Itu adalah kali terakhir aku berbicara dengan ibu..
Esok paginya, kutemukan ibu sudah dalam keadaan tergeletak kaku tak bernyawa dengan mata yang terbelalak di lantai rumah…
Sejak hari itu, aku sadar semuanya tidak akan kembali normal..
Kidung keramat dari Sinden Pengabdi Setan yang tidak pernah terdengar lagi selama puluhan tahun , kini mulai menghantui seluruh warga desaku tanpa terkecuali…
otw upload ya, biar nanti malam sudah siap dibaca.. dibantu retweet dulu ya 🙏
sebelum baca , bisa denger opening dulu biar dapet suasananya
Babak 1 - Kidung Penyambut Malam
Panggung pementasan..
Aku berdiri mengagumi kemegahan panggung yang berdiri tak jauh dari desa tempatku tinggal. Sebuah panggung yang dibangun dengan susunan kayu dengan latar pemandangan bukit di belakangnya.
Sayangnya, panggung ini sudah tidak pernah digunakan dan hanya dibiarkan begitu saja dengan kayu-kayunya yang mulai lapuk, seolah menjanjikan bahwa ia akan hancur tak lama lagi.
Memang, hanya lahan kosong yang berbatasan dengan hutan yang ada di sekitar tempat ini.
Tapi kami anak-anak cukup senang bermain layaknya seorang penyanyi dan penari di atas panggung reyot ini.
Dari atas panggung, kami selalu merasa bahwa sebelumnya pernah ada rumah-rumah atau desa yang berada di sekitar.
Apalagi pemandangan lahan yang sudah ditumbuhi semakpun seolah tidak bisa menutupi bahwa pernah kehidupan di sekitar sini.
“Gendis, Pulang yuk.. sudah sore” Ajak Kia satu-satunya teman bermain yang seumuranku di desa.
Aku melihat langit sudah mulai memerah dan segera menuruti ajakan Kia untuk meninggalkan tempat ini.
Walaupun senang bermain di sini, kami tahu dengan jelas bahwa saat matahari mulai terbenam pemandangan di tempat ini tidak akan lagi sama. Gelapnya langit malam merubah tempat ini menjadi lebih layak untuk di huni oleh mereka yang tidak kasat mata.
…
“Dari pendopo hutan lagi?” Tanya ibu yang sepertinya sudah beres menyiapkan makan buat kami.
“Iya bu , main sama Kia”
“Ya sudah, sana mandi dulu.. habis itu makan. Bapak bentar lagi pulang”
Aku menuruti perintah ibu dan segera mengambil handuk menuju kamar mandi yang terpisah di belakang rumah. Dengan segera aku membersihkan tubuhku untuk kembali menemui ibu di meja makan.
Ikan asin dan sayur lodeh. Menu masakan yang selalu menjadi favoritku. Ibu sudah mengambilkan nasi dan meletakanya di hadapanku.
“Sekolahnya gimana? Ada PR nggak?” Tanya ibu.
“Ada, tapi tadi Gendis kerjain duluan sebelum main,“ jawabku sambil memamerkan senyumku pada ibu.
Ibu balik tersenyum dan mengusap kepalaku.
Biasanya ibu tidak bertanya mengenai pekerjaan rumahku karena memang aku sudah terbiasa mengerjakan semuanya sendiri. Mungkin karena aku baru saja masuk SMP ibu khawatir aku akan merasa kesulitan.
Akupun menghabiskan nasi dan sayur lodeh yang sudah disiapkan oleh ibu. Ini sayur favoritku, melihatnya terpampang di depan mata membuatku tidak tahan walau hanya sebentar menunggu bapak.
Belum lama aku selesai membereskan peralatan makanku dari luar terdengar suara berisik yang tidak biasa. Seolah ada warga yang berkerumun tak jauh dari rumah kami.
“Ono opo iku bu?” (Ada apa itu bu?) Tanyaku.
“Mbuh, nggak tahu.. ibu liat dulu..” Balas ibu.
Akupun menyusul ibu dan menyaksikan keramaian yang terjadi di tengah desa.
“Lungo! Aku ora sudi nompo awakmu meneh!” (Pergi! Aku tidak sudi nerima kamu lagi!) Usap Pak Baskoro salah satu perangkat desa di tempat ini.
Di depanya terlihat seorang wanita masih dengan riasan menangis memohon kepada suaminya itu. Dia adalah Bu Lindri atau sering dipanggil Nyai lindri karena dikenal sebagai pesinden di beberapa kelompok wayang.
“Pak! Itu Fitnah pak… aku ora ono opo-opo karo Ki Joyo Talun, Sumpah pak!”
(Pak! Itu Fitnah pak.. Aku tidak ada apa-apa dengan Ki Joyo Talun) Teriaknya sambil terus menangis.
Namun bukanya berhenti, Pak Baskoro malah semakin kasar. Iya mengambil kendi air yang ada di depan rumahnya dan melemparkanya ke wajah istrinya itu hingga wajah dan tubuhnya terluka dengan pecahan kendi itu.
“Sudah pak, sudah… jangan keterlaluan.” Ucap Mas Jatmiko, salah satu pemuda di desa ini.
“Diam kamu! Kalau ada yang ikut campur, aku pastikan kalian juga senasib dengan dia!”
Mendengar ucapan Pak Baskoro itu, semua warga terdiam dan tidak berani melawan, termasuk mas Jatmiko.
Baskoro adalah salah satu orang terpandang di desa ini. Ia mempunyai pengaruh yang sangat besar. Hanya dengan perintahnya saja, satu orang warga bisa diasingkan dari desa ini.
“S-Sudah Nyai, pergi saja.. daripada Pak Baskoro semakin marah,” ucap salah seorang ibu yang sudah tidak tega melihat penghinaan itu.
Tak ada pilihan lagi, Nyai Lindri sekuat tenaga berusaha berdiri. Ia menatap sekali lagi suaminya yang masih terus mengumpatnya dan berpaling berjalan meninggalkanya dengan langkah yang terseok-seok sambil menangis.
Belum cukup puas, Pak Baskoro mengambil sebuah batu sebesar genggaman tangan dan melemparkanya hingga mengenai belakang kepala Nyai Lindri. Dari jauhpun aku melihat darah menetes dari kepalanya.
“Perempuan sundal!” Teriakan Pak Baskoro menghantarkan kepergian Nyai lindri.
Aku yang melihat kejadian itu tidak mampu menahan tangis. Walaupun luka dari lemparan batu itu sakit,
tapi aku yakin itu tidak sesakit luka yang ditorehkan suaminya itu di hati dan perasaanya hingga suara isak tangis Nyai Lindri terdengar di setiap langkahnya.
“Bu, kita tolong nyai lindri bu..” Pintaku pada ibu.
“J—jangan nak, kalau ketahuan keluarga kita bisa celaka,” larang ibu.
