Keseraman terus berlanjut, malam cekam belum selesai. Om Heri dan Wahyu sedang coba mencari jalan keluar dari keseraman di perkebunan karet.
Simak semuanya di episode berikutnya, untold story #rhdpk, hanya di sini, di Briistory..
***
Sementara itu, Wahyu masih terus berusaha memperbaiki motor, semampunya, bekerja dalam gelap.
Tapi, entah berapa menit kemudian, aku tersadar kalau Wahyu tiba-tiba sudah berhenti bergerak, diam dalam posisinya yang terakhir, dengan tangan masih memegang obeng, tapi wajah menghadap ke satu arah, lagi-lagi Wahyu seperti sedang melihat sesuatu.
“Ada apa, Yu?” tanyaku.
Wahyu gak menjawab, masih dalam posisi duduk, tapi kemudian tangan kanannya perlahan menunjuk satu arah, ke kejauhan. Lagi-lagi Wahyu ingin menunjukkan sesuatu..
Aku langsung menatap ke arah yang ditunjuk oleh Wahyu, coba menangkap apa yang hendak dia tunjukkan.
Kali ini, aku gak harus bersusah payah, karena objek yang Wahyu maksud langsung dapat aku tangkap dengan penglihatan..
Di kejauhan, di dalam remang gelap, terlihat ada rombongan yang berjumlah belasan orang, mereka sedang berjalan bergerak perlahan, ke arah kami..
Semuanya belum jelas kelihatan, masih berbentuk bayangan hitam karena kurangnya pencahayaan..
Awalnya aku berharap kalau itu adalah penduduk desa yang letaknya di dekat perkebunan, awalnya berharap seperti itu. Tapi, lama kelamaan, ketika mereka sudah makin dekat dan makin dekat lagi, sepertinya harapanku gak sesuai dengan kenyataan.
Makin dekat, kami makin ketakutan, karena sepertinya mereka bukan penduduk desa, penampakannya malah sangat menyeramkan..
***
Mereka terus berjalan mendekat, makin dekat dan makin dekat lagi. Makin berkurangnya jarak kami, maka makin jelas pemandangan yang terlihat, makin jelas tampak perwujudan mereka.
Tampak serombongan orang sedang berjalan, beriringan namun gak beraturan. Mereka menyusuri ruang kosong di antara barisan pohon karet yang menyerupai jalan setapak.
Aku dan Wahyu masih diam sambil terus memperhatikan dari balik motor, penasaran ketakutan bercampur jadi satu.
Jalur yang mereka lalui sebenarnya dipenuhi semak belukar, tapi ada yang aneh, karena semak-semak itu sama sekali gak bergerak ketika rombongan itu berjalan di atasnya, semak belukar diam pada posisinya, aneh.
Sampai akhirnya kami hanya tinggal berjarak beberapa belas meter saja.
Tiga orang paling depan semuanya lelaki, berpakaian warna gelap kusam, dua di antaranya berambut agak panjang. Di belakang mereka masih banyak sosok lagi, mungkin belasan.
Atas bantuan cahaya langit, walau remang tapi kami bisa memperhatikan wajah-wajahnya, semuanya putih pucat, tatapan kosong ke depan. Merinding aku melihatnya..
Gak bisa memastikan, karena banyaknya semak belukar kami jadi gak bisa melihat kaki mereka, namun kalau dilihat dari gerakannya, pergerakan mereka seperti melayang gak menyentuh tanah..
Yang lebih mengerikan lagi, mereka semua dan sekitarnya gak ada suara sama sekali, sunyi senyap. Aku dan Wahyu makin gak berani untuk bergerak, karena sekecil apa pun gerakan pasti akan menimbulkan suara.
Mereka terus bergerak hingga akhirnya hanya tinggal beberapa meter di hadapan.
Perlahan aku bergerak mundur, coba manjauh dari mereka yang sepertinya bertujuan untuk sampai di titik tempat kami berada. Wahyu pun begitu, perlahan bergerak mundur.
Menahan nafas, nyaris rebah, pandangan kami gak lepas ke mereka, ketika sosok-sosok seram itu akhirnya berhenti tepat di hadapan!
Berdiri diam, wajah-wajah putih pucat ini menatap dalam gelap. Aku dan Wahyu seperti mati, sama sekali gak bisa bergerak, terhipnotis.
