kalong Profile picture
Jun 8, 2022 900 tweets >60 min read Read on X
A thread

-ROGOH NYOWO-
PESUGIHAN & PENGANUT ILMU HITAM

@bacahorror @IDN_Horor #bacahorror #bacahoror #threadhorror Image
Ketika pelaku pesugihan digabung dengan mencari ilmu hitam, tumbalnya pun gak main-main. Hingga memakan banyak korban.
Tapi satu hal yang ingin saya sampaikan di cerita ini, bahwasanya gaib itu benar-benar ada. Semoga para pembaca sekalian bisa mengambil hikmah dan sebagai pembelajaran dari setiap cerita yang di suguhkan.
Sebelum di mulai.
Bantu rt dan like ygy.
Suasana duka tampak menyelimuti sebuah rumah berukuran sedang, berdinding papan, dan beralaskan tanah. Cahaya lampu petromak juga tampak menerangi ruang depan dan belakang.
Di dalam, tepatnya di ruang tamu, sebuah meja panjang terpasang menyilang dengan seonggok tubuh membujur diatasnya. Tubuh pucat tanpa nafas, tertutupi kain-kain jarik batik, adalah milik sesosok wanita muda yang meninggal sekitar 3 jam lalu.
Narsih, gadis cantik nan malang. Meninggal dunia di usianya terbilang belia, sebab sakit aneh yang lama dideritanya.

Di sisi kanan dan kiri meja, terdengar suara lantunan Ayat-Ayat Suci Al Quran, tengah dibaca beberapa perempuan berkerudung hitam.
Sedangkan di belakang rumah, dua orang laki-laki tampak sedang berbicara serius, bersama seorang lelaki tua berbaju dombor, berikat kepala hitam.

“Sebaiknya, Narsih di kubur kan di tanahmu sendiri, biar lebih aman," ucap lelaki tua berikat kepala hitam.
"Tapi, Saya tak punya tanah sendiri di dekat rumah, Mbah," jawab laki-laki berkopiah hitam lusuh, tak lain ayah dari Narsih, wanita yang baru meninggal.

“Ini yang menyulitkan,” sahut lelaki tua berbaju batik, di sebelah lelaki berikat kepala hitam.
“Ya sudah, begini saja. Kuburkan di tanah makam. Tapi, cari tempat di tengah-tengah dan tetap harus dijaga sampai 40 hari."

Dengan tegas, akhirnya Mbah Rekso, sosok yang di sepuhkan di desa itu, memutuskan.
Di samping Mbah Rekso di kenal sebagai sesepuh, beliau juga di kenal dengan ilmu-ilmu Kejawen. Sehingga masyarakat di desa itu segan dan menaruh hormat pada beliau.
Hari berganti pagi, prosesi mensucikan jenazah Narsih rampung. Penggalian liang lahat yg letaknya hampir di tengah-tengah tanah makam umum, jg sudah selesai.

Terlihat dari beberapa penduduk ikut dalam penggalian, tampak sudah duduk-duduk santai sembari menanti jenazah datang.
"Denger-denger, kuburan Narsih ini akan dijaga sampai 40 hari ya, Kang?” tanya salah seorang dari mereka, sambil sibuk meracik tembakau dan cengkeh untuk dijadikan rokok.
“Ya, harus. Kalau gak, wah ... bahaya," sahut temanya yang duduk di sebelahnya, seraya menuangkan kopi dari TEKO ke dalam gelas.

"Memang, bahaya kenapa?" kembali satu temanya bertanya dengan mimik wajah heran.
“Gak tau pastinya. Cuma, kata Mbah Rekso begitu. Jadi, yang tau alasannya, ya Mbah Rekso," jawab temanya tadi, sambil meneguk kopi sedikit sudah menghangat.
Tak lama kemudian, mereka terdiam.
Saat mata mereka melihat iring-iringan para pelayat, berjalan di belakang sebuah keranda, yang di pikul empat orang laki-laki.

Salah satu dari pengiring, tampak menaburkan bunga warna-warni di sepanjang jalan yang dilalui.
Di tambah isak tangis keluarga Narsih, menambah suasana duka di hari itu.

Setelah melewati beberapa gundukan tanah, sampailah keranda jenazah dan di letakan, tepat samping sebuah liang lahat yang bakal menjadi rumah terakhir bagi Narsih.
Suara Adzan sebentar berkumandang, setelah penutup keranda di buka. Terlihat sebujur tubuh kaku jenazah Narsih berbalut tiga lembar kain putih. Wajahnya pucat, dengan beberapa kapas menempel pada bagian-bagian tertentu.
Juga, beberapa tali masih terlihat mengikat dari ujung kaki sampai atas kepala.
Tiba saatnya jenazah Narsih di masukan ke liang lahat. Terdengar iringan tangis, dari keluarga Narsih, seperti belum bisa merelakan.
Setelah selesai jenazah diletakan, dan Iqomah terdengar, papan juga terpasang rapi menutupi mayat Narsih, barulah tanah-tanah galian di urukkan kembali hingga menutup dan membentuk sebuah gundukan bernisan kayu kuncup.
Lantunan bait-bait Doa, mengiringi proses akhir pemakaman Narsih. Isak tangis masih terdengar tersedu dan lirih, ketika langkah kaki para pelayat mulai meninggalkan tanah makam umum. Namun mereka, para pelayat dan beberapa anggota keluarga, -
tak menyadari, bahwa di sudut ujung tanah makam, tepatnya di samping sebuah pohon Lego besar menjulang, sepasang mata tengah mengawasi dari awal sampai akhir proses pemakaman.
Mata dari sesosok laki-laki setengah baya, berperawakan kurus tinggi berkulit hitam. Ia tersenyum melihat para pelayat sudah meninggalkan tanah kuburan. Di mana, Sang perawan ontang anting di makamkan.
“Akhirnya, yang ku tunggu-tunggu dan ku cari sekian lama, kini ada di depan mata." ucapnya lirih, disertai senyum sinis tersungging di bibirnya yang kecoklatan.
Hari terus bergulir, terik matahari yang menyengat dirasa warga kampung, sejenak terganti dengan kesejukan senja sore. Membuat sebagian mereka, masih berada di sawah-sawah semakin bersemangat.
Namun, hal itu tak berlangsung lama. Sebab, sebentar kemudian, gumpalan awan-awan hitam berkejaran dan menutup semburat merah di ujung langit timur.
“Ayo, cepat! keburu hujan nanti." Teriak Inal, salah seorang bakal di tugaskan menjaga kuburan Narsih bersama dua temannya, Tono dan Sugeng.

Mereka bertiga yang sedang membuat tenda dari papan sebagai alas, dan terpal sebagai penutup, sedikit panik.
Melihat angin kencang dan mendung begitu pekat, menandakan jika langit akan menumpahkan Rahmat hujannya.
Sedikit demi sedikit, ketiganya merampungkan tenda bakal tempat bermalam selama beberapa hari guna menjaga makam Narsih. Tanpa tau, tanpa sadar, dengan besarnya resiko yang akan mereka hadapi.
Sore itu langit Singosari (samaran) hampir rata menjatuhkan air hujan. Hawa dingin mulai menusuk, membuat hampir seluruh masyarakat Desa, khususnya kampung Krajan, memilih untuk berdiam diri rumah.
Rerata, rumah-rumah penduduk yang masih berdinding papan dan penerangan dari lampu-lampu dimar, tertutup dan sepi. Membuat Kampung Krajan seolah menjadi kampung mati.
Tapi, malam sunyi itu, tak berlaku untuk tiga laki-laki berumur 30 tahunan. Mereka harus keluar, melawan hembusan angin dingin dan pekatnya malam, guna menjaga kuburan Narsih. Sebab, mereka telah sanggup dengan bayaran yang telah disepakati selama 40 hari.
Meski hujan masih menyisakan gerimis kecil, tak membuat ketiganya mundur. Bermodalkan lampu petromak, ketiganya berjalan menyusuri jalanan Kampung yang sepi dan gelap. Hanya suara binatang kecil terdengar, seolah ikut mengiringi awal pekerjaan mereka.
Langkah ketiganya melambat, saat memasuki jalan setapak becek dan banyak berkubang lumpur. Hingga sampai di sebuah rumah sedikit besar dan tampak terang, mereka berhenti. Menunggu sebentar,-
dan tak lama menyambut kemunculan dua wanita membawa termos dan bungkusan-bungkusan dari daun pisang, sebagai bekal pemberian keluarga Narsih.
“Kalian bertiga, harus benar² menjaganya. Jgn sampai kalian lengah. Karena kuburan Narsih, sudah pasti diincar byk orang. Ingat! Klau ada apa² kabari saya secepatnya, " ucap Mbah Rekso, dari ambang pintu dg raut wajah datar pd Inal, Tono, dan Sugeng, yg lgsg dijwb anggukan pelan.
Setelah menerima bekal, dan dirasa cukup semua pesan dari Mbah Rekso, ketiganya berpamitan. Meneruskan langkah menuju tenda, yang sudah mereka buat sore tadi.
Sebuah tenda beratap dan berdinding terpal hijau. Berpilar bambu dan berlantai papan bersusun, terletak persis di belakang pintu masuk makam umum. Gelap, dingin, dan menyeramkan sudah barang tentu terasa di tempat itu. Tapi tak membuat ciut nyali ketiganya.
Sesampainya mereka di tenda, Inal langsung menggantung lampu petromak di pilar bambu. Sedang Sugeng dan Tono, bermodalkan senter dengan 3 batu baterai di tangan, langsung berjalan menuju makam Narsih, guna memastikan bahwa makam Narsih masih aman.
Gundukan tanah basah, dengan sisa-sisa taburan bunga, tampak masih utuh. Bahkan, nisan bertuliskan NARSIH masih tegak lurus tak goyah sedikitpun, Membuat Tono dan Sugeng merasa lega.
Setelah memastikan, Tono dan Sugeng berbalik kembali ke tenda. Di mana, sudah ada Inal di dalamnya. Tiga gelas kopi telah Inal tuang, bersama makanan olahan dari singkong untuk menemani ketiganya berjaga.
“Gimana Ton, aman?” tanya Inal ketika Tono, masuk duluan ke dalam tenda. “Aman, Nal. Masih utuh" jawab Tono, sambil tanganya menyambar gelas berisi kopi hitam yang mereka bawa dari rumah pak Widi, orang tua Narsih.
Hal sama juga di lakukan Sugeng, ikut menyusul masuk ke dalam tenda.

“Kenapa to, kok, makam Narsih harus dijaga?” tanya Tono, merasa belum begitu mengerti tujuan utama pekerjaannya.
“Supaya tidak digali orang, dan di ambil sesuatu dari jenazahnya,” jawab Sugeng, paling tua di antara Inal dan Tono.

“Maksudnya, gimana to Kang? gak paham Aku,” kembali Tono bertanya, belum puas dengan jawaban Sugeng.
“Gini lho, Narsih ini perawan ontang-anting yang meninggal tepat malam jumat kliwon. Dan itu paling dicari oleh para penganut ilmu hitam. Karena….”
Penjelasan Sugeng seketika terhenti. Saat telinganya mendengar sesuatu, di balik pintu masuk makam umum yang hanya berjarak beberapa meter dari tenda mereka.

Sebentar ketiganya saling pandang, seperti sama mendengar suara dengusan kuat disertai geraman-geraman lirih.
“Jangan di dekati!" Larang Sugeng, melihat Inal akan beranjak mendekati pintu gerbang.

“Kenapa, kang?” tanya Tono heran.

“Biarkan dulu. Aku takut itu pancingan agar kita meninggalkan kuburan Narsih. Kamu ingat kan, pesan Mbah Rekso?” jelas Sugeng pada Tono.
Tono dan Inal terlihat tegang. Merasakan suasana mulai mencekam. Berbeda dengan Sugeng, terlihat biasa saja. Sugeng memang paling pemberani, di banding Inal dan Tono. Sebab dia sedikit banyak belajar dari Mbah Rekso.
Lama mereka menunggu dalam kebisuan. Namun tak ada tanda-tanda apapun selepas suara-suara itu menghilang. Membuat ketegangan di wajah mereka mengendur.
Malam terus bergulir, meninggalkan larut hingga ke dini. Sampai akhirnya sayup-sayup suara Tarhim terdengar, menandakan waktu Subuh hampir tiba. Sugeng yang tak terlelap semenit pun, segera membangunkan Inal dan Tono,-
tertidur meringkuk dalam dekapan sarung, mengakhiri tugas pertama mereka dengan hanya gangguan kecil.

Dari Surau kecil yang letaknya paling dekat dengan tanah Kuburan di banding Masjid, suara Adzan Subuh terdengar di kumandangkan oleh suara tua.
Setelahnya, hanya beberapa gelintir orang sepuh terlihat ikut menunaikan sholat subuh berjamaah. Miris, padahal satu kewajiban berpahala lipat ganda, namun justru tak menarik bagi sebagian besar kawula muda.
Mereka lebih asik berkelimpung di pembaringan, menikmati alam mimpi, mengabaikan diri mereka sebagai seorang hamba.

Tiga sekawan sang penjaga kuburan Narsih, segera beranjak. Setelah melihat semburat kemerahan di ufuk barat.
Mereka melangkah pulang bersamaan warga yang mulai keluar rumah menjemput rizki dengan berbagai peralatan masing-masing. Menandakan semangat juang, demi menyambung nafas anak dan istri.
Sawah dan ladang memang menjadi sumber utama penghasilan, dan kehidupan mayoritas warga Kampung Krajan. Bahkan, sudah seperti rumah kedua bagi mereka. Sebab, pergi petang pulang petang adalah menjadi keseharian mereka.
“Ke sawah, Mbah, Pakde?" sapa Sugeng, Inal maupun Tono saat berppsan di jln dgn para penduduk yg akan pergi ke medan lumpur.

Suasana akrab antar sesama sangat terasa. Mencerminkan satu budaya ramah tamah, sopan santun, masih dijunjung tinggi, sebelum tergerus era modernisasi.
Sebelum pulang kerumah masing-masing, ketiganya sebentar singgah di rumah Mbah Rekso, yang langsung disambut di teras depan rumah sederhana miliknya.

“Bagaimana, Sugeng? apakah ada gangguan?” tanya Mbah Rekso setelah mempersilahkan mereka duduk.
“Maaf, Mbah. Cuma gangguan-gangguan kecil,” jawab Sugeng, menunduk. Menandakan ia begitu menghormati Mbah Rekso.

“Semoga saja, sampai tutup lemah Jalasuto, tak ada yg berniat membongkar kuburan Narsih," ucap Mbah Rekso sembari menatap lurus ke depan, saat bergumam sebuah harapan
Sejenak suasana hening. Ketiga lelaki muda yang duduk di hadapan Mbah Rekso tertunduk diam. Menunggu, tanpa berani mengganggu lamunan lelaki tua, penerus awal Trah Rengko Sasmito. Tapi tak lama, suasana mencair dengan datangnya tiga gelas kopi dan satu gelas sebekong teh.
Obrolan hangat kemudian mengalir, diselingi candaan Mbah Rekso, sesekali menggoda ketiga lelaki muda yang masih membujang. Hingga matahari mulai menampakkan kegagahannya, dan juga kopi mereka pun tinggal ampas, mereka bertiga akhirnya pamit.

***
Malam kedua bagi Sugeng dan kedua temanya, masih seperti malam pertama. Hanya gangguan-gangguan kecil mereka alami. Namun saat malam ketiga, menjadi momok mengerikan untuk ketiganya.
Malam itu, entah mengapa suasana Desa dan tanah kuburan berbeda dari malam-malam sebelumnya. Hawa panas di rasakan semua penduduk Desa, tak terkecuali Sugeng, Inal dan Tono, yang sudah berada di tenda darurat mereka.
Sugeng terlihat duduk di sudut tenda, mengipas-ngipas sarung kotak-kotak warisan bapaknya. Mencoba melawan hawa panas yang sudah membuat tubuhnya berkeringat, sampai membasahi kaos oblong di penuhi bintik-bintik hitam, menandakan betapa akrabnya kaos itu melekat di tubuhnya.
“Kang, gerah banget ya, malam ini?" keluh Tono, juga merasakan panas, sembari melepas kancing-kancing kemejanya.

“Iya, padahal tadi siang mendung," sahut Inal, dari luar tenda.
Sedang Sugeng tak menanggapi. Ia masih asik dengan kipasan sarungnya. Sampai tak berapa lama, mereka bertiga sedikit terkejut. Ketika tiba-tiba sapuan angin kencang menghampiri dalam tenda.
Sesaat kepanikan muncul dari diri Inal dan Tono, mendapati hawa berbeda datang beriringan dengan angin panas.

Suasana semakin mencekam, ketika Inal mendadak melompat masuk ke dalam tenda. Wajahnya tegang, seraya matanya melirik ke ujung tanah makam sisi kanan.
“Kang, Aku melihat bayangan hitam masuk lewat sudut sana." Inal berucap sambil menunjuk arah. Dimana, ia melihat bayangan hitam, melompat bersamaan dengan datangnya angin kencang. Membuat Sugeng yang biasanya terlihat santai, langsung terjingkat, mendengar ucapan Inal.
"Sebelah mana?" tanya Sugeng, setelah bangkit dari duduknya.

"Dari sudut itu, Kang." Inal menjawab sambil jarinya menunjuk ke arah tempat dirinya yakini sebagai awal munculnya bayangan hitam.
Mata Sugeng langsung mengikuti arah telunjuk Inal. Sungguh masuk akal pikirnya, jika ada orang masuk melalui tempat itu. Sebab tempat yang di tunjuk Inal, adalah batas tanah makam dan tanah milik penduduk hanya terpisahkan sungai kecil.
Sejenak Sugeng tertegun. Sebelum tangannya menyambar senter dari dalam tenda.

“Nal, kita cek kuburan Narsih. Biar Tono jaga tenda." Ajak sugeng. Seraya melangkah pelan, sambil menghidupkan senter. Sedang Inal, tanpa menjawab langsung mengekor di belakang.
“Sebelah mana tepatnya Kamu lihat bayangan tadi?” tanya Sugeng kembali, saat sudah berjalan lumayan jauh dari tenda.

“Itu kang,” jawab Inal, mengarahkan cahaya senternya ke sudut tanah makam, di sebelah sungai kecil berbatas dengan ladang ubi milik warga,
Sugeng terus berjalan bersama Inal di belakangnya. Melangkah pelan, melewati gundukan-gundukan makam, yang terkadang harus mereka injak.

Langkah mereka baru terhenti, sesampainya di tempat inal, melihat bayangan hitam itu masuk.
Sekilas, tempat itu tampak biasa saja. Tak ada yang aneh dan ganijl. Sebelum Sugeng mengarahkan senternya ke bawah. Melihat jejak-jejak kaki bertanda hitam mengarah ke makam Narsih.

“Nal, cepat! Kita lihat kuburan Narsih!" Ajak Sugeng, menunjukan kepanikan.
Inal yg blm sempat menjawab, setengah berlari mengikuti Sugeng, sambil terus mengarahkan cahaya senter ke kuburan Narsih.

Sugeng dan Inal tak peduli lagi, kaki mereka berkali-kali menginjak, menendang nisan kuburan yg berjejer. Mengabaikan rasa takut, demi sebuah tanggung jawab.
Hingga sesampainya di kuburan Narsih, Sugeng dan Inal terdiam sebentar. Tak lama, keduanya menarik nafas lega. Melihat gundukan tanah masih berpayung, masih sama dan utuh.
"Kenapa tadi pucet banget, Kang?" tanya Inal, sedikit heran pd Sugeng. Saat begitu panik dan tegang sewaktu melihat jejak kaki bertanda hitam.

“Gapapa. Malam ini kita harus bener² extra menjaga kuburannya. Nanti giliran ngeceknya, ” jawab Sugeng tak menjelaskan yg sebenarnya.
Setelah beberapa kali memeriksa sekeliling kuburan Narsih, dan merasa aman, Sugeng dan Inal memutuskan kembali ke tenda.
Hawa mencekam benar-benar Sugeng rasakan saat melangkah, merasa bahwa sedang diawasi banyak mata dari samping kanan dan kiri. Namun, Sugeng. Mencoba untuk tak mengindahkannya, meski dadanya bergemuruh tak beraturan.
“Gimana Kang, aman?” tanya Tono begitu melihat dua temanya masuk dan duduk di dalam tenda.

“Aman, untuk sementara. Tapi nanti, kita bergilir ngecek dan mengawasi kuburan Narsih," jawab Sugeng.
Inal dan Tono hanya mengangguk, tanda mengiyakan. Meski dalam hati, ada sesuatu yang mereka rasakan.

Malam terus bergulir. Hembusan angin-angin tipis khas area persawahan mulai sedikit kencang menyapa alam.
Menyusul langit yang tadinya terang, mulai tertutup gumpalan awan-awan hitam. Seakan ikut melindungi sesosok tubuh, berjarak beberapa tombak dari kuburan Narsih.
“Malam ini, Aku harus mendapatkanya," gumam sosok lelaki kurus tinggi, berbalut kain selempang berikat kepala hitam.

Tubuhnya yang saat itu terbaring menelungkup di samping satu makam, perlahan bangkit.
Matanya tajam menatap kearah tenda. Kemudian berpaling ke arah satu gundukan tanah berpayung dan melangkah pelan mendekatinya.
Sesampainya di sisi makam tersemat nama Narsih, ia memejamkan mata. Menyilangkan kedua tangan, dengan bibir mulai terlihat bergetar. Menandakan jika ia sedang merapalkan sesuatu.
Tak lama, ia terdiam. seolah tengah memastikan, sebelum tangannya menjulur, mencabut payung hitam dan kayu nisan.

Langit semakin kelam. Kilatan-kilatan mulai bermunculan. Ketika tangan sosok itu sedikit demi sedikit menggali tanah kubur penutup jasad Narsih.
Ia tak peduli dengan puluhan sosok-sosok yang tiba-tiba bermunculan, menatap dan mengawasi setiap jari-jari tangannya menjejal ke tanah.
Sosok-sosok menyeramkan yang tadinya hanya melihat, kini tampak melayang dan berlompatan mengerubungi, saat tangan lelaki hitam mulai sampai pada papan dalam.
Terlihat aneh. Puluhan mahluk menyeramkan hanya terdiam dan terus memandang ke arah liang, seolah ingin tau jasad membujur di dalamnya.
Sepintas suasana terasa hening. Sampai pada hawa panas menyambut iringan kilat-kilat, kala tangan sosok lelaki tak lain adalah Suyono, membuka papan terakhir penutup liang.
Wajah putih membiru, dengan tubuh membujur terbungkus kain putih kusam, terlihat jelas dari cahaya sambaran kilat. Membuat seringaian, seketika menyungging di sudut bibir coklat Suyono.
Perlahan, Yono menarik satu demi satu, tali-tali kecil di bawah jasad Narsih. Mendekatkan wajah dan menempelkan bibirnya pada bibir mayat Narsih. Mengakhiri semua ritual yang telah ia jalankan selama bertahun-tahun.
Sementara itu, di dalam tenda, tampak Inal dan Tono tengah menikmati hisapan demi hisapan rokok kretek bersama segelas kopi masih mengepul panas. Mereka terlihat sama, seperti malam-malam sebelumnya.
Tapi tidak pada Sugeng. Dari raut wajahnya, terlihat kilatan rasa cemas penuh khawatir. Berkali-kali matanya menatap keluar tenda, seperti ada sesuatu yang membuatnya merasa tak nyaman.

"Wussss...."
Terjingkat Sugeng. Ketika sekelebat bayangan berlalu cepat di depan tenda.
Buru-buru ia bangkit dan mengedarkan pandangannya, memutari sekitaran tenda.
Dingin udara malam saat itu, tak sedingin tubuh Sugeng. mendapati puluhan sosok pocong berwajah hitam sudah berdiri di sisi kanan tenda.

"Nal, cepat! Bawa senter kemari!" Teriak Sugeng.
Inal dan Tono yang belum menyadari keadaan di luar, sebentar saling pandang. Kemudian keduanya bergegas bangkit meraih senter, mendengar kedua kalinya teriakan Sugeng dengan suara bergetar.
Tak kalah dengan Sugeng. Wajah Tono dan Inal, seketika memucat penuh ketakutan, melihat suasana di luar.
Kini, bukan hanya pocong-pocong berwajah hitam yang berada di sekeliling tenda, melainkan beberapa sosok perempuan bergaun putih panjang, melayang, mengitari mereka.
"Ton, kamu cepat beritahu Mbah Rekso. Aku dan Inal akan melihat makam Narsih," ucap Sugeng, panik.

"Cepat, Ton!"
Lagi, Sugeng berseru, menyadarkan Tono yang masih berdiri kaku.
Dengan bermodal dua senter di tangan, Sugeng dan Inal mulai melangkah, selepas Tono berlari keluar area makam menuju Kampung.
Setapak demi setapak kaki Sugeng dan Inal melangkah mendekati puluhan pocong-pocong berwajah hitam gosong, yang berdiri seolah sengaja menutup jalan.
Tak ada jalan lain bagi Sugeng, untuk menuju ke makam Narsih, selain harus melewati pocong-pocong berbau busuk menyengat. Meski ia seorang paling berani, tapi saat itu nyalinya benar-benar menciut.
Apalagi, ketika ia dan Inal mulai menerobos dan berusaha melalui barisan makhluk menyeramkan itu, tubuh Sugeng terasa anyep.
Jiwa Sugeng dan Inal benar-benar diuji malam itu. Baru saja keduanya lepas dari barisan puluhan sosok pocong. Mereka sudah kembali dihadang satu sosok tak kalah mengerikan.
Gemetar kali ini tubuh Sugeng juga Inal. Jantung keduanya serasa berhenti berdetak, melihat sosok wanita tua berambut acak-acakkan, menyeringai di depan mereka. Tatapannya tajam menusuk, dengan dua bola mata putih rata.
Menyiratkan kesadisan bersama tangan kanannya, menenteng sebilah parang panjang putih mengkilap.

Tak ada lagi yang bisa Sugeng dan Inal lakukan, saat sosok itu berjalan mendekati mereka. Kecuali hanya berdoa dalam kepasrahan.
Sebab, semua mantra dan sedikit bekal dari Mbah Rekso telah Sugeng kerahkan. Namun, tak berpengaruh sama sekali terhadap sosok wanita tua itu.

Seringaian sinis, sesaat berubah lengkingan tawa panjang, melihat Sugeng dan Inal limbung, kemudian roboh.
Padahal, baru hanya sapuan angin menghantam keduanya. Lain halnya dengan Tono. Dirinya masih terus berlari menembus kabut-kabut malam pekat. Berharap bisa segera sampai di kediaman Mbah Rekso.
Tapi sayang, baru saja langkah cepatnya masuk di jalan Kampung, mendadak sekelebat bayangan menghadangnya.

Tono terpaku. Tubuhnya dingin, seakan tak ada lagi darah mengalir. Melihat satu sosok wanita bergaun putih panjang berdiri melototkan mata.
Lutut Tono seketika goyah. Jantungnya sudah tak terasa berdetak, melihat sosok itu melayang sembari tertawa ngikik menuju ke arahnya. Bau amis begitu menyengat, menusuk hidung Tono, saat sosok itu berdiri tepat di depannya,-
membuat kepalanya terasa berat, nafasnya tersengal serta pandangan berubah gelap gulita. Mengakhiri semua perjuangan yang sia-sia.

Semburat kemerah-merahan perlahan menyembul di ujung langit timur.
Menandakan jika sang Surya, penerang alam di waktu siang, akan segera menampakkan sinarnya yang menjadi sumber bagi penghuni bumi.

Pagi itu, suasana berbeda terlihat di kampung Krajan. Keseharian dan rutinitas para petani, biasa terlihat di sawah, ladang, tampak lengang.
Hal berbeda, justru terlihat di tanah layat. Di mana, puluhan orang terlihat sedang mengerumuni sebuah makam. Dari wajah mereka, tampak menyembul kengerian dan ketakutan. Melihat satu sosok jenazah menghitam di dalam makam yang terbuka.
Tak banyak dari mereka mengetahui tentang kejadian saat itu. Mereka hanya tau, jika makam terbuka dan terlihat jasadnya menghitam, adalah milik Narsih.
“Benar-benar iblis! yang nekat melakukan ini," ucap Mbah Rekso geram.