Tepat saat Nyai lindri meninggalkan gerbang desa. Terdengar suara alunan tembang mengalun ditengah kesunyian dengan suara isak tangis di setiap jedanya.
Itu adalah suara Nyai Lindri..
Aku tidak dapat mendengar dengan jelas kata-kata yang dinyanyikan, namun aku berani memastikan tidak ada hati yang tidak terenyuh melihat dan mendengar kejadian saat ini.
Setelah Nyai Lindri menghilang di kegelapan hutan, semua warga membubarkan diri dan masuk kerumahnya masing-masing dalam kesunyian. Tak lama kemudian bapakpun pulang ke rumah, wajahnya terlihat sedikit bingung.
“Pak, bapak tau masalahnya Nyai Lindri?” Tanya Ibu.
“Iya bu, mereka sudah keterlaluan.. bapak mendengar perbincangan Baskoro dengan Ki Joyo talun.” Ucap Bapak.
“Maksud bapak apa?”
“Sudah bu, bukan urusan kita. Lebih baik kita jaga jarak dulu dari mereka..”
Bapakpun terlihat tidak ingin membahasnya dan pergi ke belakang untuk mandi.
***
Ucapan bapak malam itu mulai kumengerti beberapa hari setelahnya. Pak Baskoro membawa seorang perempuan untuk tinggal di rumahnya. Menurut cerita warga, dia adalah salah satu penari yang dikenalkan oleh Ki Joyo Talun.
Bagaimana mereka bisa akrab? Padahal Pak Baskoro menuduh Nyai Lindri berselingkuh dengan Ki Joyo Talun.
Rupanya, itu hanya rencana mereka berdua saja untuk memisahkan Nyai Lindri dari Pak Baskoro agar ia bisa bersama dengan wanita penari itu.
Pak Baskoro juga sering memamerkan kemesraanya dengan perempuan itu di depan warga. Warga yang melihatnya hanya meladeni ucapan pak Baskoro karena takut.
Suatu malam tiba-tiba terdengar suara tembang dengan suara yang lirih.
Warga mencari asal suara itu dan melihat Nyai Lindri di depan desa menyaksikan Baskoro dan wanita itu berduaan dengan mesra.
Wajah Nyai Lindri terlihat begitu kotor dengan baju dan rambut yang berantakan. Ia terus menyanyi sambil meneteskan air mata.
Pak Baskoro yang melihat hal itu segera pergi dan membawa perempuanya masuk kembali ke dalam rumah tanpa menghiraukan Nyai Lindri.
Setelah kejadian itu, setiap malam nyai lindri selalu muncul di desa dengan menyanyikan lagu yang semakin hari semakin terdengar lirih.
Mungkin ia berharap hari Pak Baskoro bisa tergerak dan mau menerimanya kembali.
Sayangnya, yang terjadi adalah sebaliknya..
Saat hari berikutnya Nyai Lindri kembali ke desa. Pak Baskoro sudah bersiap bersama Ki Joyo Talun menyambut kedatanganya.
“Perempuan sundal itu sudah urusanmu, tubuh dan nyawanya sudah tidak ada urusanya denganku” Ucap Pak Baskoro kepada Ki Joyo Talun.
Mendengan kata-kata itu Ki Joyo Talun tersenyum. Ia segera mengajak anak buahnya keluar desa untuk menghampiri Nyai Lindri.
Seketika wajah Nyai Lindri ketakutan. Iapun berusaha untuk pergi namun aku yakin orang-orang itu mampu mengejarnya.
Yang ku ingat saat itu hanya suara teriakan Nyai Lindri dari dalam hutan, dengan suara tawa Ki Joyo Talun dan anak buahnya.
Malam ini aku tidak bisa tidur dengan tenang setelah melihat kejadian tadi. Kadang aku berpikir apakah harta dan kekuasaan bisa merubah seorang manusia menjadi lebih buruk dari pada setan.
***
Siang itu sepulang sekolah aku bermain kembali ke pendopo panggung tua bersama Kia. Kali ini tempat ini sedikit berbeda. Seperti ada bekas orang yang berada di tempat ini. di sekitar pendopo juga ada bekas kembang yang sudah kering.
Aku dan Kia bermain seperti biasa, namun samar-samar aku seperti melihat seseorang melintas di sekitar kami. Namun saat aku menoleh, tidak ada siapa-siapa di sana.
Seperti biasa akupun bermain sampai sore dan segera kembali ke rumah sebelum ibu mencariku.
Malam itu tidak lagi terdengar suara nyanyian Nyai Lindri, namun sepertinya tidak ada satupun warga desa yang peduli.
Semua warga desa seperti berpura-pura tidak mempedulikan dengan apa yang terjadi dengan Nyai Lindri kemarin dan melewati malam itu begitu saja.
Namun semua berubah di pagi hari dengan apa yang seorang warga temukan.
Tiba-tiba ada seorang warga berteriak histeris dan membangunkan hampir seluruh warga desa.
Semua orang berkumpul menatap ke arah gerbang masuk desa. Pemandangan mengerikan terlihat dengan jelas di sana.
Jasad Nyai Lindri menggantung di tiang gapura desa dengan tali tambang yang terikat di lehernya…
***
Wajah Pak Baskoro terlihat kebingungan melihat kejadian itu. Ia tidak menyangka niat busuk yang ia rencanakan dengan Ki Joyo Talun sampai membuat Nyai Lindri berani mengakhiri hidupnya dengan cara seperti ini.
Tak berhenti sampai di situ, Pak Baskoro semakin panik saat melihat isi lembaran kertas yang diganjal dengan sandal, tepat di bawah jasad yang menggantung itu.
…
----
Awak sing ringkih iki ora bisa mbales kabeh tumindakmu sing njijiki...
Nanging sampeyan kabeh kudu ngrasakake lara sing dakalami..
Bakal ono balesane kabeh.. Aku bakal nggawe sampeyan rumangsa luwih saka iki ...
Aku ngedol kabeh jiwa lan ragaku marang wong demit lan setan manggon ing neroko, kanggo males loro iki ...
----
( Tubuh lemah ini tidak mampu membalas semua perbuatan keji kalian…
Tapi kalian harus merasakan penderitaan yang kualami..
Akan ada yang membalas semuanya.. akan kupastikan kalian merasakan yang lebih dari ini…
Aku jual semua jiwa dan ragaku pada penghuni neraka,untuk membalas rasa sakit ini…)
…
Membaca tulisan itu seketika seluruh warga menjadi merinding. Nyai Lindri meninggal dengan membawa dendam. Itu menjadi terlihat jelas saat melihat jasadnya dengan mata yang masih terbelalak dengan mengerikan.
“Gendis.. pulang, jangan diliatin” Perintah ibu yang segera menarikku.
“I—Iya bu”
Belum pernah aku melihat pemandangan semengerikan ini seumur hidup. Ibu berkali-kali berkata padaku untuk melupakan kejadian itu dan terus mendoakan Nyai Lindri.
