Heri Widianto Profile picture
Jun 28, 2022 855 tweets >60 min read Read on X
"Jangan beli rumah di ujung jalan. Rumah Tusuk Sate banyak bawa sial."
Lalu, apa jadinya kalau nggak ada pilihan buat yang telanjur tinggal di Rumah Tusuk Sate?

RUMAH TUSUK SATE
Karya: Heri Widianto

---- A Thread ----

@IDN_Horor
@bacahorror
#ceritahorror
#rumahtusuksate Image
Disclaimer:
- Cerita ini berisi 25% pengalaman pribadi dan teman-teman semasa kos dulu, dan sisanya adalah untuk pengembangan cerita.
- Tokoh & tempat sengaja disamarkan untuk melindungi privasi.
- Karya sendiri.
Bab 1 : Mangga Depan Rumah

Andai Ganda tidak ikut stock opname dan men-display product, kemungkinan besar dia tidak akan berjumpa penunggu pohon mangga di halaman depan kos. Ganda sempat berang mengingat jabatannya sebagai kepala toko.
Sebab, dia harus merelakan jam tidurnya untuk lembur. Dan jika berani mangkir, perusahaan akan memotong bonus akhir tahunnya. Ilyas, manajer area mengingatkan Ganda dengan nada setengah mengancam saat dia menjelaskan keberatannya pulang pagi.
Ganda beralasan punya asma. Tidak mungkin dia jujur bilang: takut hantu. Apa kata dunia?
Ganda bersedia lembur hanya karena ingin mengganti ponsel bututnya awal tahun nanti menggunakan bonus akhir tahun. Layar ponselnya memburam separuh. Membingungkan saat mengetik pesan.
Sadar jarum jam telah tergelincir di angka dua, Ganda mulai waswas saat keluar toko. Angin dingin pun lancang membelai tengkuk begitu Ganda memasukkan kedua tangannya ke saku jaket. Bulu kuduknya lantas meremang mengingat kecelakaan lalu lintas beberapa hari yang lalu.
Dalam kecelakaan tersebut, salah satu pengendara motor tewas di tempat karena tergilas roda depan mobil yang sedang melintas, sesaat setelah helmnya terlepas.
"Mas," sapa pelan Erna―salah satu anak buahnya di toko―sembari mendekati langkah Ganda. Wajah mereka sama-sama kuyu, dan sama-sama enggan lembur. Ganda yang sebelumnya berniat cepat-cepat menyeberang jalan, urung. "Lagi nunggu siapa?"
"Kunti!"
Erna terkejut dan menggetok-getok pelan keningnya. "Amit-amit. Jangan ngomong sembarangan begitu, Mas. Mana jam segini lagi. Pamali!"
Tepukan pelan berkali-kali mendarat di bibir Ganda dan memancing tawa kecil Erna. Ganda terlihat menyesal. "Mas, tungguin sampai jemputanku datang, ya. Please... kata adikku sudah di jalan, kok," sambung Erna sambil memohon dengan wajah iba.
"Hmmm."
Tarikan napas lega Erna sekaligus menenangkan Ganda. Paling tidak, untuk saat ini dia tidak sendiri. Basa-basi pun tercipta untuk membunuh sepi. Menurut pengamatan mereka, hari ini jalanan terlalu lengang. Hanya ada satu atau dua kendaraan yang melintas.
"Pak Ilyas masih sendirian di toko, apa nggak takut, ya?" pancing Erna. "Ntar kalau ada yang nongol dari toilet lantai dasar, kan, ngeri," Erna berkata sambil bergidik.

"Dia lebih takut bonus akhir tahunnya hangus daripada ketemu hantu gosong di sebelah toilet lantai dasar."
"Mas tahu cerita itu juga?"

Ganda mengangkat telunjuknya di bibir. "Sttt...."
Tidak berapa lama, setelah menoleh ke arah box parkir, Erna sedikit merapatkan jarak.
Dari pukul sepuluh malam, lampu mal di belakang mereka sudah lama mati, dan menyisakan beberapa titik pendaran dari lampu di dalam area parkir serta taman. Akan tetapi, cahayanya yang redup tidak banyak membantu.
"Mas Ganda tahu, kan, kalau―"

"Nggak!" potong Ganda cepat.

Erna sempat melongo mendengar jawaban bergas itu. "Aku belum selesai ngomong, ya."

"Apa?"
"Kata anak parkir, kemarin malam dia lihat kereta kuda lewat. Mirip kereta kencana, tapi nggak napak. Terus, kayak ada gerbang di pintu parkir mal itu."
Erna menunjuk menggunakan kerlingan tanpa berbalik. "Dua pintunya kebuka gitu. Ada bau melati nyengat. Yang naik kereta cantik banget. Pakai pakaian serba hijau. Dia sempat ngelirik, terus―"
Dalam keadaan remang, Erna bisa menangkap Ganda sedang memelotot. Kalau saja dia bisa mendengar suara hati, mungkin saja Ganda sedang meneriakinya dengan kalimat: aku tinggal pulang sekarang juga, ya!
Erna bergidik membayangkan sendirian di pinggir jalan menunggu jemputan. Terpaksa dia kunci mulutnya. Namun, sebelum melakukan aksi itu, dia berhasil meloloskan satu kalimat. "Yang jaga parkir terus semaput...."
"Aku tinggal pulang, ya!"

"Jangan dong, Mas. Iya, iya, maaf. Nggak bakalan cerita horror lagi."

Baru juga detak jantung Ganda terpompa normal, jemputan Erna sudah datang. Itu berarti, dia harus bergegas pulang setelah sepeda motor milik adik Erna melaju.
"Makasih ya Mas, sudah mau nungguin. Dadah, Mas Ganda...." Erna melambaikan tangan.
Sebelum berlalu, dia sempat berpesan kepada Ganda, "Oh, baru ingat. Kata anak parkir, jalan keretanya persis di posisi Mas berdiri sekarang," Erna tertawa sambil memerintah adiknya supaya menjalankan sepeda motornya cepat.
"Kurang ajar. Awas aja, besok aku jitak!"

Tanpa menunggu lagi, Ganda langsung menyeberang jalan. Dan siksaan tidak berakhir sampai di situ.
Saat menapaki gang taman bunga, dia terpaku sejenak memandangi jalanan lengang. Tempat kosnya berada di ujung jalan itu.
Sebenarnya hanya butuh beberapa menit sampai kos. Namun, tenaganya seperti habis. Gang taman bunga terlihat remang.
Ganda selalu kesal melewati gang itu. Cat pagarnya merah ndeso sudah mengelupas dan pudar, lalu berubah menakutkan ketika malam. Langkahnya terayun cepat, tetapi tidak terlalu membantu meringankan pompaan jantungnya.
Dalam remang cenderung gelap jalanan, dia kerahkan segala usaha sampai berhasil meraih pagar depan kos, kemudian bergegas mengeluarkan serenceng kunci dari dalam tas. Membukanya secara cepat.
Saat berbalik dan tinggal mengunci pagar kembali, aroma ketela bakar tercium. Pompaan jantung Ganda berdetak kencang kembali.
Rasa-rasanya, tidak ada lagi tenaga yang tersisa ketika gemerisik daun semakin lama semakin mengganggu.
Sesuatu seperti sedang mengintai, menunggu waktu yang tepat untuk memberinya kejutan: surpise.... Sembari mengumpat dalam hati, ingatan mengenai cerita-cerita horor berdatangan dan mencoba mengurung logika. Ganda benci itu.
Apalagi, gembok tidak juga menyatu bersama tangkainya. Ganda mulai panik. Dia pertajam penglihatannya. Sesekali, dia mengintip melalui celah dari balik bahu, mengawasi setiap ketidakberesan yang mungkin saja muncul sebentar lagi.
Tengkuknya terasa ditiup. "Ini cuma angin, kan. Iya, kan?" gumam Ganda mengusir ketakutan.

Klik....

Ya, Tuhan. Akhirnya pertolongan-Mu datang juga. Terima kasih banyak....
Gembok benar-benar menutup kembali. Kelegaan jelas terpancar di wajah Ganda. Namun, suasana tenang hanya berjalan sekian detik. Seketika tergantikan oleh ketegangan lain saat Ganda menengadahkan kepalanya, mengarah ke pohon mangga.
Sepasang bulatan merah berhasil tertangkap olehnya. Ganda membelalak saat menemukan sosok samar hitam dan besar, nangkring, mengawasinya. Suara kikikan samar dan jauh, menyusul.
Kalau saja jarak antara pintu masuk dan pagar besi terpaut cukup jauh, kemungkinan besar Ganda memilih untuk pingsan. Lebih masuk akal daripada jantungnya berhenti tiba-tiba.
Sosok besar dan hitam itu mulai menuruni pohon mangga. Mendekati Ganda perlahan. Namun anehnya, aroma ketela bakar yang tercium sebelumnya, menguar seperti ditempa angin, menjauhi penciumannya, tetapi tetap saja membuatnya ketakutan setengah mati.
Ganda mencoba berlari sekuat tenaga ketika sadar kakinya tak lagi longgar. Dia hampir saja menubruk pintu samping kos yang terhubung langsung dengan tempat parkir sepeda motor anak-anak kos, dan berbatasan langsung dengan tembok dapur.
Tepat di bawah loteng, Ganda bergegas menuju satu-satunya jalan menuju bagian dalam rumah menggunakan tangga kayu.
Kalau saja pintu luar yang biasa digerendel dan berpalang kayu itu tak terganjal sempurna oleh alas kaki, kemungkinan besar Ganda sudah terpelanting jatuh ketika menghambur.
Hal yang jarang terjadi di rumah itu berhasil membantunya melarikan diri dari ketakutan.
"Genderuwo brengsek. Berani muncul aku getok, ya," umpat Ganda pelan setelah sampai di depan pintu kamar. Serenceng kunci Ganda jatuh saat dia cepat-cepat memasukkan anak kunci.
Saat menunduk guna meraihnya, Ganda melihat sepasang mata mengintip dari tangga kayu yang dia lewati barusan. "Pait... pait... pait...."

Lalu Ganda tak sadarkan diri saat mencium aroma ketela bakar kembali.
@IDN_Horor
@bacahorror
#ceritahorror
#rumahtusuksate

Bab 2 : Dongeng Kala Senja

Beberapa hari kemudian penghuni kos berkumpul setelah pulang kerja. Ganda yang mengkoordinir semuanya sampai harus membuat WhatsApp group.
Setelah terkumpul, wajah mereka terlihat tegang sebelum ada yang buka mulut, kecuali Dirga.
Ganda mengumpulkan mereka di ruang tivi di lantai dua yang berbatasan langsung dengan tangga induk. Ruang tivi sekaligus ruang tamu berhias kursi panjang itu, disediakan pemilik kos untuk menerima tamu karena larangan membawa teman atau siapa pun ke kamar.
Suasananya sedikit mencekam karena lampu yang biasanya terang mulai meredup, dan sebentar lagi modar. Mereka juga menggunakan ruangan kecil itu sebagai tempat curhat. Mulai dari curhatan mengenai bos, teman sekantor, pacar, mantan pacar, dan sekarang cerita horor.
"Kapan kejadiannya?" potong Mario sembari mengerjap dan menatap Ganda.

Sang pencerita sengaja memberi jeda dan penekanan pada jawabannya, "Ti-ga ha-ri yang la-lu." Dia edarkan pandangan, menyeringai.

Tiga orang lainnya mengangguk pelan. Ibnu melongo.
"Udah!" protes Ibnu. "Nanti aku nggak bisa tidur. Bisa-bisa tujuh hari mimpi buruk." Ibnu memicing, merengek sambil menutup telinga dengan satu tangan dan tangan lainnya berusaha menutup mulut Ganda. Namun sial, berakhir dengan tangkisan.
"Buyar! Kalau nanti nggak ada yang mau nampung, mending stop cerita horornya. Cerita yang lain aja! Gosip artis, kek. Makanan... tapi kalau maksa juga, siap-siap aku teror. Siapa pun yang ada di otakku." Ibnu menunjuk hidung Ganda. "Terutama kamu!"
"Lho, kok aku? Semua sepakat, kok. Lagipula tukang ngorok kayak kamu nggak mungkin nggak bisa tidur. Baru juga nempel bantal, udah bablas." Ganda menggeplak pelan kepala Ibnu.
"Mumpung seru, Nu. Formasi juga lengkap. Kapan lagi bisa cerita horor tanpa perlu ngulang?" tukas Ganda dengan senyum lebar sementara Ibnu bergidik ketakutan.
Ganda berminat meneruskan cerita dengan mengedarkan pandangan untuk memperoleh dukungan. Dirga, Zainal dan Mario mengangguk, sementara Ibnu tetap memasang wajah memelas. Menggunakan mata teduhnya guna menarik simpati.
Niatnya, supaya yang lain tergerak hatinya menentang niatan Ganda. Namun, usahanya gagal. Minat mendengar yang lain lebih besar.
"Jadi, beneran pohon itu ada penunggunya?" Mario mengernyit. "Pantas nggak pernah ada buahnya."

Dirga geleng-geleng, "Memangnya mereka itu hama?" tak mampu menahan tawanya.

Mario mengedik. Bibirnya mengerucut.
"Padahal kalau pagi aku sering di situ. Waktu libur atau shift siang. Di situ ada kursi juga, kan? Seingatku nggak pernah diganggu, kok. Apa mereka males, ya?" timpal Zainal sambil terkekeh.
"Ngapain kamu duduk-duduk di situ?" protes Ibnu, masih takut-takut. "Kurang kerjaan banget. Mending tidur di kamar. Selain ada penunggunya, siapa tahu ada ulat. Kan, ngeri!"

"Nggak ada ulat, ah." Zainal tidak terima. "Masa cowok takut sama ulat? Takut itu sama Allah."
"Alhamdulillah," ledek Ibnu sambil menengadah sarkas, ditimpali tawa yang lain.
"Terus kenapa duduk-duduk di situ disebutnya 'kurang kerjaan'? Kamu nggak tahu, ya, kalau di situ sinyal lumayan kenceng. Coba aja kalau nggak percaya," Zainal berhenti sejenak, menelaah.
"Tapi kalau dengar cerita barusan, nggak bakalan lagi aku mau duduk-duduk di situ. Apalagi sendirian. Bisa-bisa ketemu beneran sama si anu, terus kerasukan. Amit-amit."
Kernyit di kening Mario terlihat kembali. "Bisa jadi karena bantuan penunggu pohon, sinyal di situ makin kuat. Aku pernah dengar kalau mereka bisa memancarkan sinyal-sinyal aneh dan kadang nggak kebaca sama kita. Semacam penguat sinyal."
"Teori siapa itu?" tanya Dirga dengan wajah datar. Suaranya yang berat cukup mengganggu kenikmatan berkhayal Mario.
Mario mengulurkan tangannya sambil cengengesan. Dirga yang tampak enggan, meraih tangannya. "Kenalkan nama saya Mario Einstein. Penemu penguat sinyal tenaga hantu. Kalau berminat, bisa hubungi saya di nomor telepon yang saya kasih tadi. Asal Bapak tahu, senin harga naik."
Tidak ada tawa keluar, kecuali dari mulut Mario. Garing. Anjg.

"Itu teori relativitas. Beda! Pemerintah nggak mungkin keluar M-M-an buat bangun pemancar tenaga makhluk astral," ejek Dirga setengah serius.
"Memangnya yang bangun tower itu pemerintah? Bukannya swasta?" tukas Ibnu dengan wajah polos dan mata berbinar.

"Sttt... berisik!" tangan Dirga terulur membungkam mulut Ibnu yang sejak tadi protes.
Setelah Dirga menarik tangannya, Mario yang biasanya senang berkelakar, mengulangi perkenalannya dengan suara renyah dan tawa pun pecah kembali. Lalu berhenti saat Ibnu memekik.
Dia melihat penampakan berambut putih, terurai, muncul dari tangga rumah induk. Sesuatu atau seseorang itu terdiam di pojok tangga. Ia tampak menakutkan saat mengawasi mereka yang belum sadar akan keberadaannya.
"Sekarang sudah malam. Kalau ngobrol jangan keras-keras. Ganggu yang tidur," kata Eti, pemilik kos yang sudah berumur enam puluh tujuh tahun.
Ia, yang selalu membanggakan pencapaian usianya di atas enam puluh lima tahun, dan bagaimana kehidupan yang keras membentuknya. Namun ironis sebab beberapa kali penghuni kos mendengar keluhannya. Mulai dari dengkul kopong, gampang lelah, dan susah tidur.
"Iya, Bu. Maaf."

Tangan Dirga terulur mematikan tivi yang sudah tidak mereka tonton sedari tadi. Satu persatu berdiri. Mereka menatap Eti sebentar, dan cerita horor pun tamat.

"Selamat malam, Bu." Ganda yang dituakan dalam grup, mewakili pamit.
Eti mengangguk dan menuruni tangga induk dengan langkah hati-hati karena takut terperosok. "Jangan lupa matikan lampu ruang tamu. Hemat energi, hemat biaya."

"Kayak iklan, ya?" gumam Ibnu sembari memutar bola matanya ke arah Ganda.
"I-iya, Bu Eti," jawab Ganda, mewakili teman-temannya yang sedang menahan tawa. Ganda mendelik supaya Ibnu mengembalikan bola matanya ke posisi semula.
"Kirain kuntilanak muncul dari tangga. Untung aja aku nggak refleks jerit-jerit manja begitu tahu ada muka keriput, rambut putih, berdiri di pojok situ," kata Ibnu santai saat memutar kunci kamarnya. Dia berdiri sejenak di ambang pintu dan meneleng ke arah Ganda.
"Nanti kalau Bu Eti dengar omonganmu, terus balik ke sini, mampus kau," urai Ganda menahan tawanya saat membuka pintu kamar lalu masuk.

"Nggak mungkin!"
"Tapi masih ngerian ketemu Bu Eti daripada ketemu mbak kunti." Ganda tersenyum jail. "Hati-hati ya, Nu. Kalau kamu nggak bisa tidur, bisa-bisa mbak kunti yang temani kamu. Periksa kiri-kanan dulu, terutama guling, takut kalau sampai ada rambutnya."
Ganda melongok dari dalam kamar, tertawa, dan melesak kembali setelah berhasil menakut-nakuti Ibnu yang memaki dengan berbagai macam nama binatang lalu membanting pintu kamarnya.
"Jangan lupa cuci kaki, cuci muka. Kalau perlu mandi, terus doa sebelum tidur. Sikat gigi juga, selain nggak bau naga, biar nggak diganggu sama yang nggak kelihatan. For your information, mereka sukanya sama yang jorok-jorok,"
terang Zainal sambil melangkah menuju kamarnya yang berada tepat di sebelah ruang tamu.
"Bawel!" repet Mario dari arah belakang, mengikuti langkah Zainal dengan lambaian tangan mirip ibu-ibu yang akan pergi ke pasar.
"Itu beneran. Jangan lupa doa sebelum tidur biar tidurnya enak dan nggak mimpi buruk," sambung Dirga saat memutar pandangan kepada mereka berdua yang berdiri terpaku.
Tentu saja, Dirga tidak dapat menghindari tatapan mencemooh dari Mario, sementara Zainal tertawa penuh kemenangan.

"Tambah satu lagi emak-emak rempongnya. Mana ada sih yang ganggu orang ganteng? Yang ada malah mereka terpukau dan nggak mau pergi. Minta kelon atau―"
"Kalau ngomong jangan sembarangan," potong Zainal, sebelum pintu menelan sempurna tubuhnya. "Tapi boleh deh, aku aminin. Amin...."
"Iya, amin," sambung Mario jail. Dia tirukan tawa setan seperti di film-film horor. Tawa melengking. "Dasar penakut! Siapa tahu mereka memang mau kenalan sama kita. Lumayan kan punya sahabat pena dari dunia lain. Anti mainstream."
"Amit-amit. Kenalan sendiri aja sana," balas Zainal samar dari dalam kamar.
Kunci kamar Dirga terputar dan melesakkan tubuh jangkungnya. Dia berdiri sejenak sambil mendengus kesal.
Lalu membungkuk, mengintip melalui lubang kunci yang menembus langsung pintu depan. Pintu kamar Mario. "Jangan ganggu kita. Kita juga nggak ganggu kamu. Dunia kita beda. Mario tadi cuma bercanda. Jangan dianggap serius."
Dirga memutar tubuhnya pelan. Dia melangkah dan mengeluarkan laptop dari dalam lemari pakaian, menyalakannya di atas kasur sembari menyingkirkan dua buah bantal dan guling dari pandangan supaya tidak terbuai alam mimpi.
Malam ini, Dirga terpaksa lembur karena ulah Ganda yang menyuruhnya pulang cepat, sambil berharap tidak terjadi apa-apa sama Mario.
@bacahorror
@IDN_Horor
#ceritahorror
#rumahtusuksate

Bab 3 : Terundang

Di dalam kamar berpenerangan lima watt, Mario menanggalkan pakaian dan menyisakan celana dalamnya saja.
Meski hitam manis dan berpenampilan gagah bak pesepak bola, tidak banyak yang tahu kalau Mario jarang mandi. Bayangkan saja aromanya? Curut. Saat ditanya alasannya, kata Mario mandi malam bisa bikin masuk angin, dan tuanya jadi gampang reumatik.
Setelah mendengar jawaban itu, teman-temannya menyerah dan sebisa mungkin menghindari masuk kamar Mario. Bahkan saat Ganda menceritakan pengalamannya bertemu genderuwo, dia minta Mario untuk jaga jarak.
Untungnya, Mario tidak gampang tersinggung, padahal Ganda sengaja melakukannya.
Tanpa menyingkirkan pakaian yang tergeletak di lantai, Mario merangkak naik ke kasur. Dia tarik selimut dan rebahan. Dihidupkannya waker dan bersiap menjelajahi alam mimpi.
Lama-lama, mata Mario tinggal separuh. Di antara tidur ayam itu, Mario merasa telapak kakinya seperti ditiup. Bukan udara hangat, melainkan hawa dingin. Persis semilir angin di pagi hari.
Sembari membetulkan posisi selimut, Mario mengerjap. Merasa seperti ada yang ganjil, dia memicing untuk memastikan sosok samar berdiri di pintu kamar. Kantuk Mario mendadak lenyap.
Dia kembali berbaring, menatap plafon kamar sambil berpikir. Jantungnya berdebar tak keruan. Mario dilema. Selimut sedada bakal memamerkan kaki jenjangnya saat dia tarik sampai ke muka.
Dia tak bisa membayangkan kalau sampai kakinya ditarik sosok itu, atau menggelitikinya. Alhasil, Mario hanya mengubah posisi tidurnya. Miring, menghadap tembok.
Saat itulah, dia mendengar kikikan, menyusul gumaman. Gumaman serupa orang mengucap mantra.