Raut wajahnya merah, menandakan satu amarah menggumpal di dada. Berkali-kali matanya menatap jasad Narsih, telah berubah hitam dan sedikit terendam air berlumpur.
"Apa yang di dapat dari jasad Narsih ini, Mbah? Sampai begitu nekatnya.” tanya Pak Wiro, sang kepala Dusun,

“Semuanya!" jawab Mbah Rekso, singkat.
Pak Wiro sempat ingin bertanya kembali, namun ia urungkan, kala melihat seorang laki-laki datang setengah berlari menghampiri Mbah Rekso.
"Maaf, Mbah. Sugeng dan Inal sudah siuman. Tp, mereka berdua sepertinya linglung dan ketakutan,” ucap lelaki yg baru saja tiba, dgn nafas terengah²

Mbah Rekso terdiam. Wajahnya benar² di penuhi keresahan. Mendengar kabar keadaan Sugeng dan Inal, seperti tau apa penyebabnya.
“Bawa mereka berdua, ke rumahku. Dan tolong, tutup serta timbun kembali kuburan Narsih ini." Parau suara Mbah Rekso saat memberi perintah.
Mendengar ucapan Mbah Rekso, spontan beberapa warga mendekat dan mulai menimbun makam Narsih yang sudah gagal dijaga. Sementara beberapa orang lainnya, ikut mengurus Sugeng dan Inal bersama Mbah Rekso.
Tak butuh waktu lama, kehebohan berita kuburan Narsih di bongkar. Menggemparkan seluruh penduduk Kampung. Bahkan, menyebar hingga ke beberapa Desa tetangga. Membuat Kampung Krajan, hari itu ramai di kunjungi puluhan bahkan ratusan orang.
Banyak asumsi seketika beredar dari mulut ke mulut. Tentang apa tujuan dari pembongkaran makam Narsih. Dari mulai untuk kekayaan hingga sebuah penyempurna ritual ilmu hitam.
Di rumah Mbah Rekso sendiri, tampak Inal dan Sugeng baru sadar, namun dalam keadaan linglung dan tak bisa mengingat apa-apa.
Terlebih, keduanya tak sanggup berbicara. Mereka hanya terdiam dengan expresi wajah sangat ketakutan. Sehingga Mbah Rekso dan beberapa orang lainya tak bisa mendengar cerita apapun dari keduanya.
Nasib naas juga tak luput di alami Tono. Ia juga mengalami hal serupa, sehingga membuat semua orang yang mendengar dan melihat keadaan mereka bertiga, semakin yakin, jika kejadian pembongkaran mayat Narsih, sebuah ritual pesugihan dan ilmu hitam.
Sore itu, Mbah Rekso, sedang duduk berhadapan dengan Pak Wiro. Membicarakan seputar kejadian menimpa jasad Narsih. Tak lama ia mendadak bangkit, ketika melihat seorang lelaki tua berjalan dengan buru-buru mendekatinya.
Wajah lelaki itu tampak begitu tegang. Matanya yang bening nyalang, menyorot kecemasan dan kekhawatiran begitu dalam. Tapi sebentar, terlihat keakraban antara lelaki tua berbaju dombor hitam dengan Mbah Rekso dari cara mereka berpelukan.
Sebelum ia duduk di sebelah Mbah Rekso, dan menggerakkan bibirnya berucap.

“Ini bakal menjadi gerbang angkoro. Lemah Jalasuto sudah dia ambil. Artinya, dua kekuatan hitam sudah ia dapatkan."
Mbah Rekso nampak tertegun, mendengar ucapan laki-laki tua biasa di panggil Mbah Bayan. Salah satu sesepuh Kampung Krajan, juga salah satu ketua adat Kejawen, yang di angkat oleh Trah Rengko Sasmito.
"Itu artinya, panjenengan sudah tau siapa pelakunya, Mbah?" tanya Pak Wiro sedari awal hanya diam, memberanikan diri bertanya.
“Saya rasa, Rekso juga sudah bisa menduga siapa pelakunya? Tapi, sekarang Dia sudah pergi. Karena semua sudah ia dapatkan," sahut Mbah Bayan.
"Tirakat Ngrame, 100 hari di Alas Purwo, bukan hal yang mudah dan ringan. Tapi ia sanggup melewatinya," ucap Mbah Rekso menanggapi ucapan Mbah Bayan.
“Sebenarnya, siapa yang panjenengan-panjenengan maksud? Dan ilmu apa yang didapatkan dari membongkar makam Narsih?" Pak Wiro, sudah tak tahan dengan rasa penasarannya, lagi-lagi bertanya.
Mbah Rekso dan Mbah Bayan sejenak saling pandang. Sebelum Mbah Rekso melempar tatapannya lurus ke depan. Menarik nafas panjang, seraya berucap dengan berat.

"#ROGOHNYOWO"
"Sudah, Pak. Meski tak sepadan dengan bapak, tapi saya yakin Mas Suntoro bakal suka dengan gadis itu," jawab Munaji dengan sedikit membungkuk hormat.
"Masudmu, tidak sepadan soal harta?" kembali laki-laki berwibawa dengan jaket bludrunya bertanya, seraya mengetuk-ngetukkan pelan ujung tongkat kayu di tangan kanannya ke tanah.

"Njih Pak," sahut Munaji pelan.
"Aku tdk memikirkan masalah itu. Asal gadis itu benar2 lahir, pd weton selasa kliwon," tegasnya kembali. Kali ini dengan kepala menoleh serta mata menatap Munaji, orang kepercayaanya dalam segala hal. Bukan saja mengurusi puluhan hektar kebun miliknya, tapi jg urusan ritualnya.
"Kalau soal itu, sudah saya pastikan Pak. Bahwa dia benar-benar perawan selasa kliwon, dan anak tunggal."

Dengan penuh percaya diri Munaji menjawab. Meyakinkan Suyono sang juragan, yang telah ia ikuti beberapa tahun belakang.
Senyum tipis sebentar menghiasi bibir Suyono. Matanya memandang lepas kedepan. Membayangkan jika usahanya bakal membuahkan hasil, mewariskan semua yang ia dapat dari usaha penuh perjuangan dahulu.
Senja sore semakin merangkak hampir tenggelam. Memunculkan sribitan angin-angin tipis mendayu, menyebar kesejukan seantero lahan perkebunan. Membuat dua lelaki itu menyedekapkan kedua tangan mereka seraya menatap kabut-kabut berkejaran.
Menjadi penanda atau peringatan bagi para penghuni bumi, jika malam bakal merajai mengganti kepongahan siang menyengat.
Malam itu, di sebuah rumah lumayan besar. Berhalaman luas dengan naungan beberapa pohon buah yang rindang menjulang tinggi di sisi kanan kiri gerbang pintu masuk.

Terlihat semakin asri dengan aneka macam bunga warna-warni tergantung di teras.
Bercahayakan lampu terang di setiap sudut, menyebarkan cahaya putih hingga ke halaman.

Di dalam, di ruang keluarga. Tampak seorang gadis duduk dengan kepala tertunduk di hadapan seorang lelaki berpakaian batik halus berpadu blangkon di kepala.
"Nduk, kamu tau siapa yang kemaren datang?" dengan suara berat dan wajah sedikit tegang, lelaki itu mengawali percakapan dengan bertanya.

Sang gadis cantik nan anggun hanya menggelangkan kepalanya pelan. Menandakan jawaban ketidak tahuannya, tanpa berani mengangkat wajah.
"Dia adalah utusan Pak Yono. Juragan serta orang paling di segani sekitaran wilayah ini," sambung lelaki itu.

Sejenak ia terdiam, menatap dalam-dalam gadis ayu yang masih tetap menunduk di hadapanya. Sebelum meneruskan ucapannya.
"Dia datang atas perintah dan sekaligus wakil dari salah satu anak Pak Yono, ingin melamarmu."

Desiran darah dan degupan jantung gadis itu spontan bergejolak. Membuatnya memberanikan diri mengangkat kepala dan memandang lelaki berblangkon yang tak lain bapaknya sendiri.
Demi Mendengar sebuah kalimat yang masih tabu baginya, lamaran.

"Tapi, Wuri masih terlalu muda Pak. Wuri masih ingin kuliah, belum siap kalau harus menikah," jawab gadis cantik bernama lengkap Wuri Handayani kepada bapaknya, Wardoyo.
Pak Wardoyo lagi-lagi terdiam. Wajahnya sedikit menegang, mendengar jawaban putri semata wayangnya. Seperti ada beban bergelanyut di pundak, saat berpikir akan satu pilihan yang amat sulit.
Suasana sebentar hening. Sebelum dari sebuah kamar paling ujung, tepatnya sebuah ruangan khusus, muncul seorang wanita setengah baya.

Berkain batik setelan kebaya serta rambut di sanggul kebelakang. Terlihat semakin anggun dengan sebuah selendang melilit pada perut rampingnya.
Pelan langkah wanita itu. Mendekat dan duduk di samping Wuri. Tanganya segera membelai dengan lembut rambut panjang milik putrinya yang di biarkan tergerai.
"Nduk, Ibu tau kalau kamu punya cita-cita sendiri. Ibu sama Bapak, sebenarnya juga berat, jika kamu jadi menantu Pak Yono," sejenak wanita yang tak lain Ibu dari Wuri, menghentikan ucapannya. Matanya menatap Pak Wardoyo seolah tengah meminta persetujuan.
"Namun, Bapak sama Ibu, jg berat untuk menolak lamaran dari Pak Yono. Dia bukan orang sembarangan."

Lembut terdengar di telinga Wuri ucapan Ibunya. Tapi bagi Wuri, ada tekanan kuat di balik kelembutan suara itu.

"Karena dia orang kaya raya?" tanya Wuri dgn mata mulai berkaca.
“Bukan hanya itu, Nduk. Tapi lebih dari yang kamu sangkakan." Pak Wardoyo yang tadinya menyimak, ikut menjelaskan.
Bukan tanpa sebab Wardoyo mengucapkan itu. Dirinya tau betul siapa sosok Yono. Menjadi salah satu penguasa lahan perkebunan paling di takuti dan di segani rival-rivalnya. Namun, untuk satu alasan mengapa sosok Yono di perhitungkan, Wardoyo enggan untuk membuka di depan Wuri.
Malam itu tak ada kesepakatan antara Wuri dan orang tuanya. Wuri sendiri tetap kekeh ingin meneruskan cita-citanya menjadi seorang Dokter. Ia tak pernah berpikir jika di usianya yang masih terlalu muda untuk menikah.
Apalagi, dirinya belum tau dan mengenal sosok Suntoro, laki-laki yang menginginkannya.

Hal itu menjadi satu dilema bagi kedua orang tuanya. Sejatinya mereka tak menyukai lamaran itu. Tapi di sisi lain, mereka juga sulit untuk bisa menolaknya.
Selepas perbincangan itu suasana hati Wuri tak nyaman. Meski berkali-kali matanya berusaha untuk dipejamkan, namun tetap saja pikiran dan hatinya memaksa untuk terjaga.
Lama Wuri tertegun di atas pembaringan. Menatap langit-langit kamar, sebelum mengalihkan pandangan ke samping kanan ranjang. Di mana, tergeletak sebuah buku tebal, berisi deretan huruf-huruf bersusun dari penulis idolanya.
Wuri perlahan bangkit dan duduk menyandar setelah tangannya meraih buku Novel tebal dari meja. Mencoba mengusir perasaan yang dirasa semakin tak enak. Tapi, baru saja ia membuka lembaran berlipat sebagai penanda, mendadak ia terdiam.

"Srekk ... Srreekkk ... Sreekk...."
Sekilas mata Wuri melirik jendela kamarnya. Tempat asal suara langkah terseret menyentuh daun-daun kering.

Tak ada apapun, tak ada siapapun. Hanya kain kuning ke emasan penutup kaca jendela yang bergoyang pelan terhembus angin.
Mata Wuri kembali fokus pada novel yang di pegangnya. Membaca kalimat demi kalimat dalam hati. Sampai akhirnya kembali terhenti, kala telinganya lagi-lagi mendengar suara langkah itu.
Bahkan, kali ini Wuri menajamkan mata dan pendengarannya saat langkah itu semakin jelas dan mendekat ke arah jendela.

Wuri seketika meletakkan novelnya. Kakinya perlahan turun dari ranjang besi berhias kelambu putih motif bunga-bunga.
Ia melangkah pelan mendekati jendela kamar berlapis kain horden kuning tanpa teralis.

"Wuusshh...."

Terjingkat kaget Wuri. Saat baru beberapa langkah, tiba-tiba satu tiupan angin kencang masuk dan melewati kain horden menerpa wajah serta rambutnya.
Membuatnya berangsur mundur ke belakang. Bukan saja ia dikejutkan dengan hembusan angin kencang, tapi juga pada bau gosong daging terbakar yang datang bersamaan.
Mata Wuri tak lepas memandang jendela kamar berbentuk memanjang dari bawah keatas setinggi dirinya. Meskipun rasa takut mulai menyusup, tapi rasa penasarannya jauh lebih besar.

Namun, beberapa saat kemudian, Wuri merasakan tengkuknya dingin, bulu kuduknya meremang,-
ketika untuk kedua kalinya angin berhembus lebih kencang menyibak tirai gorden, memunculkan dua bayangan sosok di luar kamar.

Jelas, sangat jelas mata Wuri melihat dua sosok itu. Sosok wanita tinggi bergaun putih kusam, berwajah hitam gosong dengan rambut terjuntai memanjang.
Namun, bukan sosok itu yang membuat Wuri gemetar. Tapi satu sosok wanita tua sedikit bungkuk di belakangnya. Berbola mata putih rata dan menenteng sebilah parang panjang mengkilap di tangan kanannya.
Wuri yang sudah ketakutan, membalikan badan berusaha lari keluar dari kamar. Sayang langkahnya lagi-lagi harus tertahan, terhadang sosok wanita bergaun panjang, yang tiba-tiba sudah berdiri di depan pintu.
Kini wuri benar-benar tak berdaya. Tubuhnya kaku, wajahnya pucat pasi, mendapati sosok itu tersenyum, sembari menjulurkan kedua tangannya seperti ingin memeluk.

"Aaaaakkkkhh...."

Jerit Wuri tak kuat lagi menahan ketakutannya.
Tubuhnya terkulai lemas, terduduk di tepian ranjang dengan nafas memburu. Menyesapi bau gosong bercampur kamboja memenuhi rongga hidungnya.

***
Bagian 2 bisa baca duluan di karyakarsa

Linknya ini : karyakarsa.com/KALONG/rogoh-n…

Saya lanjutkan lagi jumat minggu depan ya..
spoiler bagian 2
ROGOH NYOWO - PENGABDI LAWEYAN

"Bangunlah Laswati, sudah cukup posoweningmu menggetarkan peraduanku." satu suara lirih masuk kedalam telinga Laswati.
"Ini adalah kuburan orang tua dan kedua kakakku, mereka meninggal di malam yang sama karena ulah biadab Suyono dengan ROGOH NYOWO-nya." ucap Satrio dengan wajah merah padam.
Satu alunan tembang macapat kembali keluar dari bibir Ratu Jebar yang menandai sebuah awal salah satu kejadian besar di ALAS PURWO.

***
Bagian 2 bisa baca duluan di karyakarsa

Linknya ini : karyakarsa.com/KALONG/rogoh-n…

Saya lanjutkan lagi jumat minggu depan ya..
Sedikit spoiler Image
Lanjut bagian 2

ROGOH NYOWO
-PENGABDI LAWEAN-

#bacahorror @bacahorror @IDN_Horor #ROGOHNYOWO
"Bangunlah Laswati, sudah cukup posoweningmu menggetarkan peraduanku." satu suara lirih masuk kedalam telinga Laswati.
Tak cukup satu kali suara itu meyakinkan Laswati. Sampai ketiga kalinya suara yang disertai tiupan lembut di wajah, membuat Laswati memberanikan diri membuka matanya perlahan.
Kilatan menyilaukan yang pertama Laswati lihat setelah kesadaranya pulih, berasal dari sebuah permata nan indah terpasang pada mahkota di atas kepala sesosok wanita yang sangat cantik, -
semerbak harum kasturi menyebar dari tubuhnya yang putih bersih, sorot matanya meneduhkan, senyum tipis yang mengembang di bibirnya membuat Laswati seketika menjatuhkan diri bersimpuh.
"Nyai Ratu." ucap Laswati.

"Tekadmu menjadi pengabdi Laweyan Lenggan kuterima, Laswati." sahut sosok yang di panggil Nyai Ratu.

"Terima kasih Nyai Ratu." sahut Laswati pelan.
"Persiapkan dirimu Laswati, akan ada kekuatan-kekuatan besar yang saling bertemu di jagad ireng. Tapi kamu harus ingat! jangan terlalu dalam kamu memasukinya." terang Nyai ratu.
Laswati tertunduk mendengar ucapan Nyai Ratu, pikiranya langsung melesat pada sosok anaknya yang jadi pusat akar ROGOH NYOWO.

"Akan banyak korban tak terlihat mata menggenangi yang bersumber dari keserakahan golonganmu. Aku harap kamu tak terpancing untuk ikut mengotorinya."
kata-kata Nyai Ratu seperti sebuah nasehat untuk Laswati. Seakan ia tau dan membaca pikiran serta batin Laswati.

"Maaf Nyai Ratu, apakah aku tak bisa ikut menyelamatkan putriku? Sbb alasan utamaku menjadi Laweyan Lenggan adalah putriku Nyai Ratu." sahut Laswati sekilas memohon.
Senyum berwibawa menghiasi bibir Nyai Ratu sembari melangkah mendekati Laswati yang masih menunduk.

"Putrimu akan sanggup menghadapi ini. Tuntaskan urusanmu tanpa melibatkan siapapun, sebab aku tak akan terlibat terlalu jauh seandainya kamu sampai harus berurusan dengan-
dua pilar jagad ireng. Karena kami punya aturan yang tak bisa di langgar oleh apapun!" pesan Nyai Ratu kembali sedikit membuat bingung Laswati.

"Kamu adalah keturunan ketiga dari Ki Rengko yang menjadi Laweyan Lenggan, dan kelak, Putrimu lah yang akan meneruskanya. -
Sinom dan Lengi yang akan mengajarkanmu menjadi seorang Laweyan Lenggan sepenuhnya, tugasku kini selesai menyambung tali trah Laweyan yang seharusnya belum tiba waktunya. Tapi karena tekadmu yang begitu kuat, aku kabulkan menjadi abdi sambungku mulai saat ini."
penjelasan terakhir dari Nyai Ratu sebelum sosoknya menghilang meninggalkan harum kasturi yang menentramkan, membuat Laswati mulai sedikit mengerti akan hubungan keluarganya dengan Nyai Ratu, dan juga tentang alasan Mbah Sinom yang tak pernah mau menikah. LAWEYAN LENGGAN.
Laswati yang tak tau entah berapa hari berada di dalam kamar khusus, merasakan tubuhnya begitu ringan ketika melangkah keluar. Dua senyum simpul menyambutnya saat ia baru tiba di ruang tengah, matanya sayu memandang mbah Sinom dan Mayang.
"Kamu berhasil nduk. Kini kamulah Laweyan penerus tradisi keluarga Rengko." ucap mbah Sinom sembari tangannya mengeluarkan bungkusan putih pipih yang di ikat dengan tali berwarna hijau. Kemudian Mbah Sinom menyerahkan bungkusan itu kepada Laswati yang tampak masih bingung.
"Ini adalah simbol diri seorang Laweyan." ucap mbah Sinom kembali sembari menganggukan kepala melihat keraguan tampak dari wajah pucat Laswati untuk menerima bungkusan itu.
Pelan Laswati membuka tiga tali kecil yang mengikat bungkusan kain putih, tampak sebilah keris berkepala naga tanpa rangka mengeluarkan bau wangi cendana, -
sedikit terkejut Laswati merasakan hawa panas dari tangan saat menyentuh gagang keris bermata batu hijau, yang menjalar ke seluruh tubuhnya.

Mayang dan mbah Sinom tersenyum melihat kekagetan Laswati.
"Itu artinya ABILOWO berjodoh denganmu Laswati, sama ketika ia mengikuti eyangmu." ucap Mayang memberi penjelasan.
"Batu hijau pada mata gagang keris itulah dulu yang pernah melukai RANGGI. Sayang, ketika Romo hampir menancapkan keris itu ke jantung Ranggi, ia di selamatkan Ratu Jebar." ucap Mbah Sinom mengenang kejadian waktu silam.
"Dan kali ini, aku yang akan menancapkan kejantung RANGGI! " sahut Laswati dengan wajah merah penuh amarah.

"Laswati, jgn kamu jadikan semua ini semata untuk membalas dendam, itu menjadikan dirimu tak ubahnya sama seperti mereka, manusia-manusia serakah yang merusak tatanan."
kata-kata Mbah Sinom membuat Laswati mengendorkan amarahnya, ia tertunduk, perasaanya bercampur aduk.

"Jika memang kamu ingin berhadapan dengan Ranggi, ada waktunya ketika dia tak bersentuhan dengan Ratu Jebar. Sebab, jika tidak! -
Maka Nyi Wuning tak akan membiarkanmu memusnahkan Ranggi." kembali mbah Sinom memberi penjelasan yang kali ini membuat wajah pucat Laswati tampak semringah.

"Laswati, persiapkan dirimu, besok kita bertiga akan kemakam eyangmu. Sekarang istirahatlah."
Laswati segera mengangguk dan bangkit menuju kamarnya. Ia yg selama 3 hari berada di kamar khusus merasa tubuhnya sangat letih dgn segera mengistirahatkan raganya, sbb besok perjalanan barunya sebagai seorang Laweyan Lenggan akan di mulai dari makam eyangnya Rengko sasmito.

***
Dingin ... Mungkin di rasakan sebagian orang di malam yang sudah beranjak larut. Tapi tidak bagi tiga orang yang berada di dalam sebuah rumah joglo berjarak 10 km dari sebuah alas jagad peteng.
Aroma kemenyaan yang menyesakkan dada, tercium pekat di dalam, tepatnya pada sebuah ruangan yang tak begitu lebar. Dimana sebuah tampir besar berisi bunga dan berbagai macam pelengkap sesajen,-
kepulan asap kemenyan bersumber dari tungku kecil terletak persis di tengah-tengah tampir yg di hadap seorang perempuan tua.

Wajah perempuan tua itu di penuhi buliran-buliran keringat, rambutnya yang putih dengan ikat kepala hitam sesekali terhentak mengikuti gerakan tubuhnya-
yg bergetar. Matanya terpejam, mulutnya bergerak-gerak bersama gumaman lirih, dengan satu nama sering ia sebut berulang-ulang.
Satu laki-laki yang ikut duduk menyaksikan semua yang di lakukan perempuan tua berjubah hitam tampak wajahnya ikut menegang, ia lebih sering tertunduk seolah ada yang di hindari oleh matanya.
Sedang di satu ruangan sebelahnya, di mana terdapat satu lubang sedalam 2 meteran, tampak satu sosok tengah duduk bersila tanpa mengenakan selembar baju membungkus tubuhnya.
Empat buah nampan tergeletak di tiap sudut atas lobang persegi empat, berisi pincuk daun pisang berisi bunga dan satu buah lilin yang menyala, dengan aroma kemenyan sama halnya tercium pekat dalam ruangan itu.
Ruangan yang awalnya terlihat tenang, tiba-tiba berubah. Tiupan angin yang entah dari mana datangnya, merubah suasana seketika mencekam. Ruangan yang hanya di terangi empat buah lilin dengan nyala yang bergoyang kencang, ramai di penuhi klebatan puluhan bayangan hitam.
Bau anyir dan busuk mendadak memenuhi ruangan tempat Sudiro tengah melakukan ritual, dengan di barengi suara tawa dari bayangan-bayangan hitam menambah suasana semakin angker. Tak pelak, tubuh Sudiro bergetar menahan bau anyir busuk seolah memenuhi penciumanya.
Sampai beberapa detik kemudian, bbrapa sosok jangkung hitam tnp mata dan berambut panjang mengerubungi lobang petak dgn Sudiro di dalamnya. Bau anyir semakin merebak berasal dari lidah yg menjulur sejengkal kedepan, meneteskan air liur ketubuh Sudiro yg berada didalam lobang.
Hampir seluruh tubuh Sudiro terbasahi oleh air liur sosok-sosok bermata bolong, sebelum datangnya sapuan angin kencang di iringi suara ringikkan kuda membuat sosok-sosok itu berhenti meneteskan air liur mereka dan menjauh dari lobang.
Suara ringikan kuda tiba-tiba berhenti bersamaan munculnya sesosok perempuan memakai kain batik bercorak, bertubuh jangkung selaras dengan rambutnya yang panjang sebatas mata kaki.
"Sudahi posopatimu cah bagus." ucapnya pelan namun jelas di telinga Sudiro.

Sudiro masih diam, ia seperti masih ragu untuk membuka matanya, hingga sebuah sentakan ia rasakan melemparkan tubuhnya keluar dari lobang.
Jantungnya berdebar kencang ketika matanya terbuka dan menyadari jika di sekelilingnya banyak sosok mahluk yang mengerikan, ia lebih tercekat ketika menatap sosok perempuan tengah mengusap rambutnya yang tersampir kedepan.
Wajahnya cantik dengan bunga mawar terselip di telinga kanannya. Aroma wangi tubuhnya mengalahkan bau anyir dan kemenyan yang sebelumnya tercium pekat.

"Ratu pambayun." ucap Sudiro lirih membuat sosok di depanya tersenyum.
"Benar cah bagus. Posopatimu sudah membangunkanku! Dan aku juga sudah tau keinginanmu dari Nyi Anggar. Apa kamu sudah benar-benar siap menjadi pengabdiku?" sahut sosok Ratu pambayun dengan jari-jarinya masih memainkan rambutnya.
"Saya siap Ratu." jawab Diro menundukan kepala menjura hormat.

Sosok Ratu pambayun mendongakkan kepalanya dan tertawa keras sblm menatap tajam pd Sudiro.

"Aku akan membantumu! Tpi ingat! Nyawamu akan menjadi penebusnya jk kamu berani ingkar!" terang sosok Ratu Pambayun tegas
Sudiro sedikit bergetar melihat wajah bengis dari sosok Ratu Pambayun. Ia tak menyangka di balik kecantikanya ada kengerian yg menakutkan.

"Bulan Anggoro ketiga, aku mau kamu menyiapkan geteh pangkep sbg bukti pengabdianmu. Jika gagal, kepalamu gantinya!" ucapnya kembali.
Diro masih terdiam setelah mendengar semua ucapan dari Ratu Pambayun yang kini tengah tertawa keras menggetarkan seisi ruangan.

"Bersihkan tubuhmu, malam ini menjadi malam pertamamu menjadi ABDI SONGKO." perintah Ratu Pambayun yang segara di laksanakan Sudiro.
Setelah melewati semua ritual berat. Sudiro kini bisa bernafas lega stlh berhasil bersekutu dgn sosok Ratu Pambayun utk memenuhi ambisinya. Meski ia sendiri telah memelihara LIRENG sbg ingon kekayaannya, namun rasa dendam dan iri pd adiknya, Suntoro, seakan tak pernah padam.
Pagi itu, sebelum meninggalkan rumah joglo milik Nyi Anggar yang membantunya bersekutu dengan Ratu Pambayun, Sudiro yang masih bingung dengan syarat syarat yang wajib di penuhinya mendapat penjelasan panjang dari Nyai Anggar.
"Bulan Anggoro ketiga sama dengan empat belas hari lagi, itu artinya tak banyak waktumu untuk mendapatkan GETEH PANGKEP." ucap Nyai Anggar mengingatkan Sudiro akan satu persembahan yang harus ia serahkan pada Ratu pambayun sebagai bukti pengapdianya.
Meskipun kini ia sudah bersekutu dan bisa kapanpun meminta bantuanya, namun, persembahan bayi laki-laki anak pertama bukan hal mudah, dan itu satu syarat wajib awal yang harus dilakukan Sudiro sebagai ABDI SONGKO RATU PAMBAYUN.

***
"Ada apa Bulek? Sepertinya ada yang di risaukan?" Satu pertanyaaan sedikit mengagetkan Mayang, saat dirinya tengah menatap lurus ke halaman depan Rumah.

Raut wajahnya yang mulai di sisipi keriput, sebentar melega, saat di lihatnya, Laswati, sudah berdiri di sampingnya.
"Nggak apa-apa Laswati." Sahut Mayang.

"Kelihatanya ada beban mengganjal yang Bulek rasakan?" Kembali Laswati menyahut dengan expresi masih terliputi tanda tanya.
Mayang terdiam, tarikan nafasnya terdengar berat dengan wajah sedikit berubah. Langkahnya mengayun medekati jendela kayu tanpa kaca. Membuat Laswati semakin bertanya-tanya.

"Sebenarnya aku khawatir jika Wuri, tetap berada di sini bersama Sanjaya.-
Sebab, beberapa hari ini, semakin banyak mahluk-mahluk alam sebelah yang datang dan mereka semakin berani." Ucap Mayang menjelaskan.

Bukan tidak mengerti bagi Laswati, namun, untuk urusan yang baru saja di kemukakan Mayang, ia tak bisa berbuat apa-apa.
Dirinya tau jika Sanjaya (Anak Wuri) bukan Bayi biasa pada umumnya, seperti yang telah di jelaskan Nyi Lengi.

"Lalu, apa yang Bulek ingin lakukan untuk Wuri dan Sanjaya?" Tanya Laswati penuh harap.
Sejenak, Mayang menatap Laswati, datar. Tanganya menyibak kain putih yang hanya menutup separuh jendela. Memandang alam sore yang hampir masuk petang, sebelum menjawab ucapan Laswati.
"Aku ingin membawa Wuri dan Sanjaya ke tempat asal leluhurnya. Di sana, aku yakin! Sebab Romo, dulu sudah menanam Jangkar Semeti." Jelas Mayang pelan.

