Diosetta Profile picture
May 21, 2022 107 tweets 14 min read Read on X
"SINDEN PENGABDI SETAN"
- a thread-

“Bu, itu siapa yang nembang malam-malam begini?”

“Sudah nak, jangan dihiraukan.. Tidur yang nyenyak ya”
Ucap ibu dengan mimik wajah yang seolah terlihat ketakutan.

#bacahahorror @bacahorror @IDN_Horor @mwv_mystic Image
Itu adalah kali terakhir aku berbicara dengan ibu..

Esok paginya, kutemukan ibu sudah dalam keadaan tergeletak kaku tak bernyawa dengan mata yang terbelalak di lantai rumah…

Sejak hari itu, aku sadar semuanya tidak akan kembali normal..
Kidung keramat dari Sinden Pengabdi Setan yang tidak pernah terdengar lagi selama puluhan tahun , kini mulai menghantui seluruh warga desaku tanpa terkecuali…
otw upload ya, biar nanti malam sudah siap dibaca.. dibantu retweet dulu ya 🙏

sebelum baca , bisa denger opening dulu biar dapet suasananya
Babak 1 - Kidung Penyambut Malam

Panggung pementasan..

Aku berdiri mengagumi kemegahan panggung yang berdiri tak jauh dari desa tempatku tinggal. Sebuah panggung yang dibangun dengan susunan kayu dengan latar pemandangan bukit di belakangnya.
Sayangnya, panggung ini sudah tidak pernah digunakan dan hanya dibiarkan begitu saja dengan kayu-kayunya yang mulai lapuk, seolah menjanjikan bahwa ia akan hancur tak lama lagi.

Memang, hanya lahan kosong yang berbatasan dengan hutan yang ada di sekitar tempat ini.
Tapi kami anak-anak cukup senang bermain layaknya seorang penyanyi dan penari di atas panggung reyot ini.

Dari atas panggung, kami selalu merasa bahwa sebelumnya pernah ada rumah-rumah atau desa yang berada di sekitar.
Apalagi pemandangan lahan yang sudah ditumbuhi semakpun seolah tidak bisa menutupi bahwa pernah kehidupan di sekitar sini.

“Gendis, Pulang yuk.. sudah sore” Ajak Kia satu-satunya teman bermain yang seumuranku di desa.
Aku melihat langit sudah mulai memerah dan segera menuruti ajakan Kia untuk meninggalkan tempat ini.
Walaupun senang bermain di sini, kami tahu dengan jelas bahwa saat matahari mulai terbenam pemandangan di tempat ini tidak akan lagi sama. Gelapnya langit malam merubah tempat ini menjadi lebih layak untuk di huni oleh mereka yang tidak kasat mata.
“Dari pendopo hutan lagi?” Tanya ibu yang sepertinya sudah beres menyiapkan makan buat kami.

“Iya bu , main sama Kia”

“Ya sudah, sana mandi dulu.. habis itu makan. Bapak bentar lagi pulang”
Aku menuruti perintah ibu dan segera mengambil handuk menuju kamar mandi yang terpisah di belakang rumah. Dengan segera aku membersihkan tubuhku untuk kembali menemui ibu di meja makan.
Ikan asin dan sayur lodeh. Menu masakan yang selalu menjadi favoritku. Ibu sudah mengambilkan nasi dan meletakanya di hadapanku.

“Sekolahnya gimana? Ada PR nggak?” Tanya ibu.

“Ada, tapi tadi Gendis kerjain duluan sebelum main,“ jawabku sambil memamerkan senyumku pada ibu.
Ibu balik tersenyum dan mengusap kepalaku.

Biasanya ibu tidak bertanya mengenai pekerjaan rumahku karena memang aku sudah terbiasa mengerjakan semuanya sendiri. Mungkin karena aku baru saja masuk SMP ibu khawatir aku akan merasa kesulitan.
Akupun menghabiskan nasi dan sayur lodeh yang sudah disiapkan oleh ibu. Ini sayur favoritku, melihatnya terpampang di depan mata membuatku tidak tahan walau hanya sebentar menunggu bapak.
Belum lama aku selesai membereskan peralatan makanku dari luar terdengar suara berisik yang tidak biasa. Seolah ada warga yang berkerumun tak jauh dari rumah kami.

“Ono opo iku bu?” (Ada apa itu bu?) Tanyaku.

“Mbuh, nggak tahu.. ibu liat dulu..” Balas ibu.
Akupun menyusul ibu dan menyaksikan keramaian yang terjadi di tengah desa.

“Lungo! Aku ora sudi nompo awakmu meneh!” (Pergi! Aku tidak sudi nerima kamu lagi!) Usap Pak Baskoro salah satu perangkat desa di tempat ini.
Di depanya terlihat seorang wanita masih dengan riasan menangis memohon kepada suaminya itu. Dia adalah Bu Lindri atau sering dipanggil Nyai lindri karena dikenal sebagai pesinden di beberapa kelompok wayang.
“Pak! Itu Fitnah pak… aku ora ono opo-opo karo Ki Joyo Talun, Sumpah pak!”
(Pak! Itu Fitnah pak.. Aku tidak ada apa-apa dengan Ki Joyo Talun) Teriaknya sambil terus menangis.
Namun bukanya berhenti, Pak Baskoro malah semakin kasar. Iya mengambil kendi air yang ada di depan rumahnya dan melemparkanya ke wajah istrinya itu hingga wajah dan tubuhnya terluka dengan pecahan kendi itu.
“Sudah pak, sudah… jangan keterlaluan.” Ucap Mas Jatmiko, salah satu pemuda di desa ini.