Etan-Kulon-Kidul-Lor. Ewang-ewangono ingsun nandang... suara itu timbul, tenggelam.
Mario ketakutan. Giginya gemeratak. Dia merasa kasur di belakangnya seperti tertumpu beban. Tengkuknya ditiup. Dia merinding. Tiba-tiba, gumam itu menipis lalu senyap. Mario yakin sosok itu sedang berbaring di balik punggungnya.
Ingin rasanya Mario terpejam, tapi bola matanya seperti dipaksa terbuka. Seperti ada jari yang menarik kelopak matanya hingga maksimal. Bahkan kepalanya seolah diminta berputar supaya mereka bisa bersitatap. Tidak lama setelah itu, hidung Mario mengerut. Aroma anyir tercium.
Allah, Tuhan kami. Raja dari segala raja. Engkau yang memiliki kuasa dan kehendak atas apa yang terjadi di dunia ini. Engkau... doa Mario belum tuntas saat satu entakkan berhasil membalik badannya. Atau sebenarnya, dia sendiri yang ingin mengakhiri ketakutannya.
Untuk pertama kalinya dalam hidup, Mario menamatkan wajah pucat tanpa senyum itu. Mulutnya lebar. Menganga.
Bersamaan dengan penampakan itu, Mario seperti disetrum. Tenaganya mendadak penuh seperti di-charge ketika beranjak dari kasur.
Dia berlari sekuat tenaga. Beruntung, kamarnya tidak sedang terkunci, jadi Mario bisa keluar kamar dengan mudah, menyeberang, dan mengetuk kamar Dirga yang masih menyala.
"Sebentar!" pintu kamar terbuka setelah terdengar bunyi anak kunci berputar. Tanpa menunggu izin dari pemilik kamar, Mario melesak masuk. Bulir keringat tercetak di keningnya.
Sedikit enggan karena aroma curut mulai tercium, Dirga terpaksa menyilakan Mario duduk di kasur, dan menawarkannya minum. "Tarik napas, buang! Ntar lupa napas malah bikin repot."
Mario berencana mengumpat balik, tetapi urung. Teringat teror yang baru saja dia alami, lebih bijak untuk diam daripada diusir.
Sambil menerima uluran minum dan menyesapnya pelan, Mario mengedarkan pandangan. Baru kali ini Mario masuk ke kamar Dirga.
Buku-buku tertata rapi di atas lemari, sementara meja dan kursi yang disediakan oleh pihak kos, dia pergunakan untuk meletakkan alat tulis, celengan, pelembab wajah, termasuk wewangian dan juga laptop yang masih menyala.
Ukuran kamar Dirga sama persis dengan kamar Mario, tetapi terasa lebih lapang.
"Ada apa?" tanya Dirga curiga.

Mario menarik napas panjang, lantas memandangi bagian bawah tubuhnya. Dia sadar ada yang janggal. Sepelan mungkin, Mario gerakkan tangannya untuk menutupi pangkal pahanya.
"Mau diantar ambil baju atau pinjam bajuku dulu?" tawar Dirga.
Mario mengangguk, menepuk pundak Dirga pelan. "Thanks." Aroma curut ketiak Mario saat terangkat memancing senyum kecut di bibir Dirga. "Sori." Mario kempit kembali ketiaknya.
"Kapan terakhir kali mandi?" Dirga membuka lemari pakaian, sementara Mario mengintip dari tempat duduk. Dia pastikan lemari pakaian Dirga adalah lemari pakaian terapi yang pernah dia lihat.
"Pagi tadi aku mandi, ya."

Dirga sodorkan kaus dan juga kolor. Mario gercep menerimanya. "Untung masih satu ukuran, masio (walaupun) perutmu agak gendutan."
"Aku sudah turun tujuh kilo, masih juga dibilang gendutan?!" Mario mendengus sambil menunduk dan memencet lemak perutnya. Kemudian mendongak lagi. "Kok bahas fisik, sih? Nggak sopan!"

"Kurang-kurangin tidur telanjangnya. Kalau ada gempa, repot."
"Baru kali ini aku benar-benar ngalamin." Mario mengindahkan perkataan Dirga, tetapi bersemangat menyelipkan prolog pada ceritanya. "Ada yang masuk ke kamar dan baring di sebelahku. Yang nggak boleh dipanggil namanya."
Mario berpikir sejenak. "Benar kata Ibnu tadi. Semua ini gara-gara cerita horor karangan Ganda, jadi kebawa mimpi buruk!"
"Mimpi ketemu sama cewek wajahnya pucat, rambutnya panjang, terus mulutnya mangap?"

"Kok tahu?"

"Asal nebak. Di film-film horor kan begitu penampakannya."
Sembari bercerita, Mario mulai mengenakan pakaian pinjamannya. "Tapi kayak bukan mimpi, lho. Orang aku pas keluar kamar dia masih tiduran di kasur. Pokoknya serem."
"Itu tadi mbak kunti. Kamu juga, nantangin segala." Dirga mendaratkan pantatnya di kursi, membelakangi Mario.

"Nantangin gimana?"
Tangan Dirga meraih tetikus, mematikan laptop, lalu berbalik memandangi Mario yang sedang kebingungan. "Sebelum masuk kamar, kamu tadi sempat ngomong kalau mau ketemu sama mereka, kan?"
"Tadi itu cuma bercanda!"

"Memangnya mereka tahu?"

Wajah Mario mendadak pias. "Terus gimana, dong? Masa malam ini aku harus pindah tidur ke kamar kamu? Kan, sungkan!" Akal bulusnya keluar.
"Enak aja. Selain aku nggak mau ada orang lain di kamarku, kamar ini juga sempit kalau buat berdua. Baumu juga asem!"

"Janji bakal mandi, deh."

"Nggak mau!"

"Pelit amat. Terus gimana?"

"Tau."
"Please...." Mata Mario mulai berkaca-kaca.

Dirga merenungi nasib temannya itu. Iba. "Tapi ada syaratnya."

Mario mengangguk-angguk, dan tersenyum lebar.
"Pertama, jangan bilang siapa-siapa kalau aku mau bantu," lanjut Dirga. "Resep ini turun temurun dari keluargaku."

"Turun temurun?"

"Kedua, jangan banyak tanya!"
Mario memasang tampang pasrah. Sekilas, dia lirik laptop Dirga yang sudah mati. "Apa lagi? Kamu nggak lagi ngomong pakai bahasa kalbu, kan?"

Seringai tak bersahabat muncul di wajah Dirga.

"Maaf," imbuh Mario pelan. Sedikit menunduk.
"Mulai besok, kamu harus cuci kaki, sama cuci muka kalau dari luar. Sama bersihin ketekmu yang bau busuk itu. Mandi biar aura jeleknya pergi. Mereka suka sama yang auranya gelap."
"Mentang-mentang kulitku gelap, terus kamu pikir auraku gelap juga? Menghina!" Mario berdiri dan meninju pelan bahu Dirga agar menarik perkataannya.
Namun, Dirga tidak tertawa apalagi marah mendapati reaksi Mario. Dia tidak sedang bercanda.

"Oke, maaf." Mario melipat tangannya di dada. "Boleh dilanjut. Aku akan diam dan pasang telinga baik-baik."

"Ketiga, kamu mau tahu sosoknya seperti apa? Aku bisa bantu," canda Dirga.
Mario menggeleng cepat. "Nggak usah. Makasih."

"Terus, kamu punya sapu lidi di kamar?"

Mario mengernyit. "Buat apa ada sapu lidi di kamar segala? Kan bisa pakai sapu rumah biasa?"

"Bukan buat nyapu, tolol. Tapi buat ngusir kuntilanaknya, Mario Lambreta."
"Mario Larnbeta. Bukan Lambreta, bencong salon," ralat Mario, memicing.

Dirga melebarkan bola matanya. "Ya. Larn-be-ta!"
"Jangan emosi, ah. Guyon, Dirga, guyon...." Ganti Mario yang terkekeh. "Dan aku bisa pastikan nggak ada benda itu di kamarku." Mario tambahkan gelengan untuk mempertegas keterangannya.
"Apa nggak ada jimat gitu? Kayak di film horor. Atau, tulis-tulisan di kertas dimasukin botol terus digantung, misalnya?"
"Ulangi lagi omongamu!"

Kesabaran Dirga sudah diambang batas. Cepat-cepat Mario mengembalikan suasana hati temannya itu. "Sori... buat apa sih benda-benda itu?"
"Kalau kamu punya sapu lidi, kebas ke seluruh kamarmu. Mirip ngusir ayam masuk rumah. Kalau nggak ada sapu lidi, ada gunting atau paku di kamarmu?"
"Dirga, please. Aku kerjaannya jualan sepatu, bukan tukang bangunan. Apalagi penjahit," balas Mario galak.

"Mereka takut sama benda-benda tajam, goblok!" tukas Dirga pedas.

Bola mata Mario membulat. "Oh... begitu."
"Ada?" Dirga memastikan.

Mario menggeleng. "Bisa nggak, kalau kamu ke kamarku aja buat ngusir mereka? Biar nggak ganggu-ganggu lagi?"
"Mana bisa." Dirga benar-benar kesal mendengar permintaan Mario.
"Kalau aku bilang kuntilanaknya sudah pergi dari kamar kamu, gimana? Tadi itu, dia cuma mau kenalan. Ini aku sekalian bilang ya, jangan ngomong sembarangan lagi. Apalagi nantangin. Bisa-bisa mereka datang tapi nggak mau pergi. Mau?"
"Serius?"

"Serius buat apa? Kalau kuntinya sudah pergi, iya. Kalau nantangin, iya banget."

Mario berdecak kagum. "Kamu bisa lihat mereka? Keren banget."
"Kadang-kadang aja," koreksi Dirga.

Gurat di wajah Mario masih menunjukkan ketidakpercayaan.

"Ya, bisa lihat. Sedikit. Kalau mereka mau memperlihatkan diri."
Mario mendekat, penasaran. "Kira-kira, di kamarmu ini ada penunggunya, nggak?"
Dirga menggangguk. Air mukanya begitu tenang saat menatap Mario yang mendadak panik. "Di mana?" Mario melipat kedua tangannya di dada sembari mengawasi tiap jengkal kamar Dirga yang mungkin menampakkan hal ganjil berikutnya.
"Dia ada di sebelahmu waktu kamu duduk tadi. Sekarang dia sudah geser."

"Bercanda, kan? Nggak lucu!" Mario tertawa kecil, meremas tengkuknya.
Jari telunjuk Dirga terarah kepada sosok tak terlihat, di posisi duduk Mario sebelumnya. "Dia tadi yang ada di kamarmu, rambutnya panjang, kan? Sekarang dia lagi nunduk di kamar ini, terus―"

"Stop it!"
"Nah, karena sudah nggak ada mbak kunti-nya di kamarmu, mendingan kamu balik sana. Di sini malah ada penunggunya...."
Mario geleng-geleng. "Paling nggak, di sini aku nggak bakalan ketakutan sendirian," potong Mario cepat sambil memutar kunci pintu kamar Dirga. "Anterin aku ke kamar mandi!"

"Ogah."
"Kamu mau nyium ketekku semalaman?" Mario mengangkat lengannya tinggi-tinggi.

"Siapa juga yang ngizinin kamu tidur sini?"
"Apa kamu mau aku nggak tidur semalaman terus besoknya kena jantung soalnya minum kopi seharian biar nggak ngantuk di toko?"

"Teori dari mana itu?"
Mario menggerakkan alisnya. Berniat bercanda, tetapi dia lebih memilih wajah mengiba daripada tawa. Terpaksa Dirga berdiri mengantar Mario ke kamar mandi karena kasihan. "Thanks. Malam ini aja biar aku tenang dulu. Besok aku bakalan ngelakuin apa yang kamu saranin tadi."
Pergerakan mereka ke kamar mandi bawah tergolong cepat. Lima belas menit berlalu, Mario keluar dari kamar mandi dengan wajah segar.
Dia mandi, dan benar-benar menggigil sampai cepat-cepat melangkah kembali ke kamar Dirga dan bergelung di sana. Untung kasur yang disediakan pihak kos masih muat untuk dua orang.
Mario semringah saat berbaring dan menggesek-gesekkan kakinya di seprai, lalu merentangkan kedua tangannya.

"Ngapain?" tanya Dirga.

"Sini aku peluk sebagai tanda terima kasih."

"Najis!"
Mario memasang tampang pura-pura kecewa. "Awas aja ya, kalau nanti malam minta ndusel."

"Setan!"

Mereka terbahak.
Karena cukup mengganggu, Dirga perhatikan kembali sosok yang sedang memeluk Mario dari arah belakang. Sosok itu sepertinya sadar diawasi sedari tadi. Dia memicing ke arah Dirga. Dirga balas menegur dalam hati. "Keluar dari sini, kami mau istirahat. Tempatmu bukan di sini."
Sosok itu pun lenyap, kemudian Dirga berbaring di sebelah Mario. Mereka sama-sama menatap langit-langit kamar.

"Kamu percaya kalau Ganda bisa lihat genderuwo?" tanya Mario asal.

"Memangnya kenapa?"
"Aku sempat ragu." Mario mendesah. "Reaksinya terlalu santai. Sekarang aja dia bisa tidur nyenyak di kamar. Sampai aku baring di kasurmu tadi, aku ngerasa masih ada yang ngikut. Beberapa kali tengkukku kayak ditiup."
Mario mengganti posisi tidurnya dengan membelakangi Dirga. "Ah, sudahlah. Aku mau tidur cepat. Makasih banyak sudah diizinin tidur di sini."
"Malam ini aja."

"Iyo."
Dirga ikut mengubah posisi tidurnya. Mereka saling membelakangi. Kemudian dia tatap pintu kamar seolah punya kemampuan menembus tembok atau kayu. Sosok itu masih berdiri di sana.
Perasaannya tak enak. Dia menyesal memberi saran kepada Mario untuk mengusir makhluk tak kasat mata itu.
Dia sadar terlalu berbahaya membeberkan sekelumit jati dirinya, berkenaan dengan kemampuannya melihat hantu. Untung Dirga sadar dan berhenti sampai di situ.
Sebab kalau diteruskan, Mario akan tahu dia memiliki kemampuan untuk mengundang ataupun mengusir mereka yang tak kasat mata.
@bacahorror
@IDN_Horor
#ceritahorror
#rumahtusuksate

Bab 4 : Embusan Kabar

Dirga sempat mengangguk kecil ketika melewati bapak kosnya―Suyitno, yang sedang duduk di bawah pohon mangga.
Sebagai satu-satunya tanaman yang seharusnya berbuah, pohon itu hanya pantas disebut sebagai penghalau panas karena rimbun daunnya. Tidak ada fungsi lain selain daun keringnya menjadi sampah menggunung di musim kemarau, dan meresahkan penghuni kos ketika musim ulat daun datang.
Mengerikan.
"Saya berangkat ke kantor dulu ya, Pak," pamit Dirga. Suyitno tak acuh selagi memandang ke kejauhan.

Saat pintu pagar berderit, barulah Suyitno menyadari keberadaan Dirga. Dia memicing, mengingat-ingat sesuatu atau seseorang.
"Tunggu sebentar!" Suara serak Suyitno melambung sembari beranjak dari tempat duduknya. "Saya ada perlu sama kamu." Dia berjalan pelan sambil memegangi pinggang. Encok. Tak lupa, Suyitno cangking peralatan mengepelnya.
"Ada perlu apa, Pak?"

"Tunggu... sebentar," ulang Suyitno.
Setelah jarak mereka menyempit, Suyitno mengulum senyum. Menarik kulit di sekitar mata. Cekungan kelopak matanya begitu serasi dengan batok kepalanya yang kecil, beruban, dengan gigi utuh dan keriput di sana-sini. Jelas, usia Suyitno tidak lebih muda dari Eti, istrinya.
Akan tetapi, Suyitno tidak pernah menyombongkan diri. Hanya kelakuannya cukup absurd. Dia senang bicara sendiri. Dirga pernah menjumpai Suyitno mengobrol dengan bayangan mirip makhluk tak berwujud yang tidak disenanginya ketika muncul. Wewe.
Selain hampir setiap pagi berdiam diri di bawah pohon mangga, Dirga juga hapal kebiasaan Suyitno yang lain. Bapak kosnya itu akan menyapu seluruh lantai rumah, menata pot tanaman yang digeser untuk kesekian kalinya meski hanya se-senti, lalu mengepelnya.
Kalau boleh jujur, tidak perlu lah mengepel lantai segala. Karena selain warna lantai terasonya sudah kusam, dia juga mewajibkan setiap penghuni kos membersihkan sepatu lebih dulu di keset yang disediakan sebelum masuk rumah.
"Semalam saya dengar ada yang mandi. Siapa, ya?"

"Oh, itu... yang mandi Mario, Pak."

"Ada apa mandi malam-malam?"

"Bau!"
Suyitno terpingkal mendengar jawaban Dirga. Sementara Dirga kebingungan menentukan sikap. Ikut tertawa atau diam. Dia tidak tahu, bagian mana dari kalimatnya yang bisa dianggap lucu oleh Suyitno. Mungkinkah, bau?
Tiba-tiba Suyitno berhenti tertawa. Wajahnya kembali datar. "Saya kira ada sesuatu yang perlu saya tahu dari kalian. Ternyata cuma bau, ya?"

"Iya, Pak"

"Kalau memang ada yang perlu kamu tanyakan sama bapak, langsung tanya saja. Bapak pasti jawab."
"Baik, Pak." Alis tebal Dirga saling bertaut. Memangnya mau tanya apa? "Kalau begitu, saya permisi dulu. Takut telat ngantor."

"Iya, hati-hati di jalan."

"Terima kasih, Pak."
Dirga memperlihatkan ketergesaannya saat menggeser pintu pagar besi, dan menutupnya kembali dengan kekuatan penuh. Dia sempat memandang ke arah Suyitno yang masih berdiri terpaku, lalu memandang pohon mangga di sebelahnya.
Sesuatu yang tidak asing membetot perhatiannya. Dia merasa sesuatu itu sedang menguping dari celah-celah daun yang rindang.
"Nak...." Sebelum Dirga benar-benar pergi, Suyitno berhasil menghentikan langkahnya kembali. "Benar tidak ada yang kalian sembunyikan dari bapak?" Suyitno merevisi kalimatnya, "Benar tidak ada yang kamu sembunyikan dari bapak?"

"Tidak ada, Pak."
Dirga berjalan cepat meninggalkan tempat kos. Mengobrol langsung dengan Suyitno selalu membuatnya tergagap. Dirga merasa ada sesuatu yang salah di tiap penggalan kalimat Suyitno, sedari dulu sampai sekarang.
Kalau ada yang tanya: apa ada yang kamu sembunyikan dari saya? Seharusnya pertanyaan itu ditujukan kepada Suyitno, bukan sebaliknya.
Dari balik punggung Dirga, dia merasa picingan Suyitno tak juga mau pergi. Dia terus mengawasi Dirga sedari menutup pintu pagar sampai berjalan menjauh dari gang yang menghubungkan jalanan utama dengan rumah kos yang tampak berdiri sendirian itu.
#
Tiba di pertigaan jalan dan akan menyeberang, Dirga berhenti sejenak dan menengok. Dia amati satu-satunya rumah yang menguarkan hawa tak enak. Rumah tusuk sate.
Tempat kosnya itu bukanlah rumah satu-satunya di kampung. Namun, karena empat rumah lain berhadap-hadapan dan berjarak, otomatis rumah kos itu seperti berdiri sendirian.
Dirga sempat merinding ketika dari jauh melihat genderuwo dan kuntilanak berdiri di sebelah Suyitno yang sedang mencengkeram pagar. Mereka saling tatap.
Kembali melangkah, pikiran Dirga mulai bercabang. Dia merasa ada yang tidak beres. Entah dengan dirinya atau rumah kos itu. Biasanya, setelah Dirga mengusir makhluk tak kasat mata, mereka tidak akan muncul kembali.
Namun kali ini, mereka seperti terpasung di area kos. Dia merasa kalau terus-terusan seperti itu, bisa-bisa tempat kosnya menjadi sarang bagi mereka.
Lalu, dia ingat pesan Mbah Putri, neneknya: jangan terlalu dekat, jangan juga menjauh dari mereka. Ada kalanya mereka membantu, tetapi banyaknya merugikan. Terutama bagi yang tidak bisa merasakan kehadiran mereka.
"Hi, cowok. Sendirian aja?" sapa seseorang berhasil memecah konsentrasi Dirga. Dia lirik sekilas, Mario tersenyum dari balik kaca warung Bu Sri. "Sini, sini." Lambaian tangan Mario terjawab dengan gelengan Dirga.
Mario sampai harus keluar dari warung Bu Sri, setengah memaksa. "Sarapan dulu. Aku yang traktir sebagai ucapan terima kasih soalnya semalam kamu nggak mau dipeluk." Mario tekekeh dan membentangkan kedua tangannya lagi.
"Tonjok nih, ya!" Dirga memasang wajah galak, tetapi hanya sebentar karena tidak mampu menahan tawa setelah menangkap Mario sedang membasahi bibirnya dengan lidah. Pura-pura sensual. "Makasih tawarannya, tapi aku telat ngantor. Bye...."
"Mas Dirga ganteng," Sri, pemilik warung Bu Sri keluar dari tempat persembunyiannya sambil mengaduk teh pesanan Mario. "Mampir dulu. Ada menu baru. "

"Makasih, Bu Sri. Tapi beneran saya ada briefing. Rapat pagi sama si Bos. Lain kali saja mampirnya."
"Ya, sudah. Hati-hati di jalan. Eh Mas, apa temannya yang satu ini nggak diangkut sekalian?" Sri mengarahkan ekor matanya kepada Mario. "Takutnya mau bon lagi."

"Kalau berani utang, suruh ngosek (membersihkan) WC aja, Bu," balas Dirga sambil lalu.
Wajah Mario sedikit masam saat kembali ke warung Bu Sri untuk melanjutkan sarapan. Sri tidak cepat tanggap, malahan terkekeh. Dia tidak menyadari Mario tersinggung dengan perkataannya, padahal bercanda.

Sri menatap bibir Mario yang mengerucut. "Tersinggung?"
Mario mengangguk. "Nanti Dirga kira saya punya utang beneran."
"Halah...." Candaan Sri selalu begitu. Padahal Mario tidak pernah berutang. Namun, karena hari ini mood-nya sedang bagus, jadi Sri tidak berminat melanjutkan kejailannya. "Iya, deh. Maaf. Dilanjut makannya."
Sri mempersilakan sambil masih mengaduk teh hangat pesanan Mario. Entah sudah adukan ke berapa.
Sebagai satu-satunya jujukan, warung Bu Sri terkenal sebagai tempat mangkal anak-anak kos. Selain murah, warung Bu Sri menyediakan menu sarapan sampai makan malam. Menu yang beda-beda. Di pagi hari, biasanya ada pecel. Siang hari, ayam geprek. Malamnya, soto ayam.
Karena versi anak kos, jadi varian menunya hanya perisa saja alias dari bumbu mi instant. Hanya Ibnu yang jarang ke warung Bu Sri. Duta kesehatan itu lebih baik menenggak air putih dalam jumlah banyak dan beser daripada harus berolahraga untuk membakar lemak.
Padahal, Ibnu tidak ada potongan gendut-gendutnya.
"Mas Dirga tumben melamun sambil jalan?" tanya Sri saat meletakkan teh manis hangat pesanan Mario.