"Tapi, bagaimana dengan Rumah dan Wasiat Mbah Sinom? Apakah harus...."
"Bbrraakkk ... Bbbrraakkk...."

Mendadak Laswati menghentikan ucapanya. Ketika tiba-tiba satu suara layaknya benda terjatuh dengan keras, yang di susul pekikkan suara perempuan, mengejutkan dirinya dan Mayang.
Kepanikan seketika menyelimuti Mayang dan Laswati. Keduanya bersamaan melangkah dengan buru-buru, menuju sumber suara.
Sesaat mata keduanya terbelalak! Setelah sampai di ruang belakang, tepatnya di kamar khusus peninggalan Mbah Sinom. Di mana Pancer Sanjaya, yang terbungkus kain putih, tersimpan dan tergantung di ruangan itu.
Lebih terkejut lagi Mayang, saat ia melihat satu sosok wanita bergaun putih dombor dan berambut panjang acak-acakan, tengah menyeringai buas. Matanya hitam menyorot tajam!
Namun, bukan itu yang membuat Mayang terkesiap panik, tapi bungkusan kain putih yang tengah di pegang tangan kanan sosok tersebut.

"Celaka...! Kalau sampai Pancer Sanjaya dia makan!" Gumam Mayang kalut.
"Hi...hii...hiikk...hhiikkk...." Tawa ngikik dari sosok berbau wangi kamboja, seolah tau ketakutan Mayang, dengan bungkusan yang tengah di genggamnya.

"Letakkan bungkusan itu! Atau kubakar wujudmu!" Seru Mayang keras.
Sosok itu terdiam. Sorot matanya semakin nyalang mendengar ancaman dari Mayang. Tapi, sebentar kemudian, sosok itu kembali tertawa semakin nyaring, memperlihatkan deretan giginya yang putih, kontras dengan bibirnya yang hitam.
"Laswati! Bawa Mbok Par keluar dari sini!" Perintah Mayang pada Laswati, yang sedari awal hanya tertegun bingung.

Dengan perasaan gugup, Laswati segera menyeret tubuh sepuh Mbok Par yang pingsan di lantai. Sebelum geraman-geraman mulai terdengar ramai di dalam ruangan.
Baru saja Mayang, berniat ingin menghampiri dan merebut bungkusan kain putih berisi Pancer Sanjaya, terpaksa ia urungkan. Terlebih, Mayang sedikit beringsut mudur, ketika beberapa sosok pocong berwajah hitam berbau busuk menyengat,-
tiba2 muncul dan mengelilingi sosok wanita bergaun putih.

Wajah Mayang mempias, tubuhnya mulai berkeringat melihat situasi yg menjadi sulit baginya. Beberapa kali Mayang tampak berjibaku menerobos sosok pocong2 hitam, yang seperti sengaja melindungi sosok wanita bermata hitam.
Namun, setiap kali Mayang memaksa, seketika itu juga tubuhnya terjungkal. Mayang meringis menahan sakit, saat kembali jatuh terduduk untuk kesekian kalinya. Dari sudut bibirnya, kini tampak mengalir darah segar.
Matanya nanar menatap sosok pocong2 berwajah hitam, yg masih tegak berdiri, dgn kilatan pandangan tajam menusuk. Dirinya tambah geram, saat mendengar tawa melengking sosok wanita bergaun putih, sembari memamerkan bungkusan putih padanya.
Seakan menantang kembali, untuk Mayang merebutnya.

Tawa ngikik sosok wanita seperti Sibyan, tiba2 saja terhenti. Dan sekejap itu jg, berganti dgn lengkingan panjang menyayat, saat satu sosok wanita bertapi jarik, dgn kebaya putih,-
melemparkan sebuah batu hijau ke tubuh sosok wanita bermata hitam.

Tak hanya itu, kilatan dari sebuah pusaka, keris bergagang kepala naga, menghantam dan menembus sosok pocong-pocong berwajah hitam.
Jeritan-jeritan dan erangan dari sosok-sosok pocong, menandai sebelum roboh dan menghilang, membuat suasana sejenak hening.

Nampak kelegaan terpancar dari wajah Sosok wanita yang masih memegang erat keris kecil dan bungkusan kain putih,-
yang ia pungut setelah terlempar dari tangan sosok wanita bergaun putih dombor. Matanya sayu memandang Mayang, yang sudah di papah Laswati untuk berdiri. Ringisan kecil sekilas terlihat dari bibirnya,-
sebelum tubuhnya limbung dan terduduk di kursi dingklik menyandar ke dinding, membuat Laswati, buru-buru menghampirinya.

"Kamu nggak apa-apa Nduk?" Tanya Laswati penuh kekhawatiran pada sosok yang tak lain adalah Wuri.
"Tidak, Buk. Hanya nyeri sedikit." Jawab Wuri, sembari meremas perutnya pelan.

"Mungkin rahimnya tergonjang saat tadi, Wuri. Menggunakan Keris Laweyan Lenggan." Sahut Mayang, yang sudah mampu berdiri tegak kembali.
"Itulah kenapa saya ingin kita semua pindah ke Prabon leluhur. Dan sekarang! Mau tidak mau kita harus tetap pindah. Saya tak mau kejadian ini terulang kembali." Sambung Mayang dengan tegas.
Wuri dan Laswati saling pandang, mereka berdua tak bisa membantah, meski dalam hati dan benak keduanya masih terngiang akan pesan Mbah Sinom, tapi, disisi lain, keselamatan Sanjaya, kini menjadi satu hal teramat penting bagi mereka.
Dinginya udara malam yang sudah larut tampaknya tak hiraukan oleh lima orang tengah dalam perjalanan. Waktu yang mayoritas di gunakan untuk istirahat, namun tidak malam itu untuk mereka. Jalanan yang lengang membuat sang pengemudi leluasa memacu mobil mewahnya,
hingga tiba di suatu persimpangan, sang pengemudi membelokan mobilnya kearah kanan, melintasi jalanan kecil dengan lobang-lobang kecil bekas aspal yang sudah mengelupas.
Hanya satu dua rumah dengan jarak masih lumayan berjauhan mereka jumpai, sampai gemerlap lampu terang beberapa puluh meter terlihat di depan mereka.
Seorang lelaki setengah baya keluar dengan tergopoh-gopoh mendekati kedatang mobil yang sepertinya sangat ia kenal pemiliknya, menyapa ramah dengan kain sarung tersampir di pundak menyambut kedatangan dua laki-laki dan tiga perempua turun dari mobil.
"Monggo silahkan pak, buk." ucapnya mempersilahkan setelah bertegur sapa dan bersalaman.

Satu lelaki yang berperut buncit mengangguk dan langsung melangkah ke dalam sebuah bangunan joglo lumayan luas berlantaikan marmer.
Beberapa pilar kayu penyangga yang di penuhi ukiran serta beberapa lampu yang terang, menunjukan jika pemilik tempat itu bukan orang sembarangan masa itu.
Namun, ada satu hal yang sedikit membuat tempat itu menyeramkan. Di ujung tempat itu terlihat empat makam berjejer dengan sebuah lukisan di tiap-tiap nisanya.
Lelaki berperut buncit atau Satrio mengambil beberapa bungkus kantong di satu lemari kecil sebelah pilar yang berisi kembang dan dupa, raut wajahnya terlihat sedih ketika ia menaburkan kembang yang di ambilnya, pada tiap-tiap kuburan.
Asap dupa tampak mengepul di belakang salah satu nisan berukuran paling panjang serta paling tinggi. di tambah satu lukisan sosok laki-laki tua memakai blangkon dan kebet hitam menempel pada nisan dengan satu nama tertulis di bawahnya SAPTO PRAWAIRO.
Tiga orang perempuan, Mbah Sinom, Mayang dan Laswati tertegun melihat empat makam keluarga Satrio, ada satu hal sedikit mengherankan mereka bertiga ketika membaca tanggal kematian ke empat nisan itu yang sama, Artinya kematian mereka bersamaan.
"Ini adalah kuburan orang tua dan kedua kakakku, mereka meninggal di malam yang sama karena ulah biadab Suyono dengan ROGOH NYOWO-nya." ucap Satrio dengan wajah merah padam.
"Sebelumnya, orang tua dan seluruh keluargaku berhubungan baik dengan Suyono, bahkan, waktu itu aku yang masih remaja menganggap Suyono adalah orang tua keduaku. Tapi, keserakahanya membuat ia dan keluargaku berselisih, sampai akhirnya memuncak hari itu.
Hari dimana malamnya menjadi malam terkutuk ketika ia membunuh kedua orang tua beserta kedua kakakku." kembali Satrio meneruskan ceritanya dengan amarah bergulung-gulung di dada.
Mbah Sinom, Mayang dan Laswati sesaat ikut larut dalam alur cerita Satrio, mereka membayangkan betapa ngeri dan sadisnya ROGOH NYOWO yang di miliki Suyono waktu itu.
Tiba-tiba Laswati terperanjat melihat satu orang laki-laki yang pernah di lihatnya saat pernikahan Wuri dan Suntoro, lelaki itu muncul dari belakang mereka dengan menenteng sebuah bungkusan kain merah.
Ia tersenyum melihat Laswati tampak bingung dengan kemunculanya, hanya anggukan kepala sebagai salam sapanya kepada semua yang tengah menatapnya.
"Bertahun-tahun aku mencari cara untuk bisa melenyapkan Suyono, tapi, selalu gagal dengan nyawaku sendiri hampir melayang." ucap Satrio setelah menerima bungkusan kain merah dari seorang laki-laki tegap. Lukman.

"Lalu, Kanjeng Dewi Prameswari?" tanya Mbah Sinom.
Satrio tersenyum mendengar pertanyaan mbah Sinom sembari meletakkan bungkusan kain merah di atas nisan Sapto Prawairo.
"Mungkin mbah Sinom lupa akan batasan-batasan yang sudah di tentukan meski kita menjalin satu tetalen." jawab Satrio pelan. Ia kemudian menatap satu persatu tiga sosok perempuan berkebaya hitam yang berdiri di depanya.
"Sampean pasti bingung dengan keberadaan Lukman di sini? Dia adalah abdi setia keluargaku sejak orang tuanya dulu. Dan untuk apa Lukman bekerja pada Suyono? Tak perlu kujawab kalian pasti tau jawabanya." ucapan Satrio kali ini di tujukan pada Laswati.
"Lukman, katakan, berita apa yang kamu bawa selain membawa lemah Jalasuto?" kali suara mbah Mungin yang memberi perintah Lukman.

Lukman yang menunduk seketika mengangkat kepalanya, di tatapnya satu persatu wajah semua yang ada di tempat itu,-
seperti ada keraguan pada dirinya untuk bercerita, namun, setelah Satrio menganggukan kepala, Lukman mulai menceritakan semua yang di ketahuinya selama berada di tempat Suntoro.

"Maafkan saya buk Laswati." ucap Lukman meminta maaf pada Laswati setelah selesai bercerita.
Gemuruh amarah Laswati mendadak memenuhi rongga dadanya mendengar cerita Lukman. Matanya tajam mendongak keatas, seolah membayangkan sesuatu.

"Tak kan kubiarkan dia melukai putriku secuilpun!" tegas Laswati penuh emosi.
Satrio mendekati Laswati yang tengah menahan amarah.
"Pilihanya hanya dua! Nyawa Suntoro atau Putrimu!" bisik Satrio dengan tersenyum.

Sejenak suasana hening ketika satu lelaki yang menyambut mereka di depan matur kepada Satrio. Setelahnya mempersilahkan semua yang ada di tempat itu untuk berpindah,-
di mana terdapat satu ruangan seperti memang di sediakan untuk acara jamuan tetamu yang datang berkunjung. Sebuah meja panjang bulat berisi banyak hidangan serta minuman sudah tersaji, dengan dua belas kursi yang berjejer mengitarinya.
Sebelum menyantap hidangan yang sudah di persilahkan, mbah Sinom menatap Satrio dengan penuh selidik, sebab di antara mereka, mbah Mungin tak terlihat setelah membawa bungkusan kain merah Lemah Jalasuto.
"Aku tau hidanganmu ini aman kami santap, tapi, aku ingin tau untuk apa Lemah Kutukan itu?" tanya mbah Sinom yang masih berdiri.

Satrio yang sekenanya ingin mengambil hidangan tetiba mengurungkan, di tatapnya mbah Sinom dengan sorot mata tajam.
"Itu bukan urusan kalian! Satu hal yang perlu kalian tau! Nyawa Wuri ada di tangan kalian!" jawabnya ketus.

"Lebih baik kita nikmati hidangan ini dan segera berangkat. Karena sebentar lagi hari akan terang." sambungnya kembali.
Mbah Sinom akhirnya duduk meski masih terlihat ragu, ada satu kejanggalan yang ia rasakan dengan tak ikutnya mbah Mungin duduk bersama. Tapi setelah mendengar ucapan Satrio terpaksa ia bungkam, sebab ia dan kedua saudarinya merasa sebagai tamu yang wajib menghormati tuan rumah.
Mbah sinom yang baru saja duduk, melihat beberapa sosok perempuan kurus bertapi jarit berdiri di belakang Satrio, wajah mereka sayu dengan tatapan tanpa expresi.
Mbah Sinom menarik nafas berat sebelum tanganya meraih piring, ia tau siapa mereka dan untuk apa sosok-sosok perempuan kurus itu berdiri di belakang Satrio, untuk mengawasinya.

***
Suara adzan subuh terdengar merdu mengalun dari beberapa masjid dan mushola, menunjukan jika waktu mulai menjemput pagi. Waktu dan sebuah isyarat, yang sebagian besar orang tunggu untuk menunaikan kewajiban mereka kepada SANG PENCIPTA, sebelum memulai aktivitas dunianya.
Tapi tdk pd penghuni rumah tembok bercak putih kusam berpagar catur mengelilinginya. Cahaya lampu terlihat remang di dalam, seolah sang empunya masih terlelap dalam buaian mimpi.
Namun, beberapa saat kemudian lampu-lampu di dalam rumah menjadi terang sebelum terdengar suara jeritan perempuan dari sebuah kamar.

Sesosok laki-laki terlihat mengejang kuat dengan mata melotot, kedua tangannya mencengkram kuat kasur kapuk berlapis kain sepray halus.
Dari bibirnya keluar darah merah bercampur tanah hitam. Suara eranganya menyiratkan rasa sakit yang sepertinya luar biasa.

Di sebelahnya, seorang perempuan dalam keadaan panik hanya menangis dan menjerit menyaksikan suaminya mengalami hal mengerikan tanpa bisa berbuat apapun.
"Ada apa buk?" satu suara dari seorang remaja putra yang langsung ikut panik melihat pemandangan di kamar orang tuanya.

"Bapakmu le ... Bapakmu kenapa ini, Le!" ucap sang perempuan histeris mengguncang-guncang tangan anaknya yang berdiri di sampingnya.
Sang anak hanya terdiam, bingung, matanya ngeri melihat bapaknya yang melotot serta darah keluar masih bercampur tanah hitam,

"Le cepet kamu kerumah mbakmu, beri tau dia! Cepet le!" perintahnya di sela-sela isak tangisnya.
Si anak segera keluar berlari menembus kabut pagi dengan perasaan tak menentu. Membayangkan satu kejadian tengah menimpa bapaknya, yang belum pernah ia lihat kengerianya seumur hidupnya.
Sekitar sepuluh menit ia berlari, sampailah ia pada sebuah rumah tak begitu besar dan mewah, lampu dalam yang sudah tampak terang mengisaratkan jika penghuninya sudah terbangun, bocah remaja itu menggedor-gedor pintu depan dengan keras,-
sampai beberapa tetangga kanan kiri rumah kakaknya kaget mendengar gedoran dan teriakan paniknya.
"Apa? Bapak!" ucap sang kakak terkejut setelah membuka pintu dan mendengar penuturan adiknya. Ia segera berlari ke kamar dan sebentar kemudian bergegas bersama sang adik menuju rumah bapaknya.
"Ono opo lho nduk kok adik ro bojomu buru-buru ngono?" (Ada apa lho nduk kok adik dan suamimu terlihat buru-buru begitu?)" tanya salah satu tetangga melihat kepanikan pada keluarga perempuan yang berdiri di ambang pintu melihat kepergian suami dan adik iparnya.
"Mertuoku mbah, mertuoku jare mutah-mutah geteh mbah."(Mertuaku mbah, mertuaku katanya muntah-muntah darah mbah)" jawabnya dengan wajah cemas.
"Lho ... kenang opo Pak Munaji? Wingi jek katok waras ngono." (lho ... kenapa pak Munaji? kemarin masih terlihat sehat gitu. ") sahut sang tetangga heran.

Namun sang wanita hanya terdiam dengan pikiran yang berkecamuk tak menentu.
"Dari sinilah semua akan di mulai." ucap seorang laki-laki berperut buncit, Satrio, kepada empat orang di belakangnya.

Dari arah depannya, dua orang laki-laki dengan pakaian layaknya petani berjalan mendekat.
"Sudah beres semunya, Pak. Apa masih ada yang perlu kami kerjakan?" ucap salah satunya pada Satrio.

"Untuk sementara cukup ini dulu, terima kasih." jawab Satrio tanpa expresi.
Dua lelaki itu segera berlalu dengan membungkukkan badan setelah sebelumnya menerima sebuah amplop yang di berikan mbah Mungin. Tak ada rasa heran dari keduanya melihat lima orang dengan gaya ningrat berada di tepian hutan.
Mereka berdua sudah sering melakukan pekerjaan itu di bulan-bulan tertentu. Karena upah yang besar mereka dapatkan hanya untuk membuatkan satu atau dua buah pondok kecil.
"Garba lor akan terbuka dua hari lagi, itu artinya malam ini Wuri dan Suntoro bakal datang ke banyuwangi." ucap mbah Sinom tiba-tiba.

"Tepat sekali." sahut Satrio dengan tersenyum yang mengerti ucapan mbah Sinom.
Berbeda dengan Laswati yang terlihat bingung, perasaanya bercampur aduk, membayangkan akan apa yang bakal terjadi dua malam di dalam hutan jagad ireng ini. Karena jelas semua ini bersinggungan langsung dengan putri tunggalnya.
"Mbah Mungin, apakah semuanya sudah di siapkan?" tanya Satrio yang masih berdiri membelakangi.

"Sudah." jawab mbah Mungin singkat.

Sesudah mendengar jawaban mbah Mungin, Satrio melangkah pelan dengan di ikuti lainya melewati jalan setapak.
Membutuhkan waktu 10 menitan untuk mereka sampai di tempat lumayan luas dan bersih, namun terlihat menyeramkan dengan pohon-pohon tua tinggi menjulang mengelilingi. Hawa lembab sangat terasa hanya sedikit sinar matahari bisa menembus rimbunnya dedauan yang memayungi tempat itu.
"Rupanya kamu telah mempersiapkan semuanya dengan matang Satrio." ucap mbah Sinom mendekat kearah salah satu pondok panggung yang berada di ujung kanan.

Satrio terseyum, kemudian ia menatap mbah Mungin dan menganggukan kepalanya memberi isyarat.
Mayang dan Laswati semakin di buat penasaran dengan apa yang di lakukan mbah Mungin. Beberapa janur kuning ia ikat mengelilingi dua pondok panggung. Kain merah yang pernah mereka lihat di berikan Lukman berisi lemah ireng, tapi kini tampak merah menggumpal.
Delapan kantong kain hitam kosong, yang kemudian mbah Mungin isi dgn tanah dan bunga serta di ikat dengan sobekan janur kuning.

Kantong2 kain hitam yg sudah terisi, kemudian mbah Mungin ikat pada tiap-tiap pilar kayu sudut-sudut pondok dengan benang tiga warna yang di satukan.
"JENTRE JEJEK JALMO PAPAT." ucap mbah Sinom sedikit keras.

Mbah mungin hanya melirik sinis mendengar mbah sinom berucap dengan rasa kaget. Sedang Satrio terperanjat tak menyangka jika mbah Sinom tau dengan yang di lakukan mbah Mungin.
"Lukman ... pasti darah lukman yang menjadi perantara ritual gila ini!" kembali mbah sinom bergumam.

Setelah mbah Mungin rampung dengan segala calon ritualnya, mereka berjalan keluar meninggalkan dua gubuk dan tempat yang kini bertambah angker.
Ada kecemasan yang Laswati rasakan, ketika ia merasa ada beberapa pasang mata yang mengawasi mereka. Sampai mereka berjalan beriringan meninggalkan tempat itu, mata itu seolah mengikutinya.
Laswati baru merasakan lepas dari untaian mata itu setelah mobil Satrio bergerak meninggalakan tepian ALAS PATI JIWO.

***
"Kamu sudah siap?" tanya Suntoro pada Wuri siang itu sebelum keberangakatan mereka.

Satu tarikan nafas berat sebelum anggukan kepala menjawabnya. Wuri, dengan setelan kebaya putih tampak anggun dengan rambut di sanggul, duduk di jok belakang.
Sedang Suntoro mengemudikan mobil bersebelahan dengan mbah Lugito. Wuri yang menyandarkan kepalanya tampak begitu tegang, puluhan bayangan akan apa yang bakal terjadi sebentar lagi, membuatnya berdebar-debar.
Tanganya mengusap pelan perutnya yang telah berisi janin, Janin yang akan merubah segalanya kelak.

Tak ada percakapan berarti dalam perjalanan, Ketiganya larut dalam pikiran masing-masing.
Hingga saat mobil mewah Suntoro memasuki wilayah dimana akan mereka tinggali selama dua atau tiga hari, rasa was-was seketika menyelimuti perasaan mereka.

Cuaca semakin meredup ketika mereka memasuki sebuah jalanan berkelok seperti mengelilingi lereng hutan,-
melewati perkampungan dengan rumah-rumah yang masih jarang. Tiba di satu pertigaan, Suntoro membelokan mobilnya kekiri dan berhenti tepat di halaman sebuah rumah tua.
Rumah berdinding papan tebal bersusun rapi tanpa celah, dengan ukiran corak budaya khas terlihat di tiap-tiap sudut bubungan atap.

Wuri yang turun paling belakang merasa kagum dengan dinding depan rumah yang di penuhi lukisan tangan bergambar penari-penari wanita.
Tak hanya lukisan, patung-patung penari sebesar manusia dewasa juga Wuri lihat pada tiap-tiap sudut rumah. Sampai satu tarikan kuat membawa Wuri untuk mendekati salah patung di sudut kanan.
Bulu kuduk Wuri meremang ketika ia menatap sebuah patung wanita yang terlihat menari dengan gemulai, kedua tanganya merentang serta jari mengapit sebuah selendang.
Wuri merasa jika patung wanita tersebut seolah hidup, kepalanya yang meleng dengan mata melirik seakan tengah tersenyum pada Wuri.

"Seneng ta nduk?" satu suara lirih membuat Wuri terjingkat.
Suara dari seorang perempuan 60an berbaju biru panjang dengan tiga konde berjejer menancap di gelungan rambut yang sudah beruban. Dari bibirnya satu senyum berkharisma mengembang, membuat Wuri gugup.
"Ayo nduk mrene mlebu." (ayo nduk kesini masuk)" ajaknya dengan ramah. Wuri yang masih terlihat gugup, hanya mengangguk pelan lalu mengikuti dari belakang wanita tua berpostur tubuh tinggi dengan langkah gemulai.
Wuri duduk di samping Toro yg sudah masuk lebih dulu bersama mbah Lugito, tak ada percakapan apapun, mereka hanya diam membisu membuat suasana begitu hening.
Sampai kemudian wanita tua bergaun biru yg sempat mengagetkan Wuri di depan, muncul dgn membawa nampan berisi empat gelas minuman.

"Monggo." sapa wanita berkonde tiga menawarkan setelah meletakkan nampan.
"Sudah siap ya, nduk?" ucap wanita itu beberapa saat setelah ikut duduk dengan menatap Wuri.

Wuri terlihat gugup dan bingung mendengar ucapan dari wanita yang kini duduk di hadapanya. Apalagi, mata wanita tua itu berkali-kali menatap ke perutnya.
"Toro, nanti malam garba lor akan terbuka, apa kamu sudah menyiapkan segalanya?" kali ini wanita tua itu ganti bertanya pada Suntoro yang sedikit kaget.

"Sudah ibu Dewi." jawab Toro singkat kemudian menunduk.
"Maaf Nyai Tanjung, saya merasa beberapa kekuatan yang ingin menggagalkan ritual ini sudah mulai berdatangan. Apa tidak sebaiknya kita meminta bantuan?" ucap mbah Lugito yang sedari tadi diam, mencoba memberi saran.
Wanita tua bergaun biru yang di panggil Nyai Tanjung seketika berdiri, ia menatap keluar dari jendela yang berada di samping duduknya.
"Itu yang sebenarnya aku resahkan, keadaanya berbeda dengan dulu ketika pertama Suyono datang bersama istrinya untuk menanam pancer Toro." sahut Nyai Tanjung menimpali ucapan mbah Lugito.
"Aku tau kali ini akan banyak campur tangan ajungan dan abdi dari beberapa penguasa yang ingin menggagalkan ritual ini. Tapi aku yakin jika Nyai Ratu Jebar tak akan membiarkan campur tangan dari pihak lain, meskipun itu dari keluarga Wuri sendiri!"
kembali Nyai Tanjung menyambung ucapanya membuat Wuri yang nama dan keluarganya di sebut menjadi tegang.

"Sudahlah, kalian tenang saja, sekarang beristirahatlah, sebab nanti malam kita akan memulainya." ucap Nyai Tanjung seraya melangkah meninggalkan ruang tamu rumahnya sendiri.
Rintihan dan erangan yang memilukan dari dalam sebuah kamar terdengar menyayat, tubuh Munaji semakin kurus kering, matanya kini tampak celong kedalam, wajahnya menciut seoalah tak ada lagi daging yang menempel, seperti tengkorak terbalut kulit.
Tapi satu yg semakin membuat miris dan ngeri, perut Munaji semakin membusung buncit dgn kulit menghitam.

Tak banyak yg bisa dilakukan Sudiro dan mbah Lenggono untuk menolong, berkali-kali mereka mencoba tapi, tak ada satupun usaha mereka yang bisa meringankan penderitaan Munaji.
"Berkemaslah, malam nanti pindahkan bapakmu kerumahmu." ucap mbah Lenggono memberi perintah pada Mardani.

Mardani tampak bingung dengan ucapan mbah Lenggono, Namun, setelah mendengar penuturan panjang lebar dari mbah Lenggono, pucatlah wajah Mardani.
"Apa masih ada harapan untuk kang Munaji, mbah?" tanya Diro dingin.
Mbah Lenggono hanya menggelengkan kepalanya.

"Kalau begitu, tak perlu kita membuang waktu di sini." ucap Diro kembali.
"Setidaknya dengan cara ini bisa sedikit memperpanjang nafas mereka, terutama keluarganya. Setelah memindahkan Munaji, kita langsung berangkat ke tempat nyi Anggar." sahut mbah Lenggono pelan.
Diro menarik nafas panjang, matanya menatap nanar kelangit yg mulai gelap. Bagaimanapun, Munaji sudah banyak berjasa padanya. Meski di sisi lain, Diro merasa jika apa yg di lakukan Toro pd Munaji tak bisa di salahkan sepenuhnya, sbb itu adlh bentuk dari balas dendam seorang anak.
Selepas maghrib, Mardani dengan di bantu beberapa kerabat dan tetangga melaksanakan apa yang di perintahkan mbah Lenggono. Satu keanehan yang di rasa mereka saat memindahkan Munaji, tubuh kurus dengan perut yang mengembung di rasa sangat berat luar biasa.
Bukan hanya itu saja, setelah di angkat hingga sepuluhan orang, ratusan bayang-bayang seolah mengikuti kemanapun Munaji di bawa. Bahkan ketika tubuh Munaji sampai dan di baringkan di rumah Mardani, seketika rumah itu berubah panas.
Sedangkan malam itu juga, setelah selesai pemindahan Munaji, Sudiro dan mbah Lenggono meninggalkan kediaman Munaji. Dengan wajah tegang Munaji mengemudikan mobil mewahnya menembus jalanan yang masih ramai, tak perduli dengan beberapa kendaraan yang harus mengalah ketika-
berpapasan dengan mobilnya. Dalam pikiranya hanya fokus untuk bisa sampai di suatu tempat, di mana di tempat itu, bakal terjadi satu tragedi dari sekian tragedi besar pada tahun-tahun itu.

***
Detik demi detik malam itu, seolah menghitung langkah kaki beberapa orang memasuki lereng hutan yang gelap. Dua obor yang menjadi penerang bagi empat sosok laki-laki dan perempuan, sedikit membantu perjalanan dengan medan jalan cukup membuat merinding.
Belum lagi rimbunya semak belukar di kanan kiri yang dalam naungan pohon-pohon tua besar bersama akar-akar panjang menggantung, memberi kesan ANGKER.

