Heri Widianto Profile picture
Aug 2, 2022 676 tweets >60 min read Read on X
@bacahorror
@threadhororr
@IDN_Horor
#ceritahorror
#rumahtusuksate

Part terakhir atau part 4.
Dimulai dari bab 40, ya. Sejauh ini masih semangat, kan? Image
@bacahorror
@threadhororr
@IDN_Horor
#ceritahorror
#rumahtusuksate

Bab 40 : Satu Kabar Mengular
Werungotok, 2005

Kehidupan Suyitno dan Eti berjalan normal kembali setelah kecurigaan yang dipupuknya sendiri menguar hari demi hari.
Mengenai bayangan di depan rumah yang selalu mengikuti ke manapun mereka pergi. Bertahun-tahun, kejadian tersebut seolah timbul tenggelam, hingga akhirnya mereka bisa merasakan ketenangan saat tinggal di Kota Angin, setelah menyibukkan diri dengan berbagai macam kegiatan.
Suyitno menjadi anggota militer dan petani bawang merah di hari-hari liburnya, menjelang pensiun dini yang sebentar lagi datang. Sementara Eti menjadi ibu rumah tangga dan membantu suaminya di ladang, sekadarnya.
Selain itu, mereka memaksa diri membaur. Menjadi pasangan yang selalu jadi panutan warga sekitar karena saking mesranya di setiap kesempatan, meski belum juga dikaruniai keturunan. Tidak pernah sekalipun terdengar pertengkaran di antara mereka, apalagi dengan tetangga. Adem ayem.
"Rahasianya apa tho, Bu Eti? Saya kok jadi iri kalau lihat Bapak yang selalu mesra ke Ibu. Soalnya suami saya jarang sekali senyum begitu ke saya kalau ndak ada maunya," kata Yuni sebal.
Salah satu buruh taninya ketika menyaksikan dengan mata kepalanya sendiri bagaimana kedua juragannya itu saling memandang saat berselisih jalan. Sempat mengerling manja, padahal Suyitno masih sibuk memindahkan bawang merah basah hasil panenan ke tempat jemuran.
"Apa tho, Yun?" Eti terkekeh dan mengalihkan pandangannya segera supaya tidak jadi pusat perhatian. "Ya, sebenarnya ndak ada rahasia apa-apa. Cuma...." Wajah Eti bersemu merah sambil geleng-geleng kecil.
"Cuma apa, Bu?" telisik Yuni seraya mendekatkan telinganya. Barangkali juragannya itu malu kalau sampai rahasianya didengar oleh yang lain.

Tidak lama kemudian, Eti memutuskan untuk mengakhiri rasa penasaran Yuni. "Itu lho, Yun. Minak jinggo..."
Yuni kembali ke posisi duduknya sebelumnya. Meringis dan berkata pelan, melanjutkan. "Miring enak...."
"Njengking monggo," tukas Eti. Mereka tergelak dengan pembahasan orang-orang dewasa yang tidak mungkin diumbarnya sembarangan. Dan dari jauh, Suyitno hanya bisa menebak-nebak apa yang sedang diguyonkan oleh istrinya dengan buruh tani mereka.
Kehangatan seperti itulah yang awalnya mereka ragu bisa lakukan. Dan ternyata tidak menjadi kendala berarti. Berjalan secara alami. Intinya, mereka tidak ingin mengulangi kesalahan yang sama.
Terlalu tertutup, sampai akhirnya jika ada keganjilan di sekitar lingkungan, maka mereka lah yang dicurigai paling awal menjadi biang keroknya.
Jikalau dikulik lebih jauh lagi, tentu saja ada perubahan dalam kehidupan mereka. Keduanya semakin kompak menutupi kelemahan satu sama lain. Bersinergi dengan kedoknya.
Rasa-rasanya, sejak Wojogeni muncul sampai dengan hari ini, Suyitno merasa makhluk tersebut menyatu bersama raganya. Dekat sekali seperti aliran nadi. Ia merasakan sesuatu yang besar dan kuat, dan selalu membantunya bertahan menjalani hari demi hari.
Ajaibnya, Suyitno merasa dunia ada dalam genggamannya. Pun senada ancaman bagi musuh-musuhnya yang tak tampak. Tak bisa dipungkiri, peran Wojogeni bagi Suyitno adalah sebagai obat penenang saat ia ingat banyak nyawa yang terputus dari raga oleh tangannya.
Suatu kali merenung, Suyitno bertanya dalam hati. Apa sekarang kau bahagia? Mungkin ya, mungkin tidak. Benaknya mengambang ke segala macam rasa, tetapi tetap saja tidak bisa menentukan bagian mana yang lebih dominan mengenai perasaannya. Takut atau kalah.
Kecuali keraguannya menentukan sikap, Suyitno merasa Wojogeni adalah paket komplet dalam hidupnya. Sejak bertemu pertama kalinya di Lembah Hutan Wilis, ia tidak perlu bersusah payah memboyongnya ke rumah.
Wojogeni dengan senang hati ikut. Kemana pun Suyitno pergi setelah kematian Wiwit, Wojogeni turut. Hidup Suyitno sedikit tenang setelah kematian Wiwit, sebelum diguncang kembali oleh kemunculan Banaspati di atap rumahnya.
Ia selalu ingat dengan sensasi yang ditimbulkannya. Kosong sebentar di relung hatinya sebelum sesuatu seperti menyerangnya dari dalam. Setan alas.
"Aku tidak mengira kalau malam ini benar-benar akan kejadian," gumam Suyitno saat terbangun dari tidurnya dengan peluh tercetak di dahi.

"Ada apa, Mas?" tanya Eti, sama-sama terkejut dengan ledakan di atap rumah mereka.

"Banaspati."
"Ada lagi?" Ketakutan Eti menjangkiti kembali suasana temaram rumah mereka. Pandangannya berkeling dan berakhir kepada suaminya yang beranjak dari tempat tidur.

"Kamu di sini saja!" perintah Suyitno.

"Tapi, Mas...."
"Percaya sama aku. Mas tidak akan mati semudah itu. Aku akan memberinya pelajaran!"

Eti mengangguk mantap, meski ketakutan masih hinggap di benaknya.
Tanpa pernah Suyitno atau Eti sadari, Wojogeni tersenyum dari balik gelap rumahnya. Seringnya, ia mengintip di antara tembok dan almari. Seperti embusan angin, Suyitno merasakan kedatangan Wojogeni. Ketenangan merambati hati. Ia tahu, malam ini ia akan selamat seperti biasanya.
Lamat-lamat Suyitno mendapati bisikan Wojogeni. Seorang dukun ilmu hitam di satu kota yang sama dengannya, berusaha merebut Wojogeninya.
Beruntung, sejauh ini Suyitno telah mempelajari banyak rapalan dari Wiwit dan juga buku-bukunya. Jadi, ia sudah siap jika ada yang menyerangnya mendadak.
Melalui kitab-kitab milik Wiwit, ia akan mempraktikkan secara masif dan terencana, ditambah lagi percobaan lain secara sembunyi-sembunyi dengan menggabungkan beberapa mantra.
Kali ini, Suyitno ingin dukun ilmu hitam itu minimal masuk rumah sakit karena muntah darah, dan mati perlahan seperti sebuah siksaan.
Dan benar saja, segalanya seperti begitu mudah dengan adanya Wojogeni. Saat ini pun, Suyitno merasakan sedikit efek dari serangan dukun ilmu hitam itu. Tidak seperti sewaktu melawan Wiwit dulu.
Ia hanya harus terbaring di tempat tidur untuk beberapa waktu lamanya. Kakinya tidak dapat digerakkan. Sepengetahuannya, akibat tusukan paku pada boneka perantaranya.
Setelah sehat kembali, Suyitno mencari lokasi dukun ilmu hitam itu.
Tanpa perlu ada balasan tanding, kesehatan dukun ilmu hitam itu terus memburuk setelah perutnya tiba-tiba saja terbuka dan menguarkan bebauan tak sedap, termasuk darah yang tak henti merembes. Pihak rumah sakit sudah angkat tangan.
Suyitno ingat menyerang dukun ilmu hitam itu saat terlelap. Melalui mimpi, Suyitno bertemu Wojogeni yang berdiri di ambang pintu. Melalui mimpi itulah, Wojogeni memberitahu untuk melakukan ritual pada malam selasa legi saat Banaspati berkunjung ke atap rumahnya.
Beranjak dari tempat tidur, Suyitno menuju meja ruang tengah. Diambilnya satu buah pinang yang sudah disiapkan sedari siang, dibelah dua sama sisi dan dia masukkan pada dada boneka kayu yang terbuka, sesuai dengan arahan Wojogeni dalam mimpinya.
Kemudian, melalui petunjuk Wojogeni, Suyitno goreskan weton sang dukun ilmu hitam di atas dada boneka lalu merajutnya kembali.
Asap kemenyan mengepul. Suyitno merapal mantra.
Diperhatikannya kembali boneka itu dalam pekat keheningan. Ia lalu meraih gunting berkarat dengan tangan gemetar. Saat menarik napas panjang, ia hujamkan gunting tersebut tepat di bagian perut boneka yang seperti hidup karena bergerak-gerak ringan ditopang tangannya.
Separuh buah pinang yang masuk di dada boneka seperti mengeluarkan cairan berwarna merah, terus-menerus, hingga Suyitno memejam dan merasakan boneka tersebut tak lagi bergerak.
Sejenak, Suyitno merasa terbebas dari segala hal yang membelenggu.

Terbukti dengan ritual serta pemberitahuan dari dalam mimpi, sekali lagi Wojogeni memilihnya menjadi sekutu. Untuk untuk kesekian kalinya, ia merasa telah menjadi pemenang.
Adakah penyesalan bagimu kalau suatu saat akan menemaniku di Neraka selama-lamanya? Aku tidak akan menyesal.
Perebutan Wojogeni seolah menyempurnakan apa yang tidak dimilikinya selama ini, meskipun ada harga mahal yang harus dibayarnya setiap kali hatinya menolak. Bayaran tumbal ketika Wojogeni mulai memintanya adalah hal yang harus dipikirkannya masak-masak.
Permintaan Wojogeni mengenai darah segar memang tidak datang setiap tahun, melainkan ketika Wojogeni menginginkannya saja. Sekadar mengisi persediaan makan. Seperti seekor ular yang hanya memakan satu ekor tikus dan menyimpan tenaganya untuk beberapa bulan ke depan.
Namun, Wojogeni sanggup menyimpan tenaganya bertahun-tahun setelah korban pertama jatuh. Pernah suatu ketika Wojogeni meminta tumbal satu manusia untuk jangka waktu lama.
Tidak terlalu banyak yang ia korbankan untuk satu hal itu, sebab masih bisa dihitung dengan jari. Dan hal pertama yang dilakukan Suyitno setelah mengetahui permintaan Wojogeni berupa tumbal, dia harus memutar otak supaya tidak menimbulkan kecurigaan dari lingkungan sekitar.
Sebab, dia dan Eti tidak dikaruniai seorang pun anak, otomatis Suyitno harus mencari cara untuk menyanggupi permintaan Wojogeni dengan mengorbankan anak orang lain.
Namun, sepertinya kehidupan tidak sedang berpihak kepadanya. Sehati-hatinya mereka dalam bertindak, tetap saja tidak ada yang tahu bagaimana nasib seseorang beberapa jam ke depannya. Atau bahkan, beberapa menit setelah mereka yakin semuanya aman terkendali.
Mendadak, Wojogeni meminta dua tumbal sekaligus.
@bacahorror
@threadhororr
@IDN_Horor
#ceritahorror
#rumahtusuksate

Bab 41 : Datang Tanpa Diduga
Segalanya bisa berubah. Seperti air laut yang tak selamanya tenang, yang ada di daratan pun berlaku sama.
Dan ada satu peribahasa yang tepat untuk menggambarkannya: Sepandai-pandainya tupai melompat, suatu saat pasti merasakan terjatuh.
Ditelitinya lemari kayu jati berukir buah nanas khas Madura berwarna cokelat tua. Lemari itu terletak di pojok ruang keluarga, menghadap langsung radio besar dengan anyaman rotan, untuk hiburan.
Suyitno mengeluarkan beberapa berkas yang mulai menguning dari dalam lemari, memeriksanya sambil mengingat-ingat sejumlah asetnya. Senyumnya merekah sebelum kekhawatiran menyusul di wajahnya yang lelah.
Mereka berencana pindah secepatnya. Sebab warga mulai mencium gelagat mencurigakan dari kediaman mereka.
Ketika bunga kopi dan kenanga yang mereka tanam di depan rumah sebagai penyamaran aroma mistis, beberapa warga kampung mulai merasa terganggu dengan kasus yang terendus dan mengarah kepada rumah Suyitno.
Apalagi saat malam tiba. Hal itu karena tidak terlalu banyaknya penerangan di sekitar rumah. Rumput liarnya mulai mengambil alih peran sementara jamur menggerogoti dinding luar rumahnya yang kusam dan terlihat lapuk.
Padahal, perbaikan dan juga bersih-bersih pekarangan telah sering mereka lakukan. Sepertinya, kusam, lapuk, dan rumah tak terawat selalu datang lebih awal.
Detik terus berjalan. Mereka takut di saat-saat kecurigaan mengarah kepadanya, Wojogeni berulah. Meminta lagi tumbal. Dalam kekhawatiran berlebih, doa mereka cuma satu. Semoga rumah cepat laku.
Mungkin karena stres, kenangan buruk mulai menjalari kehidupan mereka kembali. Ketakutan Eti jika sampai Wojogeni lepas dan makhluk-makhluk penghuni dunia gelap menggerayanginya, bersanding dengan suara-suara meminta pertolongan yang tak pernah lelah menyambangi telinga Suyitno.
Beberapa calon pembeli pun seperti berlarian setelah kunjungan pertama mereka.
Kenangan betapa susahnya mengumpulkan semua harta tersebut dan harus merelakannya dimiliki oleh orang lain juga membebani pikirannya. Ia ingat kesembronoannya mengorbankan dua warga kampung yang bekerja untuknya.
Saroh dan Yuni meninggal secara tak wajar dengan mata mendelik dan juga darah seperti tersedot habis dari tubuh mereka yang ringkih dan tergeletak di lantai. Sejak itu, rumor berembus kencang.
Sampai datanglah wanita bernama Ngadirah. Salah satu orang terkaya di Kota Angin.

Di satu siang yang berangin, Ngadirah tiba-tiba berkunjung setelah mendengar kabar bahwa rumah besar yang berbeda kecamatan dengan tempat tinggalnya, dijual dengan harga murah.
Saat Ngadirah berdiri di depan halaman rumah Suyitno yang tampak menyedihkan, ia langsung jatuh cinta pada pandangan pertama dengan rumah tersebut. Rumah sederhana dan terkesan sedikit kuno.
Orang suruhannya yang bernama Parto bahkan bilang rumah itu angker. Karena Parto tahu sepak terjang Ngadirah sebagai salah satu orang pintar, jadi ia tahu kenapa Ngadirah tertarik dengan rumah tersebut.
"Tidak salah kalau Kang Darso bilang mau rumah ini. Ngeri begini bentuknya," kata Ngadirah, manggut-manggut sambil memandangi rumah di depannya.
"Ya, sebelum Kang Darso akhirnya mati karena tidak tahu apa penyakitnya. Dokter saja angkat tangan. Muntah darah dan isi perutnya keluar," balas Parto santai.

"Jaga mulutmu!" seru Ngadirah.

"Memangnya kenapa?"
"Itu...." Ngadirah geleng-geleng, tidak berminat menerangkan lebih jauh. "Lupakan saja!"

"Hmmm... tapi...."
Pertanyaan Parto terhenti saat pemilik rumah membukakan pintu dan menyambut kedatangan mereka. Suyitno bahkan membukakan pagar depan rumahnya sendiri untuk Ngadirah.
"Silakan masuk, Bu Ngadirah. Anggap saja rumah sendiri." Eti mempersilakan tamunya itu masuk. Mereka berjalan bersisian. "Mana cucunya? Kok tidak diajak sekalian?"
"Dirga tidak mau ikut. Lebih pilih main sama teman-temannya," jawab Ngadirah pelan. Sementara Parto memicing mengamati rumah yang terlihat telantar itu.
Di ruang tengah saat tangan Parto menyentuh guci besar sebagai pajangan, ditiupnya sedikit debu yang menempel di jari manisnya. "Kenapa dibiarkan kotor rumahnya?"

Ngadirah membeliak dan menepak pelan lengan Parto. Tersenyum sungkan sambil menggumam, "Kok tidak sopan, ya."
"Nanti pasti kami bersihkan sebelum Bu Ngadirah tempati," tukas Eti berusaha sabar. Rahang Suyitno sedikit mengeras.
Ngadirah menghentikan langkahnya. Terpaku. Suyitno dan Eti saling berpandangan, sementara Parto dibuat merinding dengan kalimat Ngadirah selanjutnya. "Bukan karena ada sesuatu yang suka dengan yang kotor-kotor, kan?"
Tampak ketidaksukaan di wajah Suyitno saat pandangan Ngadirah terarah padanya. Namun, ia tahan sebaik mungkin.
"Tidak ada yang seperti itu, Bu. Kami hanya malas membersihkannya saja karena sedang sibuk mau pindahan ke rumah baru," terang Eti. Ia sepertinya sudah bosan menjadi penjual rumahnya sendiri.
Ngadirah tersenyum untuk menetralkan suasana yang dipancingnya sendiri. Ia berjalan menuju ruangan lain, di bagian belakang rumah yang menyatu dengan ruang makan.
Kuda-kudanya terlampau banyak dan terbuat dari kayu jati untuk menopang bagian atap beranyam potongan tipis-tipis batang bambu. "Semoga nanti betah di rumah barunya."
"Iya, amin. Semoga rumah ini laku terjual dengan Ibu." Eti tertawa kecil dan mengeratkan pegangan tangannya kepada Suyitno. Suaminya itu diam saja. "Bu Ngadirah mau minum apa?" tanya Eti, ikut mencoba menetralkan situasi.
"Sudah berapa lama tinggal di sini?" tanya Ngadirah, seperti ingin mengubah pokok bahasan yang coba dipotong oleh Eti. Parto yang berdiri di sebelahnya, menarik napas panjang seolah-olah sedang menahan beban dunia.
Lalu memotong sendiri napas panjangnya karena takut debu tersedot hidungnya.
"Beberapa tahun yang lalu sejak suami saya pindah tugas ke sini."

"Oh, ya?"

"Kebetulan saya anggota militer," ucap Suyitno dengan bangganya.
Ngadirah dan Parto mengangguk-angguk. Saat Ngadirah berjalan kembali, Suyitno dan Eti seperti sedang menunggu perkataan calon pembeli rumahnya dengan harap-harap cemas.

"Tidak bisakah harga rumahnya berkurang sedikit? Menurut saya, masih kemahalan," kata Ngadirah pada akhirnya.
"Bu Ngadirah mau menawar berapa?" Kali ini Suyitno mengambil alih peran. Ia sudah tidak sabar angkat kaki dari situ.

Eti beralih memandang Suyitno dan menyuntikkan senyuman lebih dalam supaya tawar-menawar hari ini berakhir dengan baik.
"Semua bisa diatur dan dibicarakan, Bu Ngadirah," Suyitno melanjutkan.

"Mari ke ruang tamu, saya buatkan teh dulu buat Ibu dan Bapak," tawar Eti.

