Diosetta Profile picture
Mar 10, 2022 870 tweets >60 min read Read on X
KERIS BENGGOLO IRENG

..Sumpah itu harus dipenuhi, bahka bila ratusan nyawa yang menjadi bayaranya..

@bagihorror
@mwv_mystic
@qwertyping
@IDN_Horor
@ceritaht
@cerita_setann
@horrornesia Image
Part 1.1 - Lilin Tengah Malam

Malam itu hujan deras mengguyur seluruh desa tanpa henti. Kilatan petir menggelegar sesekali memendarkan cahaya ke dalam rumah melalui jendela. Aku terbangun oleh sebuah mimpi aneh yang sulit untuk kujelaskan.
Sebuah mimpi yang menunjukan bahwa bapak, ibu, dan mbakyu datang kepadaku dalam wujud pocong dengan wajah yang sudah membusuk dan penuh dengan belatung.

Aku memutuskan untuk keluar dari kamar dan mengambil segelas air putih dari pawon untuk menenangkan diriku.
Anehnya suasana rumah kali ini benar-benar berbeda dari biasanya, bukan lampu-lampu bohlam kuning yang biasa menerangi ruangan-ruangan saat malam, melainkan malah lilin-lilin yang di pasang secara teratur yang terlihat menerangi ruangan.
Tidak hanya itu, aku mencium bau kemenyan dan aroma kembang seperti yang sering kurasakan di pemakaman.

“Bapak… Ibu…”
Aku mencoba memanggil kedua orang tuaku dengan suara yang gemetar untuk mencari tahu apa yang sedang terjadi di rumah ini. Sayangnya, hanya suara kilatan petir yang kembali menjawabku.

Aku terus berjalan mencari tahu hingga terhenti di ruangan belakang.
Ada sebuah pintu di sana…
Sebuah pintu yang aku tidak pernah tahu bahwa pintu itu pernah ada, dulunya posisi itu selalu ditutup oleh lemari jati besar dan megah dengan ukiranya yang menawan yang sekarang sudah berpindah tak jauh dari posisi sebelumnya.
Aroma kemenyan tercium semakin jelas dan lagi cahaya terang dari beberapa lilin juga terlihat di sana. Sebuah perasaan yang aneh menyelimuti pikiranku namun aku masih ingin memastikan apa yang sedang terjadi di rumah ini.

“Mimpi… ini pasti mimpi!”
Setidaknya itulah harapan yang kurasakan saat memasuki ruangan ini, Karena sudah pasti aku akan sulit mempercayai apa yang kulihat.
Di ruangan itu ibu tergantung terbalik tanpa sehelai benangpun dengan darah yang tidak berhenti mengalir dari setiap lukanya. Aku mencari keberadaan wajahnya, namun saat kutemukan bola matanya sudah tidak lagi ada ditempatnya.
Di sebelahnya juga tergantung jasad Mbakyu kakak perempuanku dengan nasib yang sama dengan darah yang menggenang di bawahnya , dan orang yang melakukan itu adalah…
Bapak..
Bapak berdiri di hadapan Ibu dan Mbakyu dengan tawa terselak-selak yang terdengar aneh bersama darah yang membasahi hampir seluruh tubuhnya. Di belakangnya samar-samar terlihat sosok makhluk besar dengan wajah yang sama sekali tidak menyerupai manusia.
Sesosok makhluk bermata besar dengan taring yang panjang jauh melebihi mulutnya sendiri sedang menjilati darah di tubuh bapak. Kulitnya hitam gosong bersama kuku yang tajam dan lidah yang menjulut seolah tidak mampu tersimpan di mulutnya.
Saat itu aku tidak mampu bergerak dengan semua pemandangan yang tersaji dihadapanku. Terlebih lagi , kejadian itu disaksikan oleh berbagai makhluk tak kasat mata yang memenuhi ruangan.
Semua makhluk yang selama ini hanya sering ku dengar dalam cerita ataupun bualan seseorang, kini terpampang jelas di hadapanku. Makhluk berlilitkan kain kafan penuh noda darah, hantu perempuan yang melayang di sudut ruangan ,
hingga setan kakek tanpa wajah yang menyaksikan sambil merayap di dinding.

Aku kembali menatap kepada Bapak. Raut wajahnya saat itu seolah terlihat bahwa ia adalah bagian dari sekumpulan makhluk-makhluk di situ.
Dan saat salah satu dari mereka mulai menatapku aku merasa nyawaku dalam bahaya, tubuhku gemetar dan kulitku memutih pucat.

“Lari…”

Sebuah angin berhembus mengantarkan sebuah kata yang memperingatkanku untuk lari dan sepertinya memang itu yang harus aku lakukan.
Namun saat baru saja aku mencoba berdiri, bapak sudah menoleh ke arahku. Di tanganya tergenggam sebuah keris… ya, sebuah keris berwarna hitam dengan ukiran emas yang indah. Sayangnya, keindahanya sudah sangat ternodai oleh darah ibu dan mbakyu.
Di tengah kebingunganku angin dari badai diluar menghempaskan pintu rumah hingga terbanting terbuka dengan keras.

Sekuat tenaga aku berlari ke arah pintu itu, ke arah hujan badai petir yang sudah semalaman mengguyur seluruh desa.
“Indira… tunggu! I--ini… bukan bapak!” Terdengar dari belakang suara bapak yang berbicara dengan suara gemetar. Aku sempat ragu untuk berlari, namun sayup-sayup aku mendengar suara dari ruangan itu.

“Bunuh anak itu juga…”

“ Semua harus mati…”

“ Jangan ada yang tersisa…”
Suara itu terdengar bergantian seolah memaksa bapak untuk membunuhku.
“Lari dan jangan berhenti hingga hujan reda” Suara angin tadi terdengar lagi dan kali ini aku memantapkan diri untuk berlari ke dalam derasnya hujan meninggalkan bapak di tempat itu.
Sesekali terdengar suara sosok yang mengejarku, namun aku tidak perduli. Aku berlari dan terus berlari. Di tengah kelelahkanku samar-samar aku menyaksikan puluhan sosok makhluk tak kasat mata memandangiku dari setiap sudut-sudut desa.
Namun aku teringat akan suara berbisik tadi dan terus berlari hingga hujan ini berhenti.
Semua ini jauh diluar akal sehatku, baru saja semalam aku, ibu, mbakyu dan bapak makan malam bersama dan menghabiskan waktu untuk bercerita,dan saat ini semua berubah seperti neraka.
Apa yang merubah bapak hingga sampai seperti itu?
Sebuah keris…
Di genggaman bapak ada sebuah keris yang memancarakan kekuatan hitam..

Aku teringat sebuah kejadian dimana kedua pamanku memperebutkan kepemilikan keris yang digenggam oleh bapak.
Sebuah keris warisan keluarga kerajaan yang turun termurun entah bagaimana ceritanya selalu dimiliki oleh keturunan keluargaku. Konon menurut cerita , Keris itu mampu menaikkan derajat pemiliknya dan memberikan kesaktian.
Perebutan pusaka itu mengakibatkan perang santet antara kedua saudara bapak. Istri dari pakde Sumar sampai kehilangan penglihatanya, sedangkan Anak dari Pakde Yarto kehilangan kewarasan sampai bertingkah seperti orang gila.
Hal ini membuat bapak sebagai anak tertua yang sebenarnya tidak berminat dengan pusaka itu mengambil alih kepemilikan pusaka itu hingga nanti salah satu dari kedua saudaranya ada yang mau mengalah.

Apakah kejadian ini ada hubunganya dengan hal itu? Apakah dengan kedua pamanku?
Atau apakah ini adalah kutukan dari keris itu?
Sebuah keris pusaka keluarga yang menurut cerita bapak selalu membawa kesejahteraan sekaligus petaka saat memilikinya…
Sebuah keris pusaka dengan ukiran yang indah namun kekuatan hitam yang tidak pernah berhenti terpancar setiap ia terlepas dari warangkanya..
Sebuah keris yang kami sebut dengan nama…
Keris Benggolo Ireng…

***
Part 1.2 - Tarian Nenek Terkutuk

"Keris Ndoro Songgokolo sampun bangkit.. Banjir getih uwis ora iso dihindari”

(Keris Ndoro Songgokolo sudah bangkit.. Banjir darah sudah tidak bisa dihindari)
Seseorang.. entah pria atau wanita , aku melihatnya dengan samar-samar.Ia mengatakan hal itu di dalam mimpiku sebelum akhirnya tersadar dan terbangun di sebuah rumah kayu tua dengan kain basah yang menempel di dahiku.
Tubuhku lemas, aku menyentuh leher dan dahiku dan mendapati hawa panas dari sentuhan kulitku. Sepertinya aku demam semalaman. Tapi.. ini di mana?
Aku mencoba untuk berdiri namun tubuhku terlalu lemah , pandanganku kembali berputar ketika aku mengangkat kepalaku sebelum akhirnya kembali terbaring di kasur kapuk lusuh satu-satunya di rumah ini.
“Hehhh… Cah ayu, jangan bangun dulu! Kamu demam tinggi semalaman. Nanti tambah parah!”
Seorang ibu-ibu tua berjalan dengan cepat menghampiriku saat mengetahui aku sudah tersadar. Sepertinya ia pemilik rumah ini.

“Bu… ini dimana? Kenapa saya bisa ada di sini?” Tanyaku.
“Ini rumah saya, Panggil saja Mbok Nasri.. kamu semalem mbok temuin pingsan di jalan. Ya udah mbok angkut pakai gerobak sayur simbok ke rumah” Jelasnya.
Aku mencoba mengingat kejadian semalam , semua yang kuingat seperti mimpi buruk bagiku namun keberadaanku disini memastikan bahwa ibu,mbakyu benar-benar telah mati di tangan bapak persis seperti yang kulihat semalam.
Saat itu, tanpa sadar aku menitikkan air mata tak mampu menahan rasa sedihku. Mbok Narji yang mengerti perasaanku segera meninggalkanku setelah meletakkan segelas teh hangat di meja kecil di sampingku.
“Ya sudah, mbok tinggal dulu biar kamu tenang. Tehnya diminum sambil mbok carikan sarapan” Ucap simbok dengan penuh perhatian.

“I—iya mbok, maafin Indira ya mbok” Jawabku.
“Oo.. jadi nama kamu Indira. Ya sudah, istirahat.. nggak usah mikir macem-macem. Anggap saja rumah sendiri” Lanjut Mbok Nasri yang segera meninggalkanku yang masih berkutat dengan tangisanku.

Bapak…
Aku meratapi keadaanku saat ini, apa yang harus kulakukan? Satu-satunya anggota keluargaku yang masih hidup adalah bapak, tapi dialah yang membunuh ibu dan Mbakyu.
Pakde Sumar dan pakde Yarto .. entah apakah mereka masih waras , atau malah merekalah sumber masalah kejadian semalam.
entahlah.. sepertinya tubuhku masih terlalu lemah dan kehilangan kesadaran dengan demam dan rasa sakit di kepala yang terus mengganguku.
Di perbatasan kesadaranku samar-samar aku mendengar suara renta menyanyi dengan melantunkan kata-kata yang terdengar jelas olehku.
Putune sing nggowo pati sampun teko, ono janji sing kudu dituntaske…
Aku terbangun lagi dan melihat seorang nenek-nenek mencoba menghampiriku dari depan pintu sambil setengah menari kegirangan dengan tubuh rapuhnya dan memamerkan giginya yang hitam dan rambut putihnya yang acak-acakan.
Sewu jiwo boten cukup muaske ndoro gusti, ora ono ilmu sing iso ngalahke bala tentara doro gusti…

(Seribu jiwa tidak cukup untuk memuaskan yang mulia, tidak ada ilmu yang bisa mengalahkan bala tentara yang mulia)
Nyanyian itu terdengar asal asalan, namun keberadaan nenek yang menari mendekat ke arahku membuatku histeris dan berteriak sekuat tenaga hingga terdengar suara pintu terbanting dan sosok nenek itu menghilang dari pandanganku.

“ya ampun nduk.. kenapa kamu?”
Ucap Mbok Nasri yang muncul menghampiriku dari luar setelah mendengar teriakanku.
“Ada nenek-nenek Mbok.. giginya hitam, rambutnya acak-acakan dia menari masuk ke rumah sambil nyanyiin lagu yang serem” Ucapku ketakutan.
“Mana? Ora ono.. nggak ada” Balas Mok Nasri sambil menoleh ke segala arah di rumahnya sembari memelukku.

Memang ucapanku terdengar cukup aneh, tapi aku benar-benar melihat keberadaan nenek itu.
“Mungkin mimpi buruk, kalau demam memang biasanya mimpinya aneh-anah” Ucap Mbok Nasri.
Aku mengangguk.

“Iya mbok, mungkin mimpi buruk” Balasku yang tidak mau membuat Mbok Nasri menjadi lebih khawatir.
“Ya sudah, makan dulu ya.. mbok masak soto. Makan yang banyak , biar ada tenaga dan cepat sembuh” Ucap mbok Nasri.

Sekali lagi aku mengangguk mengiyakan dan menerima semangkuk soto masakan Mbok Nasri.
Aku memandang masakan yang diberikan kepadaku.

Hanya semangkuk soto dengan lauk ceker yang sangat sederhana. Sangat jauh dari masakan yang biasa dihidangkan di rumah oleh ibu.
Namun saat kembali melihat kondisi rumah ini aku tahu dengan pasti, ini adalah hal terbaik yang bisa disuguhkan Mbok Nasri padaku.
saat sudah mendapat tenaga yang cukup untuk berdiri, aku memaksakan tubuhku untuk melangkah keluar menghampiri Mbok Nasri yang sedari tadi terlihat sibuk di luar.

Sebuah desa kecil yang cukup ramai, warga desa terlihat berlalu lalang dengan kepentinganya masing masing.
“Mbok, cucunya?” Tanya seorang ibu yang sedang asik memilih sayuran yang digelar oleh Mbok Nasri di meja kayu yang sudah rapuh di depan rumahnya.

“Njih bu, namanya Indira… ayu to?” Ucap Mbok yang menoleh sekilas ke arahku.
“Iyo mbok, wajar kok.. Mbahnya juga ayu” Balas ibu itu yang segera menyelesaikan belanjanya dan meninggalkan kami dengan melemparkan senyuman.
Aku membalas senyuman ibu itu dan menghampiri Mbok Nasri.

“Aku bantuin mbok,” ucapku yang segera menghampiri mbok Nasri.
“Nggak usah repot-repot, mbok udah biasa.. memangnya kamu sudah sehat?” Tanya Mbok Nasri.

Aku mengangguk sembari mengambil kantong kresek yang tergantung di bawah meja dan membantu pembeli memasukkan belanjaanya yang telah dihitung oleh Mbok.
“Matur nuwun yo mbok, maaf sudah ngerepotin..nanti kalau sudah bener-bener sehat Indira langsung pamit” Ucapku yang merasa tidak enak sudah merepotkan Mbok yang menolongku.
“Ya ampun nduk, jangan buru-buru… kamu tinggal di sini dulu juga gapapa. Mbok tinggal sendirian, seneng banget kalau ada yang nemenin” Ucap mbok sambil mengelus-ngelus punggungku.
Aku menatap mata Mbok Nasri dan melihat kekecewaan dari matanya saat aku mengucapkan kata pamit tadi. Sepertinya mbok benar-benar senang ada yang menemaninya di rumah.
“B—benar tidak apa-apa mbok?” Tanyaku dengan suara yang gemetar saat teringat bahwa aku tidak tahu harus kemana setelah ini.

“Bener, sudah tinggal di sini saja dulu. Tapi ya mohon maaf, rumah mbok begini adanya. Malah lebih pantas disebut gubuk” jawab mbok.
“Nggak masalah mbok, kalau boleh saya ijin tinggal di sini sampai saya tahu haru ke mana..” Ucapku.

Mbok menatap ke arahku dan sekali lagi mengelus punggungku.
“Iya Nduk, anggap saja rumah sendiri.. Mbok nggak tahu masalah apa yang kamu hadapi, tapi kamu bebas tinggal di sini selama apapun” Balas Mbok dengan wajah yang penuh perhatian.
Lewat tengah hari dagangan simbok sudah habis terjual dan hanya tersisa sayur-sayur yang tidak layak untuk dijual. Memang sedikit lebih lama dari daripada pedagan sayur yang berjualan di pasar, tapi katanya mbok lebih nyaman berjualan di rumahnya agar tidak perlu mondar-mandir.
Mbok mulai memilih bagian-bagian sayuran yang masih bisa di makan dan mempersiapkan tungku dan kayu bakar yang ada di pawonya. Aku cukup kaget , saat ini masih ada yang menggunakan kayu bakar untuk memasak. Padahal kompor gas dan kompor minyak sudah dijual murah di pasar.
“Sudah nduk, biar mbok aja yang masak.. kamu istirahat dulu saja atau jalan-jalan keliling desa. Siapa tahu bisa menjernihkan pikiranmu..” Ucap mbok.
Benar juga, mungkin aku bisa menjernihkan pikiranku sambil mencari tahu dimana aku saat ini.
“Yowis mbok, aku pamit dulu ya..”
“Hati-hati… kalau nyasar tanya saja rumah mbok Nasri”
“Iya mbok..” Aku berpamitan dan segera berjalan meninggalkan rumah yang sepertinya terlihat paling tua di antara rumah-rumah lain di desa ini.
Sebuah desa dengan bangunan yang berjejer cukup padat namun beberapa warga masih memiliki lahan untuk kebun sayuran dan memelihara ayam dan kambing.
Walaupun di tengah hari, desa ini masih terasa cukup nyaman dan tidak terlalu panas. Mungkin karena masih banyaknya tumbuhan besar di setiap bagian desa ini dan lagi ada sebuah hutan di belakang desa yang membuat pemandangan desa ini terlihat sangat sejuk.

Desa Wadirejo..
Tertulis di sebuah gapura pintu masuk desa sebagai penanda nama desa tempatku berada saat ini. Aku berjalan cukup jauh hingga menemukan beberapa desa di sekitar desa Wadirejo yang ternyata tidak terlalu jauh dengan desa lainya.
“Mbak, bukan orang desa sini ya?” Tiba-tiba terdengar suara seorang anak laki-laki bersarung yang sedang menuntun sepedanya yang penuh dengan rumput pakan ternak.

“Eh bukan, saya cucunya Mbok Nasri” Jawabku.
“Ooo.. Mbok nasri, aku kok baru tahu kalau mbok nasri punya cucu ayu yo… “ Balasnya.

Aku hanya membalas dengan senyum. Lagipula aku harus membalas apa ucapan iseng dari seorang anak desa yang kebetulan lewat.
“Yowis mbak, kalau mau butuh apa-apa mampir ke rumah saya saja di gang tujuh yang ada kambingnya. Pasti saya bantu” Ucap bocah itu yang ternyata ramah tidak seperti prasangkaku barusan.
“oh iya.. kalau sudah malam jangan main ke hutan ya! Katanya kalau malam di sana ada nenek-nenek yang mukanya serem…” Ucapnya yang segera pergi meninggalkanku tanpa menjelaskan maksudnya.

Nenek?
Saat itu juga aku teringat sosok nenek yang menari memasuki rumah mbok pagi tadi.
Seketika perasaanku menjadi tidak enak, angin dingin bertiup menghembus ke leherku. Saat itu juga aku memutuskan untuk kembali ke rumah.
“Mbok, aku mulih…. “ ucapku sembari masuk ke dalam rumah yang sudah dipenuhi aroma masakan yang menggoda.

“Wah.. sop ceker ya mbok?” Ucapku yang mencoba menebak aroma hidangan yang disiapkan simbok.
“Iya.. ini sebentar lagi mateng. Sana mandi dulu, mbok udah nyiapin air panas.. “ Sambut Mbok yang masih terlihat sibuk di pawon.

“Iya mbok.. matur nuwun” Balasku yang memang sudah merasa gerah setelah beberapa kali melewatkan waktu mandi karna sakitku tadi.
Di kasur aku sudah melihat sebuah kain jarik dan handuk yang sudah disiapkan oleh simbok. Dari benda ini aku bisa menyimpulkan bahwa kamar mandi simbok merupakan bangunan semi permanen dengan beberapa bagian yang terbuka.
Jadi aku harus mandi sambil tetap menggunakan jarik ini. Ini seperti saat aku mampir ke rumah mbah saat aku kecil.
Aku segera mengenakan jarik dan memasuki kamar mandi mbah di belakang rumah yang hanya terbuat dari papan dengan lantai seman yang sudah berlumut.
Di sisi temboknya ada keran dan sebuah kendi tanah liat untuk menampung air. di atasnya menggantung lampu bohlam kuning yang menyala redup.

Gayungnyapun masih sangat kuno dengan menggunakan tempurung kelapa yang diikatkan ke sebatang kayu.
Namun airnya terlihat begitu jernih yang membuatku tidak sabar untuk menuangkanya ke kepalaku.
Tanpa membuang waktu aku segera mengambil gagang kayu dengan batok kelapa , mengambil air dalam kendi dan bersiap mengguyurkan air itu ke badanku.
Namun sebelum sempat menuangkanya tanganku terhenti.
Sayup sayup aku mendengar suara alunan suara seseorang yang bernyanyi kidung jawa dengan suara yang aneh.
Aku mencoba tidak mempedulikanya dan mulai membasahi badanku dengan air yang cukup menyegarkan.
Bilasan demi bilasan berhasil membuatku cukup nyaman hingga tiba-tiba aku terhenti ketika merasakan ada yang aneh dengan air yang membasahi tubuhku.
Aku membuka mata dari guyuran air yang kutuangkan ke atas kepalaku dan tiba-tiba seluruh tubuhku sudha dipenuhi dengan cairan merah menyerupai darah dengan bau yang sangat anyir. Bukan air mandi yang seharusnya aku ambil dari kendi tadi.
Seketika aku merasa sesak nafas dan terus mengucap doa untuk menenangkan diri dan mencoba berjalan meraih pintu keluar. Namun entah mengapa pintu itu tidak bisa terbuka walau kayu ganjalan sudah kubuka
“Mbok!! Tolong Mbok!!!” Teriakku mencoba meminta pertolongan. Aku terus menggedor, tapi tidak ada jawaban apa pun.
Gelisah dan rasa takut campur aduk menjadi satu. Aku terus menggedor pintu, sampai tiba-tiba aku mencium bau bangkai yang kurasa berasal dari sesuatu yang berada di belakangku.
Aku berbalik dan mencari tahu sosok yang berdiri di belakangku. Saat itu juga aku membacakan doa terus menerus, di hadapanku aku menyaksikan dari dekat sosok seorang nenek seperti yang tadi pagi kulihat. Namun ia tidak menari seperti tadi.
Nenek dengan baju jawa yang penuh dengan bekas noda darah yang dengan rambut acak-acakan dan gigi yang menghitam. Dari dekat terlihat dengan jelas kulit wajahnya penuh dengan kulit kering dan mata yang putih tanpa bola mata.
Nenek itu tidak berkata sepatah katapun selain suara erangan mengerikan dan mulutnya yang perlahan membentuk senyum yang mengerikan.
“M—Mbok! Tolong mbok” ucapku yang sudah mulai tidak mampu mempertahankan kesadaranku. Namun saat kukira aku akan pingsan. Seketika guyuran air membasahi tubuhku.
Aku memperhatikan tubuhku, tidak ada darah merah yang tadi kulihat. Aku memutar badan memperhatikan ke seluruh kamar mandi dan hanya aku seorang diri yang ada di tempat ini.
Saat itu juga aku segera mengeringkan tubuhku. Mengenakan baju dan segera meninggalkan bilik kamar mandi.
Apa itu tadi? Khayalanku? Pikirku dalam hati. Namun tepat saat akan memasuki rumah dari pintu belakang sekali lagi aku samar-samar mendengar suara kidung jawa yang dinyanyikan oleh suara perempuan tua.
“Mbok… di desa ini apa ada nenek nenek yang sudah sangat sepuh?” aku mencoba bertanya pada Mbok yang sedang menata masakan di meja. Sepertinya ia sangat senang dengan keberadaanku di sini.
“Nenek? Di desa ini ada beberapa nenek, tapi rata-rata umurnya 80tahunan..” Jawab mbok.

“Kalau yang sudah sangat tua, rambutnya putih acak-acakan giginya hitam begitu. Ada nek?” Tanyaku.

Mbok menoleh ke arahku, sepertinya ia sadar ada sesuatu yang aku alami.
“Ada apa to nduk?” Tanya Mbok dengan raut wajah yang cemas.

“Ng—nggak Mbok, Nggak papa.. tadi pas jalan-jalan aku ketemu anak kecil pake sarung. Katanya jangan kehutan malam-malam , bisa ketemu nenek-nenek serem” Balasku mencoba untuk tidak membuat Mbok tidak cemas.
“Owalah, bocah itu lagi… nggak, nggak ada kok. Itu becandaan dia saja. Tapi dia ada benarnya, jangan ke hutan malam-malam bisa kesasar nanti” Balas mbok.
Aku mengangguk dan kembali melanjutkan mengeringkan rambutku sebelum menikmati sajian makan malam sederhana buatan mbok yang entah terasa begitu enak.
Sesekali mbok bercerita tentang almarhum suami dan anaknya yang meninggal karena kecelakaan beberapa tahun yang lalu. Ia terlihat begitu kuat dan ikhlas dengan takdir yang ia terima. Sangat wajar, ia sangat senang dengan keberadaanku di sini.
“Nanti jangan tidur malam-malam ya, tubuhmu belum benar-benar pulih. Kalau mau tidur malam besok saja.. besok di lapangan belakang desa k ada panggung. Pasti rame” Cerita Mbok padaku.

“Acara apa to mbok?” Tanyaku.
“Biasa ada warga desa yang hajatan dan ngundang acara dagelan apa wayang orang gitu, mbok belum tau jelas acaranya.. pokoknya rame” Jawab mbok dengan semangat.
Aku tersenyum melihat gerakan mbok saat menceritakan dengan antusias acara yang akan digelar besok. Walau tubuhnya sudah cukup tua, tapi semangat hidupnya masih berapi-api.
“Iya mbok, tak tidur cepet biar besok bisa lek-lekan” Balasku sambil menikmati malam yang sederhana itu bersama Mbok Nasri di rumahnya yang sederhana namun terasa nyaman untukku saat ini.

***
Bersambung Part 2 - Perayaan pembuka

Kita lanjut lagi minggu depan ya. malam minggu kita upload kisah petualangan Bimo mudah bersama Nyai Suratmi.

Kalau ada yg nggak sabar atau sekedar mendukung bisa mampir ke @karyakarsa_id di situ part 1&2 jadi satu

karyakarsa.com/diosetta69/ker…
Terima kasih sudah mengikuti part ini. Mohon maaf apabila ada salah kata, bagian cerita yang menyinggung atau karena uploadnya kepagian..

semoga bisa menghibur teman-teman pembaca semuanya.
KERIS BENGGOLO IRENG
Part 2- Perayaan Pembuka

Panggung hiburan desa yang seharusnya menjadi momen menyenangkan berubah menjadi neraka. Ternyata sosok Indira memang diincar oleh seorang sosok nenek yang selama ini menunjukan diri pada indira..

up nanti malem ya Image
Note :
Buat temen2 yang baca di Threader atau Bacautas kalau bisa juga mampir ke twitter ya sekedar ngasi like atau komen gitu.. tq ☺️
Suara gending gamelan sudah mulai terdengar sampai ke rumah Mbok Nasri. Tepat saat warga selesai menunaikan sholat Isa mereka terlihat berbondong-bondong berjalan ke arah lapangan belakang desa sambil menghampiri dan mengajak tetangga-tetangganya.
“Mbok! Sudah mau mulai lho.. “ Teriak salah seorang warga yang kebetulan melewati rumah ini.
“Nggih yu… duluan saja” Teriak Mbok dari dalam rumah menjawab ajakan dari tetangganya itu.
“Yowis tak duluan, tak enteni ning kono yo!” (Ya sudah saya duluan, saya tunggu di sana ya!” Balas ibu itu.
Akupun segera bersiap-siap merapikan baju yang kukenakan. Baju seadanya yang ada diberikan oleh mbok Nasri namun cukup pas di badanku.
“Sudah lama tidak ada yang bikin panggung di desa ini, mungkin karena banyak yang gagal panen juga” Cerita Mbok sepanjang perjalanan.
“Nah kalau yang ini yang ngadain siapa mbok?” Tanyaku.
“Dari perangkat desa.. kalau tidak ada warga yang nanggep, biasa dari desa yang ngadain biar ada hiburan untuk warga” Cerita Mbok.
Di tempatku hiburan seperti ini sudah jarang. Sekalipun ada yang datang paling hanya pasar malam.
Namun pertunjukan yang bisa ditonton gratis oleh warga sepertinya sudah lama sekali.
Semakin mendekat ke arah lapangan semakin keras suara alunan musik yang kudengar.
Saat sampai di sana aku tertarik dengan beberapa warga yang sudah siap lebih dulu sambil menggelar meja dan jajanan anak-anak untuk meramaikan acara ini.
“Wah banyak jajanan juga ya mbok, jadi kangen waktu indira masih kecil”
Ucapku yang jadi sangat semangat saat melihat suasana di tempat ini.
Seorang bapak tua memarkirkan sepedanya dengan memajang permen di sebuah batang yang dibentuknya sendiri dengan gula dan pemanas di sepedanya.
Tukang bakso yang tadi pagi kulihat berjualan berkeliling di desa kini memarkirkan gerobaknya di sebelah penjual mainan bambu yang dikerubuti oleh anak-anak.
“ini.. mbok ada uang, sana jajan” Ucap Mbok yang memberikan selembar uang padaku layaknya memberi uang jajan kepada anaknya.
“Aduh mbok, nggak usah!” Balasku.
“Sudah nggak papa, gak lengkap kalau ke sini tapi nggak jajan” Ucapnya dengan sumringah.
“Makasi ya mbok” aku segera menerima uang sepuluh ribuan yang diberikan oleh mbok dan segera memilih-milih jajanan yang sedari tadi membuatku ingin mencoba satu per satu.
Aku memulai dengan menuju ke seorang bapak penjual bakso tusuk yang sedari tadi aroma hangat dari pancinya memanggilku untuk menghampirinya.
“Pak, ngantri sepuluh tusuk ya..” Ucapku yang ikut berkerumun dengan beberapa anak kecil yang sudah mengantri lebih dulu.
“Nggih mbak, ditunggu sebentar ya” Balasnya yang dengan sigap segera memenuhi permintaan para ‘penggemar’nya yang berebutan menyerahkan uang untuk membeli daganganya.
Tak butuh waktu lama untuku mendapatkan giliranku.
aku segera kembali menghampiri mbok yang sempat beberapa kali mengobrol dengan warga. Namun sebelum kembali sampai ke simbok aku tersadar dengan keberadaan seorang anak kecil yang mengenakan sarung yang kemarin sempat berpapasan denganku
sedang berebutan jajan bersama anak-anak yang lebih kecil darinya.
Aku dan mbok memilih duduk di tikar tepat di depan panggung bersama beberapa warga yang beberapa kali melemparkan senyum pada kami. Tepat saat suara gong terdengar warga segera memenuhi tikar di sekitarku,
wajah simbok sudah tidak sabar menantikan acara apa yang akan disajikan di panggung di hadapan kami.
Walaupun saat ini suasana terlihat meriah , tetap saja sesuatu seperti merasa menusuk jantungku sesekali saat teringat apa yang terjadi dengan orang tua dan mbakyuku.
Suara kidung gamelan mengalun mengantarkan sebuah cerita yang dibacakan oleh seorang dalang yang menjadi narator dalam pertunjukan wayang dagelan ini. walaupun disebut wayang, tapi ceritanya tidak baku seperti cerita pewayangan.
Cerita dibuka dengan tingkah laku punakawan yang dipadukan dengan cerita sehari-hari yang berkali-kali membuat penonton terpingkal-pingkal.
“Sudah, aku mau pergi saja dari sini! Aku akan pergi mengarungi lautan!” Ucap tokoh Gareng yang membelakangi Petruk sambil membuang muka.
“Ojo… jangan Reng!” Tahan Petruk dengan wajah khawatir.
“Kamu tidak bisa menghalangiku! Keputusanku sudah bulat untuk mengarungi lautan..” Balas Gareng lagi yang berbalik membelakangi petruk ke sisi lainya.
“Nggak, nggak gitu! Masalahnya setauku mengarungi lautan tuh mustahil! Yang aku tahu karung lebih cocok buat ngarungi beras” Jawab Tokoh petruk yang diiringi dengan suara musik dan simbal yang memecahkan tawa seluruh penonton di lapangan ini.
Simbok benar-benar tertawa lepas saat itu. Akupun mulai terlupa dengan masalahku dan mulai bisa menikmati acara ini.
Saking serunya kami semua tidak sadar bahwa waktu sudah mulai mendekati tengah malam.
Lakon pengisi acara mengistirahatkan sebentar para pemainya sebelum nanti kembali melanjutkan acara.
Penonton dengan setia menunggu di tengah dinginya malam karena memang sudah yakin puncak acaranya akan lebih seru nanti.
Tapi.. entah tanpa ada alasan yang jelas, saat itu aku merasa gelisah seolah merasakan sesuatu yang aneh.
“Arum.. kamu pulang saja sama ibu ya”
Terdengar suara anak bersarung tadi dari jauh menyuruh pulang teman perempuan seumuranya.
Wajahnya terlihat aneh sambil menatap ke atap-atap desa seolah sesuatu juga membuatnya tidak nyaman.
Suara gong terdengar lagi, pertanda acara berikutnya akan dimulai.
Kali ini suara gong itu tidak disahut dengan musik lainya melainkan diganti dengan sosok bayangan sseorang yang menari dengan aneh di belakang kain putih yang disinari dari belakang.
Aku mencium aroma kemenyan yang berasal dari belakang panggung.
Saat itu juga suasana berubah menjadi aneh. Warga saling bertanya-tanya , namun rasa penasaran mereka membuat mereka tetap bertahan di tempat itu.
Tidak ada yang terjadi. Hening.. hanya suara warga yang berbisik-bisik yang terdengar.
Namun sosok wanita di belakang kain putih itu tetap menari dengan aneh dan semakin aneh.
Beberapa warga mulai merasa tidak nyaman. Akupun mulai merasakan bahwa ada yang tidak beres. Seorang warga mencoba mendekat mencari tahu apa yang terjadi di belakang panggung.
Sialnya, sebelum warga itu mendekat sebuah benda terlempar dari atas kain putih ke tengah-tengah warga.
Warga yang kejatuhan benda itu tiba–tiba berteriak dengan histeris seperti kesetanan.
“K—kepala! Itu kepala orang!” teriak seorang ibu yang seketika ketakutan disusul dengan warga di sekitarnya yang ikutan panik.
Tak lama kemudian sebuah kepala kembali terlempar dari balik kain.
Kali ini aku yakin, itu adalah kepala pemeran salah satu punakawan yang sedaritadi menghibur kami.
“T-tolong! Ada apa ini!” Teriak warga lainya yang semakin panik. Saat itu juga kain putih di panggung tersibak dan terlihat seluruh pengisi acara, pemain musik,
dan dalang narator sudah mati bersimbah darah. Dan di atas panggung hanya ada seorang nenek yang tertawa gila dengan rambutnya yang acak-acakan dan mulutnya yang berlumuran darah.
“Nenek gila! Apa yang kamu lakukan?” Ucap seorang warga yang mencoba mendekati nenek itu,
namun orang itu mendadak terhenti, sesuatu seperti mengangkat tubuhnya tinggi-tinggi dan membantingnya ke tanah.
“Hek.. ya, hek… hek.. ya..” suara itu terdengar dari nenek itu yang masih menari-nari sambil tertawa di panggung diatas mayat mayat para pengisi pentas.
Warga berlarian meninggalkan lapangan, aku yang sebelumnya memeluk simbok segera menariknya untuk segera pergi kembali ke rumah walaupun aku tidak tahu apakah kami bisa aman di rumah.
Saat meninggalkan lapangan seluruh warga menjerit ketakutan dengan histeris. Aku baru sadar penyebab ketakutan itu berasal dari sosok-sosok yang saat ini terlihat bersliweran di desa.
Desa Wadirejo.. desa yang sejak tadi pagi dipenuhi dengan hiruk pikuk warga desa kini berubah seratus delapan puluh derajat.
Setiap jalan-jalan di desa dipenuhi oleh makhluk-makhluk buruk rupa yang bergentayangan. Mulai dari sosok pocong yang menatap kami dari atap-atap desa,
kuntilanak yang memainkan kursi goyang di teras rumah, hingga roh-roh dengan wajah yang tidak berbentuk bersliweran di jalan.
“Nduk.. ada apa ini nduk?” Ucap Simbok yang ketakutan.
Aku tidak mampu menjawab apa-apa dan hanya bisa memeluk simbok dan berjaga agar tetap dekat dengan warga lain.