“Diam kamu! Kalau ada yang ikut campur, aku pastikan kalian juga senasib dengan dia!”
Mendengar ucapan Pak Baskoro itu, semua warga terdiam dan tidak berani melawan, termasuk mas Jatmiko.
Baskoro adalah salah satu orang terpandang di desa ini. Ia mempunyai pengaruh yang sangat besar. Hanya dengan perintahnya saja, satu orang warga bisa diasingkan dari desa ini.
“S-Sudah Nyai, pergi saja.. daripada Pak Baskoro semakin marah,” ucap salah seorang ibu yang sudah tidak tega melihat penghinaan itu.
Tak ada pilihan lagi, Nyai Lindri sekuat tenaga berusaha berdiri. Ia menatap sekali lagi suaminya yang masih terus mengumpatnya dan berpaling berjalan meninggalkanya dengan langkah yang terseok-seok sambil menangis.
Belum cukup puas, Pak Baskoro mengambil sebuah batu sebesar genggaman tangan dan melemparkanya hingga mengenai belakang kepala Nyai Lindri. Dari jauhpun aku melihat darah menetes dari kepalanya.
“Perempuan sundal!” Teriakan Pak Baskoro menghantarkan kepergian Nyai lindri.
Aku yang melihat kejadian itu tidak mampu menahan tangis. Walaupun luka dari lemparan batu itu sakit,
tapi aku yakin itu tidak sesakit luka yang ditorehkan suaminya itu di hati dan perasaanya hingga suara isak tangis Nyai Lindri terdengar di setiap langkahnya.
“Bu, kita tolong nyai lindri bu..” Pintaku pada ibu.
“J—jangan nak, kalau ketahuan keluarga kita bisa celaka,” larang ibu.

Tepat saat Nyai lindri meninggalkan gerbang desa. Terdengar suara alunan tembang mengalun ditengah kesunyian dengan suara isak tangis di setiap jedanya.

Itu adalah suara Nyai Lindri..
Aku tidak dapat mendengar dengan jelas kata-kata yang dinyanyikan, namun aku berani memastikan tidak ada hati yang tidak terenyuh melihat dan mendengar kejadian saat ini.
Setelah Nyai Lindri menghilang di kegelapan hutan, semua warga membubarkan diri dan masuk kerumahnya masing-masing dalam kesunyian. Tak lama kemudian bapakpun pulang ke rumah, wajahnya terlihat sedikit bingung.

“Pak, bapak tau masalahnya Nyai Lindri?” Tanya Ibu.
“Iya bu, mereka sudah keterlaluan.. bapak mendengar perbincangan Baskoro dengan Ki Joyo talun.” Ucap Bapak.

“Maksud bapak apa?”

“Sudah bu, bukan urusan kita. Lebih baik kita jaga jarak dulu dari mereka..”
Bapakpun terlihat tidak ingin membahasnya dan pergi ke belakang untuk mandi.

***
Ucapan bapak malam itu mulai kumengerti beberapa hari setelahnya. Pak Baskoro membawa seorang perempuan untuk tinggal di rumahnya. Menurut cerita warga, dia adalah salah satu penari yang dikenalkan oleh Ki Joyo Talun.
Bagaimana mereka bisa akrab? Padahal Pak Baskoro menuduh Nyai Lindri berselingkuh dengan Ki Joyo Talun.

Rupanya, itu hanya rencana mereka berdua saja untuk memisahkan Nyai Lindri dari Pak Baskoro agar ia bisa bersama dengan wanita penari itu.
Pak Baskoro juga sering memamerkan kemesraanya dengan perempuan itu di depan warga. Warga yang melihatnya hanya meladeni ucapan pak Baskoro karena takut.

Suatu malam tiba-tiba terdengar suara tembang dengan suara yang lirih.
Warga mencari asal suara itu dan melihat Nyai Lindri di depan desa menyaksikan Baskoro dan wanita itu berduaan dengan mesra.

Wajah Nyai Lindri terlihat begitu kotor dengan baju dan rambut yang berantakan. Ia terus menyanyi sambil meneteskan air mata.
Pak Baskoro yang melihat hal itu segera pergi dan membawa perempuanya masuk kembali ke dalam rumah tanpa menghiraukan Nyai Lindri.

Setelah kejadian itu, setiap malam nyai lindri selalu muncul di desa dengan menyanyikan lagu yang semakin hari semakin terdengar lirih.
Mungkin ia berharap hari Pak Baskoro bisa tergerak dan mau menerimanya kembali.

Sayangnya, yang terjadi adalah sebaliknya..

Saat hari berikutnya Nyai Lindri kembali ke desa. Pak Baskoro sudah bersiap bersama Ki Joyo Talun menyambut kedatanganya.
“Perempuan sundal itu sudah urusanmu, tubuh dan nyawanya sudah tidak ada urusanya denganku” Ucap Pak Baskoro kepada Ki Joyo Talun.
Mendengan kata-kata itu Ki Joyo Talun tersenyum. Ia segera mengajak anak buahnya keluar desa untuk menghampiri Nyai Lindri.
Seketika wajah Nyai Lindri ketakutan. Iapun berusaha untuk pergi namun aku yakin orang-orang itu mampu mengejarnya.

Yang ku ingat saat itu hanya suara teriakan Nyai Lindri dari dalam hutan, dengan suara tawa Ki Joyo Talun dan anak buahnya.
Malam ini aku tidak bisa tidur dengan tenang setelah melihat kejadian tadi. Kadang aku berpikir apakah harta dan kekuasaan bisa merubah seorang manusia menjadi lebih buruk dari pada setan.