Tak ada percakapan apapun dari ke empatnya, disamping sibuk dengan keadaan jalan, mereka larut dalam pikiran masing-masing.
Wajah begitu tegang terlihat dari satu sosok perempuan muda yang hanya berkemben, ia berjalan di belakang satu sosok wanita jangkung bergaun biru panjang dengan satu obor di tangannya.
Rambutnya yang panjang di biarkan tergerai, sesekali beriap terhembus angin memperlihatkan kulit putih di lehernya yang merinding.

Sepanjang jalan wajahnya yang ayu tertunduk, perasaanya diliputi kecemasan yang luar biasa manakala puluhan, -
bahkan ratusan pasang mata seakan mengintai setiap jengkal langkah kakinya. Suasana mencekam sangat ia rasakan saat langkah mereka berhenti tepat di depan dua pohon besar tinggi menjulang. Di depanya ia merasa ada sesuatu yang tertutup sebuah pintu gerbang kokoh. Dan benar saja,-
beberapa menit setelah sosok wanita bergaun biru atau Nyi Tanjung melakukan ritual singkat, mata sosok perempuan muda atau Wuri terbelalak!

Di depanya, kini tak nampak lagi pohon-pohon tinggi, belukar dan gelap, yang ada matanya melihat sebuah jalan yang terang dengan begitu -
ramai sosok-sosok berjalan hilir mudik, sosok-sosok yang seolah tengah sibuk bekerja dengan keadaan tubuh sangat mengenaskan.
Tubuh-tubuh mereka di penuhi luka cambukan menganga di sertai darah yang mengalir, wajah mereka pucat dengan badan teramat kurus.
Satu pemandangan awal bagi Wuri sudah begitu mengerikan, membuatnya tertunduk, matanya tak kuasa menatap penderitaan dari sosok-sosok yang hanya bisa mengerang menahan sakit.
"Monggo nduk, jangan kamu lihat yang tak kamu suka, sebab akan mempengaruhi mentalmu." ucap Nyi Tanjung sembari menuntun Wuri memasuki gerbang yang sudah terbuka di ikuti Suntoro dan mbah Lugito di belakang.
Wuri tak menjawab, ia hanya mengikuti langkah Nyi Tanjung melewati sosok-sosok yang kini menyingkir dengan berbaris menatapnya penuh rasa iba.
Perasaan Wuri semakin tak menentu ketika ia akan memasuki gerbang kecil tak berpintu. Wuri melihat dua sosok meringis menahan sakit pada pundak keduanya yang tertindih batu-batu besar dengan darah mengalir.
Wajah dan mata kedua sosok yang membungkuk di kanan kiri pilar gerbang, mengiba pada Wuri, mereka seakan mengenal dan ingin mengucapkan sesuatu pada Wuri namun, sepertinya mulut mereka berdua ada yang mengunci, sehingga hanya terdengar sebuah rintihan.
Tercekat Wuri setelah melewati gerbang dengan dua sosok yang masih menyisakan tanda tanya di benaknya, ia merasa tak asing dengan tempat setelah gerbang itu, suasananya, alunan suara gamelanya, dan sosok-sosok yang berada di tempat itu.
Semuanya seolah sangat Wuri hafal saat mengembalikan memori ingatanya awal menikah dengan Suntoro.

Mereka terus melangkah ke depan tanpa menghiraukan apapun yang mereka lihat, kecuali Wuri. Hingga tiba di satu bangunan megah dengan kilauan-kilauan cahaya memantul, -
berhawa sejuk serta wangi bunga melati berpadu kasturi, begitu menentramkan siapapun yang berada di tempat mirip sebuah keraton.

Wajah Wuri merah padam ketika matanya melihat satu sosok berdiri di depan pintu pendek bertangga mengkilap, -
sosok wanita tua berkebaya compang camping dengan wajah hitam gosong memegang sebuah parang panjang.

"Ranggi" gumam Wuri lirih menahan marah.

Namun sekejab kemudian, Wuri terkesiap ketika puluhan selendang-selendang merah, -
tiba-tiba melayang dengan di iringi lantunan tembang macapat merdu namun terdengar mengerikan. Satu sosok wanita cantik berkemben dan berjari lentik yang mengapit selendang-selendang merah muncul dengan masih menyuarakan sebuah tembang.
Membuat semua yang ada di tempat itu menunduk serta menjura hormat, termasuk Wuri.

"Geteh Pengarep Jati Anom seng wes tak enteni, gawanen mrene cah ayu."
(darah pembuka Anak Penerus yang sudah saya tunggu, bawakan kesini anak cantik)." ucap sosok yang tak lain Ratu jebar atau Nyi Wuning dengan lembut dan berwibawa kepada Wuri.
Dengan ragu dan takut, Wuri yang melihat anggukan kepala Nyi Tanjung sebagai isyarat, melangkah mendekat ke arah Nyi Wuning yang di atas kursi bertilam kain sutera kuning emas.
Satu dua langkah Wuri merasakan jantungnya berdegup kencang, Wajahnya menyiratkan satu kecemasan saat ia berdiri menunduk di hadapan sosok Ratu Jebar.
"Tenang saja cah ayu, setelah ini kamu akan tenang dan betah tinggal di sini bersama para abdiku yang akan melayanimu sampai bocah pancer ini lahir." ucap Nyi Wuning yang langsung membuat tubuh Wuri dingin.
Wuri benar-benar ketakutan setelah mencerna ucapan Nyi Wuning, ia tak menyangka jika dirinya di jadikan wadal dan harus tinggal di tempat asing itu sampai kelahiran anaknya dan Suntoro.
Batinya seketika memberontak, ingin segera berlari meninggalkan tempat indah namun sangat menakutkan baginya. Tapi, satu bisikan halus yang biasa hadir di telinganya melarang. "Belum waktunya" membuatnya urung.
"Toro, bawalah Wuri masuk kedalam SEMOLO SUCI," perintah Nyi Wuning pada Toro.

Ia langsung bergegas menuntun Wuri memasuki satu ruangan di belakang Nyi Wuning duduk. Ruangan yang sangat bersih berkilau dan harum.
Sebuah ranjang berkelambu kain sutera putih terletak di sebelah kolam kecil dengan air yang sangat jernih, menambah satu pemandangan sebuah kamar yang sangat indah, SEMOLO SUCI.
"Ranggi, bawa Nyai Tanjung bersama abdi Toro ke Garba lor, jaga pintu itu setelah ku buka, jangan sampai Ajungan-Ajungan itu menggagalkan ritualku!" perintah Nyi Wuning pada sosok Ranggi, Nyai Tanjung dan mbah Lugito yang lantas segera berlalu.
Satu alunan tembang macapat kembali keluar dari bibir Ratu Jebar yang menandai sebuah awal salah satu kejadian besar di ALAS JAGAD IRENG.

***
SPOILER BAGIAN 3
PERANG ILMU ALAS PUWO

Semantara, malam sudah meratakan wajah gelapnya ke seluruh penjuru bumi jawa timur, juga tak terlihat adanya tanda-tanda penerangan dari kerlipan bintang maupun rembulan yang biasa menghiasi,
seakan membebaskan mendung-mendung tipis yang mulai berkumpul menambah pekatnya malam.

Namun cuaca gelap gulita, tdk menyurutkan laju kendaraan tak terlalu mewah yg membawa tiga penumpang perempuan, dgn salah satu di antaranya terlihat hanya terbaring lemah serta mata terpejam,
dalam dekapan dan pangkuan sesosok wanita muda ayu. Sesekali wanita muda berkebaya putih mengusap dan membelai wajah pucat di atas pangkuanya, rasa nyeri dalam dadanya di tekan kuat-kuat agar air matanya tak menetes.
Semakin lama jalanan yang mereka lalui, semakin sunyi. Tanjakan yang berkelok dan memutar dengan sisi kanan kiri jurang, menunjukan jika tempat yang mereka tuju bukanlah sebuah tempat biasa.
Debur ombak laut terdengar bergemuruh ketika mobil kijang yang membawa mereka berhenti tepat di ujung jalan buntu, sedikit bersusah payah mereka membawa tubuh Laswati melewati terjalnya jalan bebatuan menanjak menuju puncak.
Hingga akhirnya mereka bisa bernafas lega setelah mencapai puncak. Ya ... sebuah puncak, namun bukan puncak sebuah gunung, melainkan sebuah gundukan lumayan lebar membentuk sebuah bukit di pesisir laut.
Baca kelanjutannya di sini

karyakarsa.com/KALONG/rogoh-n…
Lanjut nih. Siapin kopi.
Karena lumayan panjang.
-ROGOH NYOWO-
BAGIAN 3
PERANG ILMU ALAS PURWO

#bacahorror Image
Kegelapan seketika menyelimuti langit di atas sebuah hutan, malam itu. Kawasan hutan yang terkenal angker dengan ribuan penghuni tak kasat mata. Menjadi tanda dari sebuah kejadian besar yang di awali dari awan-awan hitam, -
seakan hanya berputar mengelilingi kawasan hutan angker atau alas PURWO yang mulai ramai.

Ya ... ramai oleh sesuatu yang hanya bisa di rasakan dan di lihat oleh orang-orang tertentu, -
seperti halnya oleh tiga perempuan dan dua laki-laki yang baru saja tiba di sebuah tempat dengan dua buah pondok berdiri.

Empat buah obor yang mereka ikat miring di tiang-tiang kayu penyangga pondok membuat tempat berhawa lembab sedikit terang.
Terlihat lelaki tua berblangkon dan berkebet hitam tengah menata sesuatu di tampah besar, satu cawan berisi darah merah yang mulai menggumpal, ikut melengkapi dan menjadi bagian dari sebuah ritual pembawa maut.
"Silahkan, Nyai memilih tempat." ucap seorang lelaki yang sedari datang hanya berdiri dengan perut buncitnya kepada sosok perempuan tinggi dengan kebaya batik putih berenda. Mbah Sinom.
Suasana begitu mencekam takkala lelaki tua berblangkon, mbah Mungin, membakar beberapa dupa yang di tancapkan di bawah dua pondok panggung. Sedangkan beberapa kemenyan juga ia bakar dengan alas genteng terbuat dari tanah yang berdampingan dengan setampah sajen.
Mbah Sinom yang sudah duduk di dalam pondok panggung sebelah kiri, mulai menunjukan ketegangan, matanya terpejam, keringat mulai membasahi wajahnya. Sama halnya dengan Satrio yang duduk bersila di dalam pondok panggung sebelahnya.
Tempat yg tadinya sunyi tiba2 brubah riuh, angin kencang datang bergulung-gulung, suara tanpa wujud mulai mendekat kearah dua pondok dengan iringan langkah ramai kaki-kaki seperti menginjak ranting ataupun daun-daun kering yang datang dari segala penjuru semak belukar di sekitar.
"Bbbllllaaarrr...." satu suara seperti benturan keras terjadi dari arah sudut tempat mbah Mungin duduk bersila.

Tampah berisikan sajen dan kemenyan arang berserakan, Mbah Mungin sendiri terpental berguling kebelakang.
"Lindungi mereka berdua!" teriak mbah Mungin pada Laswati dan Mayang untuk melindungi Mbah Sinom dan Satrio.

Laswati dan Mayang langsung mendekat dan berdiri di depan pondok panggung, sedang mbah Mungin kembali duduk bersila.
Di hadapan mereka kini puluhan pasang mata merah menyala mengintip dari celah-celah daun dari sosok-sosok berwajah hitam pekat dengan bau gosong menyengat.
Di tambah sosok-sosok bergaun putih panjang yang melayang-sembari tertawa nyaring dengan perut robek dan bolong, menimbulkan bau amis darah yang menyengat berasal dari usus mereka yang memburai.
Mbah Mungin yang masih duduk bersila tiba-tiba bangkit dan mengambil gumpalan-gumpalan darah yang kemudian di lemparkanya ke segala penjuru arah. Seketika itu juga, suara jeritan-jeritan melengking menyayat bersahutan ramai di tempat itu.
Sampai beberapa menit, suasana kembali hening bersamaan hilangnya puluhan mahluk-mahluk mengerikan yang mewujudkan diri, membuat mbah Mungin sedikit mengendurkan urat wajahnya yang menegang.
"Masuk sekarang!" ucap mbah Mungin dengan keras memberi perintah pada Satrio dan mbah Sinom.

"Jombor pati! Kewanen!" tetiba saja satu suara lantang menggema membuat mbah Mungin terkejut dan beringsut mundur.
Laswati yang masih berdiri mendadak berlari mendekat ke arah satu sosok yang baru saja muncul.

"Sanira!" bentak Laswati pada sosok perempuan berkebaya compang-camping.
Mayang dan Mbah Mungin tertegun melihat kemarahan Laswati, berbeda dengan sosok perempuan berwajah gosong yang di bentak Laswati, ia meradang mendengar nama "Sanira" di sebut keras.
"Jombor Pati bakal jadi penghantarmu malam ini Sanira! Menyempurnakan kematian suamiku!" kembali suara Laswati menggema seantero hutan, sosok yang di panggil Sanira terkejut ketika melihat Laswati memegang keris kecil berkepala naga.
"Laweyan Lenggan! " gumamnya sembari mundur,

Namun, baru saja dua langkah ia mundur, pekikan keras keluar dari mulutnya.

Sosok Sanira jatuh terduduk setelah untuk kedua kalinya ia memekik keras melolong, dari mulutnya keluar darah hitam kental.
Matanya belong menatap keatas dengan tangan meremas perutnya kuat, setelah terkena lemparan batu hijau dari mata keris milik Laswati.
"Jombor Pati ! Getehmu bakal tak go raup Ranggi!" ucapnya dengan keras dan di sambut pekikan panjang melengking dari sosok ranggi, ketika Laswati menghujamkan keris kecil tepat di jantungnya.
Darah hitam dari tubuh Ranggi masih terus mengalir meski tubuhnya sudah tak bergerak dalam posisi terduduk berselonjor. Mulutnya menganga dengan mata melotot keatas, parang panjang yang biasa ia tenteng tergeletak di samping kananya.
Laswati yang masih berdiri menatap tajam pada sosok Ranggi, terpental tersambar klebatan bayangan merah yang tiba-tiba muncul, sekejap kemudian bayangan merah itu kembali menghilang bersama lenyapnya sosok Ranggi.
"Laswati!" seru Mayang terkejut melihat Laswati terpental beberapa meter kebelakang.

Dari mulut dan hidungnya keluar darah segar, meski matanya terpejam, namun jantungnya masih berdegup kencang.

***
Di sisi lain, Wuri yang terbaring di ranjang halus nan lembut mulai merasakan sesuatu yang aneh dalam perutnya. Sesuatu hingga membuatnya merasakan sakit begitu mendera, sampai tubuhnya mengejang kuat dengan keringat mengucur deras.
"Tahan nduk, sebentar lagi semuanya akan berakhir." satu bisikan lembut kembali terdengar menguatkanya.

Wuri yang masih mengejang menahan sakit, tiba-tiba di kejutkan dengan suara-suara dentuman keras di luaran.
Ia sempat melirik ke arah Suntoro yang duduk dengan mata terpejam di dalam sungai kecil di samping ranjang. Telinga Wuri kali ini bukan hanya mendengar suara dentuman, tapi pekikkan dan jeritan yang ramai bersahutan memekakkan telinga membuat Wuri penuh tanda tanya.
"Sekarang bangun nduk! Ikat kuat perutmu dengan kain kendit! Segera keluar dari tempat ini!" lagi-lagi suara bisikan itu memberi perintah pada Wuri.
Wuri yang masih tampak ragu, mengeluarkan sebuah kain kendit yang ia selipkan pada kain kembenya.
Begitu melihat kain sutera, Wuri teringat suara bisikan yang kini ia tau siapa pemiliknya. Segera ia mengenakan kain kendit pemberian dari sesosok yang telah ia anggap ibunya sendiri, Nyi Ageng Lengi.
"Cepat keluar nduk!" satu suara yang kini bukan lagi bisikan, namun satu perintah tegas membuat Wuri seperti tersengat listrik.
Wuri segera berlari keluar dari kamar tanpa menghiraukan Suntoro yang masih duduk berendam dengan mata terpejam. Namun beberapa langkah kemudian, Wuri menghentikan langkahnya, -
matanya terbelalak melihat ke depan, di tanah lapang depan bangunan seperti keraton, banyak tubuh-tubuh berlumuran darah, bahkan terpotong tergeletak berserakan.
Beberapa sosok masih terlihat berdiri berhadapan dengan penuh amarah. Sosok-sosok yang kesemuanya Wuri kenal atau sekedar tau saling menatap sinis.
Wuri terlihat bingung, wajahnya pucat dengan tubuh kaku mematung. Sampai satu klebatan yang membuatnya terkejut, tiba-tiba berdiri di hadapanya. Sosok anggun berwibawa seolah-olah baru saja keluar dari dalam perutnya, -
sosok yang membuat wuri senang namun juga bergidik ngeri dengan bawaan di tangan kanannya, sebuah kepala berambut panjang serta mata hitam melotot.

"Kanjeng Ibu" gumam Wuri pada sosok di hadapanya.
"Pergilah Cah Ayu, bawa ini dan kuburkan baik-baik." sahut sosok Nyi Ageng Lengi seraya mengulurkan sebuah kantong kain merah dengan tangan kirinya, sedang tangan kananya masih mencengkram kepala tanpa badan.
Dengan gugup dan gemetar, Wuri menerima serta mengenggam kantong merah yang entah apa isinya. Sejenak di tatapnya satu persatu wajah-wajah sosok yang masih berdiri penuh ketegangan, sebelum satu suara mengagetkanya.
"Sekarang pergilah nduk, larilah sekuatmu, jangan sekali-kali kamu menoleh kebelakang sebelum keluar dari gerbang. Cepat!" ucap tegas Nyi Lengi memberi perintah pada Wuri.
Seperti ada satu dorongan kuat membuat kaki Wuri terasa ringan berlari, ia menembus klebatan bayangan yang mengerumuni sepanjang jalan di depanya, seakan ingin mencekalnya. Semakin membuatnya ngeri dengan suara syair tembang macapat jawa nyaring mengiringi lalu di susul jeritan-
jeritan memekik membuat air mata Wuri mengalir. Ingin rasanya ia menoleh kebelakang, memastikan sosok sosok yang membelanya tengah berhadapan dengan maut, namun, pesan dari Nyi Lengi yang sudah ia anggap ibunya sendiri membuatnya harus menekan kuat-kuat keinginan itu.
Satu gerbang kecil telah ia lalui, masih terpampang jalan panjang terhampar menuju gerbang utama. Ratusan bahkan ribuan bayangan Wuri rasakan seolah mengikutinya berlari, -
di tambah suara-suara memanggil namanya bersahutan seperti terus memintanya untuk berhenti, namun kaki Wuri seakan enggan untuk memperlambat atau berhenti.
Gapura tinggi dan lebar bertuliskan huruf aksara jawa sebagai gerbang utama keraton utara, sudah tampak di depan Wuri. Tinggal beberapa meter lagi Wuri keluar, tiba-tiba ia menghentikan langkahnya.
Wuri terdiam dengan wajah pucat di penuhi keringat, saat ia di hadang beberapa sosok, dua diantaranya sosok orang yang ia sayangi.

"Bapak, ibuk." gumamnya.
"Kembalilah nduk ... kembali. Kamu mau meninggalkan bapak sama ibu? apa kamu tak mau lagi hidup bersama bapak sama ibu? Kembalilah nduk, ini sudah jadi takdir kita." ucap satu sosok perempuan mirip dengan Laswati.
Tak serta merta Wuri menuruti semua ucapan dan perintah sosok mirip ibunya, ada keraguan menyeruak ketika Wuri melihat satu senyum tepatnya seringaian yg tak pernah ia lihat pd diri ibunya. Apalagi sosok Wardoyo, bapaknya, hanya terdiam dgn tatapan kosong seperti raga tnp sukma.
"Jangan kamu hiraukan Nduk, cepat keluar!" bisikan keras ditelinganya membuat Wuri tersadar.

Dengan tekad kuat kembali ia berlari menerobos sosok-sosok yang seketika berubah menjadi mahluk mengerikan.
Hampa, saat Wuri menabrak wujud sosok wanita tua dengan wajah hancur dan beberapa sosok laki-laki bertelanjang dada tak bermata, seakan ia menabrak angin.

Tawa keras dari sosok tua renta berwajah hancur berlendir membuat Wuri merinding ngeri,-
ia melayang mengikuti Wuri yang seolah kini merasa berat untuk berlari. Padahal, gerbang utama tinggal beberapa meter, tapi Wuri merasa sangat jauh dan sulit untuk bisa sampai.
Keringat Wuri masih terus mengalir, ketakutan akan sosok yang masih tertawa dan melayang di atas kepala membuat tulang-tulang di tubuhnya terasa lemah. Hampir saja Wuri menyerah dan roboh, sebelum ia melihat satu kerlipan cahaya kemilau hijau dari luar gapura gerbang.
Cahaya yang semakin membesar membentuk gulungan kain seperti menarik tubuh Wuri.

Suara tawa kikikan nyaring seketika berubah menjadi lengkingan jerit menyayat. Dan suara itu yang terakhir Wuri dengar ketika ia tersadar sudah berada di luar gerbang.
Wuri tercekat ketika matanya melihat sekeliling, tak ada lagi tumpukan batu-batu, tak ada lagi taman, tak ada lagi bangunan indah. Yang ada dihadapanya kini semak belukar di bawah naungan pohon-pohon tua tinggi dan rimbun dengan akar-akar bergelantungan.
Sunyi, hanya suara binatang-binatang malam terdengar di telinga, membuatnya seperti linglung dan bingung.

Di saat ia kebingungan mencari-cari jalan untuk keluar dari tempat itu, Wuri di kejutkan dengan suara ringikan kuda.
Wuri tertegun, di tajamkanya pendengaran yang kemudian membuatnya terhenyak. Saat telinganya mendengar suara ringikan kuda semakin jelas dari arah samping kanan mendekat ke arahnya.
Wajah Wuri menegang dan pucat, sesosok wanita cantik berambut panjang berbalut kain sebatas dada tersenyum sinis. Tercekam hati Wuri bukan karena mendengar suara tawa dari sosok itu,
melainkan dari satu tatapan Wuri ke tubuh sosok dengan wajah yang kini tertutup separu oleh rambut panjangnya. Tubuh berbulu hitam memanjang kebelakang dengan empat kaki serta ekor panjang di belakangnya.
Gemetar tubuh Wuri saat sosok itu mendekat, kakinya berat untuk ia ayunkan meski sekedar selangkah mundur, membuatnya berpasrah diri.
Tinggal beberapa langkah lagi untuk sosok perempuan bertubuh kuda itu sampai pada Wuri, tiba-tiba saja ia berhenti, seperti ada sesuatu menghalanginya. Terlihat dari tatapan matanya yang menajam di barengi dengusan kuat dari hidungnya, menandakan satu kemarahan.
Wuri yang sudah dalam keadaan ketakutan luar biasa, merasakan tubuhnya hangat memanas, sampai beberapa detik kemudian, ia merasa tubuhnya seperti diseret sesuatu, tepatnya lengan tangan bawahnya seperti di cengkram kuat.
Wuri tak bisa lagi berpikir, ia hanya menuruti satu tarikan begitu kuat untuk menjauh dari sosok bertubuh kuda yang mengejar di belakang dengan suara ringikan-ringikan persis sebuah jerit kemarahan.
"Glebbuukk"

Satu sentakan melemparkan tubuh Wuri, ia tersungkur dengan posisi kedua kaki dan tangan menumpu ketanah, membuanya meringis menahan ngilu di kedua lututnya.

"Wuri!" suara keras menyebut namanya membuat Wuri terperanjat.
"Mbah Mayang!" sahut Wuri sedikit tak percaya ketika di lihatnya Mayang berjalan mendekatinya. Empat buah obor yang masih menyala terang membuat penglihatanya cukup jelas.
Mayang memeluk tubuh Wuri begitu erat, Wuri menangis sejadi-jadinya, ia benar2 menumpahkan semua beban dan ketakutanya dalam dekapan Mayang. Sampai beberapa saat kemudian raungan tangis Wuri berganti isakan, perlahan Mayang melepas pelukan Wuri sembari mengusap air matanya.
"Sudah nduk, yg penting km sudah selamat." ucap Mayang menenangkan.

Baru saja Mayang selesai bicara, mereka di kejutkan dengan suara gemeratak yg di akhiri dentuman keras tiga kali. Seketika itu jg terlihat mbah Mungin yg tengah duduk bersila berguling-guling dgn mengerang.
Tak jauh berbeda keadaanya dengan mbah Sinom juga Satrio, mereka berdua terpental dan jatuh dari dalam pondok. Dari mulut ketiganya keluar darah segar, bahkan mbah Mungin dan mbah Sinom lebih parah, tubuh keduanya membiru kehitaman.
Wuri segera menyusul Mayang yang lebih dulu mendekati mbah Sinom, ngilu rasanya hati Wuri melihat kondisi mbah Sinom. Terbayang dimatanya saat sosok mbah Sinom ada dalam deretan sosok-sosok berwajah tegang, dalam keadaan menantang maut di halaman keraton Ratu Jebar.
Kesedihan Wuri terhenti sejenak, ketika tiupan angin dingin sedikit kencang sesaat mengejutkan mereka, lalu setelahnya terdengar suara gemerincing dari sebuah kereta kencana yang di tarik empat ekor kuda dengan satu sosok duduk di dalamnya.
Sosok perempuan cantik bergaun hijau, harum wangi kasturi bercampur melati merebak seketika, saat sosok bermahkota dengan berlian di tengahnya turun melangkah penuh wibawa.
"Ratu Agung." gumam Satrio saat melihat sosok yang baru datang, dari tempat ia berdiri dan tengah memeriksa keadaan mbah Mungin.

Mayang dan Wuri segera menjura hormat ketika tau siapa sosok yang tengah melangkah pelan ke arah mereka.
"Biarkan sukma Sinom bersamaku, raganya kelak kuburkan di samping romonya. Sedangkan Laswati bawa ke Puncak Suroloyo. Aku akan menunggu di sana." ucap sosok itu setelah melihat keadaan mbah Sinom.
"Baik kanjeng Ratu." sahut Mayang lirih menahan kesedihan mendengar Mbah Sinom sudah meninggal.

"Nduk, apa yang di wasiatkan Lengi padamu, harus kamu lakukan juga di puncak bersama ibumu." Wuri yang mendengar ucapan sosok kanjeng ratu mengangguk, -
ia baru ingat sesuatu yang di berikan Nyi Lengi padanya, sebuah kantong kain merah.

"Kalian semua keluarlah melalui pintu selatan, sebab Dewi Pambayun bersama ewang jaran betorokolo menunggu kalian di pintu utara." ucap kembali sosok kanjeng Ratu memberi pesan.
"Aku tau Dewi Prameswari tak akan menjemput abdinya di tempat ini. Segeralah kalian keluar sebelum tempat ini ramai kembali." kali ini ucapan sosok kanjeng Ratu di tujukan pada Satrio yang menunduk dan menganggukan kepala.
Setelah kepergian sosok Kanjeng Ratu, Wuri, Mayang dan Satrio tampak sibuk membawa tiga tubuh tak berdaya milik Laswati, Mbah Sinom dan Mbah Mungin.
Satrio mengemudikan mobilnya kencang menembus malam yang hampir subuh dengan memutar sesuai pesan dari sosok Kanjeng Ratu. Nampak guratan rasa lelah di wajahnya setelah dua hari dua malam mempertaruhkan nyawa demi satu kata, balas dendam!
Sementara Wuri kembali terisak melihat keadaan ibunya yang terluka tak sadarkan diri. Di tambah ia juga harus kehilangan satu orang pelindungnya, yaitu Mbah Sinom. Setelah menjadi salah satu dari sekian banyak korban yang kasap maupun tak kasap mata demi menyelamatkanya.

***
"Bawalah anak ini keluar dari sini, dia bakal menjadi pengganti Ranggi untukku." ucap satu sosok berkemben dan berselendang merah dengan wajah geram.

"Baik Gusti Ratu." jawab satu sosok perempuan jangkung bergaun biru panjang.
"Urusan mayat ini aku sendiri yang akan menghaturkan. Sekarang pergilah sebelum hari terang." sambungnya kembali dengan melihat satu sosok tua yang terbujur dengan tubuh membiru, dari mulut, hidung dan telinganya mengeluarkan darah yang sudah mengental hitam.
Sosok wanita jangkung bergaun biru kemudian membopong tubuh seorang laki-laki muda bertelanjang dada. Aneh, ia membopong dengan begitu ringan, seakan apa yang ada di pundaknya tak berbeban.
Ia melangkah cepat menyusuri sebuah jalan dengan pemandangan kanan kiri bangunan hancur berantakan, layaknya sebuah tempat seperti bekas atau baru tertimpa bencana alam, tak ada lagi keindahan, keramaian, yang terlihat seperti awal ia masuk.
Sesampainya ia di luar gerbang, yang juga separuh bangunanya hancur, ia menghentikan langkahnya sejenak, matanya terpejam dengan mulut berkomat kamit sampai beberapa detik.
Kemudian ia menoleh sebentar, dan secara tiba-tiba ia berlari kencang menembus rerimbunan. Seakan berkejaran dengan suara gemuruh bergulung menggelegar di belakangnya, membuat tubuhnya merinding ngeri, sebab ia tau bahwa itu adalah wujud kemarahan dari junjunganya RATU JEBAR.
"Kurang ajar! Rupanya ada campur tangan penguasa selatan!" ucap satu sosok wanita tua bergaun hitam dombor, Nyi Anggar.

