Jepang adalah kekuatan baru di dunia bulu tangkis, tetapi nama mereka sebetulnya sudah harum dan berkelindan di olahraga ini sejak jauh sekali, bahkan sebelum #JapanOpen2022 hadir ke dunia.
Minoru Yoneyama yang jadi aktornya, seorang pendiri Yonex yang legendaris.
A THREAD
Kisah Yoneyama dan Yonex adalah tentang warisan dan bertahan hidup. Suatu hari ia baru kembali dari Perang Dunia II dengan hati perih: Ia melihat banyak sekali kematian. Dari sekian banyak orang-orang yang meninggal itu, salah satunya adalah sang ayah.
Selain sakit tak terperi, ada satu hal lain yang ayahnya wariskan: Sebuah mesin pemotong kayu. Dengan mesin inilah Yoneyama memulai sihirnya. Bermula dari mesin itulah Yonex hadir.
Tapi Yonex tidak tiba begitu saja. Mulanya, Yoneyama memproduksi pelampung kayu dan jaring ikan. Ketika teknologi makin maju, yg salah satunya ditandai dengan kehadiran pelampung plastik, bisnis Yoneyama mengalami kemunduran.
Jepang adalah tempat bagi orang-orang disiplin. Mereka yg hidup di sana enggan tunduk pada apa yg disebut sebagai hari buruk. Hari buruk, bagi mereka, justru menjadi kesempatan untuk menciptakan peluang yg lebih besar.
Itu yang bikin Yoneyama tetap berdiri tegak. Enggan terinjak-injak oleh teknologi, ia memutuskan banting stir. Keahliannya di bidang teknik memunculkan ide untuk memproduksi raket bulu tangkis. Waktu itu tahun 1957.
Sejak beralih menjadi produsen raket, Yoneyama tak mau lagi kalah dari teknologi. Alih-alih, ia ingin Yonex selalu berada di depan. Tak heran jika akhirnya Yonex menjadi pelopor dalam banyak hal.
Saat produsen lain masih menciptakan rakat dari kayu, Yonex sudah beralih ke aluminium. Ketika aluminium masih banyak digunakan, raket buatannya sudah berinovasi dengan serat karbon.
Inovasi terbesar yg Yonex bawa terjadi pada 1992. Kala itu, mereka merilis raket dengan desain rangka kepala yang lebih besar dan melebar dari yang sebelumnya sedikit bulat dan ramping. Sekilas, bentuknya bahkan agak 'mengotak'.
Bulu tangkis hari ini mengenal inovasi itu sebagai teknologi 'isometric'. Desain ini sudah dipatenkan. Namun, karena mampu menghasilkan wilayah pukulan yg sangat luas dan akurat, produsen raket lain tetap mengikuti dengan sejumlah penyesuaian.
Jika kemudian sangat banyak pebulu tangkis dunia memilih Yonex sebagai sponsor utama, kita tahu ini tidak mengejutkan. Kita bisa sebut satu per satu, mulai dari Taufik Hidayat di masa lalu hingga Viktor Axelsen, Minions, serta FaJri di masa sekarang.
Bahkan, pada praktiknya, Yonex tak hanya memproduksi raket bulu tangkis. Mereka juga membuat raket tenis dengan kualitas yang sama baiknya dan menjadi sponsor untuk petenis-petenis dunia seperti Naomi Osaka.
Meski sudah mendunia, menariknya, mereka tak mau mengambil jalan serupa banyak produsen olahraga lain (seperti Nike) yang menggunakan para pekerja lepas dengan biaya murah di negara-negara berkembang untuk membantu proses produksi.
Yonex tetap memegang teguh prinsip mereka: Bahwa produksi akan selalu berlangsung di Jepang. Bahkan meskipun Yoneyama meninggal pada 2019, saat usianya 95 tahun, prinsip tersebut masih digunakan.
Meminjam kalimat Chris Oddo dlm artikelnya di Courts, prinsip itu ibarat kontrak spiritual Yoneyama, yg ditandatangani dengan darah, keringat, dan air mata. Mustahil mengkhianatinya, tak mungkin mengubahnya.
Sebab prinsip itu yg membawa Yonex mampu menciptakan raket berkualitas.
• • •
Missing some Tweet in this thread? You can try to
force a refresh
Terdapat lebih dari satu alasan untuk melewatkan pertandingan Gregoria: Gestur yang buruk, agresivitas yang kurang, footwork yang terlihat malas, stamina yang rentan, mental tanding bermasalah, error di mana2 dan sebagainya.