“Butuh lebih dari seratus nyawa untuk kebangkitan ndoro… “ Terdengar suara nenek yang berjalan tertatih menghampiri warga desa dari belakang.
Pemandangan saat itu terlalu mengerikan, di hadapan kami berkumpul berbagai macam demit yang menguasai desa dan di belakang kami datang seorang nenek gila yang kuduga adalah biang dari semua ini.
T—tunggu, nenek itu…
Aku menyipitkan mataku dan mulai mengenali, bahwa nenek itu adalah nenek yang terlihat saat aku sakit kemarin dan yang muncul di kamar mandi.
“T--tidak.. ternyata itu bukan halusinasiku” gumamku dengan wajah yang semakin pucat.
Tubuhku lemas, aku tidak tahu apa yang harus kami perbuat, sampai tiba-tiba terdengar suara anak laki-laki yang berteriak.
“Ke sini! Desa sebelah aman!” ucap anak laki-laki bersarung yang melemparkan berbagai macam benda ke tanah bersama seorang anak perempuan.
Entah apa yang dilakukan,namun jalanan yang dilempari benda oleh mereka tidak didekati oleh roh di sekitar desa.
Kami semua berlari mengikuti arahanya, samar-samar aku melihat bibir anak itu terus membaca doa-doa yang kutahu adalah doa untuk menenangkan roh yang sudah meninggal.
Terlihat raut muka takut di wajahnya namun dia tetap memaksakan diri untuk memandu kami.
Belum sempat meninggalkan desa tiba-tiba aku dan simbok yang berjalan dengan lambat di hadang oleh nenek tua gila itu yang tiba-tiba ada di hadapanku.
“Cah ayu.. ayo ikut eyang, ndoro pasti seneng ketemu kamu” ucap nenek setan itu yang berjalan mendekatiku dengan tangan di belakang bersama berbagai makhluk yang mengikuti dirinya.
“J—jangan ganggu Indira” Teriak simbok yang mencoba mengusir nenek itu sambil melempar batu atau apapun yang ia temui.
Aku menahan simbok dan terus mengajaknya untuk kabur namun terlambat, sepertinya nenek itu sudah mengincar diriku.
“Mbok, mbak…. Ke sini! Lari!” Ucap bocah tadi yang terus melemparkan benda seperti garam dan beberapa kunir yang segera dijauhi setan-setan disekitarnya.
Aku tak mampu berpikir apa-apa lagi, bila memang makhluk ini mengincarku setidaknya bocah itu bisa menolong simbok agar selamat.
“Dik.. maksud saya mas! Tolong bawa Simbok!”
Teriakku sekeras mungkin dan segera berlari ke arah berlawanan dari simbok dan jalan yang dibuat bocah itu.
Benar Saja.. seluruh makhluk yang sedari tadi mengerubungi desa segera menatap ke arahku dan bersiap mengejarku.
Aku berlari dan terus berlari, tidak mungkin aku berlari ke arah desa sebelah bila ternyata makhluk-mahkluk ini mengincarku. Di tengah redupnya jalanan desa aku terpaksa berlari ke arah hutan belakang desa yang sempat dilarang oleh bocah itu.
Tidak ada pilihan lain saat itu, sialnya sepanjang aku berlari hanya berbagai macam makhluk seperti pocong dan dedemit yang ikut berlari di sekitaran semak yang berada di sekitarku.
“Nggak usah lari cah ayu… Nenek pasti nangkep kamu” Tiba-tiba sosok nenek tadi sudah ada di hadapanku.
Aku berbelok menerobos sisi lain hutan mencoba menghindarinya lagi. Tak sedikit luka di tubuhku yang diakibatkan oleh duri dari tanaman di hutan ini.
Mungkin aku akan menyesal berlari ke dalam hutan di gelapnya malam seperti ini. Terangnya cahaya bulan hanya semakin memperjelas keberadaan puluhan pocong yang sudah bertengger di pepohonan menatap ke arahku.
Aku hampir putus asa untuk berlari sampai tiba-tiba aku melihat sebuah rumah kayu tua yang berada di tengah hutan ini. Di sebelahnya ada sebuah pohon tua yang sangat besar dengan akar yang menjuntai dan terlihat mengerikan.
Tanpa berpikir panjang aku segera berlari memasuki rumah itu dan menutup pintunya rapat-rapat. Entah apa bagunan reyot ini bisa melindungiku dari demit-demit tadi.
… Gelap, sangat gelap.
Tidak ada penerangan di bangunan tua ini. Seketika saat aku masuk hanya suara nafasku yang terdengar di telingaku. Aku duduk menekuk kakiku menahan pintu rumah sambil menahan tangis.
Bagaimana mungkin aku bisa terjebak di sebuah rumah reyot di tengah hutan sementara demit-demit sudah memenuhi hutan ini dan mengincarku.

“Khkehekhe… Cah ayu, nenek wis teko” (Cah ayu, nenek sudah sampai”
Terdengar suara mengerikan nenek itu yang berjalan menyeret kakinya mendekat ke arahku.
Kali ini aku tidak bisa menahan tangisku, dan seketika air mata membasahi wajahku yang sudah pucat pasi.
Suara langkah kaki terus mendekat. Jantungku berdegup semakin kencang bersamaan dengan semakin dekatnya langkah-kaki itu.Sampai tiba-tiba suara kaki itu menghilang.
Aku menunggu beberapa saat, dan aneh… suara langkah kaki itu benar benar tidak ada lagi.
Kucoba mengatur nafasku dan mengumpulkan keberanian untuk memastikan keadaan di luar.
Aku berdiri dan mendekat ke arah jendela kayu yang memiliki celah-celah kecil untuk mengintip.
Saat ini rasa takutku sama sekali belum hilang hingga aku harus memaksa kakiku yang masih gemetar untuk berdiri mengintip dari lubang itu.
“Nenek sudah sampai!”
Tepat saat aku menajamkan mataku di jendela wajah nenek itu tepat berada di hadapanku dengan tawanya yang mengerikan dari mulut yang sudah dipenuhi dengan darah itu.
Sontak aku terjatuh ke belakang dan sekuat tenaga merangkak melarikan diri ke belakang rumah.
Berkali kali aku terjatuh tak mampu menahan lemahnya kakiku sampai tiba tiba aku seperti menabrak sesuatu yang mendekat dari arah belakang rumah.
Terlalu gelap, aku tidak dapat memastikan apa atau siapa yang kutabrak barusan hingga tiba-tiba nyala api kecil menyulut ke sebuah lampu minyak yang dibawa oleh seseorang yang kutabrak tadi.
“Ngapain kamu di sini..”
Seorang nenek, itu ucapan seorang nenek. Tapi aku memastikan , nenek itu bukan nenek yang tadi mengejarku. Ia sudah sangat bungkuk, wajahnya terlihat sangat tua namun setidaknya pakaian dan tubuhnya masih terawat.
“Sudah ayo kita keluar..” Ucap nenek itu.
“Nek.. ada, ada setan di luar. Ada nenek tua juga di luar, dia sudah membunuh beberapa orang” Ucapku memperingatkan.
Nenek itu tidak menggubris dan terus berjalan ke arah pintu rumahnya dengan membawa sebuah lampu minyak yang menggantung di tanganya.
Tepat saat nenek itu membuka pintu sosok nenek yang sedari tadi mengejarku sudah berdiri tepat di depan pintu dengan wajah yang mengerikan.
Aku ingin memperingatkan nenek yang membawa lampu tadi namun aku sendiri terlalu takut bahkan hanya isak tangis saja yang keluar dari mulutku.
Tapi.. yang terjadi benar-benar diluar perkiraanku.
Sosok nenek bungkuk yang mengajakku keluar tadi tiba-tiba menendang nenek setan itu hingga terpental dan memuntahkan darah dari mulutnya.
Seketika aku tercengang,”Siapa nenek ini?” Pikirku.
Melihat nenek tadi terkapar di tanah, seluruh demit yang memenuhi hutan terlihat gentar. Akupun memberanikan diri untuk mendekat ke pintu keluar.
“K—Kowe! Kowe Nyai Jambrong?” (K—kamu! Kamu Nyai Jambrong?) Ucap nenek setan itu yang tiba-tiba terlihat panik.
“Dukun Goblok! Nek kowe uwis ngerti, ndang lungo! Ojo wani-wani nyedaki omahku!”
(Dukun Goblok! Kalau kamu sudah tahu cepat pergi! Jangan berani-berai mendekati rumahku) Ucap sosok nenek yang disebut dengan nama Nyai Jambrong itu.
“B—bukan! Saya tidak bermaksud mengganggu nyai.. hanya wanita itu! Kami ingin wanita itu!” Ucap Nenek itu.

“Ora urusan! Minggat!” (Aku tidak peduli! Pergi!)
Ucap Nyai Jambrong dengan wajah penuh kekesalan namun bukanya pergi Nenek itu malah berdiri seolah bersiap menghadapi Nyai Jambrong.

“Ora Iso.. Bocah kuwi uwis disumpah kanggo wadah Keris Benggolo Ireng! Wis wayahe keris Ndoro Agung Songgokolo bangkit!”
(Tidak bisa.. anak itu sudah disumpah untuk menjadi wadah keris benggolo ireng! Sudah saatnya keris Ndoro Agung Songgokolo bangkit!) Ancam Nenek demit itu.
Nyai Jambrong tidak bergeming ia terus menatap nenek itu dengan tatapan penuh ancaman.
“Opo kowe tau kerungu Nyai Jambrong Wedi karo wong liyo?” (Apa kamu pertah mendengar Nyai Jambrong takut dengan orang lain?) Ucap Nyai Jambrong dengan sombongnya.

“Jangan sombong! Kesaktianmu tidak akan cukup melawan Ndoro!” Ancam nenek itu lagi.
“Memang tidak akan cukup, tapi kalau hanya untuk memisahkan kepalamu dari tubuhmu aku tidak butuh waktu lama”

Seketika ucapan Nyai Jambrong membuat wajah nenek itu menjadi pucat. Tawa sombongnya yang sedari tadi meneror warga desa seketika menghilang.
“Urusan kita belum selesai, jangan coba-coba melindungi wanita itu. Semua selir ndoro diutus untuk mengambil jantung wanita itu dan seluruh keluarganya..”
Tepat sesudah menyampaikan ancaman itu, nenek itu mundur dan setengah berlari seolah ketakutan dengan sosok yang dipanggil ‘Nyai Jambrong’ ini.

“N—Nyai , terima kasih” Ucapku yang mulai merasa tenang.
“Tidak usah bilang apa-apa, aku tidak menolongmu.. lambat laun kamu pasti mati. masalahmu terlalu besar , aku tidak bisa berbuat lebih jauh dari ini” Ucap Nyai Jambrong yang segera menutup pintu dari luar dan berjalan meninggalkan rumah dibawah pohon besar itu.
“Nyai tahu apa yang terjadi dengan saya? Apa saya tidak ada harapan untuk bisa selamat?” Tanyaku yang mengejar Nyai Jambrong yang sepertinya bergegas menuju desa.
“Saya tidak tahu, Keturunanmu sudah mengikat sumpah dengan sosok yang mengerikan. Tidak lama lagi akan ada bencana yang mengakibatkan banyak korban akibat sumpah itu” Ucapnya yang terus memaksa berjalan dengan buru-buru.
“Terus saya harus bagaimana nyai? Sekalipun aku mati bencana itu tetap akan ada kan?” Balasku lagi.
“Kamu ikut saya, cucuku kenal beberapa pemuda yang mungkin bisa membantu kamu.
Seseorang pemegang keris pusaka dan seseorang yang dipercayakan roh kera pelindung hutan Wanamarta” Ucapnya.
Aku terhenti mendengar ucapan Nyai Jambrong itu, sekilas cara Ia menceritakan kedua pemuda itu seperti sebuah dongeng cerita rakyat yang mustahil ada di jaman sekarang.
Namun kejadian yang menimpaku beberapa hari ini tidak memberiku pilihan untuk mempercayai cerita itu.
“Memang mereka itu siapa Nyai? Dukun?” Tanyaku.
Nyai Jambrong menggeleng, ia seperti sedikit tersenyum saat mengingat tentang pemuda itu.
“Sing siji jenenge bocah ketek, sing siji meneh diceluk Bocah Asu” (Yang Satunya namanya bocah monyet, yang satu lagi sering dipanggil Bocah An**ng)
Aku sedikit tertegun mendengar panggilan aneh yang disematkan Nyai Jambrong pada kedua pemuda itu.
Namun mimik mukanya yang berubah saat mengingat kedua orang itu sedikit meyakinkanku bahwa ada kesempatan bagiku untuk menghentikan tragedi yang dimulai oleh keluargaku melalui kedua orang yang ia ceritakan ini.

Bersambung Part 3 - Api Di Tengah Hutan
Terima kasih telah membaca part ini hingga selesai, mohon maaf apabila ada salah kata atau bagian cerita yang menyinggung

yang mau baca duluan atau sekedar mendukung bisa mampir ke @karyakarsa_id ya.. part 3 kita akan kembali ke POV Danan

karyakarsa.com/diosetta69/ker…
Keris Benggolo Ireng
Part 3 - Api Di tengah Hutan

Kita tinggalkan dulu Indira yang sudah aman bersama Nyai Jambrong dan beralih ke Danan dan Cahyo yang mengajak Dirga ke Desa Windualit..

Anehnya saat mereka datang mereka menemukan bercak darah di batu besar sekitar desa Image
Note : Mungkin yang belum tau atau lupa tentang desa windualit, bisa mampir lagi ke cerita Gending alas mayit untuk sekedar merefresh ingatan akan desa itu..
Rimbunya pepohonan yang berbatasan dengan lembah saat ini membuat raut wajah Dirgaseolah terkagum-kagum dengan pemandangan yang dilihatnya.
“Mas Danan, memang beneran ada desa di sekitar jurang ini?” Tanya Dirga.
“Jalan aja, Nanti kamu juga bakal tahu..” Jawabku sambil melempar senyum padanya.
“Kuwi koncomu mbok tinggal dewe ning buri?” (itu temenmu kamu tinggal sendiri di belakang?) Tanya Mas Jagad sambil melirik ke arah cahyo.
“Wis Mas, Biarin.. dia sendiri yang mau bawa barang-barang sebanyak itu. sudah tau medanya berat” Jawabku sambil meninggalkan Cahyo yang repot dengan pisang-pisang dan berbagai hasil panen yang ia bawa.
“Lho… ini kan buat Sekar sama Pak Sardi, masa ke sana nggak bawa apa-apa?” Teriak Cahyo dari belakang.
“Ya nggak usah sebanyak itu juga… iyo ngerti kowe seneng karo Sekar, nanging yo ojo nyusahin.”
(Iya ngerti kamu suka sama sekar , tapi ya jangan nyusahin” Balasku dengan sedikit ketus.
“Siapa yang suka sama Sekar? Ini tuh namanya etika bertamu… lagian nggak nyusahin kok” Balas Cahyo Sombong.
“Yo karepmu, terserah… lagian Pak Sardi kan juga punya kebun pisang. Desa windualit juga penghasil sayuran. Ngapain dibawain lagi?” Ucapku.
Seketika saat itu raut wajah Cahyo berubah dan menyusulku.
“Lah! Uassem!! Kok kamu nggak bilang Pak Sardi punya kebun pisang? Terus sia-sia donk ini?” Ucap Cahyo dengan wajah yang sedikit merasa malu.
Aku sedikit tertawa melihat raut wajah Cahyo.
“Lha kamu nggak ngomong, kirain emang sengaja untuk bekal perjalanan” Balasku.
“Wislah.. Mbuh!” Balas Cahyo dengan segera mendahuluiku dengan raut wajah yang berubah suntuk. Sementara itu Mas Jagad dan Dirgahanya tertawa mendengarkan perbincangan kami.
Setelah melalui beberapa jam perjalanan kami mencapai sebuah sungai yang menandakan bahwa sebentar lagi kami akan sampai di sebuah desa yang tidak pernah kulupakan hingga saat ini.
Sebuah desa yang warganya pernah menolongku saat dulu sempat tersesat saat aku terjatuh di jurang pendakian di kaki gunung merapi. Sebuah desa tempat terjadinya sebuah kutukan ‘Gending alas Mayit’ yang mengorbankan banyak nyawa.
Dan Sebuah desa yang mengenalkanku pada seorang wanita yang juga tidak akan pernah bisa kulupakan… Laksmi.
“Heh… kok bengong?” Ucapan Cahyo mengagetkanku yang sedang melamun mengingat kejadian tentang Laksmi.
“Nggak , Cuma kaget aja sekarang udah ada jembatan buat nyebrangin sungai ini. Kayaknya desa windualit sudah sedikit lebih maju ya?” Jawabku mencoba mencari alasan yang kebetulan melihat sebuah jembatan baru di sungai itu.
“Iya juga ya, kalau begini mungkin suatu saat kita bisa bawa motor ke sana” Balas Cahyo.
Aku mengangguk dan terus melanjutkan perjalanan sementara Dirga dan Mas jagad masih dengan senangnya menikmati udara segar di hutan ini.
Saat hampir mencapai des,a mendadak Dirgaterhenti dan memperhatikan sesuatu diantara bebatuan di pinggir sungai.
“Mas Danan, bukanya ini… bercak darah?” Ucap Dirga yang tersadar akan keberadaan noda berwarna merah yang membekas diantara beberapa bebatuan besar.
Aku dan yang lain segera menghampiri bebatuan yang di lihat oleh Dirgadan benar, di batu itu terlihat bekas cairan merah menyerupai darah yang mengering. Cahyo mencoba menyentuhnya dan mengendusnya.
“Ini benar darah, semoga saja bukan darah manusia” Ucap Cahyo yang segera berdiri seolah ingin secepatnya bergegas untuk sampai ke desa windualit.

Tepat saat sebelum gelap kami tiba di Desa Windualit, sebuah desa sederhana yang hampir didominasi dengan bangunan rumah kayu yang terlihat asri dengan hutan-hutan yang mengelilinginya.
Saat memasuki desa seketika kenangan-kenanganku akan tempat ini seolah merasuk ke ingatanku.Rumah singgah tempatku tersadar saat dibantu oleh Laksmi, Balai desa tempat merawat warga korban gending alas mayit,dan tentunya rumah Sekar dan Pak Sardi yang sedang kami tuju saat ini.
“Kulo nuwun..” (Permisi)
Aku memasuki teras rumah sebuah bangunan yang didominasi oleh kayu dan melihat lampu di dalam rumah mulai menyala.
Sekali lagi aku mengetuk pintu dan memanggil penghuni rumah tersebut.
“Kulo nuwun.. Sekar, Pak Sardi!”
Suara langkah kaki yang terburu-buru terdengar mendekat disusul dengan terbukanya pintu kayu di hadapan kami.
“Mas Danan? Ini.. Bener Mas Danan kan?” Ucap sosok seorang perempuan yang membukakan pintu.
Seorang perempuan yang cukup manis untuk wanita seumuranya. Dia Sekar, seseorang yang sempat membantu kami untuk menuntaskan kutukan gending alas mayit di tempat ini.
“Nyari Siapa Sekar?” Balasku yang melihat sekar melongo mencari keberadaan seseorang yang sudah jelas kutahu itu siapa.
“Ini Dirga dan Mas Jagad, saudara saya dari Jawa Barat. Kita Cuma bertiga saja kok” Ucapku.
“Ohh.. iya, Sekar Mas.” Ucap sekar memperkenalkan diri dengan senyumanya yang ramah.
“Ya sudah, monggo masuk mas… bapak ada di dalem kok” Jawab Sekar yang masih mencoba menengok ke luar seolah berharap
Cahyo ikut bersama kami.
“Heh.. Kelewatan! Aku beneran di tinggal?!” Teriak Cahyo yang sedari tadi bersembunyi di sebelah rumah karena malu dengan barang bawaanya.
“Lah.. mas Cahyo katanya nggak ikut?” Tanya Sekar yang seketika wajahnya berubah sumringah.
“Eh, i—ikut kok. Emang dasar Danan Aja yang iseng” Balas Cahyo.
Aku tertawa dan segera menceritakan alasan Cahyo ngumpet dari sekar karena malu dengan oleh-oleh yang ia bawa. Saat itu juga sekar juga ikut tertawa geli namun tetap berusaha menghibur Cahyo.
“Wahh Matur Nuwun lho Mas Cahyo… Bapak memang punya kebun pisang, tapi pisang tiap kebun kan rasanya beda-beda” Hibur Sekar.
“Tuh Nan! Beda rasanya!” Ucap Cahyo.
Aku hanya tertawa melihat tingkahnya yang setika berubah ketika bertemu sekar.
..
“Sekar, ada tamu? Mbok disuruh masuk” Terdengar suara seorang Bapak dari dalam rumah yang aku tahu dengan jelas bahwa itu adalah suara pak Sardi.
“Iya Pak! Ini Mas Danan sama Mas Cahyo dateng!” Teriak sekar.
Mendengar jawaban sekar seketika terdengar suara langkah cepat dari dalam rumah menghampiri kami.
“Mas Danan, Mas Cahyo! Wah… ada tamu istimewa , ayo masuk-masuk” Ucap Pak Sardi.
Dengan segera kami salim dengan Pak Sardi dan mengambil posisi duduk di kursi kayu yang tersedia di ruang tamu rumahnya.
“Bu! Ada Mas Danan sama Mas Cahyo.. tolong siapin kopi ya!” Teriak Pak Sardi.
“Kalian baru sampai pasti belum makan kan? Makan di sini saja ya.. tadi sekar masak sambel welut” Tawar Pak Sardi.
“Waduh nggak usah repot-repot Pak Sardi…”Ucapku.
“Yang penting kita boleh nambah Pak, soalnya kalau masakan sekar pasti enak.. kalau nggak kenyang tidurnya bisa nggak tenang” Lanjut Cahyo memotong perkataanku. Sontak aku merebut sarungnya dan melemparkanya kembali ke wajahnya.
“Yang Sopan” Balasku yang diikuti dengan tawa sekar dan pak sardi.

“Oh iya, teman-teman Mas Danan ini siapa? Mbok yo saya dikenalin,” Ucap Pak Sardi.
“Saya Jagad Pak Sardi masih saudara sama Mas Danan, dan ini keponakan saya Dirga, Mohon maaf ya pak.. numpang ngerepotin” Mas Jagad berinisiatif memperkenalkan diri setelah perkenalan singkat dengan Sekar di depan tadi.
“Nggak, Nggak papa… Kami malah seneng Mas Danan dan Mas Cahyo mampir ke desa ini lagi , apalagi ngajak teman-temanya. Tapi ya mohon maaf, di sini seadanya. Maklum akses desa ini ke kota agak jauh..” Ucap Pak Sardi,
“Kami yang terima kasih Pak Sardi, Mbak Sekar sudah disambut begini” Lanjut Dirgayang ingin ikut di percakapan kami.
Beberapa gelas kopi disajikan kepada kami bersama berbagai macam gorengan yang membuat kami leluasa memulai perbincangan-perbincangan kecil.
Kami meminta ijin kepada Pak Sardi untuk menginap di rumah singgah tempatku dulu pernah bermalam saat tersesat di desa ini. Awalnya Pak Sardi meminta kami untuk menginap di rumahnya, namun karena kami cukup ramai kami tetap memutuskan untuk tidur di rumah singgah.
“Sebenarnya Mas Danan ada tujuan apa mampir ke sini mas?” Tanya Pak Sardi.
“Oh nggak pak, Cuma nganterin Cahyo aja.. katanya kangen sama Sekar” Jawabku sambil meledek Cahyo yang sedari tadi hampir tidak berhenti bercerita kepada Sekar.
“Heh, jawab sakpenake wae.. “ Balas Cahyo dibalas dengan tawa sekar.
“Lha kan bener, aku yo kangen karo sekar, pak sardi , dan warga desa yang ramah-ramah” Lanjutku lagi.
“Ya kalian kan bisa bebas mampir ke sini kapan saja, nanti kalau jembatan sudah jadi dan jalur hutan sudah dibuat kalian bisa naik motor ke desa ini” Jelas Pak Sardi.
“Iya pak, tadi kami juga melihat sudah mulai ada pembangunan di desa sini… tapi sebenernya ada satu tujuan lagi. Kami mau mengantarkan Dirgake Sendang Banyu Ireng di Alas Mayit. Ada sesuatu yang ingin kami ceritakan di sana.” Jelasku.
Saat mendengar itu Pak Sardi dan Sekar saling bertatapan. Dari tingkah mereka aku merasakan ada sesuatu yang sedang terjadi.
“Mas Danan, sebelum ke sana ada sesuatu yang harus kami ceritakan dulu” Ucap Pak Sardi dengan wajah yang sedikit serius.
Pak Sardi menceritakan, beberapa minggu ke belakang ada kejadian-kejadian yang aneh.
Kejadian bermula saat salah seorang warga yang pulang berkebun berlari terbirit-birit ketakutan dan menggedor pintu rumah Pak Sardi.
Menurut pengakuanya ia melihat sesosok pocong berkain kafan yang sudah memerah dengan darah melayang di mulut hutan yang warga sebut dengan nama “Alas Mayit”.
Menurut cerita Pak Sardi, sudah lama warga tidak melihat keanehan di hutan itu semenjak kepergian kami.
Wargapun sudah mulai memasuki hutan mencari kayu bakar dan mencari tanaman umbi-umbian.
Setelah kemunculan makhluk itu, Pak Sardi mencoba kembali masuk ke alas mayit namun ia tidak menemukan sosok yang diceritakan oleh warga itu.
“Saya memang merasakan ada sesuatu di sana, namun saya tidak berhasil menemukan apapun” Cerita Pak Sardi.
“Tapi setelah itu, ada beberapa warga lagi yang melihat keberadaan pocong itu tak hanya itu tidak sedikit warga yang melihat penampakan roh yang bersliweran di hutan, sepertinya makhluk itu bukan berasal dari hutan ini” Tambah Sekar.
Aku berpikir sejenak dan teringat dengan bercak darah yang dilihat oleh DirgaTadi.
“Sekar, apa ada warga desa yang jadi korban makhluk-makhluk itu?” Tanya Cahyo.
Sekar menggeleng.
“Nggak ada mas, tapi bapak cukup sering mengecek ke dalam hutan untuk mencegah makhluk-makhluk itu melukai warga. Sayangnya seperti yang bapak cerita tadi, saat ke sana bapak tidak menemukan apapun” Jelas Sekar.
Aku menceritakan tentang bercak darah di bebatuan di pinggir sungai pada Sekar dan Pak Sardi. Tapi menurut mereka tidak ada warga yang terluka atau terkena serangan dari makhluk-makhluk itu.
“Ya sudah , besok biar sekalian kita cari tahu.. yang penting itu sambel welutnya kita urusin dulu, kasihan lho itu kalau sudah disambelin tapi nggak ketemu nasi” Ucap Cahyo yang dengan wajah isengnya.
“Eh o iya, ayo makan dulu.. duh kok saya sampe kelupaan keasikan ngobrol” Ucap Pak Sardi yang segera mengajak kami ke dapur.
“Jull.. panjul, sing sopan to njul…” (Jul Panjul… yang sopan to Njul) Ucapku sambil menggelengkan kepala.
“Ealah nan, kowe yo sakjane wis laper to? Tenang tak wakilin ngomong… isine nggo aku wae” (Ealah Danan, kamu ya sebenernya udah laper kan? Tenang tak wakilin ngomong… malunya biar aku aja) Bisik Cahyo.
“Hoo.. Bener, cocok. Kowe sing isin aku sing wareg. Ayo cepet…” (Bener, cocok, kamu yang malu aku yang kenyang ayo cepet.) Balasku.
“Mas Danan, Punya temen kaya mas cahyo lagi nggak? Kayaknya aku butuh satu” Sambung Dirga.
“Nggak ada, yang satu ini sudah mau punah.. kemarin aja udah ada museum yang mau ngurusin” Balasku.
Tanpa sadar sarung cahyo sudah terlempar menutupi wajahku disusul dengan beberapa kali tangan cahyo menggasak kepalaku.
Namun begitu sudah sampai di meja makan perhatian kami beralih ke masakan yang sudah disediakan oleh Sekar.
Malam itu kami tutup dengan jamuan dari Pak Sardi sebelum Sekar mengantar kami ke rumah singgah yang tidak jauh dari rumanya.
“Mas, besok pagi tak masakin nasi pecel… kalau mau pergi bilang-bilang ya” Ucap Sekar sebelum meninggalkan kami di rumah singgah.
Kelelahan kami selama perjalanan membuat kami mudah untuk tertidur saat itu.
Namun di tengah lamunanku aku masih terpikirkan mengenai bercak dara dan kemunculan sosok ghaib di Alas Mayit. Tidak mungkin makhluk-makhluk itu muncul tanpa sebab.