"Maksud Nyai?" tanya Sudiro pada Nyi Anggar yang sedang mendengus menahan amarah.
"Betorokolo tak bisa mengambil pancer bocah Rogoh Nyowo. Rahimnya di lindungi abdi dalem penguasa selatan." sahutnya geram.

"Dan satu lagi! Rupanya mereka bersekutu dengan Dewi Ayu Prameswari penguasa daratan timur." sambungnya lagi.
Sudiro begitu gusar mendengar semua ucapan Nyi Anggar. Berbeda dengan sosok lelaki tua di dekatnya, keningnya berkerut seperti tengah memikirkan sesuatu.
"Kalau seperti itu kejadianya, berarti Suntoro gagal mendapatkan #RogohNyowo. Kemudian dia akan menjadi abdi atau Serco Ranggi Ratu jebar selamanya." terang mbah Lenggono dengan menatap Sudiro.

"Maksudmu mbah?" tanya Diro tak mengerti.
"Itu artinya mas Diro adalah trah terakhir dari keluarga Suyono." sahut mbah Lenggono memperjelas perkataan awalnya.

Sudiro yang awal sempat bingung, kini tersenyum sembari menganggukan kepala tanda ia sudah mengerti dengan semua ucapan mbah Lenggono.
"Maaf Nyi Anggar, saya yang kini sebagai trah terakhir keluarga Suyono pemilik dari Rogoh Nyowo, apakah bisa menggantikan adikku yang sudah gagal?" tanya Diro antusias.
Namun Nyi Anggar terlihat ragu, ia menatap langit-langit rumah pondoknya sebelum menjawab pertanyaan Diro.
"Hanya pancer yang sudah tertanam di keraton utara bisa menjadi penerus #RogohNyowo. Untuk urusan pengganti belum pernah kudengar." jawab Nyi Anggar yang seketika membuat wajah Diro berubah.
Sudiro menarik nafas panjang, ia merasa harapan untuk mendapatkan satu ilmu yg ia inginkan sedari dulu pupus.

Tapi Diro sedikit menyeringai takkala ia ingat, bahwa semua yang di miliki keluarga besar Suyono kini jelas menjadi miliknya, sebab ia kini adalah sang pewaris tunggal.
"Lalu bagaimana untuk langkah saya selanjutnya Nyai?" tanya Diro.

"Lakukan upacara persembahan pertamamu secepatnya. Baru kamu bisa menyatukan serco betorokolo." jawab Nyi Anggar tegas.
Diro terhenyak sesaat, ia harus berpikir keras untuk mendapatkan GETEH PANGKEP yang menjadi syarat utama untuk tujuannya. Sedangkan orang yang biasa menjadi andalannya, sudah tak mungkin lagi bisa membantunya.
"Satu lagi, apa kamu sudah punya calon abdi untuk sang Ratu?" sambung Nyi Anggar bertanya dan di jawab gelengan kepala oleh Diro.

"Jangan sampai semua gagal! Lekaslah kamu laksanakan semua persyaratan yang telah kamu sanggupi." Nyi Anggar dengan tegas memperingatkan Sudiro.
"Baik Nyai. Secepat mungkin aku akan menikah." jawab Diro meyakinkan.

Menikah, mungkin kata itu sangat riskan bagi Sudiro yang hampir tak pernah ada dalam pikiran dan benaknya.
Meskipun umur, wajah dan harta yg ia miliki lebih dari cukup, namun ia seperti enggan dgn satu hal itu. Tapi kini ia terpaksa harus menjalaninya, sebab itu menjadi satu syarat utama perjanjianya dgn Ratu Pambayun, agar ia bisa menumbalkan istrinya utk mnjadi abdi sang Ratu.

**
Suasana dirumah Mardani.

"Aaaakkkhhhh...." Suara jeritan dari dapur rumah Mardani mengejutkan beberapa orang yang sedang bercengkrama di ruang tamu.
Lagi-lagi Tini, istri dari Mardani tergeletak pingsan di luar pintu dapur. Mardani dengan di bantu beberapa orang yang akan mengangkat tubuh Tini, tiba-tiba beringsut mundur ketika melihat satu sosok berdiri membelakangi mereka.
Sosok laki-laki yang hanya mengenakan sarung kotak-kotak tanpa baju, dengan kulit tubuh keriput menampakkan guratan tulang dan otot seakan tak ada lagi daging yang menempel.
Mardani dan beberapa orang terbelalak kaget ketika sosok itu membalikan badan, wajah mereka pucat, melihat sosok yang beberapa hari terbaring sekarat, kini berdiri dihadapan mereka.

"Bapak" gumam Mardani pada sosok di depanya.
Sosok yang ternyata Munaji, menyeringai mendengar gumaman Mardani. Tak ada sahutan, hanya matanya yang berubah hitam menatap tajam.

Mardani yang mulai di liputi ketakutan menarik tubuh istrinya menjauh dari sosok Bapaknya, -
membuat sosok Munaji mengerang marah dan melompat sampai beberapa orang berlarian menjauh.

"Pak tolong, jangan pak. Saya Mardani pak." ucap Mardani memohon ketika Sosok Munaji begitu cepat mencengkram lehernya dengan kuat.
Namun usahanya sia-sia, Sosok Munaji bertambah beringas mencekik leher Mardani sampai membuat nafasnya mulai tersengal-sengal.

"Bbuugg" satu hantaman keras di samping perut Munaji yang buncit dan hitam, membuatnya terjungkal ke samping dan melepas cekikan di leher Mardani.
Pukulan dari sepotong bambu kuning yang di hantamkan oleh seorang laki-laki tua, berambut dan berjenggot putih dengan kopiah hitam lusuh.

"Bawa masuk Tini cepat! " ucap lelaki tua dengan mata menatap tubuh Munaji yang tengah berusaha bangkit.
Dengan panik Mardani segera membopong tubuh istrinya lalu membaringkan di kamar.

"Ada apa ini Mar?" tanya seorang wanita yang baru masuk merasa heran melihat Mardani membopong Tini.
"Bapak buk ... bapak di belakang buk lagi ngamuk kayak kesurupan." jawab Mardani sedikit gugup pada sosok wanita yang baru masuk, ibunya.
Ibu mardani terkejut seperti tak percaya, ia segera melangkah terburu ke belakang rumah.
Tubuhnya mendadak bergetar ketika baru sampai, saat matanya melihat sosok Munaji, suaminya berhadap-hadapan dengan lelaki tua yang memegang bambu kuning runcing sepanjang satu meteran.
"Jangan di dekati! Dia bukan Munaji. Dia iblis yang menguasai raganya!" larang lelaki tua pada istri Munaji yang ingin menghampiri tempat di mana Munaji berdiri dengan sorot mata hitam tajam.
"Kang Munaji......." Belum sempat istri Munaji meneruskan kata-katanya, ia menarik mundur tubuhnya, saat secara tiba-tiba Munaji melompat hendak menghantam lelaki tua di hadapanya.
Sang lelaki tua yang sudah siap, berkali-kali menghantamkan bambu kuning di tangan kanannya membuat tubuh Munaji roboh berguling-guling seraya menjerit. Dari mulutnya mengalir darah hitam,
tubuh kurus dengan perut membuncit tak wajar terlihat memar merah bergaris, bekas hantaman bambu kuning dari lelaki tua berkopiah hitam.

"Pergilah iblis laknat! Pulanglah pada tuanmu, jangan ganggu mereka." bentak lelaki tua pada sosok munaji.
Namun bukan jawaban atau ucapan yang di dapatkan si lelaki tua, tapi tawa keras menggema dari sosok Munaji yang sudah berdiri kembali.
Semua yang melihat kejadian malam itu dirumah Munaji mulai di liputi kengerian. Rasa takut tampak begitu jelas dari wajah-wajah yang mulai pucat, tak terkecuali istri Munaji sendiri.
"Heemmggg ... Jangan mencampuri urusanku tua bangka! Jika tidak ingin kehilangan nyawamu yang hanya selembar." gertak Sosok Munaji yang di dahului geraman amarah.
Sang lelaki tua hanya sinis menanggapi ancaman sosok Munaji, tanganya memegang erat pangkal bambu kuning, dgn mata tak berkedip mengawasi sosok Munaji yang terlihat seperti tengah membaca sesuatu.
Sesuatu yang tiba-tiba merubah suasana dirumah Mardani, Sesuatu yang membuat semua orang dirumah itu ketakutan luar biasa.

Bagaimana tidak, setelah sosok Munaji selesai membaca sesuatu, mendadak tempat itu berubah gerah, layaknya berada di ruangan tertutup.
Tak hanya itu, seketika juga muncul sosok-sosok pocong bermata bolong dengan wajah hitam gosong. Sosok pocong-pocong itu melayang mengitari rumah Mardani, dibarengi bau anyir menyeruak pekat bersumber dari lendir-lendir yang menetes dari mulut pocong-pocong itu.
Wajah lelaki tua tampak begitu menegang, bibirnya terkatup rapat, keringat mulai keluar dari lobang pori-pori kulitnya yg sudah keriput. Kakinya mundur beberapa langkah, bukan karena takut dgn sosok pocong-pocong yang masih melayang, tapi pada satu sosok yang baru saja muncul.
Sosok bertubuh dan bermata merah nyalang, dengan kuku-kuku di jari tanganya yang panjang, terlihat mengkilap berwarna putih, selaras kengerianya bersama dua taring dari dua sudut bibir memanjang kebawah.
"SENCOKOLO." gumam lelaki tua itu gemetar.

Beberapa orang termasuk Mardani dan ibunya, yang juga melihat dan menyaksikan kemunculan sosok Sencokolo terdiam kaku, tubuh mereka dingin seperti tak teraliri darah.
Belum hilang ketakutan dan kengerian yang di rasakan oleh seluruh orang di rumah Mardani, kini mereka kembali di kejutkan dengan bola-bola api yang beterbangan dan jatuh di halaman belakang rumah Mardani. Bola-bola api yang jumlahnya puluhan itu, saat terjatuh pecah membuyar,
membentuk wujud mahluk-mahluk yang mirip dengan sosok Sencokolo.
Malam kelam penuh kengerian, belum sedikitpun terlewati oleh Mardani dan beberapa orang yang ada dirumahnya. Bahkan kini keadaan semakin bertambah menakutkan dengan kemunculan puluhan mahluk Jurig yang datang dari bola-bola api.
Meskipun satu sosok lelaki tua dengan bambu kuning di tangan kanannya masih berdiri tegak, tapi keberaniannya mulai menciut saat tau jika ia tengah berhadapan dengan satu sosok yang ganas, SENCOKOLO.
Sang lelaki tua tampak tetap nekat dengan sisa keberaniannya, tapi itu tak cukup untuk melawan Sencokolo meski ia bersenjatakan sebuah bambu bertuah.
Berkali-kali ia mundur sambil memukulkan bambu kuning pada tubuh Sencokolo yang mendekatinya, namun hantamanya tak berpengaruh apa-apa, bambu kuning yang ia pukulkan seakan menghantam angin hampa.
Bahkan, satu lenguhan kaget keluar dari mulutnya saat ia merasakan hawa panas dari tanganya, sampai bambu kuning yang ia pegang kuat di tangan kananya terlepas disertai jeritan kecil.
Lelaki tua itu memandangi telapak tanganya yang menghitam melepuh dengan meringis menahan pedih, ketegangan yang memucat di wajahnya menunjukan pengakuan jika dirinya tak mampu melawan sosok iblis, Sencokolo.
Selagi ia terfokus pd sosok Sencokolo yg telah membuat tanganya terbakar, satu jeritan mengagetkanya. Lolongan jerit menyayat sekali lagi melengking keluar dari istri Munaji, -
wajahnya pucat terbasahi keringat, nafasnya tersengal-sengal dengan kedua tangan mendekap perutnya yang robek terbelah.
Mardani cuma bisa melihat dan berteriak, ia tak berani membantu ibunya ketika tangan bapaknya sendiri yang merobek-robek perut ibunya. Apalagi ia tau jika di dalam raga bapaknya, bukan lagi asli sukma bapaknya yang bersemayam, melainkan sosok iblis mengerikan.
Belum lagi puluhan sosok Jurig yang mengitari sosok bapaknya, seperti sengaja menjadi pelindung saat sosok bapaknya mencelakai ibunya.
Belum hilang kengerian saat melihat ibunya mati dalam keadaan mengenaskan dengan usus terburai keluar, kini Mardani kembali melihat satu kejadian yang sama mengerikanya. Sosok bapaknya tiba-tiba saja beringsut mundur tiga langkahan dari mayat ibunya, -
tangannya melemparkan usus milik ibunya yg di tarik keluar sampai putus. Tak hanya itu, sekejap mata kemudian tanganya yg masih berlumuran darah, merobek perutnya sendiri. Teriakan keras membahana saat perut buncit hitamnya terbelah mengeluarkan darah hitam berbau busuk menyengat
Mardani benar-benar tercekat, begitu juga dengan yang lainya. Tak ada yang mampu mencegah tangan Munaji ketika merobek-robek perutnya sendiri dan mengeluarkan isinya, sampai akhirnya raungan keras menyayat dengan bola mata melotot menjadi-
pemandangan terakhir Mardani sebelum tubuh kurus Munaji roboh dengan kondisi sama persis dengan istrinya.
Sesaat suasana menjadi hening, tak ada lagi sosok pocong, jurig maupun sosok Sencokolo. Hanya suara isakan Mardani yang bersimpuh tertunduk, seakan tak percaya setelah menyaksikan kejadian mengerikan yang mengakibatkan Bapak Ibunya terkapar tak bernyawa dengan kondisi yang sama.
Sedangkan kerabat dan tetangga yang ikut menyaksikan masih begitu syok, mereka masih terdiam membisu dengan perasaan trauma dan ketakutan yang mendalam.
Sampai malam yg terus merangkak bersama kegelapan masih menyelimuti, suasana di rumah Mardani semakin ramai. Bukan hanya rasa ngeri dan takut saat membantu mengurus mayat Munaji dan istrinya, -
para tetangga dan keluarga yang baru datang juga begitu miris dengan kondisi Tini, istri Mardani, yang tiba-tiba saja bangun dari pingsanya dalam keadaan kewarasan atau jiwanya terganggu.
Tak jauh beda dengan Mardani sendiri yang begitu syok, ia nampak seperti orang linglung, terduduk diam dan sesekali menangis.

"Mbah Zakaria, apa sebenarnya yang terjadi?" tanya seorang kerabat Munaji pada lelaki tua yang meringis memegangi tanganya.
"Sencokolo ... Sencokolo iblis dari gunung kawi." sahut lelaki tua yang di panggil mbah Zakaria dengan gemetar. Wajahnya pucat pasi, ia terus memandangi tangan kananya yang hitam melepuh.
"Sencokolo!" ujar kerabat Munaji terkejut mendengar nama Sencokolo yang di sebut mbah Zakaria, seakan ia tau akan keganasan salah satu pilar Gunung Kawi.
Setelah melewati waktu subuh, puluhan masyarakat mengurus jenazah Munaji beserta istrinya, sementara Mardani dan Tini yang terlihat seperti orang tak waras, terpaksa oleh kerabat mereka di ikat di dalam kamar.
Mbah Zakaria sendiri hanya pasrah dalam ketakutan, melihat tanganya yang melepuh semakin parah. Bahkan ia rela dan berniat untuk memotong tangan kanannya, karena ia tau jika luka itu akan terus menjalar keseluruh tubuh dan tak bisa di sembuhkan.

***
Tak jauh beda dengan suasana di tempat Mardani, kesedihan juga menyelimuti sebuah tempat di mana sesosok mayat terbujur dengan balutan kain kafan putih.
Tak banyak pelayat yang hadir seperti pada umumnya, hanya beberapa perumpuan dan laki-laki terlihat yang tengah memasukan sesosok mayat perempuan kedalam peti yg terbuat dari kayu pilihan.
Isak tangis dari dua sosok perempuan mewarnai proses memasukan peti kedalam lubang kubur, menghantarkan raga mbah Sinom beristirahat selamanya.
"Beristirahatlah dengan tenang mbah Simom, kini mbah bisa bertemu dengan eyang Rengko, terima kasih telah berkorban untukku" gumam Wuri lirih di hadapan kuburan Mbah Sinom, -
yang terletak persis di samping kuburan lebih tinggi milik mbah Rengko, sesuai perintah Kanjeng Ratu, junjungan waris keluarga Rengko.
Cahaya panas matahari mulai terasa menyengat takkala Wuri dan Mayang, serta beberapa orang yang ikut membantu pemakaman mbah Sinom, meninggalkan tanah kubur pribadi milik keluarga Rengko.
"Malam nanti, kita bawa ibumu ke puncak Suroloyo. Persiapkan semua bekalmu, Nduk." ucap Mayang pada Wuri seraya melangkah menuju rumah tua warisan yang di tempati Mayang.
"Baik, mbah." sahut Wuri singkat.

Sesampainya Wuri di dalam, ia langsung menuju kesatu kamar dimana tubuh lemah Laswati terbaring.
Di tatapnya dalam2 wajah pucat ibunya, ada rasa sesak dan nyeri merambah, saat mengingat semua pengorbanan ibunya yg sudah dua kali ini sekarat karena membelanya.
Wuri menarik nafas dalam-dalam, pikiranya menerawang jauh mengingat kembali kejadian mengerikan yang terjadi waktu lalu, sampai banyak merenggut nyawa. Meski kini ia bisa bernafas lega setelah terbebas dari pewadalan dirinya, namun ia merasa ini belum berakhir.
"Toro." gumamnya tiba-tiba, ingatanya memaksa ia membayangkan sosok suaminya yang entah bagaimana keadaanya. Terakhir ia melihat sosoknya tengah duduk bersemedi di dalam kolam kecil di kedaton Nyi Wuning. Hingga setelah Wuri selamat dan keluar, ia belum mendengar kabarnya.
Namun Wuri sedikit mengerti, tentang bagaimana nasib Toro setelah gagal menjalani ritual penerus #ROGOHNYOWO.
Ada raut kesedihan, saat Wuri perlahan mengusap perutnya yang telah terisi janin Suntoro, meskipun awalnya Wuri tak menghendaki, tapi kini ia bertekad untuk merawat dan membesarkanya sendiri kelak SANG GETEH PENGAREP.

***
Sementara itu, di sebuah rumah joglo lawas dengan dinding depan di penuhi lukisan-lukisan tangan gerakan para penari, tampak satu sosok perempuan jangkung sibuk sendiri. Terlihat ia sedang mempersiapkan sesuatu di samping satu sosok laki-laki muda bertelanjang dada.
Tubuh sang laki-laki muda begitu pucat seperti kapas, dadanya naik turun menandakan jika masih ada nafas dalam dirinya meskipun matanya tertutup rapat.
"Sabaro ngger. Jamasan wengi iki bakal njujugno siro marang pengayoman abadi jantrek abdi Nyi Ratu Jebar." (Sabar Nak. Jamasan malam ini akan memberimu perlindungan abadi dari hamba-Ku Nyi Ratu Jebar) ucap sosok bergaun biru, nyai Dewi Tanjung pada tubuh lemah Suntoro.
Sebuah mobil sedan hitam melaju lambat dan berbelok ke sebuah rumah mewah berlantai dua, berpagar tembok tinggi mengelilingi, dengan gerbang tak terkunci seperti sengaja terbuka.
Di sisi kiri dalam gerbang, terdapat sebuah bangunan kecil yang biasa di tempati seorang penjaga, tapi kini tampak kosong.

Sama halnya dengan suasana rumah, begitu lengang, sunyi, sampai tak satupun kegiatan atau penghuni terlihat di rumah yang berdiri di atas tanah 2 hektaran.
Seorang lelaki muda yang baru turun dari mobil, mengedarkan pandangannya di sekitaran halaman depan. Cukup lama ia mengamati sampai seorang lelaki tua yang juga menumpang di mobilnya, menepuk bahunya pelan.
"Belum ada yang berubah mbah, semua masih seperti yang dulu." gumam lelaki muda tanpa menoleh.

"Ada yang berubah mas Diro, aura dan penghuninya." jawab lelaki tua membuat Diro mengenyritkan keningnya.

"Maksudmu mbah?" tanya Diro sedikit bingung.
"Nanti kita akan lihat sendiri." sahut lelaki tua, Mbah Lenggono sambil mengangguk memberi isyarat untuk masuk.
Sama halnya dengan suasana di luar, di dalam rumah besar dengan lantai dari marmer juga terlihat sepi. Tak ada pembantu satupun yang terlihat di ruangan-ruangan besar nan mewah, hingga mereka berdua meneruskan langkah dan baru sampai di depan pintu belakang, -
mereka berdua dikagetkan dengan kemunculan seorang lelaki 40-50an. Lelaki bertubuh gempal dengan tangan terlihat membawa sebuah tampah berisi bunga-bunga dan beberapa pelengkap sesaji yang sudah mengering.
Lelaki yang juga ikut terkejut dengan kehadiran Sudiro dan mbah Lenggono nampak mundur dengan tatapan tajam menyelidik.

"Siapa kalian! Bagaimana kalian bisa masuk!" tanyanya tegas.
Diro dan mbah Lenggono sama menatap dengan senyum sinis, bahkan Diro memandangi lelaki di depanya dari kaki sampai ujung rambut, membuat si lelaki semakin bertanya-tanya.
"Berapa lama kamu jadi jongos Toro sampai tak mengenaliku!" ucap Diro sengit membalas ucapan tegas sang lelaki di depanya.

Si lelaki tampak kecut mendengar balasan ucapan sengit Diro yang dirasa seolah balik menghakiminya.
"Saya Suyuti, saya bekerja disini baru beberapa minggu. Kang Lukman yang mengajak saya." jawabnya melunak.

"Ohh pantas, saya Sudiro dan ini mbah Lenggono." jawab Diro menjelaskan yang juga memelankan nada ucapanya.
Mendengar nama Sudiro, Suyuti tertegun, otaknya langsung bekerja mengingat, sampai akhirnya kulit wajahnya menegang manakala ia ingat cerita Lukman tentang siapa Sudiro.
"Maaf Pak Sudiro, saya tidak tau kalau tengah berhadapan dengan Pak Sudiro." ucap Suyuti pelan dengan membungkukkan sedikit badannya.

"Gak apa-apa kang Suyuti. Oh ya ... Untuk apa sampean bawa sajen bekas kedalam?" tanya Diro yang membuat gugup Suyuti.
"Eeeemm ... ini ... mau saya ganti pak." jawab Suyuti terbata-bata.

Suyuti tampak ragu untuk menjelaskan, sebab ia sedikit banyak tau tentang pergolakan antara Sudiro dan Suntoro dari Lukman.
"Jangan gugup atau takut kang, tuanmu Suntoro sudah mati. Jadi sekarang sampean pasti tau siapa yang berkuasa di sini." terang Diro seraya menepuk pelan pundak Suyuti yang terperanjat mendengar ucapan Diro.
Suyuti hanya tertunduk, ia masih belum begitu percaya dengan kabar yang dikatakan Diro tentang Toro yang sudah meninggal.
"Toro tak akan pernah kembali lagi kerumah ini kang Suyuti. Sampeyan tinggal pilih, tetap disini atau mau berhenti." kembali Diro berkata tegas sambil berlalu menuju halaman belakang, meninggalkan Suyuti yang terpaku dengan seribu tanda tanya bersliweran di benaknya.
Diro yang di ikuti mbah Lenggono menghentikan langkahnya di depan sebuah gundukan tanah, dengan sebuah nisan dari batu yang di lapisi marmer bertuliskan huruf jawa kuno.
Kepulan asap dari tiga dupa yang tampaknya baru di bakar di belakang nisan panjang sejengkal, membuat suasana tempat itu sedikit seram, apa lagi langit mulai remang memasuki waktu surup, memberi kesan Angker dengan asap bau dupa menyengat.
Mbah Lenggono yang berdiri di belakang Sudiro menajamkan matanya saat satu bayangan tertangkap pandangan matanya. Bayangan sesosok hitam kemerahan dari ujung tembok pembatas, tengah berdiri menatap ke arah Sudiro berdiri.
Ada yang aneh dari sisi penglihatan Mbah Lenggono saat sosok itu berjalan menuju sudut ujung kiri dengan menyeret sesuatu. Bunyi kemrincing seperti besi yang berbenturan dan terseret jelas terdengar ketika sosok itu melangkah, membuat rasa penasaran mbah Lenggono memuncak.
Tanpa pamit pada Sudiro yang tengah terpekur di atas makam bapaknya, mbah Lenggono melangkah mengejar sosok yang masih terlihat dari bayang remang langit dan beberapa lampu redup yang telah di nyalakan.
Setelah ia begitu dekat dengan tempat terakhir sosok itu berhenti, mbah Lenggono terdiam, sinar matanya meredup serta bibir terkatup rapat.

"Udari taliku kang ... Udari taliku kang." ucap sosok didepan mbah Lenggono memelas.
Mbah Lenggono benar2 tercekat mendengar suara dari satu sosok yg sejak kecil ia kenal. Dan kini sosok kecil dalam ingatanya berubah menjadi sosok bertubuh hitam kemerahan dgn mata celong kosong. Dari bibir, hidung dan telinganya mengeluarkan darah hitam pekat berbau sangat busuk.
Mbah Lenggono yang belum bicara apapun, tiba-tiba melihat sosok itu berjalan menyeret satu kakinya menjauh dari mbah Lenggono, sambil terus bergumam lirih sampai seketika hilang di belakang tembok sebuah bangunan kecil di ujung sudut kiri rumah Suyono.
"Ada apa mbah? Dan ini bangunan apa?" tanya diro tiba-tiba dari arah belakang.

Mbah Lenggono masih terdiam tak menjawab, matanya masih menatap di mana hilangnya satu sosok yang membuat ingatanya kembali ke masa lalu.
"Jangan masuk mas Diro!" larang mbah Lenggono pada Diro yang melewatinya mendekati bangunan dengan ruang kecil tak berpintu.

"Kenapa mbah?" tanya Diro penuh keheranan.
"Ruangan itu khusus untuk upacara persembahan SENCOKOLO. Tapi kini dia sudah tak bertuan dan.... " Mbah Lenggono terdiam sebentar sebelum meneruskan kalimatnya, membuat Diro bertambah penasaran.
"Celaka! Kita harus cepat kerumah Mardani." ujar mbah Lenggono seperti mengingat sesuatu.

Tanpa membuang waktu lagi, mbah Lenggono dan Sudiro meninggalkan halaman belakang rumah keluarganya.
Langkah cepat dan buru-buru membuat Sudiro dan mbah Lenggono, tak menyadari jika satu pasang mata mengawasi dengan tajam sedari mereka berada di bangunan kecil.

Sepasang mata dari sesosok tubuh di penuhi darah serta dalam belengguan rantai-rantai hitam.
Setelah berbasa-basi dengan Suyuti, sang penjaga rumah keluarganya, Sudiro segera memacu sedan mewahnya ke sisi barat. Menuju tempat yang sudah terjadi kengerian dengan memakan dua nyawa sekaligus, Munaji dan istrinya.

***
Semantara, malam sudah meratakan wajah gelapnya ke seluruh penjuru bumi jawa timur, juga tak terlihat adanya tanda-tanda penerangan dari kerlipan bintang maupun rembulan yang biasa menghiasi, seakan membebaskan mendung-mendung tipis yang mulai berkumpul menambah pekatnya malam.
Namun cuaca gelap gulita, tidak menyurutkan laju kendaraan tak terlalu mewah yang membawa tiga penumpang perempuan, dengan salah satu di antaranya terlihat hanya terbaring lemah serta mata terpejam, dalam dekapan dan pangkuan sesosok wanita muda ayu.
Sesekali wanita muda berkebaya putih mengusap dan membelai wajah pucat di atas pangkuanya, rasa nyeri dalam dadanya di tekan kuat-kuat agar air matanya tak menetes.
Semakin lama jalanan yang mereka lalui, semakin sunyi. Tanjakan yang berkelok dan memutar dengan sisi kanan kiri jurang, menunjukan jika tempat yang mereka tuju bukanlah sebuah tempat biasa.
Debur ombak laut terdengar bergemuruh ketika mobil kijangng yang membawa mereka berhenti tepat di ujung jalan buntu, sedikit bersusah payah mereka membawa tubuh Laswati melewati terjalnya jalan bebatuan menanjak menuju puncak.
Hingga akhirnya mereka bisa bernafas lega setelah mencapai puncak. Ya ... sebuah puncak, namun bukan puncak sebuah gunung, melainkan sebuah gundukan lumayan lebar membentuk sebuah bukit di pesisir laut.
Beberapa bekal obor yang mereka bawa dan di nyalakan membuat sedikit jelas satu tempat datar beralaskan tanah berkerikil, yang kemudian di lapisi kasur tipis bertilam kain putih bersih.
"Bapak boleh menunggu di mobil." ucap Mayang pada sang sopir setelah selesai membantu.