"Maaf, saya bukan bapaknya Bu Ngadirah apalagi suaminya," kata Parto.
"Siapa juga yang mau jadi istrimu, To?!" Ngadirah bersuara lantang. Kemudian, keempatnya tertawa sambil mengikuti langkah Eti. Parto menggaruk-garuk kulit kepalanya yang tidak gatal.
#
Kehangatan di ruang tamu tercipta setelah guyonan Parto. Suasana obrolan jadi lebih santai. Tidak berapa lama, Eti kembali dari dapur dengan membawa suguhan.
"Kebetulan saya dapat teh dari Gunung Kawi yang sejuk dan belum ada kawannya buat mencoba. Sekalian tadi bikin tape goreng sebelum Bu Ngadirah datang. Untuk teman minum. Maklum, suami saya tidak terlalu suka teh, jadi jarang sekali ada yang mau ikut icip-icip rasa teh yang baru."
"Ternyata ada juga orang yang tidak suka teh, ya?" kata Parto berbasa-basi.

"Ada. Ya, saya," balas Suyitno datar. Parto cukup tahu diri untuk tidak melanjutkan basa-basinya itu.

"Silakan dinikmati teh-nya," Eti mempersilakan.
Setelah menyesap teh dan mengunyah tape goreng, Ngadirah seperti digiring untuk berjalan menuju ke ruang tengah. Kursi goyang yang terbuat dari anyaman rotan menarik perhatiannya. Kemudian, saat mengamati keadaan sekitar, ia merasa ada yang sedang memperhatikannya.
Tidak butuh waktu lama, Ngadirah tahu ada yang mengintip dari lubang pintu masuk. Sesuatu yang tidak asing dalam hidupnya. Terasa kuno. Kemungkinan yang dicarinya selama ini.
Ngadirah berniat mendekat, tetapi seperti kerbau dicucuk hidungnya. Suyitno sudah lebih dulu mendekat ke arahnya. Dalam sekejap, sesuatu itu menghilang dari radarnya. Hanya tertinggal bau anyir... dan, samar-samar aroma kesturi.
"Maaf, apa sebelumnya ada yang tidak beres dengan rumah ini? Ada penunggunya, mungkin? Saya bisa merasakannya," telisik Ngadirah.

"Tentu saja tidak ada Bu Ngadirah. Sejak kami tinggal di sini, tidak pernah ada yang aneh-aneh. Semuanya aman," jawab Suyitno tangkas.
"Kalaupun ada juga tidak apa-apa," balas Ngadirah datar.

"Bu Ngadirah ini dukun, Pak," terang Parto tanpa diminta.

Ketiganya saling pandang. Wajah Suyitno terlihat lebih kaku dari Eti. Bisa dibilang, ia terperangah mendengar kalimat barusan.
"Pak Parto bercanda, Pak." Ngadirah mencoba memecah keheningan.

"O... oh...," balas Suyitno terbata-bata. Eti tertawa canggung. Parto menunduk karena berpikir komisinya telah raib gara-gara ulahnya sendiri.
"Tapi saya tetap ingin membeli rumah ini," terang Eti. "Sesuai dengan penawaran Bapak dan Ibu. Seisi-isinya, termasuk yang tidak terlihat."

Parto menarik napas lega.
Makhluk yang sebelumnya menampakkan diri kepada Ngadirah, seperti ikut mendengarkan perkataannya yang belum terarah, di belakang lemari, di bagian samping ruang tamu yang menghadap langsung kepada Eti dan Suyitno.
"Maaf, apa yang sudah jadi milik saya, sudah tentu akan saya bawa. Khusu untuk yang tidak terlihat itu," jawab Suyitno mengambang.
"Akan saya bayar berapa pun asal Bapak mau menukarnya. Saya tahu ia berharga, makanya saya bisa kasih penawaran tertinggi buat memilikinya." Terdengar tidak ada tawar menawar pada kalimat Ngadirah.
"Tidak ada yang kami jual selain rumah ini, Bu Ngadirah. Kebun serta sawah juga kalau Ibu mau. Termasuk, barang-barang yang terlihat oleh Ibu saja." Eti mencoba mengambil alih kendali pembicaraan sebab ia tahu suaminya tidak dapat diandalkan dalam situasi semacam itu.
"Kalaupun dia ingin tinggal di sini, pasti kami tidak akan memaksanya untuk ikut pindah. Sebenarnya, tidak ada yang perlu dikhawatirkan dengan semua itu karena kami juga tidak ada ikatan apa pun dengannya."
"Baiklah. Saya setuju dengan penawarannya." Ngadirah tersenyum simpul, kembali duduk dan mencomot tape goreng yang disuguhkan Eti.
Obrolan pun berjalan sedikit tersendat. Meski begitu, Ngadirah terlihat lega sampai mereka pamit pulang, dan kembali beberapa hari kemudian dengan membawa sejumlah uang muka dan beberapa dokumen penting untuk ditandatanganinya. Akad jual beli pun berjalan lancar.
Beberapa hari sebelum pemilik rumah yang lama menyerahkan kuncinya sebagai bagian akhir akad jual beli, Ngadirah bertanya iseng. "Kalau boleh tahu, mau pindah ke mana, ya? Atau mungkin, sudah ada rencana menetap di mana?"
Eti dan Suyitno kompak tersenyum dan tidak menjawab pertanyaan Eti dengan gamblang. "Kami ingin sekali bisa melihat matahari terbit dengan tenang. Apalagi setelah surat pensiun saya datang," ucap Suyitno mengakhiri bincang-bincang hari itu.
Ngadirah tahu, ia pasti gagal mendapatkannya. Namun ia yakin, kalau ia tidak bisa memilikinya sekarang, ia percaya, kelak yang ditakdirkan untuknya atau keluarganya, pasti menemukan jalannya sendiri untuk kembali.
Kembali kepada tuannya.
@bacahorror
@threadhororr
@IDN_Horor
#ceritahorror
#rumahtusuksate

Bab 42 : Hari Baru Tiba
Gadingasri 2005

Entah sedang berbaik hati atau ingin menakut-nakuti, Wojogeni menampakkan wujud aslinya kepada Suyitno.
Dan seperti mendapatkan kesempatan lebih, maka di sepanjang perjalanan ia bertanya berulang-ulang kepada Wojogeni, apakah kota tujuan mereka nantinya aman. Tentu saja tidak ada jawaban dari Wojogeni.
Di hari ketiga saat langkah Suyitno dan Eti tersaruk-saruk, Wojogeni akhirnya buka suara juga. "Di sini saja!"

Wajah keduanya semringah.
Tanpa banyak cakap, mereka turuti permintaan Wojogeni meskipun dalam hati masih terdapat ganjalan. Kenapa pula Wojogeni memilih Gadingasri sebagai tempat tinggal mereka yang baru?
Apalagi ketika melihat satu rumah cukup besar, bertingkat dengan penampakan sedikit kuno pada bagian luar, berpenyangga beton dan terletak di ujung jalan yang tidak terlalu ramai.
Suyitno dan Eti tidak mengira saat Wojogeni menggiring langkah mereka memasuki satu gang sedikit melebar pada ujungnya, dengan tatapan tajamnya. Sepertinya, Wojogeni benar-benar ingin tinggal di rumah tersebut.
Di hari ketiga itulah, mereka sampai di tempat tujuan.
Satu kota yang diapit beberapa gunung ini―Gunung Arjuno, Gunung Semeru, Gunung Kawi dan Panderman, serta Gunung Kelud―akhirnya menjadi pilihan mereka untuk tinggal, setelah mengunjungi dua kota lain dan berakhir batal.
Kecuali Wojogeni, Suyitno dan Eti sepertinya menyimpan banyak pertanyaan. Namun yang terpenting untuk sekarang ini adalah mereka bisa menutup segala informasi yang membekas dalam ingatan semua warga Werungotok serta kehidupan mereka yang telah lalu. Istilahnya, tutup buku.
Di tempat baru nantinya, mereka tidak ingin terlalu akrab dengan warga sekitar seperti sebelumnya karena tidak ada gunanya. Mereka tetap jadi yang pertama tertuduh saat ada masalah.
Oleh karena itu, ketika beberapa pasang mata warga menatap awas saat berselisih jalan dengan mereka, balasan Suyitno dan Eti hanyalah mengangguk wajar.
"Rumah Tusuk Sate katanya tidak baik untuk ditinggali?" kata Suyitno, mengawali protesnya.

"Kau ini bodoh atau bagaimana?" jawab Wojogeni datar.

"Maksudmu? Selain mudah dikunjungi sama...." Suyitno memotong kalimatnya sendiri. "Lupakan! Kamu sendiri pasti tahu alasannya."
"Setan?"

Ragu, Suyitno akhirnya mengangguk.
"Seharusnya kau bersyukur aku mau memilihkan rumah ini untuk kalian. Setan-setan itu bisa kalian jadikan tameng untuk menutupi jejakku. Tidak akan ada yang sadar kalau aku tinggal di sini. Atau, apa kau ingin melihat Banaspati lagi?" tantang Wojogeni.
"Kalau iya, kita cari tempat tinggal yang lain."
"Ya, ya, ya. Kita tinggal di rumah ini saja."
Saat mereka akan melangkah kembali mendekati rumah incarannya itu, tiba-tiba seorang wanita masuk ke rumah dengan membawa serta barang belanjaannya. Di belakangnya, anak laki-lakinya sedang menutup pintu dan sebentar lagi menyusul seseorang yang kemungkinan besar adalah ibunya.
Sebelumnya, keduanya melewati Suyitno dan Eti dengan mengangguk kecil, memberi salam.
"Rumahnya masih ditinggali orang. Kita tidak mungkin mengusir mereka," gumam Suyitno saat berhenti melangkah.
"Beri aku waktu untuk menyelesaikan urusan ini. Kalian tidak perlu khawatir. Simpan tenaga kalian. Pokoknya, kalian tinggal tahu beres saja," ucap Wojogeni dengan suaranya yang berat.

"Terus, kami tinggal di mana sementara waktu ini?" tanya Suyitno.
"Terserah kalian mau tinggal di mana. Kalian bisa tinggal di bawah jembatan kalau mau. Atau, di kuburan seperti waktu kemarin cari tempat tinggal itu," jawab Wojogeni ketus.
Ingin rasanya Suyitno merajuk. Namun, saat Eti mendengar ceritanya dan berusaha membesarkan hati suaminya, dengan setengah hati mereka mengeluarkan uang hasil dari menjual aset untuk menyewa tempat tinggal sementara.
Seperti niatan Wojogeni sebelumnya, tidak lebih dari tiga minggu ia berhasil memenuhi janjinya. Sebuah papan pemberitahuan "Rumah Dijual" terpampang nyata di depan pagar rumah yang mereka taksir. Sekarang, tinggal harga rumahnya sesuai atau tidak dengan kantungnya.
Suyitno tidak mau sampai mengorbankan diri terlalu jauh untuk pindah rumah, lalu jatuh miskin.
Saat Suyitno dan Eti bertamu dan berniat mengetahui harga rumah dari papan pemberitahuan bahwa rumah dijual, mereka disambut baik oleh pemiliknya. Harganya sungguh masuk akal dan semuanya berjalan lancar. Surat-surat pun lengkap. Aman.
Setelah pembayaran dan urusan surat-menyurat selesai, Suyitno dan Eti langsung menempati rumah yang cerita-cerita seramnya mulai merebak, dikorek oleh tetangga sekitar.
Cerita mengenai bebauan anyir dan tak sedap setiap malamnya lagi santer. Tangis menyayat di malam hari menjadi soal. Atau, penampakan yang membuat pemiliknya ketakutan setengah mati.
Dukun atau Kiai pun seperti tak sanggup mengusir. Cerita-cerita seram itu membuat bulu kuduk para tetangga meremang. Mereka memperingatkan Suyitno dan Eti supaya berhati-hati. Kalau perlu, selamatan sebelum benar-benar tinggal.
Ada perasaan iba pada suara mereka ketika mencoba memperingatkan suami istri yang sudah tidak muda lagi itu. Namun di sisi lain Suyitno dan Eti semakin mengerti bahwa hidup mereka tidak dapat terpisahkan dengan keberadaan Wojogeni. Mereka tetap akan tinggal.
Untuk menggerus berbagai macam prasangka, mereka mulai membiasakan diri bercengkerama dengan tetangga sekitar, dan tetangga-tetangganya itu masih memperingatkan Suyitno maupun Eti bahwa rumah tersebut tidaklah setenang seperti yang mereka ceritakan.
Saat-saat mengantar masakan, walaupun hanya sepiring singkong, Eti mencoba berbasa-basi, bercerita mengenai pertemuannya secara tidak sengaja dengan hantu yang ada di rumah tersebut dengan menambahkan sedikit senyuman di wajahnya,
tanda bahwa dia merasa sedikit terganggu dengan penampakan-penampakan itu.
Bukannya tenang, kekhawatiran mereka tambah kentara.
Sejak memutuskan menjual seluruh aset yang dimiliki untuk menyambung hidup di tempat baru, Suyitno mulai memutar otak dengan menyediakan indekost yang dibangun secara bersekat, menggunakan sisa tabungan dan hidup dari dana pensiun, walau tidak terlalu menguntungkan pada awalnya.
Sebab hanya ada satu atau dua orang yang menempati rumahnya, hingga bangunan mal di seberang jalan buka. Mendadak, kos Suyitno penuh.
Dan cerita-cerita horor mengenai rumahnya yang sempat tersebar, pelan-pelan ditelan oleh omongan yang lain, mengenai tarif kos yang paling manusiawi dan bisa diterapkan agar jadi langganan.
Sedikit demi sedikit, Suyitno mengubah penampakan rumahnya dengan menambahkan tanaman hijau dalam pot besar maupun kecil, baik di lantai satu maupun di lantai dua.
Penerangan di malam hari pun mulai dimaksimalkannya untuk mengurangi kecurigaan, walaupun bangunan utama Rumah Tusuk Sate itu tidak dia ubah, kecuali cat tembok kusam yang dipulas ulang.
Suyitno menyukai suasana tua yang ditampilkan oleh rumah yang dibelinya dengan harga cukup murah tersebut, dan dibangunnya kembali menjadi satu kos-kosan.
Akhirnya, dia mengerti kenapa Wojogeni memilih tempat tersebut sebagai tempat tinggalnya. Tentu saja, rezeki yang mengalir deras setiap bulannya.
Hari berganti, tahun berjalan. Mereka menikmati betul tinggal di Rumah Tusuk Sate, walaupun beberapa kali harus berurusan dengan RT/ RW dan pihak berwajib karena kedapatan anak kos yang meninggal dunia. Terakhir, terjadi kasus bunuh diri di kamar pojok yang ada di lantai dua.
Sampai suatu hari, di satu siang yang panas, rumah bertingkat yang tampak lengang itu mendadak ribut oleh Wojogeni yang berhambur dari lonteng, menuju halaman depan.
Di belakangnya, penampakan pocong mengikuti Wojogeni yang pergi dari rumah sebelum satu penampakan asing menembus kamar kosong tempat terjadinya bunuh diri. Sejak saat itu, Suyitno tidak pernah lagi melihat sosok Wojogeni. Ia ketar-ketir makhluk itu sengaja melakukannya.
Diliputi rasa penasaran, Suyitno dan Eti bergegas menuju halaman depan dengan langkah tertatih. Berdiam diri di balik pagar dan menunggu.
Dalam diamnya, seorang pemuda melangkah mendekat. Ia tersenyum kepada Suyitno dan Eti dari balik pagar besi.

Didorongnya pintu besi rumahnya pelan dan pemuda itu melangkah masuk, memperkenalkan dirinya bernama Dirga.
Entah bisikan dari mana, ada yang menyuruh mereka mengiakan permintaan Dirga yang ingin indekost di rumahnya, walaupun hati Suyitno berkata "tidak bisa. Sedang penuh", mengingat ada kejanggalan yang tidak dapat dijelaskan otaknya saat menyambut uluran tangan Dirga yang hangat.
Apalagi, saat sekelebat bayangan datang menghampiri.
Sejenak setelah ia lihat bayangan Wojogeni bergerak cepat di belakang Dirga yang hanya menunjukkan reaksi dengan dahi berkerut, akhirnya Suyitno mengangguk samar. Ia meyakinkan diri memberi Dirga kamar kosong. Secepatnya, guna memupus keraguan yang sempat hinggap di benaknya.
"Paling tidak, aku tidak perlu mencari calon tumbal seumpama Wojogeni menginginkannya." Suyitno membatin saat mengantarkan Dirga melihat-lihat calon kamar kos-nya. "Anak ini sepertinya bisa jadi mangsa yang empuk untuknya."
Seolah Dirga mampu membaca pikiran Suyitno, dahinya berkerut kembali saat calon bapak kosnya itu sedang menatap kosong dirinya, di depan kamar kos yang nanti akan ditempatinya.
@bacahorror
@threadhororr
@IDN_Horor
#ceritahorror
#rumahtusuksate