Alas mayit.. Warga desa turun temurun menyebut hutan ini dengan nama yang mengerikan karena kejadian-kejadian yang pernah meneror desa windualit sebelumnya.
Apalagi dengan keberadaan kompleks makam tua yang sudah tidak terawat dan tidak diketahui siapa saja yang dimakamkan di tempat itu.
Rimbunya pepohonan di hutan ini menghalangi cahaya matahari untuk masuk sehingga bahkan di siang hari kami masih cukup kesulitan memperhatikan langkah kami.
“Mas Danan , inget nggak waktu dulu mas Danan nolongin anak salah seorang warga yang diculik wewe gombel dan di bawa ke sendang itu?” Ucap Pak Sardi mencoba mengingatkanku tentang kejadian dulu.
“Iya Pak, tersesatnya saya kala itu sepertinya memang sudah diatur oleh Tuhan sehingga saya bisa turut andil dalam rentetan kejadian besar” Balasku.
Sepanjang perjalanan aku melihat mas jagad sibuk memperhatikan sekitar hutan seolah merasakans sesuatu.
“Mas Jagad, ada apa?” Tanyaku.
“Benar kata Pak Sardi, ada orang lain di hutan ini…” Jawab Mas Jagad.
Aku mencoba menenangkan diriku dan mencari keberadaan sosok yang dimaksud mas Jagad. Sayangnya aku tidak merasakan apapun seperti yang diceritakan Mas Jagad.
Langkah kaki kami mengantarkan kami ke kompleks pemakaman tua yang sebagian nisanya tidak berbentuk. Beberapa makam baru ada di bagian pinggirnya namun semakin ke dalam hanya makam yang sudah tidak berbentuklah yang ada di tempat ini.
Aku mengingat sosok demit tua yang mengaku menguasai tempat ini dan akhirnya menghadang setan setan mengejarku dan pak sardi saat itu dan belakangan aku baru tahu bahwa ia adalah Eyang Widarpa. Eyang sudah banyak menolongku bahkan sebelum aku mengenal namanya.
“Dirga ,menurut cerita, ini adalah makam prajurit-prajurit dan rakyat kerjaan Darmawijaya yang meninggal karena perang bodoh antar kedua patih” Jelasku pada Dirga.
“Apa benar mas Danan? Bentuknya sudah tidak karuan begini?” Balas Dirga.
“Itu menurut cerita roh seorang nenek yang menjadi korban perang itu, dan itu mungkin saja benar karena istana tempat Prabu Arya Darmawijaya bersemayam ada di dekat sini” Jelasku lagi.
Sebuah sendang dengan air yan berwarna hitam terlihat dihadapan kami bersama sebuah batu besar yang merupakan bekas batang pohon beringin yang menjadi fosil.
Aku merasakan sesuatu yang aneh di tempat ini. sebuah perasaan yang membuatku tidak nyaman tiba-tiba hadir saat aku menginjakkan kaki ke wilayah sendang banyu ireng.
“Pakde, Kerisku… kerisku bergetar!” Ucap Dirgapada mas Jagad yang berusaha memegangi kerisnya yang bergetar seolah ingin menunjukan sesuatu.
Tak lama dari ucapan Dirgatiba-tiba Keris Ragasukma muncul dari sukmaku dan menunjukkan reaksi yang sama.
“Danan, Wanasura gelisah… ada sesuatu di tempat ini” Ucap Cahyo.
“Pak Sardi , Hati-hati … jang jauh-jauh dari kami”Ucapku.
Mas Jagad menepuk pundak Dirgadan menyuruhnya tenang dan ia berjalan mendekat menuju sendang banyu ireng.
Mengambil sejumput tanah di dekatnya dan membacakan sebuah doa sebelum melemparkanya kembali dengan membentuk sebuah garis.
Tepat saat itu juga kami merasakan langit berubah menjadi gelap seolah akan turun hujan deras.
Tepat saat petir menyambar berbagai sosok muncul di tempat yang sebelumnya sepi dan tenang.
Dari tingginya pohon di hutan melayang sosok pocong dengan kain kafan yang penuh dengan darah melayang dan menatap kami dengan matanya yang memerah.
Di balik-balik pepohonan seperti mengintip sosok hitam besar bermata merah dan berbulu lebat yang juga teruss menatap kami.
Entah aku tidak bisa menghitung berapa sosok roh yang bergentayangan beterbangan di atas kami.
“I—ini apa Mas Jagad?” Tanyaku.
“Mereka bersembunyi di sisi lain hutan ini… sepertinya mereka memiliki tuan” Jawab Mas Jagad.
Sebelum aku sempat menjawab tiba-tiba sosok roh wanita dengan wajah penuh luka bakar dan rambut yang hanya tersisa beberapa helai melayang cepat ke arahku dan menjatuhkankuke tanah.
Ia tertawa cekikikan menindih tubuhku dan mencoba menahan tanganku.
“T—tolong!! S-aakit…. “ Ucap makhluk itu dengan lirih namun berbanding terbalik dengan tindakanya yang mencoba mencelakaiku.
Aku membacakan doa untuk menenangkan makhluk itu namun hampir tidak terjadi apapun denganya. Sepertinya sebuah ikatan hitam mengendalikan makhluk ini.
Cahyo dengan sigap membacakan doa di lenganya dan memukul makhluk itu hingga terpental dan kembali melayang bersama makhluk lainya. serentak dengan kejadian itu tiba-tiba aku merasakan sebuah kekuatan mengerikan dari salah satu candi di dekat sendang banyu ireng.
“Mas, hati-hati ada sesuatu di sana” Ucap Dirgayang merasakan peringatan dari keris yang ia pegang.
Seorang pria berambut panjang dengan jenggot dan brewok menutupi wajahnya dengan tubuh kurus dengan pakaian yang sudah tidak berbentuk keluar dari bangunan candi itu.
Tubuhnya penuh dengan luka dan darah mengalir dari bekas luka itu.

Di tanganya tergenggam sebuah keris yang baru saja ia cabut dari warangkanya.
“Getih… Kei aku getih” (Darah… berikan aku darah)
Pria itu berjalan tertatih-tatih dengan dengan mata yang sepenuhnya memutih dan menyebrangi sendang banyu ireng di hadapan kami. Kemunculan pria itu tiba-tiba membuat semua makhluk yang baru saja muncul dihadapan kami tersenyum dan menatap ke arah kami.
“Danan hati-hati!” Teriak Cahyo yang segera memanggil kekuatan Roh Wanasura yang ada di tubuhnya. Sepertinya instingnya merasakan hal yang sangat berbahaya.
Dan benar saja, tak butuh lama hingga Roh Gentayangan di sekitar kami mendekat mengitari kami dan makhluk hitam berbulu besar berlari bersiap menyerang kami dengan cakarnya yang panjang.
Dengan sigap cahyo menghalau makhluk itu hingga terpental, namun dari sisi lain makhluk panjang bermata merah merayap ke arahku dan bersiap menanggkapku, namun aku membacakan doa pada keris ragasukma dan menusukkanya pada lenganya hingga membuatnya menjauh.
“Mas Danan, Dirga!” Teriak Pak Sardi yang melihat keanehan pada tubuh dirga.
Seluruh kulit dan matanya terlihat memerah, ia mencoba mempertahankan kesadaranya sambil terus menggenggam keris peninggalan leluhurnya di tanganya.
Melihat hal itu mas jagad segera meraih Dirgadan membacakan doa yang cukup panjang untuk menenangkanya.Pak Sardi juga membantu namun sepertinya sosok di dalam tubuh Dirgamenolak untuk pergi.
Aku melihat keadaan sekitar dan tidak menemukan sosok pocong berkain kafan merah tadi.
“Khikhikhi… Darah, darah anak itu yang terbaik” Ucap Dirgadengan suara berat yang tersengal sengal sambil melotot ke arah kami dengan matanya yang memerah.
“Danan, aku tahan makhluk ini! kamu urus orang itu!” Ucap Cahyo sambil menunjuk ke seorang pria yang masih berusaha menyeberangi Sendang banyu Ireng dengan langkah yang terseok seok.
Dengan segera aku melompat ke dalam sendang dan menarik kerisku dan menyerangnya hingga kedua keris kami beradu dan mementalkan kami berdua.
“I—Itu bukan keris biasa Danan!” Teriak mas Jagad mencoba memperingatkanku. Keris itu dialiri kekuatan hitam, bukan… kekuatan merah darah pekat yang membuatku merinding setiap menatapnya.
Aku menoleh pada Dirga yang semakin berteriak kesakitan. Tak mau membuang waktu aku segera berdiri dan menghampiri kembali Pria itu yang juga memaksa untuk berlari mengejarku.
Anehnya sebelum kami saling beradu kekuatan lagi tiba-tiba pria itu mengangkat kepalanya tinggi-tinggi dan membenturkanya ke Waturingin di tengah sendang hingga darah segar bermuncratan.
“A—arrrgg!! Hentikan!! “ Teriak laki-laki itu yang kembali membenturkan kepalanya.
Aku mencoba mendekat, kali ini bukan untuk menyerangnya melainkan untuk menghentikanya. Aku yakin ada sesuatu yang tidak kami mengerti di sini.
“Pergi! Menjauh!! Kalian bisa mati!” Teriak pria itu namun aku tidak mempedulikanya dan tetap menahan tubuhnya.
Sesekali aku memperhatikn matanya yang kembali dengan pupilnya dan kembali memutih seolah sedang melawan sesuatu di dalam dirinya.
“Api!! Aku butuh api itu!” Teriak orang itu.
Aku tidak mengerti dengan apa yang ia bicarakan, namun pak sardi seolah menyadari sesuatu dan segera menghampiri kami.Ia membacakan doa, menggerakan tanganya dan sesuatu muncul di hadapan kami.
“I—Itu! Itu Geni Baraloka Paklek!” Teriak Cahyo yang menyadari api yang turun ke tangan Pak Sardi.
Dengan tubuh yang berlumuran darah, pria pemegang keris berbilah merah itu memaksa dirinya berlari menuju api itu hingga tubuhnya terbakar namun perlahan ia mendapatkan kesadaranya dan demit di sekitar kami menjauh seperti tadi.
Aku menoleh kepada Dirga, ia terbaring lemah namun tubuhnya sudah kembali normal seperti sebelumnya. Apa yang terjadi dengan semua ini? Siapa Pria ini?
Aku mencari peralatan p3k yang sekarang selalu kubawa di tasku dan mencoba menghentikan pendarahan di kepala pria tadi sembari mas jagad mencoba memulihkan kesadaran dirga.
“Pergi… menjauh dari saya!” Ucap Pria yang terbaring lemah dengan semua luka ditubuhnya.
“Tenang dulu Pak! Tenang! Seharunya Api ini bisa menahan sesuatu yang mempengaruhimu!”Ucap Pak Sardi,
namun sepertinya ia mulai khawatir karena Geni Baraloka yang dulu ditinggalkan Paklek di hutan ini kini semakin mengecil.
Saat Pria itu mulai tenang angin kembali mulai berhembus dengan tenang.
Kami menarik nafas dalam-dalam atas kejadian singkat namun hampir mencelakai salah satu dari kami.
“T—Terima kasih, maafkan atas semua kejadian ini” Ucap orang itu yang sudah mulai bisa mengendalikan dirinya.
“Pak, Ceritakan kepada kami.. apa yang sebenarnya terjadi?” ucap cahyo yang sudah tidak sabar untuk mengetahui apa yang sebenarnya terjadi.
Pria itu mencoba berdiri dan menyandarkan tubuhnya di salah satu pohon sementara kami mengikutinya.
“Saya Suroto Jogopati… saya sengaja mencari hutan ini. Menurut cerita yang saya dengan, di hutan ini ada Api yang bisa menolong saya..”Cerita orang itu.
“Maksud Pak Suroto, Geni Baraloka ini?” Tanyaku.
Ia mengangguk. Sepertinya aku mulai mengerti maksud keberadaanya di tempat ini.
“Keris itu adalah keris terkutuk, hampir seluruh keluargaku mati karenanya..
Aku adalah pewaris yang terpilih dan keris itu tidak mau meninggalkanku yang telah disumpah oleh garis keturunan darahku” Jelasnya sambil menunjuk keris yang ia lempar menjauh.
Kami memang merasaan sesuatu yang berbahaya pada keris itu,
dari kekuatanya saat berbenturan aku bisa merasakan bahwa keris itu berasal dari Jaman yang sama dengan Keris Rogosukmo.
“Saya harus menjauhkan keluargaku dari bahaya dengan menjauhkan diri dari mereka, namun setiap saya sudah hampir mati keris itu mengambil alih tubuh saya dan mencari korban untuk memperpanjang umur saya…” Jelasnya.
Sebuah cerita yang mengerikan, sebuah pusaka bisa mengambil alih kesadaran empunya dan mencelakai orang lain.
“Danan, bisa kamu putihkan keris itu?” Tanya Cahyo.
Benar kata cahyo, ada baiknya aku mencoba memutihkan keris ini.
Dengan segera aku mengambil keris yang terjatuh di tanah itu. sebuah kekuatan besar seperti beradu dengan keris rogosukmo yang kumiliku namun aku terus mencoba membaca doa untuk memutihkan keris ini, namun sama sekali tidak berhasil.
Seolah merespon perbuatanku tiba-tiba keris itu bergerak terlepas dari warangkanya dan melesat ke arah Pak Suroto dan menancap di pohon persei disebelah wajahnya.
Dengan lemah pak suroto mengambil keris itu dan memandangnya.
“Keris Benggolo Abang.. sebuah kutukan yang diturunkan oleh leluhur kami. banyak hal yang bisa didapatkan oleh pemilik keris ini namun bayaranya tidak akan pernah sebanding”
Aku masih meratapi kegagalanku memutihkan pusaka itu namun sepertinya Pak Suroto juga sudah menebak hal itu.
“Pak suroto, coba ceritakan kepada kami… siapa tau kami bisa membantu.
Mas Danan dan Mas Cahyo sebelumnya sudah pernah membantu desa kami dari hal serupa” Ucap Pak Sardi.
Saat itu Pak Suroto menatapku dan Cahyo dan memperhatikan keris yang ada di genggamanku. Wajahnya terlihat ragu namun sepertinya ia tetap memutuskan untuk bercerita.
Pak Suroto memulai ceritanya dengan keberaadaan kerisnya yang sudah dimiliki olehnya selama turun temurun. Namun saat dimiliki oleh ayahnya, keris itu di segel dan tidak pernah digunakan hingga diturunkan kepada dirinya.
Sebelumnya Pak Suroto tidak pernah memperhatikan keris itu karena memang tidak memiliki niat untuk menggunakanya. Hingga saat suatu malam tiba-tiba segel keris itu terlepas dan mengambil alih kesadaran Suroto.
Yang ia ingat seperti ada suara yang memanggil sosok yang berada di dalam keris itu terus menerus. Ia tidak sadar dengan apa yang terjadi hingga suara tangisan anaknya yang paling kecil menyadarkanya dan melihat hal mengerikan di hadapanya.
Seluruh anggota keluarganya bergelimpangan penuh luka dan menatapnya dengan ketakutan seolah melihat sosok monster yang mengerikan.
Pengakuan dari keluarganya Ia kerasukan dan disekitarnya terdapat banyak makhluk halus yang menuruti perintahnya.
Mengetahui kejadian itu saudara-saudaranya datang dan mencoba membantunya. Namun segala cara tidak berhasil, sebaliknya ada beberapa saudaranya yang mencoba merebut keris itu darinya namun berakhir naas dengan kematian.
Melihat sudah ada korban nyawa Pak Suroto memilih untuk meninggalkan keluarganya dan mencari cara sendiri untuk menolong dirinya hingga ia mendengar kabar mengenai sebuah api yang sering muncul di hutan bernama Alas Mayit yang bisa menenangkan roh.
Ia memaksa dirinya untuk mencapai hutan itu, melukai dirinya setiap hampir kehilangan kesadaran. Setiap keris itu mempengaruhi tubuhnya seluruh demit pengikut keris itu selalu menampakan diri untuk mencari darah untuk tuanya.
Namun keberadaan api di hutan itu berhasil menahanya setiap ia mulai menggila.
“Pantas saja geni baraloka mengecil dengan cepat berbeda dengan sebelumnya yang bertambah besar secara perlahan” Ucap Pak Sardi.
“Yang lebih membuat khawatir, sebenarnya itu pusaka apa? Bagaimana keris itu bisa melepas segelnya sendiri Nan?” Tanya Cahyo.

“Keris itu tidak sendiri, saudaranya memanggilnya” Tiba-tiba Dirga menghampiri kami seolah mengetahui sesuatu.
“Saat kerasukan tadi aku mendapat gambaran tentang keberadaan tiga buah keris kembar.”Lanjut Dirga.
Seolah sudah mulai pulih, Dirgaduduk bersila mengambil posisi nyaman untuk menceritakan penglihatanya.
“Coba Jelaskan apa yang kamu lihat Dirga?” Perintah Mas Jagad.
Dirga menceritakan penglihatanya tentang Tiga buah keris , Keris Benggolo Ireng dan keris benggolo abang yang berkekuatan hitam dan Keris Benggolo Lanang netral seolah tak memiliki kekuatan.
Keris Benggolo Ireng telah bangkit seolah memulai sesuatu hal yang akan menimbulkan banjir darah berdasarkan sumpah yang dilakukan oleh pemilik sebenarnya dari keris itu.
“Saya tidak bisa melihatnya dengan jelas, tapi sepertinya aku pernah mendengar cerita dari abah tentang hal ini” Ucap Dirga.
“Benar Abah tahu tentang ini? “Tanya Jagad.
“Cuma satu cara untuk memastikan, tapi sepertinya keberadaan keris ini memiliki hubungan dengan leluhurku.” Jawab Dirga.
Dari perbincangan ini kami mengambil kesimpulan bahwa suatu hal besar akan terjadi.
Apakah akan lebih mengerikan dari terbukanya gerbang Jagad segoro demit dulu? Atau malah sebuah tragedi yang tidak bisa dicegah oleh kami?
“Pak Sardi, aku akan meminta paklek ke sini. Sepertinya hanya Geni Baraloka Paklek yang bisa menahan sosok yang mempengaruhi Pak Suroto ini.” Ucapku. Cahyo mengangguk setuju.
“Abah pernah berurusan dengan seorang dukun yang tinggal di sekitar pabrik tahu dekat desa saya. saat itu dukun itu dibantu oleh salah seorang pengguna Keris Benggolo Ireng yang hampir menghabisi nyawa Abah.
Beruntung saat itu abah bisa selamat dengan bantuan temanya..” Jelas Dirga.
Mendengar cerita Dirga, kami tidak mempunyai pilihan lagi. kami harus mencari tahu tentang hal ini sebelum teragedi mengerikan yang memakan banyak korban akan terjadi lagi.
“Setelah paklek datang sepertinya kita harus segera menemui Abah, kita tidak bisa menunggu lebih lama” Ucap Mas Jagad.
Kami setuju, Sepertinya ucapan iseng kami untuk main ke rumah Dirgamenjadi sebuah keharusan dengan adanya kejadian ini.
Disamping itu, entah mengapa aku merasa semangat saat akan bertemu keluarga Dirga, keluarga trah Darmawijaya yang sudah bersahabat dengan leluhurku dari sejak jaman dahulu.

Bersambung part 4 - Warangka
Terima kasih sudah mengikuti hingg part ini. Mohon maaf apabila ada salah kata atau bagian cerita yang menyinggung.

sabtu ini langsung kita lanjut part 4 yang akan bersinggungan dengan pabrik tahu dikisah @qwertyping
yg mau baca duluan bisa ke sini ya..
karyakarsa.com/diosetta69/ker…
Keris Benggolo Ireng
Part 4 - Warangka

Danan dan Cahyo akhirnya tiba di rumah Dirga. dari awal mereka sudah curiga dengan keberadaan pabrik tahu yang berada di sana.
Saat bertemu abah ia menceritakan bahwa benda yang pernah menyegel Keris benggolo ireng berada di sana.. Image
Sunyinya sebuah hutan kadang menyimpan misteri yang seharusnya tidak perlu disibak oleh manusia yang tidak seharusnya berada di sana. Dibalik perasaan tenang yang dihadirkan di bawah sinar mentari, selalu ada kengerian yang menyelimuti di bawah sinar rembulan.
Alas mayit, ternyata masih menghubungkan kami dengan sesuatu misteri yang akan menciptakan tragedi berdarah yang harus kami hentikan.
“Itu! itu paklek!” Teriakku pada Cahyo yang sedari tadi menunggu paklek di ujung lembah.
Kami memang sengaja menjemput paklek di sini karena jalan untuk masuk ke desa masih sulit dilalui dan membingungkan.
“Sini paklek tak bantuin” Ucapku sambil membawa sebuat tas kain besar yang dibawa oleh paklek.
Sepertinya mau tidak mau paklek harus tinggal cukup lama di desa ini, karena saat ini hanya ilmu pakleklah yang bisa menahan Mbah Suroto saat tubuhnya diambil alih.
“Kowe nggoleki opo Jul?” (Kamu nyariin apa jul?) Tanya Paklek yang heran pada cahyo yang terlihat mengelilingi paklek.
“Bulek ora nggawani opo-opo paklek? Arem-arem opo lemper ngono?” (Bulek nggak bawain apa-apa gitu paklek? Arem-arem atau lemper gitu?) Tanya cahyo balik.
“Oo.. iyo, iki… gowonen” (ooo , iya ini.. nih bawa) Balas paklek yang menyerahkan sebungkus kantong kresek hitam yang diambil dari tasnya. Cahyo dengan cepat segera mendekat dan mengambil bungkusan itu.
Dengan sumringah Cahyo membuka bungkusan itu dan seketika wajahnya berubah menjadi aneh sambil menutup hidungnya.
“Paklek! Lemper dari mana? Ini Baju kotor!” Teriak Cahyo yang protes dengan bungkusan yang diberikan oleh paklek.
Sontak aku tertawa melihat wajah lucu Cahyo yang termakan tingkah iseng paklek.
“Lha sudah tahu paklek dari desa selatan nggak mampir ke rumah malah ditanyain oleh-oleh” Ucap paklek yang menahan tawa gelinya saat melihat wajah Cahyo.
Setelah kejadian itu sepanjang perjalanan Cahyo hanya menggerutu karena ternyata harapanya untuk menikmati masakan bulek pupus seketika.
“Siapa namanya? Suroto? Apa kondisinya separah itu nan?” Tanya paklek yang ingin mengetahui permasalahan yang kami ketahui di desa ini.
“Kondisi Mbah Suroto mulai stabil setelah dibantu oleh Pak Sardi, tapi sesuatu yang membuat mbah suroto menjadi seperti itulah masalah sebenarnya” Jawabku.
“Pak Sardi ayahnya Sekar?” Tanya Paklek.
Aku mengangguk dan melanjutkan cerita mengenai sebuah keris yang berisi kekuatan hitam yang mengambil alih kesadaran Mbah Suroto. Dirgajuga mendapat penglihatan mengenai ketiga keris kembar pembawa petaka yang akan bangkit dan akan mengakibatkan pertumpahan darah.
Saat matahari tepat berada di atas , kami sampai di desa Windualit dan segera membawa Paklek ke rumah singgah tempat Mbah Suroto di rawat. Saat itu juga paklek merasakan keberadaan sosok yang mengelilingi desa ini yang tidak berani untuk mendekat.
“Makhluk-makhluk itu? apa tidak membahayakan desa ini?” Tanya Paklek.
“Kami tidak ada pilihan paklek, mereka adalah pengikut dari sosok yang mendiami Keris Benggolo Abang yang mengikuti Mbah Suroto. Selama Mbah Suroto sadar makhluk itu tidak akan berbuat apa-apa” Jelasku.
Mendengar penjelasanku Paklek hanya diam seolah memang tidak ada solusi lain atas hal ini. Tapi aku mengerti kekhawatiran paklek akan warga desa yang pasti akan tergganggu bila mengetahui keberadaan makhluk-makhluk ini.
“Kulo nuwun.. “ (Permisi) Aku mengetuk dan membuka pintu rumah singgah tempat kami merawat Mbah Suroto. Terlihat Sekar segera keluar menyambut kami dan mengenalkan paklek pada Pak Sardi ayahnya.
“Monggo Paklek masuk, Saya Sardi.. ayahnya Sekar. Terima kasih banyak dulu sudah mau membantu Sekar” Ucap Pak Sardi yang memang sangat ingin bertemu dengan Paklek.
“Sama-sama Pak Sardi, kebetulan aja Cahyo yang nemuin Sekar.. lagipula Sekar juga sudah saya anggap anak sendiri” Jawab Paklek.
“Tuh Sekar, udah dianggep anak sama paklek… sering2 donk main ke klaten” Ucap Cahyo menyela pembicaraan mereka.
“Iya Sekar, tapi mampir ke klatenya pas bocah ini lagi pergi ya..“ Balas Paklek.
“Gimana sih paklek, kalau gitu percuma donk” Ucap Cahyo.
“Haha.. iya ya, mungkin sewaktu-waktu gantian saya dan Sekar yang mampir ke rumah Paklek.
Kami memang jarang sekali keluar desa” Balas Pak Sardi yang ikut terhanyut dalam obrolan iseng cahyo dan paklek.
Setelah sedikit beristirahat dan menikmati suguhan yang dibuat Sekar, paklek segera menghampiri Mbah suroto yang terbaring di salah satu kamar di rumah ini.
Tepat saat memasuki kamar, paklek menoleh ke arah tas kainya , aku menduga sepertinya Keris Sukmageni juga bereaksi dengan keberadaan Keris Benggolo Abang yang dimiliki mbah Suroto.
“Kulo nuwun…” Ucap Paklek dengan sopan sebelum memasuki kamar. Terlihat Mbah suroto memaksakan dirinya untuk duduk dengan setiap luka yang ada pada dirinya.
“Sudah santai saja Mbah Suroto, Saya Paklek mereka… Nama Saya Bimo mereka sudah menceritakan semuanya kepada saya” Ucap Paklek.
Mbah Suroto terbatuk-batuk namun tetap ingin menjawab paklek.
“Bimo ya? Kata mereka api itu adalah ilmumu… benar-benar ilmu yang hebat dari seorang manusia” Puji Mbah Suroto yang memang merasa sangat tertolong dengan keberadaan geni baraloka milik paklek.
“Ilmu itu hanya titipan Tuhan, saya hanya perantaranya… bertemunya Mbah Suroto dengan api itu pasti juga merupakan salah satu jalan dari Tuhan atas usaha Mbah Suroto yang ingin menyelamatkan keluarga mbah suroto“
Balas Paklek yang segera memeriksa tubuh Mbah Suroto yang terlihat lemah.
Melihat paklek mulai memeriksa dan membaca doa aku dan Cahyo meninggalkan kamar agar paklek bisa berkonsentrasi.
Kami juga harus bersiap-siap meninggalkan desa windualit untuk mencari tahu keberadaan keris yang menjadi asal muasal petaka ini.
Setelah beberapa lama, paklek keluar dari kamar dengan keringat yang bercucuran. Sekar dengan sigap memberikan handuk kecil untuk paklek.
Sudah cukup jelas, paklek juga merasakan kesulitan dengan apa yang dihadapi Mbah Suroto. Tepat saat itu juga Dirgadan Mas Jagad kembali dari alas mayit. Mereka kembali ke sana sekedar untuk mengirimkan doa untuk leluhur DirgaPrabu Arya Darmawijaya yang bersemayam di sana.
“Paklek.. sudah lama?” Tanya Dirgayang segera salim ke paklek dan bergabung bersama kami.
“Baru saja kok, belum lama.. nah kebetulan kalian sudah sampai… sepertinya kalian harus segera mencari tahu tentang permasalahan ini. Paklek sudah mencoba berbagai cara,
geni baraloka dan keris sukmageni hanya dapat mempertahankan kesadaran Mbah Suroto.” Jelas Paklek.
“Bahkan keris sukmageni tidak bisa menghapus kutukan mbah suroto?” Tanya Mas Jagad.
Paklek Menggeleng.
“Itu bukan kutukan, itu adalah perjanjian leluhur Mbah Suroto dengan sosok dibalik keris itu” Balas Paklek.
Kalau begitu ini semua mulai masuk akal, terjawab sudah mengapa ilmu kami tidak mampu memulihkan kesadaran Mbah Suroto sepenuhnya.
Sepertinya kami memang harus mencari tahu keberadaan keris lainya yang menjadi asal muasal petaka ini.
“Maaf ya dek Sekar, besok pagi mas cahyo harus meninggalkan dek Sekar lagi…” Ucap Cahyo dengan wajah penuh drama.
Sekar tertawa kecil mendengar candaan Cahyo , aku sudah bersiap melemparkan sandalku pada Cahyo tapi akhirnya kutahan karena mungkin mereka butuh waktu untuk bercanda lebih banyak sebelum hal-hal buruk mulai menimpa kami.

***
“Panjul! Kalau kedinginan gantian aja aku yang di belakang!” Teriakku pada Cahyo yang dikorbankan untuk duduk di bak belakang mobil pick up Mas Jagad bersama motor vespa kesayanganya.
“Wis, tenangno pikirmu.. pendekar ki ra takut kademen” (Udah tenang saja, pendekar itu nggak takut kedinginan) Jawabnya dengan santai. Tapi aku selalu tahu bahwa memang tabiat Cahyo yang tidak mau membiarkan temanya mendapat posisi yang tidak enak.
Dirga sudah menelpon Abah dan menceritakan mengenai kejadian di Desa Windualit. Beliau berjanji akan mencari tahu lebih banyak informasi mengenai tiga buah keris kembar yang sempat ia ketahui sebelumnya.
Perjalanan kami menuju desa Dirga terhitung cukup lama, kami beberapa kali berhenti di warung kopi di pinggir jalan propinsi untuk sekedar beristirahat dan memastikan Cahyo tidak tertinggal tertiup angin.
Seandainya kami tidak terburu-buru mungkin perjalanan ini akan menjadi menyenangkan ketika kami bisa saling bercerita selama perjalanan mengenai bagaimana sebenarnya hubungan orang tuaku dan Mas Jagad hingga bisa dekat dengan keluarga darmawijaya.
Setelah perjalanan yang cukup panjang kami sampai di sebuah desa yang sudah cukup padat dengan bangunan tepat saat matahari terbenam. Terdapat sebuah pasar yang sudah dikelola oleh pemerintah di sana,
dan yang paling menarik perhatianku adalah sebuah bangunan besar menyerupai pabrik yang sempat kulihat tak jauh dari sungai.
“Mas Jagad , itu tadi bangunan apa?” Tanyaku yang penasaran.
“Oh, Itu pabrik tahunya Pak Wijaya Kartakusuma tapi beliau saat ini sedang sakit, jadi di kelola oleh istrinya” Cerita Mas Jagad.
“Sakit apa Mas Jagad? Harusnya mereka punya uang untuk mengobati ke rumah sakit kota kan mas?” Tanyaku lagi.
“Penyakitnya cukup aneh Nan, dan Pak Wijaya dan keluarganya juga cukup tertutup dengan penyakitnya” Jawab Mas Jagad.
“Agak misterius ya? semoga saja mereka juga cepat mendapat solusi atas masalah mereka” Balasku.
“Iya Mas Danan, tapi tahu hasil pabrik mereka enak lho! Besok kita coba yang masih fresh” Cerita Dirga.
“Wah siap donk, kalau soal makanan itu yang di belakang pasti semangat” Balasku.
Kami turun di sebuah rumah yang memiliki halaman kebun yang cukup luas dengan bangunan utama yang dibangun dengan tembok dan dekorasi batu alam. Walaupun sederhana , rumah ini terlihat sangat nyaman dengan jendela kayu model lama dengan kisi-kisi kaca di dalamnya.
“Punten.. Abah, Emak , Dirga pulang” Ucap Dirga sambil membuka sendiri pintu rumahnya yang sepertinya memang jarang terkunci. Suara langkah kaki terdengar mendekat menyambut teriakan Dirga.
Itu adalah Abah, Ayah dari Dirga Darmawijaya yang seharusnya ia juga adalah salah satu garis keturunan bangsawan dari Prabu Arya Darmawijaya.
Namun pakaianya terlalu sederhana untuk seorang keturunan darah bangsawan dan satu lagi yang membuatku penasaran pasti ada cerita menarik mengenai kepindahan mereka ke tanah Sunda.
“Permisi Abah.. Saya Danan, dan ini teman saya Cahyo. Mohon Ijin merepotkan Abah” Ucapku memperkenalkan diri.
“Merepotkan naon? Sudah ayo masuk. Dirga sudah cerita semuanya, sama saudara sendiri tidak usah sungkan-sungkan” Ucap Abah yang ternyata begitu ramah.
Mendengar itu kami tidak sungkan lagi dan segera masuk menuju ruang tamu dan melepaskan lelah selama perjalanan dengan minuman hangat yang sudah disediakan oleh orang tua Dirga.
“Cahyo, nih minum dulu masih anget..” Ucapku pada Cahyo sambil menggeser duluan teh hangat yang dihidangkan ke Cahyo yang terlihat masih kedinginan sambil menutupi tubuhnya dengan sarungnya.
Tanpa banyak bertanya Cahyo segera menikmati teh hangat yang ada dihadapanya dan mencomot beberapa gorengan.
“Keliatanya pada kelelahan ya? Malam ini istirahat dulu saja bicara seriusnya besok saja”
Ucap Abah yang melihat wajah cahyo yang sedikit pucat setelah menghadapi terpaan angin sepanjang perjalanan.
“Iya, sudah saya siapin air panas buat mandi… Mas Jagad nginep di sini saja sekalian.” Tambah Emak ibu dari Dirga yang ikut keluar menyambut kami.
“Wah nggak usah, Saya pulang saja.. sudah ditunggu orang rumah juga.” Jawab Mas Jagad yang sepertinya sudah tidak sabar untuk pulang ke rumah.
“Ya sudah, setelah ini istirahat dulu saja. Ada banyak hal yang ingin saya ceritakan berdasarkan cerita Dirga kemarin. Tapi saya harus mengambil sesuatu dulu besok. Jadi mungkin bicara seriusnya besok siang saja ya” Lanjut Abah.
Kami setuju , malam itu hanya dilalui dengan perbincangan kecil dan ditutup dengan Cahyo yang diam-diam minta kerokan sebelum akhirnya kami tidur ditemani suara dengkuran Cahyo yang sepertinya menggema sampai satu desa.

