Saya meyakini agama dan budaya seharusnya kita pilah.
Memilah bukan berarti menjauhkan keduanya. Keduanya tetap dalam konteks menjalankan Islam. Namun dengan memilah, kita jadi paham mana yang harus meniru persis Nabi dan mana yang tidak.
Nabi Muhammad adalah utusan Allah untuk menyampaikan ajaran agama dengan segala ritual ibadahnya, namun untuk urusan hidup keduniaan, tak perlu kita meniru persis apa yang dilakukan Nabi.
Kita harus memandang Islam ke masa depan, bukan kembali ke masa lalu.
Agar lebih mudah, saya membagi dalam 2 kolom seperti di infografis yang saya sertakan.
>Kolom Agama<
Kolom agama berisi tentang semua hal yang berhubungan dengan ibadah vertikal atau hablumminallah. Mulai dari Rukun Islam sebagai kewajiban, hingga ibadah-ibadah sunnah lainnya.
Semua dalam Kolom Agama ada aturan baku. Tata caranya bersumber Quran Hadis dan kita menjalankan dengan sama persis.
Dan selain ibadah, di Kolom Agama ini kita juga harus mematuhi "Aturan Mutlak" yang berlaku jika kita memang memilih beragama Islam.
Aturan mutlak ini melarang kita untuk:
- makan babi, darah, bangkai, dan hewan yang dipersembahkan ke selain Allah.
- berzina
- minum minuman keras
- berjudi
Aturan mutlak ini tak bisa ditawar. Kita tak perlu mencari-cari alasan ilmiahnya. Kita cukup mentaati.
>Kolom Budaya<
Kolom Budaya ini urusan keduniaan. Kunci dari kolom ini adalah AKHLAK. Nabi memberi teladan berupa akhlak mulia. Jangan diukur dengan standar sekarang. Namun lihatlah kondisi saat itu di masyarakat Arab.
Tak mungkin Nabi diterima ajarannya tanpa akhlak yang baik.
Akhlak bisa kita sebut dengan "kebaikan universal" yang seiring waktu terus berkembang sesuai kondisi manusia.
Dalam hidup, manusia bersepakat dari tingkat terkecil di kampung hingga ke level dunia. Semua ada kesepakatan. Dan kita lihat, arah peradaban manusia itu makin membaik.
Manusia makin menyatu, borderless, dan makin menuju perdamaian dunia. Iya, masih ada perang, namun jauh lebih sedikit dibanding zaman dulu.
Aturan yang disepakati inilah yang harus kita ikuti. Kesepakatan bermasyarakat, bernegara, hingga aturan antar-bangsa, harus kita ikuti.
Akhlak atau kebaikan universal tidak statis. Dia berkembang. Contoh: seluruh dunia, pada zaman dulu pernah mengakui perbudakan. Nilai kebaikan universal saat ada perbudakan jika dibandingkan dengan sekarang, tentu berbeda.
Dulu mungkin tak ada aturan batas pria menikahi berapa wanita. Seorang raja di Cina bisa punya ribuan istri. Itu wajar. Di saat itu. Di tempat itu. Namun tentu beda jika pakai ukuran sekarang.
Batasan untuk nilai-nilai kebaikan universal saat itu dan saat sekarang tentu berbeda.
Begitu juga di agama. Islam pada dasarnya tak memberi batasan, pun tak memberi anjuran, untuk ptia mau menikahi berapa istri.
Jika Nabi saat itu menikahi banyak wanita, itu memang karena tak ada masalah saat itu. Tak ada keburukan sedikitpun saat itu. Bahkan justru kebaikan.
Begitu pula saat Nabi tidak melarang perbudakan. Atau saat menikahi gadis di bawah umur. Apakah melanggar nilai-nilai kebaikan universal saat itu? Tidak. Itu suatu hal yang wajar saat itu. Itu hal yang masih diterima logika saat itu.
Bukan hanya di arab, namun di seluruh dunia.
Namun saat kebaikan universal itu berkembang seperti sekarang di mana kita bersepakat bahwa ada batasan usia minimal bagi perempuan untuk dinikahi, ya jelas kita tak boleh melakukan itu. Alasan meniru Nabi pun jelas tak berlaku lagi.
Bahkan, itu justru memalukan agama Islam jika saat ini ada orang menikahi anak di bawah umur lalu berlindung ke apa yang dilakukan Nabi. Itu berarti tak paham tujuan beragama.
Begitu juga poligami, terutama bagi yang merasa bahwa poligami tak harus mendapat izin istri.
Itu urusan kemanusiaan. Urusan akhlak. Urusan kebaikan universal. Dan kepantasan di zaman Nabi dengan zaman sekarang, JELAS BERBEDA.
Jangan pernah melanggar norma sosial, apalagi norma hukum, dengan memakai dalih Nabi pernah melakukannya.
Misal Anda mau melakukan perbudakan saat ini. Jelas tak bisa dibenarkan meski Nabi dulu tak melarang secara jelas perbudakan.
Itulah pentingnya logika dalam beragama. Bukan taqlid. Bukan asal mengikuti namun sebenarnya tidak sesuai dengan hati nurani kita.
Hubungan sesama manusia ini tak akan pernah bisa dibuat aturan yang sempurna hingga hari akhir. Standar kemanusiaan akan terus berkembang dan aturan akan terus disesuaikan dengan kondisi zaman.