"Mikiran utang saya tadi, mungkin?"
"Ih, kurang kerjaan banget." Sri melangkah menuju lemari yang terletak tidak jauh dari tempat duduk warung. Dia raba radio yang tergeletak di sana, dan menyalakannya. "Yang ada malah saya bantuin jadi debt collector."
Selain penyuka zuppa sup di setiap datang ke pesta kawinan, Sri juga telaten berolah raga. Lebih tepatnya, tidak kenal tempat apalagi waktu.
Geal-geol pantat Sri yang lumayan padat dibalut celana ketat semi legging, seolah menggoda iman siapa pun yang lewat depan warungnya, kecuali ibu-ibu. Jika ibu-ibu mengumpati Sri dengan tatapan mencemooh mereka: dasar gatel.
Maka Sri menangkisnya dengan tatapan balik: janda selalu terdepan. Usia Sri memang sudah tidak muda lagi, tetapi jiwanya selalu bebas. Makanya, anak-anak kos betah berlama-lama di warung Bu Sri. Celotehannya terkadang menjurus ke hal-hal dewasa.
Dengar musik lambada dalam pesta meriah
Dengan gadis yang cantik jelita
Aduh senyum manisnya, yang ramah dan ceria
Dia tawarkan kopi lambada
Hooo... kasihku, aku jatuh cinta
Hooo... asyiknya, dia balas cinta
Genggam tanganku, genggamlah janganlah kau lepaskan
Peluk diriku
Alunan musik dangdut keluaran radio Sri sedikit memekakkan telinga sebelum meleyot, lalu koit. Mungkin letak antenanya kurang pas, tetapi ditepuk berkali-kali pun hasilnya tetap sama. Akhirnya, Sri menyerah.
Dia matikan radio kemudian duduk semeja bersama Mario karena tidak ada pembeli lain selain dirinya.

"Kemarin Bu Eti ke sini," kata Sri tiba-tiba.
Mario tersedak mendengar nama pemilik kosnya disebut. Cepat-cepat dia longgarkan tenggorokannya dengan menggelontor banyak-banyak air teh manis hangat pesanannya.

"Nagih kos saya ke sini juga? Padahal belum waktunya bayar, lho."
"Nggak ada urusan, ya." Kekesalan Sri masih terasa di tiap ucapannya karena radionya rusak. Sementara tangannya sibuk menyisiri rambut ikal besarnya. "Lagian kalau mau nagih di sini, saya sarankan supaya kamu diusir saja dari kos. Apalagi kalau sampai nunggak."
"Tega, ya?" Mario menyeruput mi rasa ayam bawangnya. "Terus ngapain Bu Eti ke sini, Bu Sri?"

"Beli makanan di warung saya, lah."

"Mi, maksudnya?" balas Mario datar.
"Nggak usah diperjelas yang bagian itu. Atau mau saya tarik lagi harga khusus makananmu selama ini, jadi harga normal?"

"Jangan, Bu Sri. Ampun...."
Sri terkekeh lalu menopang dagu dengan kedua tangannya. Belahan dada Sri mengintip, jadi Mario spontan menunduk menatap kuah mi. Sedikit. "Kalau diperhatikan, kamu ini sebenarnya nggak jelek-jelek amat lho, Mario. Jadi artis pun bisa. Kenapa malah jadi tukang sepatu?"
Mario mencebik. "Panjang ceritanya... ah, saya malas cerita yang sedih-sedih."

"Atau, mau saya openi (rawat) saja? Biar kamu tidak sedih-sedih lagi?"

"Nggak usah, Bu Sri. Makasih." Mario terbahak karena bukan pertama kalinya tawaran tersebut Sri berikan.
Karena Mario tidak tertarik, punggung Sri kembali menegak. "Saya tuh heran sama kalian. Kok mau-maunya kos di tempat Pak Suyitno dan Bu Eti. Di rumah tusuk sate itu. Mbok ya cari tempat yang lain. Yang agak jauh sedikit dari mal juga nggak apa-apa, tho?"
"Memangnya kenapa sama tempat kos saya?"

"Lha, kamu nggak tahu sejarah rumah itu?"

"Saya baru nge-kos berapa tahun di situ. Sementara Bu Sri tinggal di sini dari bayi, kan?"
Sri manggut-manggut. "Benar juga."

"Ada sejarah apa dengan rumah kos itu?" tanya Mario penasaran.

"Tapi janji jangan cerita ke siapa-siapa kalau saya cerita ke kamu. Soalnya saya nggak mau dicap ngerusak pasaran rumah kos mereka."
Mario memperlihatkan jari kelingkingnya. "Janji."

"Termasuk ke teman-teman kos kamu!"

Kali ini anggukan Mario terlihat mantap. "Janji!"
Sri melirik ke kanan kiri lebih dulu. Takut ada yang menguping. "Rumah itu dikutuk... Setahu saya dari orang-orang yang pernah cerita soal kos tusuk sate, salah satu kamar jadi tempat bunuh diri, atau minimal orang yang sewa kamar itu jadi gila."
Mario mengangguk sambil mencoba menenangkan detak jantungnya yang tiba-tiba liar. Dia bahkan sampai lupa memasukkan sesendok mi yang sudah siap dikunyah, ke dalam mulutnya. "Kamar yang mana?"
"Pojok."

"Ada tiga kamar pojok, Bu Sri. Yang mana?"

"Saya tahunya cuma sampai situ."
Belum sampai Mario bertanya lebih jauh, ada pengunjung warung Bu Sri yang memesan mi goreng. Mario terpaksa diam. Dia tebak-tebakan sendiri dalam kepalanya. "Satu kamar di pojok, sekarang kosong. Satu lagi punya Zainal, atau punya Ibnu?"
@bacahorror
@threadhororr
@IDN_Horor
#ceritahorror
#rumahtusuksate

Bab 5 : Ketukan

Sembari menenteng peralatan mengepel, Suyitno melangkah ke dalam rumah.
Gerakannya sedikit tertatih. Terkadang dia harus berhenti dulu untuk mengatur napas. Dan tak bisa dipungkiri, usia lanjut jelas menggerogoti kelincahan yang dulu pernah dibanggakannya saat di dunia militer.
Begitu Suyitno tiba di samping sumur tua dan sebelum membasuh tangan di pancuran, dia letakkan peralatan mengepelnya di sisi pojok dapur.
Karena rumah dan sumur Suyitno tergolong tua, jika ingin mengisi wadah pancuran maka wajib menggunakan kerekan. Begitu malam tiba dan tali kerekan tertiup angin, benda itu akan berderit dan memancing tengkuk penghuni kos meremang.
Setelah dirasa bersih, Suyitno masuk ke rumah induk melalui pintu dapur. Atap yang Suyitno dan Eti pandangi setiap hari, menjadi lantai tempat kos. Saat Suyitno tiba di pojok ruangan dekat ruang makan, diperhatikannya Eti sedang duduk di sofa sambil memandangi tangga naik.
"Ada apa?!" tanya Suyitno sedikit keras. Maklum, pendengaran Eti tidak setajam dulu. Sehingga rumah mereka terkadang seperti berada di medan perang saat salah satu menjelaskan sementara yang lain tidak juga paham.
Belum juga mendengar jawaban istrinya, Suyitno akhirnya mendekat dan menepuk pelan bahu Eti. Sempat terkesiap, Eti pun tersenyum dan mempersilakan suaminya duduk.
"Waktu Bapak di depan tadi, ada yang masuk rumah." Tunjuk Eti ke tangga induk. "Apa Bapak tidak lihat?"
"Yang kemarin itu datang lagi? Menyusahkan sekali kalau dia yang datang. Mana tidak mau jawab pertanyaanku." Dia ambil punggung tangan Eti lalu mengelusnya pelan. "Kita butuh yang bisa diajak komunikasi, bukan kunjungan."
"Sepertinya bukan yang kemarin. Kali ini bocah. Aku hapal suara tawanya. Suara larinya."

"Ibu bisa lihat mereka sekarang?"
"Cuma bisa rasa, Bapak. Tuh―" Eti memandangi langit-langit rumah.

"Di atas?" Suyitno ikut menengadah.
Anggukan Eti seperti suntikan semangat bagi Suyitno. "Semoga yang ini benar-benar bisa membantu kita, Bapak. Jangan sampai lepas."
Tangan Suyitno terarah membelai rambut istrinya yang memutih. Kulit tangan mereka serasi, kusut. Keriput di sana-sini tidak juga melunturkan kecantikan Eti di mata Suyitno. Tatapan Eti juga selalu mampu menenangkan suara bariton Suyitno agar tak kentara saat emosi.
Semua itu terkesan romantis. Dulu, sebelum mereka sama-sama budek.
"Aku usahakan buat tanya-tanya lagi kalau dia muncul. Kalau kali ini gagal, aku punya cara lain."

"Cara lain?"
"Aku harus memastikannya dulu." Suyitno mengangguk-angguk sendiri. "Semoga bocah ini bisa bantu kita."

"Bocah?"

"Ya, bocah ini. Eh... bocah itu." Suyitno mengarahkan pandangan ke tangga induk.
Eti tidak mau ambil pusing. Dia lega mendengar harapan suaminya.
Suyitno yang sejak tadi mengelus rambut istrinya, mendadak menghentikan kegiatannya. Dia seperti teringat sesuatu. Dia beringsut ke kamar yang ada di samping ruang tamu dengan langkah tergesa. Penyakit encoknya tiba-tiba lenyap.
Lima belas menit berselang, Suyitno keluar dari kamar sambil membawa beberapa perlengkapan. Dia menyisip di antara tempat duduk Eti, dan naik melalui tangga induk. "Aku pastikan dulu bocah yang di atas. Kamu tunggu di sini saja," pamit Suyitno.
Bola mata Eti mengekori pergerakan suaminya.
Segera Suyitno menjejak anak tangga yang jumlahnya tidak seberapa itu. Ruang tivi penghuni kos adalah tujuannya. Tepat saat Suyitno menyisir ruang tivi, seseorang membuka pintu kamar dan memberi salam: selamat pagi, Pak.
Wajah Ibnu yang menyembul dari balik pintu kamar, terlihat sembap. Nyawanya belum genap. Karena tidak ada tanggapan selain picingan dari Suyitno, Ibnu bergegas menuruni tangga samping.
Seandainya tidak bertemu dengan bapak kos, Ibnu berniat menonton tivi sebentar. Kebiasaan yang dilakukannya saban hari sehabis bangun tidur. Dia tidak berniat ketinggalan acara gosip sehari pun.
Sampai di kamar mandi, Ibnu baru menyadari kebodohannya. Dia lupa membawa peralatan mandi. "Dasar bego!"
Cepat-cepat Ibnu kembali ke atas. Namun, betapa terkejutnya Ibnu karena untuk kedua kalinya dirinya mendapati tatapan tajam Suyitno. Sebab Ibnu yang penasaran, dia melongok ke tangga induk di samping ruang tivi untuk memastikan.
Kemarahan Suyitno cukup beralasan.
Ibnu sempat mengumpat karena terkejut mendapati kemunculan Suyitno dari tangga induk. Mereka sama-sama memekik. Suyitno hampir saja terjengkang.
Beruntung perlengkapan yang dibawa Suyitno tidak betebaran dan jatuh menggelinding di tangga induk. Berkali-kali Ibnu meminta maaf saat pamit kembali ke pasar, tetapi kengerian masih tertangkap jelas di mata Suyitno.
Setelah itu, Ibnu cukup lama berdiam diri di dalam kamar. Dilema. Sampai aroma keteknya sendiri tercium, Ibnu baru beranjak dari sana.
Sembari mengalungkan handuk serta membawa peralatan mandi, Ibnu melirik jarum jam dinding menunjuk angka delapan lebih lima belas menit.
Itu artinya, satu jam lagi dia wajib berada di depan check lock, menyiapkan uang pecahan dan menghitungnya di depan pengawas, serta memeluk erat kotak kasir sambil berjalan menuju lantai satu dari lantai basement.
Setelah itu, seharian Ibnu akan menghadap meja kasir untuk membantu semua orang menghabiskan rupiah demi rupiah dari dalam dompetnya, mengisi trolley dengan barang belanjaan. Sebanyak dan se-konsumtif mungkin.
#
Ibnu sibuk berdendang dan mengetuk-ketukkan tangannya di pintu kamar mandi sebelum perutnya bergejolak. Dia segera mengambil posisi jongkok. PW. Posisi Wenak.
Sayup-sayup terdengar suara bocah tertawa sambil berlari-larian di tangga yang menyatu dengan atap kamar mandi berbentuk terasiring. Lekukan itu mengambil seperdelapan jatah tinggi kamar mandi yang berada persis di atas Ibnu yang sedang berjongkok, tanpa peredam.
Berkali-kali Ibnu menangkap suara langkah naik turun tangga kayu, sampai akhirnya suara itu berakhir di balik pintu kamar mandi. Sepertinya, sang bocah sedang berada di depan sumur tua, dekat tempat cuci baju, di depan kamar mandi.
Sunyi tercipta. Ketidakberesan di luar kamar mandi mengunci pikiran buruk Ibnu. Dia takut ada apa-apa dengan bocah itu. Dia ngeri membayangkan bocah itu tercebur sumur walaupun dia ingat betul sumur tua itu selalu tertutup papan kayu. Tidak mungkin bocah itu kuat mengangkatnya.
"Ganggu orang aja," gerutu Ibnu sambil menguras isi dalam perutnya.
Ketukan pintu terdengar.
Kening Ibnu berkerut. Sebenarnya dia malas mendapati gangguan seperti ini. Sering kali ketika Ibnu jongkok di WC, ada saja orang yang menggedor pintunya. "Sebentar lagi. Belum selesai."
Tidak ada balasan atau sekadar langkah kaki menjauh. Untungnya, Ibnu sudah selesai buang air besar dan tergerak menuntaskan kegiatan pagi harinya yaitu: mandi. Lekas Ibnu menyabuni badannya yang kering berotot.
Dia bersenandung lirih mengusir hawa dingin yang dihasilkan air dalam bak mandi, yang sedingin es saat menyentuh kulitnya.
Tok tok tok....
"Antre!" bentak Ibnu.

Kekehan menelusup halus.
Tangan Ibnu terjeda dalam guyuran. Dia yakin mendengar tawa renyah dari luar kamar mandi. Ibnu cepat-cepat melanjutkan kegiatannya dengan wajah tegang. Bahkan menyabuni mukanya tanpa memejam.
Ketukan pintu terdengar kembali.
"Brengsek! Anak siapa pagi-pagi bikin emosi," Ibnu mengumpat lirih dan berjanji akan memarahi siapa saja yang berani melepas setan kecil di lingkungannya.
Tidak sampai sepuluh menit, Ibnu selesai mandi dan mengeringkan badannya. Sambil membawa peralatan mandi, dia buka pintu kamar mandi cepat dan memasang tampang galak.
"Siapa yang ketok-ketok pintu tadi?" Ibnu ber-monolog. Pandangannya menyusuri dapur yang berada persis di depan kamar mandi, sementara pintu samping menuju rumah induk tertutup rapat.
"Ada apa?" tanya Eti, tergopoh-gopoh membuka selot pintu samping yang menembus langsung dapur bersekat anyaman kawat. Cat rumah berwarna pandan membuat suasana dapur temaram. Ditambah lagi lampu dop berwarna kuning menambah kesan jadul. Perpaduan yang sungguh aneh.
"Ada yang ketok-ketok pintu kamar mandi," jawab Ibnu, setengah protes.

"Siapa?"
"Nggak tahu, Bu Eti. Kalau tahu, nggak mungkin saya tanya. Suaranya masih piyik. Setelah lari-lari di tangga, terus ketok pintu kamar mandi. Padahal saya baru masuk. Baru juga guyur badan sekali, eh diganggu lagi. Anak siapa, sih? Nakal banget!"
"Ibu nggak dengar apa-apa selain suara kamu yang fals waktu nyanyi. Ibu juga nggak terima tamu yang bawa anak kecil. Pelakunya temanmu yang jail itu, mungkin?"

"Maksud Ibu, Zainal?"

Eti mengangguk.
Saat Ibnu tidak sengaja mengintip bagian atas tangga samping, saat itulah dia sadar ada yang berjaga-jaga di ujung sana. Bocah berkepala plontos, cuping lancip dengan lingkar mata hitam dan badan ringkih tak berbaju, sedang melongok ke arahnya.
Sosok itu sempat tersenyum samar sebelum menghilang.
Jari telunjuk Ibnu masih terulur, gemetar.
Di tangga paling atas, hanya dengan delapan langkah menjejak dari urutan paling bawah, maka koridor menuju kamar kos terlihat. Ibnu tertegun mengamati hal yang tidak pernah muncul di siang hari, kepadanya, sebelum-sebelumnya.
Eti refleks mendongak. "Hus! Nggak ada apa-apa di situ. Jangan bercanda! Ora ilok (nggak baik)."
Ibnu bergidik ngeri membayangkan sosok yang menunggunya di atas tangga samping. Sambil memasang tampang memelas, Ibnu menoleh. "Saya boleh lewat tangga induk, Bu Eti? Buat ke atas?" pinta Ibnu sopan. Detak jantungnya seperti meronta-ronta ingin keluar.
"Kamu ini ada-ada saja. Orang sudah dibuatkan tangga sendiri masih juga pakai tangga yang lain," Eti mencibir. Namun terenyuh juga melihat kerjapan memelas Ibnu. "Ya, sudah. Kali ini boleh."
Setelah sampai di anak tangga teratas, Ibnu meluncur menuju kamarnya. Cepat-cepat dia buka pintu setelah mendengar dengkuran Zainal. Setelah pintu menutup, Ibnu baru bisa bernapas lega. Dia sempat lupa doa-doa. Sialnya, ketenangan itu hanya bertahan sebentar.
Tok tok tok....
"Siapa itu?!"
@bacahorror
@threadhororr
@IDN_Horor
#ceritahorror
#rumahtusuksate

Bab 6: Peran Terbagi

Belum habis ketakutan Ibnu mendapati ketukan pintu, tawa renyah menyusul kemudian.
Sebenarnya dia enggan membuka pintu, tetapi Ibnu yakin kali ini pelakunya adalah Zainal. Suaranya seperti dibuat-buat. Karena itulah, Ibnu butuh pelampiasan. Dia butuh korban. Jadi Ibnu putuskan memutar anak kunci dan melabrak siapa pun yang berani mengganggu hidupnya.
Termasuk tuyul sekalipun.
"Brengsek. Pergi sana atau aku hajar!"

Ibnu spontan menurunkan pandangan. Dia bergidik ngeri. Mendadak dengkulnya lemas. Sosok yang dia lihat di tangga, tersenyum di hadapannya. Samar. Dalam satu kedipan, sosok itu berlari menuju tangga samping, lalu menghilang.
Kerikuhan menggigiti benak Ibnu. Pandangannya mendadak kosong. Tangan Ibnu melungsur menutup pintu, kemudian kakinya bergegas menyeberang ke kamar lain. Kamar Zainal.
Sambil menenangkan tangannya yang gemetar, Ibnu mengetuk pintu kamar Zainal. Berkali-kali, tetapi tidak juga mendapat sahutan.
Otaknya membentangkan dua jawaban sekaligus. Zainal mati suri atau pura-pura tuli. Saat Ibnu mendekatkan telinga untuk memastikan, dengkuran halus tertangkap. Paling tidak Zainal belum mati, pikirnya.
Dia ketuk lagi pintu setelah menimang-nimang dalam hati, menjawab pertanyaannya sendiri. "Itu tadi tuyul, kan? Bukan. Itu cuma halusinasi. Tapi...."
Ibnu melirik ke arah tangga sementara tangannya terus mengetuk pintu. Dia benar-benar takut ada yang muncul dari sana dan mengejutkannya. Atau, mencekiknya. Karena sebelumnya jantung Ibnu sudah seperti mau meledak. "Nal, buka pintunya!"
Akhirnya, pintu kamar Zainal terbuka setelah beberapa kali ketukan Ibnu melayang. Lima kali, mungkin. Berikutnya, wajah Zainal cukup mewakili kalau dia sangat terganggu. Mencureng.
"Ada apa ganggu tidur orang pagi-pagi begini?" Zainal menguap sambil garuk-garuk perutnya yang sedikit buncit. Kaosnya menyembul memperlihatkan pusar.

"Aku―"
"Kalau mau pinjam duit, nggak ada. Lagi bokek gara-gara gajian dimajuin bulan kemarin," potong Zainal lalu memicing. "Kamu ini doyan bikin kepala orang nyut-nyutan, ya?" kata Zainal sengak.
Tangannya mulai menjamah ubun-ubun yang sudah seperti sarang burung. Iler terlihat di ujung bibirnya. Sayangnya, bukan iler walet. Iler Zainal tidak bisa dijual. Bau, iya.
Ibnu tampak jengah, tetapi belum bisa menutupi ketakutannya. Bibirnya bergetar seperti orang kepedasan. "Aku nggak semiskin itu buat minjem duit sama teman yang sama-sama miskin kayak kamu. Aku masih punya empati."
Zainal mendengus.
"Dan kalau kamu butuh informasi akurat soal sekarang ini sudah siang atau masih pagi, matahari udah nongol dari tadi. Tuh!" tambah Ibnu sambil menunjuk arah pintu.
"Makanya, jendela kamar itu dibuka lebar-lebar biar ganti udara. Biar oksigen nyampek ke otakmu. Kamar juga nggak ba
"Cerewet!"
Ibnu tahu diri untuk tidak melanjutkan ceramahnya mengenai bau apak kamar Zainal. Kamar Zainal dengan kamar Mario itu 11-12. Bedanya, kamar Zainal masih sedikit lebih manusiawi. Ibnu langsung teringat dengan niatan awalnya saat mengetuk kamar temannya itu.
Dan seharusnya pula Ibnu berterima kasih kepada Zainal karena sekarang dia merasa lebih tenang atas kehadirannya. Akan tetapi, tawa bocah itu seperti terendap dalam liang telinganya. "Kamu tadi nggak dengar ada bocah ketawa, Nal? Atau, ketuk-ketuk pintu kamarku?"
"Nggak dengar apa-apa selain dengar suara orang niat robohin pintu kamarku."

"Heh!"
"Aku tadi mimpi bagus dan hampir makan enak sebelum ada yang kurang ajar bangunin pake gedor-gedor pintu."
"Ngerasa, nggak, kalau kos ini lama-lama angker?" Ibnu acuh terhadap perkataan Zainal sebelumnya. Dia malah melipat tangan di dada sambil meneliti sekitar.
Lagi-lagi, dia merasa seperti diawasi oleh sesuatu atau seseorang. "Kayaknya aku mau pindah dari sini. Lama-lama kok takut sendiri."
"Bagus, lah. Nggak bakal ada lagi yang ganggu jam tidurku. Hidup lebih tenang. Suara berisikmu itu juga bakal hilang. Termasuk, nyanyian fals-mu!"
Ibnu meninju lengan Zainal. Dia tersinggung. "Nggak berisik, ya! Kupingmu aja yang bermasalah."
Jeda mengalun di antara mereka. Zainal bahkan berniat menutup pintu kamarnya kembali karena sudah tidak ada bahan ejekan buat Ibnu. Dia memilih balik tidur karena jadwal kerjanya adalah shift dua. Dimulai pukul dua siang.
"Ini beneran tanya, ya, Nal. Kamu tadi nggak dengar suara ketawa bocah?" lanjut Ibnu.

"Budeg, ya?"