Ujung dari semua itu cuma satu: Kekalahan demi kekalahan. Celakanya, tak sekali-dua Jorji tersungkur dari para pemain yang levelnya jauh di bawah. Jika yang demikian saja kesulitan, bagaimana saat menghadapi lawan-lawan kuat?
Interview menarik dari Fernando Rivas. Di sini, ia bicara banyak soal sport science, pandangannya tentang negara-negara Asia yang mulai tinggalkan pola latihan tradisional, serta ambisinya membawa Prancis menembus lima besar dunia.
Poin-poin menarik yang kami tangkap:
- Rivas mendasarkan keputusan-keputusan pelatihannya secara ilmiah
- Beberapa negara Asia seperti anggota Commonwealth dan China mulai mengubah pendekatan latihan tradisional mereka
- Target terdekat Rivas adalah membawa Prancis menjadi saingan utama Denmark di Eropa
- Beberapa hal yang menjadi fokus dia: Mencari stabilitas, meningkatkan pendidikan pelatih dan pengembangan pemain ke dalam kategori taktis
Christian Adinata 21 tahun, Kodai Naraoka juga 21 tahun. Tapi perbedaan pengalaman mereka jauh sekali. Christian baru tampil di 2 turnamen S300 tahun ini, sedangkan Kodai malah sudah berlaga di S750.
Menurut Christian, ini yg bikin dia kalah dari Kodai di R16 #AustraliaOpen2022
Christian: "Saya belum terbiasa dengan armosfer turnamen Super 300. Karena itu saya juga jarang bisa ketemu lawan-lawan yang lebih kuat. Sementara Kodai lebih sering bertemu dengan pemain top. Wajar kalau dia punya pengalaman lebih."
[PBSI]
Dari segi teknis, Christian amat bisa mengimbangi Kodai. Bahkan, pada beberapa aspek, dia terlihat lebih baik dari sang lawan. Terbukti Christian bisa unggul cukup jauh pada gim kedua dengan poin 8-3.
Seandainya lapangan bulu tangkis adalah gelas kosong, Kodai Naraoka adalah airnya.
[THREAD]
Jejak sepatunya tersebar di mana-mana, mengisi tiap sudut lapangan, baik area depan maupun belakang, baik dalam posisi bertahan maupun saat menyerang, dan dengan semua itu Kodai menjelma sebagai salah satu pemain paling menjanjikan saat ini.
Di atas lapangan, amat jarang Kodai memeragakan pukulan2 ajaib. Sederet pujian yang datang lebih banyak menyasar keuletannya kala mengejar bola ke sudut sempit. Tepuk tangan yang muncul lebih banyak diberikan pada kegigihannya yg rela jatuh bangun mengejar bola.
Di sela-sela agenda Bright Up minggu lalu, pelatih MS Malaysia, Hendrawan, memberi pandangannya soal dominasi Viktor Axelsen. Dia menilai, Axelsen termasuk ke dalam generasi yang "diuntungkan".
Seperti apa maksudnya?
📒 Indosport
Hendrawan: "Mereka (Lin Dan, LCW, Peter Gade, Taufik) sedang di atas, Viktor saat itu masih muda, tetapi dia sudah mampu bermain melawan mereka. Jadi kalau Viktor sudah seperti itu berarti suatu saat kalau tiga generasi tadi retired, dia yang akan naik."
Lebih jauh, Hendrawan menganggap bahwa kondisi ini adalah siklus yang akan selalu terjadi. Tak cuma di sektor tunggal, tetapi juga ganda. Contohnya era Ricky Subagja/Rexy Mainaky yang tak bisa lepas dari peran era sebelumnya.
Hampir setahun ga ngapa-ngapain, Lin Dan masih sanggup jadi juara dunia
[THREAD]
Lin Dan tak butuh iklim turnamen yang rutin untuk menunjukkan siapa dia sebenarnya. Hanya bermodalkan sebuah wild card kontroversial dari BWF, gelar juara dunia 2013 sudah bisa ia gapai.
Sebelum merengkuh gelar tahun itu, Lin Dan melewatkan banyak sekali turnamen. Aksi terakhirnya adalah saat merobek jersinya sendiri, lalu berlari mengelilingi stadion setelah mengalahkan Lee Chong Wei pada perebutan emas Olimpiade 2012.