***
Pagi itu aku terbangun lebih awal, Cahyo masih tertidur dengan pulas sementara aku menyadari Dirga sudah bersiap-siap melakukan sesuatu.
“Lah , masih pagi.. mau kemana Dirga?” Tanyaku.
“Oh.. biasa mas, bantuin Mas Jagad nganter barang ke pasar.” Jawab Dirga. Ternyata sudah rutinitas Dirga setiap pagi untuk membatu Mas Jagad mengantarkan daganganya ke pedagang-pedagang pasar.
“Eh, aku ikut deh.. sekalian jalan-jalan” Ucapku yang dengan senang hati disetujui oleh Dirga.
Pasar di desa ini cukup ramai, Mas Jagad terlihat cukup dekat dengan pedagang-pedangang di pasar ini. Tak jarang juga pengunjung pasar yang menyapa Jagad dan Dirga.
“Mas Jagad terkenal juga ya di pasar?” Tanyaku penasaran.
“Kan wajar Nan, kerjaanku nganter-nganter barang dari toko grosir ke pedagang-pedagang pasar, jadi wajar pada kenal” Jawab Mas Jagad.
Setelah menyelesaikan pekerjaanya, Mas Jagad mengajaku makan di sebuah warung bakso yang berada di sudut pasar.
“Eh Dirga, lama nggak keliatan” tiba-tiba terdengar suara seorang perempuan yang menyapa kami di warung bakso tempat kami ingin menuntaskan lapar.
“Teh Rini, Sama siapa ke sini? Sama A Putra?” Tanya Dirga yang membalas ucapan perempuan itu.
“Nggak.. Sama Mang Toha, itu lagi mesen. Dirga sama Mas Jagad teh dari mana saja? Baru keliatan” Tanya Seseorang bernama Rini itu.
“Habis ada acara di Jawa Tengah, Teh Rini juga tumben ikut nganter tahu?” Balas Dirga yang terlihat cukup akrab denganya.
“Iya , lagi libur saja..” Jawabnya yang dilanjut dengan perbincangan-perbincangan ringan. Namun sebenarnya aku sedikit lebih tertarik dengan perbincangan antara Mas Jagad dengan Mang Toha.
“Mas Jagad, sekali-kali kalau ada waktu mampir ke pabrik. Saya teh penasaran , bener nggak pabrik itu katanya angker” Terdengar suara Mang Toha seperti bertanya ke Mas Jagad.
“Iya mang, saya sudah sempat lewat ke sana. Karyawan-karyawan juga sudah ada yang cerita, Katanya ada sosok yang mirip Mang Toha ya?” Tanya Mas Jagad dengan nada menggoda ke Mang Toha.
“Mas Jagad teh jangan begitu, walaupun nggak gitu mengganggu tapi lama-lama serem juga.” Lanjut Mas Toha.
“iya Mang Toha, mereka sepertinya sudah penunggu lama di sana. Seharusnya tidak ada mencelakai , tapi yang harus jadi perhatian sebenarnya sosok wanita di sebelah pabrik,
tepatnya dekat sebuah pohon. Sepertinya dia membawa dendam, entah untuk siapa. Sayangnya setiap saya mendekat sosok itu lebih dulu menghilang” Ucap Mas Jagad.
Dari perbincangan ini aku seolah bercermin , ternyata Mas Jagad juga sering mendapat permintaan dari orang-orang yang dikenalnya. Mungkin memang sudah takdir keluarga kami untuk mengemban tugas seperti ini.
Setelah cukup kenyang kami kembali ke rumah Dirga dengan diantar oleh Mas Jagad. Dia juga ingin mengetahui informasi yang didapat oleh Abah akan keberadaan keris-keris itu.
Saat sampai di rumah Dirga , terlihat Cahyo seperti sedang berbicara serius dengan Abah. Sepertinya ada suatu kabar yang cukup serius.
“Danan, Sepertinya kita harus pisah jalan” Ucap Cahyo tiba-tiba.
“Maksudmu gimana? Ada kabar apa to?” Tanyaku yang heran dengan ucapanya.
“Barusan aku ditelepon sama Guntur, sepertinya aku harus ke desanya” Ucap Cahyo.
Cahyo menceritakan bahwa tiba-tiba desa guntur di serang oleh seorang dukun berwujud nenek tua yang membawa pengikut –pengikut makhluk halusnya untuk menyerang desanya.
Rupanya yang diincar adalah seorang perempuan bernama Indira. Dia adalah satu-satunya keturunan yang tersisa dari pewaris Keris Benggolo Ireng. Ibu dan kakaknya mati dengan mengenaskan dibunuh oleh ayahnya dalam pengaruh keris itu.
“Lalu mereka gimana? Apa mereka selamat?” Tanyaku yang mulai khawatir.
“Mereka selamat, Nyai Jambrong membantu mereka mengusir dukun dan pengikutnya.” Jawab Cahyo.
“Nyai Jambrong? Nyai Jambrong pemilik ilmu rawarontek yang bertarung sama kita dulu?” Tanyaku semakin heran.
Cahyo mengangguk. Rupanya setelah kehilangan ilmunya Nyai Jambrong mengasingkan diri di hutan di rumah tempat arum dan Bu ningrum tinggal dulu sekaligus menurunkan ilmu bela dirinya ke Guntur.
“Rupanya kalian sudah melalui kejadian-kejadian besar yang mengerikan ya?” Ucap Abah yang cukup kaget mendengar cerita kami.
“Iya Bah, Dirga juga belajar banyak dari Mas Danan dan Mas Cahyo.” Ucap Dirga.
“Ya sudah, duduk dulu semua.. Abah mau bercerita sesuatu sebelum Mas Cahyo berangkat.”
“Kalau memang perkara yang kalian hadapi itu berhubungan dengan Keris Benggolo Ireng maka ini bukan masalah sepele” Buka Abah.
Abah bercerita bahwa Keris Benggolo Ireng merupakan keris kembar tiga yang dibuat pada jaman kerajaan ratusan tahun yang lalu. Keris yang dibuat oleh empu gila dengan ‘batu langit’ yang jatuh di salah satu hutan saat itu.
Empu itu memberi syarat pada yang akan menggunakan ketiga keris itu bahwa mereka tidak boleh berhenti membunuh. Bahkan ketika perang sudah usai, sumpah ini akan diteruskan kepada setiap keturunanya.
Saat itu panglima-panglima yang haus akan kemenangan berkompetisi untuk mendapatkan keris-keris itu tanpa mengindahkan konsekuensinya. Hingga terpilihlah ketiga panglima yang akan dikirim ke perang akhir dengan bersenjatakan keris itu.
Ketika sudah diwariskan, Keris itu diisi sosok makhluk yang tidak diketahui asalnya dari mana. Namun setiap pemegang keris pusaka itu mendapat kuasa untuk memerintah pengikut dari sosok mengerikan yang mendiami keris itu.
Keris Benggolo Ireng dan Keris Benggolo Abang dapat diwariskan dengan sumpah dari pewarisnya. Namun salah satu panglima penerima Keris Benggolo Lanang mati di malam saat keris itu akan diterima.
Anehnya saat akan dipindah tangankan, sosok roh panglima yang gagal menerima keris itu selalu menghalangi siapapun mendapatkan kekuatan keris itu. mungkin itu yang membuat keris benggolo lanang tetap netral tidak seperti kedua saudaranya.
Walaupun begitu kedua panglima tetap dengan mudah bisa mengalahkan lawan-lawanya dan memenangkan berbagai perang. Namun saat perang sudah usai, kedua keris terkutuk itu tetap memaksa kedua panglima untuk membunuh.
Saat mereka tidak memenuhi janjinya, sosok penghuni keris itu akan mengambil alih tubuh mereka dan membunuh orang-orang terdekat dari kedua panglima itu.
Hal ini menyebabkan kedua panglima selalu mencari cara untuk memulai perang dengan kerajaan lain agar mereka terus bisa mendapatkan korban untuk keris yang mereka sesali untuk dimiliki.
Hingga pada akhirnya mereka berhadapan dengan salah satu kerajaan di wilayah setra geni dan berhadapan langsung dengan raja di kerajaan itu. Raja Indrajaya..
Raja Indrajaya yang sudah mengerti dengan kekuatan keris itu dan mempersiapkan cara untuk menahan kekuatan keris itu dengan bantuan pendekar kepercayaanya yang bernama Daryana dan bantuan dari Pangeran Kerajaan Darmawijaya pada saat itu.
Daryana dengan keris Rogosukmonya seorang diri bertarung dengan sosok penghuni kedua keris itu dan Pangeran Darmawijaya dengan Keris Dasasukmanya menghadapi kedua panglima.
Dengan bantuan mereka Pasukan Raja Indrajaya berhasil memukul mundur pasukan musuh dan menyegel kekuatan kedua keris dengan Warangka atau sarung keris yang dibuat oleh empu kerajaan.
Setelah mengetahui keris itu berhasil disegel kedua panglima menyerah tanpa syarat seolah merasa lega terlepas dari sumpahnya. Sayangnya ternyata tidak semudah itu.
Sumpah kedua panglima itu terus dibawa hingga anak dan cucunya.
Hingga salah satu dari mereka menemukan keberadaan keris itu dan beringinan untuk menggunakanya.
“Abah tahu keberadaan warangka yang digunakan untuk menyegel keris itu?”Tanyaku.
Abah menggeleng. Wajar saja, benda itu sudah ada lebih dari ratusan tahun yang lalu. Berarti mungkin kami harus mencari cara lain untuk menyegel atau memutiihkan keris itu.
“Saat ini pasti sudah ada banyak korban di desa asal Indira dan keluarganya” Ucap Abah yang dibalas dengan wajah gelisah cahyo.
“Lantas bah, kalau sumpah itu diturunkan untuk apa mereka mengincar Indira? Bukankah itu artinya mereka tidak punya keturunan lagi untuk mewariskan sumpahnya?” Tanya Dirga.
Ucapan Dirga benar, mengapa mereka ingin membunuh indira?
“Mungkin, mereka ingin melahirkan pewarisnya sendiri..” Ucap Jagad.
“Maksud Mas Jagad?” Tanyaku.
“Saat ini pewaris mereka sudah tidak ingin menggunakan keris itu lagi dan mencari cara untuk menyegelnya.
Seandainya makhluk penghuni keris itu merasuk pada pewaris, memilih pasangan, dan melahirkan pewarisnya sendiri , sumpah itu tetap berlaku walaupun pewarisnya bukan sepenuhnya manusia” Jelas Mas Jagad.
Gila, bahkan makhluk seperti itupun bisa punya niatan seperti ini. bila ucapan Mas Jagad benar, berarti wajar saja bila makhluk penghuni keris itu ingin menghabisi semua pewaris terakhirnya.
“Abah, Apa keris yang Dirga dapat itu adalah keris Dasasukma?” Tanya Dirga yang segera diiyakan oleh Abah.
“Mas Danan adalah pewaris Keris Ragasukma, sedangkan aku pewaris Keris Dasasukma.. apa dengan ini kita bisa menghadapi secara langsung pengguna keris itu?” Tanya Dirga.
Abah menggeleng.
“Tidak semudah itu Dirga, ini bukan sekedar adu pusaka.. kamu juga harus memiliki ilmu dan siasat. Seandainya kalian menangpun keris itu tetap tidak bisa dihancurkan dan akan mencari empu lainya” Jelas Abah.
“Berarti kita harus mencari cara untuk menyegel atau memutihkan keris itu sepenuhnya”Ucap Jagad menarik kesimpulan.
“Ngapunten, maaf Abah , Mas Jagad.. saya percayakan mencari petunjuk soal itu pada Danan dan kalian. Saya khawatir dengan Guntur, Indira, dan desanya.” Jawab Cahyo dengan wajah gelisah.
Itu memang sudah sifatnya yang tidak bisa tenang saat ada masalah yang berhubungan dengan orang lain.
“Oh Iya Mas Cahyo, segera berangkat saja.. kalau ada informasi apapun akan kami kabari” Ucap Abah.
“Jul.. Pokoknya hati-hati, jangan gegabah. Pastiin ponselmu aktif terus” Ucapku mengantarkan cahyo keluar.
“Iyo nan, kowe yo hati-hati.” Ucapnya sambil menepuk pundaku dan segera pergi dengan menaiki motor tuanya. Terlihat dengan jelas raut muka khawatir di wajahnya.
Setelah mengantarkan Cahyo aku kembali ke rumah dan melanjutkan pembicaraan kami tadi.
“Sementara Cahyo menemui Indira, apa yang bisa kita perbuat Bah?” Tanyaku.
“Dulu pernah ada seorang dukun yang mencoba mengirimkan ilmu hitam ke desa ini,
ternyata dibalik dukun itu ada pewaris keris Benggolo ireng yang mencoba mencari tumbal dari desa ini.. kalau tidak salah namanya Sumar” Cerita Abah.
“Terus Bah, berarti Abah pernah menghadapi keris itu?” Tanyaku.
Abah menggeleng dan menghela nafas. Ia mencoba menceritakan dengan lebih rinci.
Menurut cerita Abah seseorang bernama Sumar itu meminta bantuan seorang dukun untuk melepas segel keris itu.
sebagai syarat permintaan itu dukun itu membutuhkan tumbal dan sosok roh yang penuh dendam untuk memancing makhluk di dalam keris itu.
“Bodohnya Abah baru sadar desa ini memiliki itu semua, ada sosok roh penuh dendam di desa ini” Ucap Abah.
“Di Pabrik Tahu itu?” potong jagad yang sepertinya mengerti dengan arah ucapan Abah.
“Benar.. Saat itu Abah berhasil menggagalkan niatan dukun itu untuk mencari tumbal dari desa,
namun yang Abah lewatkan sepertinya dukun itu seperti berhasil mengikat perjanjian dengan roh di sana” Lanjut Abah.
“Berarti ada kemungkinan benda yang digunakan untuk menyegel keris itu masih ada di Pabrik tahu itu bah?” Tanyaku.
“Mungkin saja, tapi apakah benda itu masih berfungsi Abah juga tidak tahu” Jelasnya.
“Mas Jagad, bisa bantu saya untuk meminta ijin ke pemilik pabrik itu? kita ke sana malam ini.. “ Ucapku.
“Bisa Danan, sebaiknya kita bersiap.. walau di siang hari pabrik itu terlihat biasa saja, saat malam hari suasana di sana akan berubah drastis” Ucap Mas Jagad.
Dari perbincangan ini aku dan Mas Jagad memutuskan untuk menghampiri pabrik tahu dan mencari keberadaan benda yang pernah menyegel Pusaka Keris Benggolo Ireng itu sementara Dirga dan Abah mencari tahu tentang keris yang baru ia dapat yang mungkin akan berguna nanti.

***
Waktu menunjukan pukul delapan malam. Terlihat lampu-lampu di pabrik tahu ini masih menyala menandakan masih ada karyawan yang bekerja.
“Punten, Mang Toha.. maaf malah jadi ngerepotin” Ucap Mas Jagad pada Mang Toha yang sudah menunggu kami di luar.
“Nggak papa mas, sekalian Mang Toha juga pengen tahu ada apa sama pabrik ini” Ucap Mang Toha.
“Hatur nuhun lho mang, nanti segera saya cari tahu.. saya ijin untuk memeriksa halaman dulu, nanti saya periksa yang di dalam kalau karyawan sudah pulang saja” Balas Mas Jagad lagi.
“Sok Atuh, kalau ada apa-apa panggil Mang Toha saja di dalam ya”
Kami berterima kasih pada Mang Toha dan berpisah untuk memulai pencairan. Secara sekilas saja sudah terlihat dengan jelas ada sesuatu yang tidak beres di pabrik tahu ini.
Dari penglihatan kami, bangunan ini dipenuhi oleh berbagai macam roh dan berbagai jenis jin seolah tempat ini memang wilayah mereka sejak dulu.
Namun sepertinya tidak ada niatan jahat dari makhluk-makluk ini selain satu sosok yang kurasakan keberadaanya namun tidak dapat kutemukan sosoknya.
Cukup lama kami mencari petunjuk namun hampir tidak menemukan apapun selain keberadaan makhluk penunggu pabrik ini.
sesekali aku dan Mas Jagad membacakan doa untuk mereka berharap mereka bisa tenang atau setidaknya tidak mengganggu karyawan di sini.
“Mas Jagad, Mas Danan.. ke sini ngopi dulu” Panggil Mang Toha.
Tanpa menunggu lama kami segera menghampiri Mang Toha dan menikmati kopi yang disuguhkan oleh Mang Toha.
“Gimana Mas Jagad, ada hasil?” tanya Mang Toha.
“Belum mang, makhluk-makhluk di tempat ini sepertinya memang penunggu asli tempat ini.
tapi ada sesuatu yang membuat mereka terganggu hingga menampakan diri.” Jelas Mas Jagad.
“Mas Jagad tahu? Apa yang membuat mereka seperti itu?” tanya Mang Toha.
Aku mengingat sosok yang kurasakan tadi, samar-samar aku juga melihat sosok seorang perempuan dengan baru berwarna merah.
“Apa karena sosok roh perempuan itu?” tanyaku pada Mas Jagad.
“Maksud Mas Danan roh perempuan apa?” Tanya Mang Toha memastikan.
“Ningsih.. Mang Toha masih ingat tentangnya, tetangga satu desa Dirga dan Abah juga” Jelas Mas Jagad. Ternyata itulah nama sosok yang mengganggu inderaku selama di tempat ini.
“Iya , Mang Toha ingat… tapi ada apa tentang Ningsih?” Mang Toha semakin penasaran.
“Ia meninggal dengan membawa dendam, saya belum mengetahui secara pasti namun sepertinya ada hubungan dengan garis keturunan Pak Wijaya Kartakusuma dan harus garis keturunanya lah yang menyelesaikanya” Jelas Mas Jagad.
Mang Toha sedikit berpikir, sepertinya ia juga mengetahui sesuatu tentang ucapan Mas Jagad.
“Maaf Mang Toha, memangnya sosok roh ningsih itu sering muncul di mana” Tanyaku yang belum menyerah untuk mencari petunjuk.
“Oh iya Mas, pernah ada karyawan yang melihat sosok roh ningsih di dekat tumpukan kayu di samping pabrik. tapi punten Mang Toha tidak tahu apa yang kalian cari ada di sana” Jelas Mang Toha.
Aku dan Mas Jagad saling menatap dan segera menghabiskan kopi ini untuk mengecek ke tempat ini, kali ini Mang Toha menemani kami menuju tumpukan kayu ini.
“Mas Jagad ngerasain sesuatu?” Tanyaku.
Mas Jagad menggeleng, namun ia mengambil dan memandangi sebuah tali yang terlihat berbeda dari tumpukan tali lainya di tempat itu.
“Mang Toha, seandainya Mang Toha tahu sesuatu, sebaiknya segera beri tahu ke keluarga Pak Jaya yang bisa dipercaya. Sosok roh seperti ini akan mudah dimanfaakan oleh dukun atau roh jahat.” Ucap Mas Jagad tiba-tiba.
Ia menggeser beberapa tumpukan kayu dan menemukan sebuah lubang yang tertutup oleh tanah dan berbagai benda secara berantakan. Tanganya merogoh lubang itu dan mengeluaran sebuah benda menyerupai kain kafan lusuh,
ia merogoh lagi dan menemukan beberapa benda seperti tulang belulang hewan pengerat, hingga akhirnya tangan Mas Jagad keluar dengan menggengam benda seperti pecahan warangka atau sarung keris.
“Danan! Ini!” Mas Jagad menunjukan temuanya itu.
“Iya mas, benar! Ini yang kita cari.. pantas saja kita tidak bisa merasakan benda ini. sepertinya dukun itu menggunakan ritual dan benda-benda khusus untuk menyembunyikan keberadaan benda ini dan agar benda ini kehilangan kekuatanya secara perlahan”
Aku mencoba mengutarakan pendapatku sementara Mas Jagad terus mengumpulkan pecahan warangka yang samar-samar memancarkan kekuatan putih walau mulai melemah.
Aku mengambil sepotong kain dari tas yang telah kupersiapkan dan mengumpulkan pecahan itu.
“Mang Toha, sebelumnya ada seorang dukun yang memanfaatkan kekuatan hitam dari dendam Ningsih untuk memancing keluar sosok berbahaya dari keris yang disegel oleh benda ini, Mang Toha harus berhati-hati , bisa jadi hal ini akan terulang lagi” Ucap Mas Jagad.
“Terus kami harus bagaimana Mas Jagad?” Tanya Mang Toha.
“Saya akan cari tahu, tapi sebelumnya ada masalah yang cukup besar yang harus kami tangani. Tapi seperti yang saya bilang hanya garis keturunan Pak Jaya yang bisa menghentikan permasalahan di pabrik tahu ini.
Untuk sementara kami sudah mendoakan roh di tempat ini , setidaknya mereka tidak akan melukai karyawan walau sering menampakan diri” Ucap Mas Jagad.
“Baik Mas Jagad, saya akan coba sampaikan.. terima kasih banyak mas” Ucap Mang Toha.
“Kami yang berterima kasih mas, kami mendapatkan petunjuk baru dari permasalahan kami di sini” Jawabku.
Tak lama setelahnya kami segera pamit dan meninggalkan Pabrik Tahu itu. Pabrik Tahu milik keluarga Wijaya Kartakusuma yang masih menyimpan banyak misteri.
Namun kami percaya, pasti akan ada seseorang dari keluarga itu yang mampu memecahkan misteri itu.
Sesampainya di rumah kami menunjukan pada Abah benda yang kami temukan dan memastikan bahwa itu adalah benda yang pernah menyegel Keris Benggolo Ireng.
Sayangnya kondisinya sudah tidak memungkinkan untuk melakukan tugasnya seperti sebelumnya.
Ditengah kebingungan kami , aku berkonsultasi pada paklek dan mendapatkan jawaban yang tidak terduga darinya.
Ia memberikan alamat sebuah tempat di dekat lembah dan memintaku menemui seseorang bernama Mbah Jiwo dan menyerahkan benda itu padanya.
Entah siapa orang itu, setidaknya jika paklek percaya denganya mungkin ia bisa membantu kami untuk mendapatkan cara menyegel Keris Benggolo Ireng dan segera menyusul Cahyo yang pasti sedang kerepotan di desa Guntur.

Bersambung Part 5 - Songgokolo
Terima kasih sudah membaca part ini hingga akhir, semoga dapat menghibur malam minggu teman-teman semua.

Part 5 nanti bercerita dari sudut pandang Cahyo di desa Indira, buat yang mau baca duluan atau sekedar mendukung bisa mampir ke @karyakarsa_id ya ^^

karyakarsa.com/diosetta69/ker…
Keris Benggolo Ireng
Part 5 - Songgokolo

Langsung kita lanjut ya! jangan lupa bantu retweet biar makin banyak yang baca. Image
Sebuah pohon besar berdiri gagah memayungi sebuah rumah tua yang dulu pernah kudatangi bersama Guntur untuk menolong Arum, dan saat ini di hadapanku berdiri Nyai Jambrong seorang pendekar tua yang dulu pernah hampir merasakan hidup abadi dengan ilmu Rawaronteknya.
Aku sudah mempersiapkan kuda-kuda namun sebuah tendangan darinya tetap bisa membuatku terseret hingga beberapa meter. Itu murni ilmu beladiri, tidak ada sedikitpun ilmu kanuragan maupun hal ghaib yang memperkuat seranganya itu.
“Uwis to nyai, (Sudah nyai..) Aku tidak ingin bertengkar.. yang kami hadapi kali ini bukan musuh sembarangan. Bantuan nyai sangat kita butuhkan!”
Ucapku yang masih tidak ingin menyerah untuk meminta bantuan Nyai Jambrong dalam menghadapi sosok yang diceritakan Indira. Sosok penghuni Keris Benggolo Ireng yang diceritakan oleh suara di mimpinya yang disebut dengan nama Ndoro Songgokolo.
“Ojo lancang kowe bocah ketek! Kuwi dudu urusanku!“ (Jangan lancang kamu bocah monyet! Itu bukan urusanku) Balas Nyai Jambrong yang tetap pada pendirianya dan sepertinya percuma juga untuk memaksanya. Wajahnya juga terlihat sangat kesal seolah memang tidak peduli.
Aku cukup kecewa dengan sikap Nyai Jambrong, kupikir dia sudah banyak berubah sejak kehilangan ilmunya. Saat mengetahui ia menyelamatkan Indira aku berfikir bahwa ia mungkin akan bersedia membantu kami.
“Ya sudah kalau begitu, saya pergi.. kalau sampai berubah pikiran, nyai tau harus mencari saya dimana”
“Lungo! Sing adoh sisan! Ora usah teko rene meneh!” (Pergi! Yang jauh sekalian! Nggak usah datang ke sini lagi!)
Mendengar umpatan Nyai Jambrong aku mengambil batu kerikil yang ada di dekat kakiku, melemparkan tepat ke kepalanya dan segera berlari untuk melampiasakan kekesalanmu.
“eeh… Dasar setan! bocah ketek! Kuwalat kamu sama orang tua!” Teriak Nyai Jambrong yang ingin membalas lemparanku namun tertahan karena aku sudah berhasil berlari cukup jauh.
“Gimana Mas Cahyo?” Tanya Guntur yang menyambutku di rumah Bu Ningrum tempat Indira beristirahat sementara.
“Percuma, emang dasar nenek-nenek. Dia nggak mau meninggalkan desa ini sama sekali” Jawabku.
Guntur terlihat kecewa namun ia terlihat berpikir seolah masih ingin mencari cara agar Nyai Jambrong mau membantu kami. Sementara itu aku menghampiri Indira yang terlihat masih trauma dengan apa yang ia alami.
“Indira, malam ini kita bersiap. Besok kita cek keadaan desamu, siapkan diri menyaksikan hal yang terburuk” Ucapku yang memang sudah menduga bahwa mungkin sudah banyak korban dari desa tempat tinggal Indira.
Indira sudah menceritakan semuanya. Mengenai bapaknya yang membunuh seluruh ibu dan mbakyunya, sosok-sosok yang muncul di sekitar bapak, Suara yang memberi petunjuk di mimpinya, hingga sosok nenek yang menyerang desa Guntur.
“Iya Mas Cahyo, cepat atau lambat sepertinya saya harus menghadapi bapak” Jawab Indira yang memaksakan dirinya untuk terlihat tegar.
“Kamu hebat Indira, perempuan lain mungkin sudah gila saat mendapat musibah sepertimu” Ucapku.
“Mungkin ini semua karena Mbok Nasri, tinggal bersamanya membuatku merasa lebih tenang dan menghargai hal-hal yang tersisa di hidup saya” Jawab Indira.
Iya, Indira juga mencertikan saat ia ditolong oleh mbok Nasri dan tinggal bersamanya.
Seorang wanita paruh baya yang hidup sendiri dengan kesederhanaanya. Mungkin saja ilmuku dan Danan tidak mampu untuk memulihkan trauma yang di alami oleh Indira. Tapi keihklasan seorang Mbok Nasri dengan kederhanaanya malah justru bisa menguatkan Indira hingga seperti ini.
“Ya sudah, sebelum berangkat besok jangan lupa pamit ke mbok nasri ya” Ucapku mengingatkan Indira yang dibalas dengan sebuah anggukan.
“Kamu gimana tur? Jadi mau ikut?”
Tanyaku Pada Guntur yang katanya sudah berguru kepada Nyai Jambrong dan setidaknya memiliki ilmu untuk melindungi diri.
“Nggak Mas, nggak jadi.. aku di sini saja” Jawab Guntur yang berbeda seratus delapan puluh derajat dari sebelumnya. Mungkin ia telah menyadari sesuatu.
“Pilihan bijak, kamu sudah tambah dewasa” Ucapku mencoba memuji Guntur.
“Berarti sekarang sudah bisa disebut dukun kayak mas Cahyo?” Ucap Guntur spontan.
Aku segera menoleh ke arahnya dengan wajah kesalku dan melempar sarungku.”Siapa yang kamu panggil dukun? Enak wae!”
“Lah kalau bukan dukun nyebutnya apa?” Tanya Guntur yang aku tahu dengan jelas maksudnya untuk meledekku.
“Pendekar! Pendekar Ketek Alas Wetan Cahyo dari Trah Rojobedes!” Balasku membalas ledekanya.
Tak kehabisan akal Guntur segera menghampiriku dan menangkupkan tanganya di depan kepalanya.
“Pendekar! Ijinkan aku bergabung dengan Trah Rojobedes, saya pastikan trah kita akan menguasai tanah jawa” Ucapnya menirukan suara-suara pendekar di film-film kolosal.
Sontak kami satu rumah tertawa dengan tingkah laku konyol dari Guntur. Aku tahu suatu saat ia akan menjadi orang yang hebat namun yang lebih aku harapkan bahwa orang-orang hebat itu sudah tidak diperlukan lagi karena yang kuharap
tidak ada lagi orang yang menyalahgunakan sosok dan ilmu berada diluar batas manusia.
Aku mengabari Danan mengenai cerita dari Indira dan kondisi desa Guntur yang sudah dibersihkan.
Ia akan menyusul ke desa Indira setelah menemui seseorang bernama Mbah Jiwo yang kata paklek bisa membatu memulihkan benda yang pernah menyegel keris benggolo ireng.
Malam itu aku mencoba terakhir kalinya untuk meminta pertolongan Nyai Jambrong dengan mencoba menghampirinya kembari ke dalam hutan. Tapi sebelum sampai ke kediamanya, terdengar suara yang cukup berisik.
Aku mencoba mendekat, namun yang terlihat di sana adalah Guntur yang sebagian tubuhnya lebam oleh serangan Nyai Jambrong.
“Eyang, serang lagi!” Teriak Guntur yang dibalas dengan tendangan yang cukup kuat namun bisa ia hindari dengan gerakanya yang cukup lincah.
Namun tetap saja serangan terakhir Nyai Jambrong berhasil mendarat di tubuhnya. Walaupun sempat ditahan ,serangan itu berhasil membuat Guntur terseret sepanjang beberapa meter.
“Sudah nggak usah bertele-tele! Mana mungkin bocah pemalas kayak kamu ke sini malam-malam untuk berlatih!” Teriak Nyai Jambrong yang sepertinya sudah membaca maksud Guntur.
Guntur membersihkan debu yang ada di tubuhnya dan kembali mendekat.
“Aku sudah cukup kuat kan Eyang?”
“Bukan berarti kamu bisa sombong “
“Bukan itu eyang, Guntur akan ngejagain Arum selama eyang pergi. Jadi tolong bantuin mas Cahyo.. dia pasti kewalahan”
Seketika aku kaget dengan perkataanya. Rupanya Guntur melakukan hal ini agar Nyai Jambrong mau membantuku.
“Kamu jangan sombong, dan jangan salah sangka, bocah ketek itu lebih hebat dari yang kamu pikirkan. Sudah sana pulang” Perintah Nyai Jambrong.
“Tapi Eyang! Guntur ngerasain perasaan yang nggak biasa. Ini bahaya yang besar” Ucap Guntur yang terus berusaha memaksa.
“Sudah kamu pulang sana!”
“Kenapa sih eyang masih keras kepala nggak mau nolongin mas Cahyo?”
“Eyang bilang sana pulang! Bukan bilang nggak mau nolongin kan?”
Nyai Jambrong menjawab sambil melangkah meninggalkan Guntur masuk ke dalam rumahnya.
Mendengar ucapan Nyai Jambrong itu Guntur sedikit tersenyum dan terduduk. Sepertiya pertarungan tadi sudah belangsung cukup lama hingga menguras tenaganya.
Aku tidak dapat mengerti jalan pikiran Nyai Jambrong, mungkin saja ia punya caranya sendiri untuk menolongku.
Namun sebaiknya aku tidak berharap banyak dari seseorang yang sebelumnya adalah pengguna ilmu hitam yang telah menghabisi banyak nyawa hanya demi ilmu.
Sebaiknya aku tidak perlu lagi mencampuri mereka,
mungkin lebih baik hari ini aku beristirahat total untuk mempersiapkan perjalanan besok.
Lagipula masuk angin yang kudapat selama perjalanan dengan mobil Mas Jagad saat ke rumah Dirga juga belum pulih sepenuhnya, sepertinya ini hukuman karena terlalu banyak sok bertingkah keren.
***
Aku mengantar Indira ke rumah Mbok Nasri yang sekaligus merupakan warungnya untuk berjualan sayur. Terdengar percakapan tulus antara mereka berdua yang saling khawatir dengan keadaan masing-masing.
“Nduk, kamu harus hati-hati pokoknya. Kalau bingung mau kemana, kamu pulang ke sini saja ya nduk. Indira sudah jadi anak mbok” Ucap Mbok Nasri. Tanpa sadar aku tersenyum mendengarnya.
“Iya Mbok, Indira pasti kembali ke sini. Doain Indira ya mbok” Pamit Indira yang mencium tangan mbok nasri sebelum pergi.
Aku menghampiri mbok nasri dan melakukan hal yang serupa. “Tenang saja mbok, saya yang jaga Indira.. mbok tenang saja dan bantu doa ya” .
“Iyo Nang, titip Indira ya” Mbok Nasri menatap mataku dan menepuk pundaku seolah menitipkan anaknya sendiri padaku.