"Jawab aja!"
"Nggak dengar apa-apa, Ibnu Jamil KW 10. Oke? Aku mau lanjut tidur. Permisi." Kali ini Zainal benar-benar menutup pintu kamarnya setelah mendorong tangan Ibnu dari bibir pintu supaya tidak terjepit, tepat di depan mukanya.
Merasa seperti diusir, gurat kekecewaan dan kemarahan muncul berselang-seling di wajah Ibnu. Dia menyesal tidak memasang wajah memelas. Satu hal penting itu terlupakan gara-gara rasa takut.
Padahal, Zainal tidak peduli. Karena menurut Zainal, perpaduan antara sifat sensitif, cerewet dan sedikit kemayu Ibnu kurang pas menemani rahang tegas dan cambang yang bila dibiarkan sehari akan jadi hutan belantara.
Kecuali matanya yang teduh, tidak ada kelembutan pada penampakan Ibnu.
Ibnu berbalik menuju kamarnya yang berada persis di sebelah kamar Mario. Dalam diam, dia terus berpikir. Tidak mungkin ada setan atau jin yang menampakkan wujudnya di siang hari. Meskipun yang dilihatnya barusan sungguh nyata.
Saat Ibnu akan menutup pintu kamar, dilihatnya Suyitno sedang mengendap-endap dari tangga induk. Hari ini sudah tiga kali Ibnu melihat Suyitno sebelum dia berangkat kerja. Sebuah rekor.
Kecurigaan Ibnu membumbung tinggi. Dia tutup pelan pintu kamar, dan mengintip melalui lubang kunci.
Ibnu baru berani buka pintu setelah wujud Suyitno menghilang dari lubang intip. Cepat-cepat dia melangkah menuju jendela kaca di dekat tangga induk. Sekadar melongok.
Dia pijak sisi tangga induk dan susah payah menyeimbangkan diri supaya tidak terlihat pemilik kos, apalagi kalau sampai melakukan gerakan akrobatik alias tersungkur.
#
Setelah berjalan mengitari pintu samping dan tergesa menuju koridor kecil memanjang dan berbatasan langsung dengan jendela kaca tak berteralis, Suyitno akhirnya sampai tempat tujuan.
Di taman kecil, di loteng di dekat kamar seterika, Suyitno berdiri menantang matahari. Dia bawa tembikar dan anglo kecil, ditumpuk, berisi kembang setaman. Sesuatu seperti kain berwarna putih lusuh jadi alas tangannya.
Setelah mengusap wajahnya dengan satu tangan seperti selesai berdoa, Suyitno duduk bersila. Dengan seminim mungkin suara, dia tata perlengkapan yang dibawanya dengan ketenangan luar biasa.
Ketika semuanya sudah siap, Suyitno menunduk. Bibirnya komat-kamit, matanya terpejam. Kedua tangannya melapisi dengkul.
Seolah berhasil melipat waktu, Suyitno labuhkan pandangan ke asap yang mengepul ketika tertiup angin. Setelah yakin pesan yang dititipkan alam sampai, seringai Suyitno terkesan licik, penuh tipuan.
Kembali Suyitno taburkan serbuk di atas anglo, lalu memindahkan kembang setaman dari tembikar ke atas kain putih lusuh.
Dia percepat pegerakan tangannya ketika merogoh serbuk kemenyan dari dalam saku. Menaburkannya kembali setelah Suyitno putar anglonya. Asap kembali mengepul. Kali ini asap yang ditimbulkan lumayan pekat dan seruaknya memenuhi indera penciumannya.
Pergerakan terukur Suyitno hampir khatam saat mengasapi bungkusan kain putih lusuh berisi tanah kuburan dan kembang setaman. Kedua sisinya ditali. Mirip permen zaman dulu. Atau, pocong.
Tengkuk Suyitno seperti ditiup dan spontan dia menoleh. Saat itulah, dia sadar ada yang mengawasinya dari balik kaca.
Sempat tebersit niatan untuk menangkap basah pengintipnya, Suyitno akhirnya putuskan melanjutkan kegiatan mengundang makhluk tak kasat mata itu. Dia berniat melakukan komunikasi dua arah tersebut, secepatnya. Toh, dia melakukan semua ini di rumahnya sendiri.
#
Jantung Ibnu melorot sampai ke dengkul saat Suyitno tiba-tiba menoleh. Untung Ibnu cepat-cepat menunduk dan menyeimbangkan diri sebab hampir terjungkal dari tangga induk karena saking terkejutnya.
Pikiran Ibnu segera menggiring liar alam bawah sadarnya bahwa di dalam bungkusan itu adalah tanah kuburan. Persis yang dituduhkan teman-temannya.
Baru kali ini Ibnu melihat hal yang dia anggap tabu. Selama ini Ibnu tidak percaya perkataan teman-temannya mengenai di malam-malam tertentu Suyitno akan membawa sejumput tanah untuk tatakan, menyalakan hio dan menata bunga di sekeliling sejumput tanah itu.
Dia tata di dekat pagar depan. Ibnu selalu berpikir positif. Suyitno sedang menyalakan aromaterapi. Sementara teman-temannya yang lain mencurigai tanah yang digunakan Suyitno adalah tanah kuburan.
Saat Ibnu menyanggah, yang lain menyerangnya dengan kalimat: sejak kapan ada aromaterapi beraroma hio? Terus, kalau bukan tanah kuburan, lalu tanah apa? Tanah sengketa?
Karena merasa tidak aman, Ibnu berbalik pelan menuju kamarnya. Ber-laku ndodhok (berjalan jongkok) persis abdi dalem kasunanan.
"Pesugihan? Atau, tumbal? Aku harus cepat-cepat keluar dari sini daripada nyawaku melayang," gumam Ibnu, berlebihan. "Ganda harus tahu. Biar dia bilang ke anak-anak yang lain buat pindah. Atau bilang ke bapak kos kalau kegiatannya mengganggu."
Bersamaan dengan raihan tangannya di gagang pintu, Ibnu memeriksa jam dinding di ruang tivi. Dia mematung. Mata memelotot. Jam sembilan? Ya Allah, aku telat masuk kerja.
@bacahorror
@threadhororr
@IDN_Horor
#ceritahorror
#rumahtusuksate

Bab 7: Desus

Lalu lalang kendaraan mulai lengang.
Pengantar anak-anak sekolah sudah balik ke rumah. Para pekerja pun telah mengamankan kendaraan mereka di tempat parkir yang disediakan kantor masing-masing. Bahkan penjual nasi pecel di samping pom bensin mulai beres-beres setelah membungkus sarapan untuk Dirga.
Katanya, itu bungkusan terakhir.
Memasuki kawasan mal yang tergabung dengan hotel, Dirga beberapa kali harus mengangguk saat berselisih jalan dengan petugas keamanan, petugas parkir atau petugas kebersihan. Dirga malas membalas sapaan ketika salah satu petugas keamanan memberi hormat. Dikiranya bendera, apa?
Sebelum-sebelumnya Dirga pernah mengeluh kepada atasan mereka―Sander, tetapi tidak juga berhasil. Dirga malu. Terlebih saat jalan bersama teman-temannya. Mereka selalu berkelakar: ada orang penting! Tuh, semua hormat. Hati-hati, Guys.
Jangan macam-macam atau kita diusir dari mal ini. Dirga tersenyum kecut sambil mendorong jidat temannya itu.
Pintu gerbang menuju parkir rubanah masih dibuka separuh. Baru beberapa langkah memasuki area parkir, Dirga terkejut dan mengumpat merasakan tepukan di pundaknya. Suasana gelap parkir rubanah benar-benar membuat otaknya piknik ke mana-mana.
Terpaku sebagai tersangka, Ganda nyengir dan mundur selangkah untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan. Misalnya, digaplok.

"Lama bener berangkat ke kantornya," protes Ganda tanpa memberi kesempatan Dirga mengomel.
Dirga mengacungkan bungkusan nasi pecel sambil mengurut dada.

Ganda membalas dengan mengangkat ponsel dan mengarahkannya langsung ke muka Dirga. "Nggak baca pesanku?" pungkasnya.

"Hp masih di tas."
Sambil Ganda masukkan kembali ponselnya ke saku, mereka berjalan bersisian. Ganda pastikan lebih dulu apakah Dirga sudah bisa didekati atau sebaliknya dihindari. Saat tidak terjadi balasan "getok kepala", dia merasa keadaan sudah aman.
Lagi-lagi dalam perjalanan menuju kantor Dirga, mereka berselisih jalan dengan petugas keamanan. Dirga memperoleh hormat. Ganda memutar bola mata mendapati hal itu. Dirga berdecak supaya Ganda tidak bicara macam-macam. Dia hanya mengizinkan Ganda tersenyum tipis. Sesamar mungkin.
Setelah petugas keamanan berlalu, Ganda baru buka suara, "Aku kemarin lupa minta surat masuk barang. Manajer areaku kebetulan datang bawa barang dari kantor pusat, terus nggak boleh masuk ke toko sama security mal soalnya nggak bawa surat. Merong-merong (marah-marah) lah dia."
Dirga terkekeh. Kesal sebelumnya menguap. Ganda sudah ketularan Ibnu menggunakan bahasa per-bencong-an. Padahal dulu Ganda yang protes paling keras. Nggak jelas, katanya.
Kantor Dirga berada di rubanah dua. Itu artinya, basement-nya basement. Jadi, semisal ada gempa bumi bakalan jadi yang pertama terkubur. Tidak pula ada jalur evakuasi, kecuali tangga naik atau turun tamu. Kalau dipikir-pikir, kantor Dirga masih mending.
Kantor hotel ada di bawah kantor Dirga. Rubanah tiga. Bayangkan sendiri bagaimana bentuk mereka kalau sampai benar-benar tergencet beton.
Selepas belok dari pintu atm dan berjalan lurus sekitar dua ratus lima puluh meter, mereka wajib menuruni tangga untuk sampai kantor.
Karena jam kantor belum dimulai dan Dirga harus sarapan dulu, mau tidak mau Ganda mesti menunggu di sofa ruang tunggu sambil menebalkan telinga karena telepon dari manajer areanya tidak juga berhenti berdering.
Sembilan kurang seperempat, Dirga persilakan Ganda masuk.
Di kantor manajemen mal bernuansa minimalis dengan pipa besar untuk jalannya air bersih dan kotor, ber-AC sentral, serta berlantai parkit (baca: tidak modal alias menggunakan fasilitas yang ada; seada-adanya), Dirga dan Agus tergabung dalam satu divisi, Business & Development
Dalam divisi tersebut, terdapat lagi sub-bagian. Marketing, promotion, dan tenancy. Kebetulan Dirga dan Agus menjabat sebagai tenancy. Pekerjaan mereka adalah menjadi jembatan antara kebijakan perusahaan dengan keinginan penyewa, begitu pula sebaliknya.
Tempat duduk mereka pun bersebelahan dengan bagian marketing, bersekat. Itu lebih karena jenis tamu mereka berbeda. Jika marketing menerima tamu dengan sebutan tenant dan biasanya wangi, berdandan atau minimal berpakaian sopan, lain halnya dengan Dirga dan Agus.
Mereka kebagian tamu kontraktor, tukang fit in atau fit out, penjaga toko, pengantar tabung gas atau galon. Syukur-syukur bau matahari. Kadang bau apak atau tengik, diembus angin AC sentral, modar.
Pagi ini, Dirga masih sendirian di kantor karena Agus sedang berkeliling sebelum mal buka. Dia bertugas memeriksa keluhan tenant yang belum tertangani.

"Enak suasana kantormu," celetuk Ganda. "Tenang."
Dirga curiga. Tidak biasanya Ganda berlaku manis. Dia hapal kelakuan temannya itu, yang selalu main gim ketika mengurus surat.
"Rumput tetangga selalu lebih hijau," case closed, balas Dirga bijak sambil menulis barang apa saja yang masuk, sementara Ganda menyebutkannya secara global.

"Boleh minta surat keluar barang sekalian? Takutnya diminta juga sama si cerewet."
"Tunggu―" Dirga memotong sendiri kalimatnya karena salah satu accounting bernama Pras, datang dan melangkah ke arah belakang, "boleh, deh. Orangnya barusan datang. Tapi tunggu sebentar, ya."
Selesai Dirga memperoleh tanda tangan bagian accounting yang menjelaskan bahwa tagihan tenant aman, disobeknya dua karbon kopi. Satu untuk tenant, satu untuk pihak keamanan.
"Thanks." Ganda berdiri dan mengangguk kecil ke arah belakang Dirga. Karena Dirga hanya mengebaskan tangan dan segera mengetik laporan, dia tidak sempat memperhatikan seseorang yang disapa Ganda.
Ganda berlalu untuk segera menyelesaikan operasional tokonya. Termasuk, bersiap mendapat teguran dari manajer areanya.
"Dirga," panggil Pras setelah memastikan urusan surat menyurat dengan pegawai toko sepatu dan tas ber-merk dagang LUI, selesai. Dia berdiri di sebelahnya setelah menepuk pelan pundaknya.
"Ya, Mas?"

"Agus ke mana?" tanya balik Pras.

"Hari ini ada jadwal keliling, ada apa?"

"Kamu sudah dengar kabar Irul meninggal dunia? Ada di WhatsApp group."
Dirga menggeleng, mengucap belasungkawa dalam hati. "Belum sempat buka hp." Dia tunjuk ponsel yang tergeletak di atas meja.
"Kecelakaan," imbuh Pras tanpa diminta.
"Dekat sini kejadiannya. Kecelakaannya pas berangkat ke kantor. Pagi banget. Katanya, ada pelatihan khusus pemadam kebakaran sama pihak keamanan, kebersihan, parkir, dan engineering. Jadi Irul berangkat dulu. Anak kantor sudah minggu kemarin, kan? Jadi hari ini nggak ikut,"
Pras berkata tanpa disela tanya-jawab. Bahkan dia jawab pertanyaannya sendiri. Bebas. "Sebentar lagi anak-anak mau ngelayat. Tapi gantian. Mau ikut?"
"Nanti aku bilang ke Agus, ya. Dia saja yang ngelayat duluan. Aku ikut kloter berikutnya, soalnya ada janji sama kontraktor jam sepuluh."
"Oke, itu aja dulu infonya. Sebentar lagi juga bakal dikabarin sama HRD. Sama bawa amplop keliling." Pras berlalu sambil tertawa. "Divisi satu itu selalu telat kalau kasih info!"
Sekembalinya Pras, Dirga sempat merenung. Pandangan Dirga kosong menatap layar komputer. Kabar duka datang sepagi ini, dan Dirga tidak pernah menyukainya.
Kematian bagi Dirga adalah perayaan kesedihan dengan pura-pura tegar. Ingatan kematian selalu membawa kenangan buruk, apalagi setelah kehilangan Mbah Putri. Satu-satunya orang yang dia kira tidak akan pernah meninggalkannya.
Tiba-tiba ponsel Dirga berbunyi. Sebuah pesan masuk. Nama Ganda terpampang di layar.

[Ibnu Jamil KW 10 WhatsApp]

[Apaan?]
[Katanya kos kita aneh. Kapan-kapan kalau kita senggang, dia mau bahas soal ini. Terus aku ketawa, dong. Aku kasih dia emoticon ketawa juga. Dia ngambek kayak biasanya. Misuh-misuh]

[Emang kos kita nggak aneh?]
[Hello... kos kita sudah aneh dari dulu. Kenapa si Ibnu ini telat sadarnya? Dasar lemot]
Jeda berlangsung cukup lama. Dirga kira pesan dari Ganda sudah berakhir. Dia baru saja melanjutkan mengetik laporan saat satu pesan masuk, lima belas menit setelah pesan terakhir Dirga terima.
[Omong-omong, kamu ngerasa ada yang aneh nggak, waktu di kantor tadi? Aku lihat di belakangmu ada yang lihatin terus sampek aku sungkan sendiri. Mukanya pucat kayak mayat. Kayak lagi marah juga. Untung aku cepat kabur]
Meja kerja Irul tepat berada di belakang ruangan Dirga, bersekat sedada, dan harus berdiri kalau mau mengobrol tanpa pindah ruangan. Dirga menoleh sebentar sebelum membalas pesan Ganda.
[Kamu bisa lihat?]

[Lihat apa?]
[Kata temenku, tadi dapat kabar kalau orang yang kamu lihat itu sudah meninggal dunia waktu perjalanan ke kantor. Kecelakaan. Kejadiannya dekat sini. Tabrak lari. Meninggal di tempat]
[Serius?]

[Suer. Ngapain bohong!]

[Anj....]
Pesan Ganda berakhir sampai di situ. Dan karena belum banyak tamu ke kantor, Dirga kembali mendengar bermacam cerita teman-temannya dengan kalimat pembuka: umur nggak ada yang tahu, ya. Padahal anaknya baik. Tahu kalau umurnya cuma segini, kita bisa....
Seingat Dirga, mereka tidak terlalu peduli dengan keberadaan Irul saat masih ada di dunia. Irul memang orangnya pendiam. Pemuja: jam lima teng, go. Alias berangkat dan pulang kerja tepat waktu.
Terus, kenapa mereka tidak mengatakannya sewaktu almarhum masih hidup? Peduli? Kalau sekarang sih, telat!
Karena ingat belum minum air setelah sarapan, Dirga bermaksud ke pantry. Begitu berdiri dan berbalik. Gusti Allah nyuwun ngapuro... Irul ada di belakangnya. Melongok dari ruangannya. Wajahnya benar-benar pucat. Terlihat menahan amarah.
"T-tolong saya," kata Irul. Suaranya gemetar.

"Mas Irul minta tolong ke yang lain saja. Saya tidak bisa nolongin," tolak Dirga.
Irul bergeming saat Dirga melintas. Bisa saja Dirga mengusirnya, tetapi hari ini dia tidak ingin berurusan dengan makhluk tak kasat mata. Terutama arwah teman sekantornya sendiri.
Alhasil, Dirga memilih berlalu ke tujuan awal. Pantry. Saat melirik sekilas, diperhatikannya kepala bagian belakang Irul. Bocor. Darah mengalir. Kepalanya gepeng.
Setelah minum dan sedikit mual terbayang luka Irul, tanpa pikir panjang Dirga kembali ke depan. Dia temukan Irul masih terpaku seolah menunggu mukjizat.

"Kalau mau nyari pelaku tabrak larinya, itu bukan tugas saya, Mas Irul," sambung Dirga.
Raut wajah Irul berubah cepat dari masam menjadi senyuman manis, sementara Dirga benar-benar menyesal telah mengajaknya bicara.
Dirga hanya mendesah saat kembali duduk. "Satu permintaan saja. Itu pun belum tentu bisa saya kabulkan!"
Cepat-cepat Irul berjalan memutari pembatas ruangan berupa partisi. Dia mungkin lupa telah meninggal dunia dan bisa menembus benda padat apa pun di sekitarnya. Lalu, hawa dingin membelai tengkuk Dirga saat Irul berniat berbisik.
"Sebenarnya kalau Mas Irul mau teriak-teriak juga nggak bakal ada yang dengar," tutur Dirga.

Badan Irul menegak kembali. Dia mengangguk paham.

"Memangnya mau minta tolong apa?" imbuh Dirga.
"Minta tolong kasih tahu ke istri saya. Saya minta maaf selama ini sering bikin dia sakit hati. Dan―" Irul mendadak sedih.
Dirga menunggu dengan tidak sabar. "Ada yang salah gunakan bekas darah saya di jalan. Tolong bersihkan sampai benar-benar bersih supaya saya bisa pulang dengan tenang."
"Loh, kok bisa?―"
Tiba-tiba seseorang mengetuk meja Dirga pelan. "Ada apa, Mas?" potong Rifa―salah satu marketing unit menyapanya. "Lagi ngobrol sama siapa?" Rifa celingak-celinguk.
Pelan, Dirga mengembalikan pandangan. Lalu picingan menghakimi Rifa tersemat untuknya. Dia sampai harus menaikkan kedua alisnya.
"Oh, itu... bukan apa-apa. Lagi monolog aja." Dirga mencoba tenang sambil mengulum senyum. "Ada perlu apa cari saya?"
Ini yang Dirga takutkan ketika mengobrol dengan sosok tak kasat mata. Seringnya dia lupa kalau bisa bicara dalam hati. Sekarang ini, Rifa pasti menduga Dirga senang bicara sendiri. Atau, mulai gila?
"Mau minta data punya Bu Anik, pemilik Soto Lamongan. Buat perbandingan lease performance-nya."
Saat Rifa duduk, Dirga pura-pura mengambil map gantung dari filing cabinet yang ada di belakangnya. Dia perhatikan sekitar, Irul sudah tidak ada.

Katanya tadi mau minta tolong?

Dirga berpikir sejenak.
Heh, jangan-jangan Mas Irul mau minta tolong sama Ganda? Waduh....
@bacahorror
@threadhororr
@IDN_Horor
#ceritahorror
#rumahtusuksate

Bab 8: Perasan

Ponsel Ganda hampir tergelincir setelah membaca pesan dari Dirga. Bukan... bukan karena balasan Dirga mengenai Ganda yang bisa melihat arwah. Dia tidak percaya itu.
Menurutnya, Dirga terlalu mengada-ada. Kecuali saat Ganda melihat sendiri wujud genderuwo, atau mendengar makhluk-makhluk lain dari cerita orang yang bisa di-validasi kebenarannya, kemungkinan besar Ganda akan merespon. Ketakutan, misalnya.
Keterkejutan Ganda murni karena tepukan di pundaknya.
Ganda mendongak, berbarengan dengan umpatan spontan untuk seseorang yang mengejutkannya itu. "Eh, setan! Kalau sampai jantungan terus mati di sini, kamu bakalan aku hantui seumur hidup!"
"Yeee... siapa suruh ngelamun? Dipanggil-panggil juga nggak nyaut!" Erna menyusul duduk selonjor di sebelah Ganda. "Saran aja nih, Mas. Jangan suka ngelamun. Ntar kalau kerasukan, semua repot."

"Kerasukan lo!"
Erna terkikik. "Gaya! Pakai lo gue segala. Kalaupun kerasukan gue yang baik hati ini, tenang saja, ada Pak Ade."

"Siapa Pak Ade?"

"Itu, foreman cleaning service. Yang pakai seragam biru, bukan yang hijau. Biasanya bawa HT."
"Bisa apa Pak Ade?"
"Mas nggak tahu? Dia semacam yang baureksa mal ini. Kuncen! Pak Ade udah lama kerja di sini, jauh sebelum mal buka. Istilahnya, yang babat alas. Jadi dia kenal penunggu di sini. Termasuk yang di toilet lantai dasar itu. Bisalah orangnya dimintai tolong kalau ada yang kesurupan."
"Kamu percaya begituan?"

"Gusti Allah emang ciptain dunia ini seisinya. Lengkap. Termasuk ada mereka juga."

"Setan, maksudmu?"

"Jin!"

"K-Pop?"

"Argh...."
Kalau Erna sudah menggeram, itu artinya Ganda harus segera melarikan diri. Sial, Ganda selalu salah langkah. Dia masih terpingkal saat Erna berhasil membekuknya. Serangan Erna membabi buta.
Lengan Ganda sudah seperti samsak tinju. Kadang sampai lebam dan biru-biru kena cubit, dan Erna baru berhenti setelah Ganda mengerang kesakitan.
Seraya mengusap lengannya, Ganda berdecak sebal. Menunjuk-nunjuk muka Erna. "Kekerasan dalam pertemanan. Aku laporkan ke komnas perempuan, ya!"

"Bodo amat!"
Sambil sesekali melanjutkan aksinya, napas Erna terlihat naik turun. Padahal dia tidak habis lari apalagi ketemu hantu. Ketika benar-benar berhenti mencubit, Erna palingkan mukanya ke tumpukan sepatu dan juga tas. Ganda diam. Bingung.
Erna mulai gemetar dan menangis. Dalam hati, Ganda ingin meraih pundak Erna dan meremasnya pelan. Namun hal itu tidak sampai Ganda lakukan karena akan tampak ganjil.
"Nangis, Er?"

"Nggak. Ketawa!"