***
Siang itu sepulang sekolah aku bermain kembali ke pendopo panggung tua bersama Kia. Kali ini tempat ini sedikit berbeda. Seperti ada bekas orang yang berada di tempat ini. di sekitar pendopo juga ada bekas kembang yang sudah kering.
Aku dan Kia bermain seperti biasa, namun samar-samar aku seperti melihat seseorang melintas di sekitar kami. Namun saat aku menoleh, tidak ada siapa-siapa di sana.
Seperti biasa akupun bermain sampai sore dan segera kembali ke rumah sebelum ibu mencariku.
Malam itu tidak lagi terdengar suara nyanyian Nyai Lindri, namun sepertinya tidak ada satupun warga desa yang peduli.
Semua warga desa seperti berpura-pura tidak mempedulikan dengan apa yang terjadi dengan Nyai Lindri kemarin dan melewati malam itu begitu saja.
Namun semua berubah di pagi hari dengan apa yang seorang warga temukan.
Tiba-tiba ada seorang warga berteriak histeris dan membangunkan hampir seluruh warga desa.

Semua orang berkumpul menatap ke arah gerbang masuk desa. Pemandangan mengerikan terlihat dengan jelas di sana.
Jasad Nyai Lindri menggantung di tiang gapura desa dengan tali tambang yang terikat di lehernya…

***
Wajah Pak Baskoro terlihat kebingungan melihat kejadian itu. Ia tidak menyangka niat busuk yang ia rencanakan dengan Ki Joyo Talun sampai membuat Nyai Lindri berani mengakhiri hidupnya dengan cara seperti ini.
Tak berhenti sampai di situ, Pak Baskoro semakin panik saat melihat isi lembaran kertas yang diganjal dengan sandal, tepat di bawah jasad yang menggantung itu.
----
Awak sing ringkih iki ora bisa mbales kabeh tumindakmu sing njijiki...
Nanging sampeyan kabeh kudu ngrasakake lara sing dakalami..
Bakal ono balesane kabeh.. Aku bakal nggawe sampeyan rumangsa luwih saka iki ...
Aku ngedol kabeh jiwa lan ragaku marang wong demit lan setan manggon ing neroko, kanggo males loro iki ...
----
( Tubuh lemah ini tidak mampu membalas semua perbuatan keji kalian…
Tapi kalian harus merasakan penderitaan yang kualami..
Akan ada yang membalas semuanya.. akan kupastikan kalian merasakan yang lebih dari ini…
Aku jual semua jiwa dan ragaku pada penghuni neraka,untuk membalas rasa sakit ini…)
Membaca tulisan itu seketika seluruh warga menjadi merinding. Nyai Lindri meninggal dengan membawa dendam. Itu menjadi terlihat jelas saat melihat jasadnya dengan mata yang masih terbelalak dengan mengerikan.
“Gendis.. pulang, jangan diliatin” Perintah ibu yang segera menarikku.

“I—Iya bu”
Belum pernah aku melihat pemandangan semengerikan ini seumur hidup. Ibu berkali-kali berkata padaku untuk melupakan kejadian itu dan terus mendoakan Nyai Lindri.
Namun tetap saja, menghilangkan bayangan wajah jasad Nyai Lindri dalam ingatanku tidaklah semudah itu.
***
Malam semakin larut, suasana mencekam dari kematian Nyai Lindri tidak pudar walau sudah beberapa hari berlalu.

Ada kutukan yang ia janjikan dengan nyawanya sebagai bayaranya..
Sesepuh desa dan orang-orang yang punya kemampuan memastikan itu. menurut mereka, desa ini hanya tinggal menunggu waktu untuk menerima bala bencana yang dijanjikan Nyai Lindri.

“T---Tolong!! Tolong pak!”
Tiba-tiba terdengar suara teriakan yang memecah heningnya malam itu. ini sudah hampir tengah malam, seharusnya sudah tidak ada lagi warga desa yang masih berada di luar rumah. Namun teriakan orang itu pasti memanggil warga untuk keluar.
“Ono opo mas?” (Ada apa mas?) tanya salah seorang warga.

“T—tolong pak.. di desa sebelah, desa saya..”

“Desa bapak kenapa?”

“Kami sedang mengadakan pementasan wayang Ki Joyo Talun.. lalu ada kejadian aneh pak” Ucap orang itu dengan terbata-bata.
“Kejadian aneh apa maksud bapak?”

Warga desa sebelah itu menceritakan, saat di tengah-tengah pertunjukan wayang Ki Joyo Talun tiba-tiba semua pemain terhenti serentak. Tidak ada satupun sinden dan pemain gamelan yang mengeluarkan suara. Entah mengapa bisa begitu.
Tak lama setelahnya terdengar suara seseorang nyinden dan nembang dengan suara yang aneh. Warga desa melihat ke sekitarnya namun tidak ada satupun petunjuk asal suara itu.
Suara itu seperti mengalun ke sekeliling warga seolah ada seorang sinden yang nembang di sekitar warga. Anehnya Ki Joyo Talun terlihat ketakutan. Matanya menuju ke arah suara itu dengan tubuh yang gemetar. Seluruh anggota pementasanpun terlihat aneh.
Dan tepat saat kidung itu selesai, Ki Joyo Talun dan seluruh anggotanya tergeletak tak bernyawa di tempatnya masing-masing dengan mata yang terbelalak dan darah yang terus mengucur dari telinganya.
Seketika seluruh warga desa itu panik mencari pertolongan ke semua desa terdekat.

“Saya sengaja menuju ke desa ini karena sepertinya saya mengingat suara itu, suara itu mirip salah satu sinden yang berasal dari desa ini… Nyai Lindri.”
Seketika seluruh warga desaku panik. Suasana hening di malam itu berubah menjadi keramaian dari suara warga yang mempertanyakan nasib mereka.