Namun tetap saja, menghilangkan bayangan wajah jasad Nyai Lindri dalam ingatanku tidaklah semudah itu.
***
Malam semakin larut, suasana mencekam dari kematian Nyai Lindri tidak pudar walau sudah beberapa hari berlalu.
Ada kutukan yang ia janjikan dengan nyawanya sebagai bayaranya..
Sesepuh desa dan orang-orang yang punya kemampuan memastikan itu. menurut mereka, desa ini hanya tinggal menunggu waktu untuk menerima bala bencana yang dijanjikan Nyai Lindri.
“T---Tolong!! Tolong pak!”
Tiba-tiba terdengar suara teriakan yang memecah heningnya malam itu. ini sudah hampir tengah malam, seharusnya sudah tidak ada lagi warga desa yang masih berada di luar rumah. Namun teriakan orang itu pasti memanggil warga untuk keluar.
“Ono opo mas?” (Ada apa mas?) tanya salah seorang warga.
“T—tolong pak.. di desa sebelah, desa saya..”
“Desa bapak kenapa?”
“Kami sedang mengadakan pementasan wayang Ki Joyo Talun.. lalu ada kejadian aneh pak” Ucap orang itu dengan terbata-bata.
“Kejadian aneh apa maksud bapak?”
Warga desa sebelah itu menceritakan, saat di tengah-tengah pertunjukan wayang Ki Joyo Talun tiba-tiba semua pemain terhenti serentak. Tidak ada satupun sinden dan pemain gamelan yang mengeluarkan suara. Entah mengapa bisa begitu.
Tak lama setelahnya terdengar suara seseorang nyinden dan nembang dengan suara yang aneh. Warga desa melihat ke sekitarnya namun tidak ada satupun petunjuk asal suara itu.
Suara itu seperti mengalun ke sekeliling warga seolah ada seorang sinden yang nembang di sekitar warga. Anehnya Ki Joyo Talun terlihat ketakutan. Matanya menuju ke arah suara itu dengan tubuh yang gemetar. Seluruh anggota pementasanpun terlihat aneh.
Dan tepat saat kidung itu selesai, Ki Joyo Talun dan seluruh anggotanya tergeletak tak bernyawa di tempatnya masing-masing dengan mata yang terbelalak dan darah yang terus mengucur dari telinganya.
Seketika seluruh warga desa itu panik mencari pertolongan ke semua desa terdekat.
“Saya sengaja menuju ke desa ini karena sepertinya saya mengingat suara itu, suara itu mirip salah satu sinden yang berasal dari desa ini… Nyai Lindri.”
Seketika seluruh warga desaku panik. Suasana hening di malam itu berubah menjadi keramaian dari suara warga yang mempertanyakan nasib mereka.
“Pak, apa ini seperti yang diceritakan eyang dulu?” Tanya ibu pada bapak.
Bapak terlihat berpikir, namun sepertinya ia mengingat sesuatu, begitu juga dengan beberapa warga.
“Nyai Lindri membangkitkan kutukan itu dengan nyawanya sebagai bayaranya,” ucap salah satu warga desa.
Kutukan? Desa ini pernah kena kutukan?
Aku tidak pernah mendengar cerita tentang ini sebelumnya. Dari warga yang berbisik-bisik, aku mengengar mereka membicakan tentang kutukan dari sinden pengabdi setan yang pernah tinggal di sekitar tempat ini.
“Ini semua salah Baskoro,” ucap Mas Jatmiko yang sebenarnya sudah sangat kesal dengan kelakuan Pak Baskoro.
“Benar, harusnya dia yang bertanggung jawab,” tambah warga lainya.
Kekesalan mereka sudah memuncak dan bersiap menghampiri rumah Pak Baskoro. Tapi beberapa warga menghadangnya.
Mereka mengingatkan bahwa sebelumnya ada warga desa yang mencoba berurusan dengan Baskoro dan warga itu berakhir di tengah hutan dengan tubuh babak belur hingga cacat. Akhirnya orang itupun memilih untuk meninggalkan desa karna terus diteror anak buah Baskoro.
Bencana yang menimpa kelompok wayang Ki Joyo talun tidak dapat dilupakan begitu saja oleh warga desa.
Kisah itu membuat warga desa was-was. Bahkan Pak Baskoro sampai beberapa kali mengundang dukun untuk melindunginya.
Dia percaya hal itu bisa melindunginya dari Nyai Lindri.
***
Malam selasa suro…
Aku mengingat saat itu bulan purnama bersinar begitu terang. Di depan teras rumah aku menunggu Bapak dan Ibu yang seharusnya sudah pulang dari tadi.
Entah hanya halusinasiku atau bukan. Samar-samar aku melihat bayangan yang kadang terlihat dan kadang menghilang melintas di hadapanku.
Sekilas bayangan itu menyerupai seorang wanita yang mengenakan kebaya.
Tak lama setelah itu , sayup-sayup aku mendengar suara seorang wanita yang sedang bernyanyi. Suara itu terdengar ke seluruh penjuru desa berupa suara tembang yang dinyanyikan seorang sinden tanpa iringan musik.
Seketika aku merasa merinding dan memilih untuk masuk ke rumah.
Setelah aku masuk, tak lama kemudian terdengar suara langkah kaki yang terburu-buru masuk ke dalam rumah. Itu adalah suara bapak dan itu.
Mereka terburu-buru menuju kamarku dan wajahnya terlihat lega saat menemukanku.
“Ada apa to bu?” Tanyaku.
“Nggak.. nggak papa nduk, tidur saja.. nanti ibu temenin” Balas ibu sambil mengatur nafasnya.
Ibu meninggalkanku sebentar untuk berbicara dengan bapak. Samar-samar aku mendengar mereka sedang membicarakan Nyai Lindri dan Baskoro sebelum akhirnya mereka selesai dan ibu kembali ke kamar.
Saat ibu mendekat aku baru menyadari keanehan wajah ibu. Wajahnya terlihat cemas.
Tepat saat aku mulai tertidur, sayup-sayup aku mendengar suara tembang yang dinyanyikan seseorang. Suaranya terdengar tidak jauh dari rumah kami, tapi… suaranya terdengar lirih dan menakutkan…
Seketika saat itu juga wajah ibu berubah.
Suara tembang itu tidak bergerak seperti sebelumnya, ia berhenti di dekat rumah dan tidak berpindah.
“Sebentar ya nduk..” Ucap Ibu meninggalkanku.
Tak lama terdengar suara pintu rumah terbuka. Aku tidak tahu apa yang terjadi di sana. Aku merasa ibu dan bapak di luar cukup lama sampai akhirnya ibupun kembali ke kamarku.
“Bu, itu siapa yang nembang malam-malam begini?”
Tanyaku yang masih mendengarkan suara seorang wanita sedang ‘nyinden’ dengan suara yang tidak jauh dari tempat kami berada.
“Sudah nak, jangan dihiraukan.. Tidur yang nyenyak ya,” ucap ibu lagi dengan mimik wajah yang seolah terlihat ketakutan.