Situasi meyeramkan seperti itu berlangsung cukup lama, waktu seperti berhenti berputar, mengerikan.
Tapi tiba-tiba, aku merasa ada hembusan angin menerpa kulit, dingin, bersamaan dengan adanya hembusan angin sosok-sosok seram akhirnya mulai bergerak, mereka bergerak berjalan perlahan menuju ke arah kiri.
Kemudian mereka menjauh dan terus menjauh, meninggalkan kami yang masih terus saja diam gak bergerak.
Beberapa belas detik kemudian, mereka semua menghilang dari pandangan, tertelan gelapnya perkebunan.
Selesai? belum..
Ternyata hanya beberapa saat saja kami diberi kesempatan untuk bernafas lega, setelah itu ada sesuatu lagi yang datang mendekat.
***
Nyaris bersamaan, aku dan Wahyu menoleh ke kanan, ke ujung jalan setapak yang sangat gelap. Kami menoleh karena tiba-tiba mendengar ada suara yang menarik perhatian, sayup tapi kedengaran..
Suara yang khas, yang pasti itu bukan suara langkah kaki.
“Gludug, gluduug, gluddugg”, kira-kira seperti itu bunyinya.
Kamu terus memperhatikan ke ujung jalan, ke sumber suara.
Yang awalnya sayup, makin lama suaranya makin jelas, menandakan kalau sang pemilik memang sedang bergerak mendekat.
Lagi-lagi, aku dan Wahyu bergeser bergerak, kali ini kami jadi agak bersembunyi di balik salah satu pohon karet. Masih sambil duduk, kami mengintip penasaran coba melihat apa/siapa yang sedang berjalan mendekat.
“Gluuudug, gluduug, gluddugg” makin lama makin jelas..
Hingga beberapa saat kemudian, perlahan ada sesuatu yang muncul di dalam gelap, sesuatu yang sepertinya sang pemilik suara.
Mati-matian kami menajamkan penglihatan,menembus remang gelap ujung jalan, sampai akhirnya kami bisa melihat ada yang bergerak di kejauhan, makin penasaran.
Benar, itu bukan manusia seperti dugaan kami. Itu adalah benda bergerak.
Benda itu terus bergerak disertai dengan suara khas.
Sepertinya gerobak, aku menebak seperti itu. Gerobak pembawa barang yang biasanya ditarik atau didorong oleh manusia atau hewan.
Ternyata benar, itu gerobak, aku yakin karena ketika jaraknya sudah cukup dekat, penampakannya jadi makin jelas.
Gerobak kayu, gak terlalu besar, bergerak di atas dua roda yang terbuat dari kayu juga.
Harusnya kami bisa sedikit lega karena objek yang dari tadi membuat penasaran sekarang sudah jelas kelihatan, tapi nyatanya gak begitu, kami malah mulai kembali ketakutan. Kenapa..?
Iya, gerobak kayu terus berjalan mendekat ke arah kami berada, perlahan tapi pasti.
Lalu apa yang ditakutkan? Apa yang membuatnya jadi seram?
Ketika sudah makin mendekat, gelap sudah gak jadi penghalang, dan jarak kami sudah hanya tinggal beberapa meter saja, barulah kami melihat dengan jelas kalau gerobak kayu ini berjalan dengan sendirinya, sama sekali gak ada manusia atau hewan yang menarik atau mendorongnya.
Benar, gerobak kayu ini berjalan sendiri!
Berjalan lambat, menyusuri jalan setapak. Beberapa meter lagi akan sampai tepat di hadapan.
Suara khas roda kayu yang sedang menggelinding di jalan tanah terus terdengar, sementara gerobak terlihat berjalan agak miring ke kanan dan ke kiri yang mungkin dikarenakan kontur jalan yang memang gak rata.
Sepi dan heningnya alam, membuat semua faktor berpadu menjadi satu simfoni keseraman, mengiringi pergerakan gerobak yang akhirnya sudah berada persis di hadapan.
Aku dan Wahyu terus memperhatikan gerobak yang sedang berjalan sendiri ini, kini jaraknya hanya beberapa meter dari kami.
Saat inilah akhirnya terjawab kenapa dari awal tadi gerobak berjalan sangat lambat, bergerak perlahan, seperti sedang membawa beban.
