asaan kalian” Jawab Sedo.
Sedopun memerintahkan anak buahnya untuk melucuti pakaian Raden Jarga dan membuangnya yang sudah tidak berdaya di tengah keramaian pasar untuk menghinanya. Di satu sisi istrinya juga tidak pernah kembali setelah dipisahkan oleh Sedo.
Penghinaan yang diterima Raden Jarga tidak berhenti sampai di situ, besoknya iya mendapat kabar bahwa istrinya ditemukan mengambang di sungai tanpa sehelai pakainpun dalam kondisi tidak bernyawa.
Mustika Andarapun sudah menghilang, di sinilah Raden Jarga merasakan ada pengkhianat diantara Trah Darmowiloyo. Itu karena tidak ada yang bisa menggunakan atau merebut mustika itu selain mereka yang memiliki darah Darmowiloyo.
Dibakar dendam yang kian mendalam, Raden Jarga mencari cara untuk membalaskan perbuatan Sedo yang merupakan bagian dari Trah Brotowongso.
Kini ia tidak mempercayai saudara-saudaranya dan memilih mencari keberadaan sosok yang bisa memberikan kekuatan kepadanya untuk menyaingi kekuatan Sedo.
Perjalanan membawa Raden Jarga sampai tengah hutan dimana orang mengetahui tempat itu sebagai kerajaan demit.
Raden Jarga memilih untuk mengabdikan dirinya pada keraton itu hingga mendapat kekuatan seperti yang dimiliki Sedo.
Membalas perbuatan Sedo, Raden Jarga membantai keturunan-keturunan Brotowongso yang berhasil ia temui.
Perang antar ilmu hitam antar kedua trah terjadi hingga memakan banyak korban.
Permusuhan antar trah ini berlanjut turun temurun hingga mereka berebut mencari tumbal dan kekayaan untuk mendapatkan kekuatan melawan musuhnya masing-masing.
Mustika Andarapun ditemui dimiliki oleh salah satu keturunan Darmowiloyo yang lain yang menyebabkan orang itu ditunjuk untuk menjadi pemimpin Trah karena bisa menahan gempuran ilmu hitam Sedo dan keturunanya.
Saat keaadaan mulai aman, Sebagian dari mereka yang mulai sadar memilih untuk mengasingkan diri dan mencari cara untuk bertobat. Sementara sebagian masih menikmati kekuatan yang mereka miliki untuk memenuhi hasrat mereka masing-masing.

***
// Sarapan dulu sebentar, nati lanjut upload lagi..
“Leluhur?” Tanya Nyi Sendang Rangu.
“Iya Nyi.. mantra itu hanya bisa menghubungkan kami dengan leluhur kami dengan perantaraan keris Ragasukma” Jelas Paklek.

Nyi Sendang Rangu tertawa kecil dengan wajahnya yang manis.
“Lah, kalian ini manusia atau Jin.. kenapa bisa ngira kalau saya ini leluhur kalian?
Saya ini bangsa Jin buka Roh manusia yang belum tenang” Jelasnya.

“Lantas kenapa Nyi Sendang Rangu bisa hadir dengan mantra ini..” Tanyaku.
Nyi Sendang Rangu kini berganti menghampiriku dan mulai menceritakan sesuatu.

“Untuk menyempurnakan mantra ini dulu leluhurmu Widarpa Dayu Sambara melakukan semedi di tengah sendang, jauh sebelum Sendang Rangu terbentuk.
Saat itu ia mencari berbagai cara untuk melindungi keturunanya. Widarpa Sadar, Ajian segoro demit miliknya membuatnya tidak dapat mendekat ke orang-orang yang ia sayangi.
Sesekali ia menghampiri anak dan istrinya dan memantaunya dari Jauh. Namun ia tidak berani mendekat karena takut tiba-tiba ilmunya menguasai mereka dan menyakiti mereka.
Melihat tingkahnya itu aku sang penunggu sendang tertarik denganya. Sekali aku mencoba menggodanya, namun cintanya pada istrinya yang bernama Nyai Suratmi benar-benar tidak tergoyahkan.
Saat ia mengamuk dikuasai ajian segoro demit, aku mengirimkan hujan dari sendangku yang bisa menahan kekuatan jahat yang menguasainya.
Hal ini terus berulang-ulang selama bertahun-tahun hingga ia menemukan Mantra itu.

Dengan gaya lucunya nyang khas, Widarpa dengan malu-malu meminta bantuanku untuk menyempurnakan keris Rogosukmo yang dimiliki Daryana menggunakan air dari sendangku.
Tujuanya untuk menghubungkan rohnya dan keturunanya yang belum tenang dengan keturunanya yang masih hidup.
Di satu sisi, ia bisa membantu keturunanya yang masih hidup, di sisi lainya keturunanya bisa membantlu leluhurnya yang belum tenang.
Tiap rintikan hujan yang menetes di setiap kemunculan Widarpa dan Daryana adalah tetesan air dari Sendang tempatku bertemu dengan Widarpa dulu, itu lah yang menghubungkanku dengan mantra ini”
Entah mengapa aku tersenyum-senyum sendiri mendengar cerita nyi sendang rangu.
“Kenapa Danan? Kok ketawa-ketawa sendiri?” Tanya Cahyo.

“Seneng aku Cahyo.. ternyata di pengasinganya Eyang Widarpa nggak sendirian. Ada Nyi sendang rangu yang nemenin” Jawabku.

