Kadang keadaan memaksa kita untuk menempati tempat tinggal baru. Sering kali, susahnya proses adaptasi harus ditambah dengan terpaan seram dari sisi gelap.
Ada teman yang mau berbagi cerita pengalaman ketika harus menempati rumah baru.
Simak di sini, hanya di Briistory..
***
Lagi-lagi, aku menemukan beberapa helai rambut panjang, entah ini sudah yang keberapa kali, kali ini aku menemukannya di depan lemari ruang tengah. Beberapa helai rambut ini kalau diukur dengan tubuh perempuan dewasa, kira-kira dari kepala sampai ke pinggul, panjang memang.
Apa yang aneh? Ya anehlah, karena di rumah gak ada seorang pun yang memiliki rambut sepanjang itu. Rambutku hanya sebatas pundak, itu pun jenisnya gak sama dengan rambut yang sudah beberapa kali kami temukan.
Papa? Ya jelaslah beda, papa laki-laki dengan rambut pendek. Begitu juga Albie, rambutnya pendek kemerahan, gak mungkin juga rambut dia.
Oiya, aku, Papa, dan Albie adik laki-lakiku, baru saja menempati rumah peninggalan Nenek. Rumah bertingkat yang sebenarnya gak terlalu besar, tetapi bisa dibilang terlalu besar buat kami bertiga.
Iya, kami hanya bertiga, Mama sudah berpulang tahun 2019.
Sebelumnya, kami tinggal di bilangan Jagakarsa, Selatan Jakarta, tapi Papa memutuskan untuk pindah ke rumah peninggalan Nenek yang sudah lama kosong. Rumah Nenek ini terletak di kawasan Bogor Barat, sudah dekat ke kaki Gunung Salak.
Karena bermacam alasan, kami akhirnya pindah ke rumah nenek ini. Bukan tanpa kendala, aku jadi harus menempuh perjalanan cukup jauh kalau harus berkuliah, kampusku di Jakarta, sedangkan Albie yang masih SMU terpaksa harus pindah sekolah.
Sedangkan Papa, karena pekerjaanya gak melulu harus stay di kantor, jadinya gak terlalu bermasalah dengan jarak, hanya sesekali saja dia harus datang ke tempatnya bekerja.
Rumah ini termasuk bangunan tua, papa bilang dibangunnya sekitar tahun 80an, jadi umurnya hampir 40 tahun. Kata papa juga, Kakek dan Nenek membelinya dari orang lain. Sejak saat itulah, rumah ini jadi tempat berkumpulnya keluarga, khususnya ketika hari raya.
Walaupun bangunannya gak terlalu besar tapi pekarangannya cukup luas, peninggalan Nenek masih terlihat dengan banyaknya tanaman yang masih terawat subur. Oh iya, Nenek berpulang tahun 2017 lalu, Kakek sudah mendahului tiga tahun sebelumnya.
Sepeninggal Kakek Nenek, rumah ini sempat ditinggali oleh adik Papa yang paling bungsu, Om Ilham namanya.
Tapi, entah apa alasannya, Om Ilham dan keluarga hanya kurang lebih satu tahun menempati, kemudian pindah ke rumah sendiri. Setelah itu rumah ini kosong, sampai akhirnya kami datang untuk menempati, awal 2020.
Yasudah, sejak itu kami tinggal di sini, di rumah Nenek.
***
“Kak, lo liat gak?”
“Liat apaan?”
“Kayak ada perempuan berdiri di lantai atas, di jendela. Tapi sekarang udah ilang sih,”
“Ah mana ada, halu lo, ah. Rumah ini kan kosong. Jangan macem-macem deh, gue gak liat apa-apa,”
Percakapan antara aku dan Albie itu terjadi ketika kami baru saja datang, ketika baru saja selesai memindah-mindahkan barang dan perabotan.
Percakapan yang cukup aneh, karena ya itu tadi, Albie seperti melihat ada perempuan sedang berdiri memperhatikan di lantai dua dari balik jendela. Tapi, pada saat itu kami gak membahasnya lebih jauh lagi, walaupun tetap saja masih menempel dalam ingatan.
Hari pertama kami habiskan dengan membereskan barang-barang, hanya bertiga, gak ada bantuan.
Dengan riang gembira kami mengerjakannya, menyusun dan memilah-milah barang mana dan bagusnya diletakkan di mana, rumah dua lantai ini pada akhirnya jadi penuh perabotan.