Dugaan kami benar, ternyata gerobak ini memang ada isinya, gak kosong.
Gerobak ini ada isinya..
Awalnya, kami gak bisa terlalu jelas melihat apa yang sedang dibawa oleh gerobak, karena bentuknya masih samar. Tapi lama kelamaan jelas juga, pada akhirnya kami bisa melihat dengan pasti apa yang sedang dibawa oleh gerobak ini.
Terbujur kaku, ada sesosok jenazah di dalamnya, jenazah yang di atasnya ada kain kusam menutup dari bawah hingga ke atas.
Kenapa kami bisa yakin kalau itu adalah jenazah manusia? karena kain kusam itu gak menutupi dengan sempurna, ada sepasang kaki terlihat menyembul gak tertutup kain..
Aku menahan nafas, dan aku yakin kalau Wahyu juga begitu.
Gerobak pengangkut jenazah yang bergerak sendiri ini sungguh sangat pelan jalannya, membuat ketakutan kami jadi gak ada habisnya.
Tapi entah kenapa, kami malah terus terusan menatap gerobak itu, mungkin rasa penasaran yang membuatnya seperti itu.
Nah, ketika sudah mulai bergerak menjauh, tetapi masih dalam jarak pandang yang jelas, mungkin karena kontur jalan yang gak rata, tiba-tiba kami melihat kalau kain penutup jenazah bergeser ke samping, seketika itu pula jenazah jadi gak tertutup lagi.
Benar, itu adalah sesosok jenazah, laki-laki, teronggok kaku terbaring..
Tatapan kami terus menerus memandang gerobak itu, yang terus juga bergerak menyusuri jalan setapak, mulai menjauh dan makin menjauh. Sampai akhirnya dia menghilang ditelan gelap, menyusuri arah yang sama dengan rombongan sosok seram yang sebelumnya melintas juga.
Setelah itu, suasana kembali sepi dan hening. Seperti kosong, ruang alam yang dipenuhi oleh pepohonan ini seperti gak berpenghuni, gak ada pergerakan.
Aku dan Wahyu masih diam gak bergerak, dua peristiwa tadi sedikit banyak menghantam mental dan akal sehat, kami harus berusaha lagi menyusun pikiran supaya bisa jernih dan ambil langkah yang benar.
“Trus gimana, Pak? Kita mau di sini aja atau ke mana?”
Dengan suara pelan Wahyu bilang seperti itu, namun wajahnya tetap terus menatap ke tempat di mana rombongan dan gerobak seram itu menghilang tadi.
“Kita pergi dari sini aja, Yu,” Jawabku.
“Tapi, Pak, motor kan mogok,”
Benar yang Wahyu bilang, aku baru ingat lagi kalau motor kami mogok.
“Ya sudah, kita dorong aja,” jawabku.
Wahyu setuju, di tengah malam buta, entah jam berapa, kami berjalan kaki sambil menuntun motor menyusuri jalan setapak membelah perkebunan karet.
Yang seperti aku bilang tadi, ini adalah wilayah perkebunan yang gak kami kenali, kami gak pernah ke sini sebelumnya, makanya aku dan Wahyu gak tahu harus berjalan ke mana, yang pasti harus pergi jauh-jauh dari sini.
Udara perlahan berubah jadi agak dingin, hembusan angin sepoi memberikan sentuhan pada kulit. Gelap masih sangat, sepi dan hening juga tetap menguasai, mengawal langkah kami yang sekali lagi entah bertujuan ke mana.
Kami terus berjalan dan berjalan tanpa tahu arah dan tujuan.
Buta waktu, sama sekali kami gak tahu ini sudah jam berapa, perkiraanku ini masih tengah malam lewat sedikit, sekitar jam satu dini hari.
Gelombang cekam keseraman yang kami alami sejak dari rumah tadi, masih menghantui pikiran, sejauh perjalanan yang nyaris tanpa percakapan ini kami terus menerus diam.
Entah ketika sudah berapa lama berjalan, tiba-tiba perlahan kabut tipis mulai turun, jarak pandang yang sejak tadi memang sudah terbatas jadi makin terbatas lagi. Tapi, gak ada jalan lain selain kami harus terus berjalan dan berjalan, dan sekali lagi masih tanpa arah dan tujuan.
Udara makin dingin, kabut makin tebal, kami terus melangkah..