Nyi Sendang Rangu kembali tersenyum.
“Namun peranku hanya sampai di situ.. Widarpa memutuskan untuk bertemu terakhir kalinya dengan Daryana dan menurunkan Mantra itu padanya.
Setelahnya ia mengembara hingga kembali mengakhiri hayatnya di tempat yang sekarang disebut dengan nama Alas Mayit” Lanjut Nyi sendang Rangu.
“Lalu bagaimana Nyi Sendang Rangu bisa memiliki hubungan dengan Darmowiloyo?” Tanya Mas Jagad yang juga penasaran.
“Aku tidak pernah mengabdi pada Trah Darmowiloyo… namun leluhur mereka Mbah Sarjo dan keluarganya mengabdikan diri untuk melindungi tempatku berasal. Longsor besar menghancurkan satu desa, dan mereka yang membangun desa itu dengan menggantungkan hidup dari Mata airku..
Ketulusanya membuatku ingin hidup bersama mereka.
Aku memastikan tidak ada bencana atau ilmu hitam yang akan menyakiti mereka.
Sampai suatu ketika keturunan mereka termakan oleh nafsu duniawi dan saling membunuh.
Mbah Sarjo sampai mengorbankan dirinya untuk menyelamatkan mereka.Itulah saat terakhir aku membantu Damar dan Andara menentukan takdir mereka sendiri dengan membawa nama Trah Darmowiloyo. Sayangnya, kebaikan mereka tidak menurun ke keturunanya”
Aku menoleh pada Nyai Kanjeng dan Raden Anjar yang menunduk, sepertinya mereka menerima teguran dari Nyi Sendang Rangu secara tidak langsung.
Nyai Kanjeng mengumpulkan keberanianya. Ia mendekat ke arah Nyi Sendang Rangu dan seketika berlutut.
“Saya mengakui semua dosa saya Nyi.. namun saya mohon, lindungi Tika. Setidaknya saya bisa memberikan hidup yang tenang untuknya setelah semua perbuatan saya” Ucap Nyai Kanjeng.
Ucapan itu membuat Nyis Sendang Rangu menoleh kepada Nyai Kanjeng. Seketika Wajahnya berubah menjadi menyeramkan wajahnya menghitam dengan urat yang menguning menatap Nyai Kanjeng.
“Tika sudah dalam perlindungan saya… Sekarang kamu sudah bisa mati!” Balas Nyi Sendang dengan suara yang mengerikan.
“T—tunggu Nyi, sabar… jangan galak-galak” Ucap Cahyo dengan polosnya.
Nyi sendang rangu merespon ucapan Cahyo, namun ia lebih tertarik dengan Nenek leluhur nyai kanjeng ini yang pernah menyandang nama Nyai Betari itu. ia menatapnya dengan tatapan sedih, namun wajahnya tidak berubah seperti saat berhadapan dengan Nyai Kanjeng.
“Dosa leluhurmu membuatmu mengambil jalan ini… ikutlah aku ke sendang rangu, Kamu bisa beristirahat di sana dengan tenang dan memurnikan dosa-dosamu..” Tawar Nyi sedang rangu.
Nenek itu terlihat menitikan air mata, sepertinya pertemuan dengan Nyi Sendang Rangu adalah penantian yang ia tunggu semasa hidupnya. Ia berlutut berterima kasih namun Nyi Sendang Rangu menahanya.
“Jangan pernah berlutut pada sosok jin apapun wujudnya, kami tidak sebanding dengan Yang Maha Pencipta yang berhak mengampuni dosa-dosamu” Jawab Nyi sendang Rangu.
“Baik Nyai.. Sekarang saya sudah siap…” Ucap Mbah sambil menitikkan air mata haru.
Nyi Sendang Rangu mengibaskan selendangnya dan seketika Mbah kehilangan kesadaran. Rangkaian doa kami bacakan untuk mengantar kepergianya.
“Aku akan menyusul kalian setelah mengantarkan Roh Yati dan Mbah Betri ke sendang..” Pamit Nyi Rendang Rangu yang segera menghilang bersama rintikan hujan yang mengiringinya.
Dengan Singkat kami menguburkan jasad Mbah Nyai Betari dan kembali ke jalur kami menuju Mess kembali dengan ‘helikopter darat’ milik Mas Jagad.
Kali ini mess terlihat sangar berdebu seperti tidak terurus.
Tidak ada lagi penduduk yang menghampiri tempat ini namun sekali lagi aku merasakan perbedaan energi saat memasuki bangunan ini.
“Paklek… paklek ngerasain juga?” Tanyaku.
Paklek mengangguk.
Nyai Kanjeng dan Raden Anjar terlihat ragu saat memasuki mess ini, namun saat melihat Tika dan Ajeng, mereka memutuskan untuk masuk ke tempat yang sebelumnya mereka anggap menjijikan itu.
Aku memperhatikan Nyai Kanjeng yang melangkah ke atas dan menatap kamar di lantai atas dengan tubuh yang bergetar. Ia melihat kamar itu, kamar tempat ia menyimpan jasad anaknya yang ia kira masih hidup. Sekali lagi air matanya menetes.
Ia seperti sudah menyadari kesalahanya sepenuhnya.
Aku dan Cahyo yang tahu jelas kejadian itu tidak mampu berkata apa-apa. Nyai Kanjeng mengusap air matanya dan kembali turun ke bawah.
“Mas Danan, Mas Cahyo.. Terima kasih, saya bertemu kalian sebelum semuanya jauh terlambat” Ucap Nyai Kanjeng pada kami.
Aku dan Cahyo saling menatap dan tersenyum sambil melanjutkan membereskan ruangan ini seadanya, sementara yang lain membersihkan Kamar yang dulu digunakan oleh Yanto saat terjebak di tempat ini.
“Ini.. di irit-irit, kita tidak tahu akan berapa lama kita di tempat ini” Ucap Mas Jagad yang menurunkan dua dus yang kuduga berisi makanan instan dan keperluan logistik.
“Matur suwun mas.. sebenernya kami juga bawa, tapi mobilnya masih ketinggalan di mulut hutan tadi” Ucap Pak Gito Sungkan.
“Sama-sama, udah tenang aja…” Jawab Mas Jagad sambil menepuk pundak Mas Gito.
Setelah berdiam beberapa saat Tika berlari ke salah satu ruang di belakang. Ia seperti mengutak atik sesuatu , setelahnya terdengar suara air yang mengalir dan benda yang bersuara seperti genset.
Seketika bangunan ini menjadi lebih terang walau hanya dengan lampu bohlam sederhana berwarna oranye.
“Kok kamu tau seluk beluk bangunan ini Tika? “ Tanya Dirga.
“Tika inget… dulu Tika, eh.. Ningsih yang sering disuruh masuk ke tempat ini untuk beres-beres dan…” Ucapnya terputus.
“Dan menyiramkan darah ke jasad di lantai atas…”
Tika tertunduk dan terlihat gemetar saat ingat kejadian itu, namun Ajeng yang ada di sebelahnya merangkulnya bahunya layaknya seorang kakak yang menjaga adiknya.
“Nahhh Gitu donk! Tika Keren! Liat tuh paklek dari tadi masih berusaha nyalain api ke kayu bakar dari luar..
udah tau tadi hujan” Ucap Cahyo.
“Heh enak aja… namanya juga usaha” Balas Paklek dengan sedikit malu. Saat ini kami merasa tempat ini cukup aman. Tidak ada satupun serangan yang mendekat .
Namun kami tidak tahu ini semua karena tempat ini atau memang karena musuh kami sedang mengumpulkan kekuatan.
“Raden Sarwo Kusumo, bukanya mereka juga keluarga Nyai Kanjeng? Tapi kenapa mereka seperti terlihat membenci Nyai Kanjeng?” Tanya Dirga sambil mengantarkan minuman hangat yang baru saja ia buat ke tengah-tengah kami.
“Dulu Mustika dan cincin pusaka Darmowiloyo dimiliki oleh leluhur Raden Sarwo Kusumo.. namun ia dijebak oleh Sedo Brotowongso. Istrinya yang mengenakan mustika Andara dibunuh dan mustika itu hilang..
Hal itu membuatnya menganggap ada pengkhianat diantara Trah Darmowiloyo yang membuatnya hampir tidak mempercayai saudaranya” Jelas nyai kanjeng.
“Hehe… rumit juga ya malah keluarga Nyai Kanjeng, Dirga nggak jadi nanya deh” Lanjut Dirga.
Ini sudah malam hari , namun tidak ada tanda-tanda serangan ilmu hitam ataupun kemunculan makhluk ghaib hingga kami memutuskan membiarkan sebagian dari kami untuk beristirahat dan berjaga bergantian.
Aku mengecek lagi lewat jendela, memang tidak terlihat apapun di luar. Namun instingku merasakan ada yang aneh.
Sebelum aku kembali, akupun mencoba memastikan keluar.
Dan Benar.. Tepat saat aku membuka pintu dan melangkahkan kaki meninggalkan rumah ini.
semua pemandangan di luar tidak seperti yang terlihat dari dalam.
Banaspati melayang-layang di antara bangunan ini. Siluman ular berbadan manusia sudah mengintai kami disudut-sudut pohon. Roh makhluk wanita yang melayang-layang mengintai ke setiap sisi bangunan itu.
dan semua makhluk itu dipimpin oleh sepasang makluk raksasa persis seperti yang menghampiri rumah Raden Anjar.
“C—Cahyo! Paklek! Ke sini!” Teriakku yang merasa Gentar melihat semua serangan ini.
Cahyo dan Paklek Segera berlari menghampiriku, seketika ekspresi mereka berubah serupa denganku.
“Mereka! Mereka yang menggagalkanku mendapatkan seratus tumbal mereka dari trah sambara dan satu lagi dari trah Rojobedes!” Ucap seseorang yang muncul dari dalam kegelapan.
Dia adalah Dukun yang menipu nyai kanjeng. Walau dia lemah Aku memang sudah menduga kalau dia dilindungi oleh sosok yang kuat.
“Nan… Rojobedes nan” Bisik Cahyo.
Aku sedikit menahan ketawa.
“Iki Serius lho… jangan bercanda” Balasku pada Cahyo.
Mendengar keramaian di luar, Jagadpun menyusul kami dan sepertinya ia sudah menduga apa yang terjadi. Dirga diperintahkan untuk tetap di dalam menjaga yang lain.
“Wis.. coba kita hadapi! Toh cepat atau lambat kita akan menghadapi mereka juga kan” Ucap Paklek.
Aku mengangguk dan menghampiri dukun itu yang ternyata tidak sendiri. Seorang kakek tua ada di belakangnya. Tepat saat kemunculanya kekuatan yang besar menyapu sekitar kami. rasa merinding tidak dapat kami hindari.
“Mbah Sedo… “ Dukun itu menunduk menyambut kehadiran seseorang yang disebut dengan nama Mbah Sedo.
Tua, sangat tua… tubuhnya terlihat renta, namun hawa hidupnya masih sangat besar seolah bukan tubuh fisiknya lagilah yang menyangga kehidupanya.
Ia hanya memakai baju seadanya dengan berbagai jimat terikat di lehernya.
“Jangan habisi mereka… habisi dulu orang-orang terdekatnya” Perintah Mbah Sedo pada dukun itu.
“Kehkehekhe…” Dukun itu tertawa terkekeh mengerti dengna perintah tuanya itu.
Ia menerima dua buah pusaka berbentuk batu hitam dari Mbah Sedo dan bersiap melemparkanya.
“Ini buah atas perbuatan kalian.. “ Dukun itu melempar benda itu ke udara dan sosok makhluk seperti ular besar melayang menuju dua tempat yang berbeda.
“Apa yang kalian Lakukan!”Tanyaku pada Dukun itu.
“Yang Satu ke desa Kandimaya menemui sinden cantik , dan yang satu ke desa di belakang pabrik gula menemui istri seseorang… dan mereka akan menjadi mayat!” Jawab dukun intu sambil terkekeh.
“Beraninya kalian! “ Ucap Mas Jagad yang menyadari bahwa kedua tempat itu adalah kediaman Bulek dan Ibuku. Namun aku menahan mas jagad dan memintanya untuk tetap tenang.
“Tapi mereka dalam bahaya!” Mas Jagad terlihat panik.
“Sudah tenang dulu, kita fokus dengan yang ada di hadapan kita.” Potong Paklek.
“Kalian tidak usah sok tenang… sebentar lagi mereka akan menjadi mayat dan menjadi makanan ingon kami” Lanjut dukun itu dengan puas.
Tak mengunggu berapa lama, tiba-tiba dukun itu terhentak dan memuntahkan darah hitam dari mulutnya.
“K—kenapa? Ini kenapa?” Dukun itu terlihat panik.
“Apa yang kau ikat dengan kedua ingon yang kau perintahkan agar mereka patuh?” Tanyaku tenang.
“Nyawanya…” Seseorang yang dipanggil Mbah Sedo itu yang menjawab pertanyaanku dengan tenang sementara dukun itu kesakitan.
“Mbah… mereka kalah! Ada sesuatu yang menjaga orang-orang itu!” Ucap dukun itu.
Aku menarik nafas lega, Cahyopun tersenyum dan maju menghampiriku. Rupanya Yang Maha Kuasa juga melindungi Ibu dan Bulek melalui “Mereka”.
“Kami hanya perlu khawatir kalau ingonmu sanggup mengalahkan salah satu monyet kembar alas wetan yang mampu memimpin pasukan ras kera hutan Wanamarta. Kenalan dulu.. namanya Kliwon” Ucap Cahyo.
Mendengar ucapan Cahyo, aku juga memperingatkan merea.
“Kami hanya perlu khawatir kalau ingonmu mampu menghancurkan bukit batu yang di jaga Buto lireng, sang raksasa pelindung bukit batu yang sudah disana selama ratusan tahun” Lanjutku.
Paklek terlihat tersenyum lega mengetahui hasil ini. Setelah ini aku harus berterima kasih pada Buto Lireng yang pasti dialah yang membantu Ibu dan warga desa Kandimaya dari serangan dukun itu.
“A—apa yang kalian berikan sampai ingon-ingon sekuat itu bisa patuh pada kalian?” ucap dukun itu.
Aku dan Cahyo saling menatap.
“Opo ya? Pisang Bu Darmi…” Jawab Cahyo dengan polos sambil menggaruk kepalanya.
“Nek aku opo yo? Ora tak kei opo-opo… paling nyeritain cerita wayang” (Kalau aku apa ya? nggak tak kasi apa-apa paling tak ceritain wayang) Tambahku.
“K--Kalian jangan bercanda…” Belum sempat menyelesaikan ucapanya dukun itu tiba-tiba terjatuh.
Sesuatu seperti kembali ke dalam tubuhnya. Itu adalah dua sosok ular raksasa yang ia utus untuk membunuh bulek dan Ibu.
Layaknya peliharaan buas yang gagal mendapat mangsanya, ular itu berbalik menyerang Dukun itu dan menggigiti tubuhnya.
Tanpa ampun ular-ular itu melilit tubuh renta itu hingga suara tulang yang remuk terdengar sampai ke telinga kami.
Aku sedikit memicingkan mata dan menjauhkan telingaku berusaha untuk tidak mendengar dan tidak melihat kejadian mengerikan itu.
“T—tolong mbah..” Pinta dukun itu namun Mbah Sedo seperti tidak peduli. Tak lama setelahnya darah hitam dukun itu bermuncratan dari dalam lilitan ingon ular kembar yang menghabisi dukun itu dengan beringas.
“Paklek.. ada roh yang kami tenangkan bilang supaya kita berhati-hati sama mereka yang berdarah hitam. Katanya mereka sudah tidak dianggap sebagai manusia lagi” Tanyaku pada paklek.
“Entah Nan.. Paklek juga nggak tahu. Tetap ikuti nuranimu” Ucap Paklek.
Mbah Sedo Brotowongso, dia adalah sosok yang diceritakan Nyai Kanjeng dan Nyi sendang Rangu sebagai sosok manusia yang sudah hidup ratusan tahun. Kekuatanya sama sekali tak terukur.
“Bagaimana kalau kalian juga jadi Abdi seperti saya.. kalian tidak akan dihormati dan mendapat kekayaan yang melimpah” Ucap Mbah Sedo.
Tak satupun dari kami yang bergeming.
“Kau sudah tahu jawabanya” Jawab Cahyo.
Baru saja Cahyo selesai berbicara tiba-tiba sosok Mbah Sedo sudah ada dibelakang kami.
“Ya sudah , kalau begitu mati saja…” ucapnya sambil bersiap menusukkan keris ke tubuh Cahyo namun Mas Jagad dengan cekatan menahanya dengan kerisnya.
Kami selamat, namun keris Mas jagad yang ia gunakan untuk menahan serangan Mbah Sedo pecah berkeping-keping.
Cahyo yang melihat keadaan itu segera menarik sarungnya, membacakan ajian penguat raga dan mencoba menyerang tubuh Mbah Sedo.
Sayangya malah Cahyo yang terpental dengan kekuatan yang memancar dari tubuh Mbah Sedo.
Serangan Cahyo memberiku kesempatan untukku menarik keris Ragasukma dan menahan serangan Mbah Sedo berikutnya.
Sebuah ledakan energi terjadi dari dua keris pusaka yang beradu hingga membuat jarak diantara kami.
“Jagad, itu keris opo to? Kok sekali serang udah hancur” Tanya paklek.
“Lha kan aku beda sama kalian yang dapet warisan Pusaka, kerisku tak cari sendiri..” Jawabnya.
“Lha iya.. nyari dimana?”Tanya paklek.
“Pasar Klitikan..” Jawab Mas Jagad dengan malu.
“Yowis… di dalem aja jagain yang lain, daripada kenapa-kenapa” Perintah Paklek.
Aku yang mengingat kekuatan Mas Jagad saat di rumah Raden Anjar terpikirkan sebuah ide agar mas jagad bisa ikut bertarung
“Jangan! Mas Jagad ikut saya! Cahyo Paklek.. tahan mereka sebentar..”
Aku segera menarik menjaga mas jagad masuk kedalam Mess sementara Cahyo dan Paklek setuju menahan Mbah Sedo.
“Dirga!” Teriakku.
“Kenapa mas?” Sahut Dirga yang segera menghampiri kami.
“Keris mas jagad rusak…” Ucapku. Dirga bersiap mengambil kerisnya namun aku menahanya.
“Percuma.. kesaktian keris itu hanya bisa digunakan olehmu. Tolong jaga ragaku.. jika terjadi sesuatu segera tarik sukmaku!” Perintahku yang segera disetujui oleh Dirga.
Keris Ragasukma memiliki dua wujud, wujud fisik dan wujud ghaib.
Dengan ini Mas Jagad bisa menggunakan wujud fisik keris Ragasukma.
Saat itu juga Mas Jagad mengerti maksudku. Ia mengambil Keris dari ragaku dan kami kembali bersiap keluar lagi untuk membantu Paklek.
Tepat saat keluar dari mess sebuah pemandangan yang jarang terjadi terlihat di hadapan kami.