Biasanya Ganda refleks terbahak mendengar jawaban Erna, tetapi kali ini dia memilih diam. Menunggu sampai Erna tenang atau meninggalkannya sendirian.
Karena terlalu lama mendengar sesenggukan, Ganda memilih memberi ruang buat Erna. Dia berdiri, berniat keluar dari gudang. "Take your time. Tapi jangan lama-lama nangisnya. Kita perlu kerja. Cari duit."

Oh, ya. Reality bites you!
"Mas Ganda." Erna berhasil meraih tangan Ganda sebelum dia pergi, lalu menepuk lantai di sebelahnya. Erna persilakan Ganda duduk kembali. Ganda menurut. "Maaf." Celak Erna ikut meleleh mengikuti usapan tangannya sembarangan. "Yang tadi itu sakit?"
Ganda setengah mati menahan tawa melihat wajah cemong Erna. "Sakit, lah. Coba aku tinju sama cubit lenganmu. Kalau nggak sakit, aku kasih duit segepok."

"Masalahnya ada duit segepoknya, nggak?" kata Erna jail.

"Berani, ya!"
Erna meringis dan memasang tampang tidak berdosa. Untung wajahnya yang bulat masih mendukung kelakuannya itu, meskipun terlihat kurang proporsional dibanding badannya yang terlalu kurus. "Maaf," dia loloskan kata itu lagi. Ganda mengangguk kecil, sekali.
"Kalau mau cerita, cerita aja. Kalau nggak bisa bantu, se-enggaknya aku bisa jadi pendengar yang baik." Ganda berusaha memecah masalah yang sedang menimpa Erna. Apa pun.
Begitulah tugas kepala toko. Selain pusing mengurusi target penjualan, menjalankan promosi dari kantor pusat, serta memastikan operasional toko lancar, dia juga harus merangkap sebagai teman yang baik untuk anak buahnya. Tiga anak buah dengan karakter berbeda-beda.
Erna si mellow. Nindya si ganjen dan pernah dilabrak anak cleaning service karena merebut kekasih hatinya. Dan terakhir Sofi, si galak yang tidak disukai keduanya. Karena hari ini salah satu dari mereka libur, otomatis Ganda masuk kerja full.
Erna meremas tangannya sendiri. Rahangnya mengetat. "Pak Ilyas jahat banget!"

Akhirnya, Ganda paham titik permasalahannya. "Kebiasaan makan orok dari kecil jadinya begitu," jawabnya asal.
Erna mendelik. Untungnya, sebelum Erna mendaratkan kembali cubitan, Ganda berhasil menangkisnya. Dia tangkap dan tangkupkan kedua tangan Erna.

"Sakit, Er!"
"Salah sendiri bikin sebel." Erna memberi kode dengan kedikkan kepala ke kedua tangannya yang tertangkup, tetapi Ganda tidak paham juga. "Terus ya, kalau tanganku nggak dilepas, aku gigit!"

Perlahan, Ganda lepas kunciannya. Erna terdiam. Sedikit sungkan.
"Maklum. Pak Ilyas sibuk mikirin semua toko, termasuk toko kita. Se-Jawa Timur. Dikejar target itu kayak dikejar setan. Belum kalau kita kena complain mal, nyampek ke dia. Wajar kalau kita jadi pelampiasan. Kita bawahan. Coba kalau kita atasan, mana berani dia." Ganda terkekeh.
"Tapi mulutnya itu, lho." Gigi Erna gemeretak. "Masa katanya OB di kantor otaknya lebih encer dari aku? Terus, modal tampang doang jangan kerja di mal, tapi di karaoke aja. Pelecehan kan, namanya! Katanya lagi, perusahaan rugi ngeluarin gaji buat aku, Mas."
"Kadang-kadang emang jahat sih mulutnya."

"Kok kadang-kadang? Tiap kali dia datang, Mas Ganda kan kena omel juga."

"Aku pura-pura budek biar nggak masuk ke hati. Capek. Nggak cukup kalau masukin semua omongannya."
Erna berpikir sebentar. Lalu mengusap sembarangan air matanya yang meleleh. Cemong maksimal. Tersadar tangannya belepotan riasan, mereka kompak tergelak. "Benar juga, ya. Ngapain nangisin orang nggak penting model itu. Capek hati!"
"Aku suka spirit-nya. Kamu―"

"Permisi...."

Keduanya saling bersitatap. Ganda berdiri setelah tawanya reda. "Sebentar lagi toko buka. Kamu touch up dulu. Aku yang ke depan. Paling yang datang tukang sampah."
Bersamaan dengan anggukan Erna, Ganda meraih tempat sampah di dekat pintu gudang, dan berlalu.
Benar saja, tukang sampah mal membawa rubbish bin dan catatan untuk ditandatangani setelah buang sampah, sebagai salah satu kewajiban mal yang tertuang pada pasal service charge.
"Ada orang manajemen meninggal dunia, Mas," kata tukang sampah saat meraih tempat sampah milik Ganda.

"Siapa?"

"Yang biasanya ngurus tiket parkir berlangganan buat karyawan."

"Nggak pernah ngurus tiket parkir berlangganan buat karyawan jadi aku nggak tahu."
"Kecelakaan," sepertinya si tukang sampah malas melanjutkan prolog setelah mengembalikan tempat sampah dan meminta tanda tangan Ganda. Dia gas langsung ke pokok pembicaraan. "Tadi pagi, tabrak lari. Dengar-dengar pelakunya sudah menyerahkan diri ke kantor polisi. Anak sekolah."
Ganda merasakan keringat di bibir atasnya. Tangannya gemetar. Susah payah dia telan ludahnya. Sampai-sampai si tukang sampah memanggil nama Ganda berkali-kali karena tidak juga mengembalikan formulir yang sudah ditandatanganinya.
"Jadi benar omongan Dirga tadi?"
#
Menggunakan mobil operasional kantor dan mobil milik Sander―yang adalah atasan langsung Irul, Dirga bersama kloter kedua pelayat berangkat setelah kloter pertama balik.
Kloter pertama tidak sempat melihat jenazah Irul atau menyalatinya, karena jam melayat sudah ditentukan dan telah habis. Namun, kata Agus sebelum Dirga dan rombongan berangkat, jenazah Irul sudah keluar dari rumah sakit.
Itu artinya, saat mereka tiba di rumah duka, kemungkinan besar jenazah Irul sudah sampai di rumah duka.
Di tengah perjalanan, Sander menyalakan lampu sein dan menepi. Dia tunjukkan tempat kecelakaan Irul. Dirga dan rombongan ikut memperhatikan. Darah yang tertinggal sudah bersih dan hanya ada bekas kembang mawar dan melati yang sesekali terlindas pengendara motor atau mobil.
"Kasihan sekali Irul," kata Sander sambil menyeka air mata.
Dirga ingin tertawa, tetapi niatan itu ditahannya sedalam mungkin. Dia kembangkan terus empati. Dia bujuk hatinya: semua orang pasti sedih kalau temannya meninggal dunia. Sander masih manusia. Dia juga punya perasaan.
Di sisi lain, pikiran Dirga juga memutar berbagai umpatan atau rumor tipis-tipis yang Sander tujukan kepada Irul untuk memuluskan jalannya menjadi oportunis sejati. Demi karier yang menjanjikan.
"Ayo, Mas Sander. Kita jalan lagi. Nanti takut jam melayatnya habis. Soalnya masih ada kloter tiga juga. Kerjaanku juga numpuk." Endah yang dituakan di accounting dan selalu berpikir waktu adalah uang, menghabisi babak drama Sander.
Sander mengangguk dan mobil pun meluncur kembali dengan kecepatan sedang. Mobil baru berhenti setelah sampai di halaman rumah Irul yang cukup luas.
Setelah turun dari mobil, hati Dirga meratap. Kenangan atas kehilangan Mbah Putri menyeruak kembali. Cepat-cepat Dirga menyamarkan kenangan itu supaya dia tidak harus kehabisan napas, apalagi sampai meraung di pemakaman orang.
Selain tidak sopan, dia tidak ingin mempermalukan dirinya sendiri.
Di luar dugaan, sambutan untuk Sander cukup semarak. Orang-orang yang berdatangan untuk melayat Irul, menyalaminya. Tangis Sander terbit kembali dan Dirga benar-benar menahan tawa semaksimal mungkin sembari menyalami balik orang-orang yang sama.
Babak drama Sander masih bergulir saat mereka melangkah masuk ke rumah untuk menemui keluarga Irul.
Begitu sampai di ruangan yang disediakan untuk salat jenazah, Dirga sempat terpaku ketika menemukan arwah Irul menunduk di pojok ruangan. Dekat dengan keberadaan jenazahnya sendiri. Istrinya, sedang membacakan ayat suci untuk Irul.
Datang kesempatan untuk bersalaman dengan istri Irul, Dirga segera mengatakan pesan almarhum. Tangis pun pecah kembali dan Irul mendongak, menatap Dirga. Senyumnya tulus tanpa harus mengucap terima kasih sekalipun. Beda seperti ketika menemuinya di kantor.
Setelah bersalaman dengan pihak keluarga dan air mata hampir menetes setelah mendengar tangis bersahut-sahutan, Dirga keluar dan memilih duduk di kursi plastik di samping halaman rumah Irul. Mencari udara bebas.
Selain rumah Irul penuh pelayat, suasana kematian begitu pekat di pelupuk mata Dirga. Dia tidak sanggup bertahan lebih lama lagi.
"Pak Dirga datang melayat juga?" kata seseorang saat duduk di sebelah Dirga. Ade mengulurkan tangan untuk menyalami Dirga.

"Iya, Pak."
"Saya masih ada silsilah keluarga dengan Irul," terang Ade tanpa diminta. "Ibunya Irul masih saudara dengan Ibu saya. Mereka masih sepupu satu kali."

"Iya, Pak."
"Kasihan sekali Irul ini. Orangnya baik. Memang sedikit pendiam, tapi ramahnya minta ampun kalau kita sudah kenal. Dulu, yang masukin ke mal juga saya. Eh, malah Irul jadi atasan saya," Ade terkekeh dan geleng-geleng sendiri.

"Begitu ya, Pak."
Ade memandang ke dalam rumah. Pandangan nanar itu tertangkap oleh Dirga. "Tapi tenang saja, Pak Dirga. Pelaku tabrak larinya sudah menyerahkan diri. Semoga dia bisa menerima ganjaran sesuai hukum yang berlaku.
Kalaupun tidak, masih ada hukum lain yang lebih adil dari hukum di dunia ini. Betul?" Ade tiba-tiba menoleh. Dirga merasa kagok.
Perasaan tak enak melingkupi benak Dirga saat pandangan mereka saling mengunci. Apalagi saat menemukan Ade tersenyum miring.

"Apa tidak penasaran, kok bisa pelakunya menyerahkan diri secepat ini?" tantang Ade.

"Merasa bersalah?"
"Mungkin saja." Ade melipat tangannya di dada. Kemudian mengangguk-angguk sendiri. "Ini saya jelaskan secara singkat dan semoga Pak Dirga paham. Niat saya cuma membantu ketenangan arwah Irul. Tentu saja dengan cara yang menurut orang-orang tidak lazim."
Keraguan sempat hadir di wajah Ade. Namun dia memilih untuk tancap gas. "Pak Dirga pernah dengar kalau darah dari orang yang meninggal dunia karena tabrak lari, terus kita beri perasan jeruk nipis, maka dia akan mencari sendiri pelaku―"
"Pak Ade!" potong seseorang yang memanggil namanya dari jarak cukup jauh. "Dipanggil Paklik Nar. Disuruh masuk soalnya jenazah mau disalatkan. Makamnya sudah siap."
"Iya, tunggu sebentar," balas Ade sembari beranjak dari tempat duduk. Sebelum pergi, Ade sempat berkata pelan kepada Dirga.
"Tenang saja, Pak Dirga. Saya bukan musuh. Saya tahu kemampuan spesial Pak Dirga. Kita ini sama-sama dianugerahi kemampuan tersebut karena memang pilihan. Selain itu, kita juga berbagi rahasia yang sama."
"Mohon maaf. Saya tidak paham dengan maksud Pak Ade."
"Terima kasih sudah menyampaikan pesan almarhum kepada istrinya Irul. Irul sudah tenang sekarang. Saya lihat dia sudah bisa senyum." Ade sepertinya tidak berniat membalas perkataan Dirga sebelumnya. "Saya permisi dulu."
Ade benar-benar pergi, sementara Dirga kebingungan menelan informasi barusan. Walaupun kedengarannya gila, tapi Dirga tahu Ade tidak sedang bercanda. Satu yang pasti, ada yang mengawasinya selama ini.
Mungkin benar kata Mbah Putri: hati-hati sama orang. Terkadang di balik topeng manis mereka, tersembunyi kejahatan paling keji di dunia.
Dirga sempat berpikir, di balik wajah baik-baik Ade, dengan pembawaan ramah dan sumeh (banyak senyum), dia bayangkan bagaimana tersiksanya Irul ketika Ade melakukan ritual yang dijelaskannya tersebut.
Irul sempat gentayangan mencari pelakunya sampai dapat dan itu sama seperti menggarami luka. Memberi makan nafsu. Oh, pantas saja waktu itu Irul tiba-tiba menghilang. Dia pasti sedang menggentayangi pelakunya.
Dari jauh, sisa senyuman itu masih tampak di bibir Ade. Dirga tidak sanggup membalas pandangan. Selain tengkuknya meremang, hati dan pikiran Dirga berjalan seirama. Mereka perintahkan Dirga untuk berhati-hati. Waspada!
@bacahorror
@threadhororr
@IDN_Horor
#ceritahorror
#rumahtusuksate

Bab 9: Kaki Dua Belas

Memasuki ruang tamu, Dirga menyusul keberadaan Sander, Romi, dan Eka yang sudah lebih dulu mengambil saf untuk salat jenazah.
Sementara pihak perempuan, menunggu jenazah dimakamkan dengan duduk mendengarkan orang mengaji, di selasar samping rumah. Endah sesekali memeriksa jam tangan dan berbisik kepada orang di sebelahnya. Kerjaannya seperti tidak bisa menunggu.
Kiai setempat didaulat untuk memimpin jalannya salat jenazah. Setelah salam dan berdoa, cepat-cepat ia suruh makmum untuk mengangkat keranda jenazah Irul. Sander yang merasa menjadi perwakilan manajemen, ikut mengangkat keranda jenazah di bagian depan.
Wajahnya tersiksa. Urat-uratnya menyembul. Meskipun begitu, dia terkenal suka membantu menguburkan jenazah kerabat, kenalan, tetangga-tetangganya, katanya.
Bersama buyarnya orang-orang setelah salat jenazah, Dirga menemukan arwah Irul sedang berdiri di pojok ruangan. Dia tatap satu arah dengan raut wajah belum ikhlas, serupa arwah-arwah lain.
Seketika Dirga sadar Irul telah mengenakan baju kebesarannya. Berbalut kain kafan bertali di ujung-ujungnya. Kali ini, tidak ada darah merembes di bagian belakang kepala.
Saat mengembalikan pandangan ke keranda jenazah dan bersiap keluar, Dirga menangkap Ade mengangguk kecil padanya. Dirga lupa tidak boleh menarik perhatian orang-orang, terutama Ade.
Dia belum bisa mengategorikan Ade termasuk penghalang atau bisa membantu menyibak misteri yang selama ini dirahasiakannya.
Di halaman depan rumah, orang-orang mulai bergerak begitu cepat. Arwah Irul melayang mengikuti jalannya keranda. Sanak keluarga yang mengenal Irul mengitari bawah keranda jenazah sebelum dipikul menuju makam.
Katanya, untuk meminta maaf kepada jenazah sekaligus melapangkan jalannya ke tempat peristirahatan yang terakhir.
Enam pasang kaki penandu keranda jenazah bergerak, berganti-gantian. Semacam estafet. Lantaran pelayat Irul cukup ramai, jadi makam yang terletak jauh dari kediamannya tidak jadi masalah karena banyak tenaga yang siap menandu.
Di baris depan dengan derap langkah cepat, salah satu kerabat Irul membawa ember berisi beras kuning (campuran perasan air kunyit) dan uang logam yang disebarkan di kiri kanan jalan keranda jenazah.
Menurut kepercayaan, hal itu sebagai amal terakhir dari jenazah. Sementara persis di belakang keranda jenazah, kerabat lainnya membawa sepiring nasi gurih, lengkap dengan ayam panggang dan urap. Ditaruh di dalam tumbu, bersama pisang sesisir dan air dalam kendi.
Endah yang tidak tahu apa-apa, diserahi membawa bunga tabur dan irisan pandan.
Melalui jalanan yang sedikit bergelombang sampai penandu keranda jenazah hampir terpelecok, mereka akhirnya tiba di makam dengan tampilan cukup menyeramkan. Gapuranya hampir roboh dengan cat mengelupas di sana-sini.
Tidak ada pagar membentang, polos beserta rimbun tanaman ekor jago, kamboja, dan berseru dengan tinggi besar pohon kecapi di tengah-tengah pekuburan. Ditambah lagi tanahnya sedikit gersang dan tidak terawat.
Tak apalah. Bukan itu yang Dirga risaukan. Karena setiap kali datang anggota baru di pekuburan, penghuni lama akan bangun satu persatu seolah menyambut.
Di situlah Dirga mempersiapkan diri, mengasah mental. Rupa mereka yang bangkit tidak semuanya utuh. Ada yang wajah dan kain kafannya compang-camping. Ada yang wajahnya tidak terlihat saking gosongnya. Ada juga yang menenangkan jiwa karena memasang senyum di sepanjang Dirga jalan.
Setelah berhasil melewati banyak nisan tanpa nama, berjalan berkelok-kelok karena tidak ingin terjerembab, liang lahad Irul pun terlihat.
Tanah bekas cangkulan berukuran 2,5 x 1,5 meter itu, berlaku seperti sekat untuk mengakhiri kehidupan Irul di dunia sebelum nanti dibangkitkan kembali.
Arwah Irul mendadak kaku. Wajahnya ingin berpaling, tetapi tidak sanggup melakukannya. Kakinya yang tertali seperti dipasung di tempat.
Prosesi pemakaman pun berlangsung setelah penutup keranda jenazah dilepas. Tidak ada lagi tangis karena pantang menangisi jenazah ketika telah dikeluarkan dari keranda dan akan dibaringkan di tempat yang telah disediakan.
Setelah ikamah, lubang kembali diuruk. Kesedihan memuncak terlihat di wajah Irul. Dia dekati tempat peristirahatannya. Seketika dia duduk selonjor, menghadap ke barat.
Irul sempat menghidu kembang tabur dan menikmati doa yang dipanjatkan kerabatnya.

Dipandanginya ayam bakar dalam sepiring nasi, bersanding dengan kendi dan sesisir pisang di sebelah nisan. Dia merasa tidak sanggup menikmatinya. Sedihnya terlalu sesak.
Dia pandangi para pelayat yang hadir, lalu keruh di wajahnya kembali hadir.
Setelah prosesi pemakaman terlewati, satu persatu pelayat meninggalkan makam Irul. Dia sendirian. Arwah lain kembali tidur di tempat masing-masing. Sebagian lagi melanjutkan siksaannya.
Tujuh langkah Dirga meninggalkan makam Irul, dia mendengar raungan. Semakin lama semakin melengking.
"Tolooong...."
Cepat-cepat Dirga melangkah meninggalkan tempat itu.

Untuk kesekian kalinya, Dirga dan Ade berjalan bersisian. Mata Dirga dan Ade beradu. Pandangan aneh Ade masih tertuju padanya. Membuatnya kikuk sekaligus ngeri.
#
Di halaman rumah Irul, beberapa kendaraan terpakir rapi. Menyebar di beberapa titik. Sepertinya pelayat Irul masih berdatangan setelah pemakaman selesai.
Karena di dalam rumah sedang ramai, Dirga duduk di kursi plastik di halaman sambil memperhatikan Sander yang sedang bercerita dengan berapi-api. Menceritakan hubungan pertemanannya dengan Irul. Terdengar palsu dan berkali-kali Dirga harus menahan tawa.
Sander sepertinya konsisten membawa sifat oportunis menyebalkannya itu. Tidak hanya di kantor, tetapi dimana pun dia berada. Anehnya, beberapa anak buahnya yang tergabung dalam outsourcing tampak antusias.
Perwakilan dari bagian keamanan, kebersihan, parkir dan penanggulangan hama, mengangguk-angguk seolah didongengi. Dirga tidak sanggup menahan senyumnya sampai-sampai dia harus berpaling saat Sander sedang menghapus air matanya. Drama sekali!
Saat itulah, Dirga tidak menyadari ada beberapa kepala tanpa tubuh, dengan lidah terjulur, menjilat bekas air untuk memandikan jenazah Irul. Saat pandangan mereka berserobok, Dirga cepat-cepat membuang muka.
Sialnya, Ade juga melihat ke arah yang sama dan mereka berakhir saling bersitatap. Dirga tidak sadar Ade memilih duduk di sebelahnya. Padahal, dia menghindarinya.
"Mereka selalu datang kalau ada yang meninggal dunia. Sebutannya Srodot. Perewangan (pembantu)-nya dukun. Seumpama kita-kita yang ada di dunia, mereka sekarang ini semacam dapat camilan dari air bekas memandikan jenazah."
"Iya, Pak." Dirga memijit tengkuknya yang meremang.

"Mas Dirga pusing?"

"Sedikit."
"Mau saya ambilkan teh hangat di dalam? Kebetulan istri Irul baru saja membuatkan teh untuk pelayat. Maklum, dia baru punya daya sekarang."

"Tidak usah, Pak. Terima kasih banyak. Sebentar lagi kami juga balik kantor."
"Serius?" Alis Ade terangkat dan pandangannya tertuju kepada Sander yang belum juga selesai mendongeng. "Sepertinya masih akan berjilid-jilid ceritanya. Dan tidak akan selesai dalam waktu cepat." Ade terkekeh.

"Jam melayat sudah hampir habis."
"Pak Bono pasti mengizinkan kalau-kalau kalian telat balik kantornya. Ular semacam Pak Sander itu, pasti ketemu saja jalannya. Semuanya serba gampang. Tinggal bilang, apa pun itu, masalah pasti beres."
Mau tidak mau, Dirga kulum senyumnya.
"Tenang saja. Kita di kubu yang sama. Saya juga tidak menyukai Pak Sander. Dia memang atasan saya, tetapi di luar dia bukan siapa-siapa. Jadi, saya bebas berbicara apa pun mengenainya."
Untuk ukuran atasan dan bawahan, dan orang manajemen yang tidak mengetahui hubungan personal di antara keduanya, Dirga merasa harus berada di pihak yang netral.
Namun, menyimpan sesuatu yang tidak baru sekaligus menggelitik rasa penasaran untuk bertanya lebih jauh, sepertinya Dirga akan memberi kesempatan kepada Ade untuk menunjukkan taringnya.
Akan tetapi, menilik harus menjaga profesionalitas serta menutup aib sesama kolega, hal semacam itu tidak perlu sampai diperpanjang ke ranah personal.
Dirga pernah mengalami kajadian semacam ini. De'javu. Kalau menginginkan orang lain berkata jujur kepadamu, pancing dia dengan cerita yang bisa kau karang sendiri. Tentang kebenaran ataupun kebohongan.
"Lihat bibirnya," imbuh Ade sambil mengarahkan pandangannya kembali kepada Sander.