Meraba, mengikuti jalur setapak yang sepertinya makin lama makin gak jelas. Kanan kiri masih dipenuhi oleh barisan pepohonan karet yang berjajar, tetap dalam jarak pandang yang sanget pendek.
Tapi, ketika entah sudah berapa belas menit kemudian setelah kami terkungkung cekam pekat kabut, perlahan kabut yang tadinya tebal tiba-tiba menipis, berangsur hilang. Pada saat inilah kami akhirnya dapat melihat kejauhan lagi, walau masih dalam keadaan gelap.
Ada yang berbeda, kali ini tiba-tiba kami merasa kenal dengan wilayah di mana kami berdiri sekarang. Hampir berbarengan, aku dan Wahyu menghentikan langkah, sama-sama merasakan hal yang sama.
“Loh, ini kan perkebunan depan rumah kita, Yu,” aku bilang begitu.
Wahyu gak menjawab, dia hanya memandang lurus ke depan sambil seperti sedang memperhatikan sesuatu.
Benar pikiranku, ternyata kami malah sudah sampai di perkebunan di depan rumah tempat kami tinggal, aneh.
Tepatnya, kami berdiri hanya belasan meter dari rumah, cukup dekat.
“Pak,” Wahyu bilang begitu, sambil tangannya menunjuk ke satu tempat.
Ternyata, Wahyu menunjuk ke depan rumah kami. Gak perlu bersusah payah mencari apa yang Wahyu maksud, aku langsung dapat melihat semuanya.
Jauh di hadapan, ternyata ada pemandangan aneh yang terpampang di depan rumah, rumah tempat kami tinggal.
Pekat gelap yang masih menyelimuti malam, tapi tetap kami bisa melihat semuanya, menyeramkan.
Dari kejauhan, kami melihat kalau di halaman rumah ada belasan sosok yang sedang berdiri nyaris berkerumun.
“Itu orang-orang yang kita lihat tadi,” nyaris berbisik Wahyu bilang seperti itu.
Aku gak menjawab, tapi mengiyakan.
Benar, aku yakin kalau mereka adalah rombongan sosok seram yang kami lihat tadi, rombongan yang berjalan melayang tanpa menyentuh tanah.
Dan yang lebih seram lagi, ternyata di antara mereka terlihat ada gerobak pengangkut jenazah yang tadi kami lihat juga.
Sungguh pemandangan yang menyeramkan..
***
Hai, balik lagi ke gw ya, Brii.
Kira-kira apa yang akan Om Heri dan Wahyu lakukan setelah itu? melihat pemandangan seram yang ada di depan rumah tempat tinggal mereka.
Lanjutannya minggu depan ya..
Tetap sehat dan menyenangkan, supaya bisa terus merinding bareng.
Salam
~Brii~
• • •
Missing some Tweet in this thread? You can try to
force a refresh
Seperti suara, ada tapi gak terlihat. Susuran ruang dan waktu sering kali gak sesuai capaian akal, atau mungkin kita belum sampai ke tahapan itu.
Raka akan bercerita tentang perjalanannya ke Jogja yang berbelok entah ke mana.
Simak semuanya di sini, hanya di Briistory..
***
Seperti biasa, beberapa belas menit sebelum stasiun Lempuyangan aku terbangun, menghela nafas sebentar berusaha memaksimalkan kesadaran setelah tidur cukup lama.
Di luar gerimis, jendela kereta basah tapi gak terlalu. Atap rumah-rumah yang terlewati kelihatan basah, begitu juga jalanan. Lampu kota gak seterang malam awal, apa lagi ini bukan Jakarta, penerangan seadanya, rumah-rumah hanya menyalakan lampu kecil, banyak juga yang malah nggak ada penerangan, tapi semuanya akan sedikit berubah ketika kereta mulai memasuki Jogjakarta.
(Katanya) Ada banyak lapisan dimensi di alam ini, tapi gak banyak orang yang bisa masuk dan merasakan berada di dalam dimensi lain.
Menurut kamu, apakah Niko sedang menembus antar dimensi ketika tersesat di kaki Gunung Kerinci seperti ceritanya di bawah ini?
Simak di sini, hanya di Briistory.
***
Tersesat, aku benar-benar tersesat..