“Paklek awas, ekor ularnya di belakang!” Teriak Cahyo ayang segera direspon oleh sapuan kaki paklek ke arah ekor ular yang akan menyerangnya.
“Jangan tahan kerisnya! Tahan tanganya jul!” Perintah Paklek yang segera direspon Cahyo dengan memukul lengan Mbah Sedo yang bersiap menyerangnya.
Layaknya sebuah tarian yang harmonis. Paklek dan Cahyo menghalau semua serangan yang mengarah kepada mereka dengan ilmu bela diri dan ilmu batin yang mereka latih sejak Cahyo kecil.
Tanpa pusaka.. Tanpa ingon..
tanpa bantuan Wanasura ataupun keris Sukmageni juga.
“Mereka hebat ya Nan.. suatu saat Dirga pasti akan sehebat kalian juga” Ucap Mas Jagad yang terkagum dengan ilmu mereka berdua.
Saat semakin banyak ingon Brotowongso yang ikut bertarung aku dan Mas jagad segera memasuki pertarungan dan menghabisi satu-persatu makhluk yang berada di sekitar kami.
“Ide bagus Danan!” Ucap Cahyo.
“Aku penasaran.. sekuat apa Mas Jagad kalau dia bertarung dengan pusaka yang sebenarnya” Ucapku.
Seolah merespon ucapanku Mas jagad mengambil posisi berhadapan dengan Mbah Sedo dan bersiap menerima seranganya.
Merasa kesal seranganya tidak ada yang berhasil melukai kami, Mbah Sedo seperti membacakan sebuah ajian yang membuat tanganya menghitam. Lenganya seperti berubah menjadi sisik ular dan bersiap menyerang kami.
“Awas… ada racun di serangan itu “ Teriak Paklek, tapi mas jagad terlihat begitu tenang. Ia membacakan sebuah mantra pada keris ragasukma yang membuatnya bercahaya, persis seperti yang digunakan Pendekar Daryana saat melatihku dulu.
Belum sempat menghunuskan serangan itu kepada kami cahaya keris ragasukma yang digenggam mas jagad sudah melesat lebih dulu menusuk jantung Mbah Sedo. Sebaliknya kini gantian mas jagad yang menerjang menebas lengan di hadapanya.
Seketika sebuah keris hitam terjatuh di tanah bersama lengan yang menggenggamnya.
“Brengsek! “ Mbah Sedo terlihat kesakitan dengan luka di jantungnya. Namun kami tahu serangan itu tidak cukup untuk membunuhnya.
“Keren mas jagad!” Teriak Cahyo. Akupun terkagum-kagum dengan serangan itu. namun tidak ada waktu untuk itu. berbagai ingon sudah bersiap mengincar kami. Paklek sudah bersiap dengan geni baralokanya…
setidaknya api itu bisa mengurangi sebagian makhluk yang berasal dari arwah manusia.
Mbah Sedo terlihat murka, ia menggunakan ilmu kekuatan untuk menghentikan pendarahan pada lenganya.
memungut kerisnya, dan menyelimuti tubuhnya dengan asap yang kuduga mengandung racun di dalamnya.
“Biar paklek saja! “ Ucap paklek yang merasa lebih mampu mengatasi permasalahan racun ghaib.
Tepat sebelum serangan mereka beradu tiba-tiba sebuah banaspati meledak dihadapan mereka bersama kehadiran sosok makhluk yang sangat ingin kami hindari. Ki Jaran Rundhra..
“Raden Sarwo Kusumo! Dia di sini! Kita mundur dulu..” Teriakku.
Saat itu juga kami berlari ke arah mess menjauhi Ingon Raden Sarwo Kusumo. Kami belum siap menghadapinya , ilmunya yang mampu membuat sukma kami terpisah membuat kami harus mencari strategi lain untuk melawanya.
“Hahaha… Raden Sarwo Kusumo, cucu Raden Jarga..” Ucap Mbah Sedo menyambut kedatangan Raden Sarwo Kusumo.
“Bagus kalian ada di sini... semua ilmuku ada untuk menghabisimu dan seluruh keluargamu!” Ucap Raden Sarwo Kusumo.
Tak butuh waktu lama, Seperti sudah menunggu saat ini ,Raden Sarwo Kusumo mencabut kerisnya dan menyerang Mbah Sedo. Kekuatan hitam saling bertemu dan beradu hingga beberapa kali tubuh mereka terpental.
Aku kembali ke ragaku, dan saat Dirga sadar ia segera berlari ke depan pintu menyaksikan apa yang terjadi di depan.
“Danan, kukembalikan dulu Kerismu..” Ucap Mas Jagad yang segera mencari tempat untuk duduk menyandarkan tubuhnya.
Sepertinya serangan tadi banyak menguras tenaganya.
“Paklek, dulu dari dalam kami bisa melihat kondisi di luar melalui jendela.. kenapa sekarang tidak bisa? Kira-kira paklek tahu?” Tanyaku.
“Paklek juga merasa ada yang aneh.. isi rumah ini yang dibatasi dinding kayu seperti berada di alam lain.. jauh berbeda dengan di luar sana” Jelas Paklek.
“Mungkin saat kamu ke sini dulu ada kekuatan yang mehubungkan kedua alam ini, namun sekarang karena kekuatan itu sudah menghilang hanya pintu ini satu-satunya yang menghubungkan alam di luar dan alam di dalam mess ini.
Cukup membingungkan, namun aku sedikit mengerti. Mungkin keberadaan sisi dalam rumah ini yang ternyata berada di alam lain membuat tempat ini tidak dapat diserang oleh ilmu hitam.
“Biar saya coba.. kalian beristirahatlah dulu” Ucap Mas Jagad yang sudah merasa sedikit pulih.
“Mas Jagad mau mencoba apa?” Tanya Cahyo.
“Saya coba hubungkan jendela bangunan ini untuk melihat keadaan di luar, mungkin di sini aman.. namun kita tidak tahu sampai kapan”Jelasnya.
“Mas Jagad bisa ? “ Tanyaku.
“Walah.. Pakdeku ini spesialis nolongin roh orang yang tersesat dialam lain, soal lintas dimensi belum ada orang lain yang lebih ahli dari Pakde” Jawab Dirga.
Kali ini aku semakin kagum dengan mas jagad. Cahyopun segera menoleh ke arahku dengan mata yang sedikit kesal.
“Coba kamu kenal mas Jagad dari lama, kita pasti nggak akan kebingungan waktu masuk ke Jagad Segoro demit” Ucap Cahyo dengan mata yang menatap ke arahku.
Mendengar ucapan Cahyo mas jagad segera menoleh.
“Jagad Segoro Demit?! Itu sih lain cerita.. bisa nggak balik saya kalu ke sana” ucap Mas Jagad dengan ekspresi yang cukup kaget. Sepertinya ia penasaran dengan ucapan Cahyo namun ia memilih untuk menyimpan pertanyaanya sampai semua masalah beres.
Hampir semalaman kami menunggu di tempat ini. Tidak ada satupun serangan yang berhasil masuk ke tempat ini. Aku dan yang lain bergantian berjaga agar ada waktu untuk istirahat saat pertempuran berikutnya.
“Ini berarti kita nunggu sampai ada yang kalah diantara salah satu dari mereka paklek?” Tanyaku.
Paklek menggeleng, “Kita awasi terus, kekuatan di belakang mereka sangat besar. Belum tentu tempat ini bisa bertahan”