Perjalanan kami rupanya cukup panjang hingga baru sampai di desa Indira pada tengah hari.
Sebuah desa kecil namun setiap rumahnya memiliki lahan yang cukup besar dengan rumah joglo yang menjadi bangunan utamanya. Ruma Indira merupakan salah satu yang terbesar di sana dan cukup mencolok.
Menurut ceritanya, keluarganya memang cukup berada dengan penghasilan dari hasil sawah miliknya yang digarap oleh warga desa. Namun anehnya saat ini, hanya keheningan yang ada di desa ini. Tidak ada seorangpun manusia yang kami lihat sepanjang jalan.
Saat kami semakin masuk ke dalam beberapa rumah sudah ditutup garis polisi dengan kondisi bangunan yang berantakan.
“Ini rumah kepala desa” Ucap Indira yang mencoba mengintip ke dalam, namun ia keluar dan menggeleng menandakan tidak ada apapun disana.
Di beberapa tempat terdapat penanda yang digambar untuk menandakan pernah ada korban terbaring di sana. Bercak darah juga terlihat di beberapa tempat. Hanya dengan melihat ini semua, kami langsung menyimpulkan bahwa kejadian mengerikan sudah terjadi di tempat ini.
“Mas… ada suara aneh yang manggil Indira mas, suaranya ada banyak” Ucap Indira tiba-tiba.
“mereka bilang apa Indira?”
“banyak mas, ada yang menyuruhku kembali ke rumah, ada yang melarang, dan ada yang menyuruhku mati”
Aku mencoba melihat keadaan sekitar , namun keadaan di siang ini membuat sosok-sosok itu enggan muncul di hadapan kami.
“Kita periksa ke rumahmu dulu”
Rumah Indira tertutup garis polisi yang sepertinya sudah dipasang cukup lama.
Mau tidak mau kami harus melanggar garis itu dan memasuki rumah joglo yang cukup besar dengan cukup banyak ruangan di dalamnya.
Aku mencari satu persatu sosok yang mungkin masih tertinggal di sini, namun sama sekali tidak ada petunjuk.
Keadaan semakin miris ketika terlihat dengan sangat jelas ada bekas darah di lantai yang kemungkinan berasal dari tubuh seseorang yang diseret keluar rumah.
“D—di situ mas ruanganya” Tunjuk Indira yang perasaanya mulai goyah karna mengingat kejadian itu.
Sebuah ruangan yang sepertinya dulunya merupakan sebuah ruangan rahasia yang tertutup lemari besar. Aku melangkah masuk ke dalam namun seketika sebuah ingatan masuk kedalam pikiranku.
Seorang laki-laki yang kuduga itu adalah ayah Indira terlihat menyeret dua orang perempuan yang tidak melawan dengan tatapan yang kosong seperti terhipnotis. Pria itu kembali mengambil sebuah benda seperti tali.
Sejenak ia menoleh ke arah kamar Indira dan tersenyum dengan mengerikan sebelum akhirnya menggantung terbalik kedua orang itu dan menertawakanya seperti orang gila.
Lilin, kemenyan, dupa, tulang binatang dan berbagai benda benda menghiasi ruangan itu.
Ayah Indira memanggil sosok makhluk yang terikat dengan benda yang diselipkan di belakang pinggang pria itu. Sebuah keris…
Layaknya sebuah pertunjukan, setan-setan itu menyoraki dan dan menikmati setiap darah yang bercucuran dari tubuh kedua manusia naas itu yang dihabisi
dengan keris hitam berbilah emas miliknya.
Satu hal yang salah dari cerita Indira, pria itu tidak kesurupan. Semua roh berada di sekitarnya termasuk sosok besar dengan mata dan taring besar dengan hiasan emas di dada dan lenganya
yang memperhatikan perbuatan pria itu tanpa ada satupun yang merasuki atau mempengaruhi dirinya.
Pria itu benar-benar menikmati perbuatanya, dan memang samar-samar aku melihat dalam tubuhnya telah tertanam kekuatan hitam perjanjian antara pria itu dan iblis penghuni keris itu.
“Kenapa Mas Cahyo?” Tanya Indira.
“Ini aneh, harusnya aku tidak punya kemampuan seperti ini. biasanya Danan yang bisa mendapat penglihatan seperti ini” Ucapku pada Indira.
“Maksud mas Cahyo gimana?”
“Ada sosok di tempat ini yang memperlihatkan sebuah penglihatan padaku”
“Mas Cahyo melihat apa?”
Aku menatap pada Indira, ia terlihat sangat bingung walauakhirnya akupun memutuskan untuk menceritakan apa yang kulihat.
“Sama seperti yang kamu alami, hanya saja satu hal yang harus kamu ingat.
Jangan dekati ayahmu, Ia sudah menjadi salah satu dari mereka.” Setidaknya aku sudah memperingatkan Indira dari awal namun ia hanya termenung. Aku tahu itu tidak akan mudah baginya.
Aku melihat lilin yang tersisa di ruangan itu dan menyalakanya hingga ruangan yang sebelumnya gelap disinari cahaya lilin yang sebenarnya masih cukup redup ini. bau busuk masih tercium di tempat ini,
sepertinya polisipun baru memeriksa tempat ini setelah jasad-jasad itu membusuk.
Di ruangan ini aku mendengar suara-suara yang mungkin adalah suara yang didengarkan oleh Indira tadi.
Aku mencoba mencari asal suara itu, namun yang kutemukan adalah sesosok makhluk berwujud wanita kurus kering dengan kepala yang setengah botak hanya sedikit rambut panjang yang tersisa di rambutnya dan bagian mata yang menjorok keluar.
Sepertinya sosok ini yang menunjukan padaku penglihatan tadi.
Makhluk itu setengah melayang di sudut ruangan, aku merasa makhluk itu sudah lama berada di ruangan ini jauh sebelum ia mati.
“Bawa Indira pergi sejauh mungkin.. mereka pasti akan terus mencoba untuk membunuhnya”
Aku mengambil kesimpulan bahwa sosok inilah yang meberi bisakan pada Indira untuk meninggalkan tempat ini saat kejadian itu. Saat mengetahui niat baik dari makhluk ini aku mencoba duduk bersimpuh dan berkomunikasi dengan lebih dalam.
Sungguh mengagetkan saat mengetahui bahwa wanita ini adalah istri pertama dari ayah Indira yang disekap karena secara tidak sengaja mengetahui niat suaminya untuk menggunakan kemampuan keris yang diwariskan oleh leluhurnya itu.
Ia memergokinya saat ayah Indira melakukan ritual menyatuan raga dengan suatu sosok yang membimbingnya.
Ayah Indira akhirnya menikah lagi dan mempengaruhi adiknya Sumar untuk membuka segel yang menahan kekuatan Keris Benggolo ireng sebelum akhirnya merebut
kembali keris itu dengan mengadu domba kedua adiknya. Menurut roh itu, Ayah Indira saat ini menuju desa adiknya yang bernama Sumar untuk melanjutkan niatnya menghabisi seluruh anggota keluarga yang mungkin bisa mewarisi keris itu dan merebut darinya.
“Dia bukan manusia… orang itu adalah hasil hubungan sepasang manusia dengan sosok siluman anak buah Songgokolo” Ucap makhluk itu.
Tunggu, itu tidak wajar. Lagipula kalau ayahnya merupakan manusia yang ternoda oleh keturunan Jin,
apakah Indira juga sama? itu yang kupikirkan saat ini sembari sedikit menoleh ke arah Indira.
Terlepas dari itu, desa tempat seseorang bernama Sumar itu sedang dalam bahaya. Aku tidak mau membuang waktu lagi dan segera berdiri dan mengajak Indira meninggalkan tempat itu.
“Sumar? desa pria bernama sumar di mana Indira?”
“Paklik Sumar? Adiknya bapak? Cukup jauh mas, bisa dua jam kalau naik motor”
“Kita ke sana, ayahmu berada di sana , desa itu dalam bahaya”
Indira segera paham dan mengikutiku untuk segera pergi menuju desa yang akan menjadi tempat mengamuknya ayahnya itu. sayangnya perjalanan ke sana tidak semudah yang kukira. Hingga akhirnya kami tiba di sana saat malam hari.
Aku melihat dari jauh sebuah desa yang secara ghaib terselimuti kabut berwarna hitam. Tidak ada warga di desa sekitar yang berniat mendekatinya karena merasakan hawa yang dimiliki desa itu.
Saat sampai di sana, orang-orang di desa tidak merasakan keanehan apapun dan beraktifitas seperti biasa. Namun aku mendengar beberapa warga membicarakan tentang seseorang yang masuk ke rumah Pak Sumar dengan pakaian dan wajah yang berantakan.
Sialnya sebelum sempat melakukan apapun tiba-tiba terlihat seseorang terpental dari sebuah rumah yang cukup besar.
“I-itu Paklik Sumar!” Ucap Indira yang melihat seorang pria dengan darah yang berceceran membasahi bajunya.
“Sialan kau Darmijo! Ternyata ini alasanmu merebut Keris itu dari kami?!” ucap Paklik Sumar yang di akhiri dengan darah yang bermuncratan dari mulutnya. Aku menduga semua orang di rumahnya sudah mati oleh perbuatan ayah Indira.
Melihat hal itu warga menjadi panik, sebagian warga berlarian dan sebagian mencoba menolong Paklik Sumar. Namun saat itu juga seluruh warga yang mencoba menjauh segera terhenti.
“P-pocong! Itu pocong!”
“Ada Genderuwo! Di sini ada genderuwo”
Aku menoleh ke seluruh arah desa, terlihat saat ini desa sudah dikepung dengan sosok makhluk-makhluk yang menahan warga untuk meninggalkan desa.
“Ini sama seperti di desa Guntur kemarin mas, makhluk-makhluk itu adalah pengikut sosok penghuni keris itu!” Cerita Indira.
“Indira, jangan jauh-jauh dari saya” Ucapku yang segera berlari menuju paklik sumar yang mulai sekarat. Sialnya Ayah Indira yang ternyata bernama Darmijo itu tidak mau menunggu dan menghunuskan kerisnya ke arah Sumar hingga ia mati dengan mata yang masih melotot.
Tak Cukup sampai disitu, Darmijo ayah Indira juga menghabisi orang orang yang mencoba menolong Paklik sumar dengan menghujamkan kerisnya tanpa ampun ke mereka.
Aku tak mampu lagi menahan emosiku dan segera melontarkan tendangan ke arah Ayah Indira hingga ia terpental.
“Pergi dari sini!!” Teriakku pada orang-orang di sekitarku. Seketika suasana desa penuh dengan kepanikan. Wajar saja, seluruh desa ini bisa bernasib sama seperti desa Indira.
“Bapak! Hentikan!!” Indira ikut berteriak mencoba menghentikan ayahnya, namun bukanya berhenti ayahnya malah tersenyum dan mendekat ke arah Indira.
Mengerikan.. terlalu mengerikan, hanya dengan tatapanya tiba-tiba mata Indira memerah dan perlahan mengeluarkan air mata darah.
Ia mencoba berteriak namun terhenti dengan nafasnya yang terlihat sesak.
Aku tidak bisa tinggal diam dan segera membacakan doa dan memanggil roh Wanasura. Sekuat tenaga aku menghujamkan pukulan untuk menghentikan mantra yang menyerang Indira.
Indira kembali mendapatkan nafasnya dan terjatuh di tanah, ia berusaha mengatur nafasnya dan memastikan penglihatanya. Aku tahu, aku tidak punya waktu untuk menolongnya. Ayahnya sudah bersiap kembali menyerangku dengan keris yang terggenggam di tanganya.
“Pak! Dia anakmu! Darah dagingmu! Sadar!” Teriakku yang mencoba mengalihkan perhatianya menjauh dari Indira. Namun sepertinya ia tidak peduli dan terus mengincar Indira.
Aku tidak mau mengambil resiko dengan menyerangnya bertubi-tubi dengan kekuatan dari wanasura.
Namun tidak seperti tadi, kini semua seranganku tertahan dengan kekuatan hitam yang menyelimuti tubuhnya. Sepertinya serangan fisikku tidak mampu menembus kekuatan ini.
Tidak menyerah aku membacakan doa untuk melemahkan kekuatan dari Ayah Indira agar setidaknya seranganku bisa mengenainya, namun ini tidak berpengaruh besar. Sebaliknya tanpa sadar serangan dari keris itu melukai dan menusuk tepat di salah satu bahuku.
“Khkeh..khek.khe… “ ayah Indira tertawa dan bersuara dengan bahasa yang tidak kami kenal. Ia mencoba menusukku lagi dengan keris secara bertubi-tubi tanpa ampun. Aku setengah mati menghindarinya, namun setiap kali ia menggerakan kerisnya tubuh ayah Indira berubah menjadi aneh.
Matanya menghitam , kulitnya perlahan terbakar dan terkelupas. Kukunya tumbuh menghitam dan runcing. Semakin ia mengayunkan kerisnya tubuhnya berubah menyerupai demit hitam persis seperti yang kulihat di ruangan tempat ibu Indira dibunuh.
Demit pengguna perhiasan emas di tubuhnya.
“T—tidak mungkin itu bapak?” Ucap Indira yang mulai pulih. Terlihat tak hanya tubuhnya yang terluka , saat ini hatinya pasti terluka saat mengetahui ini adalah wujud asli ayahnya.
Dengan kekuatan wanasura aku melompat menghindari makhluk yang semakin cepat itu. kekuatan hitam semakin besar menyelimuti tubuhnya aku masih mencari celah untuk menyerangnya namun kekuatanya semakin lama semakin besar.
Tak cukup sampai di situ, saat ini terdengar suara teriakan warga dari berbagai penjuru desa. Sepertinya kebangkitan makhluk ini membuat seluruh roh di sini ikut mengamuk.
Aku tidak mungkin menyelesaikan ini sendirian, tidak ada satupun cara yang bisa kupikirkan untuk menuntaskan keadaan ini. Tak mungkin juga aku meminta Indira lari, ratusan demit sudah menghadang desa ini.
Di tengah kebingunganku, tiba-tiba sebuah pukulan menghantam tubuhku hingga terpental. Makhluk itu tidak mengulur waktu sama sekali dan menghajarku habis habisan. Setiap pukulanya diselimuti kekuatan hitam yang membuat tubuhku merasa panas setiap bersentuhan.
Tanpa roh wanasura di tubuhku aku pasti sudah mati.
“Tolooong!! Ibu! Bangun ibu!!” Terdengar teriakan seorang anak tak jauh dari tempatku berada.
“Bapak, jangan mati pak!! Bangun pak!” kali ini suara tangisan seorang perempuan yang menangisi suaminya.
Saat itu aku tersadar. Makhluk itu menyerangku dengan pukulan, lantas dimana keris benggolo ireng itu berada?
“Mas Cahyo! Keris itu! dia menyerang warga!” Teriak Indira yang menyadari terlebih dulu keberadaan keris hitam yang melayang dan menghabisi warga satu persatu.
“Sialaan!” Aku bangkit dari serangan sosok mengerikan ayah Indira namun sialnya di hadapanku saat ini sudah menanti sebuah pukulan yang diselimuti kekuatan hitam yang siap menghabisiku.
Aku menyilangkan lenganku dan bersiap menerimanya walu aku tahu mungkin aku tidak akan bisa selamat.
Tepat sebelum serangan itu mengenaiku tiba, tiba sosok makhluk itu terpental dengan sebuah serangan.
Aku menggeser lenganku dari hadapanku dan melihat seorang nenek yang berjalan bungkuk di depanku.
Ia menghajar sosok tadi dan berhasil menghindari serangan-serangan yang diarahkan kepadanya.
“Cih, ternyata kamu selemah ini?” Ucap orang itu.
Ya, itu adalah Nyai Jambrong. Dia benar-benar datang untuk membantuku. Namun ada yang beda dari dirinya, di lenganya terlilit sebuah benda menyerupai tasbih seolah ia gunakan untuk menyegel sesuatu.
“Nyai beneran dateng?” Teriakku yang merasa terselamatkan dengan keberadaanya.
“Bangun! Aku tidak bisa melawanya sendiri! Dia adalah titisan Songgokolo.. roh yang sudah ada sejak manusia belum mengenal peradaban” Jelas Nyai Jambrong.
Aku membaca doa dan berusaha memulihkan sedikit lukaku. Tetap sakit, namun setidaknya aku bisa bergerak.
“Nyai, warga desa juga dalam bahaya..”
“Berisik, perhatikan dulu yang di depanmu. Kalau kita mati korbanya akan semakin banyak”
Ini? Ini Nyai Jambrong yang dulu tidak segan-segan membunuh lawanya maupun korbanya demi ilmu? Bagaimana dia bisa berubah hingga seperti ini?
Sebuah serangan mengarah ke arah Nyai Jambrong namun sebelum serangan itu mendarat ke tubuhnya aku menggunakan kekuatan wanasura dan menahanya.
Tanpa menunggu perkataanku Nyai Jambrong segera melompatiku dan menyerang kembali sosok Songgokolo yang menitis dalam tubuh Ayah Indira.
Berkali-kali makhluk itu menyerang kami namun aku berhasil menahanya dan Nyai Jambronglah yang mendaratkan serangan kepada makhluk itu.
Gila, aku tidak pernah menyangka ilmu bela diriku bisa menyatu dengan Nyai Jambrong. Sayangnya saat Songgokolo kewalahan ia kembali memanggil kerisnya dan membuat kami terpental dengan benturan kekuatan dari keris itu.
“Hati-hati nyai, keris itu sudah kembali ke tanganya!”
“Goblok! Memang itu rencananya!”
Aku segera menoleh ke pada Nyai Jambrong.
“Katamu ingin menyelamatkan warga desa? Sekarang keris itu ada di sini dan tidak menyerang warga desa lagi! “ Ucap Nyai Jambrong.
“Iya bener Nyai! Tapi apa nggak ada rencana yang lebih bagus? Kalau begini kita juga bisa mati” Keluhku.
“Goblok! Nanya rencana sama nenek-nenek! Kalau nggak suka bikin rencana sendiri!”
I—iya, benar juga nenek-nenek masih bisa jalan saja sudah bagus, mustahil disuruh bikin rencana buat menghadapi demit.
“Heh! Mikir apa kamu? Fokus kalau nggak mau mati!” Teriak Nyai Jambrong yang seolah bisa membaca pikiranku.
Secepatnya aku mengambil posisi di sisi Nyai Jambrong dan sekali lagi bersiap untuk menerima serangan dari Songgokolo yang sudah menggenggam Keris Benggolo Ireng.
Berbeda dengan tadi, kini Songgokolo menyerang dengan lebih tenang. Namun di tiap seranganya terdapat kekuatan aneh yang seolah membuatku merasakan kesakitan walau tidak menyentuh bagian tubuh ataupun keris itu.
Sesekali mataku terasa ingin keluar dan seperti ada rasa sakit yang ingin masuk ke kepalaku.
“Nyai! Ada kutukan di serangan itu!” Teriakku.
Nyai Jambrong yang juga menyadari hal itu menguatkan ikatan benda yang menyerupai tasbih di tanganya.
Aku merasa ada kekuatan hitam yang mencoba keluar dari tubuh nyai, tapi benda itu seolah menahan kekuatan itu dan kembali menyelimuti Nyai Jambrong dengan kekuatan putih.
Sepertinya Nyai Jambrong sudah benar-benar tidak ingin menggunakan ilmu hitamnya hingga menahanya dengan benda itu.
Aku menjadi sedikit semangat melihat perjuangan Nyai Jambrong untuk mendapat pengampunan dari Yang Maha Pencipta.
Terlebih saat aku memperhatikan caranya menghadapi Songgokolo yang bersenjatakan Keris Benggolo Ireng saat ini membuatku sedikit terkesima.
Pertarungan seperti ni mungkin akan sulit kuliihat lagi dimana Nyai Jambrong menahan setiap serangan keris itu dengan kelincahanya dan sesekali menahan gagangnya dengan sandal jepit yang ia gunakan di kakinya.
Seharusnya ilmu bela diri saja tidak cukup untuk mengimbangi Songgokolo, namun kekuatan dari benda di tangan Nyai melindunginya dari kutukan dan melapisi jurus-jurus Nyai Jambrong dengan kekuatan ghaib hingga bisa menghantam Songgokolo.
Aku jadi ingin mencoba sesuatu.
“Wanasura!!” Teriakku memanggil sosok roh kera pelindung hutan wanamarta yang berada di tubuhku. Kali ini aku tidak menggunaka kekuatanya.
Tepat saat Nyai Jambrong bersiap akan melancarkan tendangan pamungkasnya dari atas,
aku mengirimkan roh wanasura untuk membantu Nyai Jambrong sehingga kekuatan Wanasura melipat gandakankan kekuatan tendangan Nenek Sakti itu.
Songgokolo yang mencoba menahan serangan itu terjatuh dan terpendam di tanah dengan darah hitam yang bermuncratan dari mulutnya.
tanah dan bebatuan di sekitar tendangan Nyai Jambrongpun pecah berhamburan dan menghempaskan kekuatan yang besar hingga membuat roh-roh disekitarnya gentar.
“Keren Nyai!” Ucapku yang merasa senang dengan keberhasilan rencanaku dan segera menarik kembali wanasura.
“Heh Bocah! Apa yang kamu lakukan?” Tanya Nyai Jambrong yang terlihat bingung dengan besarnya kekuatan itu.
“Kenalin, Itu Wanasura Roh kera dari alas wanamarta.. dia merasuk ke serangan Nyai Jambrong. Sepertinya dia cocok dengan Nyai” Ucapku bangga.
Terlepas dari itu serangan tadi berhasil membuat Songgokolo terluka cukup parah, namun sialnya makhluk itu segera kembali berdiri dan memamerkan mata merahnya yang menyala.
“Nyai Jambrong, kowe yo podo demite karo aku.. ora usah sok suci” (Nyai Jambrong, kamu itu sama setanya denganku.. tidak usah sok suci)
Tiba-tiba Songgokolo mulai berbicara di hadapan kami. mendengar ucapan itu Nyai Jambrong hanya diam saja,
sepertinya ia memang tidak ingin menyangkal dosa-dosa yang ia lakukan sebelumnya.
“Jaga bicaramu, kami pastikan kau selesai di sini?” Ucapku yang tidak sabar ingin menyerangnya lagi.
“Selesai? Kowe ora ngerti opo-opo bocah.(Kamu tidak mengerti apa-apa bocah)
Saat kekuatanku kembali sepenuhnya. Bahkan Nyai Jambrong dengan seluruh kekuatanyapun tak akan mampu melawanku” Ucap Makhluk itu.
Tak peduli dengan ucapanya, aku segera menyerangnya lagi dengan seluruh kekuatanku yang tersisa namun aku terpental tanpa dapat menyentuhnya.
“Uwis Bocah Ketek.. Wis rampung” (Sudah bocah monyet… sudah selesai)
“M—maksud nyai apa?” Tanyaku.
“Persiapan tumbalnya sudah selesai, yang kita lawan setelah ini bukan lagi Songgokolo yang tadi.
Tapi makhluk yang sudah menghabisi banyak kerajaan di jaman dulu” Jelas Nyai Jambrong.
Tak lama setelah ucapanya itu tiba-tiba muncul sosok nenek tua berambut putih acak-acakan dan wajah yang buruk persis seperti yang digambarkan Indira di ceritanya.
Di belakangnya lagi muncul sosok kakek tua berjanggut dan beberapa orang yang sepertinya merupakan pengabdi sosok itu.
“Monggo ndoro, tubuh terakhir sudah siap.. “ Ucap Salah satu sosok dukun pengikutnya yang sepertinya bermaksud menjemputnya.
“Nyai Jambrong, jadilah pengikutku.. kamu akan mendapatkan apapun yang kamu mau” Ucap Songgokolo sambil berbalik meninggalkan kami menuju sebuah kabut hitam bersama dengan para pengikutnya.
Entah,saat itu aku merasa terlalu kecil.
aku merasa kekuatanku seorang diri jauh bila dibandingkan orang-orang disekitarku saat ini.
“Demit Goblok! Itu ucapan yang kuucapkan pada pengikutku dulu.. dan sebagian dari mereka sudah mati, kau pikir aku akan tertipu”
Ucap Nyai Jambrong yang tetap waspada memandang kepergian Songgokolo dan pengikutnya.
Secara perlahan kabut hitam mulai menghilang bersama sosok demit-demit pengikut yang mengurung desa ini. Aku khawatir dengan warga desa ini.
entah berapa korban yang sudah dihabisi oleh makhluk dan keris benggolo ireng saat kami bertarung tadi.
“Indira! Gimana warga desa?” Aku menghampiri Indira yang membantu warga desa yang terluka.
“Beberapa orang tidak bisa diselamatkan, tapi sisanya selamat berkat suatu sosok yang menghadang serangan serangan ke warga?” Ucap Indira.
“Sosok apa maksudmu?” Tanyaku.
“Saya samar-samar melihat sosok seorang pemuda yang dengan kerisnya yang menghadang setiap serangan yang diarahkan ke warga.” Ucap salah seorang warga yang ikut membantu Indira merawat warga.
Seketika aku tersenyum , Dananjaya Sambara.. Bisa-bisanya saat dia sedang berjuang jauh di sana masih sempat-sempatnya ikut masuk ke pertempuran kami dalam wujud Rogosukmonya.
Seketikan beban di pundaku terasa berkurang saat mengetahui korban yang jatuh tidak sebanyak yang kukira. Aku terjatuh terbaring di tanah dan menutup mataku sebentar untuk menarik nafas sejenak sebelum menlanjutkan perjalanan lagi.
“Indira, dimana lokasi adik ayahmu yang satunya” Tanya Nyai Jambrong yang sepertinya tidak mau menyia-nyiakan waktu.
“Ada di selatan Nyai, desanya terhimpit lembah dan gunung. Bisa setengah hari perjalanan kalau ke sana” Jelas Indira.
“Bocah ketek, kita berangkat!” Ucap Nyai Jambrong.
“Sekarang? Yang bener aja nyai! Ini masih luka, ketusuk keris, nggak ada paklek yang nyembuhin” Balasku.
“Ojo Cengeng! Pantes saja Guntur pemales, yang jadi panutan bocah cengeng kayak kamu”
Mendengar Nyai Jambrong semakin memaksa mau tidak mau aku kembali berdiri dan meminta Indira membantu menutup luka di bahuku dengan P3K sebelum pergi meninggalkan desa.
“Indira biar kita tinggal di desa Wadirejo bersama Guntur, biar kita saja yang ke sana” Ucap Nyai Jambrong.
“Kita ke sana naik apa Nyai?” Tanyaku yang merasakan perasaan tidak enak.
“Lha kamu ke sini naik apa?”
“Motor”
“Lha itu tahu..”
“Maksudnya aku harus boncengin Nyai Jambrong ke desa Paklik Yarto? Setengah hari perjalanan?” Tanyaku panik.
Namun tidak dengan Indira , ia malah tertawa melihat ekspresiku.
“Nggak Nyai, kita naik bus aja” Aku berusaha menghindari momen membonceng nenek tua ini di motor vespa kesayanganku.
“Ora Sopan! Maksudmu opo.. bocah ketek sialan” Teriak Nyai Jambrong.
“bocah ketek, bocah ketek terus… tadi eyang juga dirasuki wanasura kan? Kalau aku bocah ketek berarti eyang mbahe ketek (neneknya monyet) donk?!” Balasku yang sekali-kali ingin membalas umpatanya.
Sayangnya sebuah sandal lusuh tiba-tiba sudah melayang tepat di mukaku dan membuatku memutuskan untuk diam seribu bahasa daripada harus mendengar ocehan nenek tua itu lagi.
Tapi aku tahu dengan pasti bahwa ucapan eyang benar, waktu kami tidak banyak.
Desa tempat Paklik Yarto mungkin akan menjadi medan pertempuran kami. Aku meminta Indira segera menghubungi Pakliknya itu dan meminta warga di desa itu untuk pergi.
Sementara aku mencoba menghubungi Paklek, Dirga, Dagad, dan Danan untuk menceritakan tentang keadaan ini.
Sepertinya kami harus mengumpulkan kekuatan sebanyak yang kami bisa untuk melawan Songgokolo yang bahkan tidak mampu dikalahkan oleh Nyai Jambrong.
Belum sempat berangkat, tiba-tiba ponsel di dalam tasku berbunyi. Tertulis nama Sekar di layarnya. Dengan segera aku mengangkat panggilan itu dan memastikan kabar yang akan disampaikan sekar.
“Mas… Mas Cahyo?”
“Iya Sekar, ada apa?”
Suara sekar terdengar gelisah, sepertinya terjadi sesuatu juga di sana.
“Paklek Mas, Paklek nggak sadarkan diri! “ Ucap sekar dengan nada yang sangat panik yang jug seketika membuat tubuhku kembali lemas.
“Tenang sekar, ceritain pelan-pelan” ucapku yang berusaha menenangkan Sekar.
“Mbah Suroto barusan tiba-tiba kambuh. Paklek kembali mencoba menahanya tapi ada kekuatan besar yang melindungi sosok keris yang merasuki Mbah Suroto..
Mbah Suroto kabur dengan dikuasai sosok d dalam Keris enggolo abang seolah mengikuti perintah sesuatu, sementara Paklek terpental dan kehilangan kesadaranya..“

(Bersambung Part Terakhir..)
Terima kasih sudah membaca kisah ini, tinggal 1 part lagi kita upload malam jumat ya!

Seperti biasa untuk yang mau baca tamatnya duluan atau sekedar mendukung bisa mampir ke @karyakarsa_id

selamat bermalam jumat!

karyakarsa.com/diosetta69/tam…
KERIS BENGGOLO IRENG
Part 7 - Iblis Kembar

Saatnya akhir dari cerita ini tiba.. karena agak panjang kemungkinan selesai uploadnya bisa siang atau sore, jadi bacanya kalau udah kelar aja ya biar nggak keputus...