"Baik buk." jawabnya dengan membungkukan badan.

Setelah kepergian sang sopir, Mayang menaburkan bunga-bunga mengelilingi tubuh Laswati.
Sementara Wuri melucuti pakaian ibunya dan mengganti dengan selembar kain hijau yang di tutupkan menyeluruh layaknya menutup mayat.
Tak tanggung-tanggung, 11 dupa Mayang bakar sekaligus dan menancapkan di sisi sebelah kanan tubuh Laswati, yang seketika membuat suasana di puncak berubah mencekam.
Kepulan asap dupa menyebar tak beraturan dengan datangnya angin riuh sampai membuat nyala obor beriak, takkala Wuri dan Mayang duduk bersimpuh memejamkan mata sembari membaca sebuah lirik mantra berbahasa jawa kuno yang sulit di mengerti.
Sebuah nama gelar keagungan sesekali mereka sebut yang tersisip di beberapa bagian mantra, membuat gemuruh ombak semakin cepat dan keras terdengar.
Iringan angin riuh mewarnai datangnya wangi bunga melati beradu kasturi, bersumber dari satu sosok yang tiba-tiba muncul di hadapan Mayang dan Wuri.
Angin malam yang sejatinya dingin, terasa beda takkala sosok Sang Ratu sudah berdiri di depan Wuri dan Mayang, serta menghadap tubuh membujur Laswati yang tertutup kain hijau.
Seakan kewibawaannya mempengaruhi seluruh sudut kawasan puncak yang lumayan lebar, dengan rerimbunan dan bebatuan serta jurang yang menjulang.
Sejenak Sang Ratu terpaku menatap tubuh Laswati sebelum wajahnya menengadah keatas, tak ada yang tau dengan apa yang ia lihat dan baca, hingga sesaat setelahnya, ia menyiramkan air dari kendi kecil yang di bawa satu sosok perempuan muda di belakangnya.
"Sekarang, kuburkan apa yang sudah Nyi Lengi berikan padamu Cah Ayu," ucap sosok sang Ratu ditujukan pada Wuri.
Tak ada suara jawaban yg keluar dari bibir Wuri, ia hanya menganggukan kepala pelan serta bangkit dari duduknya. Wuri melangkah perlahan dan berhenti tak jauh dari tempatnya semula.
Wuri menoleh sejenak kearah Sang Ratu sebelum satu anggukan dan senyum tipis ia lihat, seolah menjadi restu atas apa yang akan ia lakukan.

Sebuah bungkusan kain merah pemberian dari Nyi Lengi, ibu angkatnya, perlahan di bukanya.
Ada aura aneh yang Wuri rasakan ketika matanya melihat bulatan-bulatan kecil berwarna merah kehitaman, isi dari bungkusan itu. Bulatan-bulatan itu seperti Wuri rasakan berkedut, saat tanganya menyentuh salah satu untuk menguburkan di lobang yang tak terlalu lebar dan dalam.
Wuri terkejut dan beringsut mundur ketika ia meletakan bulatan lembut itu, tiba-tiba satu jeritan suara menyayat terdengar dari dalam lobang.

"Teruskan Cah Ayu, berikan kematian sempurna untuk mereka," ucap Sang Ratu seperti tau antara rasa ragu dan takut yang Wuri rasakan.
Jeritan demi jeritan yang melengking dan menyayat, Wuri dengar jelas ketika tanganya memasukan kembali bulatan-bulatan kedalam lobang sedalam lima jengkalan. Bahkan, diantara suara jeritan-jeritan itu, ada salah satu suara yang sangat ia hafal,
suara yang dulu selalu ia dengar setiap hari, suara yang selalu berkata lembut, suara yang selalu menasehatinya untuk menjadi wanita kuat. Tapi kini, yang ia dengar dari suara itu, adalah jeritan menyayat yang seketika membuat matanya panas menahan rasa pedih dalam hatinya.
Secercah kebahagaiaan menghiasi wajah Wuri, setelah ia merampungkan tugasnya, matanya melihat satu pergerakan dari tubuh tertutup ibunya. Di susul satu suara batuk berat membarengi terbukanya mata Laswati perlahan.
"Ibu," seru Wuri yang semringah menunjukan kegembiraanya.

"Cah Ayu. Tugasku telah selesai, kamu telah terbebas dari jeratan Wadal #ROGOHNYOWO. Tapi bukan berarti kamu telah aman.
GETEH PENGAREP yang kini ada di rahimmu, bakal menjadi incaran banyak mahluk. Kelak jika kamu berhasil menyelamatkanya, akan ada seseorang tokoh besar dari golongan kalian -
yang membantunya memutus semua mata rantai Pancer #RogohNyowo." terang Sang Ratu yang membuat Wuri seketika di penuhi tanda tanya.

Perlahan ia melepaskan pelukan ibunya yang baru sadar bersandar pada tubuh Mayang.
Wuri menatap dalam-dalam sosok Sang Ratu yang tersenyum, seolah tau akan kerisauan hati Wuri setelah mendengar penuturanya.

"Satu yang harus kamu tau Cah Ayu, kebahagiaanmu untuk bisa bersanding dengan lelaki manapun, tak akan lagi bisa kamu rasakan.
Karna kamu keturunan terakhir keluarga Rengko yang memegang ikatan denganku." kalimat yang baru saja di ucapkan Sang Ratu, seketika membuat tulang-tulang wuri seperti terlolosi.
"Janjiku pada Eyangmu sudah kupenuhi malam ini. Untuk itu, setelah malam ini, kamu bebas mengatur langkah hidupmu sendiri dengan tanpa pendamping. Satu pesanku! Biarkan kelak keturunanmu memilih jalan hidup mereka masing-masing!" sambung sang Ratu kembali.
"Mayang, berikan pusaka Laweyan pada Wuri sebagai simbol terakhir keluarga Rengko." seru Sang Ratu kembali yang kali ini memberi perintah pada Mayang.
Mayang yang sedari tadi terdiam mendengarkan, sembari menyangga tubuh Laswati, perlahan tanganya mengeluarkan sebilah keris terbungkus kain putih tanpa kerangka. Keris dengan kepala naga bermata batu hijau,
yang sudah di gunakan Laswati mencapai tujuanya membalas dendam pada sosok Sanira atau abdi Ranggi, kini telah perpindah ketangan Wuri.
Laswati yang masih pucat dengan tatapan sayu, sedikit menyunggingkan senyum setelah mendengar dan melihat semuanya. Ada kelegaan yang terpancar dari sorot matanya begitu juga dengan Mayang.
Sementara Wuri, terlihat masih begitu bingung dengan semua ucapan Sang Ratu. Terlebih ketika tangannya menerima sebuah pusaka ikatan yang di terimanya dari Mayang, membuatnya semakin di penuhi rasa penasaran.
Sampai sosok Sang Ratu pergi menghilang bersama satu Embanya, Wuri masih tak bersuara. Hatinya di liputi dengan berbagai pertanyaan dengan semua ucapan Sang Ratu yang sulit di cerna dan di telaah oleh pikiranya.
Apalagi, mendengar ia menjadi pewaris terakhir satu ikatan dari trah Rengko, yang artinya dulu pernah terjadi satu ikatan perjanjian antara Eyangnya dan Sang Ratu sampai kemudian turun temurun.
Namun kenapa keluarganya hanya biasa-biasa saja? Kenapa tak seperti keluarga Suyono atau Satrio dengan segala gemerlap kekayaan yang tak terhitung? Lalu perjanjian seperti apa yang Eyangnya buat dengan Sang Ratu? ahh ... Entahlah batin Wuri menyerah memikirkanya.

***
Suara gebyuran air tak lazim terdengar di salah satu rumah di tepian hutan. Rumah dengan berbagai lukisan tangan para penari, semakin lengkap dengan beberapa patung yang juga berbentuk penari-penari cantik.
Sekitar 6 obor tertancap di belakang rumah, tepatnya disebuah bangunan tanpa atap berdinding anyaman bambu. Tampak gentong besar di dalam sudut kanan dgn gayung bergagang bambu panjang, terlihat tengah di pegang oleh seorang sosok wanita tua jangkung berambut panjang sepinggang.
Ia terlihat tengah mengguyurkan air dari dalam gentong yang jernih bercampur bunga warna-warni kepada sesosok tubuh yang terbujur berbalut kain putih. Sosok lelaki muda dengan wajah seputih kapas dan mata menghitam terpejam.
Dari mulut sosok wanita yang tengah menjamas tubuh Suntoro, terdengar bait-bait mantra yang begitu panjang dan luwes dengan iringan suara gamelan. Ya ... suara gamelan. Terdengar aneh, namun bukan hanya suara gamelan saja yang terdengar mistis dan menakutkan.
Di dalam halaman belakang, tepatnya di area penjamasan yang tengah di lakukan Nyi Tanjung, secara tiba-tiba muncul sosok-sosok bayangan hitam mengililingi bangunan penjamasan.
Kemudian sosok-sosok itu menari mengikuti alunan gamelan dengan memutar. Bahkan, sesekali terdengar suara sahutan dari mereka ketika suara merdu dan nyaring Nyi Tanjung yang memperdengarkan sebuah kidung mantra menyebut satu nama.
Tak cuma hanya itu, suasana bertambah menyeramkan di dalam ruang penjamasan, dimana tubuh Suntoro yang hanya di lapisi kain putih tipis, tengah di jilati puluhan sosok hitam berlidah panjang. Mata sosok-sosok itu merah dengan daun telinga teramat lebar.
Saat alunan kidung dan gamelan terdengan cepat dan lebih cepat, satu sapuan angin kencang yang hampir saja memadamkan obor-obor, membuat suasana riuh menyeramkan.
Satu klebatan bayangan tiba-tiba saja muncul dan membuat suasana seketika hening. Tak ada satupun di antara sosok-sosok yang berada di tempat itu bersuara, semuanya terdiam dan tertunduk menyambut kedatangan satu sosok wanita cantik berkemben dan berselendang merah.
"Tanjung, lepaskan ikatanya," ucap sosok berselendang merah memberi perintah pada Nyai Tanjung,

Tanpa membantah, Nyi Tanjung segera mendekat pada kepala Suntoro. Sekelip mata kemudian, tanpa aba-aba tangannya mencabut paksa beberapa helai rambut dari kepala Suntoro.
Entah apa yang Nyi Tanjung baca pada beberapa helai rambut Suntoro, ketika tiba-tiba Suntoro bergerak dan duduk dengan tatapan kosong. Wajahnya yang masih seputih kapas, seketika menegang, dengan hidung mendengus kencang seperti tengah menahan satu amarah.
Sosok Suntoro kemudian menunduk sembari menjura hormat, ketika matanya menatap sosok berkemben dan berselendang merah yang berdiri di depanya dengan tatapan mata sinis bermakna.

"Lepaskan dendam mu ngger. Mari, ikutlah ketempat barumu." ucap sang ratu Jebar pada Suntoro.
Seketika angin kencang kembali mengibas tempat itu, takkala teriakan keras membahana keluar dari tenggorokan Suntoro.

***
Beralih kepada dua sosok laki-laki yang berdiri berdampingan, tengah menatap seorang lelaki muda dan wanita muda yang terduduk di halaman belakang sebuah rumah. Ada yang aneh dari mereka, tangan dan kaki terikat satu sama lain dengan saling berhadapan.
Tampak wajah keduanya pucat, namun tatapan tajam dengan badan lusuh beserta rambut yang acak-acakan. Hanya geraman terdengar dari mulut keduanya, tanpa bisa berkutik.
"Apa tak ada cara lain untuk melepaskan mereka dari wadal tumbal ini, mbah?" satu suara dari belakang, sedikit membuat kaget dua lelaki yang berdiri berdampingan.
"Cara ini saja aku belum tau apakah bisa menyelamatkan atau tidak! Sebab bukan saja balak projo yang mengikat mereka, tapi mahluk tak bertuan yang kini menguasai jiwa mereka." sahut salah satu lelaki tua tanpa menoleh.
"Maksud mbah Lenggono?" kembali satu sosok lelaki umur 50an bertanya yang kini sudah berada di samping mbah Lenggono dan Sudiro.
Mendengar pertanyaan itu, Mbah Lenggono melirik lelaki berkemeja batik lengan pendek yang juga tengah menatapnya lekat.
"Kamu akan tau sendiri nanti!" sahut mbah Lenggono yang kembali mengalihkan pandanganya kearah dua sosok suami istri, Mardani dan Tini.
"Ini sudah lewat tengah malam, cepat bawa kesini air dalam gentong tadi!" Suara tegas mbah Lenggono memberi perintah kepada lelaki atau sauadara dari Munaji.

Bergegas ia setelah mendengar perintah, yang kemudian kembali lagi setelah beberapa saat bersama tiga orang, -
dengan membawa sebuah gentong besar.

Gentong yang berisi air dengan campuran darah ayam hitam beserta beberapa macam bunga, mereka letakkan di dekat sosok Mardani dan Tini. Keduanya semakin meraung ketika bau amis dan wangi bunga tercium dari gentong, -
mereka meronta-ronta dan menjerit, tapi, tali-tali hitam yang mengikat mereka terlalu kuat, sehingga hanya tetesan darah keluar dari tangan dan kaki mereka yang terikat.
Suasana malam yang awalnya begitu dingin, mengingat waktu sudah larut, mendadak berubah panas dan mencekam. Raungan dan jeritan dari Mardani serta Tini kini berubah rintihan setelah kepala mereka di cengkram mbah Lenggono dengan kuat.
Sesaat kemudian, sosok berbaju batik berlengan pendek mengguyurkan air dari gentong ketubuh Mardani dan Tini, yang seketika melolong sembari melotot dan mendongakkan kepalanya keatas.
Namun suara mereka lirih karena kepala mereka masih dalam cengkraman tangan Mbah Lenggono yang kuat sembari melafatkan bait mantra jawa kuno.
Sejenak suasana hening ketika mbah Lenggono mengisyaratkan untuk menghentikan menyiram tubuh keduanya, sama halnya ia mengendurkan cengkramanya sebelum tiba-tiba ...
LANJUT
ROGOH NYOWO BAGIAN 4
- PERNIKAHAN BERDARAH-

Atau bisa baca duluan di Karyakarsa
Linknya ini

karyakarsa.com/KALONG/rogoh-n…
sinopsis

Winarni dan Sudiro akan melangsungkan pernikahan, namun dari keluarga Winarni yaitu Mbah ILyas, ia meyakini kalau di balik pernikahan itu ada maksud lain.
Begitu pun dengan Sudiro yang sudah mengetahui kalau Mbah ILyas memasang pagar gaib untuk membuat ingon Sudiro tidak bisa masuk. Tapi rencana Mbah ILyas tampaknya gagal total, Mbah Lenggono mampu merobohkan Mbah ILyas dengan tragis.
Selain itu, Sudiro tampaknya merencanakan sesuatu dengan sosok bayi laki-laki. Apakah benar, kalau bayi itu akan di tumbalkan? Dan Bagaimana nasib keluarga Winarni selanjutnya?

selengkapnya : karyakarsa.com/KALONG/rogoh-n…
Jangan lupa pake kode voucher "NYOWO" untuk potongan harga 2k
@karyakarsa_id

karyakarsa.com/KALONG/potonga…
ROGOH NYOWO
-BAGIAN 4-

"Bocah polos tanpa salah dan dosa. Ditumbalkan, dimasak dan di jadikan lauk untuk makan. Demi keserakahan, ketamakan, dari jiwa orang yg sudah rela menggadaikan hidupnya demi mengagungkan sebuah kemewahan"

@bacahorror @IDN_Horor #bacahorror Image
Mbah Lenggono tampak memucat saat suara tanpa wujud, untuk kedua kalinya terdengar keras dan menggema sekitaran halaman belakang rumah Mardani.
Sama halnya dengan keadaan Tiga orang yang tadinya membawakan gentong berisi air, terlihat mulai tegang menahan rasa takut, tapi tidak pada satu lelaki berkemeja batik pendek.

Sosok yang mengaku bernama Munawar dan masih sedarah dengan Munaji, nampak begitu tenang.
Meski kini tempat itu begitu mencekam dengan kemunculan puluhan Pocong yang menebar bau busuk menyengat.

"Cepat kalian tinggalkan tempat ini! " teriak mbah Lenggono di tujukan pada tiga orang yang semakin ketakutan.
Sedangkan mbah Lenggono sendiri, masih berdiri dengan kedua tangan mencengkram pelan kepala Mardani dan Tini.

Kepanikan mulai menjalari tempat itu, saat pocong-pocong berwajah menyeramkan, melayang mengarah ketempat di mana Mardani dan Tini terduduk dengan tubuh basah kuyup.
Namun belum sempat Pocong-Pocong itu berhasil mendekat, tiba-tiba, mahluk-mahluk berbalut kain putih lusuh berwajah hitam itu menjerit bersahutan dan menghilang bersamaan.
Mbah Lenggono yang heran memalingkan wajahnya, taulah ia ternyata Munawar yang sudah mengusir sosok Pocong-Pocong Balak Projo. Munawar melangkah mendekati tubuh Mardani dan Tini, dari wajahnya yang di penuhi buliran keringat tersirat satu senyum kelegaan.
Namun ketika tangannya baru saja akan menyentuh tali-tali yg mengikat Mardani dan Tini, mendadak satu tangan menarik bahunya.

"Jangan kamu kira ini sudah berakhir!" ucap tegas mbah Lenggono sambil menarik Munawar menjauh.

"Apa maksudnya mbah!" seru Munawar dgn rasa jengkel.
Tak ada sahutan dari Mbah Lenggono, matanya mengedar kesekeliling halaman seperti tengah merasakan sesuatu. Sampai beberapa saat kemudian, tangannya kembali menarik Munawar mundur.

"Kamu lihat sekarang!" terang mbah Lenggono pada Munawar.
Munawar yang masih di liputi rasa jengkel, seketika tercekam! Melihat puluhan bola-bola api beterbangan membuat lingkaran di atas kepala mardani dan Tini.
Hawa panas begitu terasa takkala bola-bola api jatuh membentur tanah, di iringi dentuman-dentuman kecil mengawali munculnya sosok-sosok berkepala plontos dengan dua tanduk sejengkal, mata merah menyala. Seringaian dari dua taring di sudut bibir mereka seakan memberi isyarat,
akan keganasan yang juga siap merobek apapun dengan kuku-kuku tajam dan panjang dari tangan-tangan mereka.

"Mahluk apa ini mbah!" gumam Munawar yang sudah menciut nyalinya setelah melihat sosok-sosok bertubuh merah terus menyeringai.
Mbah Lenggono terdiam mengacuhkan pertanyaan Munawar, ia fokus dengan kemunculan sosok Jurig di depanya yang siap menyerang. Tapi bukan itu yang membuat mbah Lenggono beringsut mundur, ada satu hawa pekat ia rasa selain dari puluhan sosok yang sudah mewujudkan diri di depanya.
Dan terbukti beberapa saat kemudian, membuat wajahnya semakin menegang, saat satu sosok yang sama, dengan wujud lebih besar, muncul bersama suara tawa yang keras. Suara tawa yang sebelumnya sudah terdengar dan rupanya sosok inilah pemiliknya.
"SENCOKOLO" lirih suara mbah Lenggono saat mengenali sosok yang baru muncul.

Keringat mengucur deras dari pori-pori mbah Lenggono dan Munawar, seakan aroma maut sangat dekat di rasakan oleh keduanya.
Apalagi, kini sosok Sencokolo mengeluarkan geraman marah sembari menatap dengan bola mata merah nyalang.
Semua upaya telah mbah Lenggono keluarkan untuk menghalau Sencokolo, bahkan Munawar pun tak ketinggalan dengan mengeluarkan kemampuannya. Namun keduanya terlihat pasrah, setelah tak ada satupun usaha mereka yang bisa membuat mundur Sosok Sencokolo.
"Bbuummm.... "

Semua terdiam, terperanjat dengan suara hantaman keras yang mampu menghentikan langkah Sencokolo. Di susul dengan ringikan suara kuda, beserta kemunculan satu sosok wanita cantik memakai batik bercorak dengan sebuah mawar terselip di telinga.
"LANDUNG JAGAR, jupuk sukmo rebut rogo!" (Ambil sukma merebut raga)

Suara berat dari sosok yang baru muncul dan berdiri menyisir rambutnya sendiri dengan jari-jari tanganya, seakan menjadi tameng kuat membuat sosok Sencokolo mengerang dan mundur.
Namun naas untuk Mardani dan Tini! Tubuh keduanya tiba-tiba saja terangkat melayang, berputar sejenak dan terlempar dengan posisi kepala terlebih dahulu jatuh menghantam tanah.
Tak ada tetesan darah yang keluar, tak ada suara jeritan, tapi lebih dari itu! Mata keduanya melotot, mulut menganga dengan leher patah tanpa bernafas lagi. Dengan mata kepala sendiri, Munawar menyaksikan kejadian tragis yang menimpa keponakanya, tak kuasa menahan emosi.
Wajahnya merah padam, nafasnya memburu seirama dadanya yang naik turun tak beraturan, menandakan ia tengah menahan amarah.

Munawar berniat menghampiri sosok wanita yang masih berdiri dengan senyum sinis, menatap dua tubuh tanpa nyawa terkapar dalam keadaan terikat.
Tapi mbah Lenggono yang membaca gelagat Munawar, tak tinggal diam. Tanganya segera mencengkram kuat lengan Munawar sembari menggelengkan kepala sebagai isyarat.
Mbah lenggono tau jika Munawar mengira, bahwa kematian tragis Mardani dan Tini, bukan karena sosok Sencokolo, melainkan oleh sosok perempuan yang tak lain adalah RATU PAMBAYUN.
"Jangan halangi aku Mbah!" seru Munawar berusaha melepaskan tangan Mbah Lenggono dari lengannya.

"Rasah kemeruh! Lihat baik-baik." sahut Mbah Lenggono menghardik.
Munawar sedikit menuruti perkataan mbah Lenggono, matanya kemudian menatap kembali sosok Sencokolo yang kini sedang berhadapan dengan Sang Ratu Pambayun.
"Wes tutug Balak Projo ngrengkuh sukmo loro iku. Sak liane dadi pelindungaku wengi iki. Minggiro! Entek urusanmu neng papan panggonan kene."
(Sudah cukup Balak Projo mengambil sukma dua itu. Yang lainya jadi perlindunganku malam ini. Menyingkirlah! Habis urusanmu di tempat ini.)" ucap Ratu Pambayun pada sosok Sencokolo dengan tenang.
Suasana seketika hening, sepeninggalan Sosok Sencokolo. Ratu Pambayun yang masih berdiri tenang sambil membelai rambutnya, melirik kesamping kirinya. Dimana satu sosok laki-laki yang telah memanggil kehadiranya, melangkah pelan mendekati tempatnya.
"Satu permintaanmu sudah selesai, kutunggu tetalenmu secepat mungkin." ucap Ratu Pambayun pada sosok yang sudah berada di dekatnya.

"Baik Ratu, terima kasih telah menyelamatkan kami." sahut sosok yang tak lain Sudiro sembari menjura hormat.
Sekelip mata kemudian, sosok Ratu Pambayun menghilang, Meninggalkan tempat yang seketika di liputi rasa duka dalam kengerian. Duka mendalam akan kematian Mardani dan Tini, yang meninggal dalam keadaan mengerikan akibat Balak Projo dari Suntoro.
Meskipun kini Suntoro sendiri tak melihat hasil dari ritualnya yang bertujuan membalas dendam pada Munaji, tapi, dengan meminta bantuan dari sosok ingonnya, Sencokolo, berimbas pada seluruh keturunan Munaji.
Munawar, kini menjadi satu-satunya kerabat dekat Munaji yg mau tidak mau harus mengurus segalanya, termasuk anak satu-satunya Mardani dan Tini yg masih kecil. Ia terlihat menunduk pasrah dengan malapetaka yg sudah merenggut empat nyawa keluarganya, dalam rentan waktu berdekatan.
"Bawalah anak Mardani kerumahmu, tinggal dia satu-satunya keturunan Munaji. Kelak kamu bisa mendidiknya." ucap mbah Lenggono memberi saran pada Munawar di sela-sela mengurus mayat Mardani dan Tini.
Munawar yang mendengar ucapan Mbah Lenggono, mengerutkan keningnya. Ada tanda tanya besar dalam dirinya, meskipun sebenarnya ia tau akan keganasan Balak Projo bila sudah tertanam pada seseorang. namun, ia merasa jika ucapan Mbah Lenggono mengandung makna lebih.
"Kenapa sosok perempuan tadi membiarkan Mardani dan Tini mati mbah? kenapa tak mau menolong!" seru Munawar dengan emosi tertahan.

"Dewi Pambayun tak mungkin menyelamatkan Mardani dan Tini! Itu bukan tanggung jawabnya. Sebab mereka juga punya aturan." jawab Mbah Lenggono tegas.
"Beruntung dia mau menyelamatkan kita. Kamu tau bagaimana keganasan Balak Projo, apalagi dengan adanya Sencokolo, mustahil aku atau kamu mampu menyelamatkan. Dan itu terbuktikan!" kembali mbah Lenggono mempertegas penjelasanya.
"Kini yang harus kamu lakukan adalah mengurus keturunan terakhir Munaji. Jangan sampai para Jurig mengincarnya terus, meskipun tanpa Sencokolo, -
tapi jangan anggap enteng dan meremehkan Balak Projo yang masih mengikat pada keturunan Munaji." sekali lagi ucapan berupa penjelasan dan pesan dari Mbah Lenggon, membuat Munawar hanya diam terpaku.
Pagi harinya, berita kematian Mardani dan Tini membuat geger masyarakat kampung itu dan wilayah sekitarnya. Satu tragedi yang menimpa satu keluarga dalam waktu berdekatan, membuat ingatan ngeri pada benak orang-orang yang tau kejadian dan mengenal keluarga Munaji.
Sampai sekarang, tragedi itu masih melekat pada ingatan orang-orang, dan kerabat-kerabat Mardani dan Tini, terutama pada anaknya yang meskipun ia dengar dari cerita.
Alunan merdu nan lembut suara sinden yang khas tinggi melengking, bersama iringan gamelan seirama dengan tetabuhan lainya, sangat membuai telinga dalam lantunan gending-gending jawa.
Hal itu juga yang tengah di nikmati seorang lelaki dalam sebuah kamar, dengan kesendirian serta dalam posisi menyandarkan tubuhnya pada sebuah kursi goyang.
Buaian musik tradisioanal jawa, dari sebuah tape recorder membawanya dalam alam ketenangan. Matanya terpejam, meski tak sepenuhnya tertidur, terlihat dari jari-jarinya yang bergerak selaras mengikuti ketukan irama gamelan.
Namun jika di telisik lebih jauh, tak sepenuhnya anggapan kedamaian dan kenyamanan serta merta dirasakan. Saat melihat lebih jauh kondisi dalam kamar, suasana seram dan mistis akan terasa kental menyelimuti.
Mulai dari aneka bunga yang bertaburan di atas sebuah tepak, kepulan asap dupa menyengat serta penerangan hanya dari lilin-lilin, yang menyala dan berjejer mengelilingi sebuah meja bulat, terletak di samping ranjang besi berkelambu putih bersih.
Tak ketinggalan dua lukisan tangan berwarna, yang menggambarkan satu sosok perempuan cantik dan satu sosok lelaki tua berkebet memakai blangkon hitam, menempel pada dinding tepat di atas kepala ranjang.
Cukup lama sosok berperut buncit terbawa suasana, sebelum tiupan angin lembut menyapu seisi ruang kamar dan menyadarkanya akan kehadiran satu sosok perempuan berparas ayu.
"Nyai Dewi!" gumamnya sembari bangkit dan bersimpuh ketika matanya melihat satu sosok sudah duduk di sisi ranjang besi.

Harum kasturi begitu kuat terhembus dari tubuh sosok berkebaya kuning, sampai mengalahkan harum bunga yang berserak dan asap dupa disamping ranjang.
"Satrio! kemarilah." serunya memanggil.
Satrio segera bangkit dan mendekat serta duduk di sisi sosok dewi Ratu.

"Apa kamu lupa, ini malam apa? Apa kamu lupa, tugasmu malam ini?" Satrio yang mendengar pertanyaan-pertanyaan dari Dewi Ratu, tertunduk.
"Tentu tidak Nyai Dewi," jawab Satrio lirih.

"Lalu kenapa kamu tak seperti biasanya?" tanya Dewi Ratu kembali yang kini terlihat mengerutkan kening.