“Pak, apa ini seperti yang diceritakan eyang dulu?” Tanya ibu pada bapak.
Bapak terlihat berpikir, namun sepertinya ia mengingat sesuatu, begitu juga dengan beberapa warga.

“Nyai Lindri membangkitkan kutukan itu dengan nyawanya sebagai bayaranya,” ucap salah satu warga desa.

Kutukan? Desa ini pernah kena kutukan?
Aku tidak pernah mendengar cerita tentang ini sebelumnya. Dari warga yang berbisik-bisik, aku mengengar mereka membicakan tentang kutukan dari sinden pengabdi setan yang pernah tinggal di sekitar tempat ini.
“Ini semua salah Baskoro,” ucap Mas Jatmiko yang sebenarnya sudah sangat kesal dengan kelakuan Pak Baskoro.

“Benar, harusnya dia yang bertanggung jawab,” tambah warga lainya.
Kekesalan mereka sudah memuncak dan bersiap menghampiri rumah Pak Baskoro. Tapi beberapa warga menghadangnya.
Mereka mengingatkan bahwa sebelumnya ada warga desa yang mencoba berurusan dengan Baskoro dan warga itu berakhir di tengah hutan dengan tubuh babak belur hingga cacat. Akhirnya orang itupun memilih untuk meninggalkan desa karna terus diteror anak buah Baskoro.
Bencana yang menimpa kelompok wayang Ki Joyo talun tidak dapat dilupakan begitu saja oleh warga desa.

Kisah itu membuat warga desa was-was. Bahkan Pak Baskoro sampai beberapa kali mengundang dukun untuk melindunginya.
Dia percaya hal itu bisa melindunginya dari Nyai Lindri.

***

Malam selasa suro…

Aku mengingat saat itu bulan purnama bersinar begitu terang. Di depan teras rumah aku menunggu Bapak dan Ibu yang seharusnya sudah pulang dari tadi.
Entah hanya halusinasiku atau bukan. Samar-samar aku melihat bayangan yang kadang terlihat dan kadang menghilang melintas di hadapanku.

Sekilas bayangan itu menyerupai seorang wanita yang mengenakan kebaya.
Tak lama setelah itu , sayup-sayup aku mendengar suara seorang wanita yang sedang bernyanyi. Suara itu terdengar ke seluruh penjuru desa berupa suara tembang yang dinyanyikan seorang sinden tanpa iringan musik.
Seketika aku merasa merinding dan memilih untuk masuk ke rumah.

Setelah aku masuk, tak lama kemudian terdengar suara langkah kaki yang terburu-buru masuk ke dalam rumah. Itu adalah suara bapak dan itu.
Mereka terburu-buru menuju kamarku dan wajahnya terlihat lega saat menemukanku.

“Ada apa to bu?” Tanyaku.

“Nggak.. nggak papa nduk, tidur saja.. nanti ibu temenin” Balas ibu sambil mengatur nafasnya.
Ibu meninggalkanku sebentar untuk berbicara dengan bapak. Samar-samar aku mendengar mereka sedang membicarakan Nyai Lindri dan Baskoro sebelum akhirnya mereka selesai dan ibu kembali ke kamar.
Saat ibu mendekat aku baru menyadari keanehan wajah ibu. Wajahnya terlihat cemas.

Tepat saat aku mulai tertidur, sayup-sayup aku mendengar suara tembang yang dinyanyikan seseorang. Suaranya terdengar tidak jauh dari rumah kami, tapi… suaranya terdengar lirih dan menakutkan…
Seketika saat itu juga wajah ibu berubah.
Suara tembang itu tidak bergerak seperti sebelumnya, ia berhenti di dekat rumah dan tidak berpindah.

“Sebentar ya nduk..” Ucap Ibu meninggalkanku.
Tak lama terdengar suara pintu rumah terbuka. Aku tidak tahu apa yang terjadi di sana. Aku merasa ibu dan bapak di luar cukup lama sampai akhirnya ibupun kembali ke kamarku.

“Bu, itu siapa yang nembang malam-malam begini?”
Tanyaku yang masih mendengarkan suara seorang wanita sedang ‘nyinden’ dengan suara yang tidak jauh dari tempat kami berada.

“Sudah nak, jangan dihiraukan.. Tidur yang nyenyak ya,” ucap ibu lagi dengan mimik wajah yang seolah terlihat ketakutan.
Walau begitu, ibu tetap menenangkanku dengan menemaniku tidur sambil membelai rambutku. Ia menggumam menyanyikan lagu untuk menenangkanku. Dan itu berhasil membuatku tertidur.

Tapi…
Itu adalah kali terakhir aku berbicara dengan ibu..
Esok paginya, kutemukan ibu sudah dalam keadaan tergeletak kaku tak bernyawa dengan mata yang terbelalak di lantai rumah…

“B—Bapak! Ibu kenapa pak..” Aku berteriak sambil menangis melihat kondisi ibu yang mengenaskan.
Bapak segera berlari menuju kamarku. Tubuhnya seketika lemas tak berdaya sambil terus memeluk ibu dalam tangisnya.

Bapak terus memastikan nafas dan jantung ibu. Namun sama sekali tidak ada pergerakan hingga akhirnya bapak membacakan doa dan menutup mata ibu.
Aku terus menangis saat itu. Bapak berusaha bersikap tegar untuk menenangkanku. Namun ini benar-benar tidak mudah.

Suara ramai terdengar dari luar. Aku dan bapak mencoba memeriksanya dan berniat mencari pertolongan untuk membantu kami mengurus jenasah ibu.
Namun yang terjadi benar-benar di luar nalar.