Lanjut..
Sekitar jam 9 malam, ketika kami sudah kelelahan, kemudian duduk di sofa depan TV di lantai bawah. Sebelumnya aku sudah membuat teh hangat untuk menemani istirahat. Berbincang santai membahas segala macam
Tapi ya begitu, seperti biasa, yang paling tahan menghadapi serangan kantuk memang aku, papa dan Albie paling gak bisa menahan kantuk.
Sekitar jam 11 malam, mereka berdua sudah terlelap, masih di sofa, sementara aku masih terjaga, berdiam sendiri sambil menonton tv yang acaranya sudah gak jelas.
Di rumah baru, tempat tinggal baru, tentu saja perasaan masih kurang nyaman, proses adaptasi masih susah dilakukan, apa lagi masih hari pertama.
Beberapa kali aku memperhatikan ke setiap penjuru ruang tengah, menilik setiap sudutnya, coba untuk merekam semuanya. Lampu besar sudah aku matikan, jadi pencahayaan hanya dari lampu kecil dan layar tv.
Gak ada suara lain selain tv, di luar pun gak terdengar ada pergerakan manusia, karena memang jarak ke rumah tetangga gak terlalu dekat. Jadilah, aku melamun sendirian dalam sepi.
Nah, ketika masih coba menikmati teguk terakhir dari gelas teh, pendengaranku menangkap sesuatu, ada suara samar dari lantai atas..
“Rrrrrr..”
Kira-kira seperti itu bunyinya, seperti ada meja atau kursi yang bergeser.
Awalnya sangat samar, tapi lama kelamaan makin jelas.
Sampai akhirnya aku coba membangunkan papa, tapi karena mungkin sudah terlalu lelah, Papa gak bangun juga, begitu juga dengan Albie.
Setelahnya, suara itu sempat menghilang, tapi hanya sebentar, beberapa menit kemudian terdengar lagi, kali ini lebih jelas.
Aku mendengarnya seperti meja atau kursi yang bergeser..
Penasaran, aku memutuskan untuk naik dan melihat ada apa sebenarnya.
Kunaiki tangga menuju lantai atas yang letaknya di bagian belakang ruang tengah, dekat dapur. Tangga yang gak terlalu tinggi, namun di tengahnya berbelok ke kanan.
Lorong tangga memang ada lampu, tapi saat itu papa belum memasang bola lampunya, jadinya gelap. Ditambah, sepertinya lantai atas juga dalam keadaan gelap, jadinya sama sekali gak ada cahaya menerangi.
Satu persatu anak tangga aku injak, perlahan, sambil menajamkan pendengaran karena suara benda bergeser itu makin jelas.
Setelah beberapa anak tangga terlewati, kemudian berbelok ke kanan. Dari posisi ini aku sudah bisa melihat lantai atas, dan benar, di atas benar-benar gelap, mungkin papa sengaja gak menyalakan lampu.
Lalu kemudian aku lanjut melangkah.
Jujur, sebenarnya aku agak was-was, walaupun beberapa tahun sebelumnya sudah pernah ke rumah ini, tapi tetap saja kali ini aku sebagai penghuni baru, sama sekali gak kenal.
Makanya, untuk memutuskan ke lantai atas sendirian seperti ini sebenarnya termasuk nekat, apa lagi aku termasuk anak yang penakut. Tapi ya sudahlah, sudah terlanjur, hampir sampai..
“Rrrrrrrrrr..”
Terdengar lagi, makin jelas karena memang jaraknya makin dekat.
Rasa penasaran yang membuat aku terus melangkah, walau ragu.
“Rrrrrr..”, makin jelas..
Tinggal satu langkah akan sampai. Tapi dari sini aku sudah bisa melihat hampir seluruh sudut lantai atas, ada dua kamar bersebelahan yang di depannya ruangan besar berisi meja dan kursi, masih berantakan karena kami belum sempat membereskan.
Memang, keadaan sangat gelap, tapi karena belum ada tirai yang menutup jendela jadinya penglihatan terbantu oleh cahaya yang masuk dari luar, aku dapat melihat semuanya walau samar.
Saat itu, gak mendengar lagi suara tadi, ketika aku sedang memperhatikan semuanya. Meja kursi juga masih berada di tempatnya, gak ada yang bergeser.