Walau begitu, ibu tetap menenangkanku dengan menemaniku tidur sambil membelai rambutku. Ia menggumam menyanyikan lagu untuk menenangkanku. Dan itu berhasil membuatku tertidur.
Tapi…
Itu adalah kali terakhir aku berbicara dengan ibu..
Esok paginya, kutemukan ibu sudah dalam keadaan tergeletak kaku tak bernyawa dengan mata yang terbelalak di lantai rumah…
“B—Bapak! Ibu kenapa pak..” Aku berteriak sambil menangis melihat kondisi ibu yang mengenaskan.
Bapak segera berlari menuju kamarku. Tubuhnya seketika lemas tak berdaya sambil terus memeluk ibu dalam tangisnya.
Bapak terus memastikan nafas dan jantung ibu. Namun sama sekali tidak ada pergerakan hingga akhirnya bapak membacakan doa dan menutup mata ibu.
Aku terus menangis saat itu. Bapak berusaha bersikap tegar untuk menenangkanku. Namun ini benar-benar tidak mudah.
Suara ramai terdengar dari luar. Aku dan bapak mencoba memeriksanya dan berniat mencari pertolongan untuk membantu kami mengurus jenasah ibu.
Namun yang terjadi benar-benar di luar nalar.
Warga terlihat buru-buru ke berbagai tempat. Ada yang menggotong keranda di masjid, ada yang memasang bendera kuning, dan terlihat beberapa warga yang menangis di depan rumahnya.
“Pak, Bu Citra dan anaknya meninggal semalam..” Ucap Mas Jatmiko yang kebetulan melewati rumah kami bersama warga lainya.
Tentu saja kami kaget mendengar berita itu, apalagi bukan hanya bu citra. Istri muda Pak Baskoropun dikabarkan ditemukan meninggal pagi ini.
Tapi, raut wajah warga desapun berubah saat kami menceritakan kondisi ibu.
Semua meninggal dengan kondisi yang sama. Mata terbuka dan darah yang mengalir dari lubang telinga.
Sejak hari itu, aku sadar semuanya tidak akan kembali normal..
Kidung keramat dari Sinden Pengabdi Setan yang tidak pernah terdengar lagi selama puluhan tahun , kini mulai menghantui seluruh warga desaku tanpa terkecuali…
…
Menjelang siang, jenasah ibu bersama seluruh jenasah korban kutukan sinden itu dikumpulkan di balai desa. Warga membacakan doa agar roh mereka bisa tenang sebelum dikuburkan.
Terlihat wajah cemas dari seluruh warga desa yang berada di sana. Pak Baskoro tidak ada di tempat itu, padahal istrinya barunya juga terbaring diantar jenasah-jenasah ini.
Dari luar terdengar suara mobil melintas melewati balai desa. Warga memperhatikan keluar dan menemukan Pak Baskoro tengah meninggalkan desa dengan membawa barang-barangnya.
“Dia pasti mencoba menyelamatkan dirinya sendiri” ucap salah seorang warga.
“Kita juga harus mencari cara untuk menghentikan ini semua, kita tidak tahu kapan tembang terkutuk itu akan terdengar lagi..” Bapak mencoba berdiskusi dengan beberapa orang yang berada di balai desa,
Berbagai pendapat bermunculan, mulai dengan memanggil orang pintar hingga mengungsi. Namun keluarga pak baskoro yang sudah menggunakan dukun saja masih tidak selamat, hingga akhirnya tidak ada titik tengah dari perbincangan itu.
“Mungkin, aku kenal seseorang yang bisa membantu masalah ini.” Tiba-tiba Mas Jatmiko bergabung dalam perbincangan ini.
Warga mempertanyakan dengan apa yang dimaksud oleh Mas Jatmiko.
Ia menceritakan kejadian saat dulu ia ditipu saat bekerja di sebuah proyek. Mas jatmiko dijebak untuk tinggal di sebuah mess di sebuah desa di tengah hutan. Sebuah desa yang ternyata dihuni makhluk ghaib saat malam, dan ia ingin ditumbalkan bersama pekerja yang lain.
“Beruntung ada salah seorang pekerja yang memiliki teman yang mengerti hal ghaib, mereka menolong kami dari semua kutukan dan serangan makhluk ghaib di sana” Cerita mas Jatmiko.
Warga yang mendengar tidak menyangka bahwa Jatmiko pernah mengalami hal ini.
“Mereka dukun?” Tanya bapak memastikan.
Mas Jatmiko menggeleng.
“Mereka hanya pemuda biasa, salah seorang memiliki pusaka berupa keris. Dan katanya salah seorang lagi dijaga oleh roh makhluk berwujud Kera raksasa…
Saat itu Mereka menyelamatkan para pekerja dari desa terkutuk yang akhirnya kami tahu bernama.. Desa Tanggul Mayit”
Sekilas cerita mas jatmiko terdengar tidak mudah untuk dipercaya. Tapi walaupun emosional, Mas Jatmiko bukanlah seorang pembohong.
Warga yang mendengar cerita itu merasa mendapat harapan dan setuju untuk meminta pertolongan pemuda itu. walau begitu, warga lain juga berencana meminta pertolongan orang lain yang mereka percaya.
Satu hal yang aku tahu..
Kami.. warga desa tidak ingin kalah begitu saja dari kutukan ini. Satu yang kami sepakati, kami yakin bahwa hanya Yang Maha Kuasalah yang mampu menentukan kapan nyawa kami akan meninggalkan jasad kami.
***
(Bersambung…)
Cuplikan part 2 - Pelantun Pesa Iblis
Terlambat… Satu lagi nyawa melayang saat Danan dan Cahyo sampai di desa Jatmiko.
Tak cukup sampai di situ, suara kentongan terdengar memecah keheningan malam.
mereka mengikuti warga menuju asal suara itu dan menemukan orang pintar yang dimintai tolong oleh warga terkapar di mulut hutan.
Sialnya, Ayah gendis masih berada di sana.
Kali ini Danan dan Cahyo harus memasuki hutan itu untuk menolong ayah gendis dan mereka harus menghadapi sosok Setan Sinden yang mengutuk desa ini
Suara senjata beradu di tengah rumah terpencil di pinggir hutan. Bukan sebuah kekacauan, namun sebuah pemandangan unik dimana seorang pendekar bertarung melawan lebih dari lima anak- anak kecil.
“Eyang! Ini jurus kodok terbang dari bukit nestapa!”
Seorang anak melakukan sebuah gerakan lucu sambil mengayunkan tongkat kayunya yang panjang.
“Heh! Kertasukmo, mana ada kodok bisa terbang?!” Ucap pendekar itu sambil tertawa dan menghindarinya.
“Hahaha! Dia emang hobinya gitu, Eyang Daryana! Ngasi nama jurus aneh-aneh, tapi gerakannya nggak jelas!” Tawa Purbawengi yang masih mencari celah untuk menyerang Daryana dengan sebuah senjata pisau di tangannya.