Warga terlihat buru-buru ke berbagai tempat. Ada yang menggotong keranda di masjid, ada yang memasang bendera kuning, dan terlihat beberapa warga yang menangis di depan rumahnya.
“Pak, Bu Citra dan anaknya meninggal semalam..” Ucap Mas Jatmiko yang kebetulan melewati rumah kami bersama warga lainya.
Tentu saja kami kaget mendengar berita itu, apalagi bukan hanya bu citra. Istri muda Pak Baskoropun dikabarkan ditemukan meninggal pagi ini.
Tapi, raut wajah warga desapun berubah saat kami menceritakan kondisi ibu.

Semua meninggal dengan kondisi yang sama. Mata terbuka dan darah yang mengalir dari lubang telinga.

Sejak hari itu, aku sadar semuanya tidak akan kembali normal..
Kidung keramat dari Sinden Pengabdi Setan yang tidak pernah terdengar lagi selama puluhan tahun , kini mulai menghantui seluruh warga desaku tanpa terkecuali…
Menjelang siang, jenasah ibu bersama seluruh jenasah korban kutukan sinden itu dikumpulkan di balai desa. Warga membacakan doa agar roh mereka bisa tenang sebelum dikuburkan.
Terlihat wajah cemas dari seluruh warga desa yang berada di sana. Pak Baskoro tidak ada di tempat itu, padahal istrinya barunya juga terbaring diantar jenasah-jenasah ini.
Dari luar terdengar suara mobil melintas melewati balai desa. Warga memperhatikan keluar dan menemukan Pak Baskoro tengah meninggalkan desa dengan membawa barang-barangnya.

“Dia pasti mencoba menyelamatkan dirinya sendiri” ucap salah seorang warga.
“Kita juga harus mencari cara untuk menghentikan ini semua, kita tidak tahu kapan tembang terkutuk itu akan terdengar lagi..” Bapak mencoba berdiskusi dengan beberapa orang yang berada di balai desa,
Berbagai pendapat bermunculan, mulai dengan memanggil orang pintar hingga mengungsi. Namun keluarga pak baskoro yang sudah menggunakan dukun saja masih tidak selamat, hingga akhirnya tidak ada titik tengah dari perbincangan itu.
“Mungkin, aku kenal seseorang yang bisa membantu masalah ini.” Tiba-tiba Mas Jatmiko bergabung dalam perbincangan ini.
Warga mempertanyakan dengan apa yang dimaksud oleh Mas Jatmiko.
Ia menceritakan kejadian saat dulu ia ditipu saat bekerja di sebuah proyek. Mas jatmiko dijebak untuk tinggal di sebuah mess di sebuah desa di tengah hutan. Sebuah desa yang ternyata dihuni makhluk ghaib saat malam, dan ia ingin ditumbalkan bersama pekerja yang lain.
“Beruntung ada salah seorang pekerja yang memiliki teman yang mengerti hal ghaib, mereka menolong kami dari semua kutukan dan serangan makhluk ghaib di sana” Cerita mas Jatmiko.

Warga yang mendengar tidak menyangka bahwa Jatmiko pernah mengalami hal ini.
“Mereka dukun?” Tanya bapak memastikan.
Mas Jatmiko menggeleng.

“Mereka hanya pemuda biasa, salah seorang memiliki pusaka berupa keris. Dan katanya salah seorang lagi dijaga oleh roh makhluk berwujud Kera raksasa…
Saat itu Mereka menyelamatkan para pekerja dari desa terkutuk yang akhirnya kami tahu bernama.. Desa Tanggul Mayit”

Sekilas cerita mas jatmiko terdengar tidak mudah untuk dipercaya. Tapi walaupun emosional, Mas Jatmiko bukanlah seorang pembohong.
Warga yang mendengar cerita itu merasa mendapat harapan dan setuju untuk meminta pertolongan pemuda itu. walau begitu, warga lain juga berencana meminta pertolongan orang lain yang mereka percaya.
Satu hal yang aku tahu..

Kami.. warga desa tidak ingin kalah begitu saja dari kutukan ini. Satu yang kami sepakati, kami yakin bahwa hanya Yang Maha Kuasalah yang mampu menentukan kapan nyawa kami akan meninggalkan jasad kami.
***
(Bersambung…)
Cuplikan part 2 - Pelantun Pesa Iblis

Terlambat… Satu lagi nyawa melayang saat Danan dan Cahyo sampai di desa Jatmiko.

Tak cukup sampai di situ, suara kentongan terdengar memecah keheningan malam.
mereka mengikuti warga menuju asal suara itu dan menemukan orang pintar yang dimintai tolong oleh warga terkapar di mulut hutan.

Sialnya, Ayah gendis masih berada di sana.
Kali ini Danan dan Cahyo harus memasuki hutan itu untuk menolong ayah gendis dan mereka harus menghadapi sosok Setan Sinden yang mengutuk desa ini


(untuk yang mau baca duluan bisa mampir ke @karyakarsa_id ya 😊🙏)
karyakarsa.com/diosetta69/sin…
Terima kasih sudah membaca thread ini dan membantu retweet.

Part 2 akan update malam jumat 26 Mei 2020

mohon maaf apabila ada salah kata atau bagian yang menyinggung. semoga dapat menghibur pembaca sekalian.. sampai ketemu di malam jumat

• • •

Missing some Tweet in this thread? You can try to force a refresh
 

Keep Current with Diosetta

Diosetta Profile picture

Stay in touch and get notified when new unrolls are available from this author!

Read all threads

This Thread may be Removed Anytime!

PDF

Twitter may remove this content at anytime! Save it as PDF for later use!