***
Satu malam telah berlalu, aku mencoba mengintip dari pintu rumah menyaksikan apa yang terajadi di luar. Kali ini bukan hanya Mbah Sedo dan Raden Sarwo Kusumo. Tapi sudah ada beberapa orang pengikut yang saling beradu ilmu.
Aku mengingat salah satu orang di belakang Mbah Sedo adalalah seseorang yang bertarung melawan Darminto dan Girman di desa Mbok Yem.
“Duh sudah siang bukanya selesai malah tambah banyak…” Keluhku.
“Iyo nan… itu tanah di depan sudah menghitam, sudah banyak ilmu hitam yang jatuh di sana” Lanjut Cahyo.
Malam kembali datang, dan pertempuan mereka belum juga selesai. Kami mulai khawatir logistik kami akan cukup untuk bertahan bila pertempuran ini berlanjut lebih lama.
“Bimo, Danan, Cahyo.. ke sini..” Panggil Mas Jagad.
Kami segera berkumpul ke ruang depan menuruti panggilan mas jagad.
“Saya sudah selesai, siap-siap setelah malam ini kita akan melihat apapun yang terjadi diluar lewat jendela mess ini” Ucap Mas Jagad.
Kami mengangguk menandakan siap menyaksikan apa yang terjadi diluar dengan lebih jelas.
Seperti membacakan bait terakhir sebuah mantra, mas jagad menutup ajianya dan seketika suara ribut terdengar di sekitar kami.
Dari Jendela mess berkali-kali terlihat kilatan yang berasal dari ledakan.
“Pakde bisa ada sebanyak itu banaspati yang beradu!” Ucap Dirga Kaget.
“Buto, siluman ular, Ki Jaran Rudhra yang kali ini membawa pasukanya… sebanyak apa pusaka yang mereka punya?” Tanya Cahyo.
Raden Anjar dan Nyai Kanjeng yang mendengar suara ricuh ini segera kelauar dari kamar dan menghampiri kami.
“Ini perang santet.. bukan, ini perang ilmu hitam. Dulu ini pernah terjadi dan nyawa warga satu desa lenyap hanya karena pertarungan keji ini” Ucap Raden Anjar.
“Dulu kami lakukan ini untuk membela harga diri keluarga. Sekarang kami sadar ini adalah hal yang benar-benar bodoh” Lanjut Nyai Kanjeng.
Paklek yang sedaritadi memperhatikan perang santet ini seolah mengetahui sesuatu.
“Brotowongso Abdi Keraton Rawa Ulo dan Saudara kalian Abdi Keraton Alas Demit.” Ucap Paklek.
“mereka hanya orang-orang bodoh yang termakan tipu daya iblis! Entah siapa yang menang dan kalah tidak ada yang akan lolos dari siksaan setan-setan itu setelah mati.”
Ucapan paklek benar. Kekuatan sebesar ini hanya mereka miliki sesaat, pada akhirnya mereka akan membayar pengabdianya selamanya di neraka bersama iblis tempat mereka mengabdi.
“Raden Anjar, dulu perang ini berakhir berapa lama?” Tanya Cahyo.
“Tujuh belas hari..” Sahut Raden Anjar dengan Cepat.
Cahyo terlihat cukup kaget mendengarnya.
“Lha… piye iki? Tujuh belas hari? Persediaan kita tidak akan cukup” Keluh Cahyo.
Ucapan Cahyo benar, kami harus mencari cara untuk menambah persediaan logistik kami atau cara lain ikut campur dalam pertempuran gila itu.
“Kita tunggu Nyi Sendang Rangu sampai batas logistik kita habis, semoga dia benar-benar datang.” Ucap Paklek.
“Dia pasti datang Paklek, kalaupun dia tidak menepati kata-katanya pasti terjadi sesuatu di sana” Ucapku.
Hari berjalan semakin larut. Tidak ada satupun dari kedua trah yang mengalah. Sudah cukup banyak korban dari kedua belah pihak yang mati dengan cara tidak wajar.
Ada yang mati dengan kepala yang terpisah jauh dari badanya, ada yang tubuhnya menghitam gosong seperti terbakar, ada juga yang mati dengan seluruh darahnya habis keluar dari setiap lubang di tubuhnya.
Melihat hal itu aku benar-benar kesal dan ingin segera keluar dari tempat ini untuk menghentikan mereka. Sayangnya kamampuanku jauh dari cukup.
Tepat pada lewat tengah malam, tiba-tiba suara pertempuran menjadi hening namun samar-samar aku merasakan perasaan bahaya yang membuatku tidak bisa tenang. Perasaan ini seperti saat aku bertemu sosok ludruk ireng dulu.
Kami semua yang merasakan perasaan ini mengambil posisi masing-masing untuk mengintip apa yang terjadi di luar.
Terlihat Trah Darmowiloyo terpukul mundur oleh kemunculan sesosok kakek tua, yang terlihat lebih tua dari Mbah Sedo namun dengan bentuk tubuh yang lebih kuat.
“Nggak.. nggak mungkin itu manusia, dia bahkan lebih gila dari ludruk ireng dulu” Ucapku pada Cahyo.
“Bener Nan.. tapi itu siapa?” Tanya Cahyo.
Belum sempat menjawab, Kakek itu melihat keberadaan tempat ini dan mengarah ke arah kami. Sepertinya..
Mundurnya Trah Darmowiloyo mengakibatkan mereka mengalihkan targetnya kepada kami.
“Nan.. dia ke sini nan! Jangan bilang dia bisa menembus tempat ini!” Teriak Cahyo.
Kakek itu berlari semakin cepat dan menerjang tempat ini dengan kekuatan hitam yang menyelimuti tubuhnya.
“Danan, Jagad, baca ajian pelindung!” Teriak Paklek dengan panink
Dengan sekali hempasan, seketika bangunan tempat kami berlindung hancur dan mulai roboh.
Sekat pemisah dimensi yang ada di bangunan inipun menghilang seketika dan membuat seluruh ilmu hitam yang berada di sekitar bangunan ini mulai mengincar kami.
Beruntung , pelindung yang kami buat berhasil menjaga semua manusia yang ada di sini.
“Tika, Ajeng, Raden, Nyai, Pak Gito.. ke arah sini, kita harus keluar” Teriak Dirga yang segera mengevakuasi mereka bersamaan dengan runtuhnya mess ini.
Kepanikan melanda setiap dari kami dan secara bersamaan mengambil posisi mengelilingi mereka yang tidak bisa bertarung.
“Siapa kau! Apa Maumu?” Tanyaku pada sosok yang dengan mudah menghancurkan mess tempat kami berlindung.
“Aku Brotowongso!” Ucapnya dengan tenang seolah tidak takut dengan apapun.
“D—dia! Dia adalah leluhur trah Brotowongso yang hidup ratusan tahun! Sebelumnya aku tidak percaya bahwa dia benar-benar masih hidup!” Ucap Raden Anjar.
Mendengar penjelasan Raden Anjar, kami tidak banyak bertanya dan bersiap menghadapi bahaya besar ini.
“dua anak kecil itu, Nyai Kanjeng dan Raden Anjar.. mereka keturunan Damar mereka tujuan kita” Jelas Mbah Sedo kepada gurunya itu.
Benar-benar tanpa ucapan apapun, tiba-tiba nyai kanjeng memelototkan matanya seolah merasa kesakitan.
“Paklek!” Teriakku yang segera direspon dengan mengirimkan Geni baraloka pada Nyai kanjeng untuk menghentikan serangan Ki Brotowongso itu.
Mengetahui seranganya gagal Ki Brotowongso maju sendiri dengan membawa sebuah pasak kayu tajam seolah bersiap menusukkan ke tubuh Nyai Kanjeng. Cahyo dengan spontan memanggil kekuatan wanasura dan menghadangnya.
Namun dengan satu sapuan Cahyo terpental jauh dan terjatuh dengan darah yang keluar dari mulutnya.
“Cahyo!” Teriakku yang khawatir engan keadaanya namun aku harus menghadang Ki Brotowongso yang terus menyerang.
Beruntung ki Brotowongso berhenti dengan serangan keris yang di lempar oleh Dirga yang ia kendalikan setiap Ki Brotowongso mencoba menyerang. Akupun segera menghalangi ki Brotowongso dengan tebasan dari keris Ragasukma.
“Paklek! Danan! Tika… itu Tika!!” Teriak Cahyo yang sedang berusaha berlari menghampiri kami.
Sekilas aku menoleh, namun terlambat. Tanpa ada yang sadar, tubuh tika tertarik oleh sebuah kekuatan yang berasal dari Ki Jaran Rundhra.
Pak Gito yang mencoba menahanya terpental dengan luka yang cukup serius.
“Setidaknya tujuan kita tercapai satu untuk mencegah anak haram itu mewarisi Trah Darmowiloyo” Ucap Raden Sarwo Kusumo tanpa wujud yang terlihat.
Aku bersiap menghentikan mereka , namun sebuah tendangan dari Ki Brotowongso membuatku terpental dengan luka yang cukup serius.
“Danan fokus pada lawanmu, biar aku yang menyusul Tika!” Teriak Mas jagad yang segera melebarkan celah dimensi yang dibuka oleh Ki Jaran Rundhra.
Terlalu bahaya untuk Mas Jagad bila memasuki celah itu dengan kondisinya sekarang hingga aku memutuskan untuk melemparkan keris ragasukmaku padanya.
“Mas Jagad , bawa ini!” Teriakku sembari melemparkan kerisku yang ditangkapnya bersamaan dengan tertutupnya celah dimensi itu.
Aku segera kembali menghadapi Ki Brotowongso, dan tiba-tiba Dirga berdiri di hadapanku.
“Mas, Tanpa keris Ragasukma terlalu berbahaya melawan makhluk itu” Ucap Dirga yang terlihat mengkhawatirkanku.
“Dirga.. kalau tanpa pusaka itu kita tidak bisa apa-apa, berarti kita memang tidak pantas memiliki pusaka itu” Jawabku mengulang perkataan Almarhum Bapak kepadaku dulu.
Dirga tidak mengerti, namun dia masih tetap bisa mencerna perkataanku.
“Ayo Nan! Empat lawan dua.. kalau kalah sih malu-maluin, Yang diincar Darmowiloyo hanya Tika berarti saat ini kita berkonsentrasi pada Trah Brotowongso ini” Ucap Cahyo.
Aku membacakan sebuah mantra pada kepalan tanganku yang membuatnya sedikit bercahaya dan berlari ke arah ki Brotowongso. Cahyopun membacakan ajian penguat raga dan menggabungkanya dengan kekuatan wanasura.
Paklek memperbesar geni baraloka dan menyebarkanya di sekitar kami dengan maksud kami siap menggunakanya kapanpun.
Pukulan Cahyo beradu dengan Ki Brotowongso, kali ini ia terpental namun tidak seperti tadi.
Saat perhatianya terpecah aku menghempaskan Ajian Lebur saketi sebuah pukulan jarak jauh dari kepalan tanganku. Sepertinya kali ini seranganku berdampak padanya.
Mbah Sedo yang melihat hal ini segera masuk ke dalam pertempuran , namun keris dirga menghalaunya sementara paklek membaca mantra pembakar untuk membuat jarak diantara mereka.
Kami seolah bisa mengimbangi mereka berdua, namun kami tahu ki Brotowongso masih menyimpan kekuatanya.
“Dirga biar kuajarkan sedikit mengendalikan pusakamu itu” Ucapku sembari menghalau serangan Ki Brotowongso.
Dirga menoleh dan sedikit membagi konsentrasinya.
“Manusia memiliki empat sukma.. Roh, Nafsu, Cahaya,dan Kalbu.. coba tanamkan sebagian pada pusakamu. Dengan begitu kamu bisa mengendalikanya layaknya bagian tubuhmu” Jelasku.
Dirga cukup bingung, namun sepertinya ia terus mencoba.
Aku membiarkanya dulu sementara terus mencoba melawan musuh di depanku.
“Sudah cukup!” Teriak Ki Brotowongso yang mulai kesal. Ucapanya terdengar ke seluruh hutan bersamaan dengan kekuatan hitam yang meluap dari tubuhnya.
Saat itu juga seluruh ingon yang terikat dengan jimat di tubuh mereka muncul dari kabut hitam dan berdiri di belakang mereka layaknya pasukan yang siap melumat habis kami.
Bersamaan itu tiba-tiba Jagad muncul dari kabut itu sambil menggendong tika.
“Tika!” Teriak nyai kanjeng yang segera menjemputnya.
“Lah Mas Jagad, cepet banget “ Tanya Cahyo.
“Cepet gundulmu.. saya sama tika sudah tiga hari di alam sana, beruntung saya lihat kabut hitam yang mirip di rumah Raden Anjar dan bisa muncul di sini lagi” Jelasnya.
Kedatangan Tika bersamaan dengan kembalinya Ki Jaran Rundhra dan Raden Sarwo Kusumo. Kini mereka bermaksud membunuh tika dengan tanganya sendiri, namun Raden Anjar menghadang mereka dan menatap Raden Sarwo Kusumo.
Sepertinya ada benturan kekuatan diantara mereka yang membuat Raden Sarwo tertahan.
“Minggir Raden.. aku tidak mau jika harus ikut membunuhmu” Ucap Raden Sarwo Kusumo.
“Kalau begitu tinggalkan tempat ini, kalian tidak kuijinkan menyentuh mereka selama aku masih hidup” Jawab Raden Anjar.
Sayangnya begitu selesai mengucapkan itu, tiba-tiba cemeti Ki Jaran Rundhra sudah menebas tubuh Raden Anjar hingga darah bermucratan dari tubuhnya.
“Kukabulkan..”Balas Raden Sarwo Kusumo tanpa ragu.
Raden Anjar yang terluka tidak mau menyerah, ia meraih pusaka kalung di tubuh ki jaran rundhra dan membacakan mantra pendek hingga pusakanya terpecah.
“Aku yang memberikan semua pusaka itu padamu.. kini aku mencabut berkah kepemilikan atas itu semua” Ucap Raden Anjar dengan luka yang terus bertambah dari tubuhnya.
Raden Anjar menahan rasa sakitnya dan berkali-kali membacakan mantra dimana di tengah mantra itu terdapat nama-nama berbagai pusaka. Sepertinya itu adalah pusaka yang selama ini pernah ia miliki. Tepat saat mantra itu ditutup serangan Ki Jaran Rundhra terhenti.
“Brengsek! Kau tahu apa akibat atas perbuatanmu..” Ucap Raden Sarwo Kusumo.
Raden Anjar tersenyum dengan darah yang menetes dari mulutnya.
“Ingonmu bebas.. kini mereka akan meminta bayaran atas ikatanmu” itu adalah ucapan teralkhir Raden Anjar sebelum terjatuh ke tanah.
“Mas.. Mas Anjar!” Teriak nyai kanjeng yang segera menahan tubuh Raden Anjar yang terjatuh.
Tepat saat selesai berkata itu, Ki Jaran Rundhra menghampiri Raden Sarwo Kusumo dengan wajah yang beringas.
Raden Sarwo Kusumo terlihat ketakutan, ia mencabut kerisnya namun tidak ada kekuatan apapun yang muncul dari pusaka itu. ia mengusap cincinya, namun tidak ada apapun yang terjadi.
“J—jangan! Pergi! Kamu itu peliharaanku!” Teriaknya dengan putus asa namun Ki Jaran Rundhra tidak peduli.
Setelahnya yang terlihat hanya Ki Jaran Rundhra yang menebaskan cemetinya ke leher Raden Sarwo Kusumo hingga kepalanya terpisah.
Tidak berhenti sampai di situ, Ki Jaran Rundhra tidak membiarkan roh Raden Sarwo Kusumo pergi dan malah memakanya dengan brutal.
“Danan kita menjauh.. “ Ucap Paklek yang mulai merasakan bahaya lagi.
Setelah kehilangan tuanya, Ki Jaran Rundhra yang merupakan ingon berumur ratusan tahun berteriak dengan suara yang mengerikan. Dia adalah makhluk pemakan sukma. Keberadaan berbagai macam roh dan ingon yang bersliweran di tempat ini membuatnya menjadi tak terkendali.
Ki Jaran Rundhra memakan satu-persatu roh siluman ular yang dipanggil oleh Mbah Sedo. Ia bertarung dengan Buto bertubuh hitam, namun pertarunganya cukup singkat saat Ki jaran rundhra menemukan titik sukmanya dan memakanya.
Mbah Sedo terlihat panik, ia meninggalkan pertarungan kami dan bermaksud menghentikan Ki Jaran Rundhra. Sayangnya setelah memakan sukma sebanyak itu ia menjadi bertambah kuat dan merepotkan Mbah Sedo.
Melihat itu Ki Brotowongsopun murka, ia membakar dirinya dengan kekuatan hitam melompat ke arah Ki Jaran Rundhra mencekik lehernya dan membantingnya ke tanah.
Ia membacakan sebuah mantra yang membuat tanganya menghitam dengan kuku tajam dan menusukkan tanganya ke tubuh Ki Jaran Rundhra berkali kali hingga mahluk itu menghilang.
“Cahyo… sekuat itu makhluk yang kita lawan” Ucapku.
Cahyo menelan ludah dan sedikit gentar melihat hal itu. tanpa adanya Raden Sarwo Kusumo seluruh trah Darmowiloyo mundur, namun sebagian dari mereka tidak selamat dari kejaran ingon Brotowongso.
“Kita sudahi ini..” Teriak Ki Brotowongso yang sudah siap menghabisi kami. tubuhnya tak lagi menyerupai manusia. Kini tubuhnya penuh dengan sisik ular dengan kekuatan hitam yang mengalir tanpa henti.
Saat itu tanpa kami sadari Cahyo sudah terpental, kulit mas jagad menghitam seperti terkena racun, Dirga terlihat terjatuh di tanah dengan luka yang tidak sedikit. dan aku terlempar dengan berbagai luka cakaran yang dalam.
Kini tinggal paklek yang berada di sana dengan mengandalkan Geni Baralokanya. Sayangnya itu juga tidak berlangsung lama seketika paklek terbatu memuntahan darah dengan setiap kekuatan yang ia tahan hingga ia ikut terpental.
Ki Brotowongso dan Mbah Sedo menghampiri Tika dan yang lainya, kini tidak ada yang bisa menghalangi mereka. Namun saat tangan ki Brotowongso bersiap meraih Tika, sebuah kekuatan membuatnya melompat menjauh.
Tika mengeluarkan sebuah cincin dengan batu hitam , sebuah pusaka peninggalan keluarga Darmowiloyo.
“Pusaka apa itu Sedo?” Tanya Ki Brotowongso.
“Itu hanya pusaka biasa.. ia hanya menyimpan ingon, aku tidak pernah melihat kemampuanya selain itu” Jawab Mbah Sedo. sepertinya ia juga tidak tahu kekuatan benda yang dimaksud Ki Brotowongso.
Mendengar hal itu Ki Brotowongso maju lagi dan kali ini benar-benar siap menghabisi mereka. Namun kali ini hujan menetes dari langit, kemunculan sesosok makhluk menahan serangan ki Brotowongso.
Tangan Hitam Ki Brotowongso tertahan dengan gemulainya tangan cantik seseorang yang muncul dari rintikan air di depanya.
“Nyi Sendang Rangu! Itu Nyi sendang rangu!” Ucapku dengan penuh semangat.
Aku memaksakan diriku untuk berdiri dan menghampiri mereka, terlihat setiap serangn ki Brotowongso terhalangi oleh selendang Nyi sendang Rangu.
