Kata “Arab”, di Indonesia, dulu sering diasosiasikan dengan “habib” berikut sepaket penampilan, kegiatan dan profesi yang khas —jubah, salawatan, ratib al-haddad, simtud durar, ustaz, atau pedagang.
Namun, sejak Reformasi 1998 hingga kini, habib menemukan medan ekspresi publik yang baru di gelanggang politik—dengan efek kejut yang membahana.
Apa pasal? “Habib”—karena dipandang sebagai keturunan Nabi—selama ini dianggap memiliki otoritas religius dan kini memasuki kontestasi politik. Lalu, apakah suara politik mereka juga memiliki otoritas religius?
Tapi, sebelum ke situ, muncul pertanyaan yang lebih fundamental: siapa sesungguhnya yang disebut sebagai “Arab” itu? Apakah kearaban ditentukan oleh faktor genetis, lokasi geografis, etnis, budaya, tampilan fisik, atau bahasa — atau semata-mata konstruksi sosial?
Siapa pula “habib”? Apakah setiap orang Arab itu “habib”? Apakah habib itu kategori yang terberikan begitu saja (ascribed status) ataukah kategori kualifikasi/capaian/prestasi (achieved status)? Betulkah mereka layak menyandang privelege dan otoritas keagamaan?
Bagaimana pula hubungan kearaban dengan keislaman? Bagaimana Al-Quran mengulas kata 'Arab (dengan medan semantiknya, derivatifnya) serta kata² kontrasnya ('ajam dan a'rab)?
Bagaimana karakteristik bahasa Arab sebagai kendaraan bagi pesan/makna/spirit Qurani yang berlapis-lapis, secara meluas-mendalam-
meninggi?
Kaidah kebahasaan "ziyadatul mabani tadullu 'ala zidayatil ma'ani" — sebagai sekadar satu ilustrasi —menunjukkan daya derivasi bentuk kata yang berimplikasi kepada kekayaan, nuansa, dan fleksibilitas makna yang luar biasa. Bagaimana pula kata 'Arab termuat di dalam hadis?
Bagaimana kata 'Arab dalam khazanah perkamusan, khususnya sejarah kata dan makna aslinya, etimologinya? Bagaimana ia hadir sebagai bahasa yang hidup (living language) dalam dinamika masyarakat dan sejarah?
Bagaimana sejarah masuknya keturunan Arab ini ke Indonesia dan hubungannya dengan penyebaran Islam di sini? Betulkah sebagian (besar) Walisongo itu keturunan Arab? Bagaimana pula kearaban bertemu dengan keragaman lokalitas di Indonesia?
Betulkah keturunan Arab di Indonesia ini adalah elemen asing/eksklusif dalam tenunan bangsa/masyarakat Indonesia karena, salah satu faktornya, konsep kafaah yang dilandasi spirit kemurnian/keunggulan nasab?
Apakah kearaban itu merupakan fenomena tunggal dan seragam, ataukah memiliki spektrum perbedaan yang luas?
Buku ini berupaya membedah fenomena tersebut dengan pisau analisis fenomenologi, semiotika, sosiologi, dan sejarah.
Kesimpulan akhir buku ini mungkin mengoyak-koyak common sense dan stereotyping yang kadung established di kalangan publik Indonesia terhadap fenomena kearaban/kehabiban.
Terbit tanggal tujuh
bulan April 2022 — hanya sepekan lagi!
• • •
Missing some Tweet in this thread? You can try to
force a refresh
Allamah Thabathaba’i bercerita bahwa guru beliau, almarhum ‘Ali Agha Qadhi, pernah menuturkan sebuah kisah mengagumkan tentang lapar. Singkat cerita demikian: “Pada suatu masa, di zaman para nabi terdahulu, ada tiga orang tengah melakukan perjalanan bersama-sama.
Ketika malam tiba, mereka pergi menuju ke berbagai arah yang berbeda dengan tujuan untuk mendapatkan makanan, tetapi sepakat untuk bertemu keesokan harinya pada suatu tempat dan waktu tertentu. Salah seorang dari mereka sudah diundang (untuk makan) oleh seseorang.
Orang kedua kebetulan juga menjadi tamu bagi seseorang. Orang ketiga tidak tahu hendak pergi entah ke mana. Dia berkata dalam hati bahwa dia harus pergi ke masjid untuk menjadi tamu Allah. Dia menghabiskan malamnya itu di masjid, tetapi tidak mendapatkan makanan.
حدثنا عمرو بن خالد قال حدثنا الليث عن يزيد عن أبي الخير عن عبد الله بن عمرو رضي الله عنهما أن رجلا سأل النبي صلى الله عليه وسلم أي الإسلام خير قال تطعم الطعام وتقرأ السلام على من عرفت ومن لم تعرف
HR Bukhari- Muslim
Ada yg bertaya kepada Nabi: Islam manakah yg lebih baik? Nabi menjawab: memberi makan dan memberi salam baik kepada orang yang kamu kenal atau tidak. Hadits ini diriwayatkan oleh Bukhari-Muslim. Ini Hadits sahih.
Memberi makan adalah salah satu bentuk kepedulian sosial. Dalam bahasa yg lebih umum, Nabi menekankan kepada saling menolong untuk kesejahteraan masyarakat. Mereka yg lapar akan mudah tergoda berbuat kejahatan. Maka tugas kita adalah bagaimana menciptakan kesejahteraan sosial.
Setiap hari sepanjang hidup kita selalu melakukan ibadah puasa namun mungkin tak menyadarinya.
Shalat adalah puasa kecil secara kuantitatif karena dilakukan dalam beberapa menit sekaligus besar secara kualitatif karena memuat beberapa syarat lebih ketat dibanding puasa makan dan minum.
Shalat wajib, karena setiap hari dilakukan seumur hidup kecuali bagi wanita haid dan karena syarat-syaratnya yang ketat seperti membaca alfatihah, surah, tasyahhud dan zikir-zikir lainnya terasa lebih berat dilakukan daripada puasa wajib.
Gerakan pembacaan kitab Al Quran di kawasan Malioboro merusak imaji khalayak tentang Kota Jogya sebagai Kota Budaya dan Kota Pelajar.
Jogya juga bukan Kota Agama, bukan Kota Islam meski tidak anti agama dan anti Islam.
Jogyakarya adalah tempat kelahiran Muhamadiyah, Islam moderat. Dari kota ini tampil tokoh-tokoh Islam kaliber nasional yaitu KH. Ahmad Dahlan, A.R. Fachruddin, dan Bagoes Hadikoesoemo. Namun mereka tidak pamer Islam
di jalanan.
Aksi baca al Quran di jalanan menunjukkan kebangkitan sektarianisme Islam bahkan radikalisme sudah berkembang di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) - beberapa tahun terakhir.