Tapi, tiba-tiba muncul lagi, “Rrrrrr..”
Kali ini ternyata gak hanya suara, tapi diiringi dengan pergerakan.
Benar tebakanku, suara itu memang akibat dari adanya pergeseran benda.
Aku melihat kursi kayu yang ada di pojokan bergerak sendiri, bergeraknya gak jauh, mungkin hanya sekitar satu meter, tapi tetap saja mengagetkan.
Iya, kursi itu bergerak sendiri..
Anehnya, aku sama sekali gak merasa takut, yang ada malah penasaran, padahal beberapa detik kemudian kursi itu bergerak lagi, tapi kembali ke tempatnya semula sebelum bergeser.
Ya itu tadi, aku malah makin yakin untuk datang melangkah mendekati, ingin tahu apa yang membuatnya sampai bergeser seperti itu.
Sampai akhirnya, langkahku terhenti ketika sekali lagi mendengar ada suara yang muncul lagi. Bukan, kali ini bukan kursi bergeser..
Ada suara perempuan bersenandung, di lantai ini, aku menebak suaranya berasal dari salah satu kamar. Saat inilah aku mulai merinding..
Senandungnya seperti sedang menyanyikan sebuah lagu, gak seperti sebelumnya kali inicaku gak berani untuk mencari tahu. Takut..
Kemudian aku memutuskan untuk mundur beberapa langkah, berniat kembali turun ke lantai bawah, sudah makin gak nyaman.
Namun tiba-tiba, “Rrrrrr..” , kursi kayu bergeser lagi, bergerak mendekat ke arahku. Aku terkejut kali ini, kaget. Seperti tersadar, aku langsung membalik badan lalu lari menuju tangga.
Tapi ternyata ujung bawah tangga, sudah ada Papa berdiri dalam gelap.
“Kamu ngapain ke atas sendirian, Kak?”
“Besok aja ceritanya,Pa,” jawabku singkat.
***
Itulah, kejadian seram pertama kali ketika tinggal di rumah ini. Iya, itulah awal dari semua rentetan peristiwa yang berikutnya bukan hanya aku saja yang mengalami, Papa dan Albie juga pada akhirnya harus merasakan.
Di awal tadi aku sempat menyinggung tentang aku menemukan helai rambut panjang, dan itu bukan pertama kali, bukan juga yang terakhir. Albie dan Papa juga sering menyinggung tentang rambut ini.
Mereka pernah menemukannya di kamar tidur, kamar mandi, ruang tamu, dan yang paling sering adalah di lantai atas, tempat di mana kami jarang menempatinya.
Seperti yang aku bilang tadi, helai rambut ini agak aneh karena panjangnya gak biasa, dan gak cuma satu atau dua helai, tapi banyak. Ini rambut siapa? Dari mana datangnya? Itu pertanyaan yang ada di benak kami.
***
“Kak, semalam gue nemu rambut lagi, di kamar mandi,” Albie bilang begitu pada suatu pagi.
“Trus, lo apain?” tanyaku penasaran.
“Tapi kali ini beda, Kak. Jadi bukan hanya di satu tempat, gak cuma di kamar mandi aja, tapi banyak,”
“Banyak gimana?”
“Iya, jadi rambutnya kayak yang mau menuntun gue, dari kamar mandi, trus ke ruang tengah, tangga, sampe akhirnya ke lantai atas, di kamar depan, Kak,”
“Serius lo?”
“Iya,Kak”
“Kok berani? Gak serem?”
“Kan gue bilang tadi, gue penasaran. Sampe akhirnya gue lari ketakutan, karna di kamar atas itu gue denger ada suara perempuan bersenandung. Serem banget, Kak”
“Duh, Bie. Jangan gitu lagi ya, cuekin aja, Gue juga pernah denger suara senandung itu.”
Itu percakapannya, cukup tegang akhirnya kami menceritakan semua pengalaman dari kejadian aneh menjurus seram yang pernah kami alami di rumah ini.
***
Berikutnya,
Aku ingat sekali, waktu itu hari kamis malam jumat, kebetulan Papa sedang ada urusan yang harus diselesaikan di Jakarta, jadi aku hanya berdua Albie di rumah.
Lokasi daerah di mana rumah ini berada memang masih bisa dibilang jauh dari keramaian kota, sepi sudah meraja selepas waktu maghrib, setelahnya hanya tersisa gelap remang suasana terpaan cahaya lampu seadanya.