“Paklek, Mas Jagad!” Teriak Cahyo yang khawatir dengan racun di tubuh Mas Jagad.
Dengan sigap paklek mengeluarkan keris pusakanya menorehkan jarinya dan meneterkan darahnya ke keris itu hingga darahnya berubah menyadi nyala api.
Tetesan darah api itu jatuh ke tubuh mas jagad , seketika seluruh racun dan luka ghaib di tubuh mas jagad kembali pulih.
Paklek menoleh ke arah Raden Anjar, bersiap melakukan hal yang sama untuk dirinya. Namun semua sudah terlambat, tatapan mata Raden Anjar sudah kosong seolah tidak lagi bisa menampung jiwanya.
“Paklek… Raden Anjar?” Tanyaku.
Paklek menggeleng dengan wajah sedih. Aku mengerti maksudnya dan saat itu juga aku menitikkan air mata. Kini Raden Anjar berada di penghujung nyawanya , ia berada di perbatasan hidup dan mati di mana surga tidak mungkin menerimanya dan Neraka tidak siap untuk ia sambut.
Kami membacakan doa untuk menenangkan Raden Anjar sementara Nyi Sendang Rangu menahan setiap serangan ki Brotowongso. Tetesan hujan yang dibawa Nyi sendang rangu ternyata mampu menenangkan roh dan ingon yang dibawa oleh Trah Brotowongso sehingga mereka menghilang satu-persatu.
“Tika… Cincin batu hitam itu bukan pusaka untuk menyimpan ingon, itu adalah pusaka yang bisa menghapus darah hitam dari manusia.” Ucap Nyi sendang Rangu.
“Kekuatanya tidak menghapus dosanya, dia masih harus mempertanggung jawabkan dosa-dosanya dengan hukum sang pencipta ,
setidaknya bukan lagi atas kuasa Makhluk tempatnya mengabdi sebelumnya”
Aku tertegun mendengar ucapan Nyi Sendang Rangu. Ada Pusaka yang mampu melakukan hal seperti itu.
“Caranya bagaimana Nyi, Tika nggak tega melihat Raden Anjar seperti ini” Tanya Tika.
“Doa.. pusaka itu hanya akan berguna jika ada seorang trah Darmowiloyo yang masih murni mengampuni dan mendoakan saudaranya yang sudah bertobat.. itulah tujuanku dan Mbah sarjo membuat pusaka itu atas titipan Mbakyu leluhurmu” Jawab Nyi Sendang rangu.
Mendengar ucapan itu Mbah Sedo seketika memperhatikan kami.
“Pusaka itu? Pusaka itu bisa menghapus darah hitam?” Ucap Mbah Sedo dengan mata yang berbeda dari sebelumnya.
“Apa Maumu?!” ucapku yang segera menghadang Mbah Sedo mendekati Tika.
“Jika itu titipan Mbakyu, apa itu juga bekerja untukku?” Tanya Mbah Sedo. Saat itu juga Ki Brotowongso menghujamkan pukulan yang membuat Mbah Sedo terpental.
“Jangan pernah berani mengkhianati Ratu!” Ucap Ki Brotowongso.
“Tapi Ki.. saya dengan itu saya bisa selamat dari ikatan ini… Saya punya kesempatan bertobat dan tidak harus mencari tumbal untuk menghindari kematian.
Saya memilih dosa saya diadili oleh Yang maha Pencipta daripada selamanya di neraka bersama Ratu dan pengikutnya..” Ucap Ki Sedo yang ternyata selama ini takut dengan kematianya sendiri.
“Tolong Ki… saya takut ki, sayang ingin mati dengan darah yang sama seperti saya dilahirkan..”
Ki Brotowongso terlihat murka. Ia menjambak rambut Mbah Sedo , dan mengangkat wajah Mbah Sedo kehadapanya.
“Baik kalau kau memang begitu ingin mati”
Ki Brotowongso mengangkat pasak kayu yang selalu ada di tanganya , menusukkanya ke tubuh Mbah Sedo.
“J—Jangan Ki! Ampun! Saya tidak mau mati seperti ini!” Teriaknya dan menoleh ke arah Tika.
“T—Tika! Tolong! hapus getih ireng sa…”
Belum sempat menyelesaikan ucapanya, Leher Mbah Sedo sudah terpisah dari badanya. Pemandangan itu terlalu mengerikan untuk kami lihat.
“Butuh lebih dari ini untuk menghabisi kalian semua… “ Ucap Ki Brotowongso yang segera mengangkat leher Kepala Mbah Sedo,
meminum dan melumuri darah Mbah Sedo ke tubuhnya.
“Ajian Getih Demit! Hati-hati!” Teriak Cahyo.
Ini adalah ajian yang digunakan dukun yang melawan kami sebelumnya. Namun jelas kali ini jauh lebih berbahaya.
Seketika tubuh ki Brotowongso meghilang. Tempat ini dipenuhi oleh asap hitam yang pekat. Bahkan hujan nyi sendang rangupun tak mampu menghilangkanya. Ia berinisiatif untuk tetap disekitar tika dan menjaganya.
Aku merasakan bahaya dari sisi belakang dan segera menghindar, namun cairan hangat sudah membasahi bahuku yang disusul rasa sakit yang tidak tertahankan. Suara teriakan Cahyo , mas jagad, dan dirga menyusul setelahnya.
“Arrgh.. !” Aku berteriak seiring rasa sakit yang kurasakan.
Tidak ada yang bisa kuliihat dengan pasti , tak berapa lama aku terjatuh secara tiba-tiba dengan lubang yang sudah ada di salah satu kakiku.
“Aarrrrhh! Maju lawan aku satu lawan satu kalau berani! Jangan bersembunyi seperti pengecut” Teriak Cahyo.
Sepertinya ia ingin memancing keberadaan Ki Brotowongso dan menjadikan dirinya samsak untuk mengurangi serangan Ki Brotowongso pada kami.
“Cahyo Jagan Bodoh!” Teriakku.
Tidak ada cara lain, aku harus memisahkan sukmaku.. namun aku baru sadar kerisku masih ada di tangan Mas Jagad.
Samar-samar aku mendengar suara berbisik. Itu seperti bacaan sebuah mantra , aku tahu itu suara paklek namun aku belum pernah mendengar mantra itu sebelumnya.
Tak lama setelahnya terlihat terdengar suara teriakan Ki Brotowongso yang diikuti hilangnya asap hitam ini secara perlahan.
Dengan menahan semua lukaku , tiba-tiba aku melihat Ki Brotowongso terbakar api hitam dari setiap luka yang tergores di tubuhnya.
“Paklek.. itu apa paklek? Jangan bilang itu ilmu hitam?” Tanyaku.
Paklek yang masih mengatur nafasnya mencoba menjawabku.
“Ilmu hitam gundulmu… ini kekuatan bilah hitam keris sukmageni, yang paklek dapat di perjalanan sebelumnya.
Dengan mantra tadi paklek bisa memanggil api hitam ke setiap luka yang ditorehkan bilah hitam keris sukmageni ini” Jelasnya.
Aku takjub dengan kekuatan itu.
Ki Brotowongso terlihat kesakitan dengan luka yang diakibatkan oleh paklek.
Ia mengamuk dan menyerang kami tapi belum sempat melangkah, ia tertahan oleh keris yang mengejarnya. Itu pasti Dirga, tapi tunggu.. itu bukan hanya satu buah keris, tapi ada empat keris.
“Dirga itu apa? “ Tanyaku.
“Kata Mas Danan manusia memiliki empat sukma.. sekarang sebagian sukma itu sudah masuk ke keris pusaka ini. ini hasilnya” Ucap Dirga dengan wajah yang senang, namun terlihat tenaganya tidak tersisa banyak.
Mas Jagad di belakangnya sudah bersiap untuk membantu Dirga dengan menyalurkan kekuatanya.
Perlahan api yang hangat menyelimuti tubuhku, aku tahu ini adalah tetesan api bilah ptih keris sukmageni milik paklek. Seketika sebagian lukaku menutup.
“Danan, Panjul Selesaikan semua!” Perintah paklek yang tenaganya terkuras dengan ilmu bilah hitam keris sukmageni itu.
Aku menangkap keris ragasukma yang dilemparkan mas jagad dan bersiap maju. Cahyo juga sepertinya sudah pulih dengan ilmu paklek.
Saat kami berdua maju Hujan turun semakin deras. Nyi sendang rangu yang sedang melindungi tika berkata kepada kami.
“Airku mampu menghubungkan dunia manusia dan dunia roh dan memurnikan dendam.. ingat itu, ” Ucap Nyi Sendang Rangu seolah memberi petunjuk.
Seketika aku menoleh pada Cahyo memastikan ia mengerti maksudnya.
“Wanasura!!!” Cahyo berteriak sekuat tenaga. Kali ini bukan sosok roh wanasura yang merasuki tubuh Cahyo, namun Wujud Wanasura terlihat jelas di hadapan kami.
Seekor kera raksasa dengan tubuh yang dihiasi perhiasan kerajaan kini berada di hadapan kami.
“Selama hujan ini ada, Wanasura bisa ikut bertarung... Naik nan! Aku tau rencanamu!” Ucap Cahyo.
Aku dan Cahyo menaiki tubuh Wanasura dan melompat bersiap menghujamkan serangan ke tbuh Ki Brotowongso yang sudah melemah dengan api paklek namun iamasih cukup kuat untuk menghindar.
Asap hitam dari ajian getih demit kembali muncul dan menghalangi pandangan kami. dengan kemampuan wanasura, kami melompat setinggi-tingginya mencari keberadaan Ki Brotowongso.
“Dirga, di belakan paklek!” Teriakku yang segera direspon dengan mengarahkan kerisnya ke titik itu. Ki Brotowongso yang sadar segera menghilang , Wanasura mendarat dan menghempaskan asap hitam itu namun hanya sementara.
Dengan strategi ini kami bisa membaca kemana serangan Ki Brotowongso hingga Wanasura berhasil mendaratkan pukulan ke tubuh ki Brotowongso.
Cahyo membacakan Ajian penguat raga , melompat dari tubuh wanasura dan menendang ki Brotowongso tepat di kepalanya.
Tak terima dengan serangan itu, Ki Brotowongso kembali mengejar Cahyo dan menusukkan kukunya yang tajam ke tubuh Cahyo..
Namun bukan tubuh Cahyo yang terluka, melainkan hanya sarungnya yang ia lemparkan untuk mengelabuhi penglihatan ki Brotowongso itu.
Tak melewatkan kesempatan, aku membacakan sebuah mantra ke keris rogosukmo, dan menuskukkan kerisku ke tubuh ki Brotowongso. Sekali lagi aku memisahkan tubuhku dengan sukmaku dan menusukkan wujud ghaib keris ragasukma ke sisi lain dari tubuh Ki Brotowongso.
Wanasura yang melihat sukmaku sudah terpisah segera mengambil tubuhku dan melompat ke atas.
“Dirga di sini!” Teriakku.
Seolah merespon ucapanku, keris Dirga yang terbagi menjadi empat wujud itu berkumpul dan menghujamkan diri ke tubuh Ki Brotowongso.
Saat itu juga asap hitam menghilang, darah hitam bermuncratan dari setiap luka yang kami tujukan ke Makhluk yang lebih menyerupai demit daripada manusia itu.
“T—tidak, aku tidak mau mati…” Teriaknya dengan gemetar dan terjatuh ke tanah.
Saat mencapai akhir batasnya raut wajah sombong Ki Brotowongso berubah menjadi memelas.
“T—tolong Nyi… biarkan aku jadi pengikutimu, tapi biarkan saya hidup”Ucapnya sambil merayap di tanah meminta pertolongan.
Nyi Sendang Rangu berjalan mendekat ke arahnya di tengah derasnya hujan. Saat mendekat ke arahnya, Wajah dan tubuh nyi sendang rangu berubah menghitam, menua, dengan penuh borok dan luka.. matanya menghitam dengan darah yang terus mengalir tanpa henti.
Ki Brotowongso seketika tertegun tak mampu menatapnya. Tubuhnya kaku , matanya terus melotot seolah tidak siap untuk mati, namun darahnya terus mengalir hingga akhirnya tidak ada reaksi dari tubuhnya.
Aku terbaring di atas tanah melampiaskan lelahku dibawah guyuran air hujan nyi sendang rangu.
Wanasura berteriak dengan keras memamerkan kekuatanya yang mengakibatkan semua makhluk di sekitar hutan ini menjauh.
Cahyo masih berbaring dengan nyaman di pundak wanasura sementara Dirga sudah tidak sadar kehabisan tenaga dan terbaring di pangkuan mas jagad.
Paklek berjalan ke arah Tika, mendekatinya dan melihat Raden Anjar sudah berisitrahat dengan tengan dengan doa dari Tika.
“Nyi Sendang Rangu.. jangan pergi dulu ya, saya mau menikmati hujan ini dulu” Ucapku.
“Iya , kalau ngerasain hujan ini rasanya bentar lagi bakal ada demit kakek tua yang muncul terus nendang tiba-tiba” Ucap Cahyo yang sepertinya juga kangen dengan eyang widarpa.
Aku dan paklek tertawa mendengar ucapan Cahyo.
“Maafkan kami ya Nyai, Ajeng, kami tidak bisa menyelamatkan Raden Anjar” Ucap Jagad.
Ajeng menggeleng, ia menangis namun sepertinya ia cukup tenang saat melihat ayahnya menginggal tanpa terikat dengan darah hitamnya lagi.
Aku menyudahi istirahatku dan menghampiri Nyi Sendang Rangu.
“Nyi Terima kasih banyak , tanpa nyi sendang rangu mungkin kami sudah mati” Ucapku.
“Jangan remehkan perlindungan Yang Maha Pencipta, tanpa akupun jika Ia berkehendak kamu pasti selamat” Balasnya.
Wanasura sudah kembali menghilang, dan Cahyo menghampiri kami.
“Nyi, kalau suatu saat Danan butuh bantuany .. apa Danan bisa manggil Nyi Sendang Rangu lagi” Ucap Cahyo dengan polosnya.
“Aku tidak terikat perjanjian dengan manusia manapun , aku tidak akan muncul walau kamu membaca mantra itu lagi” jawab Nyi Sendang Rangu.
Aku sudah tau itu, sebelumnya memang nyi sendang rangu akan menjawab seperti itu, aku sudah mencoba sebelum bertemu Nyi Sendang Rangu dan tidak ada siapapun yang terpanggil.
Ia memang tidak ada hubungan darah maupun perjanjian denganku.
Tapi dengan bantuanya kali saja aku sudah sangat berterima kasih.
“Tapi apa mungkin kita bisa bertemu lagi?” Tanyaku yang berharap suatu saat bisa bertemu lagi dalam keadaan yang lebih baik.
“Aku akan mengawasi Tika dari jauh, dan lagipula kalian masih memiliki selendang pemberian Raden Anjar, dan kalian sudah tahu kediamanku.. jika beruntung mungkin kita bisa bertemu” Jawab Nyi Sendang Rangu.
“Dan satu lagi, seandainya ada kejadian yang menempatkan diri kalian di posisi hidup dan mati, tidak ada salahnya mencoba membaca mantra itu lagi”
Ucapan terakhir Nyi Sendang rangu itu benar-benar membuatku tenang.
“Nyi, Terima kasih… “ Ucap tika sambil menggenggam selendang Nyi sendang Rangu.
“Bimbing ibumu ya, sekarang ada Ajeng.. kamu nggak akan kesepian lagi. Darmowiloyo memang hanya nama, namun darah yang mengalir di tubuhmu tetap memiliki maksud.
Kejadian yang dialami Raden Anjar dan Raden Sarwo Kusumo pasti sudah diketahui anggota keluarga yang lain.. seharusnya mereka sudah bisa menentukan akan mengikuti jalan hidup siapa.” Jelas Nyi sendang Rangu.
Hujan perlahan mulai mereda , rintik hujan perlahan menjadi buih-buih air bersamaan dengan datangnya matahari pagi. Setelah memulihan tenaga ,
kami menguburkan dengan layak semua jasad korban perang ilmu hitam semalam di tanah yang layak dan segera keluar meninggalkan hutan ini dengan mobil mas jagad.
Beruntung mobil nyai kanjeng masih berada di mulut hutan dengan aman.
“Mas! Pak Gito… mampir tempat makan dulu ya laper! Di dekat terminal ada warung lesehan… sekalian numpang mandi” Ucap Cahyo sambil melaju motornya.
“Halah Jul, biasaya mandinya nunggu diseret kliwon dulu” Ledek Paklek.
“Hehe… serius paklek, laper” balasnya.
Menuruti permintaan Cahyo, kamipun berhenti di warung lesehan dekat terminal. Pemandangan sawah di warung ini cukup membuatku sedikit terkantuk.
“Nyai kanjeng habis ini kembali ke kota?” Tanya Cahyo.
Nyai Kanjeng menggeleng, rupanya semalam mereka sudah memutuskan untuk tinggal di rumah Pak Gito dan hidup sederhana di sana.
“Saya mau mulai usaha kecil-kecilan saja Mas… Nyai kanjeng, maksud saya Danastri mau membantu saya.
kami juga mau menikah secara resmi” Ucap Pak Gito malu-malu.
Mendengar ucapan itu mataku yang terkantuk seketika terbuka.
“Yang bener Nyai Kanjeng?” Tanyaku.
“Panggil Bu Astri saja… sepertinya hidup sederhana seperti kalian jauh lebih menyenangkan.
Mungkin saya masih harus belajar untuk melakukan pekerjaan rumah, mudah-mudahan Mas Gito bisa sabar” Jawab Nyai Kanjeng.
“Nanti Ajeng bantuin Bude, Ajeng udah pinter urusan gituan” Potong Ajeng.
“Tika Juga , urusan rumah pasti beres!” Lanjut Tika.
Aku cukup senang dengan rencana mereka, semoga saja setelah ini mereka bisa hidup lebih tenang walau tanpa kekayaan sebanyak yang mereka miliki sebelumnya.
“Paklek,Mas Danan dan Mas Cahyo habis ini mau ke mana?” Tanya Tika.
“Mau main ke desa Windualit, sudah janji sama Dirga” Jawabku yang dibalas dengan anggukan semangat oleh Cahyo.
“Asiiik! Habis itu mampir ke tempat Dirga ya! Siapa tau ada cerita dari bapak ibu yang bisa membantu mas Danan dan Mas Cahyo” Ucap Dirga.
“Iya Mas, sekalian kampung tempat tinggal Dirga bersebelahan dengan pabrik tahu milik seseorang yang bernama Putra. Nanti saya traktir tahu sepuasnya lengkap sama sambelnya” Ucap Mas Jagad.
“Duh jadi nggak sabar” Jawab Cahyo.
“Nanti saya kenalin sama yang namanya Ningsih..” Lanjut mas Jagad.
“Ningsih yang ngerasukin tika?” Tanya Tika.
“Bukan , Ningsih yang ini lebih cantik” Jawab Mas Jagad dengan tawa kecil yang cukup mencurigakan.
Kami menghabiskan siang itu dengan perbincangan ringan sebelum akhirnya memisahkan diri. Kejadian ini sedikit membuka mataku bahwa ada entitas-entitas diluar sana yang menggunakan sosok-sosok yang menggelapkan mata untuk menjerumuskan manusia untuk jatuh dalam dosa.
Sebuah kesaktian, kekayaan, dan tahta tidak selamanya menjanjikan kebahagiaan. Namun rasa syukur atas semua yang dimiliki kadang bisa merubah dunia dari cara pandang kita dan menjauhkan dari godaan duniawi.
Aku menoleh ke arah Cahyo, sepertinya dia yang paling tidak sabar untuk kembali ke Desa Windualit dan entah mengapa aku merasakan Dirga akan menemukan sesuatu di sana.