Dirga menurut dan memperhatikan bibir Sander. Semakin lama diperhatikan, ada setitik kilau di bagian bawah bibir Sander.
"Susuk," desah Ade.

Reaksi Dirga tidak berlebihan. Biasa saja.
Setelah sadar seharusnya tidak bereaksi biasa saja, Ade menepuk bahu Dirga sambil berdiri. "Saya salah kalau berharap Pak Dirga terkejut. Tidak mungkin Pak Dirga tidak tahu."
Gelengan Dirga menarik tawa kecil Ade.
Tanpa disuruh, Ade kembali duduk di kursi di sebelah Dirga. "Saya tidak percaya."
"Saya hanya tidak terlalu nyaman sewaktu Pak Sander bercerita. Dalam hal apa pun. Tapi saya tidak tahu kalau dia memakai benda seperti itu. Saya baru memperhatikan bibirnya hari ini. Pak Ade tahu kan, betapa riskannya kalau sampai seorang cowok memperhatikan bibir cowok lainnya?"
"Betul. Nanti dikira yang bukan-bukan lagi."

Mereka tergelak dan memancing mata yang lain. Supaya tidak menimbulkan kecurigaan, Dirga sudahi tawanya lebih dulu.

"Nah, itu maksud saya," balas Dirga.
"Jadi, Pak Dirga paham kan kenapa sampai sekarang banyak sekali yang bilang kalau tutur kata Pak Sander manis sekali?"

"Saya sebenarnya tidak peduli. Itu hak Pak Sander."

"Begitu juga dengan saya."
Kening Dirga mengerut. Dia tidak paham pembahasan kali ini akan bermuara sampai di mana.
"Maaf kalau ini kesannya tidak sopan," ucap Dirga mengawali pertanyaan yang sedari tadi tersimpan di kepalanya. "Untuk apa Pak Ade membeberkan semua ini kepada saya? Saya tidak punya apa-apa untuk dibagi dengan Pak Ade."

"Ada, Pak."

"Apa itu?"
"Mungkin sekarang Pak Dirga belum menyadari kalau kehadiran saya sangat penting untuk hari-hari Pak Dirga ke depannya. Makanya, Pak Dirga sebisa mungkin menutupinya."

Seringai Ade selalu saja membuat Dirga tak nyaman.
"Jujur, saya kurang nyaman dengan pembahasan Pak Ade yang tidak jelas ini." Akhirnya Dirga berhasil meloloskan kalimat tersebut. Dia sedikit menyesal karena mungkin salah dalam memilih kalimat. Raut wajah Ade berubah keruh.
"Tidak apa-apa. Suatu saat Pak Dirga akan tahu seberapa penting kehadiran saya terhadap masalah yang Pak Dirga perbuat."

"Maksud Pak Ade apa, ya?!" Suara Dirga meninggi. Beberapa pasang mata kembali beralih padanya.
"Yang pasti, bukan urusan dunia," Ade tidak menjawab pertanyaan Dirga. Dia lanjutkan kalimatnya sebelumnya. "Saya tahu sosok itu masih mengincar keberadaan Pak Dirga. Dia sepertinya memiliki dendam. Saya harap Pak Dirga berhati-hati."
Kalau saja Sander tidak berdiri untuk berpamitan karena desakan Endah, kemungkinan besar Dirga ingin melanjutkan obrolan itu bersama Ade.
Mendadak kepala Dirga pusing. Pertanyaan yang sebelumnya urung mendapat jawaban, kini muncul pertanyaan lain yang mengganggu. Jika sebelumnya hati dan otak Dirga memerintahkan untuk waspada, kali ini mereka kompak bertanya, "Siapa sebenarnya Ade ini?"
@bacahorror
@threadhororr
@IDN_Horor
#ceritahorror
#rumahtusuksate

Bab 10: Dentum

Ada yang bilang: jangan pernah menantang apa pun yang ada di bawah langit. Terlebih yang ada di atas langit. Kalau sampai berani, tanggung sendiri akibatnya.
Kalimat itu berlaku bukan hanya untuk yang tak kasat mata. Pekerjaan juga termasuk di dalamnya.
Tepat setelah istirahat makan siang, General Manager mal bernama Bono, meminta HRD memberitahu perwakilan tiap bagian berkumpul di ruang meeting untuk briefing, kecuali Accounting, HRD dan Building Service.
Karena hari ini Agus mendapat jatah piket bergilir dan baru istirahat makan siang setelah Dirga balik kantor, otomatis perwakilan Tenancy tertuju padanya.
Seperti yang sudah-sudah, kantor pusat selalu memberi kejutan yang tidak menyenangkan setiap mendekati pertengahan atau akhir tahun.
Tahun lalu, mereka minta rekapan data pertengahan tahun di-compared dengan data dua tahun sebelumnya, berturut-turut secara detail, termasuk pivot table-nya.
Padahal, setiap bulan manajemen melalui HRD mengirimkan soft copy laporan bulanan melalui collect email. Sungguh luar biasa sekali kemalasan kantor pusat dalam membaca apalagi mengolah data.
Hari ini, briefing berjalan sekitar lima belas menit. Akan tetapi menghasilkan bahan renungan seharian dan sakit kepala tak tertahankan. Tentu saja hal itu akan Dirga bagi secara adil dengan Agus.
Sebelum istirahat, Agus sempat berkelakar kalau seharian ini tamu tidak sebanyak seperti biasanya. Bahkan bisa dihitung dengan jari. Agus sampai bosan bermain Zombie versus Plant 2 di PC-nya.
Sialnya, Dirga mengamini ucapan Agus. Setelah pihak kontraktor mengabarkan tidak bisa hadir ke kantor, dan setelah balik dari pemakaman Irul, Dirga hanya disibukkan dengan kegiatan filing.
Maka seperti dijemput karma, pekerjaan berat pun menanti. Karma sepertinya tidak mau menunggu lama-lama. Kali ini, dibayar tunai.
Sekembalinya Agus dari istirahat makan siang, mereka kelabakan menyelesaikan pekerjaan yang datang silih berganti. Sampai-sampai, mereka baru bisa mengerjakan actual based on level dan mid year occupancy pesanan Bono, tepat pukul lima sore.
Di jam-jam genting dan seharusnya jam mereka pulang. Bahkan Dirga sudah tidak lagi memikirkan siapa Ade karena terlalu sibuknya.
Alhasil, Dirga beredel lima laporan bulanan dalam ordner dan membandingkannya dengan laporan bulanan milik Marketing dan Casual Leasing yang mereka pinjamkan dengan setengah hati. Kedua bagian itu takut kalau sampai data perusahaan bocor.
Padahal, Dirga dan Agus tidak peduli dengan pendapatan berpuluh-puluh M perusahaan setiap bulannya. Yang mereka pedulikan hanyalah pulang cepat!
Baru juga separuh jalan, ponsel Agus meraung. Dia sodorkan layar ponselnya cepat ke muka Dirga supaya dia bisa membaca siapa yang berani mengganggu lembur mereka: Lampir.
"Siapa?" tanya Dirga bingung.

"Istriku! Aku jawab dulu teleponnya daripada nanti disuruh tidur di pasar pakai bantalan kubis." Agus tergerak menuju ruang tunggu untuk menerima telepon.
Dirga mengangkat jempol sambil terkikik. Sedetik kemudian, rasa cemas pun hadir. Karma sepertinya benar-benar menamparnya telak. Dirga curiga Agus akan melarikan diri.

Benar saja, perasaan Dirga tidak enak sewaktu Agus kembali duduk. Pandangannya memelas, mengarah kepada Dirga.
Tidak lama kemudian, Agus akhirnya buka suara. "Anakku sakit, Dirga. Panas badannya tinggi dari sore tadi. Si lampir panik terus nyuruh aku pulang."
Bisa ditebak, Agus melenggang dari kantor setelah Dirga mengizinkan kepulangannya dengan hati teriris-iris. Hah, berlebihan! Sepertinya tanpa sadar Dirga ketularan Ibnu juga.
Setelah suara finger print berbunyi dan Agus memelesat, tinggalah Dirga dan Security yang berjaga di meja operator.
Karena Marketing dan Casual Leasing memiliki paling banyak karyawan dan pekerjaan mereka di-input secara sistem, otomatis mereka hanya perlu mengedit laporan. Setelah magrib pun mereka sudah pamit pulang duluan.
Seperti dikejar setan, mata Dirga tidak lepas dari angka yang tertampil pada tabel komputer, menoleh pada ordner berisi hard copy, lalu memindahkan semua itu ke pivot untuk diolahnya lagi sesuai permintaan Bono.
Meskipun Dirga menyukai musik rock dan memuja vokalisnya, tetapi nama Bono yang satu ini sungguh dibencinya sampai ke sumsum tulang belakang. Beliau tidak pernah memberi napas kepada anak buahnya. Kerja bagai kuda sepertinya sudah mendarah daging di keluarganya.
Eh, hampir saja Dirga lupa. Ini semua lebih karena karma. Dia sudah mengambil jatah santainya duluan, jadi wajar kalau sekarang kelabakan. Dan seharusnya pula dia paham arti peribahasa: berakit-rakit ke hulu berenang-renang ke tepian. Asal jangan dibalik saja.
Setelah memeriksa dua laporan cetak, tepat pukul sepuluh kurang lima belas menit Dirga baru bisa meregangkan kedua tangannya lebar-lebar. Matanya berair, tetapi Dirga sudah tidak peduli lagi. Cepat-cepat dia pasang trigonal clip dan meletakkan satu cetakan laporan di meja Bono.
Tiap langkah Dirga kembali ke meja kerjanya menimbulkan perasaan tidak nyaman. Dia percepat membereskan meja, meraih tas dari dalam laci dan segera mematikan komputer. Saat itulah, perasaan tidak enak itu mendapat jawaban.
Dirga melihat bayangan dari pantulan layar komputer yang telah padam.
Pocong!
#
Security yang berjaga di meja operator dan merangkap sebagai penerima tamu, sedikit kebingungan saat Dirga cepat-cepat meletakkan jempolnya di mesin presensi dan pamit pulang.
Baru akan menjejak tangga, dia ingat ada informasi penting yang tidak boleh terlewat. "Pak, minta tolong matikan lampunya. Saya lupa. Terima kasih."

"Siap 86." Tangan kanannya spontan naik, hormat. Dirga memutar bola matanya. Ya, Tuhan. Kenapa mereka suka sekali hormat?!
Setelah terbebas dari tangga curam dan berjalan melalui lorong mal, Dirga menemukan lampu parkir rubanah mulai remang. Dari jauh, slot parkir mobil pun terlihat mulai kosong.
"Ciluk... baaa...." Nyawa Dirga seperti melayang selama sekian detik saat merasakan dua tepukan tangan di pundaknya dari arah belakang.

"Jancok!"
Ganda mematung saat Dirga balik badan dan mengumpat dengan bahasa kasar. Hari ini, Ganda perdana mendengarnya. Berada di lift barang yang tiba-tiba naik ke lantai tiga dan tidak ada penumpang saat pintu terbuka, tidak ada apa-apanya dengan nyalang Dirga yang terarah padanya.
Ganda bergidik ngeri. Takut ditabok.
"Sori, sori. Aduh, maaf isengnya kebablasan." Selain tidak enak hati, Ganda tahu bagaimana rasanya seharian dikerjain orang. Niat untuk menonjok pasti sudah ada di ubun-ubun. "Kamu baru pulang lembur?" tanya Ganda sambil menangkupkan kedua telapak tangannya di dada.
"Bercandamu nggak lucu!"

"Iya, iya. Maaf."
Mungkin karena kemarahan Dirga tidak pernah memuncak, jadi bikin tak enak hati siapa pun yang berhasil memancingnya sampai sejauh itu. Namun, kenapa juga orang-orang seperti Ganda ini tidak ada kapok-kapoknya mengulang. Ndablek!
"Ayo kita beli bakso. Saking laparnya aku pengin makan orang," ajak Ganda.
Setelah Dirga mengangguk, Ganda baru berani merangkul pundak teman satu kosnya itu. Dan di sepanjang jalan, Dirga tetap mengomel karena ulah Ganda barusan. Ganda menerima omelan dengan lapang dada.
#
Lampu gang taman bunga akhirnya menyala kembali, tetapi tetap saja tidak maksimal. Cahayanya redup persis orang sekarat. Kemungkinan besar lampu bukannya diganti, melainkan diulir atau disentil-sentil sebentar. Besar kemungkinan tiga hari lagi akan menemui ajal.
Dari halaman depan mal, mereka melihat gerobak bakso masih bercokol di samping gang. Di dalam kaca kecil tembus pandang gerobak bakso, sepertinya masih menyisakan sedikit soun, gorengan mekar dan bulat. Kubis sudah habis.
Dirga memilih duduk di kursi plastik dengan beberapa manusia kelaparan malam-malam, pemuja mangkuk bergambar ayam jago dan juga penyuka micin.
Sementara Ganda asyik meracik sambil berkelakar dengan si tukang bakso, Dirga pasrah dan menyerahkan semuanya ke tangan terampil Ganda. Maklum, sebagai anak tukang bakso di kampung, Ganda selalu menyombongkan diri kalau kenikmatan racikan baksonya tiada tara.
Tak lama kemudian, Ganda menyorongkan bakso racikannya kepada Dirga, yang seketika menelan ludah.
Baru juga menyeruput kuahnya, Dirga sudah tersenyum lebar. Ganda menepuk dadanya bangga. Mereka sama-sama menikmati bakso sambil melihat jalan raya yang masih saja sibuk. Kebanyakan, jemputan keluarga SPG atau SPB yang bekerja di mal.
"Aku pikir aku sudah nggak waras," Ganda membuka percakapan dengan cukup absurd. "Sejak gigi susuku tanggal, baru kali ini aku kumat bisa lihat hantu lagi."

"Kamu masih ingat kejadian begitu itu? Bukannya gigi susu tanggal itu waktu kita masih kecil banget?"
Ganda mengangguk, menyeruput kuah bakso. "Waktu itu surup. Aku masih main di luar rumah. Terus, Ibuku teriak nyuruh masuk. Aku lihat dari arah kebun, sosok itu gede banget. Dadanya membusung. Baunya kayak tahi sapi. Untung aku bisa lari dan kebetulan Ibuku nyusul. Kalau tidak."
Ganda menelan ludahnya. "Mungkin aku sudah diculik."
Posisi duduk Ganda sedikit doyong. Dia berbisik, menambahkan, "Kata Ibuku, namanya Wewe."
Dirga merinding saat makhluk tak kasat mata satu itu disebut. Pembohong paling ulung. Dirga masih punya dendam tersemat untuknya, tetapi kali ini harus tutup mulut.
Dia tidak mau sesi Mario terulang kembali. Dan entah sampai kapan perasaan seperti itu terus muncul. Dirga terus memupuk kecurigaannya kepada semua orang.
"Sampai sekarang kamu masih bisa lihat?"

"Aku ragu." Ganda berdecak, "Semua ini pasti karena auraku berubah pekat atau mata batinku kebuka lagi," balasan Ganda seketika membingungkan Dirga.
"Ditanya apa jawabnya apa. Sepertinya otakmu sudah korslet."
"Oiya, maaf." Ganda tertawa.
"Setelah itu, hampir tiap hari aku nemuin yang aneh-aneh. Kakek-kakek kepalanya gepeng di jalan raya, orang berambut gimbal nembus tembok, terus Ibuku akhirnya bawa aku ke orang pintar. Katanya, auraku pekat. Kesukaan mereka yang nggak boleh disebut. Mata batinku juga terbuka."
"Dukunmu canggih juga."
"Canggih dari mana? Terakhir aku tahu dia kena katarak dan meninggal karena gula darahnya tinggi. Selain punya katarak, dia juga kena glaukoma. Dipikir-pikir, mana mungkin dia bisa lihat auraku kalau punya penyakit semacam itu."

Dirga terpingkal.
"Eh, tapi setelah disuruh baca rapalan, sama disuruh basuh muka pakai air yang sudah dikasih doa, aku sudah nggak bisa lihat yang nggak boleh disebut namanya sembarangan itu."

"Hantu?"
Ganda mengangguk sambil melanjutkan makan baksonya. "Setelah bisa lihat genderuwo, terus bisa lihat teman kantormu yang meninggal dunia tadi pagi, aku jadi takut sendiri."

"Takut kenapa?"

"Gila."

"Memangnya kemarin-kemarin itu belum gila?"

"Setan!"
"Heh, nggak boleh disebut sembarangan."

Ganda menutup mulutnya dengan tangan. Sementara Dirga berurai air mata karena tertawa.
Setelah membaca-baca doa dan melepas perlahan bungkaman, tidak ada lagi pembicaraan di antara mereka selain terdengar seruputan kuah dan kunyahan daging bakso, menemani dinginnya malam. Karena terlalu lama diam setelah selesai makan bakso dan membayar, Dirga memeriksa ponselnya.
"Pulang, yok!" ajak Dirga.

"Jam berapa?"

"Hampir jam 12."
Jika sebelumnya dari depan gang taman bunga menuju tempat kos terasa jauh, sekarang berasa dekat karena mungkin ada teman mengobrol di sepanjang jalan.
Selain selisih enam rumah berukuran sedang tanpa pekarangan, berjalan sendirian membelakangi jalan tunggal menuju tempat kos bukanlah hal yang patut disombongkan. Jantungan sih, iya!
Dari jauh, mereka melihat Zainal sedang membuka gembok pagar sambil memantik rokok. Zainal melambai. Ganda membalas, berkata sedikit lantang, "Pintunya nggak usah dikunci!"
Setelah dekat, Dirga bertanya kepada Zainal begitu membaui minyak wangi yang terlalu menyengat dari pakaiannya, "Mau ke mana? Kencan?"
"Gundulmu! Aku mau loading pameran soalnya barang yang mau dijual baru datang jam segini. Telat banget," balas Zainal seraya menyerahkan gembok.
Gembok dari tangan Zainal tergelincir sebelum Ganda berhasil meraihnya. Ketiganya lalu terdiam memandangi atap kos ketika percikan api terlihat setelah bunyi dentuman.
Dhar... kratak... kratak... kratak....
#
Kebetulan Suyito masih duduk dan merapal doa di ruang tamu saat mendengar suara dentuman dari atap rumahnya. Pantang baginya untuk tidur di bawah pukul dua belas malam.
Setelahnya, bukannya keluar untuk memastikan gerangan apa yang terjadi, Suyitno malah tekan ruas-ruas jari telunjuknya dengan jempol, sambil berhitung dalam penanggalan Jawa. "Nogo dino enek nang kulon (arah baik ada di barat)."
Begitu memastikan hitungannya akurat, wajah Suyitno menegang. Dia usap perlahan untuk menenangkan wajahnya sembari berdiri dari tempat duduk. "Tidak mungkin dia masih hidup."
@bacahorror
@threadhororr
@IDN_Horor
#ceritahorror
#rumahtusuksate

Bab 11: Fajar Menyingsing

Ketawang, 1965

Suyitno terjun ke dunia militer bukanlah tanpa sebab, melainkan keharusan.
Jika ditarik garis ke belakang, usia Suyitno baru seumur jagung saat kehilangan segalanya. Rumahnya dilalap api bersama kedua orangtuanya.
Beruntung atau mungkin nahas, Suyitno selamat karena hujan lebat tiba-tiba datang. Saat itu, Suyitno didekap bapak dan biyungnya begitu kobaran api membumbung dan tak ada jalan keluar, hingga luka bakar keduanya tidak dapat diobati dan menyebabkan kematian.
Kejadian pembakaran itu akibat pertikaian antara penggiat musala dan oknum politik sayap kiri. Sementara pihak militer telat datang. Mereka sibuk mengurai carut marut dan rembetan politik yang sedang memanas di ibu kota dan kota-kota besar lainnya.
Mulai hari itu, Suyitno diasuh berpindah-pindah tangan. Mulai dari pemilik warung yang mengajarkan Suyitno menghapal semua umpatan dan terakhir Mbok Benik―penjual pecel pincuk di pasar―yang mengasuh Suyitno layaknya anak sendiri.
Mbok Benik dan Suyitno seolah berbagi nasib. Sama-sama kehilangan orang yang disayangi karena peristiwa memilukan. Bedanya, anak Mbok Benik meninggal dunia karena mabuk jamur letong (kotoran sapi). Ia ditemukan mengambang di sungai beriak tenang, keesokan harinya.
Memelesat bagai busur panah, usia Mbok Benik dan Suyitno tidak lagi muda. Petang sebelum Mbok Benik meninggal dunia, ia panggil Suyitno yang sudah menginjak remaja, mendekat.
Mbok Benik sedang berbaring lemah di ranjang beralas anyaman pandan. Karena suara Mbok Benik sudah ada di ujung tanduk, mau tidak mau Suyitno harus menunduk dan menajamkan telinga ketika Mbok Benik bersuara, "Le, Cah bagus (Nak, bocah ganteng). Mbok pamit pergi―"
"Pergi ke mana, Mbok?" potong Suyitno. Perasaannya tak enak.

"Ke tempat yang jauh. Tapi jangan susul si Mbok cepat-cepat, yo, Le."

"Aku ikut, Mbok!"
Mbok Benik menggeleng lemah. "Kamu harus tetap hidup!"

"Bagaimana caranya hidup kalau orang yang aku lihat setiap hari sudah tidak ada di dunia ini, Mbok?"
"Raga Mbok memang sudah tidak ada di dunia ini, tetapi yakinlah Mbok akan selalu ada bersamamu. Jadilah kebanggaan Mbok. Kamu tahu kan keinginan Mbok yang belum terkabul?"
"Masuk militer? Untuk apa Mbok? Keberadaan mereka tidak ada gunanya di dunia ini. Buktinya―" Suyitno memotong kalimatnya sendiri. Dia tidak tega melihat mata Mbok Benik mulai berkaca-kaca.
"Supaya kamu tahu dan bisa menolong orang. Seperti menolong orang yang senasib dengan Bapak dan Biyungmu."

Tenggorokan Suyitno tersekat.

"Janji yo, Le."

Suyitno mematung.
"Le!"