Bab 43 : Kuncian

Gadingasri, 2021
Tinggal satu kali Banaspati menemukan jalan untuk masuk ke rumah sekaligus tubuh pemiliknya. Rumah Kos Tusuk Sate.
Namun sebelum itu terjadi, Ade ingin lebih dulu singgah ke rumah itu untuk memeriksa situasi dan kondisinya.
Kesempatan itu pun datang saat Dirga dan Ibnu mempersilakannya masuk ke tempat kos mereka. Niatnya, sekadar memeriksa sesuai permintaan. Ia tidak ingin merusak rencana yang sudah bertahun-tahun disusunnya dengan terperinci, tanpa perlu menanam kecurigaan.
Sore itu, sengaja mereka membuat janji palsu. Ade berkunjung sebagai seseorang yang sedang mencari tempat kos. Untungnya, Dirga dan Mario sama-sama off. Jadi keduanya bisa lebih leluasa jika pemeran drama kali ini tidak terlalu banyak.
Setelah Ade sampai, agenda mereka selanjutnya adalah mempertemukan orang pintar itu dengan pemilik kos untuk tanya-tanya soal kamar kosong. Dan cukup berhasil tanpa menimbulkan kecurigaan.
Berbasa-basi sejenak, akhirnya pemilik kos menyarankan kepada Ade untuk melihat-lihat dulu kamar kos kosong yang ada di lantai dua, di sebelah kamar Ibnu. Kamar yang telah lama tidak berpenghuni itu segera menguarkan aroma aneh saat pintunya berderik. Tengkuk mereka meremang.
Baru kali ini Dirga memiliki kesempatan melihat kamar kos yang lama kosong. Ada lemari terbuka separuh, seprei yang tampak baru digunakan tidur seseorang. Aroma sedikit apak berkelindan dengan bau tipis-tipis anyir. Yang menarik perhatian adalah siapa yang berani tidur di situ?
Segera kejanggalan mengitari benak Ade dan juga Dirga saat mereka keluar dari kamar kosong itu.
Sambil duduk di ruang tamu di lantai dua, Suyitno mulai bercerita mengenai sejarah singkat tempat tinggalnya itu. Mengenai pekerjaan yang dibanggakannya. Mengenai telah berapa lama mereka tinggal di rumah itu. Lalu, bagaimana Suyitno sampai bisa membuka kos-kosan.
Tentu saja semuanya hanya bualan. Sementara Eti terpaksa tidak ikut mengantar melihat kamar kos di lantai dua. Kakinya sedang lemah. Jadi, mereka hanya bertegur sapa sejenak, bersitatap dengan Ade dan Eti hanya membalas dengan anggukan pelan.
"Kalau boleh tahu, Nak Ade kerja di mana, ya?" tanya Suyitno setelah mengikuti obrolan mereka yang sudah dimulai beberapa menit yang lalu ketika ia pergi ke bawah dan kembali dengan membawa sepiring besar pisang goreng madu untuk suguhan.
"Maaf Pak, kok jadi merepotkan segala. Saya sungkan kalau disambut begini," kata Ade, rikuh.
"Ini tidak merepotkan sama sekali. Jangan sungkan begitu, Nak Ade. Malahan saya yang minta bantuannya buat makan pisang goreng madu ini. Mumpung istri saya dapat pisangnya yang sudah masak." Suyitno tertawa kecil guna mengusir rasa sungkan tamunya. "Mari, silakan diicip dulu."
"Terima kasih," jawab ketiganya kompak.
Semua tangan langsung terarah kepada sepiring pisang goreng madu. Mario lah yang lebih dulu mencomot suguhannya itu. Dan mengangguk-angguk, menikmati betapa nikmatnya mendapat camilan gratis.
"Kebetulan saya kerja di mal, Pak. Sama seperti Pak Dirga. Cuma beda bagian. Saya bagian kebersihan, sementara Pak Dirga bos saya," canda Ade sambil mengunyah pisang gorengnya. Dirga tersenyum kecut.
"Kira-kira, Nak Ade berminat dengan kamarnya atau tidak?" tukas Suyitno. "Nanti kalau saya ditanya sama istri, saya bisa kasih jawabannya." Ia akhiri kalimatnya itu dengan kilatan ramah di matanya.
"Saya pikir-pikir dulu, Pak. Kasih waktu. Besok saya kabari, deh. Kalau tidak sempat main ke sini pun, saya pasti pesan ke Pak Dirga biar bisa kasih kabar ke Bapak Suyitno secepatnya," jawab Ade, tak lupa mengulum senyum.
Deham Suyitno terdengar. Beberapa gelas teh hangat menyusul kemudian. Dirga membantu mengambilnya ke bawah setelah mendengar permintaan tolong dari Eti.
Karena sedikit tak enak hati, Ade memutus keheningan yang terbentuk secara tidak sengaja. "Memangnya kamar yang buat saya nanti, sudah berapa lama kosongnya, Pak?"
"Belum terlalu lama kosongnya, Nak Ade. Tidak sampai tiga bulan. Tapi sampean tenang saja. Tiap hari kami bersihkan bagian dalamnya. Kami sapu, ganti sprei, dan kasih pewangi ruangan. Makanya nggak bau, tho."
Ade manggut-manggut. Sedikit pertanyaan berkelebat di kepala Dirga. Sementara Mario masih sibuk mengunyah pisang goreng madu dan menyesap teh hangatnya.
"Bukannya sudah lama, ya, Pak, kamar yang di sebelah itu kosong?" Mario mendadak menyahut dan mengejutkan semua orang. Padahal, Suyitno sedang bercerita mengenai penghuni kos lama yang tiba-tiba saja kabur dari rumahnya. Bahkan, baju-bajunya masih tersimpan di rumah induk.
"Mungkin Mas Mario salah ingat. Kan, yang kos di kamar itu baru keluar tiga bulan yang lalu pas Mas Mario nggak ada di rumah? Orangnya melarikan diri dan tidak bayar uang kos," Suyitno berkilah. Jeda terbentuk.
Dirga tidak berani menyanggah sedangkan Ade hanya mengerutkan dahi. "Mari, dimakan dulu pisang gorengnya," Suyitno mencoba mengalihkan perhatian dengan mempersilakan tamunya melanjutkan makan dan minum suguhan.
"Bukannya meninggal dunia ya, Pak?" kata Mario datar, seperti ingin menantang pemilik kos. Tidak ada lagi senyuman di bibir Suyitno saat mendengar kalimat tersebut.
"Meninggal dunia?" Dirga mengulangi perkataan Mario. Entah kenapa, Dirga tiba-tiba penasaran ingin mendengar cerita dari pemilik kosnya.
Pandangan Suyitno beralih kepada Dirga. "Oiya. Berarti saya yang lupa. Yang minggat bukan dari kamar yang ada di pojok itu, ya." Suyitno tergelak, kaku. "Ya, ya, ya. Saya baru ingat. Anaknya meninggal dunia karena sesak napas. Memang dia punya gangguan pernapasan.
Kalau ingat kejadian itu, saya jadi kasihan dengan anaknya. Kebetulan dia tulang punggung keluarga."
"Namanya siapa, Pak?" Dirga bertanya. Kali ini Mario merasa aneh dengan kelakuan Dirga. Tidak biasanya teman satu kosnya itu banyak bicara, apalagi banyak tanya.

"Seingat saya namanya... Andika," jawab Suyitno ragu-ragu. Ia tunjukkan tatapan tidak ingin ditanya-tanya lagi.
Tepat saat Suyitno membalas pertanyaan Dirga, lirikan Ade terarah kepada kamar kosong yang ada di hadapannya. Dari dalam kamar, terdengar bunyi benda terjatuh sebagai tanda bahwa sesuatu atau seseorang sedang berada di sana. Hal tersebut juga sempat mengundang perhatian Dirga.
Mereka masih menebak-nebak, tetapi sepertinya memang ada yang janggal dengan kamar kosong tersebut. Apalagi, saat beberapa detik lamanya Ade menatap pintu kamar tanpa berkedip.
Untung saja ada suara tangga terinjak dari luar ruang tivi dan terdengar oleh mereka beberapa detik kemudian, saat seseorang berjalan pelan ke arah ruang tamu. Jadi, untuk sementara waktu mereka bisa bernapas lega.
Ternyata, Zainal yang melangkah tanpa memandangi sekitar.
"Nal, ke sini dulu sebentar. Ada Pak Ade lihat-lihat kamar kosong. Siapa tahu cocok terus kos sama kita," Mario menyapa Zainal yang melewati ruang tivi dengan melirik sekilas.
Tidak ada jawaban dari Zainal selain suara pintu kamar miliknya menutup kembali, setelah tubuhnya raib dihujani pandangan dari orang-orang yang dilaluinya. Tentu saja Mario merengut mendapat perlakuan seperti itu.
"Anaknya kesambet paling," balas Mario cengengesan. Lebih untuk menutupi rasa sungkannya.

"Betul kata Mas Mario. Saya juga merasakannya. Teman Mas sepertinya kesambet," timpal Ade.
Ketiga orang lainnya langsung menatap Ade. Ia mungkin lupa kalau saat ini tidak boleh menunjukkan jati dirinya, jika ia bisa melihat hantu. Terutama, saat merasakan sosok yang menempati kamar kosong itu, raib.
Tinggal aroma anyir yang menepak penciuman, bersamaan dengan menutupnya pintu kamar Zainal.
@bacahorror
@threadhororr
@IDN_Horor
#ceritahorror
#rumahtusuksate

Bab 44 : Praserangan
Sejak Suyitno mengobrol soal tumbal dengan Zainal sepulang dari rumah sakit dulu, ada sedikit perubahan di diri Zainal ketika mengambil sikap. Benaknya benar-benar tak keruan.
Di luar Zainal memang tampak tenang, tetapi di dalam hati gemuruh tak jua menemukan jalan keluar. Ia berusaha menghindari percakapan yang membahas tentang perubahan sikapnya. Zainal takut kalau sampai kejujurannya bakal membawa petaka.
Hal tersebut sebenarnya dirasakan pula oleh teman-teman kosnya. Namun, mereka mencoba untuk tidak membahasnya.
Semisal, ruang tivi yang biasanya semarak, seperti ditinggalkan oleh penghuninya. Setiap kali selesai memasak mi goreng atau membuat milo hangat, anak-anak kos membubarkan diri dan masuk kamar masing-masing.
Mereka mengurangi intensitas mengundang hal-hal yang tidak diinginkan dengan cara membicarakannya. Lebih tepatnya, membicarakan makhluk tak kasat mata. Akibatnya, suasana kos terasa dingin seperti hati Zainal. Ibnu pun setali tiga uang.
Sore hari tadi, Zainal hanya sanggup menarik napas panjang setelah sampai kamar. Ia tidak berniat mengobrol dengan orang-orang yang ada di ruang tivi. Zainal berusaha bertingkah sewajar mungkin l, tetapi tetap saja tidak mudah untuk melakukannya ketika melihat keramahan Ade.
Meskipun ia setuju dengan teman-temannya membawa Ade ke rumah untuk memeriksa keadaannya, tetapi entah kenapa otak Zainal menolak. Barangkali, otaknya memperingatkan bahwa seseorang yang terlalu baik, biasanya memiliki agendanya sendiri. Agenda terbusuk dalam hidupnya.
Beruntung dari dalam kamar, Zainal bisa mendengar obrolan orang-orang di ruang tamu lantai dua, meskipun lirih.
"Kalau begitu, saya turun dulu, Nak Ade. Sampean kasih tahu anak-anak kalau butuh apa-apa," kata Suyitno seraya beranjak. "Cuma yang perlu diingat, tidak boleh masuk kamar. Bertamunya di ruang tamu saja. Oh, satu lagi, silakan dihabiskan pisang goreng dan teh-nya."
"Iya, Pak. Terima kasih banyak atas suguhannya. Bapak tenang saja. Saya tetap di ruang tamu."

Beberapa detik setelah memastikan Suyitno tidak dalam radar pantauan, mereka mulai mengecilkan volume suaranya. Zainal sudah tidak mampu lagi mendengar pembicaraan mereka.
"Pak Dirga, Mas Mario, minta tolong Mas Zainal-nya dijaga ya," ucap Ade saat pamit kepada mereka berdua.

"Iya, Pak. Saya usahakan jagain Zainal," Dirga mewakili membalas.
"Kira-kira... kos kami ini sebenarnya angker apa tidak, Pak?" Lagi-lagi Mario bertanya absurd. "Saya dengar dari ibu warung depan kalau ada yang bunuh diri di sini. Arwahnya belum tenang. Karena Bapak bisa tahu yang nggak kelihatan, bolehlah kasih info ke saya." Mario memelas.
"Haruskah saya jawab pertanyaan Mas Mario?"

Tiba-tiba ia merinding mendengar pertanyaan balik Ade. "Ti-tidak usah, Pak Ade. Saya percaya kok kalau di sini ada penunggunya."
"Bagus." Ade tegakkan punggung sembari menyalami tangan mereka. Ia berbisik kepada Dirga. Berpesan, "Saya minta tolong sama Pak Dirga. Coba konsentrasi buat lihat kamar yang kosong tadi. Saya curiga ada yang masih sembunyi. Saya bisa rasakan, tapi tidak tahu siapa saja di sana."
"Ya, Pak," balas Dirga. Mario sebenarnya ingin marah karena tidak dilibatkan, tetapi ia tahan emosinya.

"Lain kali kalau ke sini lagi, saya bantu buat komunikasi. Tapi mungkin Pak Suyitno akan curiga dengan kedatangan saya nantinya. Jadi, saya pikirkan dulu alasan yang tepat."
"Menurut saya, Pak Ade kos di sini saja. Sebulan, biar Bapak Kos nggak curiga. Kita patungan buat bayar kosnya juga nggak apa-apa. Asal nggak horor-horor lagi tempat ini. Demi kemaslahatan umat, Pak," Mario memberi saran dan melirik ke arah Dirga untuk mendapat persetujuan.
"Boleh juga idenya."
Dirga memandang balik Mario yang sedang bersuka cita mendengar perkataan Ade dan tidak menambahkan apa-apa lagi pada kalimatnya, selain anggukan kecil tanda setuju.
Sambil berjalan menuju pintu depan setelah Ade selesai dari kamar mandi, mereka tetap berdialog dalam volume kecil. Keduanya menunggu di pintu pagar depan bersama pemilik kos.
Lalu saat bertemu muka, Ade pamit undur diri kepada Suyitno dan Eti. Ade berkata bahwa kemungkinan besar ia akan kos di tempat Suyitno. Mario menyambutnya dengan syukur. Dirga ragu.
"Pak Ade, boleh tanya sedikit saja?" Mario menghentikan langkah Ade yang sudah ada di balik pagar depan. Suyitno dan Eti juga sudah kembali ke dalam rumah.

"Mau tanya apa, Mas Mario?"

"Kira-kira kalau saya diganggu sama hantu, yang paling ampuh buat mengusir mereka apa, ya?"
"Telanjang!" balas Ade dengan tawa kecil mengiringi. "Sudah dulu buat hari ini. Saya pamit dulu Pak Dirga, Mas Mario. Nanti saya bantu-bantu lagi kalau ada masalah. Pasti saya datang ke sini lagi soalnya masih ada yang mengganjal di hati saya."
Dirga dan Mario berpandangan sejenak setelah mendengar perkataan Ade yang telah raib dari pandangan mereka.

"Memangnya harus telanjang banget, ya? Ini beneran sarannya?" tanya Mario.
"Jangan didengerin semua kata Pak Ade. Biasanya dia juga ngarang. Kamu mau kejadian lagi pas telanjang di kamar kayak kemarin dulu, terus diganggu malam-malam?"
Sembari menarik pelan pagar besi supaya menutup kembali, Mario menggeleng saat Dirga akan membantunya dengan setengah hati. Udara dingin seperti mau hujan mendadak mendirikan bulu kuduknya. Dirga seperti ingin cepat-cepat masuk kamar.
"Duh, kalau dingin begini jadi pengin yang hangat-hangat. Teh hangat, gitu. Kamu mau, Dirga? Kalau mau, kubungkuskan buatmu sekalian," tawar Mario. Dirga menolak dengan halus dan masuk kembali rumah. Ia lepas sendirian Mario yang tengah melangkah menuju Warung Bu Sri.
#
Ketenangan di dalam kos sirna saat Dirga melihat Zainal sedang berdiri di depan pintu kamar kosong, di sebelah kamar Ibnu. Tatapannya tak kalah kosong.
Dari tangga samping tempatnya berdiri, Dirga menyadari ketidakberesan. Beberapa sosok asing terlihat. Keluar masuk kamar. Termasuk, kuntilanak, tuyul dan genderuwo. Anehnya, mereka seperti sedang bersuka cita.
Dirga merinding teringat cerita Ade.
Sepanjang mengobrol, penerawangannya terhadap Rumah Kos Tusuk Sate belum juga menemui titik akhir. Ditambah, sesuatu yang belum bisa terjelaskan olehnya, yang selama ini bersembunyi di dalam kamar kosong.
Belum lagi, entah pertautan apa yang melekat antara pemilik kos, penunggu kos, Ade, dan anak-anak kos itu sendiri. Apakah ada hubungannya dengan Wojogeni dan tipu dayanya? Dirga belum bisa memahami sejauh itu.
Namun, hal itu secara tidak langsung menjadi kepentingannya juga. Ia ingin membereskan masalah horor di rumah kos yang dianggapnya seperti rumahnya sendiri, sesegera mungkin. Sebab, hal tersebut berkenaan langsung dengan teman-temannya. Nyawa mereka.
Dulu, Dirga sedikit enggan melakukan upaya untuk mengusir yang tidak berwujud tanpa tahu alasan mereka singgah. Tutup mulut terhadap apapun yang tidak terlihat jelas juntrungannya menjadi andalannya. Membantu orang lain bukanlah prioritas.
Baginya yang terpenting adalah ia bisa menemukan informasi yang benderang mengenai nasib Sami, saudara neneknya. Sementara Zainal adalah orang lain dan seharusnya menjadi hitungan yang ke sekian ketika diurut.
Namun, saat langkahnya terhenti tepat di depan Zainal yang memandang kosong ke arah kaca koridor, Dirga tahu apa yang harus dia lakukan. Ia harus menyelamatkan teman-temannya lebih dulu.
Dirga menarik napas panjang sebab detak jantungnya meningkat secara tiba-tiba. Hatinya menebak-nebak. Membayangkan sesuatu yang tidak pernah dia rasakan sebelumnya, tetapi mengambil penting dalam hidupnya.
Ia lalu mendekatkan tangannya dan menyentuh pundak Zainal. Dirga tersentak saat menarik tangannya. Hawa dingin menjalari hatinya. Kosong itu terasa.
Diusirnya perasaan tak enak itu. Ia tahu, jauh sebelum Zainal mendapati serangan Wojogeni, ada yang tidak beres dengan pribadinya.
"Tolong! Aku nggak mau mati," ucap Zainal seperti bisikan. Ia terpejam, lalu pingsan. Untungnya, Dirga tepat menangkap tubuh Zainal sebelum membentur lantai.

"Kami akan menolongmu," balas Dirga dengan keraguan terpampang di wajahnya.
Hawa dingin masih menjalari hatinya. Saat hawa dingin itu semakin menipis dan hilang, Dirga takut membayangkan bahwa Zainal telah menggadaikan jiwanya kepada iblis.
@bacahorror
@threadhororr
@IDN_Horor
#ceritahorror
#rumahtusuksate

Bab 45 : Di Tepian Neraka
Beberapa saat sebelumnya....

Saat Ade izin ke kamar kecil, Dirga dan Mario sedang menunggunya di halaman depan bersama Suyitno dan Eti.
Seolah dikejar waktu, Ade keluarkan cepat-cepat bungkusan kain dari dalam sakunya. Ia pastikan terasi dan arang yang dibawanya masih utuh. Setelah itu, Ade periksa sekitar dan menemukan barang yang dibutuhkannya.
Sendok dan piring makan, serta satu buah lidi. Ia melangkah untuk mengambil benda-benda itu dengan mata berbinar.
Karena tidak ingin buang-buang waktu, Ade keluarkan korek api dari dalam saku bajunya. Ia baru ingat tidak merokok sama sekali sore ini. Mulutnya kecut.
Di antara baduk sumur dan tempat cuci piring jongkok, Ade letakkan satu arang di atas piring seng. Ia lalu berjongkok dan menaruh piringnya di tempat yang aman supaya tidak mudah terjangkau.
Kemudian Ade tusuk terasi menggunakan lidi, membakarnya. Bakaran terasi berkawan dengan arang, bersebelahan di dalam piring yang sama. Terakhir, Ade memejam dan segera membaca mantra.
Sira manjinga marang kulit ingsun.

Kuat sumurup marang kulit ingsun.

Sira manjinga marang balung ingsun.

Kuat sumurup marang balung ingsun.
Sira manjinga marang sungsum ingsun.

Kuat sumurup marang sungsum ingsun.

Hiya ingsun, selirane pancer papat.