TAMAT
Catatan Penulis :

Terima kasih banyak sebesar-besarnya untuk teman-teman yang sudah membaca kisah ini hingga selesai.

Mohon diambil positifnya saja, dan dibuang negatifnya.

Mohon maaf sebesar-besarnya apabila kisah ini kurang bisa memenuhi ekspektasi pembaca.
salah satunya walaupun sudah saya samarkan dan kembangan sedemikian rupa, masih ada bagian yang di revisi karena menurut narasumber masih mencerminkan dengan jelas sosok trah yang diceritakan.

dan mohon maaf juga apa bila ada salah kata atau bagian cerita yang menyinggung
semoga teman-teman berkenan meninggalkan sedikit komentar positif dengan #diosetta supaya bisa saya baca-baca untuk jadi moodbooster saya saat sedang suntuk...

Terima kasih.

O iya, setelah ini libur upload cerita 1 minggu ya... ketemu lagi 10 maret.

• • •

Missing some Tweet in this thread? You can try to force a refresh
 

Keep Current with Diosetta

Diosetta Profile picture

Stay in touch and get notified when new unrolls are available from this author!

Read all threads

This Thread may be Removed Anytime!

PDF

Twitter may remove this content at anytime! Save it as PDF for later use!

Try unrolling a thread yourself!

how to unroll video
  1. Follow @ThreadReaderApp to mention us!

  2. From a Twitter thread mention us with a keyword "unroll"
@threadreaderapp unroll

Practice here first or read more on our help page!

More from @diosetta

Dec 19
PERANG TANAH DANYANG
Part 11 - Angkarasaka

Satu manusia menantang takdirnya mendatangi Tanah Para Danyang seorang diri. Bli Waja mencari keberadaan sosok asal dari kekuatan yang ia miliki. Takdir membawanya pada pertarungan pengguna ilmu yang sama..

#bacahorror Image
Danan dan Cahyo berdiri di hadapan samudra tanpa batas. Ombak menderu kencang, seolah memekikkan kekuatan alam yang tak terbendung. Malam telah melewati puncaknya, namun bulan masih terselubung awan pekat, menyisakan kegelapan yang terasa berat.

"Kamu bilang wujud pusaka Ratu Ular itu mahkota? Tapi kamu nggak kepikiran, mahkota itu harusnya dipakai oleh siapa?" tanya Cahyo, menatap lautan.

"Ada banyak kemungkinan," jawab Danan tenang. "Salah satunya, sosok yang mewarisi kekuatan Ratu Pantai Selatan. Apalagi sekarang kita tahu, pusaka itu ada dalam perlindungannya."

"Blorong?" Cahyo bertanya dengan nada cemas.
Danan mengangguk. Kekhawatiran Cahyo bukan tanpa alasan. Sosok itu telah lama menguasai beberapa wilayah hitam di Tanah Jawa, membuat siapa pun gentar untuk berhadapan dengannya.

Tiba-tiba, suara kereta kencana terdengar mendekat. Namun, bukan dari arah daratan, melainkan dari tempat ombak bergemuruh.

"Suara ini... tidak asing," ujar Cahyo.

"Iya, suara yang sama seperti saat kita dijebak di gua oleh Bara," sahut Danan. "Kalau diingat, beliau sebenarnya sudah banyak membantu kita, meskipun secara tidak langsung."

Kereta itu berhenti tepat di tengah lautan yang mendadak tenang. Aneh, suasana berubah; mereka merasa seperti bukan lagi berada di tempat sebelumnya.

"Sudah kuduga, beliau tidak akan menemui kita langsung," kata Cahyo.

"Memang seharusnya begitu," balas Danan. "Kita, bangsa manusia, tidak seharusnya berurusan dengan mereka. Tuhan sudah memisahkan kita di alam yang berbeda untuk alasan itu."

Cahyo mengangguk setuju. Mereka pun duduk bersila dengan sopan dan memejamkan mata. Tiba-tiba, sebuah penglihatan datang menghampiri.

"Mas Danan! Mas Cahyo!"

Suara lembut Lara Sukma terdengar dari kejauhan. Ia berjalan anggun, ditemani Abdi Jinten yang setia di sisinya. Namun, Danan dan Cahyo hanya bisa membalas dengan senyuman, tetap bertahan dalam posisi meditasi.

Suasana berubah. Kini mereka berada di sebuah keraton yang seolah mengapung di atas lautan. Tempat itu dipenuhi aura sakral, dihormati oleh penghuni samudra dan bahkan oleh gelombang laut itu sendiri.

"Kau baik-baik saja di sini?" tanya Danan kepada Lara Sukma.

"Jangan khawatir, Mas. Di sinilah seharusnya tempatku berada. Lagipula, aku hanya berada dalam wujud ini selama beberapa puluh tahun. Setelah itu, aku bisa menitis menjadi ular, burung, ikan, atau apa pun," jawab Lara Sukma sambil tersenyum.

"Tolong, jangan ular!" potong Cahyo cepat.
"Tumben, kamu trauma sama ular?" sindir Danan.
"Bukan, Nan," jawab Cahyo sambil menunduk.
"Terus kenapa?"

"Takut ketemu di Magetan," bisik Cahyo, membuat Danan melotot kesal.

"Memangnya di Magetan ada apa, Mas?" tanya Lara Sukma polos.

"Nggak ada apa-apa! Pecelnya enak!" Cahyo buru-buru mengalihkan pembicaraan.

"Yang pecelnya enak itu Madiun," goda Danan.
"Berisik!" Cahyo memotong, sementara Abdi Jinten hanya tersenyum menahan tawa.

Abdi Jinten kemudian mendekati mereka berdua. Wajahnya serius, penuh kewibawaan.

"Kanjeng Ratu telah memahami maksud kalian. Namun, beliau ingin kalian mengerti sesuatu," ucapnya tenang.

"Apa itu, Abdi Jinten?" tanya Danan penasaran.

Dharrr! Dharrr!

Penglihatan mereka pecah, menampilkan sebuah keris tua yang menancap di dasar laut. Keris itu berkarat, dikelilingi aura mengerikan, menciptakan gelombang yang membawa kematian.

"I—itu... Pusaka Mayit?" Cahyo berseru.

Abdi Jinten mengangguk. Penglihatan lain muncul, menampilkan Lara Sukma bertakhta di sebuah telaga. Dari sana, pusaka-pusaka diciptakan oleh para empu yang menjalin perjanjian dengan roh alam.