"Iya, Mbok. Nanti aku akan tanya-tanya bagaimana cara masuknya."
Tarikan napas Mbok Benik tersendat sekali, lalu matanya menutup perlahan setelah menyusul telapak tangannya tergerak menumpuk di atas perut. Tertata dengan sendirinya.
Sontak, bulir air mata Suyitno jatuh. Dia harus ikhlas melepas orang yang paling dikasihi, dan akan mengabulkan permintaan terakhirnya.
Seperti menemukan jalan, Suyitno lewati rintangan dengan mudah untuk memasuki dunia militer. Termasuk, dalam praktiknya.
Mungkin karena tidak banyak peminat dan orang-orang lebih memilih menjadi petani atau pedagang, jadi kesempatan untuk menjadi anggota militer terbuka lebar untuknya. Jalan tidak terlalu terjal.
#
Bersama satu peleton berjumlah tiga puluh dua orang, tubuh ringkih Suyitno terlihat lemah di antara yang lain ketika berbaris. Dia tidak terlalu tinggi, pun kurus.
Namun anehnya, setiap kali latihan gabungan, Suyitno selalu mewakili grupnya yang bejumlah delapan orang itu dengan menjadi komandan regu.
Ketangkasannya yang diragukan semua orang, keliru. Adu taktik antar regu pun selalu mereka menangi. Termasuk, laga di ring tinju. Mungkin karena anak kampung, jadi hidup keras sudah biasa dia lakoni.
Hanya saja, pandangan meremehkan itu masih saja didapatkannya setelah benar-benar menjadi anggota militer. Suyitno seperti tak punya taring saat menunjukkan tajinya sebagai komandan regu. Kecuali pada satu orang. Dia tidak terlihat meremehkan.
Dia juga tidak terlalu tanggap, dan hal itu membuat Suyitno penasaran.
Suatu malam ketika semua orang sudah menempati barak masing-masing dan terlelap karena seharian latihan, Suyitno menangkap derit halus barak di bawahnya. Bergeming, dia pandangi siluet seseorang yang keluar dari kamar dengan langkah hati-hati.
Pintu pun seolah membantunya meloloskan diri tanpa suara.
Sama seperti yang dilakukan seseorang tersebut, Suyitno berniat mengikutinya. Ketika turun dari barak bertingkat, mata Suyitno langsung awas. Dia telurusi dari ujung ke ujung.
Setelah dirasa aman, dia melangkah membuka pintu dan mengikuti seseorang yang bergerak ke samping bangunan melewati koridor, lalu berakhir di sepetak serupa gang yang mengarah langsung ke celah tembok belakang.
Suyitno sempat ngeri membayangkan nyamuk besar-besar yang akan berpesta mengisap darahnya malam ini.
Dari jauh, Suyitno bisa melihat pendar cahaya. Orang itu jongkok. Cukup lama Suyitno mengawasi, tetapi tetap tidak ada pergerakan. Karena penasaran, Suyitno merapat. Orang itu tidak menyadarinya. Setelah jarak menyempit, Suyitno pura-pura batuk.
Wiwit tergeragap. Senter dan buku yang dipeganginya jatuh saat dia berdiri. Cepat-cepat Wiwit usir keterkejutan itu. Bahkan dia tidak sempat memungut senter apalagi mengamankan bukunya.
"Apa yang kau lakukan di sini?!"

"Siap, Komandan!" Wiwit memberi hormat terlebih dulu. "Saya sedang membaca buku," lalu menurunkan tangannya dan bersikap sempurna.
Sepertinya dia pasrah mendapat hukuman apa saja dari pemimpin regunya. Nyatanya, Suyitno tersenyum dan melangkah untuk memungut senter dan buku. Dia tatap Wiwit setelah menegak kembali.
Suyitno tepuk pipi Wiwit dengan buku yang dipeganginya. "Ini buku apa?!"

"Budaya Jawa."
Tawa Suyitno terpancing. Diarahkannya senter ke judul buku bersampul hitam dengan gambar pria ber-belangkon. "Bagaimana mungkin ada buku tentang budaya berjudul: Primbon Japa Mantra?"
Wiwit mematung. Dia tidak tahu lagi apa yang akan dilakukan Suyitno setelah berhasil membongkar kebohongannya. Dia lalu menunduk.

"Apa istimewanya buku ini?" Suyitno menambahkan.
Wiwit mendongak. Meski dipayungi gelap, dia tahu Suyitno tertarik dengan buku kepemilikannya.
#
Di usianya yang baru menginjak tujuh belas tahun, untuk pertama kalinya Suyitno berkenalan dengan hal berbau klenik. Mbok Benik atau pengasuh sebelum-sebelumnya lebih sibuk mencari uang dengan berdagang daripada berlaku aneh.
Mereka memang tidak dekat dengan agama, tetapi tidak juga ingin berkawan dengan setan.
Pencetusnya adalah buku bersampul hitam milik Wiwit.
Suyitno menafsir, buku tersebut tergolong tua melihat sampulnya yang usang dan kertasnya yang menguning ketika Suyitno menimpanya dengan cahaya senter. Atau, cahaya senter itu sendiri yang membuat kertasnya menua? Dia akan memeriksanya setelah matahari muncul.
Awalnya, ada kecanggungan di antara keduanya saat sama-sama membaca buku. Berkali-kali Suyitno mendorong kepala Wiwit ketika ikut membaca. Wajahnya masam mendapati perilaku semacam itu, dan sepertinya ada keinginan kuat untuk mendamprat. Namun, urung.
Sejak itu, perlahan mereka berkawan.
Mereka tidak lagi sembunyi-sembunyi ketika membaca buku. Beruntung, enam orang lain yang tinggal di barak yang sama tidak tertarik dengan hal-hal semacam itu. Namun, lama-lama Suyitno merasa aneh. Ada yang Wiwit sembunyikan darinya.
Benar saja. Setelah punya kesempatan untuk memeriksa lemari Wiwit, Suyitno menemukan sebuah buku bersampul merah di atas lemari, ditumpuk bersama koper besar.
"Untuk apa buku ini disembunyikan?" Suyitno menunjukkan buku bersampul merah di depan Wiwit yang habis mandi. "Saya belum pernah membacanya."
"Lancang!" rebut Wiwit. Dia periksa halaman bukunya. Setelah memastikan utuh, dia pandangi Suyitno yang terpaku.
Lama-lama wajah tegang Wiwit mengendur. Dia tersenyum sambil geleng-geleng kepala. "Benar kata orangtua saya. Terkadang yang membahayakan seseorang itu adalah rasa penasarannya sendiri."
"Sontoloyo!" maki Suyitno.
Tanpa menunggu komando, Suyitno mendekati Wiwit yang tertawa kecil. Dia piting lehernya dan mereka tergelak bersama. Suasana pun mencair.
"Sebenarnya belum saatnya kau baca kitab ini. Bukannya saya menyembunyikan" terang Wiwit setelah Suyitno melepas pitingannya.
"Kau tahu, di dalam kitab ini semuanya dijelaskan secara lengkap. Apa saja yang patut dan tidak patut dilakukan jika sedang bepergian atau mencari pekerjaan. Termasuk, kawin. Supaya selamat," Wiwit menghentikan kalimatnya sejenak. "Kau lahir kapan?"
Suyitno perhatikan wajah Wiwit yang seputih pualam dan matanya yang hidup setiap kali memandang sesuatu, termasuk saat memandangnya sekarang. "Untuk apa?"

"Supaya mudah menjelaskannya, saya beri contoh langsung."
Suyitno mengeja tanggal lahirnya pelan-pelan. "8 Agustus."

Wiwit mengangguk, menunggu dengan sabar kelanjutan kalimat Suyitno yang mendadak irit itu.

"Tahun?"

"Perlu?"

"Iya!"

"1948," balas Suyitno patuh.
"Oh!" Wiwit menggosok satu tangannya di kening sementara tangan yang lain membuka lembar demi lembar kitab seperti sedang mencari harta karun.

Terdapat semburat kaku dari wajah Suyitno ketika Wiwit mendengus. "Ada apa?" tanya Suyitno.
"Menurut saya, kau perlu jimat untuk dibawa ke mana-mana. Ada sifat yang seharusnya dikunci dan ada sifat yang harus dikuatkan," Wiwit menyesal berkata serius saat memandangi Suyitno yang tidak dapat membendung tawanya.
Dia tepuk kening Suyitno hingga mengaduh. Suyitno geram, membalas. Wiwit lupa kalau Suyitno adalah komandan regunya. Lagi-lagi, enam orang lain di barak hanya geleng-geleng kepala melihat kelakuan dua orang itu.
"Maaf," kata Wiwit pelan.

Jimat? batin Suyitno.

Wiwit keluarkan kalung dari dalam kaus oblong setelah memastikan situasinya aman. "Saya kenakan ini secara sembunyi-sembunyi."
Suyitno amati bandul dari batu sebesar kelingking itu.

"Namanya Besi Kursani," Wiwit menambahkan. "Benda berharga ini harus saya jaga. Benda ini sudah ada sebelum saya lahir, turun temurun dari Mbah Buyut."
Kalau saja ada pengeras suara yang bisa ditelan, kemungkinan besar saat Suyitno menelan ludahnya berkali-kali, Wiwit mampu mendengar suara jakunnya naik turun.

"Kegunaannya?"
"Benda ini sebagai penangkal untuk apapun yang berencana mencelakai kita. Baik yang terlihat oleh mata atau tidak. Diisi sesuatu yang kuat dari alam gaib."
Suyitno menelan ludahnya kembali. Dia bayangkan batu sebesar kelingking itu berayun dan mengenai kepalanya. Mungkin akan benjol atau otaknya tercecer mengingat penjelasan tak masuk akal mengenai kekuatan batu tersebut.
Wiwit memamerkan batu itu seperti dukun sedang menyembuhkan penyakit pasiennya.
Hawa tak enak bertambah saat Wiwit merogoh sesuatu dari balik saku celana setelah menyembunyikan kalung yang dipamerkannya tersebut di balik kaus dalam.
"Saya juga punya dua kuku macan sebagai perlawanan. Besi kursani ini ibarat tameng, kuku macan pedangnya. Sekali tebas, bisa raib semuanya. Kepala lepas dari badan."
Suyitno terpaku ketika Wiwit memamerkan kuku macannya dan bergerak seperti sedang menebas sesuatu yang mengancam. Menebas udara kosong di depannya.
Spontan, Suyitno tergelak. Namun, hanya berlaku sebentar setelah sadar Wiwit tidak ikut tertawa. Sampai-sampai, teman satu kamar mereka menoleh untuk memeriksa kelucuan apa yang Wiwit timbulkan hingga Suyitno bisa tertawa selepas itu.
Seharusnya, Suyitno terus tertawa dan membuat Wiwit jengkel sampai dia mundur teratur. Namun, seperti mendapat bisikan, Wiwit seolah diingatkan untuk melanjutkan misinya.
"Selain jimat yang saya sebutkan sebelumnya, apa kau tidak tertarik dengan mereka yang tidak boleh disebut sembarangan namanya? Saya berteman baik dengan mereka."
"Saya juga bisa menunjukkan padamu, betapa menariknya dunia mereka yang tidak terlihat. Saya jamin, kau pasti akan menyukainya."
@bacahorror
@threadhororr
@IDN_Horor
#ceritahorror
#rumahtusuksate

Bab 12: Surya Tenggelam

Suyitno sukar memercayai perkataan Wiwit mengenai pertemanannya yang tidak biasa. Terlebih menyangkut alam gaib.
Dia ingat pesan Mbok Benik dulu: apa yang tidak terlihat sebaiknya tidak diganggu. Biarkan berjalan di tempatnya masing-masing. Namun, rasa penasaran itu terus menggelitik, menemukan celah di hatinya. Apalagi sejak Suyitno mengikuti Wiwit puasa pati geni selama empat puluh hari.
Anehnya, Suyitno merasa lebih bersemangat menyibak sesuatu yang tak terlihat itu.
Belum sempat Suyitno bertanya-tanya, Wiwit berkata singkat mengenai puasa pati geni yang dikerjakannya. Puasa bukan hanya untuk menahan lapar dan haus, pun menahan hawa nafsu.
Katanya, selain untuk enteng jodoh, bisa juga untuk membersihkan hati. Sebab untuk mengetahui alam lain, diperlukan hati yang bersih. Keinginan apa pun juga akan terkabul.
Mendengarnya membuat Suyitno merasa lebih bersemangat untuk mengintip sesuatu yang tidak terlihat itu. Ditambah, ada kembang desa yang ingin didekatinya bernama Eti.
Sejak Suyitno dan Wiwit mengukuhkan diri menjadi teman, mereka tidak perlu lagi sembunyi-sembunyi ketika ingin membaca buku. Suyitno pun keranjingan bertanya apa hari ini bagus atau tidak untuk keluar jalan-jalan, tentang nasib, masa depan, dan percintaannya dengan nada bercanda.
Hari berlalu. Suyitno mulai hapal kegiatan Wiwit. Bersamaan dengan itu, menurutnya dunia tidak lagi sama. Yang tampak maupun tidak. Mereka juga tidak lagi peduli dengan pandangan aneh sekitar. Pandangan meremehkan ketika mereka melakukan hal tak biasa.
Semisal, menghadap timur saat matahari muncul dan berdiri tegak sambil menangkupkan kedua tangan di dada. Mulut mereka komat-kamit membaca mantra. Di lain kesempatan, mereka juga melakukan hal yang sama ketika melihat purnama menggantung.
Tak sedikit pun ragu, Wiwit gelontorkan kitab-kitab miliknya untuk dibaca. Dia juga mulai bercerita selayaknya pendongeng. Sepertinya, Wiwit berniat mewariskan ilmu yang dikuasainya. Atau, mencari teman untuk berpaling dari Yang Maha Kuasa.
"Apa kau sudah siap untuk melihat betapa luasnya dunia ini? Dunia yang kau pijak dan dunia yang hanya ada dalam bayangan?" tanya Wiwit setelah mereka menyelesaikan puasa pati geni.
"Sesuai rencana, saya siap. Saya sudah tanya Eti mengenai sawah yang ada di dekat rumahnya. Sore tadi dia bilang baru saja selamatan sambil menunggu bulir padi muncul."

"Kekasih yang kau ceritakan itu?"

Wajah Suyitno mendadak merah. "Calon kekasih," pungkasnya.

"Bukannya―"
"Sudahlah," potong Suyitno cepat. Dia mengantisipasi tawa Wiwit yang mungkin akan meledak kalau sampai hal itu terjadi. Dia pastikan bahwa acara mengetahui dunia lain malam ini tidak boleh gagal hanya karena keteledoran.
Karena izin piket menjaga keamanan desa di malam hari jarang sekali disetujui.
Tanpa banyak cakap, mereka berjalan tegap melalui jalan berdebu setelah keluar dari markas. Begitu melewati pos ronda, mereka mengobrol sebentar dengan penduduk sekitar yang sedang piket jaga, kemudian melanjutkan perjalanan menuju sawah milik keluarga Eti.
Suyitno sempat curi-curi pandang saat mereka melewati rumah cukup mentereng sebelum sampai sawah. Keluarga Eti termasuk terpandang. Bapaknya memiliki gudang beras terbesar. Sawahnya banyak. Salah satunya, ada di hadapan mereka sekarang.
Dipayungi langit dengan sedikit taburan bintang ditambah embusan angin sepoi-sepoi menyebabkan suara gesekan antar daun padi, Suyitno dan Wiwit berbaris di setapak menuju pojok sawah terjauh, tempat cok bakal (sesajen) biasa diletakkan.
Sego golong (nasi dibentuk bulatan-bulatan) dalam takir (wadah dari daun pisang) ditemani lauk, rujak serut, putu mayang dan cenil sebagai sesembahan untuk penjaga sawah.
Tengkuk Suyitno meremang setelah Wiwit berhenti melangkah. Keisengan malam ini yang segera disesalinya. Detak jantungnya bertalu-talu.
"Mengapa kita tidak melakukannya di markas saja? Saya yakin pasti ada penunggunya," bisik Suyitno.

"Bukankah kau yang meminta hal ini untuk mendekati Eti? Untuk bahan mengobrol?" balas Wiwit.
"Iya, saya lupa." Suyitno menepuk pelan keningnya. "Kira-kira, apakah Mbok Sri (sebutan lain untuk dewi padi) mau muncul?"

"Kita memang mengundangangnya hadir supaya kau tahu bagaimana rupanya. Jadi, pasti Mbok Sri muncul."

"Apa sebaiknya dibatalkan saja?"
Wiwit sontak menoleh ke belakang. Suyitno nyengir dan menggeleng pelan. Dia tahu tidak mungkin bisa mundur lagi.
Setelahnya, Wiwit memerintahkan Suyitno untuk memejam. Dia mulai membaca-baca mantra dalam bahasa Jawa yang tidak terlalu dimengerti Suyitno. Nyaris seperti bisikan, Suyitno terkesiap.
Dia buka perlahan matanya dan melihat pendar kekuningan dari jauh, bergerak mendekat.

Semakin mendekat, Suyitno dibuat kagum dengan penampakan Mbok Sri.
Ia berpakaian seperti lakon wayang orang dengan selendang berwarna kuning, melayang-layang seperti diterpa angin, berkelat bahu dengan pinjung (kemben) berwarna hijau dan jarit. Bedanya, kakinya tidak menapak.
Jika sebutan Mbok dia alamatkan kepada Mbok Benik yang selalu berjarit, berkebaya kutu baru sederhana seperti orang-orang kebanyakan. Mungkin terlalu sederhana. Maka, sosok di hadapannya adalah bidadari. Ia lebih pantas dipanggil Dewi Sri daripada Mbok Sri.
Tiba-tiba, sosok itu lenyap. Begitupula senyum Suyitno. Dia tepuk pundak temannya itu. Wiwit sedang mematung memandang ke langit.
"Ada apa? Kenapa Mbok Sri menghilang tiba-tiba?" tanya Suyitno penasaran.

"Ini gawat!"

"Apanya yang gawat?"
Telunjuk Wiwit terjulur ke langit. "Jarak bulan dan bintangnya dekat sekali. Lintange (bintangnya) terang sekali."
Suyitno mengernyit.
"Pertanda tidak baik. Akan ada bala besar. Akan ada perang," Wiwit menambahkan. "Kita harus kembali ke markas segera!"
#
Menjadi prajurit bintang dua seperti berada di dasar karier di dunia militer. Dan hal tersebut menjadikan Suyitno dan Wiwit bak umpan perpeloncoan. Bahkan seorang komandan regu seperti Suyitno pun mengalami penindasan.
Namun hal itu berlaku seperti tantangan. Mereka terabas belenggu yang hadir. Seperti bersama Mbok Benik dulu, Suyitno merasa berada di satu garis nasib yang sama dengan Wiwit. Memenuhi keinginan orang terkasih.
Setelah lulus pelatihan dan masuk satuan militer yang sama, mereka termasuk sosok tak terlihat. Jabatan sebagai komandan regu pun menguap begitu saja. Namun, mereka tetap menikmatinya.
Mereka atur strategi untuk naik pangkat sekaligus mempraktikkan rapalan-rapalan yang mulai mereka terapkan dalam hidup.
Tepat di satu malam dengan curah hujan tinggi, ramalam Wiwit menemui jawaban. Hal itu mampu mengubah pemikiran mereka terhadap banyak hal. Dunia yang mereka pijak tidak lagi hitam atau putih.
"Ada apa?" tanya Suyitno gelagapan saat lampu senter menembus barak dan membuatnya hampir terjatuh dari tempat tidur. Wiwit ayunkan tangannya kuat untuk membangunkan Suyitno yang tertelap.
Mereka lantas berbaris rapi. Tidak ada apel atau penjelasan memuaskan mengenai perjalanan panjang yang akan mereka lalui malam ini, selain bentakan untuk cepat-cepat berkemas dan berkumpul di lapangan. Yang mereka syukuri adalah tidak perlu mandi di malam hari.
"Kau tidak dengar berita yang berkembang akhir-akhir ini?"

Suyitno mengedikkan bahunya.
"Saya rasa perang akan meletus kembali. Akan ada hal penting untuk kita lakukan," kata Wiwit pelan agar tidak mengganggu teriakan berhitung yang sudah dimulai di ujung barisan.
Kalau saja suasana lapangan tidak dalam keadaan gelap, mungkin Suyitno mampu menangkap senyum tipis Wiwit. Terutama ketika dia berkata "akan ada hal penting untuk kita lakukan" dengan bersemangat.
"Akan ada pembantaian," imbuh Wiwit.

Suyitno merinding.
Wiwit nyaris terkikik, sementara Suyitno kebingungan memberi reaksi yang tepat pada wajahnya. Terutama ketika semua orang naik truk bermuatan manusia-manusia berseragam loreng.
Turun dari truk, mereka bersiap dengan senjata laras panjang di tangan masing-masing. Suyitno merasakan keanehan saat suara-suara asing terdengar dari truk bermuatan besar. Diperhatikannya sekeliling, kelembaban udara mulai menampar kulitnya.
Pendar cahaya senter milik komandan peleton yang berkali-kali menerobos penglihatan prajurit, menyusul teriakan-teriakan supaya cepat bergerak.
Napas Suyitno memburu. Matanya awas menyasar sekeliling. Bunyi gemerisik di sekelilingnya seperti menunggu menerkamnya hidup-hidup, melumpuhkan dengan satu gigitan. Dia takut hewan buas.
Lima menit diserang rasa penasaran, akhirnya Suyitno dan Wiwit melihat rombongan melompat dari atas truk bermuatan besar. Mereka berbaris dengan suara-suara rintihan, meminta ampunan atau meminta pertolongan.
Beberapa menyusruk dan terguling di tanah berkontur. Langkah mereka seperti terseret ketakutannya sendiri hingga harus dipapah oleh teman-temannya yang lain.
Bayangan Suyitno beralih kepada suara-suara lain yang muncul dari balik dedaunan setelah angin ribut menerjang wajahnya yang pias. Suara-suara itu memelesat dari atas kepalanya. Titik-titik itu berubah menjadi gemericik air.
"Hujan." Suyitno membatin.

Ditolehnya Wiwit yang sedang bersikap sempurna. Raut mukanya menerangkan bahwa dia sedang menunggu perintah atasan.

"Maju!"
Satu perintah membawa mereka memasuki jalanan setapak, meliuk dan menanjak. Barisan depan prajurit mulai mengeluarkan parang, menebas sulur dan tanaman pengganggu.
Beberapa prajurit dibiarkan tinggal di jalan utama. Mereka yang tinggal, bertugas mengamankan kendaraan dan juga pintu masuk menuju hutan.
Wiwit berbisik, menyebut Gunung Wilis saat Suyitno bertanya mereka sedang ada di mana. Bersamaan dengan jawaban itu, ilalang setinggi orang dewasa mulai menampar pipi mereka.
"Bariskan semua manusia terkutuk ini. Mereka harus kita habisi. Orang-orang yang tidak tahu malu karena dibiarkan hidup bebas. Orang-orang yang seharusnya dibinasakan karena kelakuan mereka sendiri.
Malam ini juga, mereka yang tidak ber-Tuhan harus hilang dari muka bumi ini. Ini perintah!"
Tawanan? Tidak ber-Tuhan? Binasa? Apa maksudnya semua ini?
Bayangan dalam kepala Suyitno berputaran, meraba setiap keputusan yang akan dia ambil sambil gemetar memandangi senjata laras panjang di tangan.
Kalau saja senter milik komandan peleton tidak menyorot kegelapan di hadapan mereka dengan gerakan seperti seseorang sedang melakukan lecutan di mimbar, kemungkinan Suyitno tidak akan tahu mereka telah melewati ilalang.
Kemudian tanjakan terjal menyambut saat memasuki hutan cemara dengan curah hujan yang tidak juga mau berhenti.
Suyitno segera merapatkan barisan saat menyaksikan beberapa orang yang disebut komandan peleton sebagai tawanan, berdiri di ujung jurang. Bersiap menjemput kematiannya. Suyitno berusaha membaca situasi.
Dia lirik, sepertinya hanya dirinya yang berlaku seperti itu saat mengamati tawanan dengan emosi teraduk-aduk.
Dia lalu memasang badan dan mengusir perasaan tak enak yang mendadak muncul.

