Obsesi orang-orang terhadap agama suami Maudy Ayunda menjadi lahan eksploitasi bagi sejumlah media. Mereka beralasan, "Ingin tau doang apa salahnya?"
Tapi pertanyaan lebih mendasarnya, mengapa dari awal mereka merasa perlu tahu detail agama ini? Sebuah utas #Remotivi
Mari kita bisa lihat dari konsep identifikasi yang ditawarkan Cohen (2001). Menurutnya, ada kecenderungan orang mengidentifikasi karakter yang ia temui di media untuk mencari kesamaan dengan tokoh tersebut.
Mari kita coba identifikasi kesamaan antara admin dan suami Maudy Ayunda. Latar pendidikan, beda. Kelas sosial, beda. Kelas ekonomi, jelas beda. Warga negara pun beda. Lalu apa yang sama? Aha, agama!
Fanatisme semacam ini biasanya tercermin lewat komentar warganet: “PROUD!”
Bukan hal yang mengejutkan media menanggapi fenomena ini dengan pendekatan bisnis. Media menggaungkan informasi yang diinginkan target pembacanya dan, ya, topik agama selebriti tak akan pernah basi.
Selain itu, perpindahan agama suami Maudy Ayunda juga menjadi sorotan. Bagi sebagian orang, perpindahan agama hal biasa yang tidak perlu dibesar-besarkan. Tapi sebagian yang lain merasa ada "kemenangan kecil" yang perlu disyukuri. Mengapa demikian?
Kami pernah melakukan penelitian kecil terhadap sejumlah media untuk memahami seperti apa pemberitaan media terhadap selebriti yang pindah dari muslim ke non-muslim dengan mereka yang pindah dari non-muslim ke muslim?
Hasilnya, yaa kalau bisa jangan murtad, mending mualaf.
Ketika secara garis besar pola pemberitaan perpindahan agama minoritas ke mayoritas dibingkai positif dan perpindahan agama mayoritas ke minoritas dibingkai negatif, maka ideologi yang mengoperasikan cara media dan wartawan menulis isu pindah agama adalah "mayoritanisme".
Kerja Mayoritanisme berorientasi pada jumlah populasi. Artinya, mereka yang banyak adalah mereka yang dilayani. Tampaknya, kebanyakan media di Indonesia mengadopsi cara berpikir ini.
Banyak orang mungkin tidak setuju, termasuk wartawan yang akan berpendapat bahwa apa yang media beritakan hanyalah merekam realita selebriti yang pindah agama.
Tapi Teori Framing menolak anggapan itu. Apa yang ditulis dan apa yang dibingkai di media bukanlah cerminan realitas.
Sebab, pembingkaian selalu melibatkan seleksi, penonjolan, dan peniadaan. Ada fakta yang dipilih dan diabaikan. Ada fakta yang diperlakukan secara khusus dan dikorek terus. Tapi ada juga fakta hanya dilihat sambil lalu.
Semua ini memang proses kerja jurnalisme. Yang jadi perhatian adalah bagaimana media dan jurnalis membawa kerja-kerja tersebut dalam memberitakan identitas agama seseorang?
Selengkapnya tentang penelitian terhadap narasi pemberitaan pindah agama bisa dilihat melalui artikel yang ditulis oleh @roythaniago berikut.
Bukan cuma ayam geprek yang banyak cabangnya. Jurnalisme juga!
Sebuah utas tentang berbagai bentuk liputan dalam dunia jurnalistik. #Remotivi
Jenis jurnalisme ini cocok untuk kamu yang suka berita dengan nada sindiran dan bumbu-bumbu komedi. Di Indonesia, media yang mengadopsi gaya ini salah satunya adalah @krocotv.
Jurnalisme komik bisa jadi strategi alternatif untuk melaporkan isu kompleks dengan menarik agar audience lebih mudah memahaminya. Dulu @jurnaliskomik_ punya beragam liputan unik dengan komik-komiknya. Sayangnya, sudah lama tidak terdengar kabar mereka.
Ketika pihak yang keberatan terhadap karya jurnalistik makin mudah mengkriminalisasi jurnalis menggunakan UU ITE, kita sebagai publik juga ikut dirugikan.
Seberapa parah sih situasi hak ekspresi dan berpendapat kita di internet?
Sebenarnya dalam UU Pers sudah diatur tahap yang harus dilakukan oleh mereka yang keberatan terhadap pemberitaan sebelum menggugat ke pengadilan. Jadi nggak tiba-tiba lapor ke polisi. Seperti apa tahapannya?
Pertama dengan menggunakan Hak Jawab, yakni dengan meminta media memuat fakta dan opini yang belum ditampilkan dalam berita yang dipermasalahkan.
Penelitian anti-fan pertama baru dilakukan pada 2003, diprakarsai oleh Jonathan Gray, di mana ia secara tidak sengaja ketika dalam wawancara menemukan perbedaan antara fans The Simpson dan pasangan mereka yang non-fans dan anti-fans.
Gray menemukan bahwa anti-fans mempunyai pengetahuan yang dalam tentang suatu teks, tapi menginterpretasikannya berbeda.
Logikanya, orang yang tidak menyukai sesuatu tidak akan mencari tahu objek yang mereka tidak sukai. Tapi, anti-fans justru melakukan hal yang sebaliknya.
Kami turut berduka untuk seluruh korban kecelakaan pesawat Sriwijaya Air SJ 182 sekaligus berduka atas gagapnya jurnalisme di banyak media Indonesia yang tak kian membaik dalam meliput bencana.
Memang ada dua cara meliput peristiwa mendadak, seperti kecelakaan ini.
Pertama, liputan yang fokus dengan informasi-informasi dasar mengenai kecelakaan itu sendiri. Dari hal-hal berkaitan dengan penyebab kecelakaan sampai tindakan-tindakan yang dilakukan oleh pengambil kebijakan dalam merespon sebuah peristiwa.
Kedua, liputan bergaya human interest. Liputan ini lebih mengandalkan penggambaran orang secara emosional daripada data-data keras. Contohnya seperti liputan The Guardian ini.
KESALAHAN MEDIA KETIKA MENULIS BERITA KEKERASAN SEKSUAL
== A THREAD ==
1. Menggiring pembaca untuk menghakimi penyintas, misal dalam kasus artis sebagai pekerja seks.
2. Menggiring pembaca untuk memaklumi/menganggap wajar perbuatan pelaku, misal menggunakan diksi “pelaku khilaf”, “tidak kuat menahan nafsu”, “terpaksa nekat”, “sudah lama tidak berhubungan intim”, dll.