Syamhohirin... Syamhohirin... Syamhohirin....
Selesai komat-kamit membaca mantra, Ade pukul pelan piring tersebut menggunakan sendok sebanyak tiga kali. Hawa dingin menepak tengkuknya. Bulu kuduknya tiba-tiba meremang.
Sembari bangkit dari duduk jongkoknya, Ade yakin bahwa segel Rumah Tusuk Sate sudah terbuka lebar. Ia sengaja mengundang sosok tak kasat mata lain untuk berkunjung supaya bisa melancarkan serangannya malam ini.
Puas, Ade berjalan tanpa beban. Ia pamit pulang kepada pemilik kosan. Juga kepada Mario dan Dirga yang menunggunya di balik pagar. Sebelum Ade berlalu, ia bahkan berjanji akan kembali secepatnya ke rumah itu.
Di tengah-tengah perjalanan pulang, ia bertemu dengan Ganda dan Ibnu yang baru pulang dari bekerja. Mereka mengobrol sebentar sebelum Ade beralasan harus balik secepatnya.
Akan tetapi, sepertinya alam sedang tidak mendukung kehendak Ade. Ia tersadar dengan kebodohannya sendiri, dan mau tidak mau ia harus kembali secepatnya ke rumah itu.
Mendung bergelayut ketika Ade sampai mal dan akan mengambil sepeda motor yang diparkirnya. Saat merogoh sakunya, Ade yakin dompetnya tidak ada di sana. Ia seribu yakin kalau benda tersebut ketinggalan di rumah Suyitno.
Kalau tidak menganggap penting STNK dan SIM, mungkin Ade akan melanjutkan perjalanannya pulang tanpa surat-surat itu. Namun ia takut kalau sampai kenapa-kenapa di jalan.
Alhasil, Ade kembali ke rumah itu dengan langkah malas. Apalagi sebentar lagi kelihatannya hujan akan turun dengan derasnya.
#
Kamar Zainal....
Kamar tersebut penuh hawa tak enak. Suasananya temaram. Mario, Ganda, dan Ibnu yang turut bergabung juga merasakannya. Mereka gusar dengan pikiran masing-masing setelah mendengar kabar dari Dirga bahwa Zainal pingsan di depan kamar kosong.
Keempatnya berkumpul di kamar Zainal yang terasa penuh untuk mengurangi suara-suara yang tidak diperlukan, supaya hanya berputaran di antara mereka.
Dirga duduk di kasur, melemparkan pandangan kepada ketiga temannya yang sedang meluruskan punggungnya di tembok kamar. Sepertinya mereka sedang berpikir keras antara ingin melarikan diri atau gila bersama dengan teman-temannya.
"Menurutmu, ini semua masih wajar atau sudah masuk ke arah bahaya?" Ganda bertanya. "Bukannya tadi Pak Ade ke sini? Apa katanya ke kamu tadi, Dirga? Kita semua disuruh hati-hati? Terus, jangan kelolosan? Apa itu maksudnya?" Sepertinya ia gagal mengurai.
Dirga mengangguk pelan dengan cepat sebelum sadar dan menggeleng dengan sama cepatnya. Ia lalu memandangi Zainal yang tergeletak di kasur dengan mata setengah terbuka. Percakapan disekelilingnya sepertinya tidak ia tangkap.
"K-kok bisa kejadian seperti ini? Bukannya tadi dia nggak apa-apa waktu Pak Ade datang ke sini?" tanya Mario dengan suara bergetar. Kerjapan matanya cepat. Bibirnya mulai pucat. Mario bahkan tidak sempat meminum minuman hangat yang dibelinya di warung Bu Sri.
Tiba-tiba, Zainal terbangun dari tidurnya. Ia duduk, seperti sambil merenung.
Mereka memekik, kecuali Dirga.
"Aku nggak mau mati," kata Ibnu panik. "Pokoknya aku nggak mau mati di sini." Ia rapatkan pundaknya kepada Mario.

Dengan memicing, Zainal tatap satu persatu teman-teman kosnya yang kebingungan menentukan sikap. Mereka masih bingung untuk memilih lari atau semaput saja.
Dan akhirnya, mereka hanya bisa terpaku. Dirga berdiri dari tempat tidur Zainal dan menyusul teman-temannya. Mereka putuskan menunggu temannya itu buka mulut, atau berulah.
"Sebentar lagi ia datang. Ia akan membawanya pergi. Jadi tumbalnya. Jadi temanku di sini," di akhir perkataannya, Zainal tertawa. Suaranya melengking, kemudian terdengar jauh.

"S-siapa dia?" tanya Mario, menoleh kepada Dirga. Dia bahkan mengindahkan tengkuknya yang meremang.
Kali ini Dirga ragu menebak siapa yang sedang merasuki Zainal. Sebab, sedari tadi beberapa sosok hilir mudik di koridor samping kamar. "Aku rasa dia... Andika," balas Dirga tanpa menoleh.
"Andika siapa?" tanya Ganda kerena tidak ada di satu waktu saat obrolan bersama Ade dan Suyitno berlangsung.
Sembari menunggu pergerakan Zainal, Dirga seperti sedang bersiap-siap mengusir sosok yang merasuki temannya itu kalau sampai berani berbuat macam-macam. Ganda yang berdiri di sebelah Dirga, hanya bisa menelan ludah.
Kepala mereka mendadak pening. Tangan Mario dan Ibnu saling bertaut. Ketakutan mereka sudah melebihi rasa malu.

Aku rasa ini hari terakhirku hidup di dunia yang fana ini? Ibnu membatin, pasrah.
Udara di luar semakin dingin, merasuk. Mendung tebal, menggelayut. Kilat datang menyambut bersama suara dentuman alam setelahnya. Seperti gemuruh. Kemudian, rintik hujan mulai turun.
Tanpa mereka duga, Zainal berdiri di atas tempat tidur. Menatap nyalang kepada ketiga temannya itu. "Aku kesepian. Kalian mau temani?"
#
Di rumah induk....

Tepat di bawah kamar Zainal, Suyitno berdiri mendongak. Ia tatap langit-langit rumahnya sendiri. Mengamati plafon yang berada tepat di atasnya sambil tercenung untuk beberapa saat lamanya.
Setelahnya, ketika menarik napas panjang, Suyitno melangkah pergi begitu mendengar bunyi gaduh dan beberapa langkah kaki menyambut setelahnya.
Dengan langkah tertatih, Suyitno berniat menuju kamarnya yang ada di ruang depan. Namun sebelum sempat berjalan, ia hentikan langkah Eti yang berniat menaiki tangga utama. Suaminya itu meminta Eti untuk duduk lagi sebab kakinya masih lemah.
Gaduh kedua, Eti pun berdiri dari kursinya. Suyitno menggeleng cepat. Dan dengan sangat terpaksa, Eti menuruti perintah suaminya untuk mundur teratur menuju kursi kesayangannya dan duduk kembali.
Dalam hati, Eti sebenarnya bosan setengah mati menekuri masa tua yang tengah terus menggerogoti kelincahannya. Namun, ia takut mengganggu suaminya. Eti sadar, hari ini adalah hari khusus bagi Wojogeni.
Alam seperti mendukung, persis prosesi penumbalan yang mereka lakukan sebelum-sebelumnya. Hujan dan petir jadi penanda. Akhirnya, Eti menurut meski kecemasan di wajahnya tidak juga hilang. Sampai-sampai, Suyitno mendekat dan berniat menghapus kekhawatiran istrinya.
"Beneran Bapak ndak apa-apa?" tanya Eti sebelum Suyitno buka mulut. "Sepertinya kali ini berbeda, Pak."

"Bapak yakin ndak apa-apa, Bu. Kita kan sudah puluhan kali melakukannya. Dan bedanya cuma hari ini Wojogeni minta tumbalnya mendadak."
"Yo, wis. Ati-ati yo (Ya, sudah. Hati-hati ya), Pak."

"Ya. Pokoke (pokoknya) Ibu di sini saja."

Eti manggut-manggut.
Ia tinggalkan istrinya untuk pergi ke tujuan awalnya. Ke kamar depan. Kamar tidur mereka, sekaligus tempat persembunyian peralatan dan juga perlengkapan untuk prosesi penumbalan anak-anak kosnya.
Eti terpaku sebentar. Saat punggung suaminya mulai menjauh, tatapannya berubah kosong. Hidungnya kembang kempis membaui sesuatu. Bau anyir. Kepalanya lalu bergerak ke kiri dan kanan pelan, seperti sedang mengusir lalat yang mengganggu.
Jantungnya berdetak kencang. Ia tekan-tekan pergelangan tangannya supaya tenang. Namun, tidak berapa lama, mata Eti berubah putih seluruhnya. Berangsur-angsur kegiatannya madek. Kemudian, ia berhenti melakukan apa pun.
Bersamaan dengan berhentinya Eti melakukan sesuatu, ketukan pintu rumahnya terdengar dibarengi suara hujan.

Cepat-cepat Eti berdiri dari tempat duduknya. Ia berjalan dengan langkah terukur. Matanya kembali seperti semula, tetapi tidak dengan jiwanya.
"Selamat siang, Bu Eti," sapa Ade ramah setelah pintu rumahnya terbuka. Bajunya sedikit basah. "Maaf, dompet saya ketinggalan. Sepertinya ketinggalan di ruang tamu atas. Saya izin mau mengambilnya sekarang." Hidungnya mengernyit, seperti membaui sesuatu yang tak asing.
Tanpa bersuara, Eti mengangguk dan menunjuk pintu samping rumah. Ade cepat-cepat berjalan ke arah yang ditunjuk Eti setelah mengucap terima kasih.
Di luar pagar, tertinggal arwah penasaran yang selalu mengintili Ade. Ia sepertinya ragu untuk masuk padahal belenggu di depannya telah terbuka. Eti tidak mempedulikannya. Ia lebih ingin memastikan Ade telah masuk rumahnya.
Seringai Eti terlihat licik saat menoleh dan mengamati punggung Ade yang tertelan sempurna oleh pintu samping rumah. Ia kembali memandangi pagar rumah Suyitno. Kecuali sosok yang mengikuti Ade sejak tadi, beberapa sosok tak kasat mata lain mulai singgah.
Genderuwo di atas pohon mangga turun. Sekelebat arwah hilir mudik di dalam rumahnya. Eti bersorak dalam hati.
Pelan, Eti tutup kembali pintu rumahnya sambil tertawa kecil.
"Selasa legi... hari baik untuk mengisap darah. Dan aku pastikan tidak akan ada yang keluar hidup-hidup dari rumah ini.
Rasa-rasanya, aku ingin memakan mereka. Atau, menyeruput cairan otak mereka semua. Kalian semua harus sudah siap. Jangan sebut namaku Wojogeni kalau aku tidak bisa membawa kalian semua ke neraka."
@bacahorror
@threadhororr
@IDN_Horor
#ceritahorror
#rumahtusuksate

Bab 46 : Waktunya Telah Tiba
Suyitno mengeluarkan cawan dari dalam lemari jati.
Menyusul kemudian, setangkup tanah kuburan yang disimpannya dalam kantong kain kumal dan seutas tali pocong dalam kantong lain digunakan sebagai pelengkap untuk ritual sore ini.
Dia mendapatkan tali pocong tersebut dari makam salah satu anak kos yang meninggal dunia beberapa waktu lalu. Dia simpan sebagai syarat untuk meneruskan ritual memanggil dan menjaga Wojogeni supaya tetap berada di bawah pengaruhnya. Supaya Wojogeni tidak kabur.
Hari ini, sepertinya Wojogeni menginginkan tumbal untuk keberadaannya sekaligus sebagai penghubung antara peliharaan dan tuannya. Suyitno sempat melirik kalender di tembok kamar. Hari selasa legi. Pasaran untuk hal-hal gaib selain malam jumat kliwon.
Otaknya terus memutar kejadian yang sama. Persis seperti hari terakhir ia mengorbankan salah seorang penghuni kos yang menempati kamar kosong di samping kamar Ibnu.
Saking lama dan lumayan banyaknya korban, Suyitno sampai lupa. Yang meninggal di kamar tersebut terkena serangan asma atau bunuh diri.
Terdengar ketukan pintu dari tempat Suyitno memeriksa barang simpanannya. Jeda. Ketukan kedua terdengar kembali. Ia yakin istrinya tidak mungkin mendengarnya. Kemungkinan besar, budeknya kumat.
Saat Suyitno berpaling dari tempat persembunyiannya dan sempat membuka pintu, ia lihat istrinya sudah berdiri di ambang pintu. Sedikit melongok, Suyitno memastikan tamunya adalah Ade.

"Ada apa lagi dia ke sini?" Suyitno membatin.
Ia pandangi peralatannya dan menimbang untuk pergi melihat Eti atau melanjutkan pekerjaannya.
Begitu Suyitno akan melangkah, gerimis mulai jadi hujan. Petir menyambar. Ia merasa rumahnya jadi sesak.
Sekelebat, muncul sosok dengan kepala terbalik ke belakang sebab terjatuh dari tangga, remaja berkalung tali tampar dan menjulurkan lidahnya, bocah dengan sayatan di pergelangan tangan, aroma-aroma busuk dan wangi yang saling tumpang tindih, dan suara sesak napas.
Semuanya berkelindan. Belum lagi bayangan-bayangan yang keluar masuk rumahnya seperti tidak lagi ada sekat.
"Ada apa ini? Tidak seperti biasanya. Aku rasa kali ini Wojogeni ingin tumbalnya banyak. Aku harus memagari diriku sendiri supaya tidak ikut jadi tumbal. Biar anak-anak itu saja yang kukorbankan." Suyitno tutup pintu kamarnya.
Ia kembali duduk bersila, mempercepat persiapannya untuk menyambut kemunculan ingon-ingon (peliharaan)-nya itu.
#
Gaduh pertama di kamar Zainal bisa Dirga atasi. Ia tepuk dahi temannya itu setelah mendekat dan merapal doa. Zainal ambruk dan kepala bagian belakangnya membentur tembok. Semua meringis membayangkan jika nantinya Zainal sadar, pasti kepalanya akan terasa pusing tujuh keliling.
Namun, ketenangan itu tidak bertahan lama. Zainal bangkit lagi. Sosok di selasar di samping kamar Zainal seperti sedang antre untuk merasukinya. Beberapa bahkan melongok ke dalam kamar untuk memastikan dan hanya Dirga yang tahu.
Ibnu memekik, meraung kemudian komat-kamit, "Ya Allah, ampunilah hambamu yang banyak dosa ini. Saya tobat...."
Bukannya menenangkan, ucapan Ibnu malah membuat panik. Apalagi pintu kamar Zainal tiba-tiba susah untuk dibuka. Mungkin karena pintunya sudah tua atau ada yang sengaja menahannya dari luar.
"Siapa yang suruh kunci tadi?!" teriak Ganda yang dituakan di dalam grup.

"Kamu!" balas Ibnu dan Mario kompak. Mereka masih mencoba membuka pintu.
Geraman Zainal menghentikan semuanya. Ketiganya merapat, sementara Dirga masih mengawasi keberadaan temannya yang sedang kerasukan. Dari ketiga orang yang merapat di pintu, posisi Ibnu terlihat yang paling aman.
Ia di tengah-tengah di belakang antara punggung Mario dan Ganda. Wajahnya merapat hingga kedua temannya itu bisa merasakan embusan napas Ibnu.
Sejurus kemudian, gaduh kedua terjadi bertepatan dengan gerimis dan sesekali petir menyambar.
Dirga memasang kuda-kudanya saat memerintakan kepada Ganda untuk membuka pintu. Setelah itu, Dirga coba merapal mantra pengusir arwah gentayangan. Berharap masih bisa dipergunakan meskipun ia tidak yakin mempan untuk mengusir puluhan arwah yang datang dan pergi, siap merasuk.
Belum lagi tenaganya pasti terkuras habis untuk mengusir dan menangkal kedatangan rombongan sosok tak kasat mata itu. Dirga tidak habis pikir, bagaimana mungkin Rumah Tusuk Sate bisa semenakutkan ini, seperti hari ini. Apa masalahnya?
"I-ini dia sama seperti yang tadi yang masuk ke tubuh Zainal atau bukan?" tanya Ibnu.

"Sepertinya bukan," balas Dirga sedikit takut konsetransinya pecah jika ditanya-tanya terus. "Kalian usaha saja buat buka pintunya!" perintahnya mendapat anggukan dari ketiganya.
Tawa Zainal terdengar kembali. Kali ini bukan lengkingan, tetapi suaranya berat, membahana.
"Tak osah merepot gebei nyareh taoh pasera baden kauleh. Sengkok nekah penoguh paleng tuah. Tadek nyamana. Se esareh kakeh ruah, gun sittong derih setan se tak taoh bedena dibik
(Tidak usah repot-repot buat tahu siapa aku. Aku penunggu paling tua. Tidak bernama. Yang kau cari itu, hanya satu dari setan yang tidak tahu diri)," Zainal berucap setelah tawanya reda.
Tidak ada yang paham dengan ucapan Zainal. Keempatnya hanya saling melempar pandangan.

Klik... suara kunci pintu berhasil bergeser.
"Ajjek ngal mabengal buruh (Jangan berani-berani kabur)!" Zainal memicing.
Usaha membuka pintu kamar Zainal terasa bagai adegan slow motion seperti di film-film bagi Ganda. Dia sampai menggeser tubuh Dirga menyamping, sementara Mario dan Ibnu harus tergencet pintu lebih dulu, terutama Ibnu karena posisinya ada di belakang keduanya.
Tak dinyana, kedua temannya berhasil keluar dari kamar Zainal dan hampir menabrak pintu kamar di depannya. Di urutan ketiga, Ibnu berniat menyusul teman-temannya. Nahas, dari arah belakang, Zainal seolah menerkam Ibnu.
Keduanya menabrak pintu kamar depan sampai terbuka. Ibnu tak sadarkan diri. Bersamaan dengan terkaman itu, Dirga melangkah dan meraih kepala Zainal, dan berhasil. Ia sentuh dahi Zainal dengan jempol. Temannya itu seketika meronta-ronta ingin melarikan diri.
"Dan kau!" omel Zainal. "Masih penasaran dengan keberadaan Sami? Aku rasa kau tidak akan pernah bertemu dengannya."
Mario dan Ganda terpaku mengamati Dirga yang berusaha keras menghentikan kegilaan ini. Ingin menolong Dirga pun sepertinya mereka takut terpental. Belum lagi Zainal sedang menindih teman mereka satunya lagi yang semaput.
Tidak berharap mendapat bantuan, Dirga tekan jempolnya di dahi Zainal. Arwah yang merasuki Zainal lari tunggang langgang. Seorang kakek-kakek ber-odheng, mengenakan celana hitam sedengkul dan bertelanjang dada, lari tunggang langgang menembus tembok.
#
Melalui pintu samping rumah, Ade mendengar samar keributan dari lantai dua. Getaran suaranya tumpang tindih antara hujan dan pintu seperti menutup dan terbuka secara paksa.
Ia mengernyit saat langkahnya sampai di depan tangga. Hidungnya membaui terasi bakar. Tak lama kemudian, senyumnya terkembang sempurna.
Undangan untuk makhluk-makhluk tak kasat mata berhasil. Berarti rencana nanti malam untuk mengirim Banaspati ke rumah ini tidak akan gagal, bantinnya.
Saat kaki Ade berpijak di anak tangga pertama, ia mendengar kikikan kuntilanak dari arah belakang. Ade menoleh ke arah dapur, tidak ada siapa-siapa.
Begitu kakinya menginjak anak tangga kedua, Ade mendapatkan gamparan dari arah belakang setelah suara kikikan menjadi tawa membahana. Sepertinya ada yang ingin bermain-main dengannya.
Kesal, Ade membaca-baca rapalan.

