Kalau Gion Kyoto ada di Jakarta, udah habis ini digugat netijen maha benar utk digusur krn bangunannya di bantaran kali.
Tepi kali, beserta hunian & warganya tdk pernah diberi kesempatan utk menata & memperbaiki diri.
Seolah2 nasibnya cuma 1:gusur & jadikan jalan inspeksi.
Kalau kamu memberikan keleluasaan “udah terlanjur” kepada 4000 hektar lahan developer yg “mencuri” RTH Jakarta, kenapa tidak berikan jg kesempatan yg sama pada yg di bantaran kali utk menata, mundur-motong bangunan atau melakukan konsolidasi tanah?
Memberi kesempatan kepada yg miskin akses dan miskin ekonomi utk mendapatkan penyelesaian thdp masalah agraria mereka (agar tidak jadi korban penggusuran paksa) itu TIDAK SAMA dengan memperbolehkan/membiarkan mereka tinggal di tempat berbahaya.
Netijen imajinasinya kejauhan.
Penyelesaian agraria itu scr fisik spt apa? Ya macam2, penataan setempat, konsolidasi, motong, reblocking, geser, hingga pilihan pindah sekampung2nya.
Penyelesaian agraria tdk bisa diambil jk pilihannya cuma 1 top down dr pemerintah & penuh prasangka (kadang salah alamat pula).
Banjir Jakarta itu tidak 1 dimensi. Membebankan banjir pada hunian orang miskin di bantaran kali bukan saja menunjukkan kesalahan dalam memahami akar masalah banjir tapi juga sudah tidak adil dalam pikiran.
Balik ke Jakarta.
Langgar Tinggi di Pekojan. Sisa2 budaya sungai Jakarta. Dulu kemana2 naik perahu - ya otomatis bangunannya nempel ke kali dan hadap ke kali. Sekarang masih berdiri. Ini mau digusur?
Lihat kota gak bisa saklek hitam putih. Lah jumlah warna yang bisa didisplay komputer aja sampai 16.8 juta warna - kok ya kamu nuntut jawaban ya dan tidak untuk kehidupan dan sejarah kota yang kompleks.
• • •
Missing some Tweet in this thread? You can try to
force a refresh
Tp gua teteup bingung harus ya bikin Aerotropolis di Kulon Progo yg kesusahan air (ngundang banyak orang utk tinggal).
Sampai ada CBD, pusat ini itu, dan radiusnya sampai 15 km dr Bandara NYIA. Mau nambah brp ribu? Siapa yg mau tinggal? Kalau pembeli mah, spekulan selalu ada.
Sptnya ada salah kaprah dlm pemahaman & pengembangan aerotropolis NYIA. Biasanya aerotropolis ambil keuntungan hub yg terbentuk akibat pengaruh si airport itu, misalnya: Incheon, Dallas. Entah jd hub bisnis atau logistik.
Kalau kompleks perumahan biasa mah bukan aerotropolis😅
Ini tipikal kabita dan latahnya orang Indonesia. Stempel ini itu tanpa paham bener isinya apa. 😑
Intinya sih, kiita bisa mengatur apa yg terjadi saat ini, dan mencegah kerusakan yg lebih lanjut di masa depan. Proyeksi masa depan dipakai utk preventif, dan bukannya malah cari2 sumber utk menuhin rakusnya.
Iseng baca thesis S2 Twente Uni yg lokasi penelitiannya di Sungai Bogowonto yg dibendung oleh Bendungan Bener.
Ternyata terkait persawahan, masalah utamanya itu di kualitas saluran irigasi yang buruk dan tak terrawat …
Kok ya solusi yg muncul tau2 bendungan? 😅
Dalam thesis juga menyatakan kombinasi perbaikan irigaai dan reservoir dianggap cukup utk mengurangi defisit air (namun msh ada potensi kekeringan 50 mm/thn) - tetapi hal itu bisa ditangani dgn cara melakukan pendataan lbh detil hingga perubahan tipe tanaman.
Kalau baca di paparannya BBWS, memang kelihatan penambahan kapasitas irigaai aebelum sesudah bendungan ya gak fantastis.
Tidak benar pindah ibukota itu untuk pemerataan dan untuk kurangi beban di Jawa.
Formasi “proyek strategis” dan ekstraksi yang mengikutinya itu masih mendorong Jawa jadi pusat segalanya kok …
Gak perlu pakai kajian fafifuwasweswos planner plannur panjang-panjang.
Rencana Aerotropolis dalam RDTR Kulon Progo diperbesar radiusnya dari 5 km menjadi 15 km dr titik NYIA. 3x lipat sampai Wates - biar kena RSUD, salah satu alasan, katanya.
Tanpa air bendungan Gabener, bisa buyar tuh rencana.
Tp buat apa sih perluasan 3x lipat. Nampung sopo?
Kawasan Industri sepanjang pantura Jabar, Jateng dan Jatim. Itu berapa ratus Km lansekap yang diubah paksa? Lengkap sama jaringan tol dll … apa memang butuh sebanyak itu? Terus saja logisrik dan industri ditumpuk terus smtr pesisir makin berat tenggelam.
Aktipis ndak cuma harus jadi malaikat tanpa dosa setitikpun tapi juga harus berbahasa melewati batas-batas dekolonialisme tapi gak boleh pakai bahasa asing susah dipahami dan jangan terlalu fafifuwasweswos ditambah larangan sahut2an entar dimasukkan sirkal sirkel.
Harus terima kritik otokritik kudu siap siaga ingetin dan negor sirkel walaupun orang ini itu bukan sirkel beneran kalau kritik kudu kasih solusi juga dan kalau kasih solusi siap dicurigai minta proyek kalau kritik tokoh A dianggap dibayar B pokoknya lebih malaikat drpd Jibril.
Dulu, hmmm 12 th lalu saya dan @mkusumawijaya pernah tanya ke @FaisalBasri kenapa hanya sedikit ekonom yang berbicara soal ekonomi kota? Lupa jawaban beliau dulu apa….