Selamat membaca.. Image
Sedikit pesan untuk teman-teman yang membaca dari thread unroll semoga berkenan untuk mampir ke twitter @diosetta atau instagram @diosetta.69 untuk sekedar follow atau meninggalkan komen
Desa Windualit..

Keanehan terjadi di desa Windualit sejak pagi dini hari. Cuaca berubah tak menentu, angin bertiup dengan kencang berbaur dengan hujan deras yang mengguyur seluruh desa dan hutan.
“Paklek, sebelumnya belum desa ini belum pernah mengalami cuaca seperti ini sebelumnya, pohon-pohon di sekitar hutan yang mengelilingi desa ini menghalangi angin lembah untuk sampai kedesa” Cerita Pak Sardi yang menemani Paklek memperhatikan cuaca di luar rumah.
“Benar Pak Sardi, saya juga merasa ada sesuatu yang mempengaruhi cuaca saat ini” Paklek juga setuju dengan ucapan Pak Sardi dari berbagai hal aneh yang juga ia rasakan.
Memang sedari pagi Pak Sardi dan Paklek memutuskan untuk menjaga mbah suroto berdua karena merasakan firasat yang tidak beres. Pak Sardipun mengutus murid-murid mengajinya untuk melakukan pengajian guna menangkal niat jahat dari pengikut sosok penghuni Keris Benggolo Abang.
Tidak ada yang bisa mereka perbuat selain menunggu Danan , Cahyo , dan lainya menemukan cara untuk menghentikan bencana ini.
“Bapak, Paklek… ini sekar bawain makanan. Mudah-mudahan cukup sampai nanti malam” Ucap Sekar yang buru-buru masuk ke dalam rumah dengan kondisi baju yang setengah basah walau sudah memakai payung.
“Terima kasih Nak Sekar, akhirnya yang ditunggu-tunggu datang” Ucap Paklek.
“Benar, Kali ini masakanya spesial. Katanya sayur lodeh buatan istri saya paling juara” Ucap Pak Sardi juga semangat dengan menu yang dibawakan sekar.
“Ya paklek, makan duluan saja. Biar saya mengantar sekar pulang dulu, di sini tidak aman.”
“Nggak Usah pak, sekar bisa pulang sendiri kok.. Bapak temani Paklek makan saja” Ucap Sekar yang segera pamit tanpa mau merepotkan ayahnya itu.
Setelah Sekar pulang Pak Sardi menyiapkan peralatn makan sementara Paklek memanggil Mbah Suroto yang sedang berusaha menenangkan diri dengan bermeditasi seperti yang baru-baru ini diajarkan Paklek.
“Mbah, Kita makan dulu.. Sekar nganterin sayur lodeh” Panggil Paklek dengan suara pelan agar tidak mengagetkan Mbah Suroto.
Mbah Suroto menghela nafasnya dan membuka mata,
ia segera menyusul paklek dan Pak Sardi di tikar yang di gelar di ruang tengah dengan rantang dan sayur lodeh yang sudah tersaji.
Tak banyak berbincang, mereka yang memang sudah kelaparan semenjak tadi segera menyerbu sayur lodeh dengan lauk tempe goreng yang dibawakan oleh sekar. Hujan deras yang mengguyur di luar rumah seolah mereda sesaat setiap kami menikmati makanan itu.
“Mbah Suroto, kenapa? Kok melamun?” Tanya Pak Sardi yang melihat Mbah Suroto menghentikan makanya sejenak.
“S—saya tidak pernah menyangka akan bisa menikmati makan bersama seperti ini lagi” Ucapnya dengan setengah haru.
“Bahkan ketika saya kembali ke keluarga sayapun belum tentu mereka bisa menerima saya”
Paklek dan Pak Sardi saling bertatapan dan sama-sama mengerti keadaan Mbah Suroto.
“Mbah, percaya pada kami. Keluarga mbah pasti akan memaafkan mbah kalau mengerti perjuangan mbah suroto hingga seperti ini” Ucap Pak Sardi.
“Sekarang makan yang kenyang dulu paklek, hari ini perjuangan kita akan lebih berat.. kalau kata panjul , tidak ada halangan yang tidak bisa dilewati selama perut kita kenyang” Tambah Paklek.
Mendengar ucapan itu Pak Sardi dan Mbah Suroto tersenyum.
“Kalau soal ini saya setuju sama cahyo, sepertinya kalau dekat dia selalu saja ada tingkah yang bikin kita tertawa ya?” Sahut Pak Sardi sambil melanjutkan makanya.
“Benar, saya juga belajar dari dia, walaupun sebenarnya masa lalunya cukup kelam dia berusaha untuk terus maju dan sebisa mungkin membantu orang-orang disekitarnya” Tambah Paklek.
“Sepertinya setelah ini saya harus sering ngobrol sama Cahyo ya supaya bisa tegar seperti dia” Ucap Mbah Suroto.
Perbincangan yang dimulai dengan bergunjing soal Cahyo dilanjutkan dengan obrolan kecil tentang rasa sayur lodeh buatan ibu sekar yang ternyata sempat dicicipi oleh pejabat pemerintahan saat mampir ke desa ini.
Untuk sesaat derasnya hujan di luar seperti tidak terasa terkalahkan oleh nikmatnya kuah sayur lodeh dari ibu sekar.
Saat hari menjelang sore hujan tidak cukup reda, sesekali Pak Sardi membacakan doa untuk menghalau rasa gelisahnya.
Mereka tahu ada bahaya yang akan sedang terjadi saat ini. Tak lama kemudian firasat mereka itu terjawab.
Paklek dan Pak Sardi secara bersamaan merasakan ada sosok yang mendekat ke rumah singgah tempat bereka berada.
Melalui jendela mereka mencari keberadaan sosok itu namun tidak ada satupun manusia atau makhluk yang nampak hingga tiba-tiba seluruh lampu di rumah singgah mati secara mendadak bersama dengan terbukanya pintu rumah dengan terbanting keras.
Angin kencang membawa masuk derasnya hujan hingga masuk ke rumah, jendela-jendelapun ikut terbuka dengan keras menyusul kencangnya angin yang masuk ke rumah.
Tapi bukan itu masalah utamanya…
Dari pintu yang berkali-kali terbanting ke dinding terlihat di luar sosok makhluk berambut panjang tertawa dengan aneh di tengah derasnya hujan. Pak Sardi dan Paklek tahu dengan jelas bahwa Ia bukanlah manusia.
“Khi khi khheekhe…” Suara tawanya terdengar aneh.
“Ndoro, wis wancine tangi… Khekehakkhe” (Tuan, sudah waktunya bangun)
Kata-kata itu terdengar dengan jelas walau di tengah hujan. Tak mau mengambil resiko, paklek segera membacakan doa dan berlari keluar untuk mengusir makhluk itu.
Paklek dan Pak Sardi sudah tahu, Ndoro siapa yang di maksud oleh makhluk itu.
Paklek Keluar menerjang sosok makhluk kurus berambut panjang itu sambil mencabut Keris Sukmageni dari sarungnya. Tapi tepat beberapa langkah sebelum mencapai makhluk itu Paklek Terhenti.
Ia terhenti saat menyadari seluruh penjuru desa sudah dipenuhi oleh makhluk makhluk serupa yang melayang menatap rumah ini dari atas.
Paklek mengetahui rencana mereka untuk membangkitkan sosok di dalam tubuh Mbah Saroto itu dan segera kembali ke dalam rumah untuk menghampiri Mbah Saroto.
“Apa yang terjadi Paklek?” Tanya Mbah Sardi.
“Mereka semua di sini, Ratusan dari mereka… “ Jawab Paklek yang segera berlari menghampiri kamar Mah Saroto. Namun terlambat,Saat ini Mbah Saroto tengah berjalan di atas langit-langit rumah dengan mata yang memutih dan keris benggolo abang yang tiba-tiba tergenggam di tanganya.
“Pak Sardi! Pergi dari sini!” Teriak paklek yang merasakan bahaya besar.
Belum sempat menoleh kembali, wajah Mbah Suroto yang berubah mengerikan seketika berada tepat di depan wajah Paklek.
Sontak Paklek Melompat menjauh dan memanggil Geni Baraloka yang selama ini mampu mengembalikan kesadaran Mbah Suroto.
Sebelum api itu sempurna Mbah Suroto menghunuskan kerisnya ke tubuh paklek namun berhasil dihindari dan ditahan dengan keris sukmageni milik paklek.
Pertarungan sengit terjadi di ruangan sempit itu.
Bukan seperti pertarungan antar dua manusia, ini pertarungan aneh dimana mbah suroto bisa berada di mana saja. Melompat , berjalan di dinding, hingga hinggap di langit-langit rumah.
“Mencampuri urusan kami artinya mati…” Ucap sosok yang merasuki mbah suroto.
Berkali-kali mbah suroto melihat ke arah luar sepertinya berharap ada sosok yang masuk ke rumah ini,
namun rupanya Pak Sardi menahan sosok yang berada di luar dengan membacakan doa-doa dan ayat suci bersama murid-murid pengajianya yang sebenarnya sudah siaga semenjak Mbah Suroto dipindahkan ke rumah ini.
Melihat hal itu mbah suroto segera menerjang keluar dan bersiap menghunuskan Kerisnya ke tubuh Pak Sardi, namun aku berhasil menahanya hingga kami berdua terpental di tanah berbatu di depan rumah singgah.
Hujan yang deras mewarnai pertarungan kami sementara roh pengikut sosok penghuni Keris benggolo abang sudah siap mendekat dan masuk ke pertarungan kami.
Paklek tahu keris itu masih menyimpan kekuatan yang lebih besar, saat ini sesuatu masih mengikatnya.
Ia memutuskan tidak mau menyia-nyiakan kesempatan dan kembali memanggil Geni baraloka secara sempurna.
Awalnya Paklek mulai tenang saat Bara api muncul di tanganya namun tiba-tiba rintik hujan deras yang membasahi desa windualit berubah menjadi hitam
dan melenyapkan Geni Baraloka milik paklek.
Terlihat dengan jelas kepanikan di wajah Paklek dan Pak Sardi saat mengetahui ilmu andalan Paklek itu tidah bisa lagi menjadi jalan keluar permasalahan mereka.
“Wis wancine Ndoro… Ndoro agung sampun ngenteni” (Sudah waktunya tuan, Tuan Agung sudah menunggu) ucap makhluk yang kami lihat di depan pintu tadi.
Mbah Suroto Tertawa lagi dengan aneh. Ia mengangkat tanganya dan menujuk ke arah
Pak Sardi yang masih sibuk mengarahkan murid-muridnya. Seketika ratusan makhluk itu mengikuti arah tangan Mbah Suroto dan satu persatu merasuki Pak Sardi.
“Sardi!” Paklek segera menghampiri Pak Sardi yang tubuhnya dimasuki ratusan sosok makhluk yang tak henti-henti merasuki tubuhnya yang mulai terlihat membiru.
“Pak! Pak Sardi !” Beberapa murid Pak Sardi berlari menerobos hujan dan menghampiri pah sardi yang terkapar di tanah.
Paklek membacakan ajian muksa pangreksa dan mengusir sosok makhluk yang merasuk ke tubuh Pak Sardi. Namun setiap makhluk dikeluarkan, makhluk lain kembali masuk ke dalam tubuh Pak Sardi hingga Pak Sardi sulit untuk bernafas.
Terlihat dari mulutnya Pak Sardi ia tidak berhenti membaca doa dan melafalkan Ayat-ayat suci.
“Bawa Sardi masuk ke dalam!” perintah paklek pada murid-murid Pak Sardi yang segera direspon dengan cepat oleh mereka.
Paklek berfikir hanya geni baralokalah yang bisa menyelamatkan Pak Sardi namun mereka harus berlindung dari hujan yang dibawa oleh ratusan makhluk ini.
Setelah Pak Sardi masuk ke dalam rumah paklek tidak langsung menghampirinya namun berlari sekuat tenaga ke arah Mbah Suroto.
“Maafkan saya Mbah Suroto..”
Paklek berlari dengan keris sukma geni yang bilah hitamnya mengeluarkan asap berwarna hitam.
Sekuat tenaga paklek menghujamkan keris itu ke arah mbah suroto namun keris benggolo ireng menahan serangan itu hingga menimbulkan benturan kekuatan yang bahkan membuat rintikan hujan menghilang dari sekitar mereka.
Sialnya benturan kekuatan itu berdampak pada paklek dan membuatnya memuntahkan cairan merah dari tubuhnya. Paklek tidak menyerah dan terus mencari cara untuk menyerang mbah suroto walaupun berkali kali gagal dan menambah luka di tubuhnya.
Berkali kali paklek menggunakan darahnya untuk menghidupkan kekuatan bilah putih untuk memulihkan dirinya namun tetap kalah cepat dengan serangan Mbah suroto hingga beberapa rusuknya patah. Namun dari ratusan serangan yang dipaksakan oleh paklek,
akhirnya ada satu serangan dari bilah hitam keris sukmageni yang membentuk goresan di dada mbah suroto.
Sayangnya kesempatan itu harus dibayar mahal dengan menerima serangan dari keris benggolo abang yang seketika terselimuti kekuatan hitam
dan melemparkan paklek hingga tidak berdaya.
Seolah tidak ingin membuang waktu, Mbah Suroto yang dirasuki sosok penunggu keris itu pergi secepat mungkin meninggalkan desa windualit.
Dengan sisa tenaganya paklek merangkak menuju tempat Pak Sardi dibaringkan.
Ia melihat Pak Sardi tidak menyerah dengan ratusan roh yang merasukinya. Murid-murid Pak Sardi membantu paklek untuk mendekati Pak Sardi.
“Sardi jaga desamu!” Ucap Paklek dengan suara yang hampir hilang sementara tanganya memanggil geni baraloka yang segera membakar tubuh Pak Sardi.
Seketika roh yang merasuki Pak Sardi keluar dan pergi meninggalkan desa saat mendengar ayat-ayat suci yang dibacakan oleh murid-murid Pak Sardi.
Tepat saat itu juga hujan berhenti dan Pak Sardi kembali tersadar,
namun sayangnya ia mendapati paklek yang penuh luka dengan bajunya yang penuh noda darah berbaring tak sadarkan diri di sebelahnya. ia tidak mampu menemukan denyut nadi dari tubuh paklek.
“Panggil sekar! Bawa obat-obatan” perintah Pak Sardi pada salah satu muridnya yang segera berlari menuju rumah sekar.
Sekar datang dan segera mengobati paklek, sementara Pak Sardi membacakan amalan penyembuh untuk memulihkan paklek,
namun tidak ada perubahan hingga tiba-tiba Pak Sardi mengingat sisa-sisa geni baraloka milik paklek yang ada di Alas Mayit.
Ia membaca doa dan memanggil api itu hingga muncul di telapak tanganya.
Secara perlahan Pak Sardi membakarkan api yang sudah mengecil itu ke jantung paklek. Beberapa luka yang disebabkan oleh keris benggolo abang mulai menutup hal ini seolah memberi harapan untuk keselamatan paklek. Namun harapan itu tidak berlangsung lama.
Denyut nadi Paklek tidak kembali, jantungnya tidak kembali berdetak.
“Pak, gimana paklek pak?” ucap sekar yang masih menangis.
Pak Sardi terlihat bingung untuk menjawab pertanyaan sekar.
Biar bagaimanapun ia hanyalah manusia biasa yang tidak mungkin untuk menghidupkan seseorang yang sudah meninggal.
Sesaat sebelum Pak Sardi memutuskan untuk menutup wajah paklek, tiba-tiba keris sukmageni bergetar seolah merespon sesuatu.
Hal itu mengingatkan Pak Sardi akan sesuatu.
“Sekar, kamu pernah cerita kalau Paklek mempunyai ilmu ragasukma kan?” Tanya Pak Sardi.
Sekar mengangguk.
Saat itu juga Pak Sardi segera berlari keluar rumah dan terlihat di depanya residu sisa-sia keberadaan sukma paklek yang sepertinya mencoba mengejar Mbah Suroto dalam wujud sukma.
Saat itu juga ia tersenyum dan kembali mengecek detak jantung paklek.
Memang cukup senyap, namun secara halus perlahan mulai terdengar detakan dari tubuh yang kekuatan fisik dan batinya terkuras habis itu.
“Sekar Hubungi Danan dan Cahyo… ceritakan semua kejadian ini” Perintah Pak Sardi pada sekar.

***
Desa Lembah Keramat...

Tepat di sebuah gerbang desa Mas Jagad memarkirkan mobilnya di hadapan sebuah warung kopi yang tidak jauh dari gerbang masuk desa. Aku segera turun dengan terburu-buru dan segera mencari selokan untuk melampiaskan mualku selama perjalanan.
“Lha kenapa nan? Mabok?” Tanya Mas Jagad dengan tawanya yang setengah meledek.
“Assem Mas Jagad, iya emang buru-buru tapi nyetirnya jangan kesurupan gitu to..”Jawabku yang merasa dikerjai oleh mas jagad.
“Haha.. kan darurat, disinilah skill seorang supir harus digunakan” Balasnya yang merasa puas melihatku yang hampir pingsan. Untung saja itu mas Jagad, seandainya Cahyo yang iseng pasti sudah kulempar sandal dari sini.
“Yowis cari yang anget-anget dulu aja, rumah Mbah Jiwo harusnya ada di desa ini” Lanjut mas jagad.
Kami berdua memutuskan untuk mampir ke sebuah warung makan dan memesan minuman hangat untuk memulihkan rasa mualku sambil menikmati beberapa gorengan yang tersaji di meja.
“Bu, kalau rumah mbah jiwo jauh nggak dari sini?” Tanya mas jagad pada ibu penjaga warung yang mengantarkan teh hangat untukku dan kopi hitam untuk mas jagad.
“Oh… mboten, nggak mas.. itu di ujung desa yang halamanya paling besar, tapi kalau ke sana jangan malam-malam ya” jawab ibu itu.
“Lha kalau malam kenapa bu?” Tanyaku.
“Katanya sering ada yang melihat sosok makhluk halus di halaman rumah mbah jiwo” Jawabnya.
Aku dan Mas Jagad saling bertatapan. Kami jadi semakin bertanya-tanya sebenarnya orang seperti apa yang palek minta untuk kami temui ini?
Sebuah rumah dengan pekarangan yang cukup besar terpampang di hadapan kami.
Mas Jaga memarkirkan mobilnya di bawah salah satu pohon dan segera memasuki rumah kayu yang cukup besar, sepertinya ini adalah rumah terbesar di desa ini.
Benar kata ibu warung itu, banyak sosok tak kasat mata yang menghuni halaman ini namun sepertinya mereka tidak berniat jahat. Aku cukup lega saat mengetahui hal ini.
“Kulo nuwun…” (Permisi)
Beberapa kami kami mengetuk pintu rumah itu namun tidak ada yang menyahut hingga perlahan muncul seorang pria berumur dari arah sumur timba di halaman menghampiri kami.
“Maaf mas, mencari siapa?” Tanya orang itu.
“Ngapunten, maaf pak.. saya mencari mbah jiwo” Jawabku dengan sopan.
“Saya Mbah Jiwo, ada keperluan apa mas-mas ini mencari saya?” Ucapnya yang ternyata adalah orang yang kami cari. Aku menoleh pada mas jagad karna sedikit heran,
panggilanya mbah jiwo namun dari penampilanya sepertinya umurnya ternyata tidak terpaut terlalu jauh dari paklek.
“Saya Danan Mbah, ini Mas Jagad… kami dapat info tentang mbah jiwo dari Paklek” Ucapku.
“Danan? Paklek?” Mbah Jiwo terlihat berfikir.
“Jangan-jangan kamu Dananjaya yang pernah diceritakan Dimas dan Rumi? yang Keponakanya Paklek Bimo itu?” Ucap Mbah Jiwo yang ternyata mengenal Dimas dan Rumi juga.
“I—iya mbah, mbah kenal Dimas juga?” Tanyaku.
“Wah… berarti tamu istimewa ini, ayo masuk kita ngobrol di dalam” Ucap Mbah Jiwo yang seketika berubah ramah saat mengetahui tentangku.
“Mohon maaf, saya agak hati-hati saat ada tamu tak dikenal yang datang ke sini..
beberapa orang masih kemari untuk mencari pusaka dan mencari pesugihan di lembah keramat”
Akhirnya aku cukup lega saat mengetahui maksud dari respon mbah jiwo terhadap kedatangan kami.
Terlihat Mas Jagad terkagum-kagum saat mengetahui isi rumah itu dimana terlihat berbagai pusaka terpajang di dinding rumahnya.
Mbah Jiwo menyambut kami dengan mengeluarkan beberapa toples makanan dan minuman hangat.
Ia bercerita mengenai kedatangan Dimas dan Rumi yang terikat takdir dengan tragedi di lembah keramat belakang desa ini. Bahkan Mbah jiwo pernah membantu Paklek yang tidak bisa keluar dari hutan karena ribuan ular mengerubuti tubuhnya atas perintah penunggu lembah itu.
“Dimas cerita , Mas Danan yang dulu membatu menyelamatkan adiknya rumi.” Cerita Mbah jiwo dengan semangat. Kami senang mendengar cerita mbah jiwo, namun mas jagad mencolek pinggangku mengingatkan untuk menyampaikan tujuan sebenarnya kami kemari.
“Mohon maaf Mbah jiwo , sebenarnya kami ingin bertemu mbah jiwo karena ada sesuatu yang darurat” Balasku memotong cerita mbah Jiwo.
Bersamaan dengan itu Mas Jagad mengeluarkan patahan warangka atau tutup keris yang kami temukan di pabrik tahu kemarin dan membukanya di hadapan mbah jiwo. Saat itu juga wajah mbah jiwo berubah menjadi serius.
“Sebuah warangka, berumur ratusan tahun.. jelaskan apa yang terjadi” Ucap Mbah Jiwo.
Saat itu kami menceritakan mengenai kejadian yang kami alami di alas mayit dan cerita tentang keberadaan tiga keris kembar yang mulai bangkit dan memakan banyak korban.
Mbah jiwopun sempat kaget saat mendengar nama keris benggolo ireng dan keris benggolo abang yang kami temukan di alas mayit.
“Yang kalian hadapi itu bukan perkara mudah, dan sebenarnya kalian tidak harus bertanggung jawab atas kejadian itu”
Ucap Mbah Jiwo yang sedikit kasihan melihat kami.
“Tapi kami tidak bisa tinggal diam mbah, ada seorang perempuan yang keluarganya mati karena keris itu dan terus mencari korban lainya,
ada juga seorang ayah yang rela mengasingkan diri ke alas mayit untuk menyelamatkan keluarganya… lambat laun orang terdekat kita yang akan menjadi korban keris itu juga” Jawabku.
“Kami dipercayakan kemampuan ini oleh Yang Maha Pencipta bukan untuk menghindari masalah-masalah ini mbah. Setidaknya ada sesuatu yang harus kami perbuat” Tambah Mas Jagad.
Mbah Jiwo menghela nafas berusaha mencoba mengerti pemikiran kami.
“Yah saya tidak heran, saya cukup mengenal bimo sebagai orang yang mau berkorban bahkan untuk orang yang tidak ia kenal dan ternyata masih ada orang-orang yang seperti dia” Ucap Mbah Jiwo.
Kamipun menceritakan mengenai asal usul warangka ini yang dulunya pernah menyegel keris benggolo ireng juga tentang paklek yang meminta kami menemui mbah jiwo untuk menanyakan perihal pusaka ini.
Mbah Jiwopun menjelaskan bahwa dulunya ia adalah empu pembuat pusaka, bahkan tabuh waturingin yang digunakan oleh mbah rusmanpun sempat disimpan olehnya. Ternyata dunia ini tidak sebesar yang kukira atau malah takdir yang menghubungkan kami semua.
Dari cerita itu kami mengerti bahwa Mbah jiwo mungkin bisa membantu kami mengembalikan kemampuan dari warangka ini.
“Ini memang takdir…” Ucap Mbah Jiwo.
Kami tidak mengerti dengan apa yang ia maksud, namun Mbah jiwo masuk ke dalam rumahnya dan mengeluarkan sebuah benda yang ia simpan dalam sebuah peti kayu. Mbah Jiwo meniup debu di kotak itu dan membukanya.
Sebuah keris dengan bentuk ukiran yang persis dengan Keris Benggolo Abang yang pernah kami lihat namun terlihat kosong tanpa adanya kekuatan apapun bahkan bilahnya terlihat tidak terawat.
“ini yang ketiga.. yang tadi kalian sebut dengan nama Keris Benggolo Lanang”
Mendengar nama itu seketika aku dan mas jagad segera mengambil posisi waspada. Kami sudah mengetahui kekuatan kedua keris kembar lainya dan keris ini adalah salah satu dari keris kembar itu.
“Tidak usah takut, dulu leluhurku membuat warangka itu menggunakan aliran kekuatan dari keris benggolo lanang yang belum dikuasai iblis seperti dua lainya.. setelah itu keris ini sudah tidak memiliki kemampuan lagi” Jelasnya.
“Lalu Mbah Jiwo, apa mbah jiwo bisa memulihkan warangka ini?” tanya mas jagad.
Mbah Jiwo menggeleng dan seketika kami mulai merasa bingung.
“Tapi aku bisa membuat kembali warangka yang sama, namun aku butuh bantuan” Lanjut Mbah Jiwo.
Mbah Jiwo menceritakan kekuatan Keris Benggolo Lanang ditahan oleh sosok panglima yang mengorbankan dirinya untuk menahan kemampuan keris ini.
sebuah benda diletakan di sebuah tempat di alam ghaib untuk mengikat kekuatan keris benggolo lanang. Setelah ratusan tahun keris inipun mati dan benda itu sudah bisa diambil.
“Harus ada orang yang bisa menarik pusaka yang terikat dengan benda ini” Ucap Mbah Jiwo.
Aku dan Mas Jagad mencoba memikirkan siapa seseorang yang memiliki kemampuan menarik pusaka dan memang tidak ada satupun yang kami kenal. Namun sepertinya mas jagad menemukan sesuatu.
“Mbah diantara kami tidak ada satupun yang bisa menarik pusaka, tapi jika saya mengikuti aliran tenaga pusaka itu dan masuk ke alam ghaib apa saya bisa mengambil benda itu?” Tanya Mas Jagad.
“Itu mungkin, tapi sangat berbahaya…” jawab mbah jiwo.
Memang benar, aku pernah merasakan berada di alam sana selama beberapa saat dan itu benar-benar mengerikan.
“Tidak apa mbah, saya punya cara sendiri untuk kembali dengan selamat”
Ucap Mas Jagad dengan percaya diri namun sepertinya itu karena tidak ada pilihan untuk kami selain mengambil resiko ini.
Setelah berdebat cukup lama akhirnya mbah jiwo menyetujui rencana kami.
aku akan membantu melepaskan sukma mas jagad agar ia bisa mengikut aliran kekuatan keris benggolo lanang.
“Benda yang harus kamu cari adalah bongkahan emas putih yang berada di hutan yang rimbun, saat sampai di hutan itu tidak sulit untuk menemukanya” Jelas Mbah Jiwo.
Tepat setelah mendengar arahan mbah jiwo mas jagad menggenggam keris benggolo lanang sementara aku menahan tubuh mas jagad agar jiwanya tetap stabil saat sukmanya mencari benda yang dimaksud oleh mbah jiwo.
Aku melihat semua yang dilihat oleh sukma Mas Jagad. Keris itu memasukan sukma mas jagad ke alam pertama dimana hanya hutan dan kabut yang terlihat di sekitar mas jagad. Kehadiranya memancing berbagai makhluk untuk mendekat ke arahnya namun tujuan mas jagad bukanlah di sana.
Keris benggolo lanang terlihat memiliki aura yang mengarahan kami ke alam kedua, sebuah tempat yang tidak berwarna. Sebuah hutan lebat namun hanya warna hitam dan putih yang ada di alam ini.
semakin banyak makhluk yang berada di tempat ini, mereka terlalu berisik dengan kehadiran mas jagad.
Aku merasakan mas jagad dalam bahaya, berbagai makhluk mencoba menyergap dirinya di hutan itu namun samar-samar aku mendengar mas jagad
membaca sebuah mantra yang membuat dirinya seolah melesat dengan cepat ke arah yang ingin ia tuju. Sayangnya bersamaan dengan itu hubunganku dengan sukma mas jagad terlepas dan kembali ke kesadarnku.
“Apa yang terjadi?” Tanya mbah jiwo.
“Mas jagad bertarung sendirian, kemampuanku tidak mampu mengimbanginya” ucapku yang sedikit merasa kagum. Mungkin di pertarungan di alam manusia aku dan cahyo lebih unggul dari mas jagad namun soal bertahan hidup di dimensi lain mas jagad jauh lebih mampu.
Hampir beberapa jam kami menunggu mas jagad , bahkan aku dan mbah jiwo sudah menghabiskan beberapa gelas kopi.
Saat hari semakin malam tiba-tiba Mas Jagad mendapatkan kembali kesadaranya dan melompat ke belakang jauh dari tempatnya duduk bersila.
Kami mencoba mendekat namun Mas Jagad menahan kami.
“Awas! Jangan kesini dulu!”Ucap mas jagad dengan tangan yang seolah menggenggam sesuatu.
Tanganya seperti membentuk sebuah gerakan hingga akhirnya sesuatu yang tidak diketahui darimana asalnya jatuh tepat dihadapan mas jagad.
“Mbah Jiwo, Lempengan emas ini yang di maksud?” Tanya Mas Jagad.
“Benar, tidak salah lagi! Kalian memang hebat!” Ucap Mbah Jiwo dengan sumringah.
“Kini giliran aku dan pertarunganku, kalian tunggulah… besok pagi benda ini sudah bisa kalian bawa!” Ucap Mbah Jiwo.
“Secepat itu? Mbah bisa membuatnya dalam waktu semalam?” Tanyaku yang masih kurang percaya dengan ucapanya.
“Ki Jiwo Setro belum pernah gagal dalam menyelesaikan pusaka.. istirahatlah besok pertarungan kalian akan lebih mengerikan” Ucapnya.
Mendengar kebanggaanya itu aku jadi merasa sedikit tenang. Mas Jagad sudah terlalu kelelahan ia sudah terbaring di tikar berusaha mengembalikan tenaganya.
Tidak ada lagi yang dapat kami lakukan selain menunggu,
namun aku khawatir dengan Cahyo yang sendirian pergi ke desa Indira tempat pemilik keris benggolo ireng itu berada. Mungkin aku harus mencoba mengeceknya.
Dengan bantuan keris Rogosukmo aku memisahkan sukma dari tubuhku dan melayang menghampiri sebuah tempat dimana aku merasakan sukma milik cahyo. Saat semakin mendekat aku merasakan ada yang aneh seolah sukma cahyo perlahan melemah seperti dalam sebuah pertempuran.
Benar saja, aku tiba di sebuah desa yang dikelilingi oleh berbagai roh dan setan pengikut keris benggolo ireng. Sebuah keris melayang menghabisi nyawa warga desa seolah menghisap kekuatan dari setiap manusia yang dibunuhnya.
Aku mencari keberadaan Cahyo, tubuhnya terlihat terluka dengan bekas tusukan keris dan sosok manusia dengan wajah mengerikan dan kulit yang seperti terbakar terlihat menyerang cahyo dengan beringas. Itu bukan manusia… makhluk itu sudah sepenuhnya menjadi setan.
Dari perbincangan mereka , aku mendengar makhluk itu bernama Songgokolo
Perasaan dilema menghampiridiriku dimana aku harus menolong cahyo atau warga desa, namun sebelum aku memutuskan tiba-tiba aku mendengarsuara nenek yang melintas dengan cepat.
“Minggir bocah, biar aku yang mengajari bocah ketek itu!”
Ucap sosok yang melewati sukmaku tanpa memandangku sedikitpun. Aku memperhatikan wujudnya, itu adalah nyai jambrong.
Dengan kecepatan yang sulit kuikuti, ia segera menerjang sosok setan yang menyerang cahyo hingga membuatnya terpental.
Melihat hal itu aku sedikit tenang. Kali ini aku fokus menahan serangan dari keris benggolo ireng yang mencoba menyerang warga desa.
Berkali-kali benturan kekuatan terjadi antara kedua keris ini. tanpa ada seseorang yang mengendalikanya saja keris ini sudah sekuat ini,bagaimana bila keris ini dikuasai sepenuhnya?
Sosok yang bertarung dengan cahyopun akhirnya kewalahan dan memanggil kerisnya. Saat ini aku masih harus bertarung dengan setan setan pengikut Songgokolo agar tidak ada lagi korban jiwa di desa ini.
Beruntung pertarungan mereka berakhir sebelum aku kehabisan tenaga. Namun ternyata itu bukan akhir yang baik, sepertinya songgokolo pergi menghampiri sesuatu yang bisa membuatnya bangkit sepenuhnya. Setelah ini , semua akan menjadi bertambah gawat.
Dalam sekejap tiba-tiba sukmaku kembali ke ragaku. Tenagaku benar-benar terkuras saat pertarungan dalam wujud sukma tadi. Beruntung ikatanku dengan keris ragasukma membuatku dapat kembali dengan utuh.
Aku menarik nafas dalam-dalam dan menenangkan pikiranku. Sebenarnya aku berniat menghubungi cahyo, namun niat itu kuurunkan karna sepertinya ia masih harus mengurus banyak hal di sana.
Mungkin saat ini Istirahat adalah hal yang paling baik. Setidaknya saat kami menghadapi Songgokolo lagi kami bisa bertarung dalam kondisi yang sempurna.