Detik itu juga, terdengar suara tangis menyanyat dan meminta tolong, kemudian senyap.
Ade memijak kembali tangga samping dengan mantap. Setelah memberi pelajaran kepada sosok tak kasat mata di Rumah Tusuk Sate, level kepercayaan dirinya meningkat pesat.
#
Hujan di luar meraung. Angin seolah mengamuk. Petir tak mau kalah menjilati daratan.
Setelah menutup pintu depan dan mengamati hujan dari balik kaca tembus pandang, Eti melangkah menuju kamarnya. Ia buka perlahan pintu dan menemukan Suyitno sedang terpejam sambil bersila. Eti tersenyum licik. "Waktumu telah tiba Suyitno...."
@bacahorror
@threadhororr
@IDN_Horor
#ceritahorror
#rumahtusuksate

Bab 47 : Menuju Tumbang
Tersadar ada yang berdiri di ambang pintu, Suyitno seketika mendongak. Dari tempatnya bersila, Eti tampak menyeringai. Ia tidak juga mendekat, malahan bersedekap.
"Ada apa, Bu?" tanyanya bingung.

Seringai Eti berubah jadi kekehan.

Ia mengernyit, menerka apa yang sedang terjadi dengan istrinya. Menimbang kelakuan Eti, Suyitno bisa menebak kalau istrinya itu sedang kerasukan.

"Siapa kamu?!"
Kekehan Eti berubah jadi tawa, bersaing dengan derai hujan dan guntur di luar sana.

"Apa kau tidak mengenaliku, Yitno? Sungguh?"

Sejenak berpikir, Suyitno merunut sosok tak kasat mata yang belakangan ini bersinggungan dengannya.
"Bagaimana kalau aku meminta nyawamu sekarang?" Eti menghentikan permainan tebak-tebakannya sendiri dengan petunjuk yang lebih nyata.

Siapa lagi kalau bukan Wojogeni? Suyitno membatin.
Eti memperhatikan Suyitno komat-kamit membaca rapalan. "Kau baca apa? Kau mau mengusirku dari sini? Tidak akan mempan, Yitno. Pagarmu sudah rusak. Jadi, berhentilah!" ejeknya.
Ketika Eti melangkah mendekat, Suyitno sadar rapalannya benar-benar tidak berguna. Wajahnya pucat pasi. Mendadak, ia tidak bisa menggerakkan anggota badannya. Suyitno bergeming dalam duduk silanya. Bibir dan tangannya gemetar, takut dengan kata-kata Wojogeni barusan.
Tumbal? Suyitno bergidik ngeri membayangkan kepalanya terlepas dari badan, atau darahnya terkuras habis dengan luka menganga. Terlebih, sosok Eti yang kecil kini terlihat menjulang di hadapannya.
Eti lalu membungkuk. Suyitno bisa merasakan napas hangat Eti mengenai pipinya. Dalam diam, Eti perhatikan perlengkapan upacara penumbalan yang disiapkan oleh Suyitno di lantai kamar.
"Kau pikir aku ini kambing, ya? Makan tanaman seperti itu? Bunga?" Bibir Eti mengerucut. Ia berdecih. "Mana darah ayam alasnya?! Kalau tahu akan seperti ini, aku lebih memilih Wiwit yang terus hidup daripada kau!"
Suyitno berusaha menggerakan tangannya setelah bisa merasakan jari-jarinya bergerak pelan. Ia berkonsentrasi penuh sembari mengamati Eti yang sudah mengembalikan posisi berdirinya.
Dalam satu kedipan lambat, tangan Suyitno terbebas kembali. Tepat saat itulah, ia raih mata kaki istrinya, berniat menekannya kuat-kuat untuk mengusir perasuk sembari membaca-baca doa. Sial, Eti berhasil mengelak.
Begitu Suyitno mendongak karena terkejut, kaki Eti sudah berhasil mendarat di janggut Suyitno. Dukun itu tersentak, jatuh telentang. Darah merembes dari mulut dan juga hidungnya. Ia merasa dagu atau rahangnya patah. Sakitnya luar biasa.
"Kowe iki pancen ndablek (kamu itu memang bebal), Yitno. Kau pikir aku bodoh?" Eti mengobrak-abrik perlengkapan upacara penumbalan. Ia tendang cawan dan tanah kuburan sampai mental memenuhi lantai kamar tidur.

"Ampun... ampuni saya. Saya mohon," kata Suyitno lirih, memelas.
Kegiatan Eti terhenti. Ia mendekat, berdiri menjulang. Dan dengan gerakan lambat, ia tempatkan kakinya di pipi suyitno, menekannya sedikit demi sedikit. Karena sakit, badan Suyitno ikut miring. Tangannya mencoba mengangkat kaki Eti, tetapi tenaganya seperti habis terkuras.
Setelah mendapatkan posisi yang tepat, Eti tekan kakinya. Suyitno mengaduh dan merasakan rahangnya benar-benar patah.

"Ampun... ampuni saya. Saya mohon, saya belum mau mati," ulang Suyitno benar-benar kesakitan.
"Hari ini bukan waktu yang tepat untukmu meminta ampun. Kau tahu, hari ini aku ingin mengambil apa yang menjadi hak-ku. Kau masih ingat dengan janjimu dulu, bukan?"
Eti mengeja pelan-pelan kalimat yang keluar dari mulutnya dengan intonasi setenang mungkin. Dan karena ketenangan itulah, Suyitno membayangkan apa yang akan terjadi dengan hidupnya selanjutnya. Mati!
"Apa hari ini memang akhir dari hidupku?" Suyitno membatin tanpa bisa menggeser pipinya yang menempel di lantai. Dengan sekuat tenaga ia balas pertanyaan Eti dengan bibir mengerucut, "Tidak adakah kesempatan kedua buat saya?"
Eti tergelak. "Sayangnya tidak ada hal seperti itu di duniaku. Oh, aku ingat sekarang. Bukankah kau dulu penasaran seperti apakah bentuk neraka itu? Ikutlah denganku sekarang. Akan aku perlihatkan."
Dalam sepersekian detik, Suyitno baru sadar mata kaki Eti sudah ada di depan mata. Ia hanya perlu berkonsentrasi penuh sambil terus mengaduh supaya Eti tidak curiga. Sejurus kemudian, ia mampu meraih kaki Eti. Ia tekan kuat-kuat sambil membaca rapalan.
Benar saja, Eti terjengkang. Kepalanya hampir membentur sudut ranjang. Cepat-cepat Suyitno tegakkan punggungnya. Ia merangkak mendekati Eti yang kini telentang.

"Bu... Bu... bangun!" panggil Suyitno sambil menepuk-nepuk pipi istrinya.
Eti mengerjap, lalu mengernyit dan membisu. Kepala bagian belakangnya sakit seperti habis dipentung. Saat Suyitno berniat membantunya duduk, mereka sama-sama mengamati plafon rumahnya setelah mendengar gaduh untuk ketiga kalinya.
Bruak....
"Apa Wojogeni ada di atas, Pak?" tanya Eti ketakutan. Kemudian ia tersekat sewaktu sadar darah merembes dari mulut Suyitno dan mengenai tangannya.

"Sepertinya bukan, Bu."
Rumah mereka kini terasa sesak. Hawa tak enak menguar. Sesekali aroma anyir, kembang kantil, ketela bakar dan pandan, berselang-seling menepak penciuman mereka.
#
Hujan semakin ganas. Kilat dan guntur kompak mengiringi, mirip orkestra dan blitz kamera.

Kegaduhan di lantai dua sedikit mereda. Kepala Zainal menumpuk di punggung Ibnu. Keduanya berusaha bernapas secara normal, sementara tiga orang lainnya duduk kelelahan, setengah shock.
Di anak tangga paling atas, Ade telah sampai tujuan. Seketika ia berdiri terpaku. Ia tidak menyangka harus menyipit saat mengamati lantai dua Rumah Kos Tusuk Sate. Harap maklum, penerangan dari empat genting terbuat dari kaca sama sekali tidak menembus ruangan saat hujan turun.
Lampu pun belum menyala sehingga gelap di luar mulai merayap turun.
"Pak Ade datang," kata Mario sembari berdiri dengan sisa-sisa tenaganya.

Ganda dan Dirga yang mendengar kalimat Mario, mengarahkan pandangannya ke pintu. Mereka ikut berdiri.

Setelah mengangguk, Ade melangkah mendekat. "Lampunya sebelah mana? Gelap. Mata saya kurang awas."
"Saklar lampu ada di dekat stop kontak tivi, Pak. Terima kasih," balas Ganda.
Tangan Ade meraba tembok di dekat ruang tivi. Begitu dapat, ia nyalakan lampunya. Saat menoleh untuk memastikan keadaan sekitar, Ade melihat Ibnu berdiri di belakang Dirga. Pandangannya kosong, siap menyerang.

"Awas!" seru Ade.

Lampu seketika mati.

Argh....
Dirga berteriak saat terjatuh. Ia berhasil menghindari bogem mentah Ibnu dengan cara menunduk, tetapi karena tidak bisa menyeimbangkan tubuh, ia tersungkur. Tembok pun jadi sasaran pukulan Ibnu. Hampir saja kepala Dirga jadi samsak tinju.
Duag....
Kali ini Ganda tidak bisa menghindar. Kepalanya membentur tembok setelah Ibnu berhasil mencengkeram kerah bajunya.

Tersadar masih ada satu orang yang harus dia hajar, Ibnu cepat-cepat bertindak. Mario lah target berikutnya.
Di belakang Ibnu, Dirga bertanya kepada Ganda yang masih mengaduh, "Kamu nggak apa-apa?"

"Kepalaku hampir pecah kamu masih tanya nggak apa-apa?" balas Ganda, meradang. "Aduh...." Ia pegangi batok kepalanya kembali.
Dalam situasi genting seperti itu, Dirga masih sempat tersenyum. Kemudian ia perhatikan langkah Mario yang hampir tiba di pintu samping, tetapi tiba-tiba terhenti. Dia kalah cepat dengan gerakan Ibnu. Bahkan Ade yang berdiri tidak jauh dari Mario, tidak sempat mendekat.
Tenaga Ibnu berkali lipat seperti tenaga kuda. Super sekali.
Sekejap, Ibnu berhasil memiting batang leher Mario, kemudian berbalik. Mario sulit bernapas. Dirga memasang kuda-kuda, sementara Ganda masih memegangi kepalanya. Ia takut gegar otak. Seketika penyesalan menghampiri. Buat apa aku pulang cepat-cepat dari toko hari ini?
"Lepaskan!" bentak Ade.

Dalam siluet kegelapan, Ibnu terbahak. Gigi putihnya terlihat cemerlang.

"Sopo hiro wani-wani ngongkon isun (siapa kamu berani-beraninya memerintahku)?!"
"Seng takon jeneng isun. Isun seng bakal gawe pati hiro (tidak usah tanya namaku. Aku yang akan menghabisimu)."

"Gubab (banyak omong)!"
Mario kesulitan melepas pitingan. Menilik sejarah bahwa dia pernah mengikuti turnamen sepakbola sejak SMP dan kebiasaan Ibnu yang lemah gemulai, entah kenapa Mario merasa kesulitan meraih udara.
Tidak ingin terjadi hal-hal yang tidak diinginkan, ketiganya keluar dari lorong rumah menuju tempat Ibnu memiting Mario. Korbannya itu terlihat semakin lemah. Ganda berada di belakang Dirga dan Ade.
Setelah mengangguk tanpa berbicara, keduanya bergerak ke arah berlawanan, meninggalkan Ganda yang kebingungan. Dirga bergerak ke kiri, Ade bergerak ke arah sebaliknya.
Sigap, keduanya mengunci tangan kiri dan kanan Ibnu dalam sekali sentak. Tanpa komando, Ganda segera menyelamatkan Mario. Setelah berhasil menggapai, mereka terduduk lemas. Mario batuk-batuk seperti hampir mati karena kurang oksigen, sementara Ganda megap-megap hampir semaput.
Kedua orang itu sibuk mengurut titik di antara jempol dan jari telunjuk Ibnu. Ia belingsatan mencoba menghindar. Tenaga Ibnu yang sebelumnya kuat, melemah seiring berjalannya waktu. Sampai akhirnya ia tidak bisa meronta-ronta lagi. Pandangannya saja yang masih nyalang.
"Tidak boleh ada yang selamat di rumah ini!" teriaknya sebelum tubuh Ibnu limbung membentur lantai.

Seketika angin kencang berembus dari bawah tangga samping. Kemungkinan besar pintu parkir sepeda motor terbuka atau menjeblak terkena angin.
Tipis, Dirga membaui aroma terasi dari arah bawah. Matanya tertumpu kepada Ade.
Bergerak seolah secepat kedipan, Zainal melewati mereka tanpa menoleh. Ia turun melalui tangga samping dengan gerakan kaki dan tangan mirip binatang berkaki empat.
Belum sempat mencerna keadaan, geram dan raungan terdengar dari dalam rumah induk. Mario dan Ganda sontak berpelukan dalam diam. Sementara Dirga dan Ade kompak menarik napas panjang. Tenaga mereka berkurang banyak.
Ade tidak menyangka akibat perbuatannya, rumah kos Suyitno kini mirip di neraka. Sesak dan panas. Ia tidak menyangka kalau rumah tusuk sate benar-benar bisa mengundang segitu banyak makhluk tak kasat mata untuk mampir ketika pagar gaibnya dirusak. Atau, ada yang berulah?
Diselingi deru hujan di luar rumah, suara lengkingan menyusul dari lantai bawah. Derap kaki mereka mulai menuruni tangga samping, meninggalkan Ibnu yang terkapar di beranda lantai dua. Mario dan Ganda menyusul dengan ketakutan tercetak jelas di wajah mereka.
@bacahorror
@threadhororr
@IDN_Horor
#ceritahorror
#rumahtusuksate

Bab 48 : Babak Pertama
Pintu dapur roboh terkena tendangan Zainal. Hujan di luar awet. Sesekali petir dan guntur bersahutan, menerangi bagian dalam rumah Suyitno seperti lampu tembak.
Berempat, mereka mengendap-endap ke dalam rumah induk. Suasana gelap seketika menyapa. Karena bergantung pada matahari atau lampu, rumah induk Suyitno terlihat lebih gelap daripada ruangan di lantai dua saat kedua sumber cahaya itu absen.
Mereka berhati-hati sekali saat melangkah sebab tidak ingin jari kaki terantuk meja ataupun kursi.
Senyap seolah mengiringi langkah keempatnya, dimulai dari dapur menuju ruang keluarga.
Ketika mata mereka mulai beradaptasi dengan sekitar, Mario memekik dan hampir berteriak, melihat seseorang terkapar di lantai. Belum selesai pekikan Mario, pandangan Ganda tertuju pada seseorang yang terdiam, bersandar pada lemari untuk memajang cangkir-cangkir tua.
Terlihat beberapa cangkir pecah dan pecahannya berserakan di lantai. Mereka syok dan terduduk lemas, tidak ingin mendapat pengalaman yang sama seperti di lantai dua kos. Ingin rasanya mereka pingsan, tetapi tidak tahu caranya.
Di ruang tamu, Eti telentang di lantai. Leher dan bagian perutnya merembes cairan berwarna gelap, meleleh hingga lantai tempatnya terdiam.
Di ruang keluarga, mereka mendapati Suyitno terpaku, memandang nanar istrinya yang terkapar. Sementara Zainal seperti sedang menikmati jamuan makan malam.
Terkejut, Ganda akhirnya berteriak dan terduduk lemas sambil menunjuk ke arah kejadian yang tidak pernah terbayang dalam benaknya, ketika teman satu kosnya itu seperti sedang memakan sebangsanya sendiri.
"Istriku...." Suyitno tersedu, memandang istrinya yang terdiam. Ia sendiri tidak banyak bergerak. "Harusnya aku yang mati. Bukan dia," sesalnya. Darah masih merembes dari mulut Suyitno saat berkata-kata.
"Ayo, Pak Dirga. Jangan lengah!" kata Ade, memotong keterkejutan Dirga.
Dirga mengangguk pelan. Ia ikuti langkah Ade mendekati Zainal. Tenaga mereka seperti terkuras habis, tetapi dipaksa oleh keadaan untuk mengendalikan situasi yang semakin liar.
Lolongan Zainal menyelinap di antara langkah mereka, memekakkan telinga semua orang. Padahal, segala suara sepertinya telah teredam dengan adanya deru air hujan dan tempias.
Kemudian Zainal meneleng, mengarahkan pandangannya kepada Mario dan Ganda. Mario syok dan gemetaran. Ia atur napasnya dalam-dalam sambil merapal banyak doa, entah benar atau salah karena panik datang melanda.
Belum sampai langkah Dirga dan Ade mendekat, Zainal tengah berganti memandangi keberadaan Suyitno. Ia bersiap menerkam korban selanjutnya.
Dengan sikap lilin, kedua temannya yang lain hanya bisa menganga saat mengamati Zainal sedang melap mulutnya yang belepotan darah dengan punggung tangan.
Sekilas, semua orang pasti kesulitan mengenali wajah Zainal saat kilatan petir dari luar menembus ruangan, memenuhi rumah Suyitno dan mengarah pada wajahnya. Mata kiri Zainal bengkak. Separuh mukanya sampai leher berwarna semerah darah.
Napasnya memburu mirip binatang. Giginya gemeratak seperti punya taring.
Tidak ingin kehilangan kesempatan, Dirga dan Ade berlari gesit bersamaan dengan gerakan tangkas Zainal mendekati Suyitno.
Ade bahkan seperti memiliki ilmu meringankan tubuh saat menendang kuat-kuat pinggang Zainal hingga terpelanting menumbuk dinding rumah. Terkapar di lantai, Zainal menggeram kesakitan, lalu bangkit tidak lama kemudian. Ia terlihat marah.
Sempat ragu untuk mendekat, Dirga akhirnya membantu Ade berdiri dan bersiap dengan memasang kuda-kuda.
Dan seperti dikejar setan, Ganda yang merasa dituakan dalam grup, cepat-cepat mengarahkan langkahnya kepada Suyitno yang berniat merangkak mendekati keberadaan istrinya. Untungnya Suyitno tidak berontak saat Ganda sudah ada di dekatnya.
"Mar, bantu aku angkat bapak kos!" seru Ganda setelah berhasil mengangkat satu lengan Suyitno dan sedikit kesusahan saat harus bangun. Beruntung, Mario cepat tanggap. Ia bantu Ganda mengangkat dan mengamankan Suyitno sembari menghindari pecahan cangkir yang berserakan.
Ade dan Dirga bersiap-siap dengan raungan Zainal. Ia bergerak mendekati keduanya dengan tangkas. Kali ini, Zainal tidak main-main.
Ia jemput leher Ade dengan mulutnya yang menganga setelah melompati meja ruang tamu dan menjejak sofanya, sementara Dirga terkena tendangannya sampai mencelat. Dua kegiatan dalam satu waktu.
Gelagapan, Ade yang tidak memprediksi serangan segesit itu, menghindari lompatan Zainal dengan bergerak menyamping sampai ambruk. Kesempatan itu tidak Zainal sia-siakan.
Ia terjang Ade yang telentang di lantai, tidak berdaya. Darah pun menetes di muka Ade saat Zainal mencoba meraih apa pun dengan giginya yang siap mencabik apa pun di hadapannya, sementara calon korbannya berusaha mengamankan kepala dan juga lehernya dari intaian predator.
Dirga cepat-cepat berdiri untuk membantu Ade. Tendangan Zainal lumayan membuatnya limbung dan mengerang kesakitan. Saat Zainal tersadar ada dua serangan dari arah berbeda, ia pukul telak kedua telinga Ade sekuat tenaga.
Nyawa Ade seperti tercerabut. Kepalanya berat. Kemudian, segera Zainal tangkap tendangan Dirga dan melemparkannya jauh mengenai sofa. Keduanya merasakan kesakitan luar biasa sementara Zainal seperti tidak habis tenaganya.
Di sisi ujung ruang tengah, di dekat tangga utama, Suyitno telah memperoleh tempat aman untuk bernapas lega. Setelah itu, Ganda berniat mengajak Mario membantu Ade dan Dirga.
"Bagaimana caranya?" kata Mario, berpikir realistis sekaligus ngeri melihat sekelebat aksi di hadapan mereka.
Bag... big... bug... dar... der... dhuar....
"Ya, kita bantu pokoknya."