Malam itu aku dan Albie seperti biasa menghabiskan waktu di ruang tengah depan tv, berbincang membahas apa saja yang bisa dibahas.
Aku tahu, kalau Albie juga sama seperti aku, punya perasaan was-was karena kami hanya berdua di rumah sendirian, makanya sebisa mungkin terus berbincang untuk mengalihkan pikiran.
“Papa whatsapp, katanya pulangnya malem, kita disuruh tidur duluan,” ucapku.
“Tanya pulangnya jam berapa gitu, Kak,”
“Jam 1-an katanya, masih ada urusan,”
Wajah Albie terlihat cemas, aku ngerti, karena aku pun sama. Tapi ya mau gimana lagi, kami hanya bisa pasrah menunggu sampai Papa pulang.
“Kita tidur di kamar Papa aja ya, Bie,”
“Iya, kak,”
Singkatnya, sekitar jam 10 kami masuk kamar, mencoba untuk tidur.
Kamar Papa ini cukup besar, karena sekaligus sebagai ruang kerja. Jadinya masih terasa lowong ketika aku dan Albie tidur di dalamnya. Kami tentu saja menutup pintu dan menguncinya.
Sudah jam 11 nyaris tengah malam, tapi aku masih saja belum bisa memejamkan mata, sementara Albie sudah nyenyak dalam tidurnya. Tapi sukurlah, entah kenapa ketika menjelang jam 12 tiba-tiba kantuk datang menyerang, aku pun akhirnya tertidur.
***
Aku merasakan kalau tangan kanan ada yang mencengkram kuat, aku jadi terjaga. Cengkraman ketakutan.
Kaget, aku lalu coba melihat siapakah yang sedang memegang tanganku ini, ya tentu saja Albie. Tapi kenapa dia begitu? kenapa mencengkram tanganku?
Kamar dalam keadaan gelap, hanya cahaya lampu dari luar jadi sumber sedikit penerangan. Makanya, walaupun gelap aku tetap masih bisa menatap wajah Albi di sebelahku.
Ternyata Albie sepertinya terjaga lebih dulu. Aku keheranan, disamping cengkraman kuat tangannya ternyata wajah Albie terlihat ketakutan, was-was.
“Knapa, Bie? Ada apa?” bisikku pelan.
“Sssstttt..” Albie memberi isyarat seperti itu, meminta aku untuk diam, kemudian tangannya menunjuk ke luar, ke ruang tengah.
Aku turuti isyaratnya, untuk diam dan memperhatikan ruang tengah.
Ruang tengah? Kok ruang tengah bisa terlihat? Pintu kamar dalam keadaan terbuka, makanya kami bisa melihat ke luar, padahal aku yakin kalau sebelum tidur tadi kami sudah menutup pintu dan menguncinya.
Albie gak bersuara, tapi kepalanya menggeleng pelan.
Kembali aku memperhatikan ruang tengah, Albie juga.
Hening menguasai, sepinya menghujam nyali, kami hanya bisa terus berdiam diri.
Senyap..
Sampai akhirnya, sesuatu mulai terjadi..
Kami mendengar senandung, senandung perempuan. Awalnya samar, karena sepertinya sumber suara masih di kejauhan. Tapi lama kelamaan, makin jelas dan makin jelas lagi.
Senandung nyanyian yang aku belum tahu nyanyian apa, tapi kedengarannya sungguh seram, nada-nada sedih melantun cekam.
Aku dan Albie berpegang tangan erat, kami ketakutan, ketika senandung itu sepertinya makin dekat ke pintu kamar..
Lampu ruang tengah juga mati, gelap, namun kami masih bisa melihat dengan jelas karena serpihan cahaya dari luar.
Degup jantung serasa berhenti, aku merasakan keringat dingin sedikit demi sedikit mulai jatuh, ketika akhirnya si empunya suara terlihat, sangat jelas..
Dia berjalan pelan di ruang tengah, yang sepertinya dari arah tangga, lantai atas.
Sosoknya perempuan, berpakaian gelap, dengan wajah nyaris gak kelihatan karena tertutup untaian rambut panjang, rambut panjang yang tergerai hingga nyaris menyentuh lantai.
Sungguh sangat menyeramkan, dia berjalan sambil bersenandung, yang lebih ngeri lagi senandungnya sesekali diselingi oleh tawa kecil tertahan.