Pun aturan kemanusiaan yang diajarkan Nabi. Dengan logika, kita tahu bahwa Nabi memberi contoh berakhlak mulia dengan latar belakang kondisi masyarakat saat itu.
Kita bukannya meniru persis, namun ambil pelajaran dari itu lalu menjadi orang yang berakhlak mulia di zaman kita.
Islam di masa depan haruslah menjadi Islam yang logis, Islam yang asik, Islam tanpa marah-marah, dan mewujudkan Islam yang benar-benar menjadi rahmat bagi semesta alam.
-akhir utas-
• • •
Missing some Tweet in this thread? You can try to
force a refresh
Bagi cebong:
Jokowi difitnah, tapi Anies memang tak bisa kerja.
Ya sama saja, bagi kadrun:
Anies difitnah, tapi Jokowi memang anti-Islam.
Semua itu kan SUDUT PANDANGMU. Dan itu TERSERAH!
Tapi yang jelas keduany melahirkan fenomena anti-Jokowi dan anti-Anies.
Nggak semua penduduk memilih capres di TPS memakai alasan yang sama dengan Anda. Ada banyak orang yg nggak ikutan hiruk pikuk Twitter yang nyoblos ya sesuai hati nurani mereka.
Harus diperjelas: Saya bilang "ada banyak", bukan "semua", atau "mayoritas", atau yang lain.
Ada orang yang suka ungkit2 bahwa Singapura dulu negara Melayu dan sekarang dikuasai pendatang. Atau suka bilang bahwa Spanyol dulu pernah dikuasai Islam.
Itu adalah orang2 yang tak bisa move on.
Itu seperti fans MU yg sukanya cuma ngomongin zaman Sir Alex :)
Ada juga yang suka mengungkit bahwa Islam dulu pernah mendominasi ilmu pengetahuan dunia.
Orang-orang itu semacam terjebak di romantisme zaman dulu yang terlihat lagi bingung bagaimana caranya bisa mengembalikan kejayaan yang dia banggakan.
Orang-orang seperti itu harusnya sadar bahwa Islam saat ini "terlihat" tertinggal itu justru karena orang-orangnya mayoritas seperti mereka yang memperburuk citra Islam.
Saat itu Islam bisa berkembang justru karena pemikirannya terbuka sehingga bisa bersaing di urusan dunia.
Saya sama sekali tak setuju jika anjing disebut binatang paling hina. Dalam sejarah Islam, sering sekali anjing jadi cerita yang baik. Sama sekali tak menunjukkan bahwa anjing itu hina dan kotor.
Bahkan soal najis, saya termasuk yang yakin bahwa anjing tidaklah najis.
Saya pernah mengagumi Amien Rais.
Saya pernah mengagumi Cak Nun.
Saya pernah mengagumi Anies Baswedan.
Saya pernah mengagumi UAS.
Saya pernah mengagumi Aa Gym.
Saya pernah mengagumi Yusuf Mansur.
Jika sekarang tak lagi, bukan karena saya yang berubah, tapi mereka yang berubah.
Ada yang anggap tulisan saya ini berarti: SEMUA ORANG BERUBAH, HANYA SAYA YANG TAK BERUBAH.
Tidak. Banyak tokoh yang tak berubah.
Ada yang dari awal saya kagum dan hingga sekarang saya tetap kagum.
Ada juga yang dari awal saya tidak kagum, dan sampai sekarang juga tidak.
Saya hanya sampaikan pendapat saya tentang tokoh2 itu yg memang pernah saya kagumi. Namun seiring waktu, ada hal dari mereka yg berubah hingga merubah penilaian saya. Tentu ini pendapat pribadi saya.
Dalam hal ini konteksnya tokoh Islam ya, semua yg saya sebut adlh tokoh Islam.
Meski Jokowi sudah tak mungkin lagi melanjutkan jabatannya di tahun 2024, tapi suara (pemilih) Jokowi dan anti-Jokowi, terus dipelihara oleh kedua belah pihak.
Cebong-Kadrun akan tetap hadir di Pilpres 2024 nanti.
Kita mungkin banyak yang terganggu dengan adanya polarisasi cebong-kadrun, tapi orang-orang di atas sana, masih menganggap bahwa pendukung Jokowi maupun anti-Jokowi adalah kantong suara yang efektif untuk dikendalikan.
Kegaduhan yang terus terjadi saat ini adalah bukti bahwa kantong suara kedua kubu terus dipelihara.
Masyarakat akan terus dipengaruhi terus-menerus untuk memilih kubu: Jokowi dan anti-Jokowi.
Dari 4 mazhab, hanya 1 yang mengatakan bahwa anjing tak najis. Hal ini berakibat banyak muslim memusuhi anjing, khususnya di muslim Indonesia. Jika kita mau berpikir logis, harusnya anjing itu tidaklah najis.
Celakanya, karena anggap anjing itu najis, banyak orang muslim di Indonesia jadi takut luar biasa akan anjing. Bahkan banyak yang membenci dan anggap anjing adalah hewan yang boleh disakiti. Mengerikan!
Cobalah kita pikir lagi saat ini. Apa benar air liur anjing itu najis?
Dalil mengenai najis selalu didasarkan pada hadis Nabi tentang wadah makan atau minum yang dijilat anjing diperintahkan dicuci 7 kali.
Coba dipikir lagi, bagaimana mungkin dalil itu kemudian kita simpulkan bahwa air liur anjing najis??