Hi,
Mau bikin selipan dikit, nih. Mumpung malam jumat. Jadi, aku mau cerita pendek horor. Judulnya:
---- Surup ----
[Thread]
Disclaimer: cerita ini adalah kisah nyata dari anggota keluarga sendiri.
.
.
Aku mulai, ya....
.
.
Sekitar tahun 1980-an, Mamat tinggal di sebuah desa Teken Gelagahan, di Jawa Timur. Keluarganya termasuk keluarga besar. Jadi, satu rumah diisi banyak anggota keluarga.
Ada bapak, ibu, kakak perempuan yang sudah janda dan anak-anaknya, adik perempuan kelas 3 SD, dan satu adik perempuan lagi belum sekolah. Sementara Mamat kelas 6 SD.
Sebagai anak cowok satu-satunya, tugas Mamat cukup banyak. Mulai dari bantu-bantu bapak di sawah, dan sesekali disuruh ibu. Terutama belanja.
Anggota keluarga yang lain juga kebagian pekerjaan rumah sendiri-sendiri. Intinya, tidak ada yang ongkang-ongkang kaki di rumah, kecuali yang masih piyik.
Karena anggota keluarga Mamat banyak dan penghasilan hanya di dapat dari sawah atau kebun, jadi terkadang ada sistem barter yang berlaku di keluarga ini untuk menyambung hidup. Termasuk, barter beras, atau hasil kebun.
Beras biasanya ditukar dengan minyak goreng, minyak tanah, gula, kecap, dan mi gelung, itu sudah biasa. Kelapa ditukar dengan cabe, bawang merah, bawang putih, dan penyedap rasa, juga sering.
Sebab punya kebun sendiri, jadi aneka sayuran masih bisa terpenuhi dari hasil kebun tersebut.
Intinya, kata bapak dan ibu: selagi nggak nyolong, semua sah-sah aja. Asal cukup, sudah. Begitulah pemikiran orang desa.
Waktu itu, seperti biasa, ibu menyuruh Mamat pergi ke warung yang sedikit jauh dari rumah (karena yang di dekat-dekat rumah sudah menyerah dan bilang sementara nggak bisa barter dulu) pake sepeda ontel.
Beras dia taruh di wadah dan disampir di setir, lalu berangkat lah Mamat sore hari ba'da ashar. Wajib mandi dulu. Baru juga mengayuh sepeda sebentar, Mamat lihat teman-temannya masih main kelereng. Jadi, dia berhenti sebentar.
Tidak mungkin Mamat ikut main kelereng karena tidak punya kelereng atau punya uang untuk beli kelereng.
Saking serunya permainan kelereng, Mamat sampai lupa waktu. Dia baru ingat harus menukar beras dengan bumbu dapur setelah permainan kelereng selesai. Teman-temannya buyar setelah orangtua masing-masing datang dan menyuruh mereka mandi.
Mamat kayuh lagi sepedanya. Jalanan sedikit menanjak lalu melandai kembali.
Di tengah perjalanan, Mamat merinding ketika melewati pohon kedondong tinggi dan lebat. Jarang berbuah. Dahannya sampai ke jalan.
Dan senggot (sumur tua).
Suasananya sepi. Angin bersiut. Rumah-rumah di desa, jarang. Jaraknya cukup berjauhan. Rumpun bambu, tegal, dan jalanan sepi menambah horor (combo) bagi Mamat. Apalagi, ada rumor kalau rumah terbengkalai di dekat situ ada penunggunya.
Akhirnya, Mamat sampai juga di warung. Untung saja warungnya sedang sepi pembeli. Jadi, Mamat tidak terlalu malu. Setelah selesai barter, dia segera pulang.
Matahari hampir tenggelam. Jalan tambah sepi. Kayuhan sepeda Mamat mulai terasa berat, padahal jalan di depan menurun.
Tiba-tiba, sepeda Mamat berhenti tepat di bawah pohon kedondong yang dahannya menjuntai sampai jalanan.
Kemeresak daun kedondong kedengeran. Padahal nggak ada angin. Tengkuknya seperti ditiup. Detak jantung Mamat meningkat.
Kreteeeek....
Bunyi senggot bergerak melubangi pendengaran Mamat. Burung cangak tiba-tiba ikut bersuara. Mau tidak mau, Mamat menoleh.
Krasak... krasak... krasak....
Mamat mendongak. Allahuakbar....
Bayangan hitam, gede, bertengger di batang pohon kendondong. Terus ada bunyi, seperti meluncur turun: Plok... kracak, kracak, kracak... plok... kracak, kracak, kracak....
Mamat paksa sepedanya bergerak. Berhasil. Padahal seluruh badannya sudah gemetaran.
Plok... kracak, kracak, kracak... plok... kracak, kracak, kracak....
Sepanjang jalan, Mamat seperti diikuti bayangan itu. Dan bayangan itu baru hilang setelah Mamat sampai halaman depan rumah. Dia menangis.
"Mboooook," panggil Mamat.
"Apa, Le (panggilan buat anak cowok)?" si mbok kaget. Dia tutup hidungnya. "Ambumu kok koyok telek jaran (baumu kok seperti kotoran kuda)? Lhooo... kok iso (kok bisa)?"
Mamat malah menangis histeris.
Usut punya usut, ternyata penunggu pohon kedondongnya memang jail. Suka iseng sama yang lewat jalan situ. Si Genderuwo~
Sampek sekarang pohonnya masih ada. Senggotnya sudah hilang. Mamat juga masih hidup. Pengalaman ini bakalan dia bawa sampek mati dan bakalan diceritakan turun temurun ke anak dan cucunya kelak.
Pesan Mamat: kalau waktunya surup, jangan keluar rumah dulu. Diam dulu. Gantian sama yang beda dunia.
• • •
Missing some Tweet in this thread? You can try to
force a refresh
Disclaimer: cerita ini adalah kisah nyata dari anggota keluarga saya sendiri.
.
Sekitar tahun 1980-an, Mamat tinggal di Teken Gelagahan, Jawa Timur. Keluarganya termasuk keluarga besar. Jadi, satu rumah diisi banyak anggota keluarga.
"Jangan beli rumah di ujung jalan. Rumah Tusuk Sate banyak bawa sial."
Lalu, apa jadinya kalau nggak ada pilihan buat yang telanjur tinggal di Rumah Tusuk Sate?
Disclaimer:
- Cerita ini berisi 25% pengalaman pribadi dan teman-teman semasa kos dulu, dan sisanya adalah untuk pengembangan cerita.
- Tokoh & tempat sengaja disamarkan untuk melindungi privasi.
- Karya sendiri.
Bab 1 : Mangga Depan Rumah
Andai Ganda tidak ikut stock opname dan men-display product, kemungkinan besar dia tidak akan berjumpa penunggu pohon mangga di halaman depan kos. Ganda sempat berang mengingat jabatannya sebagai kepala toko.