Jarak pandang jadi sangat pendek karena tertutup kabut tebal, jalan setapak yang tidak rata serta licin jadi medan berat yang harus dilalui. Tas ransel besar di punggung makin terasa berat. Udara sangat dingin.
Aku tidak tahu harus melangkah ke mana..
Jalan setapak ini kadang menanjak, kadang menurun, tapi sepertinya lebih banyak menurun jadi sepertinya ini sudah ke arah yang benar, yaitu ke kaki gunung. Syukur-syukur kalau bisa menemui sungai, aku bisa menyusuri arusnya menuju hilir yang sudah pasti ada pemukiman di sana. Tapi, entah sudah berapa jam berjalan tanpa arah seperti ini, aku belum juga menemukan aliran sungai, suara air mengalir pun tidak terdengar, apa lagi pemukiman penduduk, tidak ada sama sekali.
Mungkin penghuni lama hanya ingin berkenalan, menunjukkan eksistensi kepada kita yang baru datang. Tapi sering kali, caranya sangat menguji nyali.
Indra, ingin berbagi pengalaman seram ketika bekerja di pergudangan tua di Cianjur.
Simak di sini, hanya di Briistory..
***
“Emang begini keadaannya, tinggal dibersihin dikit aja udah enak deh, hehe,” kata Kang Ijal, sambil cengengesan.
Buset, ini si udah kayak gudang gak keurus, berantakan banget, akan kerja keras aku membereskannya.
“Nanti, Mas tinggal di sini bareng Pak Rony, dia di kamar depan, sekarang orangnya lagi mudik, biasanya nanti malam atau besok pagi udah balik lagi ke sini,” kata Kang Ijal lagi.
Aku masih terus memperhatikan ruangan yang nantinya akan aku gunakan sebagai kamar tempat tinggal.
Kadang kita disuguhi kejadian seram ketika berkendara melintas malam, tertuang dalam fragmen gelap berbalut kengerian.
Salah satu teman akan berbagi cerita klasik seram ketika melintas di Jalur Purwakarta Bandung pada tahun 1996.
Simak di sini, hanya di Briistory.
***
Normalnya, Purwakarta Bandung bisa ditempuh dalam kisaran satu sampai dua jam saja, tapi kalau aku biasanya santai, jadi seringnya sampai dua atau malah tiga jam lebih kalau harus beristirahat makan dulu di satu rumah makan.
Belum terlalu lama aku rutin berkendara sendiri rute Jakarta Bandung, semua berawal dari dua bulan lalu ketika harus berkantor di Jakarta, sementara Istri dan anak-anak tetap tinggal di Bandung.
Pedalaman Sumatera menyimpan banyak cerita, jejak seram tergelar nyaris di setiap sudutnya.
Salah satu teman akan menceritakan pengalamannya ketika mengalami kejadian mengerikan di perkebunan bambu di dalam hutan Sumatera, simak di sini, hanya di Briistory.
***
“Satu batang lagi, ah”
Aku bergumam sendiri, sambil memandang jalanan di depan yang kosong, gak ada kendaraan sama sekali, hanya gelap tanpa penerangan.
Aku duduk sendirian di depan gubuk kecil pinggir jalan yang letaknya di tengah-tengah antah berantah di belantara Sumatera.
Gak tahu pasti di daerah mana aku berada saat ini, hampir jam dua belas tengah malam, ponselku mati kehabisan baterai, sempurna.
Panti Asuhan yang terletak di tengah-tengah hutan kecil, banyak cerita dan peristiwa seram di dalamnya. Dalam rentang waktu pertengahan 1990-an, semuanya akan tertuang di series “Panti Asuhan” ini.
Simak di sini, hanya di Briistory..
***
Seperti di tengah-tengah hutan, walaupun terbilang kecil tetapi hutan ini cukup banyak menampung pepohonan, berbagai jenis pohon ada, dari yang kecil sampai yang menjulang tinggi, dari yang jarang sampai yang lebat dedaunan, rumah panti asuhan berdiri hampir di tengah hutan kecil ini. makanya, sepanas apa pun kondisi cuaca, lingkungan panti tetap terasa relatif sejuk dan segar udaranya.
Akan makin terasa suasana hutan di waktu pagi, udara sejuk terbilang dingin di mana embun tebal menghias permukaan lingkungan panti dan sekitarnya, sampai sang embun menghilang terkikis oleh hangatnya sinar mentari.