"Kanjeng Ratu menyerahkan keputusan kepada kalian," ujar Abdi Jinten. "Namun, kalian harus tahu, roh leluhur Sambara telah melemah. Manjing Marcapada kembali terbentuk, dan Angkarasaka bisa dibangkitkan."

Mereka saling berpandangan, menyadari beratnya situasi.

"Kalau begitu, apa yang harus kami lakukan?" tanya Cahyo.

Abdi Jinten menjawab dengan berat, "Kalian harus siap menghadapi segalanya, meskipun harus mati atau menghancurkan kedua pusaka para danyang itu."
Danan dan Cahyo terdiam. Akhirnya, mereka mengangguk.
Danan dan Cahyo saling bertatapan. Keadaan ini berbeda dengan yang ia bayangkan.

“Apakah berarti kabar baik?” Tanya Danan.

Abdi Jinten menggeleng dan berpaling memandang penglihatan yang juga dilihat oleh Danan dan Cahyo itu.

“Jika kalian memutuskan untuk menggunakan kemampuan Pusaka Sukma dan Pusaka Mayit, akan ada tragedi besar yang melibatkan para pengagung pusaka di alam ini…”

“Kami mengerti!” Danan seketika memotong penjelasan Abdi Jinten.

“Tidak kalian harus…”

“Cukup, Abdi Jinten. Kami mengerti maksud Kanjeng Ratu.” Cahyo menyambungkan niat Danan. “Jika kami tahu apa yang akan terjadi, kami akan bimbang.”

Mendengar perkataan itu Abdi Jinten menghela nafas dan mundur. Mereka mengerti maksud Danan dan Cahyo.

“Baiklah kalau itu keputusan kalian. Terakhir, Kanjeng Ratu hanya menegaskan bahwa dirinya tidak ada di sisi manapun. Entah itu manusia, para Danyang putih, atau Danyang hitam. Jangan pernah berharap apapun dari beliau.”

“Tenang, Abdi Jinten. Kami tahu kepada siapa kami harus menggantungkan doa dan harapan kami.” Jawab Danan tegas.

Seketika penglihatan itu menghilang. Tak ada lagi yang hendak disampaikan oleh Abdi Jinten. Ia hanya tersenyum bersama pudarnya penglihatan keraton, lara sukma, dan para penjaga laut yang mulai mendekat masuk. Saat penglihatan itu memudar, suara ombak kembali terdengar.

Danan dan Cahyo pun membuka mata dan mereka masih tetap berada di tempatnya semula di hadapan deru samudra laut selatan. Kali ini rembulan tak lagi tertutup awan, cahayanya terpantulkan pada sesuatu yang berada di pantai terbawa ombak.

Mereka pun berdiri dari posisinya dan mengenali benda berbentuk mahkota yang sebagian sisinya sudah membatu.

"Jadi ini benda yang membuat ricuh para danyang?" tanya Cahyo dengan suara bergetar, matanya terpaku pada mahkota tua yang tergeletak di pasir. Bentuknya anggun namun menyeramkan; sebagian sisinya telah membatu, memancarkan aura dingin yang menusuk kulit.

"Ya," jawab Danan pelan, nadanya berat. "Kita harus menyegelnya bersama Manjing Marcapada yang baru saja bangkit kembali. Ini tugas yang leluhurku gagal selesaikan."

Danan perlahan menunduk, tangannya meraih mahkota itu. Saat jarinya menyentuh permukaannya, sebuah getaran kuat menyambar, menghantam tubuh mereka seperti arus listrik tak kasatmata.

Deg!

Seketika, hawa dingin menyelimuti. Bukan hanya dingin biasa—ini dingin yang menggerogoti jiwa, membuat jantung mereka berdegup kencang. Cahyo menelan ludah, tubuhnya gemetar tanpa ia sadari.

"Ini... ini yang dimaksud oleh Mbah Purnomo?" tanyanya, mencoba memastikan.

"Ya," jawab Danan singkat, matanya terpaku pada mahkota di tangannya. "Dengan ini, seluruh danyang hitam di Tanah Jawa akan mengincar kita."

Hawa berat semakin terasa. Angin yang tadinya tenang mendadak bertiup kencang, membawa bisikan-bisikan asing yang menggema di telinga mereka. Cahyo menoleh ke sekeliling, bayangan hitam seperti kabut mulai merayap di tepi pantai.
Read 16 tweets
Dec 12
PERANG TANAH DANYANG
Part 10 - Tanah Perjanjian

Sosok-sosok danyang misterius mulai bermunculan. Entah kawan atau lawan... Image
Fajar baru saja menyapa, tapi sinar matahari masih malu-malu menyusup di balik kabut pagi. Suara ayam berkokok bersahutan, menjadi latar saat Dirga dan Guntur berdiri di depan rumah. Tas besar menggantung di punggung mereka, menyiratkan tekad yang tak tergoyahkan.

“Kalian tidak harus pergi dari desa ini…” Suara berat Abah mencoba menahan langkah mereka.

“Abah, ini satu-satunya cara,” jawab Dirga dengan mata tajam. “Setan nenek itu dan makhluk berwujud singa tak akan berhenti mengejar. Jika kami tetap di sini, desa ini akan hancur.”

“Dirga benar, Abah. Kami akan lebih aman bersama Nyai Jambrong,” tambah Guntur.

Abah terdiam, menghela napas panjang. Mata tuanya menatap anak-anaknya dengan perasaan bercampur aduk. Ia tahu, keputusan ini tidak diambil sembarangan.

“Kalau begitu, Abah tidak melarang. Tapi bawa ini.” Abah menyerahkan telepon genggam tua milik Emak. “Sering-sering kabari kami.”

“Iya, Abah. Dirga janji,” balas Dirga.

Tak lama, Emak muncul tergesa-gesa dari dalam rumah, membawa kantong plastik penuh bekal. “Ini nasi buat kalian. Jangan sampai ngerepotin Nyai Jambrong, ya!” katanya dengan suara bergetar.

“Iya, Emak. Terima kasih. Dirga pamit.”
“Guntur juga pamit, Mak.”

Mereka mencium tangan Abah dan Emak sebelum melangkah menuju terminal. Di sepanjang jalan, perasaan mencekam tak kunjung pergi. Hati mereka terusik oleh bayangan kegelapan yang seolah mengikuti setiap langkah.

Beberapa hari sebelumnya, mereka telah menyelamatkan Hisna dari gubuk terkutuk dan menitipkannya pada keluarga terpercaya.

Namun kabar yang datang kemudian membuat bulu kuduk meremang: Pakde Hisna, yang diduga pelaku ritual itu, ditemukan tewas mengenaskan dengan tubuh terkoyak seperti dicakar makhluk buas.

“Itu pasti makhluk berwujud singa atau harimau itu,” gumam Dirga saat mendengar kabar dari Hisna di telepon.

“Tapi kenapa makhluk itu justru membunuh Pakdenya, yang jelas-jelas melakukan ritual?” tanya Guntur, bingung.

Dirga menggeleng. Jawaban tak pernah jelas. Hanya satu yang pasti: mereka harus segera menemui Nyai Jambrong.

***
Read 12 tweets
Dec 6
PERANG TANAH DANYANG
Part 9 - Roro Mayit

Dosa itu terjadi antara Dananjaya Sambara, dan sosok Danyang yang bermain-main dengan nyawa...

#bacahorror @IDN_Horor @bagihorror Image
( Sudut pandang Danan…)
Perasaan yang aneh dan menggugah muncul di benakku, seperti bisikan lembut yang mengusik kesadaranku. Ingatanku perlahan kembali, dan jantungku terasa tertusuk tajam saat mengingat apa yang terjadi ketika aku kembali ke alam manusia.

Setiap detik yang berlalu terasa seperti beban yang menekan dadaku, mengingatkan akan dosa yang tak termaafkan.
...

Ketika mataku terbuka, bukan Nyi Sendang Rangu yang kulihat di sampingku, melainkan sosok perempuan cantik yang begitu anggun dan menawan. Kebaya hitamnya membalut tubuhnya dengan sempurna, menonjolkan lekuk tubuhnya yang memikat.

Ia berbaring di atasku, membuatku terperangkap dalam pesonanya. Kulitnya sehalus sutra, dan setiap gerakannya memancarkan keanggunan yang memabukkan.

“... Kau sudah bangun rupanya?” Suaranya lembut dan menenangkan, namun tubuhku masih belum sepenuhnya bisa bergerak. Suara itu menyusup ke dalam pikiranku, menenangkan sekaligus membangkitkan rasa takut yang samar.

“..Si—siapa ka..” Aku berusaha berbicara, namun kata-kataku terhenti oleh sentuhan lembut jarinya.

“Sssttt…” Jari lentiknya menahan bibirku, membuatku terdiam.

Wajahnya begitu dekat, aroma melati yang menyengat menguar dari tubuhnya, membius kesadaranku. Matanya menatap dalam ke mataku, seolah menelanjangiku hingga membuatku tak berdaya di hadapannya.

“Darah yang mengalir di tubuhmu memikatku. Aku benar-benar tak mampu menahannya...”
Sebuah kecupan lembut menyentuh bibirku, dan telapak tangannya membelai rambutku dengan penuh kelembutan. Sentuhannya seperti kejutan listrik yang menjalar ke seluruh tubuhku, membuatku terhanyut dalam gairah yang ia ciptakan.

Saat itu, pikiranku kosong, dan aku terhanyut dalam pesonanya, tak mampu melawan daya tariknya yang memabukkan.
...

“Tidak! Tidak mungkin! Aku tidak mungkin melakukan perbuatan itu?!” Aku terperangah, tak percaya dengan ingatan yang kembali menghantuiku. Setiap kenangan terasa seperti belati yang menusuk hatiku, mengingatkan akan pengkhianatan yang telah kulakukan.

Sosok itu mendekat, wajahnya cemberut seperti seorang kekasih yang merajuk. “Mas jahat!” katanya dengan nada manja, namun senyumnya yang licik tak bisa kusembunyikan dari pandanganku.

“Bukankah kita sudah menyatu? Aku milikmu, Mas!” Suaranya menggoda, namun di balik itu ada ancaman halus yang membuatku merinding.

Aku terjatuh berlutut di tanah, suara gamelan di sekitarku berubah menjadi sendu, seolah menegaskan dosa yang telah kulakukan. Setiap denting gamelan seperti mengiringi penyesalanku, menambah beban di hatiku.

Bayangan Naya muncul di benakku, sosok wanita yang begitu polos dan penuh kasih, yang telah kukhianati. “Naya... maafin, Mas...” Air mataku mulai menetes, menandai penyesalan yang mendalam. Setiap tetes air mata adalah pengakuan atas kesalahan yang tak termaafkan.

Perempuan itu berjongkok, mengangkat daguku dengan lembut. “Sebaiknya kita terima saja takdir kita...” Bisiknya, mendekatkan bibirnya padaku, bersiap menciumku yang masih terperangkap dalam rasa bersalah dan penyesalan. Bibirnya hampir menyentuh bibirku, namun hatiku berteriak menolak, terbelah antara hasrat dan dosa yang menghantui.

“Treng teng!! Teng!!! Teng!!!”

Suara bising tiba-tiba memecah kesunyian gending yang mengalun dari hutan-hutan di sekelilingku. Awalnya, aku hampir mengabaikannya, namun suara itu semakin mendekat, diiringi teriakan dan sebuah helm yang melayang ke arahku.

“Jangan dekat-dekat Danan! Dia sudah punya pacar!”
Suara itu sangat familiar.

Dhuakkk!!Helm itu menghantam wajahku tepat saat aku menoleh ke arah sumber suara.

“CAHYO?!” Aku berteriak, bingung sekaligus kesal dengan kemunculannya yang tiba-tiba dan perbuatannya melempar helm padaku.

“Eh! Ma—maaf, Nan! Niatnya mau ngelempar ke setan genit itu!” sahut Cahyo sambil buru-buru memarkirkan motor Vespa tuanya yang suaranya mengalahkan gamelan gaib di hutan itu.

Aku berdiri dengan bantuan Danan, sementara Cahyo menunjuk perempuan di hadapanku dengan wajah kesal.

“Roro Mayit! Umurmu sudah ratusan tahun lebih! Seleramu masih berondong? Malu kau sama Nyai Jambrong!” teriak Cahyo.

“Kamu ngancem apa lagi pantun, Jul?” bisikku.
“Lha nggak tahu, nyambung gitu aja...” jawab Cahyo asal.

Ternyata benar, sosok perempuan itu adalah Roro Mayit. Cahyo menjelaskan bahwa ia mengetahui keberadaanku dan tentang Roro Mayit dari Mbok Sar.

“Mas Danan…” Suara Roro Mayit kembali terdengar manja, wajahnya tampak cemas setelah kedatangan Cahyo.