“Biarin! Kata Bapak, ngasi nama jurus harus keren biar lawan gentar!” Balas Kertasukmo.
Brakk!! Brakk!! Brakk!!
Beberapa pukulan sekaligus menjatuhkan anak-anak yang mengepung Daryana.
“Aduh! Sakit, Eyang!” Keluh Wirabumi yang terjatuh merasakan pukulan paling keras diantara yang lainnya. Namun dengan segera Daryana mengulurkan tangannya.
“Maaf, Eyang sengaja. Karena kelak, kamulah yang akan menjadi pelindung mereka semua..” Ucap Daryana
Wirabumi tak lagi mengeluh. Ia berdiri dengan bangga mendengar ucapan Daryana, Eyang kebangganya itu.
Mereka pun berkumpul kembali ke pendopo untuk beristirahat sekaligus menghabiskan waktu di sana.
Itu adalah terakhir kalinya Daryana menemui cucu-cucunya. Perjalanan hidupnya membuatnya menemui wanita-wanita hebat yang mengaguminya.
Keempat istri Daryana terpencar di berbagai daerah dan dari mereka lahirlah orang tua dari Wirabumi, Kertasukmo, Purbawengi, dan keturunan Sambara yang lain.
Setelah menyempurnakan Ajian Pemutih Raga, Daryana melakukan perjalanan untuk mencari ayahnya Widarpa Dayu Sambara. Setidaknya di umur sehatnya ia ingin melakukan perjalanan, dan memastikan keadaan ayahnya yang telah lama menghilang dan tak lagi menemuinya.
Sama seperti Widarpa, walau keberadaanya menghilang dari keluarganya, ia telah meninggalkan serpihan-serpihan kesaktiannya yang mungkin bisa akan berguna bagi keturunannya kelak. Sebelum dirinya menua, Daryana berniat mengamalkan ilmunya serta menemukan ayahnya itu.
Cahyo kembali ke desa itu, tempat dimana ia telah berdosa pada penduduk yang tinggal di sana. Sebuah desa yang dihuni oleh Trah keluarga yang mengucilakna dirinya. Trah Rojobedes...
Semoga teman-teman berkenan meninggalkan komen setelah membaca part ini..
Wabah di desa Darmo Kulon menewaskan lebih dari dua puluh nyawa. Anggoro sudah berusaha semaksimal mungkin, namun ia tak mampu berbuat banyak kepada mereka yang sudah sekarat.
Setidaknya, kedatangan Anggoro menghentikan jumlah korban yang terus bertambah.
“Ustad. Apa yang terjadi antara Mas Cahyo dan Raden Suto Benggolo di bukit? Mengapa Mas Cahyo tidak kembali ke sini?” Anggoro terlihat cemas saat mengetahui Ustad Imran kembali tanpa Cahyo.
“Tidak usah khawatir. Mas Cahyo baik-baik saja. Pasti kamu juga dengar suara khas knalpot vespanya saat melintas tadi, kan?”
Anggoro memang mengingat suara berisik yang melintasi desa setelah subuh. Ia baru sadar bahwa itu suara motor tua milik Cahyo.
“Lantas kenapa Mas Cahyo tidak kembali ke desa, Ustad?”
Ustad Imran menghela nafas menunjukkan wajahnya yang bingung menjelaskan apa yang terjadi.
“Apa yang ia hadapi jauh lebih besar dari bencana yang ada di desa ini, Mas Anggoro. Sesuatu yang benar-benar tak terbayangkan oleh manusia pada umumnya..”
Anggoro membaca raut muka Ustad Imran. Ia mencoba memahami kegelisahan dalam dirinya. Namun satu kabar dari Ustad Imran cukup membuat Anggoro dan warga desa lega.
Ustad Imran mengatakan bahwa tanah di desa Darmo Kulon sudah diruwat. Tak ada lagi kutukan yang mengikat desa tempat mereka tinggal. Jasad-jasad sudah bisa dimakamkan di tanah mereka.
Mendengar kabar itu, warga desa, terutama mereka yang ditinggalkan oleh keluarganya tak mampu menahan air mata.
Kini mereka benar-benar terlepas dari kutukan Raden Suto Benggolo. Namun Ustad Imran sendiri belum bisa tenang. Semua tidak ada artinya jika Cahyo gagal menangani sosok yang jauh lebih berkuasa dari Raden Suto Benggolo itu.
“Setidaknya saya ingin menyampaikan, jika suatu saat ia membutuhkan kemampuan medis saya, saya siap membantu Mas Cahyo kapan saja..” Anggoro membersihkan tangannya sambil menatap langit pagi hari di desanya. Ustad Imran mendekat dan berdiri di sebelahnya.
Bau Melati yang semula menenangkan kini berubah menjadi isyarat kematian.
Sosok pendendam yang membawa ketakutan untuk warga desa. Ia tak akan tenang sebelum dendamnya terpuaskan.
#bacahorror @bacahorror
Namaku Arya, seorang jurnalis lepas yang terbiasa menggali cerita kriminal, misteri, hingga horor.
Adrenalin selalu terpacu saat menemukan kisah misteri yang belum terungkap, dan biasanya aku mendapatkan info dari kantor, narasumber, atau teman-teman.
Tapi kali ini, sumbernya berbeda.
Berulang kali aku bermimpi tentang sebuah desa. Desa yang selalu sunyi saat malam tiba, penduduknya dicekam ketakutan oleh sosok tak kasat mata yang meneror mereka.
Ada legenda yang mengatakan bahwa manusia, hanya menempati satu dari sekian ribu alam yang diciptakan oleh Yang Maha Pencipta.
Alam manusia, alam roh, alam mimpi, alam antara, akhirat, khayangan, atau berbagai macam nama yang sering tersebut di berbagai kepercayaan mungkin memiliki tempat tersendiri yang tak mudah dijangkau oleh manusia.
Tapi di balik itu, setiap alam memiliki ikatannya sendiri dan saling mempengaruhi dengan caranya sendiri.
Tapi satu alam pernah mati menyisakan kesadaran yang memaksa dirinya sebagai alam untuk mendapatkan energi hidup dari alam lain.
Alam itu sadar bahwa tak ada makhluk yang berhak memiliki keinginannya sendiri. Jika hanya ada satu kesadaran untuk semua makhluk di satu alam, maka alam itu akan bangkit menjadi alam yang terkuat.
Jagad Segoro demit. Hanya amarah dan nafsu yang diizinkan untuk ada di sana. Setiap makhluk perlahan akan melupakan dirinya dan menjadi satu kesadaran dengan alam itu.
Hanya kegilaan dan kekacauan yang terus ada mengorbankan darah dan nyawa untuk kembali lahirnya sebuah alam yang telah mati.
Akan ada waktunya alam ini merebut alam manusia untuk menjadi bagian darinya..