Satrio menatap sayu pada wajah cantik di depanya, yang sudah turun temurun menjadi perewangan keluarganya.
Ada sedikit kecemasan terbersit pada diri Satrio, yang menghantui setelah kejadian besar di Alas Pati Jiwo, sampai membuatnya kehilangan sosok Mbah Mungin.
"Maaf Nyai Dewi, aku sangat kehilangan Mbah Mungin. Juga beberapa malam aku melihat sosok Suntoro dalam mimpiku." ucap Satrio.
Sang Dewi Ratu tersenyum mendengar keluh kesah dari abdi sambungnya, tangannya mengusap wajah dan rambut Satrio dengan lembut, membuat Satrio memejamkan mata meresapi sentuhan Sang Junjungannya.
"Jangan khawatir, aku tak akan membiarkan RANGGI JATI nya si Wuning menyakiti abdi sambungku. Kamu tenang saja, selama kamu masih menepati perjanjian kita! Kamu dan seluruh keturunanmu dalam perlindunganku." Terang Dewi Ratu.
"Siapapun yang berani mengganggumu, akan berhadapan denganku!" kembali Dewi Ratu mempertegas ucapanya.
"Sudahlah, sekarang kamu tunaikan kewajibanmu padaku malam ini." kali ini dengan senyum manis, sosok Dewi Ratu membelai Satrio sebelum membaringkan tubuhnya di ranjang empuk dilapisi tilam spray halus nan lembut.
Satrio yang sudah merasa tenang, seketika wajahnya berubah, setelah tiupan lembut dari bibir Dewi Ratu menyapu wajahnya.
Tiupan yang selalu ia rasakan manakala empat puluh satu hari sekali, ketika ia wajib melayani keinginan dari Junjunganya sebagai salah satu syarat selain tumbal nyawa tentunya.

***
Jika di tempat Satrio tengah terjadi pergulatan antara dua sosok beda alam, lain halnya di sebuah rumah kecil berdinding papan rapuh dan beralaskan tanah.
Rumah kecil yang berdiri di sebuah kampung pedalaman, dengan rumah-rumah penduduk yang masih berjauhan dan rata-rata masih menggunakan penerangan lampu teplok.
Di dalam nampak dua orang laki2 duduk di balai bambu menghadap ke satu meja kayu tanpa kain tilam. Tak ada percakapan dari keduanya, mereka seperti tengah menantikan sesuatu dgn sedikit tegang.
Apalagi wajah satu sosok yg terlihat masih muda, ia seperti begitu cemas dgn dada bedebar-debar.
Suasana yang begitu hening di rumah itu, tiba-tiba terusik dengan jeritan seorang wanita yang seperti tengah mengejang kesakitan. Semakin lama, suara jeritan dan teriakan semakin keras.
Sampai akhirnya, suara tangis bayi seketika menghentikan suara jeritan dan teriakan dari seorang wanita yang baru saja melahirkan.

Dua orang laki-laki yang tadinya duduk dengan harap-harap cemas, seketika bangkit dan berdiri, setelah mendengar suara tangisan bayi.
Senyum kelegaan terpancar dari keduanya, setelah di persilahkan masuk kedalam kamar sempit dan remang, oleh seorang perempuan 60an bertapi kain batik serta kebaya lusuh.
Keduanya melihat bayi mungil yang masih merah, dengan tali pusar baru saja di potong dengan welat bambu oleh sang wanita tua.

"Anakmu lanang."(anakmu laki-laki)" ucap wanita tua yang sudah menolong kelahiran anak pertama dari pasangan muda yang sudah menjadi suami istri.
"Iya mbah, terima kasih sudah membantu istri saya melahirkan mbah." sahut sang lelaki muda, bapak dari si kecil mungil yang baru beberapa menit melihat dunia, dengan berbinar.
Di sebelah sang bayi, tergolek satu tubuh wanita muda yang pucat dan berkeringat berbalut kain selimut kumal. Matanya sayu melihat bayi laki-laki, anak pertamanya yang masih suci.

"Cocok sekali perkiraanmu, Paklek." ucap lelaki muda pada sosok yang berdiri di sampingnya.
Sosok lelaki yang di panggil Paklek, hanya tersenyum mendengar ucapan keponakanya. Matanya ikut berbinar menatap bayi mungil yang tengah di balut kain bedong oleh tangan cekatan wanita tua.
Sebuah senyum dan tatapan yang mengandung arti, senyum dalam bayangan yang bakal menjadi wujud limpahan upah begitu besar, setelah mendapatkan bayi laki-laki pertama atau GETEH PANGKEP, untuk kepentingan tuan barunya.
"Wuning, Aku minta padamu, tinggalkan tempat ini!" satu suara kalem berwibawa yang keluar dari bibir sosok perempuan bermahkota, memecah suasana hening di halaman.
Sosok perempuan berkemben dengan selendang merah tersampir di pundak, menciutkan wajah cantiknya. Pandanganya lurus ke arah sosok yang baru saja berbicara dengan menyebut namanya.
"Apakah ini akan menjadi rusaknya daratan dan lautan! Apa kamu lupa dengan sebuah peraturan!" jawabnya tegas.
"Bukan aku yang ingin merusak tatanan! Tapi, kalau kamu ingin meneruskan semua ini, jelas kamu yang memancing pergolakan di lautan dan daratan!" kembali sosok cantik berkebaya hijau mempertegas ucapanya.
"Apa maksudmu?" sedikit mengendur kini ucapan dari Nyi Wuning.
"Yg berhak menuntut balas dalam peristiwa di kedatonmu, bukan kamu! Tapi abdi sambungmu yg sudah gagal! Itu artinya, kamu hanya bisa mendampingi dan mengawasinya, bukan dengan tanganmu sendiri!" Tegas dan kalem, kembali suara yang keluar dari bibir sosok bermahkota berlian hijau.
"Karena yang akan kamu celakai saat ini adalah Abdi Laweyan sambungku! Jadi, jika kamu memaksakan diri untuk tetap mencelakainya, terpaksa aku sendiri yang akan melawanmu!" sambungnya kembali dengan tegas, membuat Ratu Jebar beringsut mundur.
"Baiklah Nyai ratu! Kali ini aku mengalah. Tapi ingat ucapanmu! Urusan Abdiku, jangan pernah tanganmu mencampurinya!" ucap sosok Nyi Wuning sebelum beranjak menghilang bersama satu sosok perempuan jangkung bergaun biru panjang.
Tarikan nafas kelegaan, terdengar dari dua sosok yang berdiri berdampingan. Wajah keduanya yang sedari awal di penuhi ketegangan, kini kembali mengendur meski sedikit menyisakan guratan pucat pada kulit wajah yang mulai menua.
"Keluarlah, Nduk." ucap sosok sang Ratu menatap ke arah pintu, seperti tau jika di balik pintu ada satu sosok yang tengah mengamati.
Hingga tak berapa lama kemudian, satu wajah ayu dengan rambut tergerai lurus sepinggang muncul dari balik pintu, setelah mendengar perintah dari junjunganya.
"Aku bisa mencegah, jika Ratu Jebar ingin ikut campur. Tapi aku tak bisa membantu bilamana para abdinya yang mengincar Wuri, termasuk Suntoro." ucap sang Ratu di tujukan pada tiga sosok perempuan yang sudah berdiri berdampingan.
Tak ada jawaban dari ketiganya, mereka tertunduk dengan pikiran masing-masing.

"Meskipun Rahim Wuri masih ada Nyi Lengi yang menjaganya, Aku harap jangan meremehkan. Teruslah muneng pada sang pencipta Nduk."
Sebuah pesan yang kembali di ucapkan sosok sang Ratu, sebelum sosoknya yang menebar wangi melati berpadu kasturi menghilang di kegelapan malam.
Sepeninggalan sosok Sang Ratu, ketiga wanita, Wuri, Laswati dan Mayang, masuk kembali kedalam. Tanpa menyadari jika ada satu wajah pucat dengan mata meneteskan air bening, tanpa satu suara yang mampu keluar dari mulutnya.
Kesedihanya semakin memuncak, manakala matanya yang sembab, melihat sosok Wuri mengelus perutnya dengan lembut sebelum berjalan masuk.

***
Beralih kesuatu tempat, di mana tiga orang laki-laki, diantara salah satunya terlihat paling muda, duduk berhadapan dengan seorang lelaki dan perempuan setengah abad.
Sebuah meja kayu terlapisi kain batik bercorak, dgn beberapa gelas kopi beserta empat piring berisi aneka makanan tradisional di atasnya, menjadi saksi satu perundingan matang sebuah pertalian.
Yg menjadi awal akan di satukanya seorang laki2 dan perempuan dlm sebuah ikatan, pernikahan.

"Jadi semua sudah selesai, tinggal kita menentukan hari pernikahanya." ucap seorang lelaki bertubuh tambun, yang menjadi wakil dari sosok lelaki muda di sebelahnya, Sudiro.
"Kalau untuk hari pastinya, saya tak bisa menentukan sendiri. Saya akan merundingkanya terlebih dahulu dengan keluarga besar saya. Jadi saya mohon, -
Mas Sudiro dan keluarga untuk sedikit bersabar." jawab lelaki berkopiah hitam lusuh, yang duduk berdampingan dengan seorang wanita berkerudung hitam berenda.
"Ohh tentu kang. Cuma dari kami minta, kalau bisa supaya jangan sampai lewat satu minggu ini. Sebab Mas Diro sibuk dengan proyek dan perkebunannya." Jawab Suyuti kembali beralasan.
"Maaf kang Suyuti, bukan kami ingin memperlambat, cuma Kang Suyuti juga tau kan keadaan kami yang baru saja bangkrut. Jadi kami butuh persiapan untuk acara resepsinya." jawab lelaki tua yang bakal menjadi mertua Sudiro.
"Kalau soal itu, kang Lasno gak usah khawatir. Semua biaya untuk acara resepsi yang kang Lasno butuhkan, berapapun, akan mas Diro tanggung." sahut Suyuti yang membuat mata Lasno dan istrinya berbinar.
"Kapanpun kang Lasno mau buat acara itu, kami dari keluarga mas Diro siap. Satu lagi, setelah mas Diro dan Dek Winarni menikah, kang Lasno bisa kembali memulai usaha kang Lasno yg baru hancur." ucap Suyuti kembali dgn nada iming-iming yang tak mungkin di tolak sahabatnya sendiri.
Karena Suyuti sendiri tau, jika Lasno yang punya usaha peternakan baru saja mengalami kebangkrutan total. Wajah Lasno dan Murni, istrinya, seketika terperangah melihat Suyuti mengeluarkan amplop coklat tebal, dan menyerahkannya kepada mereka.
Suyuti yang menyebut jumlah dalam amplop itu sebagai awal untuk acara resepsi, dan berjanji kembali memberi dengan jumlah lebih, membuat semringah dan senyum bahagia mengembang jelas dari Lasno dan Murni. Keduanya menerima dengan bahagia, -
-bahkan menganggap Diro layaknya dewa penyelamat, tanpa mereka tau atau menyelidiki siapa Sudiro sebenarnya. Lasno dan istrinya hanya tau berdasarkan cerita Suyuti yang di buktikan malam ini, -
-membuat keduanya semakin yakin menerima niat baik Sudiro untuk memperistri putrinya, Winarni.
Malam beranjak larut ketika Suyuti, Diro dan mbah Lenggono meninggalkan kediaman Lasno.
Satu senyum tipis, lebih tepatnya senyum sinis, tersungging dari sudut bibir Sudiro. Bayangan dengan apa yang ia impikan semakin nyata di depan. Sebuah impian yang sangat Sudiro ambisikan, untuk menjadi orang kuat dan kaya raya, di hormati dan di segani semua orang di wilayahnya.
"Sudah kamu pikir masak-masak keputusanmu ini Lasno?" tanya lelaki tua berbaju putih dombor.

"Sudah Pakde. Winarni jg tak keberatan menikah dengan Sudiro. Di samping ia orang baik, bertanggung jawab juga sudah mapan." jawab lelaki berbaju batik lengan panjang begitu antusias.
"Tapi firasatku merasakan ada sesuatu yang lain dari pernikahan ini." kembali lelaki tua, tak lain adalah kakak dari orang tua Lasno yang sudah meninggal, Ilyas, mengungkapkan keresahanya.

"Maksud, Pakde?" tanya Lasno sembari mengerutkan keningnya.
"Aku merasa ada keburukan dari pernikahan Nduk Win dan ....."

"Sudiro" sahut Lasno cepat memberi tau nama calon menantunya.

"Ya Sudiro." termangu mbah Ilyas setelah menyebut nama Sudiro.

"Keburukan seperti apa yang Pakde maksud!" ucap Lasno sedikit menegang.
"Aku baru merasakan, belum melihatnya. Tapi aku yakin...."

"Sudahlah Pakde! Aku tak mau berdebat. intinya saya ingin Pakde nanti malam bisa ikut menyaksikan pernikahan Nduk Win.-
- Karena Pakde saudara paling tua pengganti bapak. Jadi saya minta doanya." tukas Lasno dengan wajah menampakkan ketidaksukaanya.
Mbah Ilyas menghela nafas panjang mendengar ucapanya di potong Lasno dengan sengit. Pikiranya melayang, mencoba menembus perasaan aneh yang dirasa sejak menginjakkan kakinya di rumah Lasno.

"Semoga hanya keburukan kecil" ucap batinya berharap.
Menjelang sore hari, suasana rumah Lasno terlihat sedikit sibuk. Hilir mudik kerabat dan tetangga dekat, mempersiapkan acara sakral yang bakal di gelar di rumahnya nanti malam.
Sesuai kesepakatan, Sudiro dan Win akan melangsungkan ijab qobul terlebih dahulu, dan resespsi dengan pesta besar bakal di gelar menyusul kemudian.
Beberapa lelaki tua berpakaian batik dengan kopiah hitam, tampak sudah duduk di kursi yang berjejer. Mereka yang memang di tunjuk Lasno untuk menyambut kedatangan rombongan mempelai pria, terlihat begitu bahagia.
Tapi tidak untuk Mbah Ilyas, ia yang duduk di kursi pinggir pintu, tampak begitu gelisah. Wajahnya menunjukan keresahan dan kekawatiran, sejak matanya melihat kabut-kabut mulai menyelimuti rumah Lasno.
Kabut yang awalnya tipis, kini tampak bergulung menebal dan seperti mengurung, menimbulkan rasa anyep yang sangat, di rasa mbah Ilyas.

Sapuan angin dingin disertai kabut hitam seperti membentuk bayangan, di rasa mbah Ilyas bersliweran.
Seperti ikut mengiringi sebuah mobil sedan hitam yang baru saja memasuki halaman rumah Lasno. Mata mbah Ilyas menatap tajam disertai detak jantung yang terpacu, manakala tiga sosok lelaki keluar dari sedan mewah.
Bukan penampilan ketiganya yang menarik perhatiannya, tapi sosok-sosok yang ada di belakang mereka. Andaikan semua yang ada di tempat itu bisa melihat, tentu acara sakral yang tinggal beberapa puluh menit lagi akan di gelar, bakal berantakan dengan ketakutan.
Tapi sayang, semua hal ganjil dan menakutkan malam itu, hanya mbah Ilyas sendiri yang bisa melihat dan merasakannya.

"Rupanya ada yang memberi sambutan tak enak!" gumam mbah Lenggono ketika matanya beradu dengan tatapan mbah Ilyas.
"Kuserahkan padamu, Mbah. Jangan biarkan dia merusak acara ini." sahut Diro sebelum melangkah.

Mbah Lenggono yang tau dengan maksud ucapan Diro, mengangguk pelan. Kemudian matanya mengedar ke segala penjuru rumah Lasno, seperti tengah mencari sesuatu yang mengganjal, -
-dan ia menemukan itu di sudut sebelah kanan, depan rumah Lasno. Sebuah untaian Janur kuning yang terikat dengan sebuah kain putih, menebarkan bau wangi minyak kasturi putih.
Ketika Sudiro dan Suyuti sudah masuk kedalam, dan di ikuti semua orang yang menyambutnya, mbah Lenggono menyingkir. Ia melangkah menuju tempat tergantungnya untaian janur JANGOR. Tapi begitu sampai, mbah Lenggono tersentak!
Manakala sesosok lelaki tua berbaju putih lengan panjang, sudah berdiri di samping Janur Jangor. Mata lelaki yang lebih tua darinya, menatap nyalang penuh amarah. Tanganya mengepal kuat dengan wajah menggurat tegang, menunjukan keberaniannya.
"Manusia kotor! Teganya kalian mau menjadikan cucuku jalan persekutuan dengan Iblis!" hardik mbah Ilyas.

Mendengar itu, mbah Lenggono tersenyum sinis.
"Seribu Janur Jangor kau tanam, tak akan merubah, bahkan menggagalkan semua ini. Karena perjanjian sudah berikat mahar!" balas mbah Lenggono Ketus.

Suasana yang kontras, seketika terjadi di rumah Lasno. Jika di dalam, suasana penuh hikmad sedang berlangsung, tapi tidak di luar.
Hawa mencekam pekat terasa, manakala mbah Ilyas, di hadapkan pada mahluk-mahluk berwujud aneh dan mengerikan. Serta di tambah sosok mbah Lenggono, yang terlihat siap dengan segala ilmu kebatinannya. Mbah Ilyas, memang sengaja memasang JANUR JANGOR.
Sebuah ilmu dgn simbol janur kuning, dari pohon kelapa wulung. Yg bertujuan menghalangi masuknya mahluk2 peliharaan, ingon dan perewangan pd sebuah rumah serta dalam acara2 yg sakral. Hal itu mbah Ilyas lakukan, karena merasakan keganjilan sedari awal ia dtg kerumah Lasno.
Meskipun usahanya memagari rumah Lasno dengan Janur Jangor, berhasil membuat semua mahluk yang mengiringi Sudiro tertahan di halaman rumah, tapi kini, ia sendiri yang harus menanggung dan mengahadapinya.
Satu yang membuat perhitungannya salah, sosok mbah Lenggono. Mbah Ilyas tak menyangka jika usahanya bakal tercium oleh kuncen sambungnya Sudiro, sehingga membuat usahanya kali ini beresiko fatal.
Puluhan sosok hitam jangkung bermata bolong dan berambut panjang, kini tengah mengepung mbah Ilyas. Bau busuk tercium sangat menyengat, dari lendir-lendir yang terus menetes dari mulut menganga sosok-sosok tersebut.
Note :
Mbah Sinom adalah anak tertua mbah Rengko, kakak dari bapaknya Laswati yang meneruskan menjadi Laweyan Lenggan. Mbah Sinom meninggal saat menyelamatkan Wuri di Alas Purwo.
Laweyan Lenggan adalah, seorang penerus ilmu kebatinan dari orang tuanya, yang mensyaratkan tidak boleh menikah setelah mendapatkan simbol. Kenapa keluarga Rengko yang bersekutu dengan penguasa laut selatan tak sekaya keluarga yono dan satrio?
Karena mbah Rengko, tak mengambil perjanjian pesugihan, beliau yang kala itu menjadi seorang kejawen tulen dan di tuakan di desanya, memilih mengikat perjanjian ilmu untuk melindungi desa dan keluarganya. Maklum, pada waktu itu keadaan sangat rawan.
Mbah Rengko sendiri tak mau kaya dengan menumbalkan keturunannya. Laweyan lenggan akan berakhir di keturunan ketiga, itu artinya Wuri-lah laweyan lenggan terakhir keturunan mbah Rengko. Selajutnya akan di bahas tentang trah suyono.

***************************
Kalimat Ijab dan Qobul yang di lafadkan Sudiro begitu lancar, semringah kebahagiaan terpancar jelas, dari semua yang menyaksikan. Terlebih Lasno dan Murni, saat para saksi menyebut kata SAH, sebagai penanda resminya Sudiro menjadi menantu mereka.
Iringan Doa yang di lantunkan lelaki sepuh dengan panggilan Mbah Mudin, Sebenarnya cukup menggetarkan hati. Apalagi, Doa yang dibacakan untuk Sudiro dan Winarni, khusus, mengandung makna permohonan kebaikan dan kelanggengan keduanya.
Tapi sayang, pernikahan yang sudah di campuri tangan-tangan Iblis dan nafsu duniawiyyah, nampaknya malah membawa malapetaka bagi keluarga Lasno. Diawali dari sosok yang tengah berada di luar rumah.
Mbah Ilyas, tengah duduk bersila berhadapan dengan mbah Lenggono. Mungkin satu hal aneh atau di luar nalar, jika dilihat oleh mata orang biasa. Mereka hanya akan melihat suasana sunyi, dan dua lelaki tua yang duduk berhadapan dengan mata terpejam.
Tapi tidak bagi yang punya, atau membuka mata batinnya. Mereka akan bisa melihat, satu pemandangan ngeri dan menegangkan.
Suara riuh dan beberapa kali dentuman, terdengar keras dari tempat, seperti tanah lapang.
Wujud dari perlawanan mbah Ilyas, kepada sosok-sosok bayangan hitam bermata bolong, yang sedang mengelilinginya.
Seikat Janur kuning yang menjadi senjatanya, berkali-kali mengeluarkan percikan api, ketika berbenturan. Tapi tampaknya tak begitu ampuh untuk merobohkan atau menumbangkan mahluk-mahluk berlendir, dan berbau busuk.
Mbah Ilyas yang sendirian, mulai terlihat kewalahan. Wajahnya menegang, dengan tubuh sudah terbasahi oleh keringat. Namun, sepertinya tak ada kata menyerah dalam dirinya.
Mbah Lenggono yang mengendalikan sosok-sosok hitam, terlihat tenang. Senyum sinisnya nyaman tersungging di sudut bibir, manakala melihat mbah Ilyas, harus jatuh bangun menghadapai puluhan sosok BETOROKOLO.
Sampai suatu kesempatan, rambut panjang dari sosok-sosok Betorokolo, mengibas kuat ke arah tubuh mbah Ilyas. Meskipun sempat mbah Ilyas hadang dengan seikat Janur kuning yang mengeras, tetap saja, tubuh tua mbah Ilyas terpental kebelakang.
Belum sempat mbah Ilyas mengatur nafas atau mengusap darah dari sudut bibirnya, satu bayangan berkelebat cepat dan tiba-tiba sudah berjongkok di samping tubuhnya yang lemah. Pekikkan serta raungan panjang, memecah kesunyian alam gelap bawah sadar.
Ketika tangan mbah Lenggono, menarik paksa lidah mbah Ilyas dan memotongnya dengan sebilah keris hitam. Tubuh mbah Ilyas seketika menggigil hebat, dengan darah mengalir deras, dari mulutnya yang sudah tak berlidah.
Berbeda dengan mbah Lenggono, wajahnya yang sangar, terlihat begitu gembira. Matanya menatap sinis, sembari tangannya membolak-balik sepotong lidah berlumur darah yang kemudian di lemparkanya kepada salah satu sosok Betorokolo.
Mata sayu mbah Ilyas beberapa kali mengatup, ia seperti ngeri, bahkan tak kuat melihat potongan lidahnya sendiri, menjadi rebutan sosok-sosok Betorokolo.
"Wes cukup ngene ae! Iki dadi pengeleng kanggomu!"(sudah cukup seperti ini saja! ini jadi peringatan untukmu!)" ucap mbah Lenggono dengan tatapan tajam.
"Ayo muleh!" kembali mbah Lenggono berucap tegas.
Mbah Ilyas yang masih di dera rasa sakit, tiba-tiba saja merasakan satu sentakan, dari tangan yang mencengkram kuat lenganya.
Tubuh mbah Ilyas terjengkang kebelakang saat ia kembali membuka matanya. Rupanya, ia dan mbah Lenggono telah usai bermain di alam kebatinan. Darah kembali mengalir dari mulutnya, dadanya sesak, tulang-tulangnya seperti remuk.
Tapi, ada satu yang membuat mata mbah Ilyas melotot tajam, sampai semua urat dari leher dan wajahnya mengejang, ketika ia tau mulutnya tak mampu bersuara, di karenakan, Lidahnya.
Sedangkan mbah Lenggono, setelah matanya terbuka, ia buru-buru bangkit, tanganya segera merampas se ikat Janur Jangor yang tergantung dan menempel pada sudut rumah Lasno.
Sejenak ditatapnya untaian Janur Jangor berbau wangi kasturi putih, sebelum ia membuka tiga tali putih kecil yang mengikat lembaran-lembaran Janur Jangor di tangannya.
Ketika tiga ikatan berhasil ia lepas, dan segera membuangnya, seketika itu juga gemuruh angin menderu riuh. Klebatan bayang-bayang hitam seperti berlarian memenuhi rumah Lasno.
Namun, lagi-lagi tak ada yang menyadarinya. Hanya tiupan angin dingin yang sekira dirasakan Lasno dan orang-orang yang masih berkumpul, setelah acara sakral, baru saja selesai.
"Kalau mau istrahat, ajak suamimu masuk Nduk" ucap Lasno pada Winarni, yang baru saja resmi menjadi istri Diro.

Gadis cantik berkulit bersih dan berambut ikal, dengan kebaya khas seorang pengantin, menganggukan kepalanya pelan.
Rasa canggung masih terlihat jelas dari sikapnya, ketika berdiri menunggu dan mengajak Sudiro meninggalkan orang-orang yang masih berkumpul sembari bersantap.
"Lho ... dari tadi kemana Pakde Ilyas? Pamitnya sebentar kok sampai sekarang gak kelihatan." gumam Lasno celingukan, tapi sosok yang ia cari tak nampak oleh matanya.
"Iya, kemana mbah Ilyas ini." sahut yang lainya.

Suasana sedikit riuh, manakala Lasno dan orang-orang, baru menyadari tentang keberadaan mbah Ilyas.
Beberapa kerabat dari Lasno kemudian mencoba mencari kedalam, namun nihil. Sampai salah satu dari mereka, menemukan dan memberi tahu jika Mbah Ilyas pingsan di halaman samping.
Binar keceriaan dari wajah Lasno dan beberapa kerabatnya, mendadak berubah. Berganti guratan-guratan rasa sedih, melihat keadaan mbah Ilyas yang sangat memprihatinkan. Tubuh dan pakaianya kotor, wajahnya seputih kertas dengan bercak darah, mengering di bibirnya.
Lasno dan kerabat-kerabatnya menggotong tubuh mbah Ilyas masuk kedalam, setelah yakin masih ada denyutan nadi dari tangan mbah Ilyas. Beberapa orang mulai berpikir tentang kejadian yang menimpa mbah Ilyas.
Ada yang menganggap jatuh dan ada yang berpikiran jika mbah Ilyas di santet. Tak ada satupun yang berpikir atau curiga pada sosok mbah Lenggono. Padahal, saat pamit dan menghilangnya mbah Ilyas, bebarengan dengan perginya mbah Lenggono.

***
Malam semakin larut, gelap pekat dengan hawa dingin yang mulai menelusup kepori-pori, seperti tak dirasa oleh sesosok perempuan tua, yang berdiri di depan gubuk kecil, sebuah perkebunan.
Dua obor yang menjadi penerang di teras tempatnya berdiri, menggambarkan suasana sunyi dan penuh kedamaian. Namun jika melihat dari raut wajah keriputnya, yang terkena pancaran cahaya obor, ia seperti tengah gelisah.
Matanya menatap lurus kedepan, kejalan setapak yang terhampar, seperti sedang menunggu sesuatu.
Sesaat tanganya mengolak-alik susur sirih yang menyumpal bibir, dan membuang ludah berwarna merah, setelah dua sosok yang di tunggunya muncul dari jalanan yang gelap.
"Maaf Mbok Uci, kami terlambat." ucap salah satu dari kedua sosok laki-laki yang berperut buncit.

"Hampir saja saya pergi! Karena saya pikir Mas Satrio lupa." sahut perempuan tua yang di panggil Mbok Uci dengan sedikit cemberut.
"Siapa lagi yang kamu bawa? Dan kemana si tua mungin?" sambungnya bertanya, saat matanya menatap sosok lelaki setengah baya di belakang Satrio, yang asing baginya.
"Ohh ... ini kang Likun. Mbah Mungin ... Mbah Mungin sudah meninggal beberapa hari yang lalu, Mbok." jawab Satrio pelan terbata dan menunduk, seperti mengingat kembali sosok Kuncen sambung setianya, Mbah Mungin.
"Apa...! Mungin mati!" sahut Mbok Uci terkejut.

"Tak kusangka Mungin akan mendahuluiku." sambung Mbok Uci kembali.
"Mbah Mungin terbunuh Mbok." sahut Satrio yang sejenak merubah wajah keriput Mbok Uci.

"Kalau benar Mungin terbunuh, pasti bukan orang sembarangan yang mampu melakukan itu." ucap Mbok uci seperti menelisik kembali sosok Mbah Mungin pada ingatanya.
"Benar Mbok. Tapi, sudahlah. Kita disini bukan untuk membicarakan kematian Mbah Mungin." tegas satrio.

"Sekarang mana Mbok?" tanya Satrio.

Mbok Uci yang mendengar permintaan Satrio, segera melangkah masuk kedalam gubuk.
Dan tak berapa lama kemudian, Mbok Uci kembali keluar dengan menuntun seorang bocah laki-laki 7 tahunan.