***
Ada sebuah warung kopi di pinggir jalan yang berbatasan langsung dengan sebuah jurang di pinggir jalan. Di sekitarnya pemandangn yang mengagumkan dari beberapa bukit dan gunung memanjakan mata pengunjung yang mampir ke sana.
Sepeda motor Vespa tua terparkir di sana menandakan Cahyo sudah lebih dulu sampai di sana sesuai dengan waktu pertemuan yang kami sepakati.
Seharusnya Abah dan Dirga juga ada di sini, namun perjalanan dari desanya ke tempat ini memakan waktu yang cukup lama sehingga kami harus menghadapi ini lebih dulu.
“Indira tidak ikut?” Tanyaku yang segera mengambil tempat duduk di depan Cahyo sementara Mas Jagad masih memeriksa mobilnya.
“Nggak, terlalu berbahaya untuk dia. Di desa Wadirejo ada Guntur, murid Nyai Jambrong yang menjaganya.” Jawab Cahyo.
“Terus kalau sendirian kenapa dimotormu helmnya ada dua?” Tanyaku sekedar memastikan.
“Sudah nan, mendingan nggak usah di tanya…”
“Maksud kamu gimana? Memang siapa yang ikut?”
Cahyo tidak menjawab dan hanya menghela nafas,namun tak berapa lama terdengar suara dari pinggir jurang yang berbatasan dengan warung ini.
Dari jurang itu terlihat ada seseorang yang berusaha memanjat dengan cepat ke arah warung ini, langkahnya yang menyibakan semak dan pepohonan terdengar semakin cepat.
“Bocah Ketek ora sopan! Uwong tuwo jatuh ora ditulungi!!” (Anak monyet nggak sopan! Orang tua jatuh tidak ditolongin) Ucap sosok nenek tua yang wajahnya tidak asing.
“Kan Aku wis ngomong nyai, ojo lingguh ning kono.. bahaya. Lah giliran tibo aku sing disalahi” (Kan aku sudah ngomong nyai, jangan duduk di sana.. bahaya, lah giliran jatuh aku yang disalahkan) Balas Cahyo dengan tenang seolah sudah malas berdebat.
Seketika aku membayangkan apa saja yang terjadi selama perjalanan saat cahyo menbonceng nyai jambrong hingga tiba di tempat ini.
“Jul, kowe mboncengi Nyai Jambrong to?” (Jul Kamu boncengin Nyai Jambrrong ya?) Ucapku setengah tersenyum.
“Ora usah takon-takon! Tak sampluk raimu mengko!” (Nggak usah tanya-tanya! Tak lempar mukamu nanti) Jawabnya emosi dan sudah pasti membuatku sulit menahan tawa.
“Nyai , apa kabar?” Tanyaku dengan sopan.
“Pikiren dewe!” (Pikir Sendiri) Jawabnya ketus.
“wong tibo ditakokke kabar” (Orang jatuh ditanyain kabar)
Aku masih tersenyum melihat situasi ini. Dia adalah nyai jambrong , salah satu orang tersakti yang berpengaruh besar dalam tragedi terbukanya gerbang Jagad segoro demit dulu.
Sang pengguna ilmu rawarontek dan penguasa aliran ilmu hitam yang sudah menghabisi banyak nyawa kini terlihat bertingkah konyol di hadapan kami.
“haha.. ngapunten nyai, sudah pesen belum? Saya pesankan sekalian” Tanyaku.
“Ra usah, kuwi lho piring numpuk akeh sakmono kuwi mbok pikir sopo sing ngentekno” (Nggak usah, itu lho porong sebanyak itu kamu pikir siapa yang ngabisin) Ucap Cahyo.
“Nyai Jambrong?” tanyaku.
“Ora, demit alas wadirejo!” Jawab Cahyo kesal. Bersamaan dengan itu sebuah sendal jepit kumal mendarat tepat di kepala cahyo.

“Sopo sing mbok omong Demit?! Ngomong meneh!” (Siapa yang kamu bilang demit? Bilang lagi?) Ucap nyai jambrong.
“Ora mbah, mau ono demit lewat langsung tak bacakan doa biar tenang… wis aman mbah, wis lungguh meneh” (Nggak mbah, tadi ada demit lewat langsung saya basakan doa biar tenang, sudah aman mbah , sudah duduk lagi) Balas Cahyo mencari alasan.
Mendengar keramaian di warung Mas Jagad ikut masuk setelah memesan nasi rames dan kopi kepada penjaga warung.
“Ternyata bener ya, kalau ada Cahyo pasti rame” Ucap Mas Jagad yang juga secara sopan segera memperkenalkan diri ke Nyai Jambrong.
“Saya Jagad Nyai, terima kasih lho sudah mau repot-repot ikut sampai ke sini” Ucap Mas Jagad.
“Nah Kuwi, untung masih ono uwong sing rodo sopan… ora koyo bocah ketek kuwi” (Nah itu, untung masih ada orang yang agak sopan ,
jangan seperti bocah monyet itu) Ucap nyai Jambrong.
“Nih kiwi,inting misih ini iwing sing ridi sipin…” Bisik Cahyo sambil meminyingkan bibirnya meledek ucapan nyai jambrong namun terhenti saat nyai jambrong memelototinya.
Kejadian pagi ini di warung cukup berhasil menghilangkan rasa tegangku setelah melihat tingkah konyol cahyo dan nyai jambrong. Kamipun segera mengisi perut kami dan melanjutkan perjalanan ke desa tujuan kami. desa dimana Yarto, Paklik indira tinggal.
Secepat mungkin kami menghampiri desa yang ditunjukan oleh Indira. Namun saat sapai di lokasi desa ini terlalu sepi seolah sudah ditinggalkan oleh warganya. Memang Indira sudah menghubungi Paklik Yarto mengenai keadaan ini,
namun kami tidak menyangka desa akan dengan mudah dikosongkan seperti ini.
Kami berpencar dan berkeliling mencari siapapun yang bisa kami temui di desa ini namun hanya rumah-rumah kosong yang kami temui. Aku tidak merasakan hal aneh dari desa ini,
namun tidak dengan nyai jambrong. Ia seperti merasakan sesuatu dan mulai memanjat ke atap-atap rumah seolah mencari keberadaan sesuatu.
“Ngomongi aku bocah ketek, tapi sendirinya sing luwih koyo ketek”
(ngatain aku bocah monyet tapi sepertinya lebih mirip monyet) Bisik cahyo yang masih kesal dengan nyai jambrong.
Aku sedikit tertawa, namun kali ini aku sengaja memutus ledekanya mengingat saat ini kita harus lebih fokus.
Tidak ada yang terjadi di desa ini hingga maghrib menjelang, Nyai Jambrongpun akhirnya hanya duduk terdiam di salah satu atap rumah seolah sedang menerawang sesuatu.
“Bersiap-siaplah, semua akan dimulai saat matahari terbenam” Ucap Nyai Jambrong yang wajahnya terlihat lebih serius dari sebelumnya.
Tidak butuh waktu lama untuk mengetahui arti dari peringtan nyai jambro.
Tepat saat langit mulai menghitam dan tidak ada cahaya matahari lagi di desa ini seketika kami merasakan perasaan yang membuat kami gelisah.
Berbeda dari sebelumnya tiba-tiba dari setiap rumah terlihat sosok yang memandang kami dari setiap jendela.
Sudah pasti mereka bukan manusia, tapi kenapa kami tidak bisa merasakan kehadiran sosok-sosok ini siang tadi?
“Danan, ini sudah keterlaluan. Sepertinya nyai jambrong juga sudah sadar akan hal ini”Ucap Cahyo
“Apa maksudmu?”
“Semua warga desa ini sudah mati.. kita terlambat”
Sontak aku memperhatikan sekitar dan benar sosok roh yang memandang kami dari dalam rumah sepertinya memang roh warga desa. Mas Jagadpun segera mendekati kami.
“Tahan emosi kalian, makhluk itu masih ada di sini.. di alam sisi lain desa ini,
kalau kalian siap aku bisa menarik mereka saat ini juga”Ucap Mas Jagad yang sepertinya menahan emosinya.
“Tarik Mas! Kita selesaikan semuanya sekarang!” Ucap Cahyo dengan geram.
Mengetahui apa yang akan dilakukan mas Jagad, nyai jambrong segera melompat turun dan menghampiri kami. Mas Jagad membacakan doa yang cukup panjang hingga samar-samar terlihat sosok yang sedang bertarung.
Tepat saat menyelesaikan doanya benturan energi beradu dan menggetarkan bangunan di sekitar kami.
Songgokolo sedang bertarung dengan seorang manusia, bukan Paklik Yarto,
Orang itu terlihat lebih muda namun tubuhnya sudah babak belur seolah setengah mati menahan Songgokolo dengan berbagai pusaka yang ia kenakan.
Pedang pendek, kalung ajimat dan beberapa cincin pusaka memberinya kekuatan untuk bertahan dari berbagai serangan Songgokolo.
“Akhirnya kalian tiba!” Ucap Orang itu yang hampir sekarat.
Mendengarnya berbicara, kami segera menghampiri orang itu dan mencoba membaca situasi ini.
“Nyai Jambrong, kau di sisi yang salah!” Ucap Songgokolo yang mengetahui keberadaan nyai jambrong.
“Khehkehkehe… aku tak peduli, bocah-bocah ini lebih menarik dari kacung-kacungmu” Jawabnya sambil tertawa terkekeh.
Pria yang bertarung dengan songgokolo itu adalah Yardi putra Paklik Yarto yang sebelumnya kehilangan kewarasan
karena perang santet antara Paklik Yarto dan Paklik Sumar. Namun saat ayahnya mati dibunuh oleh songgokolo ia mendapatkan kesadaranya kembali dan mencobamenahan Songgokolo dengan semua pusaka yang dimiliki keluarganya.
“Sudah jangan memaksakan diri, biar kami yang melanjutkan” Ucapku namun ia tidak mengindahkan perkataanku dan kembali berdiri dengan menyeret badanya menghampiri Songgokolo.
“Sisanya kuserahkan pada kalian, balaskan dendam bapak!” Ucap Yardi yang membacakan sebuah mantra. Seketika pusakanya diselimuti kekuatan hitam dan Yardi mengarahkanya kepada Songgokolo.
Tidak ada rasa gentar sedikitpun dari wajah setan yang semakin menghitam itu. ia hanya mencabut keris dan bersiap meladeni serangan Yardi.
“Itu ilmu hitam, hentikan Yardi! Melawan setan dengan ilmu hitam memang sudah tujuan mereka!” Teriak cahyo yang tidak diindahkan oleh Yardi yang sudah terbakar api dendam.
Belum sempat pusaka Yardi menyentuh songgokolo seketika satu sosok melesat ke arah mereka.
Sekilas aku melihat dengan jelas bahwa itu adalah mbah suroto dalam pengaruh keris benggolo abang.
Dalam hitungan detik Mbah suroto menjambak Yardi hingga kehilangan keseimbangan dan menyayatkan keris ke lehernya hingga terputus.
Kami tidak sanggup bertindak apapun melihat kejadian itu, hanya tubuh Yardi yangsudah terpisah dari kepalanya lah yang sekarang berada di hadapan kami.
“kheheea… Songgokolo, kita selesaikan dulu mereka” Ucap Mbah Suroto yang sudah kesetanan.
Kini mimpi buruk benar-benar terjadi.. Darmijo Ayah Indira yang sudah menjadi titisan keris benggolo ireng sudah berkumpul bersama sosok yang merasuki keris benggolo abang.
“Gondokolo.. panggil yang lain!” Perintah songgokolo yang segera dituruti oleh sosok yang mendiami mbah suroto.
Tak butuh waktu lama hingga berbagai sosok mengepung desa ini. aku tibak bisa melupakan sosok pocong dengan kain kafanyang penuh darah yang sempat merasuki dirga.
Terlihat juga sosok dukun nenek tua yang mencoba menbunuh indira. Berbagai sosok yang merayap di atap rumah rumah dan roh yang bergentayangan di sekitar desa.
Seketika tubuhku bergetar, kami harus melawan semua sosok ini.
ini sama saja kami ber empat melawan satu kerajaan demit. Ini bukan sesuatu yang bisa diatasi oleh manusia pikirku.
“Kenapa bocah? Sekarang kalian gentar?” Tanya Nyai Jambrong.
Aku tidak bisa membantah perkataan Nyai Jambrong.
Tidak ada satupun cara yang bisa kupikirkan untuk mengalahkan makhluk-makhluk ini.
Di tengah kebingunganku tanpa kusadari punggungku terasa panas dan saat aku menoleh terlihat sosok pocong itu sudah di belakangku mencoba merasukiku sama seperti dirga dulu.
Aku membacakan mantra pelindung untuk menghindari kami semua dari setiap kutukan makhluk-makhluk ini , sayangnya sosok pocong ini terlalu kuat sesuatu membelenggunya dan membuatnya begitu terikat pada kedua makhluk itu.
“bocah! Panggil monyetmu! Jangan diam saja!” Teriak nyai Jambrong.
Kali ini cahyo tidak membalas ucapan nyai jambrong dan segera memanggil wanasura. Terlihat dari wajahnya juga terlihat panik. Terdengar suara auman binatang buas yang merasuk ke tubuh Cahyo.
Sepertinya Wanasura juga merasa gelisah.
Cahyo segera maju menerjang ke arah songgokolo dan tanpa adanya perkataan apapun nyai jambrong segera mengikutinya. Sebuah pukulan dilayangkan namun dengan mudah dipentalkan oleh songgokolo.
Nyai jambrong menyusulnya dan melontarkan tendangan cirikhasnya namun Gondokolo yang menguasai tubuh mbah suroto menahanya.
Mas Jagad tak henti-hentinya membacakan doa dan ayat suci untuk menjauhkan roh-roh di sekitar kami.
namun sepertinya ia juga kewalahan dengn sosok demit yang mulai mengincarnya.
Aku mencoba memasuki pertarungan cahyo dengan membacakan doa pada kepalan tanganku dan melontarkan ajial lebur saketi sebuah pukulan jarak jauh ke arah mbah suroto
namun serangan itu dengan mudah ditahanya. Sebaliknya kini ia mengincarku dengan keris benggolo abang yang ada di genggamanya.
Beruntung aku sempat menarik keris rogosukmoku dan menahan serangan mengerikan dari keris berbilah merah itu
hingga suara dentuman menggema ke seluruh desa. Walapun aku bisa menahan semua serangan mbah suroto namun pertarungan ini jelas berat sebelah. Aku bahkan tidak memiliki kesempatan untuk menggunakan ilmuku.
Di tengah pertarungan aku memperhatikan sebuah bekas luka hitam di dada mbah suroto, luka itu tidak mengering dan terus meneteskan darah tanpa henti.
Sayangnya di tengah situasi itu aku lengah dan berbagai roh disekitar mencoba merasuki tubuhku hingga Gondokolo berhasil mendaratkan keris benggolo abang ke salah satu lenganku.
Mas jagad yang menyadariku terluka segera menarikku yang sedang berusaha mempertahankan kesadaran dari makhuk-makhluk yang mencoba merasukiku.
Belum sempat memulihkan diri tiba-tiba cahyo terpental dan jatuh tak jauh di tempatku berada.
“Bocah, setan-setan itu tidak menyerang dengan kehendaknya.. dukun-dukun itu yang mengendalikan!” Teriak nyai jambrong yang mencoba menjaga jarak hingga cahyo bersiap kembali menyerang.
Kami mengetahui posisi dukun-dukun yang mengendalikan makhluk itu , mereka berada di keempat penjuru desa ini tapi kami tidak mungkin meninggalkan pertarungan ini untuk mengejar mereka.
Cahyo mencoba berdiri lagi namun ia merasakan keanehan saat roh wanasura tidak lagi merasuki dirinya.
“Wanasura?! Apa yang terjadi?” Teriak cahyo bingung.
Suara mengerang terdengar dengan keras. Sepertinya sosok roh wanasura berusaha bertahan dari pengaruh kekuata hitm yang mencoba mengambil alih kesadaranya.
Melihat celah itu songgokolo menghampiri cahyo dan menghujamkan keris hitam di tanganya. Aku yang melihat hal itu segera berlari dan menahan keris itu dengan keris rogosukmo di tanganku.
Sayangnya serangan itu terlalu kuat dan membuat kami terpental dengan keras hingga tak mampu lagi menahan darah yang keluar dari mulut kami.
Mas Jagad bersiap menahan songgokolo untuk menyerang kami dengan lebih jauh namun nyai jambrong menendangnya hingga terpental.
“Apa ini nyai?” Tanya Mas Jagad.
“Jangan goblok, kamu tidak punya pusaka maupun roh yang bisa menahan songgokolo. Satu serangan saja kamu mati!” Jelas nyai jambrong yang segera menggantikan mas jagad menyerang songgokolo namun sepertinya kesabaran kedua setan itu sudah habis.
Saat mencoba menolong kami Gondokolo melemparkan kerisnya dan tepat menusuk punggung nyai jambrong. Songgokolo segera memanfaatkan kejadian itu dan menggenggam wajah nyai jambrong, mengangkatnya dan membantingnya hingga cairan merah keluar dari mulutnya.
“Nyai!” Aku mencoba berdiri namun cukup sulit untuk mencapai tempatnya.
Nyai Jambrong menjadi bulan-bulanan kedua setan itu, ia setengah mati menahan setiap serangan yang diarahkan keadanya.
“Mati, dia bisa mati Danan!” Teriak cahyo yang juga berusaha kembali berdiri.
Saat kesadaranya mulai hilang, samar-samar terlihat kekuatan hitam yang muncul dari tubuh nyai jambrong. Aku tahu dengan jelas, itu adalah ilmu hitam yang sudah tidak ingin ia gunakan lagi, ilmu itu sudah pasti bisa menyelamatkanya dari serangan itu.
Yang terjadi benar-benar membuatku kaget. Nyai jambrong malah menguatkan ikatan benda yang menyerupai tasbih di tanganya dan menahan kekuatan itu untuk keluar. Niatnya untuk memohon pengampunan ternyata lebih berarti dibanding nyawanya.
Seolah menjawab semua niatnya tiba-tiba terdengar suara dari pengeras suara masjid di desa ini. suara ayat-ayat suci yang dilantunkan ke seluruh desa oleh suara yang aku kenal.
“I—ini suara abah?” Tanyaku.
“Benar, Ini suara abah! Tidak salah lagi” Jawab mas jagad.
Saat itu juga Songgokolo dan Gondokolo merasa terganggu dan segera melepaskan nyai jambrong mencari asal suara itu. Tak hanya itu seluruh makhluk di sekitar desa ini juga seolah terlepas dari ikatan kedua setan itu.
“Ada yang mengalahkan dukun itu!” Ucap Cahyo.
Sekilas aku melihat sosok keris yang beterbangan di keempat sudut desa. Tak lama setelahnya kami melihan sosok anak laki-laki yang berlari ke arah kami.
“Maaf kami terlambat!”
Itu dirga, sepertinya dia sudah benar-benar menguasai kemampuan kerisnya.
“Keren Dirga! Dari tadi aku sudah kesal sama dukun-dukun itu!” Ucap Cahyo.
“seranganku hanya bisa menghentikan ritual mereka, roh – roh ini akan dalam kendalinya lagi bila kekuatanu habis” Jelas Dirga.
Benar ucapan dirga, kami tidak punya banyak waktu saat roh itu kembali menggnggu pertarungan kami kesempatan menang kami akan semakin kecil. namun wanasura masih belum bisa mengendalikan dirinya.
Di tengah keraguanku tiba-tiba hujan turun dengan deras. Tak ada awan yang menutupi langit desa ini dan tidak ada angin yang datang bersama huja itu.
“Wanasura! Apa yang terjadi” ucap cahyo yang heran dengan wanasura yang tiba-tiba terdiam.
Aku menoleh pada nyai jambrong terlihat kekuatan hitam menguap dari dalam dirinya saat terguyur hujan ini. dan yang lebih mengagetkan lagi, sosok ratusan roh yang sudah tidak dikendalikan oleh dukun pengikut songgokolo perlahan menghilang satu persatu.
“Cahyo, apa Wanasura sudah tenang?” Tanyaku.
Cahyo mengangguk dan menoleh ke arahku seolah menanyakan maksudku.
“Nyi sendang rangu, tenangnya air hujan ini sudah pasti kiriman Nyi sendang rangu” Ucapku yang menikmati dinginya air hujan yang membasahi seluruh desa.
Mengetahui hal itu cahyo tersenyum seolah mendapatkan harapan baru.
“Semesta sudah membantu kita sebanyak ini, keterlaluan bila ktia tidak bisa mengalahkan mereka” Ucap Cahyo.
Hujan ini meredakan rasa sakitku, cahyopun sudah bersiap dengan wanasura namun sebelum kami melangkah sosok roh menghadang kami di tengah derasnya hujan.
“Aku bawakan satu bantuan lagi …” Ucap sosok yang suaranya sangat kami kenal. Itu adalah sukma paklek!
“Hehe.. aku sudah menduga, sekar terlalu panik mengira paklek sudah berpulang” Ucap Cahyo.
“Ora usah kakean cangkem, nek sampe kalah sarungmu tak sumet mercon” (Nggak usah banya bicara! Kalau sampai kalah sarungmu tak bakar pake petasan)
Ucap Paklek yang bergeser ke tempatnya dan memperlihatkan sosok kecil yang datang bersamanya.
“Kliwon!” Cahyo berteriak menyambut temanya itu.
“Ayo danan! Kali ini kita tidak mungkin kalah”
Kami berjalan mendekati Songgokolo dan Gondokolo, roh paklek berjalan di depan kami dengan membacakan beberapa mantra yang tidak kami mengerti. Saat itu juga luka di dada mbah suroto terbakar api hitam persis seperti bekas luka yang dihasilkan oleh bilah hitam keris sukmageni.
Seketika tubuh manusia mbah suroto terbakar ia berteriak sekeras kerasnya dengan rasa sakit dari api itu. ada sosok setan berwarna merah dengan taring yang panjangnya melebihi dagunya seolah hampir terpisah dari tubuh mbah suroto.
“Brengsek! Kuhabisi sukmamu!” Teriak songgokolo namun kesempatan yang dibuat paklek ini tidak mungkin kusia-siakan.
Sebuah mantra kubacakan dengan keris ragasukma di genggamanku hingga kilatan cahaya putih menyinari bilahnya.
Seolah mengerti maksudku Cahyo memperkuat tanganya dan membantu melontrkanku ke sosok yang terpisah dari mbah suroto dan menusukkan keris ini tepat di dahinya.
Songgokolo bersiap menghabisiku yang tak jauh dari dirinya namun bayangan sosok kera besar mementalkanya dan menyelamatkanku. Dengan serangan ini keris benggolo abang terlepas dari genggaman mbah suroto.
“Danan bawa pergi tubuh Mbah suroto!”Teriak mas jagad yang segera berlari ke arah keris benggolo abang yang terjatuh.
Ia mengeluarkan sebuah benda dari tasnya , sebuah benda yang ditempa oleh mbah jiwo semalam penuh.
Bukan berbentuk warangka, benda itu adalah keris benggolo lanang dengan bilah yang dilapisi emas putih.
Mas Jagad mengangkat tinggi-tinggi kerisnya dan menghujamkanya ke keris benggolo abang hingga terpecah berkeping-keping.
Belum pernah aku melihat seseorang semudah itu menghancurkan sebuah keris.
Tepat saat keris itu hancur, sosok gondokolo seperti terbakar api yang muncul dari dalam bumi.
“Keris? Bukan warangka” Tanyaku
“Mbah Jiwo ingin menghancurkan kutukan keris itu, bukan sekedar menyegelnya.. Emas ghaib itu ia gunakan untuk keris ini, tidak akan kuat untuk bertarung. Tapi cukup mampu menghancurkan keris kembaranya” Jelas Mas jagad.
“T—tidak! Songgokolo! Tolong ! Aku tidak mau kembali ke alam itu!!” Teriak gondokolo yang semakin terbakar dengan panasnya api yang entah muncul dari mana. Tubunya semakin menghitam dan sesuatu seperti menghisapnya kesuatu tempat yang sangat panas.
Saat itu juga Songgokolo mulai terlihat gentar. Ekspresinya itu membangkitkan semangat kami.
“Dirga tolong bantu selamatkan Nyai Jambrong, Songgokolo bisar urusan kami” Ucapku dengan percaya diri.
“Danan, Hujan dari Nyi Sendang Rangu bisa mempertahankan sosok roh kan?” Tanya cahyo.
Ucapan Cahyo benar, di desa tanggul mayit dulu kami terbantu saat bisa memanggil wanasura dalam wujud rohnya. Aku sudah membayangkan dengan semangat apa yang akan kulihat setelah ini.
“Wanasura!! Wanasudra!!”
Sesua dugaanku! Cahyo memanggil kedua roh kera dari alas wanamarta sahabatnya itu. seketika dua sosok kera raksasa berdiri dihadapan kami dan tak sabar untuk melampiaskan amarahnya.
“Keren! Wanasura ada dua?” Tanya Dirga.
“Itu wujud asli kliwon?” Ucap Jagad yang terkagum-kagum dengan apa yang dilihatnya.
“Ayo Danan! Kita kasi pelajaran buat demit uzur ini!” Ucap Cahyo.
Aku segera menaiki tubuh besar Kliwon sementra cahyo bersama wanasura. sulit membedakan mereka berdua ,
namun senyuman kliwon memang memiliki cirikhas baik dalam wujud apapun. inilah yang membuatku bisa membedakan mereka berdua.
Songgokolo tidak tinggal diam , ia menghunuskan kerisya ke tanah dan membuat sebuah kekuatan hitam yang mengelilinginya.
Saat mendekat ke arahnya kesadaran kami terganggu seolah ada rasa sakit yang memasuki kepala kami. beruntung air dari nyi sendang rangu menahan kutukan itu hingga kami masih bisa bertahan untuk memberi kesempatan kedua kera kembar ini menghantam songgokolo.
Darah hitam bermuncratan dari mulutnya, namun ia tidak berhenti dan menghujamkan kerisnya ke arah wanasura. Dengan sigap aku memisahkan sukmaku dari ragaku yang berada di tubuh kliwon untuk segera menahan keris itu dengan keris ragasukma hingga seranganya terpental.
Cahyo membacakan mantra penguat raga yang dirasakan oleh wanasura dan wanasudra hingga pukulanya kembali membuat songgokolo terpental.
Saat aku kembali ke tubuhku Wanasura melemparkan tubuh cahyo hingga mendarat tak jauh dari songgokolo.
Seperti membaca maksudku ia melepas sarung kebanggaanya dan melompat menutupi wajah songgokolo.
“Sekarang Danan!” teriak cahyo.
Aku mengingat jurus yang diajarkan daryana dan membacakan mantra untuk menyalurkan energi ke keris ragasukma hingga menyala kilatan putih.
“Wanasudra lemparkan tubuhku !” Ucapku yang segera meluncur dengan cepat dan mendaratkan seranganku tepat di dada Songgokolo. Sayangnya Songgokolo masik cukup kuat untuk menghantam kami hingga terpental. Beruntung Wanasudra dan Wanasura berhasil menangkap kami.
Songgokolopun menncabut mengambil kerisnya lagi, kini tubuhnya tak lagi berwujud manusia. Sebagian tubuhnya membentuk sisik ular membuktikan bahwa Ayah Indira titisan dari songgokolo ini.
“Ayo Cahyo sedikit lagi, buktikan.. demit keris kembar itu gak lebih keren dari Monyet kembar alas wetan!” Ucapku memanaskan semangat cahyo.
“Wanasura kembali!” Ucap Cahyo yang meminta wanasura merasuk dalam tubuhnya. Kini wanasudra menangkap cahyo dan melemparkanya ke arah songgokolo.Tubuhnya yang sudah melemah akhirnya terpental oleh serangan cahyo itu. kini keris benggolo ireng berhasil terlepas dari genggamanya.
Mas Jagad sedari tadi sudah bersiap dengan ilmu serupa denganku yang diajarkan oleh Daryana. Keris benggolo lanang menyala terang dengan ajian yang dibacakan oleh mas jagad. Dengan segera ia berlari ke arah keris benggolo ireng untuk menghancurkanya.
Songgokolo mengetahui keadaan itu segera mengerahkan kekuatanya untuk menyerang Mas Jagad namun berhasil kutahan dengan memindahkan sukmaku tak jauh dari posisi mas jagad dan mengadu keris ragasukma dengan serangan itu.
“Dengan ini semua berakhir!” Mas jagad membenturkan keris benggolo ireng yang masih melayang mencoba kembali ke empunya. Kekuatan besar beradu di tempat itu, keris benggolo ireng jauh lebih kuat dari kembaranya.
Mas jagad terpental dan melihat keris benggolo lanang yang ditempa oleh mbah jiwo terbelah menjadi dua. Kami menoleh arah keris benggolo ireng yang beradu dengan keras namun tidak mampu menemukan keberadaan keris itu.
“Gagal? Kita gagal menghancurkan keris itu?” Tanya Dirga.
“Tenang Dirga..” Ucapku.
Walau tidak menemukan keberadaan keris itu hal yang sama dengan yang terjadi pada Gondokolo terjadi juga pada Songgokolo. Tubuhnya terbakar dengan api dari dalam bumi , sekuat tenaga ia menolak untuk masuk ke alam itu.
alam dimana semua siksaan berkumpul menjadi satu.
“Sembah aku ! Akan aku berikan apapun! Ikat perjanjian denganku! Aku tidak mau kembali ke alam itu!” Teriaknya putus asa.
Namun kami tidak mempedulikanya dan hanya memandangnya dengan miris.
“Akan kubalas kalian semua! Saat ada mannusia yang memanggilku kupastikan kalian semua mati dengan mengenaskan” Ucapnya.
Cahyo dengan santainya mendekat kearah songgokolo.
“Setan Goblok, kalaupu kami mati kita tidak akan berakhir di tempat yang sama!” Ucap cahyo yang menambah kekesalan songgokolo yang semakin tersiksa dan perlahan menghilang seperti yang terjadi pada Gondokolo.
Semua sudah selesai.. berbeda dengan Mbah Suroto, tubuh ayah indira ikut pergi bersama setan itu karena sebenarnya Ayah indira merupakan titisan dari makhluk itu. sesekali aku memikirkan mengenai Indira, apakah ada darah siluman di tubuhnya?
Namun aku percaya Tuhan itu maha adil dan tidak akan mengecewakan manusia yang taat kepadanya.
Hujan perlahan berhenti, dan kami terbaring sejenak di teras-teras rumah. dalam hati aku berterima kasih pada nyi sendang rangu yang membantu kami dari jauh sana.
Sukma Paklek sepertinya sudah kembali ke tubuhnya terlihat dari cahyo yang segera berteduh membalas pesan yang dikirmkan dari sekar.
Nyai Jambrong masih belum sadar, namun setidaknya ia masih bernafas. Mungkin nanti paklek bisa menolongnya.
Abah menghampiri kami setelah tak henti-hentinya membacakan ayat-ayat suci di pengeras suara untuk melemahkan musuh kami dan menguatkan iman kami. terlihat sangat sederhana, namun itu sangat berarti bagi kami.
Mungkin jika abah bertemu dengan Pak Sardi mereka pasti bisa bertukar banyak ilmu.
Dirga berkenalan dengan Kliwon dan tak henti-hentinya mengajaknya bermain,sesekali kliwon mengajaknya naik ke pohon namun Dirga masih sulit menandinginya.
….
Kami mampir ke desa Wadirejo untuk mengantarkan nyai jambrong kembali dan mengecek keadaan indira. Sepertinya ia sudah bisa menerima keadaan ini dan memutuskan untuk tinggal di rumah mbok nasri sampai dia memiliki tujuan lagi.
Entah apa yang terjadi, tiba-tiba dirga bisa akrab dengan guntur yang baru saja dia kenal. Mungkin karena umurnya tidak terpaut terlalu jauh atau mungkin karena tingkah konyol Guntur membuat dirga merasa tidak Canggung.
Arum dan Ibu Ningrum berjanji akan merawan Nyai Jambrong yang belum pulih sepenuhnya. Ia berkali-kali menolak, namun kami tahu dalam hati bahwa ia senang dengan keberadaan keluarganya di dekatnya.
Terlebih hujan nyi sendang rangu sudah mengangkat ilmu hitam yang pernah ia pelajari. Kini ia bisa hidup dengan tenang bersama cucunya itu.
“Habis ini kita ke mana Jul?” Tanyaku pada Cahyo.
“Lah jelas donk!” Ucap Cahyo
“Jelas apa?”
“Ke tempat abah sama dirga! Aku kan belum sempet ngicipin Tahu khas desanya!” Jawab Cahyo.
“Dasar panjul , makanan melullu dipikirin”
Tapi ada benarnya ucapan cahyo, masih banyak yang ingin aku ketahui di desa dirga. Dengan banyaknya waktu mungkin aku bisa berbincang mengenai keluarga Darmawijaya yang sejak jaman leluhur dekat dengan keluarga sambara.