***
Dananjaya Sambara. Itu namaku, dan aku adalah seorang manusia. Iya! Aku benar-benar manusia. Namun saat ini aku terpaksa menjebak diriku di alam tempat bangsa setan, dan lelembut berasal. Sesuatu yang mengerikan akan terjadi jika kami tidak menghentikannya.
Sebuah peperangan antara makhluk yang sudah ada sejak ratusan tahun yang lalu akan terjadi dan mengoyak batas alam antara alam manusia dan Jagad Segoro Demit. Aku di sini untuk menghentikan itu semua.
Tapi, sepertinya keberadaanku tidak dibutuhkan.
Di hadapanku berdiri seorang sesepuh leluhur Trah Sambara yang telah mengurung dirinya di Jagad Segoro Demit Selama ratusan tahun. Seseorang yang menjaga kesakralan Trah Sambara dari alam terkutuk.
Eyang Wirabumi Dayu Sambara.
“Terlemah?” Gumamku saat Eyang Wirabumi mendakwaku sebagai trah sambara yang terlemah. Aku tak bisa membantahnya, mungkin ucapannya benar. Aku memang tidak memiliki ajian-ajian sesakti Paklek dan Jagad.
“Bagaimana bisa kalian membawa manusia seperti dia ke alam ini?! Apa tidak ada pilihan lain!!” Teriak Eyang Wirabumi pada Nyi Purbawengi dan Eyang Kertasukmo.
Mereka tak menjawab dan memilih mundur sambil tersenyum. Aku menoleh pada Nyi Sendang Rangu dan ia justru berpaling seolah tak ingin terlibat dengan permasalahan Trah Sambara.
“Arrrgggh!! Mengapa kalian jadi setolol ini! Jangan salahkan aku jika dia mati dalam pertempuran!” Teriaknya sambil berpaling membuang muka, namun baru melangkah sesaat ia kembali menoleh ke arahku dan menunjukkan jarinya ke wajahku.
“Dan kau! Jangan sampai kau menjadi batu sandungan untuk kami!” Ancam Eyang Wirabumi.
Aku berusaha untuk tidak merespon apapun. Selain tidak mengerti dengan keadaan di alam ini, Eyang pasti punya alasan untuk sebegitu selektifnya menilai aku dan yang lain.
“Dia hanya tidak ingin ada lagi yang mati..” Ucap Nyi Purbawengi.
“Percayalah, walau perangainya buruk dia salah satu leluhur kita yang paling baik,” Tambah Eyang Kertasukmo.
Aku hanya menghela nafas sambil berusaha tersenyum. Perangai emosinya itu memang sedikit mirip dengan Eyang Widarpa. Seandainya Eyang masih ada, mungkin akan seru jika mereka berdua bertemu.
“Kepala Ki Kundawayan itu, apa eyang yang menghabisinya?” Tanya Mas Jagad.
Tak hanya Mas Jagad, aku pun merasa penasaran bagaimana makhluk sekuat itu dan hampir membunuh kami bisa takluk begitu saja.
Eyang Wirabumi mencabut keris dari kepala itu. Ia melangkah menuju sebuah ruangan dimana terdapat sebuah cermin di sana.
“Aku melihat semua pertarungan kalian dari Koco Benggolo. Ledakkan kekuatan telur jagat membuatnya lemah, saat tiba di Jagad Segoro Demit, kami menggunakan kesempatan itu untuk menghabisinya..” Jelas Eyang Wirabumi.
“Kami?” Paklek bertanya.
Eyang Wirabumi memalingkan wajahnya dari cermin dan kembali menatap ke arah kami.
“Aku tidak seorang diri di sini, leluhur kalian yang lain terpencar di alam ini. Mereka menghimpun kekuatan dan memburu danyang yang bersekutu dengannya.”
Aku semakin penasaran dengan wujud dari leluhur-leluhurku. Hampir setiap dari mereka memiliki sifat yang berbeda, dan kehebatannya sendiri-sendiri. Setiap kemampuan itulah yang menurun kepada kami.
“Wirabumi, kau sudah mendapatkan pusaka itu?” Eyang Kertasukmo tiba-tiba membuka pembicaraan. Namun Eyang Wirabumi membalasnya dengan menggeleng dan menghela nafas.
“Aku hampir tidak percaya jika pusaka ratu ular itu memang ada di alam ini. Sudah ratusan tahun aku mencarinya, petunjuk yang kita miliki menuntun kami ke hasil yang kosong..”
Aku dan Paklek mempertanyakan apa yang dimaksud pusaka ratu ular itu? apa pusaka itu sepenting itu hingga leluhur kami mencari selama ratusan tahun.
“Eyang, apa pusaka ratu ular memang sepenting itu?” Tanyaku pada Nyi Purbawengi.
Nyi Purbawengi mengajak kami untuk duduk di ruangan itu. Koco benggolo terlihat menutup dengan sendirinya ketika kami menjauh. Sekilas aku melihat bayangan dua orang perempuan yang berjalan di sebuah desa tua. Tapi apa yang kulihat itu tidak untuk kubahas saat ini.
“Pusaka Ratu Ular merupakan penentu perang para danyang di zaman dulu. Kami semua hampir musnah oleh kekuatannya…” Jelas Nyi Purbawengi.
Ia menceritakan saat Danyang putih dan trah sambara berhasil menghentikan peperangan dengan menaklukkan danyang hitam, ada sosok danyang dari bukit pesisir yang berkhianat. Ia menggunakan pusaka ratu ular yang seketika memakan ratusan nyawa untuk membangkitkan kembali kekuatan danyang hitam.
“Pengkhianat?” Tanyaku.
Nyi Purbawengi mengangguk. Danyang itu menitiskan kekuatan dewi samudera, namun ia lahir dari tanah terkutuk.
“Siapa? Apa namanya dikenal di alam manusia?” Tanya Mas Jagad.
“Manusia memujanya untuk menanti berkah alam, namun ada yang menyembahnya untuk mendapatkan kekayaan. Di alam manusia ia merupakan sosok anggun yang dikenal dengan nama Dewi Naganingrum..” Eyang Kertasukmo mencoba menjelaskan.
Ia menambahkan bahwa nama dan sosok anggun itu hanyalah kedok. Wujud sebenarnya adalah seekor ular raksasa yang menguasai tanah bukit pesisir.
“Berarti saat ini dia ada di alam manusia?” Aku memastikan.
“Naganingrum hidup di dua alam. Ia mempunyai raga yang terkurung di alam ini, dan roh di alam manusia..” Jelas Nyi Purbawengi.
Braakk!!!
Pukulan keras Eyang Wirabumi menghantam lantai kayu bangunan itu.
“Kupastikan ia akan mati tak bersisa saat berhadapan denganku!!” Teriak Eyang Wirabumi.
Aku merasa ada permasalah pelik yang membuat Eyang Wirabumi begitu dendam dengan sosok Naganingrum itu.