Try unrolling a thread yourself!

how to unroll video
  1. Follow @ThreadReaderApp to mention us!

  2. From a Twitter thread mention us with a keyword "unroll"
@threadreaderapp unroll

Practice here first or read more on our help page!

More from @diosetta

Jul 10
SABDA PANGIWA 3
Part Akhir - Tamat

Tabu itu tak berarti di hadapan mereka. Ritual yang melanggar norma mereka percayai untuk menuju kesempurnaan.

#bacahorror @bacahorror Image
Cerita Sebelumnya

Sabda Pangiwa - Keranda Tulah 1 - x.com/diosetta/statu…
2 - x.com/diosetta/statu…

Sabda Pangiwa - Warisan Jenazah 1- x.com/diosetta/statu…
2-x.com/diosetta/statu…
Tegar mengamati tanpa ekspresi. Perlahan ia berkata, “Sekte Pangiwa.”
“Pangiwa?” ulang Ujang, belum paham.

“Aliran kiri. Mereka mencari ‘kesempurnaan’ dengan membakar tubuh dan jiwa lewat hawa nafsu. Makin mabuk, makin hilang kendali, makin jauh dari dunia—mereka percaya, itu mendekatkan mereka pada kekuatan leluhur.”

Ujang menelan ludah. “Jadi ini ‘ibadah’ yang mereka omongin tadi…”

Tegar hanya mengangguk. Sementara itu, suara gamelan makin keras. Nada-nadanya tak wajar—seperti dimainkan tangan yang bukan manusia.
Mereka berdua berpindah posisi diam-diam, mengamati kerumunan itu dari balik gelap. Tiba-tiba, Ujang menunjuk ke panggung.

“Gar… itu Pak Baskoro, kan?”

Tegar menyipitkan mata. Di tengah keramaian, terlihat seorang pria tua dengan jubah gelap, berdiri tegak memantau dari belakang altar. Wajahnya tenang, bahkan tersenyum. Tapi matanya kosong, seperti tak ada jiwa di dalamnya.

“Baskoro… tuan tanah itu?”

Ujang mengangguk. “Dia calon kepala desa. Anak buahnya sering ngirim hasil panen ke pasar. Tapi… aku nggak pernah tahu dia ikut-ikut ginian.”

Tegar tak menjawab. Perhatiannya tertarik pada sosok lain.

Di tengah panggung, berdiri seseorang dengan pakaian lengkap kesenian: rompi tua, celana pendek batik, dan… sebuah topeng kayu. Topeng itu tampak sangat tua, hitam, penuh retakan, dan bermata kosong. Meski wajahnya tertutup, entah kenapa aura sosok itu membuat udara di sekitar terasa lebih dingin.

“Pementasan pembawa petaka itu… pakai topeng, kan?” tanya Tegar.

Ujang mengangguk. “Iya. Dan topengnya… Apa mungkin itu topengnya?”

“Yang pasti topeng yang dikenakan itu bukan benda biasa.” gumam Tegar.

“Mereka pelakunya?”
Read 22 tweets
Jul 3
SABDA PENGIWA III - Topeng Patih

Sabda Pangiwa bukan sekadar petuah. Ia adalah jalan terlarang, gelap & menggoda, yg konon bisa menuntun manusia pada puncak kesempurnaan. Namun, tak sedikit yg hancur sebelum sampai, tertelan oleh bayang-bayang jalur itu sendiri…”

#bacahorror Image
“Bercintalah hingga tubuhmu lelah meraba gairah yang hampa, mabuklah sampai setiap tegukan menjadi sia-sia, bersenang-senanglah sampai tawa tak lagi meninggalkan gema. Lalui semuanya… hingga yang fana kehilangan maknanya, dan jiwamu terlepas dari jerat dunia. Itulah saat ketika kesempurnaan menampakkan wajahnya yang sunyi.

Sabda Pangiwa bukan sekadar petuah. Ia adalah jalan terlarang, gelap dan menggoda, yang konon bisa menuntun manusia pada puncak kesempurnaan. Namun, tak sedikit yang justru hancur sebelum sampai, tertelan oleh bayang-bayang jalur itu sendiri…”
Cerita Sebelumnya
Sabda Pangiwa - Keranda Tulah
1 - x.com/diosetta/statu…
2 - x.com/diosetta/statu…

Sabda Pangiwa - Warisan Jenazah
1- x.com/diosetta/statu…
2- x.com/diosetta/statu…
Read 18 tweets
Jun 26
PUSAKAYANA
Part 7 - Sabda Pangiwa

Sosok pria misterius muncul dengan membawa sebuah keranda. Dengan tubuh yang penuh goresan mantra dan topeng bujang ganong menutupi wajahnya, ia menantang wahah terakhir Triyamuka Kala..

@bacahorror #bacahorror @IDN_Horor Image
Beberapa saat sebelumnya…

Seorang pemuda berambut gondrong berjalan perlahan dengan ransel tergantung di satu pundak. Matanya menyapu sekeliling, mengamati jalanan tanah yang lengang dan rumah-rumah panggung yang tampak asing.

Di kejauhan, debur ombak terdengar samar, desa ini berada di pesisir timur, namun Tegar sama sekali tidak tahu namanya.

Seorang pria paruh baya dengan kulit legam baru saja menurunkan jaring dari sepeda motornya. Ia mengernyit saat melihat Tegar.

“Lho… jarang-jarang desa kami kedatangan orang baru,” sapa pria itu ramah.

Tegar menggaruk kepalanya, kebingungan. “Saya juga nggak niat ke sini, Pak. Tadinya numpang truk barang ke Surabaya… tapi ketiduran. Tahu-tahu diturunin di jalan besar sana.”