“Kaaak..,” Albie berbisik pelan menahan tangis.
Terus kami perhatikan sosok perempuan itu, sampai akhirnya dia duduk di kursi depan tv, sambil terus bersenandung dan tertawa kecil.
Gak tahan lagi, perlahan aku menarik selimut yang ada di kaki, dengan maksud menutup wajah kami supaya gak lagi bisa melihat perempuan itu. Albie mengikuti gerakanku, dia ikut menarik selimut sampai menutup wajah.
Iya, akhirnya kami tercekam ketakutan di balik selimut.
Tapi selanjutnya apa yang terjadi?
Aku mendengar, kalau senandung mulai bergerak lagi, sepertinya perempuan itu mulai bangkit dari duduk, aku merasakan itu walau gak melihatnya langsung. Suaranya makin jelas dan makin dekat, cekikikan tawanya juga begitu, makin jelas.
Aku dan Albie sadar dan yakin, dari suaranya, perempuan itu seperti bergerak melangkah masuk ke dalam kamar! mendekat ke tempat tidur di mana kami sedang berada di atasnya, sedang sangat ketakutan.
Sungguh sangat mengerikan, ketika beberapa belas detik kemudian, dari balik selimut kami sangat yakin kalau perempuan ini sudah berada berdiri persis di samping tempat tidur. Kami yakin itu karena suaranya sangat jelas.
Sama sekali gak ada nyali untuk membuka selimut dan melihatnya.
Suara senandung makin keras dan jelas, cekikikan sekali-kali juga begitu seram kedengaran. Tangisan Albie makin kuat, aku pun begitu, walau tertahan.
Tuhan, tolong kami..
Sungguh waktu berjalan sangat lambat, bergulir sangat pelan..
Tapi, akhirnya doa kami terkabul, entah sudah berapa menit berlangsung tiba-tiba aku mendengar ada suara mesin kendaraan di halaman, Papa pulang!. Bersamaan dengan itu, suara senandung dan tawa cekikikan ikut menghilang.
Kami langsung membuka selimut lalu bergegas lari keluar..
Di luar, kami langsung memeluk papa erat-erat. Papa langsung mengerti kenapa kami berperilaku seperti itu.
***
Begitulah sedikit pengalaman yang bisa aku ceritakan, sedikit dari banyak lagi kejadian seram yang pernah kami alami.
Akan aku ceritakan lagi lain waktu kalau ada kesempatan.
***
Hai, balik ke gw ya, Brii..
Begitulah, kisah seram yang dialami oleh salah satu teman. Mungkin lain waktu dia bisa menceritakan lagi episode berikutnya.
Tetap jaga kesehatan, supaya bisa terus merinding bareng.
Sampai jumpa minggu depan,
Salam,
~Brii~
• • •
Missing some Tweet in this thread? You can try to
force a refresh
Seperti suara, ada tapi gak terlihat. Susuran ruang dan waktu sering kali gak sesuai capaian akal, atau mungkin kita belum sampai ke tahapan itu.
Raka akan bercerita tentang perjalanannya ke Jogja yang berbelok entah ke mana.
Simak semuanya di sini, hanya di Briistory..
***
Seperti biasa, beberapa belas menit sebelum stasiun Lempuyangan aku terbangun, menghela nafas sebentar berusaha memaksimalkan kesadaran setelah tidur cukup lama.
Di luar gerimis, jendela kereta basah tapi gak terlalu. Atap rumah-rumah yang terlewati kelihatan basah, begitu juga jalanan. Lampu kota gak seterang malam awal, apa lagi ini bukan Jakarta, penerangan seadanya, rumah-rumah hanya menyalakan lampu kecil, banyak juga yang malah nggak ada penerangan, tapi semuanya akan sedikit berubah ketika kereta mulai memasuki Jogjakarta.
(Katanya) Ada banyak lapisan dimensi di alam ini, tapi gak banyak orang yang bisa masuk dan merasakan berada di dalam dimensi lain.
Menurut kamu, apakah Niko sedang menembus antar dimensi ketika tersesat di kaki Gunung Kerinci seperti ceritanya di bawah ini?
Simak di sini, hanya di Briistory.
***
Tersesat, aku benar-benar tersesat..