---TAMAT---
Catatan :

Terima kasih atas dukungan dari semua pembaca hingga cerita ini bisa berakhir dengan lengkap.

Semoga cerita ini bisa menghibur teman-teman sekalian dan memberikan pelajaran hidup walau hanya sedikit.
Berikutnya kita akan lanjut tentang kisah perjalanan empat sekawan yang merasakan kengerian di jalur ghaib pendakian Merapi.

Siapa tau ada yang mau baca duluan atau sekedar memberi dukungan biar semangat bisa mampir ke @karyakarsa_id ya! 😁

karyakarsa.com/diosetta69/291…

• • •

Missing some Tweet in this thread? You can try to force a refresh
 

Keep Current with Diosetta

Diosetta Profile picture

Stay in touch and get notified when new unrolls are available from this author!

Read all threads

This Thread may be Removed Anytime!

PDF

Twitter may remove this content at anytime! Save it as PDF for later use!

Try unrolling a thread yourself!

how to unroll video
  1. Follow @ThreadReaderApp to mention us!

  2. From a Twitter thread mention us with a keyword "unroll"
@threadreaderapp unroll

Practice here first or read more on our help page!

More from @diosetta

Dec 19
PERANG TANAH DANYANG
Part 11 - Angkarasaka

Satu manusia menantang takdirnya mendatangi Tanah Para Danyang seorang diri. Bli Waja mencari keberadaan sosok asal dari kekuatan yang ia miliki. Takdir membawanya pada pertarungan pengguna ilmu yang sama..

#bacahorror Image
Danan dan Cahyo berdiri di hadapan samudra tanpa batas. Ombak menderu kencang, seolah memekikkan kekuatan alam yang tak terbendung. Malam telah melewati puncaknya, namun bulan masih terselubung awan pekat, menyisakan kegelapan yang terasa berat.

"Kamu bilang wujud pusaka Ratu Ular itu mahkota? Tapi kamu nggak kepikiran, mahkota itu harusnya dipakai oleh siapa?" tanya Cahyo, menatap lautan.

"Ada banyak kemungkinan," jawab Danan tenang. "Salah satunya, sosok yang mewarisi kekuatan Ratu Pantai Selatan. Apalagi sekarang kita tahu, pusaka itu ada dalam perlindungannya."

"Blorong?" Cahyo bertanya dengan nada cemas.
Danan mengangguk. Kekhawatiran Cahyo bukan tanpa alasan. Sosok itu telah lama menguasai beberapa wilayah hitam di Tanah Jawa, membuat siapa pun gentar untuk berhadapan dengannya.

Tiba-tiba, suara kereta kencana terdengar mendekat. Namun, bukan dari arah daratan, melainkan dari tempat ombak bergemuruh.

"Suara ini... tidak asing," ujar Cahyo.

"Iya, suara yang sama seperti saat kita dijebak di gua oleh Bara," sahut Danan. "Kalau diingat, beliau sebenarnya sudah banyak membantu kita, meskipun secara tidak langsung."

Kereta itu berhenti tepat di tengah lautan yang mendadak tenang. Aneh, suasana berubah; mereka merasa seperti bukan lagi berada di tempat sebelumnya.

"Sudah kuduga, beliau tidak akan menemui kita langsung," kata Cahyo.

"Memang seharusnya begitu," balas Danan. "Kita, bangsa manusia, tidak seharusnya berurusan dengan mereka. Tuhan sudah memisahkan kita di alam yang berbeda untuk alasan itu."

Cahyo mengangguk setuju. Mereka pun duduk bersila dengan sopan dan memejamkan mata. Tiba-tiba, sebuah penglihatan datang menghampiri.

"Mas Danan! Mas Cahyo!"

Suara lembut Lara Sukma terdengar dari kejauhan. Ia berjalan anggun, ditemani Abdi Jinten yang setia di sisinya. Namun, Danan dan Cahyo hanya bisa membalas dengan senyuman, tetap bertahan dalam posisi meditasi.

Suasana berubah. Kini mereka berada di sebuah keraton yang seolah mengapung di atas lautan. Tempat itu dipenuhi aura sakral, dihormati oleh penghuni samudra dan bahkan oleh gelombang laut itu sendiri.

"Kau baik-baik saja di sini?" tanya Danan kepada Lara Sukma.

"Jangan khawatir, Mas. Di sinilah seharusnya tempatku berada. Lagipula, aku hanya berada dalam wujud ini selama beberapa puluh tahun. Setelah itu, aku bisa menitis menjadi ular, burung, ikan, atau apa pun," jawab Lara Sukma sambil tersenyum.

"Tolong, jangan ular!" potong Cahyo cepat.
"Tumben, kamu trauma sama ular?" sindir Danan.
"Bukan, Nan," jawab Cahyo sambil menunduk.
"Terus kenapa?"

"Takut ketemu di Magetan," bisik Cahyo, membuat Danan melotot kesal.

"Memangnya di Magetan ada apa, Mas?" tanya Lara Sukma polos.

"Nggak ada apa-apa! Pecelnya enak!" Cahyo buru-buru mengalihkan pembicaraan.

"Yang pecelnya enak itu Madiun," goda Danan.
"Berisik!" Cahyo memotong, sementara Abdi Jinten hanya tersenyum menahan tawa.

Abdi Jinten kemudian mendekati mereka berdua. Wajahnya serius, penuh kewibawaan.

"Kanjeng Ratu telah memahami maksud kalian. Namun, beliau ingin kalian mengerti sesuatu," ucapnya tenang.

"Apa itu, Abdi Jinten?" tanya Danan penasaran.

Dharrr! Dharrr!

Penglihatan mereka pecah, menampilkan sebuah keris tua yang menancap di dasar laut. Keris itu berkarat, dikelilingi aura mengerikan, menciptakan gelombang yang membawa kematian.

"I—itu... Pusaka Mayit?" Cahyo berseru.

Abdi Jinten mengangguk. Penglihatan lain muncul, menampilkan Lara Sukma bertakhta di sebuah telaga. Dari sana, pusaka-pusaka diciptakan oleh para empu yang menjalin perjanjian dengan roh alam.

"Kanjeng Ratu menyerahkan keputusan kepada kalian," ujar Abdi Jinten. "Namun, kalian harus tahu, roh leluhur Sambara telah melemah. Manjing Marcapada kembali terbentuk, dan Angkarasaka bisa dibangkitkan."

Mereka saling berpandangan, menyadari beratnya situasi.

"Kalau begitu, apa yang harus kami lakukan?" tanya Cahyo.

Abdi Jinten menjawab dengan berat, "Kalian harus siap menghadapi segalanya, meskipun harus mati atau menghancurkan kedua pusaka para danyang itu."
Danan dan Cahyo terdiam. Akhirnya, mereka mengangguk.
Danan dan Cahyo saling bertatapan. Keadaan ini berbeda dengan yang ia bayangkan.

“Apakah berarti kabar baik?” Tanya Danan.

Abdi Jinten menggeleng dan berpaling memandang penglihatan yang juga dilihat oleh Danan dan Cahyo itu.

“Jika kalian memutuskan untuk menggunakan kemampuan Pusaka Sukma dan Pusaka Mayit, akan ada tragedi besar yang melibatkan para pengagung pusaka di alam ini…”

“Kami mengerti!” Danan seketika memotong penjelasan Abdi Jinten.

“Tidak kalian harus…”

“Cukup, Abdi Jinten. Kami mengerti maksud Kanjeng Ratu.” Cahyo menyambungkan niat Danan. “Jika kami tahu apa yang akan terjadi, kami akan bimbang.”

Mendengar perkataan itu Abdi Jinten menghela nafas dan mundur. Mereka mengerti maksud Danan dan Cahyo.

“Baiklah kalau itu keputusan kalian. Terakhir, Kanjeng Ratu hanya menegaskan bahwa dirinya tidak ada di sisi manapun. Entah itu manusia, para Danyang putih, atau Danyang hitam. Jangan pernah berharap apapun dari beliau.”

“Tenang, Abdi Jinten. Kami tahu kepada siapa kami harus menggantungkan doa dan harapan kami.” Jawab Danan tegas.

Seketika penglihatan itu menghilang. Tak ada lagi yang hendak disampaikan oleh Abdi Jinten. Ia hanya tersenyum bersama pudarnya penglihatan keraton, lara sukma, dan para penjaga laut yang mulai mendekat masuk. Saat penglihatan itu memudar, suara ombak kembali terdengar.

Danan dan Cahyo pun membuka mata dan mereka masih tetap berada di tempatnya semula di hadapan deru samudra laut selatan. Kali ini rembulan tak lagi tertutup awan, cahayanya terpantulkan pada sesuatu yang berada di pantai terbawa ombak.

Mereka pun berdiri dari posisinya dan mengenali benda berbentuk mahkota yang sebagian sisinya sudah membatu.

"Jadi ini benda yang membuat ricuh para danyang?" tanya Cahyo dengan suara bergetar, matanya terpaku pada mahkota tua yang tergeletak di pasir. Bentuknya anggun namun menyeramkan; sebagian sisinya telah membatu, memancarkan aura dingin yang menusuk kulit.

"Ya," jawab Danan pelan, nadanya berat. "Kita harus menyegelnya bersama Manjing Marcapada yang baru saja bangkit kembali. Ini tugas yang leluhurku gagal selesaikan."

Danan perlahan menunduk, tangannya meraih mahkota itu. Saat jarinya menyentuh permukaannya, sebuah getaran kuat menyambar, menghantam tubuh mereka seperti arus listrik tak kasatmata.

Deg!

Seketika, hawa dingin menyelimuti. Bukan hanya dingin biasa—ini dingin yang menggerogoti jiwa, membuat jantung mereka berdegup kencang. Cahyo menelan ludah, tubuhnya gemetar tanpa ia sadari.

"Ini... ini yang dimaksud oleh Mbah Purnomo?" tanyanya, mencoba memastikan.

"Ya," jawab Danan singkat, matanya terpaku pada mahkota di tangannya. "Dengan ini, seluruh danyang hitam di Tanah Jawa akan mengincar kita."

Hawa berat semakin terasa. Angin yang tadinya tenang mendadak bertiup kencang, membawa bisikan-bisikan asing yang menggema di telinga mereka. Cahyo menoleh ke sekeliling, bayangan hitam seperti kabut mulai merayap di tepi pantai.
Read 16 tweets
Dec 12
PERANG TANAH DANYANG
Part 10 - Tanah Perjanjian

Sosok-sosok danyang misterius mulai bermunculan. Entah kawan atau lawan... Image
Fajar baru saja menyapa, tapi sinar matahari masih malu-malu menyusup di balik kabut pagi. Suara ayam berkokok bersahutan, menjadi latar saat Dirga dan Guntur berdiri di depan rumah. Tas besar menggantung di punggung mereka, menyiratkan tekad yang tak tergoyahkan.

“Kalian tidak harus pergi dari desa ini…” Suara berat Abah mencoba menahan langkah mereka.

“Abah, ini satu-satunya cara,” jawab Dirga dengan mata tajam. “Setan nenek itu dan makhluk berwujud singa tak akan berhenti mengejar. Jika kami tetap di sini, desa ini akan hancur.”

“Dirga benar, Abah. Kami akan lebih aman bersama Nyai Jambrong,” tambah Guntur.

Abah terdiam, menghela napas panjang. Mata tuanya menatap anak-anaknya dengan perasaan bercampur aduk. Ia tahu, keputusan ini tidak diambil sembarangan.

“Kalau begitu, Abah tidak melarang. Tapi bawa ini.” Abah menyerahkan telepon genggam tua milik Emak. “Sering-sering kabari kami.”

“Iya, Abah. Dirga janji,” balas Dirga.

Tak lama, Emak muncul tergesa-gesa dari dalam rumah, membawa kantong plastik penuh bekal. “Ini nasi buat kalian. Jangan sampai ngerepotin Nyai Jambrong, ya!” katanya dengan suara bergetar.

“Iya, Emak. Terima kasih. Dirga pamit.”
“Guntur juga pamit, Mak.”

Mereka mencium tangan Abah dan Emak sebelum melangkah menuju terminal. Di sepanjang jalan, perasaan mencekam tak kunjung pergi. Hati mereka terusik oleh bayangan kegelapan yang seolah mengikuti setiap langkah.

Beberapa hari sebelumnya, mereka telah menyelamatkan Hisna dari gubuk terkutuk dan menitipkannya pada keluarga terpercaya.

Namun kabar yang datang kemudian membuat bulu kuduk meremang: Pakde Hisna, yang diduga pelaku ritual itu, ditemukan tewas mengenaskan dengan tubuh terkoyak seperti dicakar makhluk buas.

“Itu pasti makhluk berwujud singa atau harimau itu,” gumam Dirga saat mendengar kabar dari Hisna di telepon.

“Tapi kenapa makhluk itu justru membunuh Pakdenya, yang jelas-jelas melakukan ritual?” tanya Guntur, bingung.

Dirga menggeleng. Jawaban tak pernah jelas. Hanya satu yang pasti: mereka harus segera menemui Nyai Jambrong.

***
Read 12 tweets
Dec 6
PERANG TANAH DANYANG
Part 9 - Roro Mayit

Dosa itu terjadi antara Dananjaya Sambara, dan sosok Danyang yang bermain-main dengan nyawa...

#bacahorror @IDN_Horor @bagihorror Image
( Sudut pandang Danan…)
Perasaan yang aneh dan menggugah muncul di benakku, seperti bisikan lembut yang mengusik kesadaranku. Ingatanku perlahan kembali, dan jantungku terasa tertusuk tajam saat mengingat apa yang terjadi ketika aku kembali ke alam manusia.

Setiap detik yang berlalu terasa seperti beban yang menekan dadaku, mengingatkan akan dosa yang tak termaafkan.
...

Ketika mataku terbuka, bukan Nyi Sendang Rangu yang kulihat di sampingku, melainkan sosok perempuan cantik yang begitu anggun dan menawan. Kebaya hitamnya membalut tubuhnya dengan sempurna, menonjolkan lekuk tubuhnya yang memikat.

Ia berbaring di atasku, membuatku terperangkap dalam pesonanya. Kulitnya sehalus sutra, dan setiap gerakannya memancarkan keanggunan yang memabukkan.

“... Kau sudah bangun rupanya?” Suaranya lembut dan menenangkan, namun tubuhku masih belum sepenuhnya bisa bergerak. Suara itu menyusup ke dalam pikiranku, menenangkan sekaligus membangkitkan rasa takut yang samar.

“..Si—siapa ka..” Aku berusaha berbicara, namun kata-kataku terhenti oleh sentuhan lembut jarinya.

“Sssttt…” Jari lentiknya menahan bibirku, membuatku terdiam.

Wajahnya begitu dekat, aroma melati yang menyengat menguar dari tubuhnya, membius kesadaranku. Matanya menatap dalam ke mataku, seolah menelanjangiku hingga membuatku tak berdaya di hadapannya.

“Darah yang mengalir di tubuhmu memikatku. Aku benar-benar tak mampu menahannya...”
Sebuah kecupan lembut menyentuh bibirku, dan telapak tangannya membelai rambutku dengan penuh kelembutan. Sentuhannya seperti kejutan listrik yang menjalar ke seluruh tubuhku, membuatku terhanyut dalam gairah yang ia ciptakan.

Saat itu, pikiranku kosong, dan aku terhanyut dalam pesonanya, tak mampu melawan daya tariknya yang memabukkan.
...

“Tidak! Tidak mungkin! Aku tidak mungkin melakukan perbuatan itu?!” Aku terperangah, tak percaya dengan ingatan yang kembali menghantuiku. Setiap kenangan terasa seperti belati yang menusuk hatiku, mengingatkan akan pengkhianatan yang telah kulakukan.

Sosok itu mendekat, wajahnya cemberut seperti seorang kekasih yang merajuk. “Mas jahat!” katanya dengan nada manja, namun senyumnya yang licik tak bisa kusembunyikan dari pandanganku.

“Bukankah kita sudah menyatu? Aku milikmu, Mas!” Suaranya menggoda, namun di balik itu ada ancaman halus yang membuatku merinding.

Aku terjatuh berlutut di tanah, suara gamelan di sekitarku berubah menjadi sendu, seolah menegaskan dosa yang telah kulakukan. Setiap denting gamelan seperti mengiringi penyesalanku, menambah beban di hatiku.

Bayangan Naya muncul di benakku, sosok wanita yang begitu polos dan penuh kasih, yang telah kukhianati. “Naya... maafin, Mas...” Air mataku mulai menetes, menandai penyesalan yang mendalam. Setiap tetes air mata adalah pengakuan atas kesalahan yang tak termaafkan.

Perempuan itu berjongkok, mengangkat daguku dengan lembut. “Sebaiknya kita terima saja takdir kita...” Bisiknya, mendekatkan bibirnya padaku, bersiap menciumku yang masih terperangkap dalam rasa bersalah dan penyesalan. Bibirnya hampir menyentuh bibirku, namun hatiku berteriak menolak, terbelah antara hasrat dan dosa yang menghantui.

“Treng teng!! Teng!!! Teng!!!”

Suara bising tiba-tiba memecah kesunyian gending yang mengalun dari hutan-hutan di sekelilingku. Awalnya, aku hampir mengabaikannya, namun suara itu semakin mendekat, diiringi teriakan dan sebuah helm yang melayang ke arahku.

“Jangan dekat-dekat Danan! Dia sudah punya pacar!”
Suara itu sangat familiar.

Dhuakkk!!Helm itu menghantam wajahku tepat saat aku menoleh ke arah sumber suara.

“CAHYO?!” Aku berteriak, bingung sekaligus kesal dengan kemunculannya yang tiba-tiba dan perbuatannya melempar helm padaku.

“Eh! Ma—maaf, Nan! Niatnya mau ngelempar ke setan genit itu!” sahut Cahyo sambil buru-buru memarkirkan motor Vespa tuanya yang suaranya mengalahkan gamelan gaib di hutan itu.

Aku berdiri dengan bantuan Danan, sementara Cahyo menunjuk perempuan di hadapanku dengan wajah kesal.

“Roro Mayit! Umurmu sudah ratusan tahun lebih! Seleramu masih berondong? Malu kau sama Nyai Jambrong!” teriak Cahyo.

“Kamu ngancem apa lagi pantun, Jul?” bisikku.
“Lha nggak tahu, nyambung gitu aja...” jawab Cahyo asal.

Ternyata benar, sosok perempuan itu adalah Roro Mayit. Cahyo menjelaskan bahwa ia mengetahui keberadaanku dan tentang Roro Mayit dari Mbok Sar.

“Mas Danan…” Suara Roro Mayit kembali terdengar manja, wajahnya tampak cemas setelah kedatangan Cahyo.

“Heh! Heh! Nggak usah sok manja!” Cahyo menanggapi dengan ketidaksukaan yang jelas.
“Berisik! Kau pengganggu!” balas Roro Mayit. Entah mengapa, wujud dan tingkah Roro Mayit semakin mendekati sosok yang membuatku nyaman.

“Jul... telah terjadi sesuatu antara...” aku mencoba menjelaskan.

“Aku tidak suka ada pengganggu! Aku pergi saja!” Roro Mayit tiba-tiba melayang menjauh dari kami.

Anehnya, dia tidak melakukan apapun. Tak ada kutukan, tak ada serangan. Aku masih merasakan betapa mengerikan sesuatu yang berasal dari dalam dirinya, namun dia benar-benar tidak menyerang kami.

Yang ia tinggalkan hanyalah... rasa bersalah.

***
Read 10 tweets
Nov 28
PERANG TANAH DANYANG
Part 8 - Rayuan Kegelapan

Perang Tanah Para Danyang berakhir dengan tragis. Empat manusia yang berjuang untuk keseimbangan kini tidak lagi bernyawa...

#bacahorror Image
Hujan mengguyur deras, disertai angin kencang yang menerbangkan dedaunan dan menghantam pepohonan. Kilat menyambar tanpa henti, menerangi kegelapan malam dengan cahaya yang menakutkan.

Di tengah badai ini, pasukan Cakra Manunggal berdiri tegak di atas reruntuhan istana salah satu kerajaan sekutu Tunggul Giri yang telah mereka tundukkan.

Prabu Ramajaya, dengan pakaian perangnya yang penuh noda darah dan lumpur, berdiri di depan rakyat yang ketakutan, suaranya menggema melawan gemuruh badai.

“Mulai saat ini, seluruh rakyat di kerajaan ini berada dalam perlindungan Kerajaan Indrajaya!” serunya tegas.

Para warga yang sebelumnya gemetar karena ketakutan mulai merasakan sedikit ketenangan. Nyawa mereka telah terselamatkan dari ritual penumbalan massal yang diinisiasi oleh raja mereka sendiri, yang kini telah tewas di tangan pasukan Indrajaya.

Sementara itu, Abimanyu berdiri di sisi Prabu Ramajaya, mengamati badai yang kian menggila. Petir menyambar hanya beberapa meter dari mereka, membuat suasana semakin mencekam.

“Kerajaan Tunggul Giri dan tiga kerajaan lainnya telah kita kuasai,” ujar Abimanyu, suaranya dingin namun penuh tekad. “Hanya ini yang bisa kita lakukan dalam peran kita sebagai manusia.”

Prabu Ramajaya menoleh dengan pandangan yang penuh keraguan. “Apa saatnya kita menyusul Ayah dan Baswara?” tanyanya, mengacu pada pasukan lain yang bertempur di wilayah berbeda.

Abimanyu menggelengkan kepala, rahangnya mengeras. “Kau baru saja memberikan pernyataan pada rakyat-rakyat itu,” ucapnya tajam, “dan sekarang kau berencana meninggalkan mereka?”

Ramajaya tersentak oleh teguran itu, namun kegelisahan di dalam hatinya terus bergolak. “Aku hanya merasa harus melakukan segala cara untuk menghentikan bencana ini,” jawabnya dengan nada penuh keputusasaan. “Bahkan jika nyawaku harus menjadi taruhannya.”

Abimanyu melangkah maju, menatap kakaknya dengan tatapan tajam yang penuh amarah dan tekad. “Jangan sombong, Ramajaya!” suaranya memotong derasnya hujan. “Tidak semua masalah harus kau tuntaskan sendiri. Ada saatnya kita menunggu.

Percayalah pada mereka yang tengah berjuang, dan pada takdir Sang Pencipta!”
Perkataan itu menghantam Prabu Ramajaya seperti guntur di dadanya. Ia menunduk sejenak, menggenggam gagang pedangnya yang dingin. Ia tahu Abimanyu benar, namun hatinya masih gelisah.

Di kejauhan, suara genderang perang masih terdengar, tanda bahwa pertempuran di Tanah Danyang belum usai. Namun untuk saat ini, Prabu Ramajaya memutuskan untuk bertahan bersama rakyat yang ia lindungi, berusaha memberi mereka harapan di tengah bencana yang mencekam.

Dengan tatapan yang lebih tenang namun tetap penuh tekad, ia memandang badai yang terus mengamuk di langit.

“Kami serahkan sisanya padamu, Ayah…” gumamnya pelan, seakan berdoa kepada mereka yang masih bertempur dan kepada Sang Pencipta, memohon kekuatan untuk melindungi orang-orang yang ia kasihi.

***
Read 14 tweets
Nov 21
PERANG TANAH DANYANG
Part 7 - Perang Pertama

Tiga zaman bersatu dalam peperangan makhluk dari alam yang tak kasat mata. Nyawa Manusia adalah amunisisnya..

#bacahorror @ceritaht @IDN_Horor @bacahorror Image
Suara derap kuda terdengar memecah keheningan malam, mendekati barak prajurit dengan cepat. Para penunggangnya turun tergesa-gesa, wajah-wajah mereka penuh ketegangan. Mereka langsung menuju tenda besar di tengah barak, tempat raja berada.

"Berhenti! Raja ada di dalam!" seorang penjaga menahan mereka dengan tangannya terentang.

"Kami harus bertemu yang mulia! Ini keadaan darurat!" Pemimpin mereka bersikeras.

Penjaga itu memerhatikan mereka sejenak, mengenali lencana-lencana khas yang menghiasi seragam mereka. Pasukan elit Cakra Manunggal, yang langsung di bawah komando Prabu Ramawijaya.

"Baiklah, tunggu sebentar…" ujar sang penjaga sambil memasuki tenda.

Ramawijaya telah menduduki tahta dan membangun kerajaan Darmawijaya sebagai kerajaan dengan pertahanan militer yang kokoh.

Mereka mampu menggetarkan kerajaan besar di sekitarnya, namun bukan itu tujuan utamanya. Perang para danyang semakin dekat, dan bertahun-tahun lamanya, bencana semakin melanda.

Tak lama kemudian, mereka diizinkan masuk. Di dalam tenda, Prabu Ramawijaya dan para patihnya tampak berkumpul, membahas sesuatu yang tampaknya mendesak.

Pemimpin pasukan itu melangkah maju dan berkata tegas, "Yang mulia, kabar ini harus disampaikan segera."

Prabu Ramawijaya menatapnya tajam. "Panglima Cakra, aku mengenalmu terlalu baik untuk tahu bahwa kau tak akan menggangguku tanpa alasan. Katakan."

Dengan satu langkah cepat, Panglima Cakra mendekat dan tiba-tiba mencabut pedangnya. Patih-patih lain sontak bereaksi, namun terlambat. Pedang Cakra menembus dada Patih Renggana.

"Cakra! Apa yang kau lakukan?!" Patih Raksawira menghunus pedangnya, mengarahkannya tepat ke leher Panglima Cakra.

Namun Panglima Cakra tak bergeming. "Aku tak akan bicara sampai pengkhianat ini tak lagi bernyawa," katanya dingin, sementara para penjaga dipanggil untuk menyelamatkan Patih Renggana yang sekarat.

Patih Raksawira tak bisa menahan amarahnya dan mengangkat pedang untuk menebas leher Panglima Cakra. Tapi tiba-tiba, suara berat terdengar dari arah pintu.

"Tahan, Raksawira!"

Semua mata tertuju pada seorang pria dengan pakaian lusuh dan tubuh penuh debu yang baru saja memasuki tenda. Walau penampilannya sederhana, auranya membuat para patih berhenti seketika.

"Abimanyu?! Cakra telah mencoba membunuh Patih Renggana! Kita tak bisa membiarkannya begitu saja!" seru Raksawira, mengarahkan ujung pedangnya ke Panglima Cakra. Namun, Abimanyu hanya menatap tajam.

Seluruh patih menundukkan kepala sedikit, sadar betul siapa pria itu.

Dia adalah Abimanyu Darmawijaya, pewaris dari Prabu Arya Darmawijaya, yang berjanji mendampingi Prabu Ramawijaya untuk menjaga Kerajaan Indrajaya sejak kepergian Raja Indrajaya.

Patih Renggana menekan luka di dadanya, mencoba mempertahankan nyawanya. Setiap tarikan napas terasa seperti api yang membakar, namun ia berusaha memperpanjang hidupnya sejenak, berharap ada seseorang yang membantunya.

Srratt!

Dalam sekejap, Abimanyu sudah berada di samping Prabu Ramawijaya, dan di tangannya tergenggam kepala Patih Renggana yang sudah terpenggal dari tubuhnya. Hening menggantung di udara, seakan waktu berhenti sejenak.

Tenda itu bergetar dalam kesunyian, hingga tubuh Patih Renggana menyadari bahwa ia telah kehilangan kepalanya. Seketika, semburan darah memuncrat deras, membuat para patih mundur ngeri.

“Jadi, dia pengkhianatnya?” tanya Prabu Ramawijaya dengan suara tenang, nyaris tak terpengaruh oleh pemandangan mengerikan itu.

Abimanyu mengangguk ringan sambil duduk di sisi Prabu Ramawijaya. “Benar. Dia adalah patih di kerajaan kita, namun sekaligus Raja di kerajaan Tunggul Giri.”
Read 15 tweets
Nov 14
PERANG TANAH DANYANG
Part 6 - Tanah Para Danyang

Awal mula Perang Para Danyang di masa lalu terungkap. Takdir darah sambara terikat di masa itu

#bacahoror Image
Suara gemuruh dari puncak Mahameru menggema, menggetarkan bumi dan langit. Mahameru, yang berdiri megah di Jawa Timur sebagai paku penyeimbang Pulau Jawa, kini memuntahkan isinya.

Dharrr!!!

Batu-batu besar terlontar dari kawahnya, menghantam pepohonan di kawasan Kalimati, menciptakan kepanikan di antara mereka yang ada di sana.

"Menyingkir!" teriak seseorang, memberi isyarat pada sekelompok pasukan yang menerobos letusan dahsyat itu.

"Ini gila! Siapa yang terpikirkan untuk menerobos letusan gunung seperti ini?!" teriak Raja Indrajaya dengan napas memburu, mencoba menghindari lontaran batu panas yang jatuh dari langit.

"Siapa lagi kalau bukan Pangeran Baswara, putra andalanmu itu, yang mulia..." sahut Panglima Brasma sambil melirik ke arah Baswara yang tanpa ragu maju lebih dahulu.

Di depan, Baswara membuka jalan dengan segenap tenaga, dibantu oleh kawanan kera putih yang melompat lincah di antara lahar. Seekor kera putih menari melompat di antar pepohonan, membaca aliran energi panas yang memancar dari gunung, menghindari setiap bahaya yang muncul.

"Ayah! Dia di sana!" teriak Baswara, menunjuk ke arah pusaran api yang berkobar di antara kepulan awan panas di puncak Mahameru.

Raja Indrajaya dan Panglima Brasma menyaksikan dengan mata mereka sendiri kekacauan itu, kekuatan yang tak terkendali memutar-mutar di puncak tertinggi pulau.

"Kalian, kembali! Setelah ini urusan kami sekarang!" seru Raja Indrajaya kepada para prajurit yang mendampingi mereka.

"Ta—tapi, yang mulia! Tempat itu terlalu berbahaya! Biarkan kami ikut bersama!" pinta seorang prajurit dengan nada cemas.

"Jangan sia-siakan nyawa kalian. Ramajaya dan Kerajaan Indrajaya masih membutuhkan kalian!" Raja Indrajaya menegaskan, suaranya penuh kewibawaan.

Walaupun hati mereka berat, para prajurit itu pun memutuskan untuk mundur, meninggalkan tiga sosok yang akan melanjutkan perjalanan ke pusat bencana.

"Prajurit Indrajaya!" panggil Baswara tiba-tiba. Ia menghampiri para prajurit yang berbalik badan. Mereka menoleh, menatapnya dengan kebingungan.

“Sampaikan salamku pada Ramajaya, dan berikan ini padanya.” Baswara melepas sebuah ikatan tali dari pinggangnya dan menyerahkannya kepada salah satu prajurit.

Begitu tali itu berpindah tangan, prajurit tersebut terhenyak oleh beban kekuatan yang terkandung di dalamnya. Dengan susah payah, ia menggenggam tali itu.
Read 12 tweets

Did Thread Reader help you today?

Support us! We are indie developers!


This site is made by just two indie developers on a laptop doing marketing, support and development! Read more about the story.

Become a Premium Member ($3/month or $30/year) and get exclusive features!

Become Premium

Don't want to be a Premium member but still want to support us?

Make a small donation by buying us coffee ($5) or help with server cost ($10)

Donate via Paypal

Or Donate anonymously using crypto!

Ethereum

0xfe58350B80634f60Fa6Dc149a72b4DFbc17D341E copy

Bitcoin

3ATGMxNzCUFzxpMCHL5sWSt4DVtS8UqXpi copy

Thank you for your support!

Follow Us!

:(