“Heh! Heh! Nggak usah sok manja!” Cahyo menanggapi dengan ketidaksukaan yang jelas.
“Berisik! Kau pengganggu!” balas Roro Mayit. Entah mengapa, wujud dan tingkah Roro Mayit semakin mendekati sosok yang membuatku nyaman.

“Jul... telah terjadi sesuatu antara...” aku mencoba menjelaskan.

“Aku tidak suka ada pengganggu! Aku pergi saja!” Roro Mayit tiba-tiba melayang menjauh dari kami.

Anehnya, dia tidak melakukan apapun. Tak ada kutukan, tak ada serangan. Aku masih merasakan betapa mengerikan sesuatu yang berasal dari dalam dirinya, namun dia benar-benar tidak menyerang kami.

Yang ia tinggalkan hanyalah... rasa bersalah.

***
Read 10 tweets
Nov 28
PERANG TANAH DANYANG
Part 8 - Rayuan Kegelapan

Perang Tanah Para Danyang berakhir dengan tragis. Empat manusia yang berjuang untuk keseimbangan kini tidak lagi bernyawa...

#bacahorror Image
Hujan mengguyur deras, disertai angin kencang yang menerbangkan dedaunan dan menghantam pepohonan. Kilat menyambar tanpa henti, menerangi kegelapan malam dengan cahaya yang menakutkan.

Di tengah badai ini, pasukan Cakra Manunggal berdiri tegak di atas reruntuhan istana salah satu kerajaan sekutu Tunggul Giri yang telah mereka tundukkan.

Prabu Ramajaya, dengan pakaian perangnya yang penuh noda darah dan lumpur, berdiri di depan rakyat yang ketakutan, suaranya menggema melawan gemuruh badai.

“Mulai saat ini, seluruh rakyat di kerajaan ini berada dalam perlindungan Kerajaan Indrajaya!” serunya tegas.

Para warga yang sebelumnya gemetar karena ketakutan mulai merasakan sedikit ketenangan. Nyawa mereka telah terselamatkan dari ritual penumbalan massal yang diinisiasi oleh raja mereka sendiri, yang kini telah tewas di tangan pasukan Indrajaya.

Sementara itu, Abimanyu berdiri di sisi Prabu Ramajaya, mengamati badai yang kian menggila. Petir menyambar hanya beberapa meter dari mereka, membuat suasana semakin mencekam.

“Kerajaan Tunggul Giri dan tiga kerajaan lainnya telah kita kuasai,” ujar Abimanyu, suaranya dingin namun penuh tekad. “Hanya ini yang bisa kita lakukan dalam peran kita sebagai manusia.”

Prabu Ramajaya menoleh dengan pandangan yang penuh keraguan. “Apa saatnya kita menyusul Ayah dan Baswara?” tanyanya, mengacu pada pasukan lain yang bertempur di wilayah berbeda.

Abimanyu menggelengkan kepala, rahangnya mengeras. “Kau baru saja memberikan pernyataan pada rakyat-rakyat itu,” ucapnya tajam, “dan sekarang kau berencana meninggalkan mereka?”

Ramajaya tersentak oleh teguran itu, namun kegelisahan di dalam hatinya terus bergolak. “Aku hanya merasa harus melakukan segala cara untuk menghentikan bencana ini,” jawabnya dengan nada penuh keputusasaan. “Bahkan jika nyawaku harus menjadi taruhannya.”

Abimanyu melangkah maju, menatap kakaknya dengan tatapan tajam yang penuh amarah dan tekad. “Jangan sombong, Ramajaya!” suaranya memotong derasnya hujan. “Tidak semua masalah harus kau tuntaskan sendiri. Ada saatnya kita menunggu.

Percayalah pada mereka yang tengah berjuang, dan pada takdir Sang Pencipta!”
Perkataan itu menghantam Prabu Ramajaya seperti guntur di dadanya. Ia menunduk sejenak, menggenggam gagang pedangnya yang dingin. Ia tahu Abimanyu benar, namun hatinya masih gelisah.

Di kejauhan, suara genderang perang masih terdengar, tanda bahwa pertempuran di Tanah Danyang belum usai. Namun untuk saat ini, Prabu Ramajaya memutuskan untuk bertahan bersama rakyat yang ia lindungi, berusaha memberi mereka harapan di tengah bencana yang mencekam.

Dengan tatapan yang lebih tenang namun tetap penuh tekad, ia memandang badai yang terus mengamuk di langit.

“Kami serahkan sisanya padamu, Ayah…” gumamnya pelan, seakan berdoa kepada mereka yang masih bertempur dan kepada Sang Pencipta, memohon kekuatan untuk melindungi orang-orang yang ia kasihi.

***
Read 14 tweets
Nov 21
PERANG TANAH DANYANG
Part 7 - Perang Pertama

Tiga zaman bersatu dalam peperangan makhluk dari alam yang tak kasat mata. Nyawa Manusia adalah amunisisnya..

#bacahorror @ceritaht @IDN_Horor @bacahorror Image
Suara derap kuda terdengar memecah keheningan malam, mendekati barak prajurit dengan cepat. Para penunggangnya turun tergesa-gesa, wajah-wajah mereka penuh ketegangan. Mereka langsung menuju tenda besar di tengah barak, tempat raja berada.

"Berhenti! Raja ada di dalam!" seorang penjaga menahan mereka dengan tangannya terentang.

"Kami harus bertemu yang mulia! Ini keadaan darurat!" Pemimpin mereka bersikeras.

Penjaga itu memerhatikan mereka sejenak, mengenali lencana-lencana khas yang menghiasi seragam mereka. Pasukan elit Cakra Manunggal, yang langsung di bawah komando Prabu Ramawijaya.

"Baiklah, tunggu sebentar…" ujar sang penjaga sambil memasuki tenda.

Ramawijaya telah menduduki tahta dan membangun kerajaan Darmawijaya sebagai kerajaan dengan pertahanan militer yang kokoh.

Mereka mampu menggetarkan kerajaan besar di sekitarnya, namun bukan itu tujuan utamanya. Perang para danyang semakin dekat, dan bertahun-tahun lamanya, bencana semakin melanda.

Tak lama kemudian, mereka diizinkan masuk. Di dalam tenda, Prabu Ramawijaya dan para patihnya tampak berkumpul, membahas sesuatu yang tampaknya mendesak.

Pemimpin pasukan itu melangkah maju dan berkata tegas, "Yang mulia, kabar ini harus disampaikan segera."

Prabu Ramawijaya menatapnya tajam. "Panglima Cakra, aku mengenalmu terlalu baik untuk tahu bahwa kau tak akan menggangguku tanpa alasan. Katakan."

Dengan satu langkah cepat, Panglima Cakra mendekat dan tiba-tiba mencabut pedangnya. Patih-patih lain sontak bereaksi, namun terlambat. Pedang Cakra menembus dada Patih Renggana.

"Cakra! Apa yang kau lakukan?!" Patih Raksawira menghunus pedangnya, mengarahkannya tepat ke leher Panglima Cakra.

Namun Panglima Cakra tak bergeming. "Aku tak akan bicara sampai pengkhianat ini tak lagi bernyawa," katanya dingin, sementara para penjaga dipanggil untuk menyelamatkan Patih Renggana yang sekarat.

Patih Raksawira tak bisa menahan amarahnya dan mengangkat pedang untuk menebas leher Panglima Cakra. Tapi tiba-tiba, suara berat terdengar dari arah pintu.

"Tahan, Raksawira!"

Semua mata tertuju pada seorang pria dengan pakaian lusuh dan tubuh penuh debu yang baru saja memasuki tenda. Walau penampilannya sederhana, auranya membuat para patih berhenti seketika.

"Abimanyu?! Cakra telah mencoba membunuh Patih Renggana! Kita tak bisa membiarkannya begitu saja!" seru Raksawira, mengarahkan ujung pedangnya ke Panglima Cakra. Namun, Abimanyu hanya menatap tajam.

Seluruh patih menundukkan kepala sedikit, sadar betul siapa pria itu.

Dia adalah Abimanyu Darmawijaya, pewaris dari Prabu Arya Darmawijaya, yang berjanji mendampingi Prabu Ramawijaya untuk menjaga Kerajaan Indrajaya sejak kepergian Raja Indrajaya.

Patih Renggana menekan luka di dadanya, mencoba mempertahankan nyawanya. Setiap tarikan napas terasa seperti api yang membakar, namun ia berusaha memperpanjang hidupnya sejenak, berharap ada seseorang yang membantunya.

Srratt!

Dalam sekejap, Abimanyu sudah berada di samping Prabu Ramawijaya, dan di tangannya tergenggam kepala Patih Renggana yang sudah terpenggal dari tubuhnya. Hening menggantung di udara, seakan waktu berhenti sejenak.

Tenda itu bergetar dalam kesunyian, hingga tubuh Patih Renggana menyadari bahwa ia telah kehilangan kepalanya. Seketika, semburan darah memuncrat deras, membuat para patih mundur ngeri.

“Jadi, dia pengkhianatnya?” tanya Prabu Ramawijaya dengan suara tenang, nyaris tak terpengaruh oleh pemandangan mengerikan itu.

Abimanyu mengangguk ringan sambil duduk di sisi Prabu Ramawijaya. “Benar. Dia adalah patih di kerajaan kita, namun sekaligus Raja di kerajaan Tunggul Giri.”
Read 15 tweets
Nov 14
PERANG TANAH DANYANG
Part 6 - Tanah Para Danyang

Awal mula Perang Para Danyang di masa lalu terungkap. Takdir darah sambara terikat di masa itu

#bacahoror Image
Suara gemuruh dari puncak Mahameru menggema, menggetarkan bumi dan langit. Mahameru, yang berdiri megah di Jawa Timur sebagai paku penyeimbang Pulau Jawa, kini memuntahkan isinya.

Dharrr!!!

Batu-batu besar terlontar dari kawahnya, menghantam pepohonan di kawasan Kalimati, menciptakan kepanikan di antara mereka yang ada di sana.

"Menyingkir!" teriak seseorang, memberi isyarat pada sekelompok pasukan yang menerobos letusan dahsyat itu.

"Ini gila! Siapa yang terpikirkan untuk menerobos letusan gunung seperti ini?!" teriak Raja Indrajaya dengan napas memburu, mencoba menghindari lontaran batu panas yang jatuh dari langit.

"Siapa lagi kalau bukan Pangeran Baswara, putra andalanmu itu, yang mulia..." sahut Panglima Brasma sambil melirik ke arah Baswara yang tanpa ragu maju lebih dahulu.

Di depan, Baswara membuka jalan dengan segenap tenaga, dibantu oleh kawanan kera putih yang melompat lincah di antara lahar. Seekor kera putih menari melompat di antar pepohonan, membaca aliran energi panas yang memancar dari gunung, menghindari setiap bahaya yang muncul.

"Ayah! Dia di sana!" teriak Baswara, menunjuk ke arah pusaran api yang berkobar di antara kepulan awan panas di puncak Mahameru.

Raja Indrajaya dan Panglima Brasma menyaksikan dengan mata mereka sendiri kekacauan itu, kekuatan yang tak terkendali memutar-mutar di puncak tertinggi pulau.

"Kalian, kembali! Setelah ini urusan kami sekarang!" seru Raja Indrajaya kepada para prajurit yang mendampingi mereka.

"Ta—tapi, yang mulia! Tempat itu terlalu berbahaya! Biarkan kami ikut bersama!" pinta seorang prajurit dengan nada cemas.

"Jangan sia-siakan nyawa kalian. Ramajaya dan Kerajaan Indrajaya masih membutuhkan kalian!" Raja Indrajaya menegaskan, suaranya penuh kewibawaan.

Walaupun hati mereka berat, para prajurit itu pun memutuskan untuk mundur, meninggalkan tiga sosok yang akan melanjutkan perjalanan ke pusat bencana.

"Prajurit Indrajaya!" panggil Baswara tiba-tiba. Ia menghampiri para prajurit yang berbalik badan. Mereka menoleh, menatapnya dengan kebingungan.

“Sampaikan salamku pada Ramajaya, dan berikan ini padanya.” Baswara melepas sebuah ikatan tali dari pinggangnya dan menyerahkannya kepada salah satu prajurit.

Begitu tali itu berpindah tangan, prajurit tersebut terhenyak oleh beban kekuatan yang terkandung di dalamnya. Dengan susah payah, ia menggenggam tali itu.
Read 12 tweets

Did Thread Reader help you today?

Support us! We are indie developers!


This site is made by just two indie developers on a laptop doing marketing, support and development! Read more about the story.

Become a Premium Member ($3/month or $30/year) and get exclusive features!

Become Premium

Don't want to be a Premium member but still want to support us?

Make a small donation by buying us coffee ($5) or help with server cost ($10)

Donate via Paypal

Or Donate anonymously using crypto!

Ethereum

0xfe58350B80634f60Fa6Dc149a72b4DFbc17D341E copy

Bitcoin

3ATGMxNzCUFzxpMCHL5sWSt4DVtS8UqXpi copy

Thank you for your support!

Follow Us!

:(