Jarak pandang jadi sangat pendek karena tertutup kabut tebal, jalan setapak yang tidak rata serta licin jadi medan berat yang harus dilalui. Tas ransel besar di punggung makin terasa berat. Udara sangat dingin.
Aku tidak tahu harus melangkah ke mana..
Jalan setapak ini kadang menanjak, kadang menurun, tapi sepertinya lebih banyak menurun jadi sepertinya ini sudah ke arah yang benar, yaitu ke kaki gunung. Syukur-syukur kalau bisa menemui sungai, aku bisa menyusuri arusnya menuju hilir yang sudah pasti ada pemukiman di sana. Tapi, entah sudah berapa jam berjalan tanpa arah seperti ini, aku belum juga menemukan aliran sungai, suara air mengalir pun tidak terdengar, apa lagi pemukiman penduduk, tidak ada sama sekali.
Mungkin penghuni lama hanya ingin berkenalan, menunjukkan eksistensi kepada kita yang baru datang. Tapi sering kali, caranya sangat menguji nyali.
Indra, ingin berbagi pengalaman seram ketika bekerja di pergudangan tua di Cianjur.
Simak di sini, hanya di Briistory..
***
“Emang begini keadaannya, tinggal dibersihin dikit aja udah enak deh, hehe,” kata Kang Ijal, sambil cengengesan.
Buset, ini si udah kayak gudang gak keurus, berantakan banget, akan kerja keras aku membereskannya.
“Nanti, Mas tinggal di sini bareng Pak Rony, dia di kamar depan, sekarang orangnya lagi mudik, biasanya nanti malam atau besok pagi udah balik lagi ke sini,” kata Kang Ijal lagi.
Aku masih terus memperhatikan ruangan yang nantinya akan aku gunakan sebagai kamar tempat tinggal.
Kadang kita disuguhi kejadian seram ketika berkendara melintas malam, tertuang dalam fragmen gelap berbalut kengerian.
Salah satu teman akan berbagi cerita klasik seram ketika melintas di Jalur Purwakarta Bandung pada tahun 1996.
Simak di sini, hanya di Briistory.
***
Normalnya, Purwakarta Bandung bisa ditempuh dalam kisaran satu sampai dua jam saja, tapi kalau aku biasanya santai, jadi seringnya sampai dua atau malah tiga jam lebih kalau harus beristirahat makan dulu di satu rumah makan.
Belum terlalu lama aku rutin berkendara sendiri rute Jakarta Bandung, semua berawal dari dua bulan lalu ketika harus berkantor di Jakarta, sementara Istri dan anak-anak tetap tinggal di Bandung.
Pedalaman Sumatera menyimpan banyak cerita, jejak seram tergelar nyaris di setiap sudutnya.
Salah satu teman akan menceritakan pengalamannya ketika mengalami kejadian mengerikan di perkebunan bambu di dalam hutan Sumatera, simak di sini, hanya di Briistory.
***
“Satu batang lagi, ah”
Aku bergumam sendiri, sambil memandang jalanan di depan yang kosong, gak ada kendaraan sama sekali, hanya gelap tanpa penerangan.
Aku duduk sendirian di depan gubuk kecil pinggir jalan yang letaknya di tengah-tengah antah berantah di belantara Sumatera.
Gak tahu pasti di daerah mana aku berada saat ini, hampir jam dua belas tengah malam, ponselku mati kehabisan baterai, sempurna.
Panti Asuhan yang terletak di tengah-tengah hutan kecil, banyak cerita dan peristiwa seram di dalamnya. Dalam rentang waktu pertengahan 1990-an, semuanya akan tertuang di series “Panti Asuhan” ini.
Simak di sini, hanya di Briistory..
***
Seperti di tengah-tengah hutan, walaupun terbilang kecil tetapi hutan ini cukup banyak menampung pepohonan, berbagai jenis pohon ada, dari yang kecil sampai yang menjulang tinggi, dari yang jarang sampai yang lebat dedaunan, rumah panti asuhan berdiri hampir di tengah hutan kecil ini. makanya, sepanas apa pun kondisi cuaca, lingkungan panti tetap terasa relatif sejuk dan segar udaranya.
Akan makin terasa suasana hutan di waktu pagi, udara sejuk terbilang dingin di mana embun tebal menghias permukaan lingkungan panti dan sekitarnya, sampai sang embun menghilang terkikis oleh hangatnya sinar mentari.