"Seperti biasa Mas Satrio." ucap Mbok Uci sembari menyerahkan bocah kecil, yang langsung di raih oleh Likun.
"Terima kasih, Mbok. Besok, anak Mbok Uci saya tunggu di rumah." sahut Satrio berterima kasih.
Seringaian Mbok Uci, mengiringi kepergian Satrio dan Likun, dengan membawa bocah lelaki yang tak berbaju.
Tubuh kecil bocah itu, tampak menggigil kedinginan, tanganya terikat kedepan, kedua matanya tertutup kain hitam, serta mulut tersumpal seonggok kain, membuatnya tak bisa berbuat apa-apa layaknya seorang tahanan.
Setelah berjalan kaki beberapa menit, sampailah mereka di jalan besar perkebunan. Tapi mereka masih meneruskan langkah, dan baru berhenti pada sebuah mobil mewah yang terparkir di sisi kiri jalan.
"Kita lewat jalan memutar." perintah Satrio pada Likun, yang sudah duduk di kursi kemudi.

"Baik, Pak." jawab Likun menyanggupi.

Perlahan, mobil mewah Satrio, mulai berjalan meninggalkan perkebunan luas miliknya. Melewati jalanan berkerikil menembus gelapnya malam.
Likun yang hafal dengan kondisi jalan, merasa heran atas permintaan Satrio. Jika ia harus mengambil jalan memutar, itu artinya, ia akan melewati sebuah sungai besar. Entah apa tujuan utamanya, yang pasti perasaan Likun sendiri mulai tak enak.
"Siapa namamu, Cah bagus?" tanya Satrio kepada bocah kecil, yang sudah Satrio buka semua ikatan dan kain yang menyumpal.

Tak ada jawaban dari mulut sang bocah, ia malah menyurut mundur kesudut jok, dengan ketakutan.
Wajah anak bermata bulat tampak pucat pasi, bahkan bibirnya mulai membiru menahan dingin. Tangannya bersedekap menggigil, dengan mata mulai meneteskan buliran-buliran bening.
"Jgn takut. Om, gak akan menyakitimu. Malah, sebentar lagi Om akan membawamu ketempat bagus dan enak." rayu Satrio dgn senyum terlihat di paksakan.

Mendengar ucapan Satrio, bibir anak itu bergerak seperti ingin mengucapkan sesuatu, tapi, suaranya seakan tertahan di tenggorokan.
Setelah berjalan beberapa lama, Likun yang mulai di rundung was-was, tiba-tiba saja di kejutkan satu bayangan di depanya. Membuat naluri drivernya muncul, yang dengan cepat menginjak rem kuat-kuat.
"Kenapa berhenti!" sentak Satrio yang kaget, ketika tiba-tiba Likun menghentikan laju mobilnya mendadak.

"Maaf pak, seperti ada sesuatu di depan." ucap Likun gugup.
Satrio yang mendengar penuturan Likun, terdiam sejenak. Matanya kembali menatap bocah kecil yang masih meringkuk di sudut jok dengan mata sayu.

"Wes wancine."(Sudah Saatnya)" gumam Satrio lirih.
"Jalan terus kang, dan jangan kamu hiraukan, apapun yang kamu lihat!" ucap Satrio memberi perintah sekaligus pesan pada Likun.
Mendengar perkataan bosnya, wajah Likun memucat. Jantungnya berdebar, mengiringi rasa takut, yang mulai menyusupi pikiranya. Satu keanehan awal, mulai Likun rasakan. Dimana keadaan jalan yang setaunya berkerikil tak rata, kini mendadak berubah rata dan mulus.
Keringat dingin mulai keluar dari tubuh Likun, saat ia melihat kembali keanehan yang terpampang, sebuah gapura besar dan indah di depanya. Tapi, di balik keindahan gapura dengan gaya bangunan jaman dahulu, -
-satu kengerian Likun rasakan ketika matanya melihat dua patung yang berdiri tegak di dalam gapura, dengan wujud mengerikan seolah hidup di mata Likun.
"Pelankan jalanya kang." Suara lirih Satrio, yang meminta Likun untuk melambatkan laju mobilnya, setelah melewati gapura.
Likun yang mulai melambatkan mobilnya, tersentak kaget, saat melirik dari kaca kecil di depannya yang memantul kebelakang. Ketakutan langsung mencuat, manakala ia melihat di jok belakang, ada sosok lain yang duduk di samping sang anak kecil.
Sosok yang membuat jantung Likun bukan hanya berdebar, melainkan memacu kencang tak beraturan. Pikiranya semakin terguncang hebat, saat matanya tak bisa lepas untuk terus menatap dari kaca, -
-Sosok perempuan berambut panjang dengan bola mata rata putih, tengah mengusap kepala bocah kecil yang sudah terpejam kedua matanya.

Hening, hanya keringat yang masih mengucur dari tubuh Likun. Padahal, di dalam mobil, AC hidup dengan sensasi kesejukan pastinya.
Ketakutan yg Likun rasakan semakin menguap, manakala sosok wanita yang masih duduk di jok belakang, tersenyum menggoda dgn bola mata putihnya.
Sedangkan Satrio tampak begitu tenang, matanya menatap jalanan sunyi yg lurus, seperti acuh, tak menganggap kehadiran sosok yg duduk di sampingnya.

"Berhenti di depan itu kang." perintah Satrio tiba-tiba.
Likun yang sedikit terkejut, menghentikan laju mobil tepat di depan sebuah gapura berpintu gerbang, di sisi sebelah kiri.
Kembali nalar akalnya seperti di kebiri, menyaksikan semua yang tampak asing, tak masuk akal, tapi nyata di matanya.
"Bawakan bocah itu kang!" perintah Satrio, membuat Likun tersadar jika dirinya masih terduduk di dalam mobil.

Ada rasa iba menyeruak dalam diri Likun, takkala matanya menatap bocah kecil yang terpejam dengan wajah pucat pasi.
Sekilas bayangan mengerikan tetiba saja menghampiri benaknya, bayangan tentang sesuatu bakal terjadi selanjutnya, pada si bocah yang entah siapa orang tuanya.

"Cepat kang!" kembali suara Satrio sedikit keras, saat melihat Likun ragu.
Dua sosok garang menakutkan yg berdiri di depan pintu gapura, segera membukakan pintu kepada Satrio. Mereka seperti mengenal Satrio, membuat Likun yg membopong si bocah dan menyusul di belakang, semakin yakin akan firasatnya tentang siapa sebenarnya sosok Satrio, majikan barunya.
Likun menundukan kepalanya ketika melewati dua penjaga yang memegang cambuk, nyalinya ciut setelah menyadari jika dua sosok garang itu bukan Manusia.
Senyap dan lembab seolah tak ada angin yang bertiup. Itulah yang Likun rasakan ketika memasuki sebuah halaman luas, dengan satu bangunan seperti pendopo berdiri kokoh di tengah-tengahnya.
Suatu tempat bercahayakan obor-obor berukuran besar, yang menempel di tiap-tiap pilar dengan posisi menyilang.

"Kemarikan bocah itu. Dan Kang Likun tunggu disini!" perintah Satrio pada Likun, saat berada di depan pendopo dengan tiga tangga menjadi jalan masuk kedalamnya.
Setelah menerima sang bocah, Satrio berjalan ke sebelah kiri pendopo dan menghilang di balik gapuro kecil yang baru tampak di mata Likun.

Hawa pekat sangat Likun rasakan, ia benar-benar yakin jika keberadaanya bukanlah di dunia manusia, -
melainkan di alam lain yang ia sendiri tak mampu menjabarkanya. Selagi asyik dengan renunganya, Likun di kejutkan dengan kemunculan sesosok wanita setengah baya, dari gapura kecil yang di masuki Satrio tadi.
Sosok bertapi jarit, terlihat menyunggi sesuatu dengan kedua tanganya, dan memasuki dalam pendopo melaluli tangga di sisi belakang.

"Monggo." ucapnya dengan jempol tangan sebagai isyarat mempersilahkan Likun untuk masuk kedalam pendopo.
Seakan mengandung mahgnet, ucapan sosok wanita itu langsung di turuti Likun. Kakinya seolah ketarik masuk kedalam pendopo, di mana terdapat sebuah meja kayu tanpa kursi, yang sudah terpenuhi hidangan, lengkap dengan ceret dan cangkir, terbuat dari kuningan emas
"Monggo di santap." ucapnya kembali dengan lembut, sebelum sosok perempuan itu pergi tanpa menunggu jawab, ucapan dari Likun.
Likun seperti terhipnotis, manakala matanya menatap beragam makanan yang tersusun rapi di atas meja, beralaskan dedaunan.
Sehingga membangkitkan selera dan hasaratnya untuk menyantap, tanpa memikirkan asal serta terbuat dari apa makanan itu.

Tanganya cekatan memilih dan menyantap beberapa jenis makanan untuk menyumpal rasa lapar yang tiba-tiba terasa.
Hingga tak menyadari, jika ada sepasang mata yang mengawasi dengan senyum tipis mengembang, ketika Likun mulai memakan hidangan yang sengaja di suguhkan untuknya.
Sendau puas beberapa kali keluar dari mulut Likun, menandakan rasa nikmat yang mengobati laparnya. Membuatnya lupa akan ketakutan, kengerian, yang menggelanyuti pikiran dan batinya di awal.
"Sudah kenyang kang?" satu suara mengagetkan Likun yang baru meletakan cangkir minumnya.

"Ehh ... Pak Satrio! Sudah Pak." jawab Likun gugup.

"Kalau begitu, kita pulang sekarang." ajak Satrio. Lalu melangkah lebih dulu yang di ikuti Likun di belakangnya.
Likun benar2 merasakan keanehan, setelah keluar dari pendopo. Dirinya kini seolah tak lagi merasakan ketakutan dengan tempat dan beberapa bayangan yang nampak di matanya bersliweran. Likun juga sepertinya sudah lupa dengan sang bocah kecil, dan tak perduli lagi akan nasibnya.
"Kita jalan lurus saja." ucap Satrio ketika Likun mulai menghidupkan mobilnya.

"Baik Pak." jawab Likun menurut.

Perlahan mobil Satrio yang di kemudikan Likun, berjalan meninggalkan tempat yang mungkin hanya orang-orang tertentu bisa mengetahuinya.
Jalanan yang masih sama, rata lurus dan sunyi, dilalui dalam keheningan di dalam mobil tanpa adanya bocah kecil lagi. Bocah polos tanpa salah dan dosa, yang telah terenggut kebahagiaanya.
Menjadi korban keserakahan, ketamakan, dari jiwa orang yang sudah rela menggadaikan hidupnya demi mengagungkan sebuah kemewahan.
Setelah beberapa menit melaju dan melewati kembali gapura besar yang hampir sama persis di awal masuk, Likun mulai merasa seperti kembali kedunia alam manusia.
Jalanan yang terhampar dan tengah ia lewati, kembali berlubang tak rata serta berkerikil, membuat ingatanya melayang kepada hal-hal yang baru saja ia alami.
Perasaan tak enak tiba-tiba saja menyergap batin Likun, ketika akan melewati sebuah jembatan tak begitu panjang. Kegusaran yang sama, tampaknya juga di rasa Satrio.
Di lihat dari wajahnya tertekuk dengan mata memicing lurus kedepan, seperti tengah mengawasi atau merasakan sesuatu di depanya.

"Jalan saja kang!" perintah Satrio pada Likun yang tampak ragu, meski Satrio sendiri tak begitu yakin.

"Iya pak" jawab Likun memantapkan diri.
Meski Likun berhasil melewati jembatan tanpa terhalang apapun, namun hawa mencekam lebih ia rasakan setelahnya. Apalagi, matanya melihat jalanan yang terbentang di depan, kini tampak di selimuti kabut tebal, membuat kecemasan tergambar begitu lekat di wajahnya.
"Bbrrraaakkk....!" satu hantaman keras di bagian depan mobil, seketika menghentikan laju mobil Satrio, yang di kemudikan Likun.

"Ada apa Kang!" tanya Satrio yang terkejut.
"Nggak tau Pak! Tapi itu....!" jawab Likun terputus. Karena matanya seketika melotot kaget, melihat satu sosok lelaki bertelanjang dada, berdiri di depan mobil yang masih dalam keadaan lampu menyala.
"Suntoro!" gumam Satrio. Ketika matanya dengan jelas melihat wujud sosok yang menghadangnya.

"Bagaimana ini Pak!" tanya Likun mulai merasakan gelagat kurang baik. Apalagi melihat sorot mata tajam penuh amarah dari sosok Suntoro, membuat tubuh Likun mulai menggigil.
"Tabrak saja kang!" jawab Satrio yang malah memberinya perintah.

Spontan Likun yang mendengar, mencoba menancap gas kuat-kuat. Namun sayang, hanya suara mesin saja yang menderu, tanpa sedikit pun, roda mobil Satrio bisa maju kedepan.
"Celaka! mobil kita sepertinya terganjal sesuatu, Pak!" seru Likun dengan wajah pucat.

Satrio diam, ia seperti tak menghiraukan ucapan dan ketakutan Likun, matanya masih terus menatap sosok Suntoro yang mulai menyeringai.
"Dia ingin balas dendam padaku rupanya!" gumam Satrio pada dirinya sendiri.

"Keluar Satrio!" bentakan keras dari sosok Suntoro begitu menggema.

Sesaat hening, tak ada sahutan dari Satrio yang tetiba memejamkan matanya di dalam mobil.
Sedangkan Likun, nyali dan keberanianya sudah rontok, sejak pertama melihat Sosok Ranggi Anom Suntoro, yang muncul dengan satu amarah.

"Heemmggg ... LECUT TRENGGANU!" gumam Suntoro di iringi geraman ketika Satrio keluar.
"Suntoro! Hutang nyawa Bapakmu masih terlalu banyak pada keluargaku!" ucap Satrio sinis.
"Kamu beruntung masih setengah hidup! Tapi malam ini, nampaknya kamu ingin kusempurnakan agar bisa berkumpul dengan Bapakmu!" kembali Satrio menghardik, membuat sosok Suntoro marah dengan mengerang keras!
Langit malam yang gelap, bercampur kabut hitam pekat di ujung jembatan, berubah sedikit terang. Kilatan dan percikan-percikan api silih berganti, datang dari dua bayangan yang tengah mengundang maut.
Likun yang menyaksikan dari dalam mobil, begitu tercekat, mendapati dua sosok tengah berlompatan. Namun, matanya seperti terfokus pada satu sosok berkepala botak di tengah, dengan menyisakan lenciran panjang rambut belakangnya.
Likun meyakini, jika sosok tersebut adalah peliharaan dari Tuannya, Satrio. Sebab, kemunculanya bebarengan dengan keluarnya Satrio dari dalam mobil.
Sedangkan Satrio sendiri, Likun lihat hanya berdiri di depan samping mobil, dengan tangan bersedekap dan mata terpejam. Keringat begitu jelas membasahi wajahnya yang gembul, dengan sesekali kulit wajahnya tertarik menegang, seperti tengah menahan sesuatu.
Hingga beberapa saat kemudian, Tubuh gempal dengan perut membuncit Satrio, terpental kebelakang, setelah satu dentuman keras terdengar sebelumnya.
Darah mengalir seketika dari hidung dan bibir Satrio, matanya mengerjap disertai erangan menahan sakit, pada bagian dadanya yang beberapa kali ia tepuk dengan tanganya sendiri.
"Rupanya LECUT TRENGGANU tak sehebat nama besar pemiliknya." hardik sosok Suntoro, sembari menatap nyalang Satrio yg masih terduduk.
Mata Satrio menatap nanar Suntoro, ia terlihat pasrah saat sosok Suntoro, melangkah mendekat dengan membawa aroma maut, yg siap di terima olehnya.
Ketika sosok Suntoro, tinggal beberapa langkah lagi dari Satrio, tiba-tiba sapuan angin kencang mendorong tubuh Suntoro hingga terguling kebelakang.
Jerit kerasnya membuat Satrio terkejut, kemudian menengadahkan wajahnya yang sudah pucat, menatap satu sosok yang baru saja menyelamatkanya, berdiri tegak membelakanginya.

"Nyai Dewi!" seru Satrio dengan sisa-sisa tenaganya.
"Lecut Trengganu bukan tandingan Ranggi Anom! Sekarang pergilah, biar aku menghadangnya." ucap sosok wanita bergaun kuning tanpa menoleh ke arah Satrio.

"Tapi, bukankah Nyai Dewi dalam keadaan...."
"Cepatlah! Jangan sampai terlambat! Aku tak bisa lama-lama menahanya!" potong sosok Nyai Dewi sambil menarik tubuh Satrio masuk kedalam mobil.
"Bawalah cepat Tuanmu pergi dari sini! Jangan hiraukan apapun yang kamu lihat!" kini ucapan sosok wanita berbola mata putih rata, dengan gaun kuning kebesaranya, di tujukan pada Likun yang masih duduk di kursi kemudi, menggigil ketakutan sedari tadi.
Tapi begitu mendengar perintah dari sosok yang sudah ia lihat beberapa waktu lalu, Likun seperti mendapat kekuatan baru. Tanpa menunggu perintah kedua kali, ia segera menancap gas mobil Satrio, meninggalkan tempat paling mengerikan seumur hidupnya.
Likun terus memacu laju mobil tanpa memperdulikan keadaan jalan dan sosok2 hitam yg mengejarnya. Matanya sesekali melirik Satrio yg duduk terpejam dgn wajah pucat pasi. Pikiran dan batinya mengutuk dirinya sendiri, yg sudah masuk kedalam permainan hidup orang-orang ber alam dua.
Pagi itu, untuk pertama kalinya Sudiro, mengunjungi proyek bangunannya dengan membawa Winarni, istrinya. Dua laki-laki berpakaian rapi yang baru saja memberikan intruski kepada puluhan pekerja, menyambut kedatangan Sudiro dengan begitu antusias.
Wajah dingin Sudiro terlihat puas melihat bangunan yang baru 30% berdiri, meski sempat terbengkalai akibat kematian Munaji.

Selesai meninjau dan mendengarkan semua penjelasan dua pemborong tentang hal proyek, Sudiro mengajak Winarni ke tempat di mana ia dulu di besarkan.
Sebuah rumah berlantai dua yang menyimpan banyak misteri dengan puluhan nyawa melayang karenanya.

Setelah menempuh waktu beberapa jam, sampailah Sudiro di rumah yang telah ia percayakan sementara pada Suyuti.
"Ohh ... pak Diro. Nduk Win." sapa Suyuti yang keluar dari pintu saat melihat kedatangan majikanya.

"Kang Suyuti, dimana para penjaga?" tanya Diro heran, sebab, saat kedatanganya tak ada sesiapapun yang menyambut dan membukakan pintu gerbang.
"Maaf Pak, Idris dan Ratno saya khususkan malam." jawab Suyuti menjelaskan.
Diro terdiam, sebelum beberapa saat kemudian, ia menyuruh istrinya masuk kedalam. Sedangkan Diro sendiri, mengajak Suyuti melangkah kehalaman belakang, melalui samping kanan halaman bertaman.
"Bagaimana Kang? Apa sudah siap untuk nanti malam!" tanya Diro ketika mereka sudah berada di joglo pribadi Suyono, dulu.
"Tenang Pak, nanti malam saya pastikan beres!" jawab Suyuti yang membuat Sudiro tersenyum penuh kemenangan. Matanya menatap lepas kedepan, membayangkan betapa hebat dan jayanya ia sebentar lagi.
***
Suara tangisan bayi yang tadinya keras, dari sebuah rumah sederhana berdinding papan dan berlantai tanah, tiba-tiba mereda. Seiring terdengar tembang jawa yang biasa di nyanyikan untuk meninabobokan seorang bayi, dengan lantunan irama mengayun, mendayu-dayu.
Dari pencahayaan lampu teplok yang menjadi penerangan utama rumah itu, tampak seorang wanita muda, berbalut kebaya lusuh, tengah menggendong bayi laki-laki mungil penuh kasih.
Timanganya yang nyaring, menggambarkan ungkapan sayang dari seorang ibu, yang juga di rasa nyaman oleh sang anak, hingga membuatnya terlelap dalam dekapan.
Namun, jika di lihat dengan seksama, dari mata wanita muda itu, tampak dua bulir bening mengalir deras membasahi pipi. Tak henti-henti ia menciumi bayi dalam gendongannya, sampai beberapa kali bayi yang tengah tertidur, seperti jengah mendapat ciuman ibunya yang beruntun.
Guratan kesedihan sangat mendalam, semakin terpancar jelas, ketika telinganya mendengar suara deru mobil, berhenti tepat di halaman rumahnya. Jantungnya berdegup kencang, -
-setelah suara derit pintu yang di susul dengan derap langkah dari beberapa orang, menandakan waktu perpisahan dengan sang bayi mungil, akan segera tiba.

"Dek, kamu kanapa?" tanya seorang laki-laki yang tak lain bapak dari si bayi.
"Mas, apa mas yakin, akan menyerahkan anak kita pada majikannya Paklek Suyuti?" sahut wanita muda dengan air mata masih berderai.
Sejenak sang suami terdiam, ada rasa ngilu di dadanya, saat ia menatap bayi dalam gendongan istrinya.
"Dek, biarlah untuk sementara, anak kita di rawat majikan paklek Suyuti. Lagian, nanti kita masih bisa menengoknya, kan aku juga kerja di proyeknya majikan Paklek, jadi bisa tau kabar anak kita ini nantinya." sahut Murdi, sang suami, mencoba memberi pengertian pada istrinya.
"Tapi perasaanku tak enak mas! Aku merasa seperti ada tujuan lain dari majikannya Paklek." kembali sang istri mencoba mengungkapkan kegusaranya.
"Sudahlah Dek, kita tak boleh berprasangka buruk! Yang penting kita doakan anak kita nantinya baik-baik saja." ucap Murdi mengakhiri perdebatanya dengan sang istri.
Meskipun istri Murdi bersikeras, pada akhirnya, sang bayi mungil berpindah ke gendongan Murdi. Ia lantas membawa Bayi mungil itu kedepan, dimana dua orang laki-laki sudah menunggunya, Suyuti dan Mbah Lenggono.
Tanpa curiga sedikitpun, Murdi menyerahkan bayi laki-laki itu pada Suyuti, yang sebenarnya masih terhitung saudaranya. Senyum semringah Suyuti, di rasa istri Murdi bagaikan sayatan sembilu di hatinya. Perih, tapi tak akan bisa mengembalikan bayinya yg sudah berada di dalam mobil.
Satu jeritan dari istri Murdi, mengiringi kepergian bayinya. Tapi, bukan karena itu tampaknya jeritan dari istri Murdi, melainkan dari sosok wanita cantik berbadan kuda, yang mengikuti laju mobil dari belakang sembari menyeringai.

***
Lanjut ke Bagian 5 & 6 minggu depan. Hari Rabu ya.

atau bisa baca duluan di Karyakarsa, dan bisa di download.

Pake kode voucher "NYOWO" untuk potongan harga.

Linknya ini
karyakarsa.com/KALONG/rogoh-n…
Maaf telat update. Nanti malam part 5-6 .

• • •

Missing some Tweet in this thread? You can try to force a refresh
 

Keep Current with kalong

kalong Profile picture

Stay in touch and get notified when new unrolls are available from this author!

Read all threads

This Thread may be Removed Anytime!

PDF

Twitter may remove this content at anytime! Save it as PDF for later use!

Try unrolling a thread yourself!

how to unroll video
  1. Follow @ThreadReaderApp to mention us!

  2. From a Twitter thread mention us with a keyword "unroll"
@threadreaderapp unroll

Practice here first or read more on our help page!

More from @cerita_setann

Mar 11
-WARISAN PENARI-
"SAMPUR & KAWATURIH"

Jujur, banyak sekali DM yang masuk dan pembahasannya menarik semua. Mulai dari Gagar Mayang, Sampur / selendang, dan Kawaturih.

Tapi malam ini kita akan sedikit membahas tentang kengerian warisan sampur & kawaturih.

a thread

#bacahorror


Image
Image
Image
Image
Nah disini saya mau cerita sedikit tentang profesi seorang penari tradisional. Bisa di bilang seperti penari ronggeng atau semacamnya. Di cerita ini si ibu yang sudah terjun bertahun-tahun menjadi penari harus mengalami kengerian.
Di mana, yang seharunya itu di wariskan kepada anaknya, tapi si ibu ini memilih untuk tidak. Kenapa? Karena beliau tahu bagaimana rasanya dan kengeriannya ketika di ambang kematiannya. Beliau tidak mau anaknya akan bernasib sama.
Read 42 tweets
Mar 6
-POCONG CULI-

Sekitaran Demangan - Gejayan

"Tok...tok...tok...." pas di buka pintunya, ada pocong ngomong "...Culi"

a thread

#bacahorror #asupanhorror @asupanhororrr @IDN_Horor @merapi_uncover Image
Bagi teman-teman yang sudah lama tinggal di jogja, khususnya di daerah Demangan, pasti gak asing sama cerita pocong culi.

Menurut beberapa sumber, dulu di tahun 2000an, masyarakat sekitar Demangan di gegerkan sama teror pocong culi.
Ngerinya, pocong culi ini meneror warga sekitar dengan mengetuk pintu dan berteriak “culi...culi...” yang di artikan kalau pocong itu meminta untuk di lepaskan tali pocongnya.
Read 70 tweets
Mar 5
-BEGAL PESUGIHAN JALAN WATES-

Jalanan lurus, ngebut, kecelakaan = minimal rumah sakit dan maksimal kuburan

a thread

#bacahorror @gudangmistery @IDN_Horor Image
Banyak perbincangan tentang jalan propinsi jogja-wates yang terkenal dengan pemasangan BEGAL PESUGIHAN.

Jalanan lurus, ngebut, kecelakaan = minimal rumah sakit dan maksimal kuburan.
Di Kilometer berapa pemasangan pesugihannya, saya juga kurang tau, hanya saja, sepanjang jalan itu sering banget terjadinya kecelakaan. Bahkan kalo pas apes, kadang melihat beberapa kali korban sudah tergeletak di pinggir jalan atau di bawah kolong truk.
Read 22 tweets
Feb 12
THE REAL "SANTET LORO JIWO"

“Lanang menang milih, wedok menang nolak.”

A Thread

#bacahorror @gudangmistery @IDN_Horor Image
Sumatera 2018

Namaku Anis. Aku tinggal di Sumatera. Kejadian ini aku alami setelah menikah. tapi jauh sebelum itu, ketika masih sekolah, ada lelaki yang pernah suka sama aku. Namanya sebut ajaa Bowo.
Awal mula kita deket ketika ibuku jatuh sakit karena kecelakaan. Dikarenakan jarak sekolahan dgn rumahku jauh, aku gak bisa pulang buat jenguk ibuku. Dari sinilah aku meminta tolong Bowo untuk datang ke rumahku untuk melihat kondisi ibuku. Itu dikarenakan rumah kita memang dekat.
Read 58 tweets
Feb 7
“Ya beginilah, niatnya mondok mau cari ilmu agama, malah nemu hal munkar yg udah lama tersembunyi di pesantren. ((Bukan tempatnya)) Tapi ada penghuni di dalam tempat tersebut yg pernah ngelakuin hal biadab dan berusaha ia sembunyikan.”

a thread

#bacahorror Image
“Namanya Marlina. Dia salah satu santriwati di pondok pesantren ini. Dulu ketika mondok, dia menjadi korban bully karena bisu. Hal itu membuat Marlina ini mentalnya down. Sampai suatu ketika, karena kekurangannya itu,
ada salah satu oknum yg jg pengurus pondok sekaligus pemuka agama, melakukan tindakan munkar dan tak bermoral kepada Marlina. Marlina di lecehkan di salah satu ruangan pondok, sesaat setelah di suruh untuk mengembalikan buku hafalan.
Read 64 tweets
Jan 26
-LUAS, MURAH TAPI JADI TUMBAL!!-

a thread

Sebuah kisah tentang seorang mahasiswa yang mendapatkan kos-kosan murah dan luas, tapi di balik semua itu, nyawanya terancam (akan) di jadikan tumbal pesugihan ibu kos.

#bacahorror @gudangmistery @IDN_Horor @bacahorror
Kiriman dari seseorang. Image
Sebut saja namanya mbak Tia. Jadi mbak tia ini punya pengalaman serem ketika ngkeos. Katanya dia hampir jadi tumbal pesugihannya ibu kos.

Dari sini yang akan bercerita mbak Tia.
Read 37 tweets

Did Thread Reader help you today?

Support us! We are indie developers!


This site is made by just two indie developers on a laptop doing marketing, support and development! Read more about the story.

Become a Premium Member ($3/month or $30/year) and get exclusive features!

Become Premium

Don't want to be a Premium member but still want to support us?

Make a small donation by buying us coffee ($5) or help with server cost ($10)

Donate via Paypal

Or Donate anonymously using crypto!

Ethereum

0xfe58350B80634f60Fa6Dc149a72b4DFbc17D341E copy

Bitcoin

3ATGMxNzCUFzxpMCHL5sWSt4DVtS8UqXpi copy

Thank you for your support!

Follow Us!

:(