Di tengah kebingungan itu, tiba-tiba koco benggolo memantulkan cahaya api yang begitu pekat. Eyang Wirabumi meninggalkan tempatnya dan bergegas menghampiri cermin itu. Ia buru-buru mengambil kerisnya lagi dan hendak meninggalkan ruangan.
“Eyang?! Ada apa?!” Tanyaku.
Jagad menatap ke koco benggolo dan wajahnya seketika diliputi amarah.
“Brengsek! Mereka membakar satu bangunan yang menampung puluhan anak kecil! Apa yang mereka lakukan?!”
Aku menghampiri ke arah mas jagad, dan pemandangan mengerikan itu benar-benar terpampang di koco benggolo. Suara anak-anak yang berteriak ketakutan pun terdengar samar dari cermin itu.
Eyang Wiraguna berhenti sejenak dan memanggil kami.
“Kalian! Ikut denganku?!” teriaknya tertuju kepada kami bertiga.
Aku menoleh ke arah Eyang Kertasukmo, Nyi Purbawengi, dan Nyi Sendang Rangu. Mereka mengangguk memberi isyarat agar kami mengikuti eyang Wirabumi.
Cahyo mendapat kabar dari Danan di mimpinya yang aneh. Danan memperingatkan bahwa yang paling berbahaya dari Perang Para Danyang berasal dari alam manuisa
Samar-samar suara gemeretak di kamar terdengar dari benda-benda yang berada di sekitarku. Tapi, aku masih terus tertidur dengan gelisah. Sebuah mimpi yang aneh tiba-tiba mengusik tidurku.
“Cahyo! Kami salah! Masalah terbesar ada di alam manusia!” Tiba-tiba aku melihat Danan di mimpi yang seolah begitu nyata.
Terlihat Danan, Paklek, Mas Jagad dan beberapa wujud yang tak dapat kulihat dengan jelas tengah berlari di alam yang penuh dengah kekacauan itu.
“Danan? Apa yang terjadi? Bagaimana kau bisa berbicara padaku dari sana?!” Aku masih tak bisa menilai apa yang terjadi. Namun kekuatan dalam mimpi itu bahkan kurasakan di sekitar tubuhku.
“Pusaka-pusaka sakti mandraguna berserakan di tempat ini. Aku menggunakan koco benggolo untuk menyampaikan ini padamu!
Dengar baik-baik, Jul! Perang Para Danyang terjadi karena pengkhianatan mereka yang diberkahi semesta! Hentikan mereka!”
Krakk!!!
Suara cermin yang pecah terdengar bersama hilangnya penglihatan di mimpiku. Aku terbangun bersama benda-benda yang berjatuhan di sekitarku. Samar-samar aku pun mendengar sisa suara raungan wanasura yang ikut merasakan kekuatan itu.
Danan dan Cahyo terpisah di alam yang berbeda. Garis keturunan Trah Sambara memiliki takdir untuk berdiri di tengah perseteruan makhluk-makhluk yang merasa menguasai bagian dari alam.
@bacahorror @IDN_Horor @ceritaht
SENDANG MAYAT
Suara mesin sepeda motor memecah keheningan di jalan setapak yang dikelilingi hutan-hutan menuju sebuah desa. Berkali-kali aku mengingatkan Mas Sapta yang menjemputku dengan motor tuanya untuk berhati-hati, namun rasa cemasnya akan keadaan keluarga dan warga desa tak bisa ditutupi.
Namaku Anggoro. Seorang dokter yang sedang menjalankan tugas di salah satu kota besar di Jawa Barat. Namun kemarin, bapak meneleponku dan memintaku untuk pulang.
“Pulang ya, Le… Bapak takut, mungkin saja hal buruk akan terjadi pada sama bapak. Setidaknya sebelum hal buruk itu terjadi, bapak pengen ketemu kamu..”
Kata-kata itu terus terngiang membuatku tak mungkin lagi menolak untuk pulang.
Bapak juga mengatakan bahwa seandainya aku bisa kembali, mungkin saja aku bisa membantu akan apa yang terjadi di desa. Sesuatu yang mengerikan terjadi di sana.
Belasan warga, mati…
Mas Sapta yang menjemputku di terminal pun menceritakan dengan tubuh yang gemetar dan lemas. Ia melihat sendiri bagaimana tetangga yang masih saudara jauh dengannya mati dengan tubuh yang menghitam dan bagian tubuhnya putus satu persatu. Dan saat ini, di rumah bapak masih terdapat beberapa warga yang bernasib serupa.
“Bangunan itu masih belum dibongkar?”
Aku bertanya pada Mas Sapta sambil menunjuk beberapa sisa rumah-rumah tua yang sudah hancur di salah satu sisi hutan. Hanya tersisa sebagian tembok-tembok saja yang sudah ditumbuhi tanaman merambat dan lumut.
Sisa dinding-dinding bangunan di sana sudah terkelupas dan menunjukkan tumpukan bata yang masih tebal. Ada sebuah sumur yang sepertinya juga sudah lama tidak digunakan.
“Nggak ada yang berani, Mas Anggoro. Katanya masih ada yang punya. Takut salah..”
Aku hanya menggeleng melihat sisa-sisa bangunan yang sudah ada sejak aku kecil. Entah kapan terakhir kali bangunan itu berbentuk rumah dan ditinggali, bapak pun tidak bisa menjawab.Gapura desa Darmo Kulon pun terlihat di hadapan kami, namun aku tak menyangka bahwa keadaan di desa begitu gelap.
Semua rumah mematikan lampu dan hanya ada beberapa obor yang dibuat menggunakan botol kaca yang menyala di beberapa sudut jalan.
“Gelap sekali, Mas? Mati listrik?” Tanyaku.
“Sengaja, Mas.. Kami semua mematikan listrik, mengunci semua pintu, tidur di lantai, supaya setan-setan yang mengutuk desa kami tidak masuk ke desa ini..”
“Masih percaya begituan?”
“Entah, Mas. Dari dulu desa kita percaya hal seperti itu setiap ada wabah..”
Aku memang mengingat beberapa kebiasaan-kebiasaan warga yang sekarang sudah kuanggap tidak masuk akal. Semenjak aku merantau dan mengenal dunia luar, beberapa hal di desaku terasa tidak relevan.
Brakkk!
“Sakiiit…. Sakit… hentikan!”
Tiba-tiba seorang perempuan menerobos keluar rumah. Ia berjalan dengan tangan dan kakinya yang kaku dengan sebagian kulitnya sudah terlihat bisul, bercak, hingga bagian yang menghitam. Matanya terus melotot tanpa bisa berkedip.
Mas Sapta pun mengerem motornya mendadak. Cahaya lampu menyinari sosok perempuan yang terlihat mengerikan di gelapnya malam. Aku pun turun dari motor untuk melihat lebih jelas, namun sosok itu lebih dahulu mengenaliku.
Bibirnya tiba-tiba tersenyum. Ia mengangkat tangannya dan mencoba meraihku.