"Misalnya?"

Ganda perhatikan sekitar. Saat matanya tertuju kepada guci di rak tivi, petir menyambar sebelum bunyi guntur menggelegar. Keduanya spontan menutup telinga dan mata.
"Kalian ini ya, sama petir saja takut bagaimana mau bantu menghadapi orang yang kerasukan? Bisa-bisa kalian malah mati konyol," kata Suyitno meremehkan.
Mendadak, keduanya menyesal telah membantu mengamankan kakek-kakek itu. Mereka ingin mengumpankannya saja kepada Zainal. Namun karena menyangkut perihal kemanusiaan, jadi diredamnya sendiri keinginan itu.
"Perhatikan!" lanjut Suyitno sambil memicing dalam temaram rumahnya sendiri. Ia menunjuk perkelahian yang berlangsung sengit dengan dagunya. "Mereka saja kewalahan, apalagi kalian?"

"Jadi kami harus diam saja di sini?" balas Mario, mewakili Ganda yang malas buka mulut.
Suyitno berdecak. "Kita tunggu kesempatan itu datang. Begitu dapat, kita hajar sama-sama!"

"Bagaimana caranya? Kesempatan macam apa?"
"Kesempatan untuk mengusirnya pergi! Tapi sebelum itu terjadi, aku harus membuat perhitungan dulu dengan yang merasuki Nak Zainal ini. Si Siluman Harimau brengsek ini. Dia lah pembunuh istriku."
Mario dan Ganda terdiam. Mereka saling pandang dan tidak tahu harus bereaksi seperti apa terhadap kehilangan bapak kosnya. Dilanda kebingungan menentukan sikap, sesekali petir di luar memperlihatkan keadaan Ade dan Dirga di ruang tamu.
Keduanya mengerang kesakitan dan hampir berhasil dilumpuhkan oleh Zainal.
Eh, Zainal di mana? Ganda dan Mario celingukan mencari keberadaan temannya itu.
Baru saja berpikir mengenai kaburnya Zainal, orang yang mereka cari sedang merangkak cepat menuju tempat ketiganya terdiam dengan gerakan cepat. Mario dan Ganda merasa tujuan akhir Zainal adalah Suyitno.
Namun karena takut, keduanya spontan bergerak menghindar, ke kiri dan kanan sambil menutup mata.
Jedug... Krak....
Ganda sempat milirik dengan memicing lalu memekik. Ia menyaksikan gerakan seperti slow motion dalam film-fim yang pernah ditontonnya, setelah mengembalikan pandangannya kepada Suyitno.
Dan tatapan Mario sudah lebih dulu terpaku. Jantungnya seolah berhenti berdetak sejenak, saat menyaksikan kejadian luar biasa di hadapannya.
Kaki Suyitno masih menjulur. Leher Zainal mengenai tepat tendangannya. Zainal terjungkal setelah terdengar bunyi seperti patahan. Kepalanya seolah menempel di punggungnya.
Dalam hening ruang tengah, petir menyambar dan sinarnya mengenai tubuh Zainal. Ia tidak bergerak, telentang dengan kepala menghadap Ade dan Dirga.
Lima orang terpaku di tempatnya masing-masing. Suyitno turunkan kakinya perlahan. Karena Ganda yang dituakan dalam grup, dengan perasaan takut-takut, ia dekati sosok Zainal yang terdiam setelah dia panggil beberapa kali namanya dan tidak menyahut.
Perasaannya tak enak sewaktu menggerak-gerakkan lengan Zainal supaya lekas bangun. Kemudian, Ganda tempelkan jari telunjuk dan jari tengahnya di batang leher Zainal. Ia terkesiap saat tidak lagi menemukan denyut jantung di sana.
"Seharusnya aku menyiksanya lebih dulu," ucap Suyitno dingin sambil mengamati siluman macan yang kabur menembus tembok.
Suasana duka seketika menyelimuti rumah Suyitno. Dihantam hujan, petir, dan guntur, menambah kelam rasanya. Ade dan Dirga tergerak terpincang-pincang sambil mengaduh begitu mendekati tubuh Zainal yang telentang di dekat Suyitno.
Mario dan Ganda tersedu lirih. Mereka duduk lemas.
Langkah Dirga dan Ade baru separuh perjalanan saat seseorang menuruni tangga utama.
"Ibnu sudah sadar?" tanya Mario pelan, dengan suara tersekat dan tangis yang coba ditahan.
Ganda menggeleng tanpa bersuara.
"Tapi sepertinya bukan," balas Suyitno. Keempatnya saling lirik, kemudian menarik napas panjang.
@bacahorror
@SpesialHoror
@threadhororr
@IDN_Horor
#ceritahorror
#rumahtusuksate

Bab 49 : Babak Pamungkas
Ibnu menuruni tangga utama dengan satu ujung bibir terangkat. Tatapannya penuh ejek.
Ia meniti tangga dengan tenang, tidak sadar wajahnya memar di sana-sini. Sementara orang-orang yang sedang menunggunya, seolah kelelahan sehabis tawuran dua puluh empat jam nonstop.
Setelah kaki Ibnu menyentuh anak tangga terbawah, ia mulai bicara, "Padahal baru permulaan. Belum acara puncak. Lihat itu!" Telunjuk Ibnu terulur bersamaan dengan kilatan petir dari luar. "Masih banyak yang antre."
Mario dan Ganda memelotot melihat banyaknya bayangan di luar rumah, berjubel di depan pintu kaca.
"Siapa yang merasuki Ibnu?" tanya Mario, entah kepada siapa dia tujukan pertanyaan tersebut.

"Wojogeni," balas Suyitno.

"Terima kasih telah memperkenalkanku, Yitno. Tapi aku tetap akan menagih janjimu," timpal Ibnu.
"Janji apa?" celetuk Ganda.

"Nyawaku," Suyitno menjawab dengan tenang. Ganda dan Mario menelan ludah.
"Dan kau." Tunjuk Ibnu kepada Ade. "Terima kasih telah merusak pagar rumah ini." Tawa Ibnu membahana sebelum melanjutkan kalimatnya.
"Kalian semua ini bodoh. Berjalan tidak pakai otak dan akhirnya terdampar di sini, bersamaku. Dan bisa-bisanya menganggap kami ini seperti mainan yang bisa kalian panggil dan usir seenak udel kalian. Terutama kau!" Kali ini Ibnu menunjuk muka Dirga.
Semua mata tertuju kepada Dirga.
"Jadi, jangan salahkan aku kalau caraku membalas dendam seperti ini," imbuh Ibnu.

"Apa maumu?!" tantang Ade. "Kau tidak lebih dari dedemit sampah."
"Bukannya kau juga ingin memilikiku dengan mengorbankan orang-orang ini?" Pandangan Ibnu menyisir wajah semua orang. Sesekali petir menyambar di luar. Hujan pun belum reda.
"Kalian semua sebenarnya sama. Ada yang sombong, ada yang se-ra-kah!" Ibnu mengeja pelan-pelan kalimat terakhirnya. "Dan orang-orang seperti kalian selayaknya kuseret hingga ke neraka terdalam dan kubiarkan minum darah serta nanah. Makan bangkai!"
Mario menghadap pintu dan menelan ludah. Ia berniat kabur.
"Tidak ada pamit yang pantas untuk pendosa macam kalian!" imbuh Ibnu.
Seketika perasaan Dirga tak enak. Rumah mendadak penuh, sesak. Sejak tadi ia ucapkan rapalan untuk mengusir makhluk tak kasat mata dari dalam hati. Namun mengingat jumlahnya yang melebihi kuota, selain kelelahan, ia juga tidak bisa mengusir semuanya.
Termasuk, mengusir Wojogeni yang seperti dibentengi prajurit nerakanya.
Ade yang berdiri di sebelah Dirga, gemetar seperti menahan kesakitan. Sedikit panik, dia raih tangan Ade dan tersentak begitu merasakan panas menjalar. Dirga menoleh dan menyaksikan belasan sosok tak kasat mata mulai merasuki Ade. Dirga bersiap-siap merapal doa.
Argh....
Teriakan Mario membuyarkan niatan Dirga. Hanya sekali, kemudian menyusul keributan dari ketiganya.
Di dekat tangga utama, Suyitno yang sebelumnya tampak lemah, mengangkat leher Ganda dan Mario tinggi-tinggi. Tendangan keduanya dan cakaran di tangan Suyitno tidak juga berhasil menghentikannya.
Dirga merasa perlu turun tangan meski ia lihat belasan sosok tak kasat mata mulai antre merasuki Suyitno, Mario dan Ganda. Bahkan ia merasakan, belasan sosok tak kasat mata juga mencoba merasukinya. Ia tidak berhenti merapal doa.
Tiba-tiba, teriakan Suyitno membahana. Tangannya dipuntir kuat-kuat oleh Ganda dan Mario. Ketiga orang itu bertarung sengit. Mereka saling pukul, saling banting, saling tendang. Ibnu tertawa-tawa melihatnya.
Bag... bug... bag... bug....
Tanpa Dirga sadari, cengkeraman Ade mengenai bahunya. Ia terpelanting dengan sekali sentakan. Wajah Ade terlihat bengis. Teriakan bergema bercampur deru hujan, petir dan guntur.
Di sepanjang menghindari perkelahian dengan Ade, Dirga mencoba mengusir satu persatu arwah atau jin yang merasuki tubuhnya. Di sisi lain, ia tidak bisa menghindari tendangan, pukulan, atau bantingan Ade.
Bruak....
Satu korban tumbang.
Kepala Mario terarah kepada layar televisi. Dari ekor matanya, Dirga bisa melihat temannya itu tidak bergerak. Tidak berapa lama, pintu depan menjadi sasaran Suyitno.
Dengan menggunakan punggung Ganda, ia lemparkan kuat-kuat, beberapa kali, dan berhasil mengenai pintu rumah berbentuk kupu tarung sampai akhirnya ambrol.
Satu korban kembali ambruk. Ganda tidak bergerak di bawah kaki Suyitno.
Masih menghindari pukulan demi pukulan Ade, dan sesekali menepuk bagian tubuhnya untuk mengusir makhluk-makhluk tak kasat mata itu, ia merasa bersalah tidak bisa menolong teman-temannya. Di sisi lain, yang merasuki Ade sudah bisa dihitung menggunakan jari.
Mendadak Ade terdiam. Ia seperti tidak tertarik lagi dengan Dirga yang sedang mengatur napas. Ade berlari menyusul Suyitno yang berniat melarikan diri. Entah ilmu apa yang digunakan Suyitno hingga ia bisa mengerahkan sosok tak berwujud itu untuk membantunya kabur.
Namun sepertinya, jalannya masih jauh dan terjal.
Ade meraih leher bagian belakang Suyitno. Bersamaan dengan hal itu, banyak sekali arwah yang merasuki Ade. Termasuk Anam yang sebelumnya berdiri di pintu pagar.

Dalam sekali hitungan, Ade tarik kuat-kuat Suyitno dan membantingnya. Suyitno mengerang.
"Injak!" Ibnu berteriak.
Sebelum Suyitno berhasil berdiri, Ade sudah lebih dulu sampai di tempat. Ade berdiri menjulang di sebelah Suyitno.
Pintu rumah kini terbuka lebar. Cahaya dari petir di luar terlihat maksimal, menempa pandangan Dirga saat kaki Ade menggencet kepala Suyitno. Jika sebelumnya kepala Suyitno berdenyut ketika terinjak istrinya, kali ini ia tidak merasakan apa-apa.
Ia hanya merasakan sebelum Ade berhasil meraih bagian belakang lehernya, sosok tak kasat mata yang merasukinya berbondong-bondong keluar. Tenaganya tersedot habis saat ia terpelanting.
"Mati kau!" teriak Ade.
Saat itulah, Dirga melihat beberapa nyawa yang telah Suyitno renggut untuk tumbal Wojogeni, mengumpulkan tenaganya di satu titik. Di kaki Ade. Makanya, entakan terakhir kaki Ade berhasil memecahkan kepala Suyitno. Matanya mendelik, meski dunia terlihat hitam.
Sebelum meregang nyawa, ia hanya bisa melihat istrinya yang terkapar dan kemungkinan besar akan dijumpainya kelak, di neraka.
Tidak sampai hitungan detik, atas perintah Wojogeni seluruh penghuni tak kasat mata yang menyesaki rumah Suyitno dan yang keluar dari tubuh Ade, berlomba-lomba merasuki Dirga. Namun, lagi-lagi gagal. Mereka seperti terpental.
Bruk....
Bruak....
Dirga terpaku menyaksikan Ade menabrakkan tubuhnya sendiri ke sembarang tempat. Saat itulah, Dirga menyadari satu arwah tertinggal di tubuh Ade. Anam. Ia pasti ingin bebas atau balas dendam!
Karena tinggal bertiga, otomatis usaha Dirga untuk menyelamatkan nyawa yang masih tertinggal melambung tinggi. Ia melangkah menuju posisi Ade yang masih membenturkan tubuhnya ke tembok.
Tiba-tiba, langkahnya terhenti. Ibnu mengumpankan jotosan tepat mengenai pipinya. Dirga tersungkur dan tidak menyadari bahwa tubuhnya sudah selemah itu. Apalagi, perisainya seperti menipis sebab sedari tadi coba ditembus oleh makhluk-makhluk suruhan Wojogeni.
"Pak Ade, sadar!" teriak Dirga, posisinya masih tersungkur.
"Nikmati saja pertunjukannya. Ini semua atas kemauannya sendiri." Ibnu mengedikkan kepalanya kepada Ade. "Kau tahu kan, kalau hari ini sampai dia selamat, kalian semua lah yang akan mati. Kau pun tahu kalau yang merusak pagar di rumah ini juga Ade.
Yang mengundang mereka-mereka yang tak tampak itu juga dia. Aku hanya menambahkan sedikit bumbu, tidak boleh ada yang keluar dari rumah ini hidup-hidup.
Belum lagi apa yang dia lakukan selama ini di kehidupannya. Santet, teluh, guna-guna. Neraka lah tempat yang paling tepat untuk dia tinggal!"
"Setan!" teriak Dirga sambil berusaha merapal doa dan memohon kepada Anam supaya berhenti merasuki Ade.
Ibnu tergelak. "Kau tidak akan berhasil dengan cara itu. Dendamnya sudah terlalu kuat. Sudahi saja kesia-siaanmu itu. Biarkan segala dendam di rumah ini tuntas. Di sini kita jadi penonton saja!"
"Pergi kamu ke neraka!" sentak Dirga.

"Tanpa kau suruh pun, aku akan pergi ke sana. Tapi aku akan membawa kalian semua."
Ade terkapar dengan darah dan luka di mana-mana setelah berhenti membenturkan tubuhnya. Lalu, Anam terlihat keluar dari tubuh Ade dengan wajah semringah, seolah undur diri dari dunia ini. Itu berati, nyawa Ade sudah tidak tertolong lagi.
Dirga meraung. Tatapan bengisnya tertuju kepada Ibnu. Ia merapal lagi doa sembari memasang kuda-kuda.
"Sekarang giliranmu, Dirga!" seru Ibnu jemawa. "Kau pun tidak kalah buruknya dengan mereka. Yang kau miliki sekarang ini, ditukar dengan nyawa orangtuamu. Coba tanya Mbah-mu sana. Kau ini anak sial!"
Bukannya melawan, Dirga merasa harus melarikan diri secepatnya dari rumah ini kalau ingin selamat dan membalas Wojogeni. Tenaganya sudah habis terkuras. Rapalannya juga tidak mempan karena terlalu sesaknya rumah Suyitno dengan makhluk halus.
Ketika sampai di pintu depan yang roboh, Ibnu berhasil menendang Dirga sampai ia terjerembab di halaman depan. Saat berbalik dengan cepat, Ibnu sudah berdiri di hadapannya, bersiap menyerang dengan kakinya.
Dirga pikir, barangkali dia memiliki takdir yang sama seperti Suyitno. Mati dengan kepala pecah. Dirga seolah pasrah menjemput kematiannya.
Dhar....
Di saat itulah, petir menyambar tubuh Ibnu sampai ia terpelanting.

Telinga Dirga sempat berdenging. Matanya memburam. Tenaganya benar-benar terkuras habis untuk mencerna keadaan.
Sebelum memejam, Dirga sempat menyaksikan Wojogeni keluar dari tubuh Ibnu, dan terbakar. Seketika ia teringat dengan cerita Mbah Putri. Jika hujan dan petir menyambar di luar, dilarang untuk berkeliaran di jalan atau berteduh di sembarang tempat.
Sebab, kalau sampai ada jin yang mengikutimu, maka sebagai algojonya adalah petir itu sendiri.
Dirga benar-benar menutup matanya setelah menarik napas panjang sekali.
#
Gelap. Sunyi. Hampa.

Tiga kata tersebut seolah buyar setelah muncul sebuah suara, memanggil namanya.

"Dirga... Dirga bangun!"

Kemudian, suara lain menyusul, seperti melubangi telinganya.

"Bangun, Nak. Dirga, cucunya Mbah!"
Saat panggilan ketiga berlangsung, Dirga tersentak. Ia langsung terduduk, memandangi sekitar.
Riak bengawan, rumpun bambu, tumbuhan dan bunga pinggir kali, serta dua orang berkebaya kutu baru dengan rambutnya digelung sederhana, tersenyum padanya. Mbah Putri bersama seseorang yang tidak Dirga ketahui sosoknya, duduk di sebelahnya.
"Maafin Mbah, Dirga." Ngadirah membesut hidungnya. Tangisnya menderai. "Ini semua gara-gara kamu, Sami!" tukasnya.

"Mbah Sami?" tanya Dirga, memotong niatan orang yang tidak dikenalnya itu membalas.
"Iya, aku Sami. Yang kau cari selama ini." Sami tersenyum dan membelai rambut Dirga dengan lembut. "Oalah, Cah Bagus. Kamu kok ya sengsara sekali hidupnya gara-gara Mbah Ngadirah-mu itu!"

"Heh?!"

"Dianggap sial pula."
Ngadirah memelotot. "Kamu bukan anak pembawa sial, Dirga. Jangan dengarkan Wojogeni. Dia punya seribu cara untuk mengelabuhi kita."

"Mengelabuhi, Dirah!"
Keduanya tertawa. Dirga kebingungan merespon situasi yang melingkupinya sekarang.

"Bagaimana tidak? Kamu umpankan sendiri cucumu ke Wojogeni."
Ngadirah terdiam. Separuh hatinya membenarkan perkataan Sami, dan separuh sisinya merasa bersalah. "Maafkan Mbah, Dirga," katanya pelan.

"Aku tidak dengar, Dirah," kata Sami jail.