Entah pukul berapa malam itu. Suyitno hanya ingat, malam itu tanggal 3 Oktober.
Dalam satu perintah melalui TOA, berondongan peluru menghabisi barisan orang-orang yang ada di tepi jurang, satu persatu.
Wiwit tertegun cukup lama. Air mukanya terlihat tenang untuk satu hal di luar akal, sementara Suyitno tak mampu menggerakkan kakinya. Dia hanya sanggup meneteskan air mata. Beruntung, kegiatannya itu tersamarkan air hujan.
Teriakan berlanjut, berselang-seling dengan erangan dan keheningan. Lalu, ingatan Suyitno akan tahun berapa malam itu terkuak, menyadarkannya pada satu hal. Pembantaian. Suyitno tidak akan melupakan tahun tergelap dalam hidupnya. Tahun 1965.
#
Kewarasan Suyitno dipertaruhkan. Dia melamun di sepanjang perjalanan, bersama kejadian di hutan cemara yang dia simpan, berbarengan dengan kehadiran makhluk dari alam lain yang tidak pernah dia pikir akan membelenggunya dalam perjanjian terkutuk tanpa akhir.
Sekembalinya dari hutan, Suyitno bertambah bingung. Dia menangkap kejadian lain yang mungkin juga akan mengubah nasib Eti.
Di atas truk terbuka sebelum melintas di depan rumah Eti, Suyitno menyaksikan dari jauh sebuah bola api mengenai atap rumah Eti. Percikan apinya membuat gaduh para prajurit dalam satu kendaraan yang sama dengan Suyitno.
Mereka menunjuk-nunjuk atap rumah Eti sambil berasumsi yang tidak-tidak.
Saat tersadar Wiwit juga memadang ke satu titik yang sama, Suyitno bertanya, "Apa itu?"

"Banaspati," gumam Wiwit. Wajahnya terlihat sedang berpikir keras. "Ada yang mengirim teluh ke rumah kekasihmu."

"Apa kau bisa menangkalnya?"
Wiwit menoleh. Dia diam saja. Mendadak mereka seperti orang asing satu sama lain.
@bacahorror
@threadhororr
@IDN_Horor
#ceritahorror
#rumahtusuksate

Bab 13 : Pandangan Berbayang

Dirga menatap langit-langit kamar setelah meletakkan buku bacaannya. Dia gelisah. Benaknya seperti ditarik ke masa lalu.
Ketidakmampuannya mengurai pesan Mbah Putri sebelum wafat, berbayang.
Selama satu jam Dirga ubah posisi tidurnya menyamping ke kanan dan kiri. Selama itu pula pikirannya berkelana. Seandainya Mbah Putri masih hidup, Dirga tidak akan segelisah ini.
Mbah Putri selalu punya jawaban atas setiap pertanyaan. Cuma satu pesan terakhir Mbah Putri yang belum terselesaikan: Cari ke timur. Ia menyukai tinggal di antara air dan dataran tinggi. Ia direbut.
Jika ia datang, ia akan membuatmu ngeri. Kau tahu, ia bukan makhluk sembarangan. Namanya Wo... Wojo...―napas Mbah Putri terputus.
Beliau meninggal dunia dalam dekapan Dirga yang meraung. Dalam nestapa kehilangan seseorang, Dirga tidak bisa berbuat apa-apa selain menebak-nebak nama makhluk itu, sejauh ini.
Berharap segera terlelap, Dirga hitung ulang domba khayalan yang melompati pagar. Dia baca-baca doa dan surah apa pun, kecuali doa makan.
Ini semua gara-gara lembur kantor dan makan bakso bersama Ganda. Makanya dia bisa melihat bola api dan mendengar suara dentuman dari atap rumah kos.
Dia tahu ada yang tidak beres dengan tempat kos yang ditinggalinya.
Entah apa itu, Dirga merasa perlu berhati-hati. Dia yakin hal tersebut kelak akan membuatnya kalang kabut. Atau, malam ini sebagai pertanda? Kalau saja Dirga tahu namanya. Pasti masalah ini akan terhenti. Dirga teledor.
Mendadak kuap hadir. Bola mata Dirga memanas dan berair. Tanpa sadar, dia terlelap setelah melepas beban pikiran yang berusaha mencabik kewarasannya.
Sesaat setelah memasuki alam mimpi, Dirga memulainya dengan adegan yang sama. Dia akan berjalan tanpa alas kaki, kemudian mendengar tawa renyah anak-anak dari balik rumpun bambu. Dirga lalu berhenti, memandang ke kejauhan karena tidak bisa mendekat. Kakinya serasa dipantek.
Di dalam mimpinya sendiri, Dirga hanya menjadi penonton.
Dari jauh, Dirga perhatikan riak bengawan. Beberapa daun kering gugur, tersapu aliran air. Ketika menajamkan pendengaran, dia tangkap suara anak kecil sedang asyik bermain di atas gundukan bekas delta.
Mereka tertawa renyah sambil mencabuti tanaman di pinggir bengawan. Mulai dari kembang kertas sampai tapak dara. Sedikit jauh dan berjarak longgar, pohon kluwih dan sukun tumbuh tinggi.
"Jangan dekat-dekat air, nanti tercebur, Dirah. Kau kan tidak bisa berenang!" tegur bocah perempuan berpotongan rambut pendek dengan kulit sawo matang. Sepupu Mbah Putri itu bernama Sami.
Ngadirah mundur perlahan dan menyeringai. "Memangnya kau bisa renang?"

"Bisa."

"Bohong!"
"Tapi aku tidak akan masuk ke air walaupun kau tidak percaya aku bisa renang atau tidak." Sami membuang satu bunga yang dipetiknya dan melemparkannya ke riak bengawan. "Nanti hanyut!"
"Hanyut seperti tahi?"
Mereka tergelak. Kemudian keduanya meramban beberapa kembang lain dan beberapa lembar daun kluwih. Sami membuat wadah dari daun tersebut, sementara Ngadirah memasukkan kembang hasil petikannya. Mereka tata mirip sesajen.
"Besok minggu aku diajak Paklik (sapaan adik laki-laki ibu atau ayah; paman)," kata Sami riang sambil tangannya serius membuat wadah.
Ngadirah terdiam. Tangannya masih meraup kembang yang baru saja dipetiknya. "Bapakku? Mau ke mana?"

"Ke pasar malam."

Gigi Ngadirah gemeretak. "Kok aku tidak diajak?"
Sami mendongak. Dia merasa tidak enak karena Ngadirah tidak mengetahui hal tersebut.

Mata Ngadirah nyalang. "Kau harusnya pergi dengan bapakmu sendiri, Mi!"
"Lho...." Sami berdiri. Dia pulas senyum dan meraih pundak Ngadirah, tapi Ngadirah menampiknya kasar. Karena Sami lebih bongsor jadi Ngadirah terpaksa mendongak. "Biasanya kita nanti pergi sama-sama, Dirah?"

"Ya, mulai sekarang tidak usah pergi sama-sama."

"Kenapa?"
"Dia bapakku. Bukan bapakmu. Kau terlalu serakah!" Kemarahan di wajah Ngadirah memancing ketakutan Sami. Sesuatu yang sejak dulu mengganggunya tersebut, kini nyala kembali.

"Dorong saja, Dirah. Dorong selagi tidak ada orang!"
Dirga menoleh ke kanan dan kiri. Dia mendengar seperti bisikan, tetapi dekat sekali. Baru kali ini mimpinya berlanjut sampai sejauh itu. Maka, kesempatan itu tidak disia-siakannya.
Dia susuri tiap jengkal pohon rindang sampai gerombolan bambu apus di beberapa titik. Dirga sudah tidak berkonsentrasi mengamati Ngadirah dan Sami. Dia merasa lebih penting menemukan pembisik itu.
Lantas, setelah mengarahkan pandangan ke rumpun bambu lain, mata Dirga mengunci makhluk menyeramkan.
Rambutnya kusut panjang dengan tangan hampir menyentuh tanah. Kulitnya pucat. Saat mereka bersitatap, Dirga mendadak terbangun dari mimpi. Peluh tercetak jelas di kening. Jantung berdebar berlarian.
Sambil mendengus, Dirga menyadari terbangun dari mimpi karena lupa mengubah dering ponsel ke mode pesawat. Hingga sebuah pesan masuk dan merusak mimpinya.
Dia lalu melangkah menuju ponsel yang diletakkannya di meja belajar. Sebelum mengubah ke mode pesawat, Dirga baca pesan yang masuk setelah mengetuk dua kali layar tanpa harus membuka aplikasinya.
Ada apa Zainal malam-malam begini WhatsApp? Jangan-jangan, genset mal meleduk?

[Cux... mal-mu serem. Mirip film horor!]
Ditatapnya lama pesan tersebut. Dirga tunggu apakah ada kelanjutannya.

Zonk.

Pesan nggak penting!
Dirga ogah membalas pesan Zainal. Dia balik ke tempat tidur dan berharap mimpi yang sama akan hadir kembali.
Sembari mengerjap, Dirga baru sadar. Mimpinya kali ini cukup berbeda. Selain bersambung ke wujud makhluk yang dicarinya sampai sejauh ini, alur mimpi tersebut berbeda dengan cerita Mbah Putri.
Semuanya terbalik. Saat otaknya merangkaikan sebuah jalan cerita: bagaimana bisa Sami hanyut ke bengawan sementara Ngadirah tidak? Cepat-cepat Dirga usir pikiran buruk mengenai Mbah Putri. Menurutnya, itu terlalu seram.
#
Mal - Satu setengah jam sebelumnya....
Duduk di tangga lobi mal berpenerangan remang, Zainal pantik rokoknya kembali. Sejauh memikirkan kejadian di depan pagar kos, dia sudah menghabiskan lima batang rokok. Termasuk yang jatuh saat menutup pintu pagar.
Kini dari tempatnya duduk, Zainal bisa melihat gang taman bunga. Jalan satu-satunya menuju tempat kos. Sengaja dia pandangi gang tersebut sambil mengira-ngira letak kosnya. Dia gosok keningnya untuk mengusir bermacam prasangka. Namun tidak berhasil. Mendadak dia tak enak hati.
Untungnya, lamunan Zainal cepat buyar saat anak buah cadangannya―Restu, muncul. Zainal mengernyit saat anak buahnya itu mendekat bersama seseorang. Restu menyusul duduk di sebelah Zainal sambil meminta rokok sebatang.
"Mas Zainal, kenalin. Pak Ade. Pak Ade, ini Mas Zainal. Bos sementara saya." Restu tertawa garing.

"Aku cuma sanggup bayar seorang!" timpal Zainal saat mengulurkan tangan untuk bersalaman dengan Ade.

"Pinjam korek, Mas." Restu tidak mengindahkan perkataan Zainal.
Sebelum Zainal menyerahkan korek api, dia pandangi lekat Restu. "Jawab dulu pertanyaanku!"
"Pak Ade ini bosku juga di bagian kebersihan," balas Restu sambil merebut korek api dari tangan Zainal. Kemudian memantik rokoknya. "Masa nggak kenal Pak Ade, sih? Kebetulan malam ini beliau disuruh Pak Sander buat periksa kebersihan pameran di atrium."
"Sori, Pak. Saya memang susah ingat wajah orang. Padahal hampir tiap hari lihat Pak Ade keliling mal."

"Tidak apa-apa, Mas Zainal. Santai saja," balas Ade maklum.

"Rokok, Pak?" tawar Zainal.
Ade menunjukkan bungkus rokok miliknya dari dalam saku. Rokok kretek. Atau, tingwe: ngelinting dewe (membuat rokok sendiri dengan mesin manual dan tangan)
"Wih, ajib, tuh. Bagi sebatang, Pak," pinta Restu. Tangannya menengadah padahal mulutnya masih tersumpal sebatang rokok dari Zainal.

"Minta melulu!" cegah Zainal sambil menggelengkan tangan kepada Ade. "Suruh beli sendiri, Pak. Kebiasaan."
"Sttt," Restu mendesis. "Uangnya ditabung buat modal kawin, Mas."

"Eh, sana kerjain dulu setting property-nya!" perintah Zainal seketika. "Jangan sampek semua sudah pulang kita baru mulai nata, ya. Atau, kamu mau nggak dapat uang lembur?"
Restu berdiri sambil mencebik. Dia condongkan tubuhnya, memberi hormat. "Siap, Bos-ku!" Restu terkekeh dan berlalu saat Zainal bersiap menyepaknya.
Posisi duduk Restu digantikan Ade. Tak terasa, rokok Zainal pun sudah habis lagi. Dia berniat menambal nikotin dalam paru-parunya saat Ade memantik rokok kretek miliknya.
Wanginya menggoda, tetapi Zainal sadar diri untuk tidak ikut mencicipi meskipun Ade menawarkan. Dia tidak ingin gelembung dalam paru-parunya pecah mengisap nikotin seberat itu.
"Dari tadi saya lihat Mas Zainal melamun terus ke arah situ?" telunjuk Ade terulur ke gang taman bunga. "Memangnya Mas tinggal di sana?"

"Kebetulan saya kos di situ, Pak."

"Di tempat Pak Suyitno?" tembak Ade.

"Kok Pak Ade tahu?"
"Asal tebak saja." Ade mengembuskan asap rokoknya membentuk bulatan-bulatan kecil seperti cincin diterangi remang lampu lobi. "Berarti satu kos dengan Pak Dirga, ya? Pantas saja saya pernah lihat Mas Zainal jalan bareng pas pulang. Asumsi saya, kalian masih satu kos."
"Betul, Pak," ujar Zainal singkat.

"Seram ya tempatnya?"

Mata Zainal tergerak menyamping karena penasaran. Sementara Ade terkekeh.
"Tidak hanya rumah Pak Suyitno yang seram. Setiap rumah pasti begitu, apalagi kalau sampai kosong. Mal ini pun juga seram. Hanya―" Ade memotong omongannya sambil menjentikkan abu rokok.
"Beberapa keadaan memaksa suatu tempat atau hunian menjadi gerbang tak kasat mata untuk mereka-mereka yang tersesat.
Mereka yang tidak mengenal cahaya. Kalau sampai terjadi, biasanya kehidupan penghuninya akan berubah. Ada yang terkena bala. Terkadang jadi lebih sensitif saat bersentuhan dengan dunia lain."
Zainal menggaruk kepalanya yang tak gatal. Dia ingin menyelak, bertanya lebih jauh karena tidak paham. Namun enggan karena Ade yang tiba-tiba muncul dari antah berantah dan berkata tidak ada jeluntrungannya, membuatnya takut.
Walau begitu, ada secuil penasaran yang ingin Zainal tanyakan, "Pak Ade, kalau lihat percik api di atas genting, terus ada bunyi seperti ledakan kecil, artinya apa ya?"
"Kemungkinan... teluh," kata Ade pelan, persis bisikan.

"Bahaya nggak, Pak?"
"Mohon maaf, Mas Zainal. Sepertinya saya harus ke atrium dulu. Banyak yang sudah selesai menata pameran dan harus saya periksa kebersihannya. Takutnya ada laporan dari pihak keamanan ke atasan saya. Permisi."
"Iya, Pak. Silakan."

Mereka sama-sama membuang puntung rokok yang baru terisap separuh, menginjaknya, lalu berjalan masuk ke atrium mal secara beriringan.
#
Di dalam atrium mal, tiga lampu sorot yang menempel di rangka atap menyala. Satu di tengah, dua di kiri dan kanan. Sementara itu, gelap terjadi di atrium mini dari arah belakang, koridor, dan bagian mal lain.
Otomatis, kegiatan hanya berkisar di atrium, atau di dalam tenant jika ada yang melakukan perbaikan, stock opname dan general cleaning. Menurut informasi dari bagian keamanan, tidak ada pekerjaan apa pun selain loading in pameran atrium.
Pukul satu malam, selain space pameran Zainal, yang lain tinggal checklist dan pulang. Personal keamanan berkurang banyak karena bantuan pengawasan dari kamera CCTV. Sebagian dari mereka lebih fokus untuk pengawasan luar mal dan tempat-tempat yang memungkinkan pencuri sembunyi.
Dari tempatnya bekerja, Zainal merasa Ade terus mengawasinya. Dia sedikit ngeri membayangkan perkataan Ade perihal perdukunan. Sampai Restu tiba-tiba memekik dan membuyarkan lamunan.
"Ada apa?" tanya Zainal, panik.

Restu celingukan. Keringat dingin tercetak di keningnya. "Mules."

"Buruan ke toilet!"
Dua tangan Restu menekan perutnya dalam-dalam. Dia sampai harus jongkok. Lalu teringat jongkok dilarang saat sakit perut, dia seketika berdiri. "Anterin, Mas."
"Terus yang jaga barang-barangku siapa? Kalau hilang siapa yang mau tanggung jawab? Aku juga mau pulang cepat, Res." Telunjuk Zainal mengarah ke sembarang koridor gelap, yang di seberangnya terdapat toilet lantai dasar.
"Sebagai anak kebersihan, kamu pasti tahu toilet mana yang bisa dipakai kalau ada loading in pameran di atrium, kan?"
Restu bergegas. Dia berlari seperti kesetanan.
Sesampainya di dalam bilik toilet dengan bagian bawah di dekat lantai tak bersekat untuk petugas melihat apakah di toilet sedang terisi atau tidak, dipergunakan sebagaimana mestinya atau tidak, dan tentu saja untuk keamanan bersama.
Cepat-cepat dia melungsur celana panjangnya. Seperti menemukan surga kecil, isi perut Restu langsung terkuras habis. Lega. Namun kelegaan itu hanya bertahan sebentar saat sebuah kepala gosong menggelundung dan berhenti tepat di kakinya.
"Tolong carikan badan saya...."
Jerit Restu melengking bersamaan dengan seribu langkahnya. Gedebukan pun tak terhidarkan. Dia sampai terjatuh dan hampir menabrak pilar karena celana panjangnya belum terpakai dengan sempurna.
Beberapa orang bergerak, termasuk Ade dan Zainal untuk memeriksa ke arah mana teriakan. Saat senter dari pihak keamanan terfokus kepada Restu, mereka menemukan Restu sedang terduduk dengan gemetar. Wajahnya pias. Dia tunjuk lorong toilet yang gelap. "K... kepala gosong!"
"Jangan sembarangan kalau ngomong. Nanti jadi berita hoax," kata petugas keamanan saat membantu Restu bangun. Cuping hidungnya langsung berkerut membaui sesuatu yang tidak asing. Eek.
Tanpa komando, Ade bergerak menuju arah yang ditunjuk Restu. Zainal mengekor. Setelah mereka berbelok di lorong kecil melalui lorong besar yang ditunjuk Restu, remang penerangan dari toilet di ujung barat lantai dasar membuat bulu kuduk Zainal berdiri.
Dia terpaku. Untuk pertama kalinya dalam hidup, dia peroleh sekelebat kepala menggelundung, menembus dinding. Restu tidak bohong.
Ade menoleh, berkata pelan kepada Zainal, "Mas sebaiknya tidak usah ikut saya ke toilet untuk berbicara dengan penunggu di sini, supaya tidak mengganggu kita lagi. Dan demi kebaikan Mas daripada nanti tidak bisa tidur."
"Memangnya kenapa, Pak?"

"Badan gosongnya masih tertinggal di dalam sana."

• • •

Missing some Tweet in this thread? You can try to force a refresh
 

Keep Current with Heri Widianto

Heri Widianto Profile picture

Stay in touch and get notified when new unrolls are available from this author!

Read all threads

This Thread may be Removed Anytime!

PDF

Twitter may remove this content at anytime! Save it as PDF for later use!

Try unrolling a thread yourself!

how to unroll video
  1. Follow @ThreadReaderApp to mention us!

  2. From a Twitter thread mention us with a keyword "unroll"
@threadreaderapp unroll

Practice here first or read more on our help page!

More from @heriwidianto

Aug 2, 2022
@bacahorror
@threadhororr
@IDN_Horor
#ceritahorror
#rumahtusuksate

Part terakhir atau part 4.
Dimulai dari bab 40, ya. Sejauh ini masih semangat, kan? Image
@bacahorror
@threadhororr
@IDN_Horor
#ceritahorror
#rumahtusuksate

Bab 40 : Satu Kabar Mengular
Werungotok, 2005

Kehidupan Suyitno dan Eti berjalan normal kembali setelah kecurigaan yang dipupuknya sendiri menguar hari demi hari.
Mengenai bayangan di depan rumah yang selalu mengikuti ke manapun mereka pergi. Bertahun-tahun, kejadian tersebut seolah timbul tenggelam, hingga akhirnya mereka bisa merasakan ketenangan saat tinggal di Kota Angin, setelah menyibukkan diri dengan berbagai macam kegiatan.
Read 676 tweets
Jul 8, 2022
@bacahorror
@threadhororr
@IDN_Horor
#ceritahorror
#rumahtusuksate

Biar nggak terlalu panjang, sengaja aku potong di bab ini.
Dan yang belum baca bab 1 - 13, silakan:
Bab 14 : Seperti Menunggu Giliran
Cerita kepala dan badan terpisah dan gosong di toilet lantai dasar mal, berlanjut.
Read 803 tweets
Jun 30, 2022
@Mansek_Mangat @RaniKancana__ @AntoniusCDN @DetaLewar @Satria7108 @panjianom102 @bazzabeth @Cupidlucky2 @Pra__93 @KiranaAntaresia @abangGionih @srikandi239 @SonyaAmriani @ampyanina ----- Surup -----

[Thread]

Disclaimer: cerita ini adalah kisah nyata dari anggota keluarga saya sendiri.
.
Sekitar tahun 1980-an, Mamat tinggal di Teken Gelagahan, Jawa Timur. Keluarganya termasuk keluarga besar. Jadi, satu rumah diisi banyak anggota keluarga. Image
@Mansek_Mangat @RaniKancana__ @AntoniusCDN @DetaLewar @Satria7108 @panjianom102 @bazzabeth @Cupidlucky2 @Pra__93 @KiranaAntaresia @abangGionih @srikandi239 @SonyaAmriani @ampyanina Ada bapak, ibu, kakak perempuan yang sudah janda dan anak-anaknya, adik perempuan kelas 3 SD, dan satu adik perempuan lagi belum sekolah. Sementara Mamat kelas 6 SD.
@Mansek_Mangat @RaniKancana__ @AntoniusCDN @DetaLewar @Satria7108 @panjianom102 @bazzabeth @Cupidlucky2 @Pra__93 @KiranaAntaresia @abangGionih @srikandi239 @SonyaAmriani @ampyanina Sebagai anak cowok satu-satunya, tugas Mamat cukup banyak. Mulai dari bantu-bantu bapak di sawah, dan sesekali disuruh ibu. Terutama belanja.
Read 31 tweets
Jun 30, 2022
@bacahorror
@threadhororr
@IDN_Horor
#ceritahorror
#rumahtusuksate
#sobatmalamjumatkliwon

Hi,
Mau bikin selipan dikit, nih. Mumpung malam jumat. Jadi, aku mau cerita pendek horor. Judulnya:

---- Surup ----
[Thread]

Disclaimer: cerita ini adalah kisah nyata dari anggota keluarga sendiri.
.
.
Aku mulai, ya....
.
.
Sekitar tahun 1980-an, Mamat tinggal di sebuah desa Teken Gelagahan, di Jawa Timur. Keluarganya termasuk keluarga besar. Jadi, satu rumah diisi banyak anggota keluarga.
Read 30 tweets

Did Thread Reader help you today?

Support us! We are indie developers!


This site is made by just two indie developers on a laptop doing marketing, support and development! Read more about the story.

Become a Premium Member ($3/month or $30/year) and get exclusive features!

Become Premium

Don't want to be a Premium member but still want to support us?

Make a small donation by buying us coffee ($5) or help with server cost ($10)

Donate via Paypal

Or Donate anonymously using crypto!

Ethereum

0xfe58350B80634f60Fa6Dc149a72b4DFbc17D341E copy

Bitcoin

3ATGMxNzCUFzxpMCHL5sWSt4DVtS8UqXpi copy

Thank you for your support!

Follow Us!

:(