“Anggoro…” Senyumnya terlihat aneh dan membuatku bergidik ngeri. “To—long…”
Belum sempat mendekat ke arahku, tiba-tiba jari-jari wanita yang telah menghitam itu terpisah dari tubuhnya dan jatuh ke tanah. Wajahnya terus menatapku namun tak lagi bergerak. Satu tangannya masih berusaha meraihku, namun jari-jarinya jatuh satu persatu.
Aku mengenali perempuan itu.
“Mu—murni? Kamu Murni, kan?” Aku memastikan bahwa di hadapannya adalah teman masa kecilku. Namun sudah terlambat cukup lama. Tubuh murni tak lagi bertahan, tubuh itu pun terjatuh tak bernyawa setelah beberapa bagian tubuhnya terpisah. Satu lagi korban jiwa terjadi di desa Darmo kulon.
***
Kedatanganku yang disambut dengan kematian Murni, teman masa kecilku membuat diriku terpuruk. Aku pun kembali ke rumah ayahnya yang merupakan seorang mantri di desa itu dengan wajah yang kusut.
“Kulo nuwun. Bapak, ini Anggoro…” Ucapku sambil mengetuk pintu yang terkunci dari dalam. Terlihat seseorang berusaha berjalan dengan cepat dengan kakinya yang tertatih untuk membukakan pintu.
“Alhamdulillah, Le.. kamu datang juga..” Sambut bapak yang bernafas lega melihat kedatanganku.
Aku mencium tangan bapak dan segera memeluknya. Tubuhnya terlihat semakin kurus dan aku merasakan bahwa ia menanggung beban yang tak biasa.
“Pak Parmin, Tasnya Mas Anggoro izin saya masukkan ke dalam, ya..” ucap Mas Sapta.
“Iyo, Le. Matur nuwun yo..” (Iya, Nak. Terima kasih ya…) Balas Bapak yang bergegas mengajakku masuk ke dalam.
Baru beberapa langkah memasuki ruangan aku sudah mencium bau yang berbeda. Kadang tercium bau rempah-rempah obat, kadang tercium bau yang cukup busuk. Terdengar suara dengkuran dan rintihan dari dalam rumah.
“Nanti kamu tidur di rumah sapta saja ya, Le. Beberapa warga nggak punya keluarga, jadi bapak ngerawat mereka di rumah.” Jelas Bapak yang sepertinya menyadari gelagatku yang tidak nyaman.
“Ndak, Pak. Anggoro bantu bapak rawat mereka. Sekarang Anggoro sudah jadi dokter, jadi harusnya lebih mengerti, Pak…” Balasku.
Tidak mungkin aku meninggalkan bapak dalam keadaan seperti ini. Sejak kecil, bapak merawatku seorang diri setelah ibu meninggal di umurku yang masih lima tahun. Ia membiayai kebutuhanku dengan profesinya sebagai mantri yang pendapatanya tidak seberapa itu.
Walaupun rumah kami sederhana, uang kami tidak banyak, Bapak bercita-cita menyekolahkan aku hingga jadi dokter agar bisa lebih baik darinya dan bisa membantu lebih banyak orang. Sudah jelas gelar yang kumiliki saat ini adalah hasil keringatnya.
“Bapak tahu, kamu pasti lebih ngerti, Le. Tapi takutnya apa yang terjadi di desa ini belum tentu bisa ditangani oleh manusia biasa,” Balas bapak.
Aku hanya menggeleng mendengar jawaban bapak. Namun aku tak membalas pernyataan nya itu. Aku tak ingin menyinggungnya dengan tanggapanku mengenai hal-hal mistis.
Berbagai dugaan sudah berkecamuk di kepalaku. Malam itu juga aku membersihkan diri, mengenakan perlengkapanku, sarung tangan, dan masker untuk memeriksa warga desa.
Mereka semua memiliki gejala yang sama. tubuh yang kaku, bisul di telapak kaki, hingga kulit yang seperti luka bakar, hingga hitam membusuk. Saat itu aku mengurungkan niat untuk menyentuh mereka.
“Bapak..”
Aku mendekat ke arah bapak sambil mengamati beberapa bagian tubuhnya. Sepertinya belum ada gejala-gejala di tubuh bapak.
“Gimana, Le?” Mata bapak menaruh banyak harap kepadaku.
“Setelah ini kita pisahkan warga yang sehat dengan yang sakit. Besok akan saya panggil bantuan tim medis.” Aku menjelaskan pada bapak dengan serius mungkin. “Desa ini terkena wabah kusta..”
Mata bapak terbelalak mendengar pernyataanku. Sepertinya ia tidak menyangka penyakit itu akan menjangkit warga desa.
“Kamu yakin, Le? Ini bukan kutukan yang disebabkan karena itu…”
Aku menggeleng sambil melepas sarung tanganku dan menepuk pundak bapak.
“Yakin, Pak. Tidak usah khawatir tentang apa yang terjadi tujuh tahun lalu. Toh warga desa juga sudah sepakat mengambil keputusan ini…”
Bapak menghela nafas dan sedikit membuang muka. Sepertinya ia merasa tidak nyaman dengan tanggapanku.
“Kalau bukan kutukan, kenapa mereka teriak-teriak kesetanan tiap malam, Mas? Ada yang kelihatan ketakutan, ada juga yang seperti kesurupan..” Mas Sapta tidak ingin percaya begitu saja.
“Bisa jadi halusinasi. Tapi kalau memang ada faktor lain, kita harus cari tahu. Tenang saja, Itu juga kan tujuanku ke sini,” Balasku.
Aku menelpon kenalan-kenalan tenaga medis yang bisa menghubungkanku ke rumah sakit terdekat. Aku menjelaskan tentang wabah kusta yang terjadi di desaku dan meminta mereka membuat leprasorium darurat di desaku secepatnya.
Saat itu Mas Sapta menghampiri bapak dan terlihat tengah berbincang dengan raut wajah serius. Sepertinya ada yang ingin mereka sampaikan kepadaku.
“Mas Anggoro. Kalau bisa menyempatkan waktu sebentar lagi, saya dan bapak mau ngajak mas Anggoro ke suatu tempat,” Ajak Mas Sapta.
“Malam-malam gini?” Balasku.
Mas Sapta menoleh ke arah bapak, dan bapak mengangguk menyetujuinya.
“Di keadaan ini kita nggak tahu bahwa ada nyawa yang bisa melayang jika kita menunda beberapa detik saja. Jadi saya rasa Mas Anggoro harus mengetahui hal ini secepatnya..” Balas Mas Sapta.
“Bapak juga ikut, Le. Kita cuma bisa sampai kesana dengan berjalan kaki. Sambil ada yang mau bapak ceritakan juga..” Tambah Bapak.
Mendengar mereka berbicara seperti itu, sepertinya hal yang ingin mereka sampaikan adalah hal yang penting. Aku pun meminta waktu sebentar untuk bersiap-siap sementara mereka membuat obor yang akan kami gunakan untuk perjalanan kami.