"Maaf!"
"Mbah Ngadirah dan Mbah Sami kok bisa ada di sini?" tanya Dirga, berharap dapat mengupas satu per satu pertanyaan di dalam kepalanya dan meninggalkan bahasan tidak penting. Dia merasa waktunya tidak banyak.
Keduanya tersenyum. Sami yang lebih dulu mengurangi senyumnya setelah tahu tidak pada tempat dan situasi yang tepat.
"Aku menunggu Dirah di sini. Ingin bicara padanya kalau aku sudah baik-baik saja. Tapi Ngadirah-nya tidak muncul-muncul juga. Malah pasang badan," terang Sami. Kesedihan masih meliputi wajahnya.

Alis Dirga bertaut.
"Ternyata, Sami selama ini mencoba datang ke mimpiku," Ngadirah mengambil alih kendali, menerangkan dalam versinya. "Tapi dia selalu bisu setiap kali muncul di mimpiku. Itu pun hanya beberapa kali mampir.
Belum lagi karena kita memiliki ilmu yang tidak sembarangan orang punya, jadi arwah Sami tidak bisa mendekatiku. Dan berlaku sama seperti kami yang tidak bisa mendekatimu.
Sampai akhirnya, Sami berhasil bilang padaku kalau dia sudah memaafkan semua kesalahanku. Dia bisa bicara sewaktu nyawaku sudah di ubun-ubun. Waktu itu pun aku tidak sempat memberitahumu Dirga. Maafkan Mbah, ya."
Keduanya berlinang air mata. Pundak mereka naik turun. Anehnya, Dirga tidak marah atau ingin memaki keduanya. Ia benar-benar lega mendengarnya. Ia merasa telah tuntas memenuhi keinginan Ngadirah. Malahan, kini ketiganya bisa bertemu langsung.
"Gara-gara kami, teman-temanmu sampai harus mati," Sami sedikit tersendat saat mengatakannya.

Kali ini penyesalan barulah menghantui benak Dirga. Ia menunduk, menangis tersedu-sedu. Keduanya memeluk Dirga lebih erat, lebih hangat, kemudian menangis bersamanya.
"Apa yang sudah digariskan tidak mungkin bisa kita ubah. Kamu harus tahu, kalau semua orang pasti mati. Tinggal tempat dan caranya saja yang berbeda," kata Ngadirah menenangkan.

Dirga mengangguk-angguk pelan. Dia mendongak dan mengusap air matanya yang meleber ke mana-mana.
"Cucumu kalau menangis jelek juga ya," Sami berkelakar.

Keduanya tertawa. Ngadirah mengangguk-mengangguk. Dirga jadi kesal dibuatnya.

"Biar nggak kesal, bagaimana kalau kita mandi dulu di bengawan? Sudah lama kan, Mi?"

"Iya. Dirga juga harus ikut."
Keduanya berdiri dan langsung terjun ke bengawan yang berair tenang. Dirga ikut nyemplung.
Begitu menyentuh air, kesadarannya langsung kembali. Ia mengerjap, mengamati plafon bercat putih di atasnya. Hidungnya seketika menghidu aroma karbol. Kepalanya berdenyut, seluruh tubuhnya nyeri.
Tidak lama kemudian, Dirga sadar tengah berbaring di rumah sakit setelah dokter jaga dan seorang perawat datang menghampiri.
@bacahorror
@SpesialHoror
@threadhororr
@IDN_Horor
#ceritahorror
#rumahtusuksate

Bab 50 : Serasa Melandai
RADAR PANJEN - Sebuah rumah di Jalan Bareng Tenes Gang IV A, Desa Puncak, Kecamatan Gadingasri, Kabupaten Cubluk, terbakar pada Senin 11 Oktober 2021.
Terbakarnya rumah tersebut terjadi sekitar pukul 18.30 WIB saat hujan deras turun di wilayah tersebut dan petir menyambar jaringan listrik yang memicu percikan api.
"Percikan api muncul setelah jaringan kabel listrik tersambar petir," kata Kepala Pelaksana Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Panjen, Wahyudi saat dikonfirmasi.
Wahyudi mengatakan, bangunan rumah warga yang terbakar memang cukup jauh dari sekitar sehingga api tidak sampai menjilat rumah di dekatnya.
"Kondisi rumahnya sendirian dan cukup jauh dari rumah tetangga sehingga hanya satu bangunan itu yang terbakar," sambungnya.
Dia menyebutkan, rumah yang terbakar adalah milik S (73 tahun) dan EJ (67 tahun), dihuni oleh 5 orang anak kos yaitu AD (23 tahun), IM (19 tahun), GA (25 tahun), MM (22 tahun), ZA (23 tahun), dan seorang tamu AA (50 tahun).
Untuk saat ini, para korban telah dilarikan ke rumah sakit. Lima orang meninggal dunia, dan tiga orang luka-luka serta masih dalam pemulihan.
"Kami juga berkoordinasi dengan Damkar, PLN, desa, RT/ RW, dan warga, serta mengevakuasi barang-barang yang masih bisa digunakan," pungkasnya.
#
Hari ketujuh setelah kejadian di rumah tusuk sate....
Sri membaca berita itu lagi setelah membuatkan mi kuah kepada salah satu pengunjung setia warungnya, Tono.
Enam hari sudah Warung Bu Sri tutup dan baru buka hari ini. Itu pun karena banyak keluhan mampir ke WhatsApp-nya, menanyakan kapan bisa makan mi lagi. Dasar kecanduan micin, begitulah balas Sri di akhir pesan. Dia pun menutup warungnya untuk menghormati yang sedang berduka.
"Astagfirullah... eh, salah. Innalilahi wainailaihirojiun." Sejak tadi Sri mendadak religius. Kata-katanya penuh ayat quran. "Nggak nyangka lho Mas kalau ada kejadian seperti itu di gang ini." Sri menunjuk rumah tusuk sate melalui kaca warungnya. "Mas Tono sudah baca beritanya?"
Sengaja Sri memberi jeda pada kalimatnya supaya Tono―pelayan salah satu gerai makanan cepat saji yang beroperasional di mal, bertanya balik. Jadi, dia merasa berhasil menjadi pengantar informasi mumpuni kalau mampu memancing tanya lawan bicaranya.
"Memangnya ada apa, Bu Sri?" tanya Tono sambil menyeruput kuah mi.

Pancingan Sri berhasil.

"Jadi, penghuni tetap di rumah kos itu sebenarnya ada tujuh orang. Yang selamat tiga. Yang meninggal lima."
Tono berpikir, berhitung di dalam kepala. "Lha terus, yang satunya siapa?"

"Nah!"
Kedua ujung bibir Sri tertarik ke atas. Dia geser satu kursi paling dekat untuk mengobrol. Untung warung dalam keadaan sepi, jadi dia bisa leluasa menyebarkan informasi berkenaan dengan rumah tusuk sate.
"Harusnya satu di antara tiga orang itu tidak selamat. Tapi karena waktu itu kebetulan ada tamu yang nggak bisa pulang soalnya hujan lebat, maka kesialan itu pindah ke tamu tadi," Sri melanjutkan perkataannya pelan.
"Memangnya ada apa sama rumah itu?"

"Sampean tidak tahu?"

"Nggak tahu lah, Bu Sri. Saya kan nggak tinggal di situ."
"Benar juga." Sri tergelak dan menepuk pelan bahu Tono. Setelah puas tertawa, Sri pasang kembali wajah seriusnya. "Jadi, sejak awal memang rumah itu angker. Bahkan sebelum pemilik yang meninggal kemarin itu tinggal, banyak sekali cerita-cerita seram.
Tapi menurut saya, lebih seram setelah Pak Yit dan Bu Eti pindah ke situ. Tinggal di situ. Soalnya, mereka malah nggak pernah diganggu. Seperti berteman sama penunggu-penunggu di rumah itu." Sri celingukan, takut kalau sampai kalimatnya barusan bocor. Tono menelan ludah.
"Bisa jadi mereka itu satu komplotan? Berteman setelah tinggal di situ?" tebak Tono.
Sri merinding. "Saya juga mikir sampai situ. Jangan-jangan, karena saking dekatnya, mereka mau menjadikan yang meninggal itu benar-benar jadi teman. Jadi penunggu rumah itu." Bola mata Sri melebar. "Amit-amit jabang bayi."
"Bu Sri kalau begitu harus hati-hati, soalnya rumah ini kan nggak jauh dari tempat kos itu." Tampang Tono berubah menyelidik. "Jangan-jangan, penunggunya masih butuh satu teman lagi?"
"Mas, ya! Mau ditoyor?"

Tono terbahak dan melanjutkan menikmati mi kuahnya. Bibir Sri mengerucut, raut mukanya sebal.
Pandangan Sri berpindah ke rumah tusuk sate setelah dia bangkit berdiri. Alangkah terkejutnya Sri sewaktu menatap rumah di ujung jalan itu. Tangannya gemetaran. Dia bahkan tidak bisa bicara, apalagi berteriak. Padahal, Tono masih ada di dekatnya.
Sosok menyeramkan itu tengah berdiri di depan pagar rumah tusuk sate. Mulutnya yang lebar seolah sampai telinga saat tersenyum kepada Sri. Tangan dan jari-jari panjangnya melambai, mengundangnya untuk mendekat atau berkunjung.
"Astagfirullah," kata Sri sebelum semaput. Tono ikut panik karena mangkuk mi-nya tumplak terkena sabetan tangan pemilik warung.
#
Kamar rumah sakit yang berisi tiga ranjang sedang sibuk dengan kegiatan masing-masing. Ganda dan Mario belum banyak bicara, tetapi saudara yang menjaga mereka sudah saling mengobrol. Dirga yang tidak punya kegiatan lain, terpaksa menguping.
Sebab kamar mereka hanya dibatasi kain seperti kelambu, dan kini dalam keadaan terbuka, tanpa sekat. Kalau saja mereka minta Dirga bergabung ke dalam obrolan, dia tidak akan menolak. Kalau bukan karena mereka, Dirga mungkin tidak akan ganti baju selama dirawat di rumah sakit.
"Aku pernah dengar dari Ganda kalau Zainal sukanya main ke Gunung Kawi sekeluarga," kata Rafiah―Ibunda Ganda. Usianya sudah setengah abad lebih, tetapi masih terlihat awet muda. Seperti kakak adik dengan Ganda.
"Kata siapa, Kak?" balas Ruth―kakak ipar Mario.

"Zainal sendiri yang bilang ke anak saya. Malahan, mau diajaknya itu anak saya."

"Memangnya mau berbuat apa mereka, Kak?"
"Apa lagi kalau bukan itu?" Rafiah seketika memelankan suaranya sebab Ruth tidak memahami perkataannya. "Minta sama yang sesat supaya cepat kaya."

Tanpa aba-aba, Ruth nge-gas. "Kamu juga diajaknya, Mario?" Dia arahkan pandangannya kepada adik iparnya itu, menyelidik.
Anggukan Mario pelan. Matanya tidak beralih sedikit pun pada Ruth. "Tapi aku tidak ikut, Kak. Sumpah!"

Ruth memejam dan memberikan tanda salip di dada. "Atas nama Tuhan Yesus, semoga diampuni dosa-dosa mereka."
Rafiah mengusap mukanya dengan kedua tangan. "Amin." Ia merasa sedikit sungkan setelah sadar agama mereka berbeda.

"Kalau satunya lagi?" tanya Ruth. Dia masih menyimpan rasa penasaran di wajahnya.
"Yang namanya Ibnu itu, bukan? Yang anaknya kalem sekali? Kalau itu, saya kurang paham."

"Saya kira Kakak juga tahu―"
"Dia nggak ada model-modelan begitu. Minta-minta ke yang nggak boleh diminta selain Allah," potong Ganda. Mario dan Dirga sama-sama melirik karena posisi Ganda ada di tengah-tengah mereka.
Sepertinya keduanya penasaran, sekaligus mencoba memahami kalau Ganda yang dituakan di kos, tahu sejarah orang-orang yang ada di bawah atapnya. Kecuali, Suyitno dan Eti.
"Mereka ini suka curhat ke Ganda, ya?" tanya Ruth, mengalihkan perhatiannya kepada Ganda yang setiap kali bicara selalu meringis kesakitan. Badannya masih terasa remuk redam.
"Kadang-kadang saja mereka cerita. Nggak semuanya juga," balas Ganda. Pandangannya menerawang jauh. "Kalau Ibnu... setahu saya nasibnya memang menyedihkan. Dia tidak terlalu diharapkan di keluarganya, kecuali uangnya.
Setelah ayahnya menikah lagi, dia sudah seperti orang asing di rumahnya sendiri. Makanya Ibnu itu jarang pulang ke rumah. Kalau lebaran pun seringnya ikut saya mudik. Padahal jarak tempuh dari tempat kerja ke rumahnya cuma satu jam sama sepeda motor."
Keempat orang di ruangan itu terdiam, mendengarkan cerita Ganda yang sedikit muram, dan bunyi kipas angin menjadi pelengkapnya. Setelah menarik napas panjang sekali, dia lanjutkan kalimatnya.
"Ibnu memang ingin mati. Ralat, pernah hampir mati...." Ganda sengaja memberi jeda untuk menarik napas panjang. "Dulu, dia pernah nenggak obat nyamuk cair. Untungnya masih bisa selamat. Tapi seumpama mati pun, aku yakin dia nggak pengin mati dengan cara seperti itu."
Mata semua orang di ruangan itu berkaca-kaca. Jeda menyeruak dalam hening.
"Kok kamu tahu banyak?" tanya Mario. Kepalanya masih berkedut-kedut ketika teringat menghantam tivi Suyitno. "Kalau ke aku, Ibnu cuma cerita sekilas soal dia tidak betah tinggal di rumahnya sendiri. Makanya kos."
"Nggak cerita banyak, Mar. Cuma yang penting-penting saja," balas Ganda sambil menoleh ke arah Dirga. "Buktinya aku juga nggak pernah tahu sejarah kehidupannya Dirga."

Yang disebut namanya tidak mau membahas lebih lanjut. Sebab, dia merasa sudah menutup lembaran masa lalunya.
"Kalian setelah ini bagaimana? Kos atau mungkin ada rencana lain?" tanya Dirga, mengalihkan topik pembicaraan.
"Yang pasti, pindah kos. Soalnya tidak mungkin balik ke kos yang buat kita hampir mampus itu," kata Mario sebal. "Kalau kerja, sepertinya aku akan rehat sebentar. Sementara nanti, aku akan tinggal di rumah kakakku."
"Iya, tinggal di rumah kakak saja. Nanti kalau sudah kerja lagi pun, pulang pergi dari rumah kakak saja," timpal Ruth.

Mario tidak membalas. Ia menggaruk-garuk pipinya, bingung.
"Kalau aku...," balas Ganda setelah memastikan Mario dan Ruth selesai bicara. "Cuma pindah kos saja. Takut kalau ambil daerah di situ lagi. Kalau malam nggak ada lampu di gangnya. Palingan aku mau cari-cari di daerah Widodari. Jalan agak jauh sedikit nggak apa-apa."
Dirga manggut-manggut. "Nanti aku sekalian ikut cari-cari di daerah sana, ya."

"Aku juga," tembak Mario.
"Mario, bukannya tadi kakak sudah bilang kalau kamu pulang ke rumah saja. Tidak usah lagi kos-kos. Tidak ada debat. Kami tidak mau kalau kamu pulang ke rumah dipeti," Ruth bersabda.

Tidak ada yang berani bicara. Ganda sedikit menunduk, merasa bersalah karena idenya tersebut.
Karena tidak ingin mengundang kecanggungan, Rafiah membuka mulutnya kembali. "Ini anak-anak sudah ke makam teman-temannya atau belum? Atau, ke makam bapak ibu kos-nya?"

"Lha bagaimana mau ke sana? Orang mereka ini masih kayak jompo!" Ruth masih nge-gas.
"Iya, iya."

Terdengar ketukan pintu. Semua melongok setelah pintu bergeser.

"Mas Dirganya, ada?" tanya perempuan berhijab. Dirga yang berbaring, sedikit mengangkat kepalanya.
#
Julia dan Sander sebagai perwakilan kantor membawakan beberapa baju layak pakai dan juga buah-buahan untuknya. Ruth dan Rafiah undur diri sebentar, melanjutkan bergosip.

"Sehat, Mas Dirga?" tanya Julia―HRD tempat Dirga kerja, retoris. Dia letakkan bungkusan tersebut di meja.
"Terima kasih sudah repot-repot datang ke sini. Alhamdulillah sudah sehat, Bu. Kemungkinan besok―"
"Kok bisa, Mas Dirga? Pak Ade juga jadi korban," potong Sander saat duduk di pinggir ranjang. "Aku barusan dari POLSEK, katanya masih diselidiki penyebabnya soalnya keterangan kalian sedikit janggal," cerocos Sander tanpa bertanya lebih dulu kabar.
"Tapi kami nggak mengarang cerita, Pak," Ganda yang selalu merasa dituakan dalam grup, perlu ikut campur.

Ketiga orang yang sebelumnya mengobrol, menengok. Sander sedikit sungkan dibuatnya.
"Ini kata orang POLSEK-nya, Mas. Bukan saya yang bilang. Memangnya kemarin kalian bilang apa? Kerasukan?" Sander tersenyum, mengejek.

"Ya, memang seperti itu kejadiannya, Pak!" timpal Mario dengan logat timurnya. "Memangnya kami di sini ini cosplay?"
Dirga dan Ganda ingin tertawa, tetapi ditahannya sebaik mungkin. Mario sedang dalam mode serius.

Beruntung telepon Sander berbunyi. Jadi, dia bisa kabur untuk sementara waktu setelah menunjukkan kepada Julia siapa peneleponnya. Dari kantor.
"Untuk sementara, Mas Dirga tinggal di mess kantor saja," kata Julia segera setelah Sander menghilang.

"Memangnya ada?"
"Lho, megaproyek superblok kan mau jalan. Kantor sudah urus untuk mess karyawan dari pengembang. Ya, karena Mas tidak masuk sudah hampir seminggu jadi pasti tidak tahu informasi terkini. Harap maklum," Julia menerangkan dengan bahasa khas HRD. Halus, tetapi menusuk.
"Iya, Bu. Minggu depan Insyaallah saya masuk kerja."

"Baguslah. Soalnya Mas Agus kelihatannya keteteran di kantor."

"Baik, Bu."
Sander kembali ke kamar dengan tergesa-gesa.

"Bu Julia, kita harus kembali ke kantor. Saya harus jemput orang pintar... eh, jemput orang," kata Sander, sedikit mengubah kalimatnya setelah sadar semua orang mendengarkan.
"Oh iya, Pak Sander." Bu Julia mengambil tasnya dan pamit dengan singkat. Sander pun setali tiga uang dengannya.
Orang pintar? Buat apa?
Perasaan Dirga tiba-tiba tidak enak setelah mendengar hal-hal berbau mistis. Sedikit banyak, dia kapok berhadapan dengan hal-hal semacam itu. Terlebih, urusannya dengan Mbah Putri sudah tuntas. Wojogeni pun telah terbakar bersama rumah kos tempatnya tinggal.
Sebagai seseorang yang memiliki kecenderungan sifat dan sikap oportunis dalam sendi-sendi kehidupannya, Sander bisa diandalkan untuk hal-hal yang berhubungan dengan keinginan atasan, apalagi sabda dari pemilik mal.
Setelah menjemput dan berkoordinasi dengan orang pintar di daerah Pringapus bernama Cak Pranoko, Sander berencana mengantarnya ke hotel yang sudah dipesankan perusahaan melalui Julia. Hotel di satu kawasan dengan mal.
Nantinya, di malam-malam tertentu, Sander ditugasi langsung oleh pemilik mal untuk mengantar orang pintar itu berkeliling.
Ketika mobil yang dikendarai Sander berbelok dari arah Bundaran Saiful Anwar, dia bertanya, "Cak Pranoko, mau diantar makan dulu?" tanya Sander sebelum mobil mereka menuju ke hotel.
"Panggil Koko saja, Pak," balasnya datar.