Pria itu tertawa pendek. “Bisa-bisanya nyasar sampai sini. Nama sampean siapa?”

“Tegar, Pak. Asal saya dari selatan Jawa Timur.”
“Wah, jauh juga. Saya Pak Unggul. Ayo duduk dulu. Jalanan sepi kalau siang begini.”

Tegar duduk di kursi panjang dari bambu di depan rumah Pak Unggul. Angin laut bertiup pelan membawa aroma garam dan sesuatu yang lain—bau amis, atau mungkin asap dari tungku pembakaran.

“Kalau mau balik, besok aja, Mas Tegar,” lanjut Pak Unggul. “Kendaraan umum cuma lewat sampai jam dua belas siang. Setelah itu, sepi.”

“Lho, nggak bisa nyegat bus di jalan besar?”

Pak Unggul tersenyum, matanya menatap kosong ke arah hutan. “Coba aja kalau mau nekad. Tapi masnya pasti lihat sendiri tadi, kan? Jalanan sepi, hutan kiri kanan. Malam... gelap total.”

Tegar terdiam. Ia tidak ingin bermalam di tempat asing, tapi kenyataan memaksanya.

“Sudahlah. Nginep aja di sini. Nggak usah sungkan,” ujar Pak Unggul sambil berdiri.
Siang itu, Tegar memutuskan berjalan keliling desa. Ia melihat kehidupan sederhana para nelayan—menjemur ikan, memperbaiki jaring, memanggul ember-ember besar ke perahu. Tapi ada satu pemandangan yang membuatnya berhenti.

Sebuah perahu kecil merapat ke dermaga, membawa dua ekor ikan tuna raksasa.

Tegar mengernyit. Alat tangkap mereka tampak sangat sederhana. Jangankan alat berat, jala pun tampak rapuh.

Ia mendekat. Di sudut kapal, ia melihat kembang tujuh rupa, kemenyan, dan sebuah tungku tanah kecil. Aromanya menusuk.

“Pak, ikan segede itu ditangkap pakai apa? Nggak mungkin jala, kan?” tanya Tegar, heran.

Seorang nelayan tertawa pendek. “Mas baru pertama kali ke sini, ya?”

“Iya, baru nyasar tadi.”
“Ikan ini nggak bisa dijala atau dipancing, Mas.”
“Lha terus... gimana nangkapnya?”

“Disantet.” jawab nelayan itu tenang sambil menurunkan ikan bersama rekannya.

“Disantet?” Tegar mengulang pelan, tak yakin ia mendengar benar.

“Iya. Disantet dulu, baru ngambang. Habis itu tinggal dinaikkan ke kapal,” jawab nelayan lain dengan nada biasa, seperti menjelaskan cara menanak nasi.

Tegar menyingkir. Tubuhnya merinding. Tapi yang lebih aneh, warga desa tidak tampak takut atau tabu saat menyebut kata ‘santet’. Seolah itu bagian dari rutinitas harian.

Menjelang malam, Tegar kembali ke rumah Pak Unggul. Tapi langkahnya terhenti saat melihat keramaian menuju pantai. Obor-obor menyala, wajah-wajah warga tegang. Tegar mengikuti mereka.

Sesampainya di tepi laut, Tegar melihat beberapa kapal nelayan terdampar di pasir. Suasana sunyi, hanya suara ombak dan isak tangis yang terdengar.

“Mati... mereka semua mati...” gumam seorang ibu dengan suara gemetar.

“Siapa?” tanya Tegar pelan pada orang di sebelahnya.
“Nelayan yang pergi tiga hari lalu. Baru balik... tapi begini.”

Tegar mendekat. Di depan matanya, jasad-jasad nelayan terbujur kaku. Tubuh mereka utuh, tidak ada luka. Namun... mata mereka, hilang. Hanya rongga kosong yang tersisa.

“Tidak ada tanda pukulan, tidak ada luka. Tapi matanya... dicungkil, entah oleh apa…” bisik salah satu warga.
Read 20 tweets
Jun 19
PUSAKAYANA
Part 6 - Penjara Waktu

Paklek tiba di desa Ki Satmo. Kemunculan pusaka kadewatan disana membawa petaka yang mengerikan, namun hanya tempat itu yang bisa menghubungkan paklek dengan Pusakayana...

#bacahorror @bacahorror @ceritaht Image
Cahaya putih menyilaukan mata. Dalam sekejap, lambang mandala yang menyatu di telapak tangan Danan dan Cahyo lenyap begitu saja—dan bersama cahaya itu, tubuh mereka terpental kembali ke zaman di mana ratusan nyawa dipertaruhkan hanya dalam satu kedipan mata.

Langit berwarna kelabu. Udara mencekam.
Di hadapan mereka, samar-samar tergambar satu pertarungan yang bergerak begitu lambat yang berat sebelah.

Bli Waja, berdiri tegak meski tubuhnya mulai koyak, ia berusaha menahan satu wajah dari makhluk terkutuk itu, Sang Triyamuka Kala yang berusaha lepas dari penjara waktu Bli Waja.

Danan mendongak, menatap salah satu wajah yang sebelumnya berhadapan dengannya. Kini ia tahu, wajah itu tak lain adalah perwujudan jahat Sang Hyang Talapraja.

Waktu terhenti saat akar-akar dari wajah itu berhenti tepat saat akan menembus roh Nyi Sendang Rangu.

“Danan… kau berhasil?” Sebuah suara akrab menyela keheningan.

Cahyo. Ia muncul dari sisi lain, tubuhnya terluka tapi matanya bersinar.