"Ah, ndak enak. Cacak saja, ya? Cak Koko, gitu?"

"Terserah sampean."

"Oke." Mata Sander membulat, teringat akan sesuatu. "Maaf, tadi belum dijawab pertanyaannya. Mau makan di mana, Cak?"
"Kebetulan saya sudah makan. Jadi, tidak usah makan malam. Saya cuma butuh kopi sama rokok kretek biar tidak ngantuk. Bisa?"
"Kalau itu beres. Nanti saya suruh ANAK BUAH SAYA buat beli," tawar Sander jemawa seraya memberi penekanan di akhir kalimatnya.
"Anak buah saya ada sekitar tiga ratus orang, Cak. Saya ini lulusan SMA. Dan sebagai lulusan SMA, itu tuh suatu kebanggaan bagi saya bisa ber-karier sampai seperti ini. Nggak semua orang bisa peroleh karier moncer macam ini, tho?
Apalagi, semua anak buah saya itu nurut. Meskipun kadang bikin sakit kepala. Nanya terus mereka itu. Nggak ada pintar-pintarnya. Nggak ada inisiatif sama sekali―"
"Iya," potong Koko, terlihat tidak tertarik. Sander mendengus, kemudian tersenyum lebar. Sadar terlalu dalam menarik napas, Sander harap Koko tidak mendengarnya.
Di situasi seperti itu, dia langsung ingat bahwa kalau sampai ada keluhan dari klien ke si bos, itu artinya menggali kubur sendiri. Sebagai oportunis sejati, lelah atau kesal tidak pernah ada dalam kamus hidupnya.
"Ini kita langsung ke hotel?"

"Iya, langsung ke hotel saja. Nanti setelah mal tutup, baru ke area. Bisa kan, Pak Sander?"

"Tentu saja bisa, Cak."
Mobil berbelok setelah sampai di Jalan Kawi. Dari jauh, hotel terlihat megah di malam hari. Lampu-lampu menyorot ke segala arah. Roof top café yang berada satu kawasan dengan hotel juga sedang ada performance.
Setelah putar balik di Jalan Bareng, mereka turun di area drop off hotel setelah memutari parkir mal, dan berjalan ke arah lobi.
Setiap kali mereka jalan, beberapa satpam hotel dan bagian parkir mal terlihat memberi hormat kepada Sander. Namun, Koko tidak juga terlihat kagum. Malahan, bibirnya komat-kamit sejak tadi. Entah sedang merapalkan apa.
Melangkah di sebelah Sander yang menjulang, tidak akan ada yang menyangka kalau Koko adalah seorang dukun. Dia terlihat seperti orang kebanyakan. Hanya saja, matanya yang sipit tidak terlalu serasi dengan kulitnya yang legam.
Karena pantang bagi Sander untuk pulang sebelum pekerjaannya selesai dan melapor ke pemilik mal, dia ikut juga ke kamar hotel Koko. Untungnya, Koko tidak keberatan.
Sesampainya di kamar hotel, kecuali rokok kretek, dua cangkir kopi pahit sudah tersedia. Mereka mengobrol santai sambil membunuh waktu. Lebih tepatnya, Sander yang mengobrol, Koko mendengarkan. Lebih jelas lagi, perkataan Sander hanya masuk telinga kanan keluar telinga kiri Koko.
Tepat pukul setengah sebelas malam, mereka memutuskan menuju mal. Karena Sander dekat dengan hal-hal klenik atau mistis, tidak sedikit pun ketakutan tampak di wajahnya.
Mereka berjalan memutar karena akses lift menuju mal telah ditutup sejak pukul sepuluh malam, begitu mal sudah tidak beroperasional.
Tiba di depan pintu parkir basement, Koko berhenti melangkah. Pandangannya beralih dari kiri ke kanan.

"Kepala manusia, kan?" tanya Sander pelan.
Koko menoleh. Dia tidak tahu kalau Sander juga mampu melihat kepala menggelundung, melintas di depan mereka.

"Tenang saja, Cak," imbuh Sander. "Di sini banyak sekali penunggunya. Mulai dari hantu gosong sampai berekor." Ia terkekeh pelan. "Dan saya tidak takut sama mereka."
Anggukan Koko menggiring langkah mereka kembali menyusuri pojok-pojok mal. Koko memastikan tumbal yang ditanam di beberapa titik bangunan apakah masih menjalankan fungsinya.
Di pojok dekat tempat pencucian sepeda motor dan helm, Koko celingukan. Dia memejam, lalu membuka matanya kembali setelah selesai komat-kamit. Berdiri di sebelahnya, Sander juga menyadari kejanggalan itu.
"Ada yang hilang," ucap Koko lambat-lambat. "Atau mungkin, bebas."

"Terus?"

"Kita yang harus menambalnya." Koko tersenyum penuh arti. "Pak Sander tahu kan, sekali terbenam ke dunia yang gelap ini, tidak akan pernah ada jalan kembali kecuali mati."
Sander susah payah menelan ludahnya.
Saat mereka akan berbalik dan menaiki tangga darurat untuk menuju roof top. Sekelebat bayangan tertangkap oleh Koko. Aroma anyir menyengat hidungnya. Bukan aroma anyir biasa, tetapi kali ini aromanya berkelindan dengan sedikit bau kesturi.
Oh, jadi dia selamat?
Koko menoleh ke arah Sander, bertanya untuk memastikan, "Pak Sander nyium sesuatu?"

Seketika Sander menebalkan penciumannya. "Apa, Cak?"

"Bau anyir?"

"Tidak."
Tidak salah lagi. Koko benar-benar meyakini kalau yang dicarinya selama ini bersembunyi di sini. Bersama banyak sekali makhluk-makhluk tak kasat mata terbengkalai dan juga arwah-arwah yang terpasung akibat dijadikan tumbal, ia memang pintar berkamuflase.
@bacahorror
@SpesialHoror
@threadhororr
@IDN_Horor
@chow_mas
#ceritahorror
#rumahtusuksate

Bab 52 : Tumbal Gedung Baru
Empat Puluh Hari Setelah Kejadian Di Rumah Tusuk Sate....
Pukul setengah sepuluh malam, tiga orang menunjukkan surat masuk barang, surat izin kerja lembur, dan surat keluar barang di posko keamanan di dekat parkiran. Selanjutnya, kartu tanda penduduk mereka diganti oleh petugas keamanan dengan name tag visitor.
Ketiganya menunggu di bawah pohon palem, di taman depan, di dekat posko keamanan. Stager, tangga, dan scafolding sudah mereka keluarkan dari pikap dan mereka letakkan di dekat tempat kerja.
Sambil menunggu lampu mal mati, ketiganya memantik rokok dan mengepulkan asapnya dengan khidmat. Kopi dalam gelas air mineral mereka seruput dengan sama nikmatnya.
"Pripun ngenten niki, sak meniko kulo mboten gadah yotro (Bagaimana ini, aku nggak punya uang)," curhat Jumain―salah satu pekerja di sebuah percetakan besar di daerah Soekarno-Hatta. Sambil mendengus, ia seruput kopi panasnya.
"Damel bayar SPP yogo mawon mboten wonten (buat bayar SPP sekolah anak saja tidak ada)."
"Dereng wonten (belum ada), Jum. Ora ilok ngomong mboten wonten. Koen engko ndak duwe duit temenan, kapok (nggak baik bilang nggak punya. Kamu nanti kalau nggak punya uang beneran, barulah kapok)!"
balas Pak Ri, seseorang yang dituakan di kantor dan berpangkat supervisor lapangan untuk pengerjaan dan pemasangan wallsign, poolsign, ataupun banner.
"Nggih (iya), Pak."
"Sebentar lagi juga bakalan dapat uang, Jum. Lumayan lho, mindahin satu wallsign nanti, kamu bisa dapat lima ratus ribu. Terus, ada dua yang perlu dipindah."
"Bagi dua, Pak," timpal Ibrohim yang sedang menikmati pisang goreng yang dibawanya dari rumah. "Alhamdulillah, Pak Jum, Pak Ri, uangnya nanti bisa buat modal kawin. Eh, bapak-bapak mau pisang goreng?"
"Koen nek krungu duit ae ndak budeg (kamu kalau dengar kata uang kok nggak tuli)," umpat Pak Ri. "Ya, mau lah." Dia comot satu pisang goreng dari dalam wadah plastik. Ibrohim tertawa. Sebagai yang paling muda, Ibrohim biasa menjadi sasaraan candaan pekerja lainnya.
"Pak Jum, mau?"

"Ndak, Im. Makasih. Aku suka mencret kalau makan pisang goreng malam-malam."

"Ya, harap maklum, Im. Weteng (perut) kota beda sama punya kita," seloroh Pak Ri.
Ketiganya tergelak mendengar candaan Pak Ri. Orang yang tinggal di kabupaten tidak akan menolak pisang goreng, apalagi gratis. Kecuali, Jumain. Malam ini perasaannya tidak enak. Namun, jika tidak mengambil pekerjaan ini, dapurnya tidak akan mengebul dan anaknya tidak sekolah.
Pekerjaan mereka malam ini fee-nya tergolong cukup besar. Sebagai vendor, hal itu seperti durian runtuh. Mereka akan memindahkan dua wallsign dari dinding timur ke dinding barat mal. Sebab, dinding barat akan digunakan untuk memindah pool sign.
Mal dan hotel segera akan berbenah karena modal sudah balik, untung sudah berjalan, dan merasa perlu menambah beberapa fasilitas untuk menjadikan kawasan mal dan hotel menjadi superblok.
Pembangunan tahap satu akan dimulai dengan menambah lantai mal dan parkir untuk A-list brand nasional dan internasional, serta bioskop. Sementara hotel akan menambah satu lantai kamar dan ballroom. Izin pebangunan pun sudah pengembang kantongi.
Makanya, setelah keluar dari rumah sakit, Dirga dan Agus langsung disibukkan dengan mencari calon penyewa. Karena Dirga bertugas untuk merapikan data dan juga follow up by email atau telepon, jadi dia lebih banyak bertugas di kantor. Sementara Agus canvasing.
Meski banyak complain keluar dari mulut Agus karena harus sering keluar kota, dia tetap menjalankan fungsinya dengan baik. Untuk sedikit meredakannya, Agus kirim WhatsApp kepada Dirga saat senggang.
Sebenarnya, lebih mirip curhat terselubung: Anak dan istriku aku suruh belajar makan angin atau kerikil supaya kalau sampai nggak diperpanjang kontrak kerjaku, mereka nggak kelaparan. Kamu jangan nikah kalau cuma buat status, Dirga. Enakan jomblo.
Dirga tersenyum dan mengirimkan emoticon berupa lengan berotot kepada Agus.
Beralih ke pekerjaan pemindahan wallsign. Selesai merangkai stager dan juga scafolding di area duct luar lantai satu mal menggunakan tangga, Jumain segera memasang safety belt dan juga helm begitu meraih besi bagian bawah frame wallsign.
Lampu mal telah mati satu jam yang lalu setelah peralatan dan perlengkapan yang akan mereka gunakan untuk menurunkan dan memindah wallsign, beres. Hanya lampu wallsign saja yang menyala.
Berbarengan dengan kegiatan Jumain, satu petugas keamanan mengantar Pak Ri dan Ibrohim ke roof top, sementara Jumain mulai meniti scafolding, dan segera mengaitkan safety belt di frame wallsign untuk keamanan.
Malam ini tidak terlalu berangin, tetapi tengkuknya seperti ditiup berkali-kali. Jumain merinding.
"Pak, saya sudah siap?!" seru Jumain, mendongak. Belum juga ada sahutan dari Pak Ri ataupun Ibrohim. Dia menunggu sambil bergelantungan.
Pengait safety belt dan frame walsign terdengar berkeriuk saling bergesekan saat tertiup angin. Ketika Jumain menatap scafolding dan stager yang ada di bawahnya, dia baru sadar kalau posisinya tidak aman.
Empat sisi scafolding telanjang, berbentuk seperti tabung memanjang. Karena sudah di atas, dia hanya bisa berdoa dalam hati. Semoga nggak ada kejadian yang aneh-aneh.
Krosek... krosek....
Saat Jumain mendongak kembali, dia tidak menyangka melihat tatapan semerah darah dari makhluk yang tidak ingin dijumpainya. Makhluk itu bertengger di atas wallsign. Senyumnya lebar sekali. Jari-jari tangannya menjulur panjang dan bersiap meraih apapun yang ada di hadapannya.
Thak....
Tangan Jumain tidak sempat meraih frame wallsign saat safety belt-nya putus.
Tidak sampai sedetik, dia meluncur turun. Apesnya, satu sisi scafolding yang tidak berpengaman, menyambut kedatangan Jumain dengan suka cita. Lubang scafolding berbetuk tabung dan sedikit memanjang itu, berhasil menembus dada Jumain.
Dia melengguh sekali. Darah muncrat mengenai dinding bagian luar mal, dan sisanya meleleh menuruni scafolding. Jumain bahkan tidak sempat memejam karena saking terkejutnya.
Sejurus kemudian, teriakan terdengar dari arah roof top. Pak Ri terpaku sejenak setelah meneriakkan nama Jumain, sementara Ibrohim dan salah satu petugas keamanan meraung.
Keduanya hampir pingsan ketika mendapati pemandangan mengerikan di bawah sana. Dada Jumain tertancap di scafolding, dan sepertinya dia sudah tidak bernyawa.
Catatan dari Penulis:
Terima kasih buat yang sudah mau baca cerita horor saya sampai sejauh ini. Dan akhirnya, saya bisa mengucapkan: matur sembah nuwun Ya Allah, cerita horor saya rampung. Cerita horror pertama saya berjudul Gentiri bisa dibaca di aplikasi Cabaca. Kalau sempat, mampir, ya!
Dan untuk cerita selanjutnya yang berjudul "Tumbal Gedung Baru", akan saya kerjakan setelah novel saya yang terbengkalai, rampung. Judulnya: Durma.
Sampai jumpa tahun depan.

• • •

Missing some Tweet in this thread? You can try to force a refresh
 

Keep Current with Heri Widianto

Heri Widianto Profile picture

Stay in touch and get notified when new unrolls are available from this author!

Read all threads

This Thread may be Removed Anytime!

PDF

Twitter may remove this content at anytime! Save it as PDF for later use!

Try unrolling a thread yourself!

how to unroll video
  1. Follow @ThreadReaderApp to mention us!

  2. From a Twitter thread mention us with a keyword "unroll"
@threadreaderapp unroll

Practice here first or read more on our help page!

More from @heriwidianto

Jul 8, 2022
@bacahorror
@threadhororr
@IDN_Horor
#ceritahorror
#rumahtusuksate

Biar nggak terlalu panjang, sengaja aku potong di bab ini.
Dan yang belum baca bab 1 - 13, silakan:
Bab 14 : Seperti Menunggu Giliran
Cerita kepala dan badan terpisah dan gosong di toilet lantai dasar mal, berlanjut.
Read 803 tweets
Jun 30, 2022
@Mansek_Mangat @RaniKancana__ @AntoniusCDN @DetaLewar @Satria7108 @panjianom102 @bazzabeth @Cupidlucky2 @Pra__93 @KiranaAntaresia @abangGionih @srikandi239 @SonyaAmriani @ampyanina ----- Surup -----

[Thread]

Disclaimer: cerita ini adalah kisah nyata dari anggota keluarga saya sendiri.
.
Sekitar tahun 1980-an, Mamat tinggal di Teken Gelagahan, Jawa Timur. Keluarganya termasuk keluarga besar. Jadi, satu rumah diisi banyak anggota keluarga. Image
@Mansek_Mangat @RaniKancana__ @AntoniusCDN @DetaLewar @Satria7108 @panjianom102 @bazzabeth @Cupidlucky2 @Pra__93 @KiranaAntaresia @abangGionih @srikandi239 @SonyaAmriani @ampyanina Ada bapak, ibu, kakak perempuan yang sudah janda dan anak-anaknya, adik perempuan kelas 3 SD, dan satu adik perempuan lagi belum sekolah. Sementara Mamat kelas 6 SD.
@Mansek_Mangat @RaniKancana__ @AntoniusCDN @DetaLewar @Satria7108 @panjianom102 @bazzabeth @Cupidlucky2 @Pra__93 @KiranaAntaresia @abangGionih @srikandi239 @SonyaAmriani @ampyanina Sebagai anak cowok satu-satunya, tugas Mamat cukup banyak. Mulai dari bantu-bantu bapak di sawah, dan sesekali disuruh ibu. Terutama belanja.
Read 31 tweets
Jun 30, 2022
@bacahorror
@threadhororr
@IDN_Horor
#ceritahorror
#rumahtusuksate
#sobatmalamjumatkliwon

Hi,
Mau bikin selipan dikit, nih. Mumpung malam jumat. Jadi, aku mau cerita pendek horor. Judulnya:

---- Surup ----
[Thread]

Disclaimer: cerita ini adalah kisah nyata dari anggota keluarga sendiri.
.
.
Aku mulai, ya....
.
.
Sekitar tahun 1980-an, Mamat tinggal di sebuah desa Teken Gelagahan, di Jawa Timur. Keluarganya termasuk keluarga besar. Jadi, satu rumah diisi banyak anggota keluarga.
Read 30 tweets
Jun 28, 2022
"Jangan beli rumah di ujung jalan. Rumah Tusuk Sate banyak bawa sial."
Lalu, apa jadinya kalau nggak ada pilihan buat yang telanjur tinggal di Rumah Tusuk Sate?

RUMAH TUSUK SATE
Karya: Heri Widianto

---- A Thread ----

@IDN_Horor
@bacahorror
#ceritahorror
#rumahtusuksate Image
Disclaimer:
- Cerita ini berisi 25% pengalaman pribadi dan teman-teman semasa kos dulu, dan sisanya adalah untuk pengembangan cerita.
- Tokoh & tempat sengaja disamarkan untuk melindungi privasi.
- Karya sendiri.
Bab 1 : Mangga Depan Rumah

Andai Ganda tidak ikut stock opname dan men-display product, kemungkinan besar dia tidak akan berjumpa penunggu pohon mangga di halaman depan kos. Ganda sempat berang mengingat jabatannya sebagai kepala toko.
Read 855 tweets

Did Thread Reader help you today?

Support us! We are indie developers!


This site is made by just two indie developers on a laptop doing marketing, support and development! Read more about the story.

Become a Premium Member ($3/month or $30/year) and get exclusive features!

Become Premium

Don't want to be a Premium member but still want to support us?

Make a small donation by buying us coffee ($5) or help with server cost ($10)

Donate via Paypal

Or Donate anonymously using crypto!

Ethereum

0xfe58350B80634f60Fa6Dc149a72b4DFbc17D341E copy

Bitcoin

3ATGMxNzCUFzxpMCHL5sWSt4DVtS8UqXpi copy

Thank you for your support!

Follow Us!

:(