“Semoga saja… pusaka ini yang dimaksud,” jawab Danan sambil menggenggam erat belati tulang putih di tangannya.
Read 29 tweets
Jun 13
PUSAKAYANA
Part 5 - Pusaka Para Raja

"Lambang mandala itu terhubung dengan hatimu, Cahyo. Bukan kepada tempat. Bukan kepada waktu. Tapi pada tujuan terdalam dalam dirimu..."

#bacahorror @bacahorror @ceritaht Image
Link Part Sebelumnya :
Part 1 : x.com/diosetta/statu…
Part 2 : x.com/diosetta/statu…
Part 3 : x.com/diosetta/statu…
Part 4 :
x.com/diosetta/statu…
Kembang Getih… Itulah yang semula Cahyo kira sebagai satu-satunya masalah di desa ini.
Sebuah bunga merah darah yang tumbuh diam-diam dari tanah bekas kematian, dan dengan cara yang mengerikan, menghidupkan kembali roh-roh warga yang mati mengenaskan.

Namun kini, Cahyo mulai sadar, ini bukan sekadar kutukan. Ini adalah luka dari masa lalu yang dibiarkan membusuk terlalu lama.

“Apa yang akan kita lakukan sekarang?” Cahyo bertanya, suaranya pelan namun tegas, mencoba memecah kebisuan yang menggantung berat di udara pagi.

Kerta berdiri mematung menatap arah desa, sementara Mbah Wongso duduk bersila di tanah, berusaha mengatur napas yang sejak tadi memburu. Ada duka dalam matanya, namun juga tekad yang mulai menyala kembali.

“Kita nggak mungkin kembali ke desa, kan?” Kerta akhirnya bersuara. “Berarti tujuan kita cuma satu.” Ia menoleh ke arah hutan, tempat dimana Kembang getih mekar.

“Jadi… saat ini kita tetap akan cari cara untuk menghentikan kutukan Kembang Getih itu?” tanya Mbah Wongso pelan.

Cahyo menggeleng pelan. Ada sesuatu yang menahannya untuk ikut menyepakati itu.

“Yakin, Mbah? Walaupun kutukannya dihentikan… aku nggak yakin mereka, para warga itu, akan benar-benar berhenti menyembah iblis Raden Reksomayit itu.”

Ucapannya bukan sinis—melainkan getir. Ia tahu betul bahwa dosa manusia lebih dalam dari sekadar bunga terkutuk. Dosa yang lahir dari rasa takut… atau haus akan pemuas nafsunya.

Mbah Wongso terdiam. Lama. Lalu mengangguk, pasrah tapi mantap.

“Lambang mandala Mbah... muncul demi menghentikan kutukan itu. Kalau itu jalannya, maka itu yang akan Mbah tempuh.”
Read 31 tweets
Jun 6
PUSAKAYANA
Part 4 - Kembang Getih

Kembang yang tumbuh di desa memanggil satu-persatu manusia di sana untuk mati. Ada yang disembunyikan oleh desa misterius itu..

#bacahorror @bacahorror Image
Link Part Sebelumnya :
Part 1 : x.com/diosetta/statu…
Part 2 : x.com/diosetta/statu…
Part 3 : x.com/diosetta/statu…
Rasa sakit menjalar ke seluruh tubuh Cahyo tepat saat ia tersadar. Dadanya sesak, seakan ditindih batu. Napasnya terengah, dan dunia di sekelilingnya berputar perlahan. Dalam kepalanya, gema suara Bli Waja masih terngiang..

“Kau harus mencari cara mengalahkan satu wajah Triyamuka Kala. Waktu di tempat Wanasura akan berhenti—tapi hanya untuk sementara.”

Mata Cahyo menatap ke telapak tangan kanannya. Simbol mandala yang samar-samar berpendar di sana seperti hidup, denyutnya seirama dengan jantung Cahyo. Ia menggertakkan gigi dan berbisik..

“Wanasura... Aku pasti akan kembali sebelum waktu kembali berjalan...”

Cahyo berdiri perlahan. Sekelilingnya gelap dan sunyi. Di balik bayang-bayang pepohonan, rerumputan tinggi bergoyang ditiup angin malam yang dingin menggigit. Jauh di kejauhan, kilauan api samar menyala.

“Desa?”gumamnya, penuh ragu.

Semakin ia mendekat, nyala itu bertambah jelas—bukan cahaya lampu listrik, melainkan obor dan lampu minyak. Cahyo melangkah ke dalam sebuah desa tua yang tersembunyi di antara pepohonan, rumah-rumahnya berjauhan, terhubung hanya oleh jalan tanah setapak yang dipenuhi lumut.

Tak ada kabel. Tak ada suara mesin. Hanya desir angin dan bunyi dedaunan. Cahyo menyadari bahwa ia berada di zaman yang jauh di belakang.

Atmosfer terasa ganjil. Udara seperti lebih berat. Setiap langkah menimbulkan rasa tidak nyaman. Saat itulah ia mulai melihatnya—satu per satu...

Orang-Orangan Sawah.
Read 25 tweets

Did Thread Reader help you today?

Support us! We are indie developers!


This site is made by just two indie developers on a laptop doing marketing, support and development! Read more about the story.

Become a Premium Member ($3/month or $30/year) and get exclusive features!

Become Premium

Don't want to be a Premium member but still want to support us?

Make a small donation by buying us coffee ($5) or help with server cost ($10)

Donate via Paypal

Or Donate anonymously using crypto!

Ethereum

0xfe58350B80634f60Fa6Dc149a72b4DFbc17D341E copy

Bitcoin

3ATGMxNzCUFzxpMCHL5sWSt4DVtS8UqXpi copy

Thank you for your support!

Follow Us!

:(