Tampak menjuntai tasbih di tangan sang pangeran. Berbeda misalnya dengan lukisan Nicolaas Pieneman yang menggambarkan situasi yang sama. Atau juga sketsa A.J. Bik yang menunjukkan potret Diponegoro pada tahun-tahun ditangkapnya (1830).
Adanya tasbih ini seolah menandakan Diponegoro adalah sosok pejuang cum ulama yang rajin berdzikir. Gambaran ini bukan glorifikasi semata. Pater Carey dalam bukunya, Kuasa Ramalan, menuliskan tentang penguasaan dan pengamalan Diponegoro pada ilmu agama dan laku dzikir.
Bahkan, dzikirnya tsb terkait erat dg Tarekat Satariyah & Naqsabandiyah yg digeluti. Babad Diponegoro versi Manado menulis:
“Istilah Naksabandiyah wus nora nganggo obah badane, dene kang den pandhang sarupane dzikir thoriq iku, iya wus nora ana liya daerah Satariyah iku.”
[Praktik tarekat Naqsabandiyah adalah untuk tidak pindah posisi badan, dan yang dianggap bermacam dzikir thoriq itu tidak lain dari yang didapatkan di daerah (bagan pengaturan napas) sambil berdoa Satariyah]
Kegemaran Diponegoro berdzikir itu juga tampak pada litograf akan Kiai Mojo yang tak lain adalah salah satu panglima sekaligus penasehat spiritual sang pangeran saat Perang Jawa. Dalam karya J.A. Daiwaille dilukiskan Kiai Mojo juga berkalung tasbih.
[Kiai Mojo bilang lagi: Paduka Raja seperti bersaudara dengan orang sufi/ dan sementara ini/ yang diinginkan hanya satu (akhirnya) pemisahan antara hamba dan Tuhan]
Perpaduan antara kemampuan militer & keteguhan spiritual Pangeran Diponegoro & pengikutnya itulah yg membuat Perang Jawa (1825-1830) berlangsung sengit. Harus dg cara picik tuk mengakhiri perang yg menjadi penanda penting dalam alur sejarah bangsa Indonesia ini. (*)
• • •
Missing some Tweet in this thread? You can try to
force a refresh
Konon, raja-raja Britania Raya tersebut keturunan dari Sancho Alfonsez. Ia adalah anak pasangan Alfonso VI dg Isabela atau Zaidah. Dari ibu inilah diklaim tersambung nasab dg Rasulullah
Namun, dari literatur Arab, klaim tersebut diragukan. Zaidah bukanlah keturunan langsung Dinasti Abbad. Klaim Dinasti Abbad tersambung ke Rasulullah pun meragukan.
Pernah dengar pidato KH. Hasyim Asy'ari berjudul Muqaddimah Qonun Asasi @nahdlatululama ??
Nah, ini adl terjemahan yg dicetak pertama kali. Judulnya Ihya' Amalu-l-Fudlala.
Kitab tersebut dicetak di Surabaya (percetakan milik HBNO/ PBNU). Tapi, tercantum di sampul, penerbitan tersebut atas usaha dari Majelis Consul NU Malang.
Bagaimana ceritanya?
Dalam majalah Berita Nahdlatoel Oelama edisi nomor 9 & 10 Th 7, 1-15 Maret 38, ada informasi yg mengungkapkan upaya pencetakan karya yg diterjemahkan oleh KH. Machfudz Siddiq tersebut.
Artikel di laman @LigaPeradaban ini menarik. Sayangnya, lebih banyak hasil "ijtihad" ketimbang mengungkapkannya dengan berdasar pada fakta sejarah. Berikut beberapa catatan yang Mimin amati sepintas lalu.
Pertama, ttg penisbatan Kiai Shiddiq, ayahnya Kiai Machfudz, yg disebut sbg pengarang "Nadzam Safinah". Ini tak tepat. Yg benar adl Kiai Ahmad (Qusyairi) bin Shiddiq bin Abdullah, yg tak lain kakak Kiai Machfudz.
Mimin punya cetaknya edisi Maktabah Halaby Mesir @miftahuna
Kiai Machfudz dan Kiai Wahid Hasyim disebut mengurus majalah Swara Nahdlatoel Oelama?
Tidak. Memang pada Muktamar X NU kedua nama itu sempat dicalonkan menjadi redaktur SNO. Tapi, urung dilakukan.
Surat Para Raja Nusantara Beraksara Pegon Koleksi British Library
- sebuah utas
sebenarnya utas ini berangkat dari buku katalog yang disusun oleh @BLMalay dan Bernard Arps dalam sebuah pameran pada 1991 di Jakarta. Dari katalog ini, ada satu bagian yang menarik menurut kami. Yakni, penggunaan aksara Pegon dalam surat-surat para raja tersebut.
surat yang terbanyak adalah surat-surat yang ditujukan kepada Gubernur Jendral Thomas Stamford Raffles, baik saat bertugas di Jawa (1811-16) ataupun di Bengkulu (1818-24)
Pesawat Sriwijaya Jakarta-Pontianak dengan kode penerbangan SJ182, mengalami kecelakaan sore ini, mengingatkan pada peristiwa 64 tahun silam. Tepatnya 27 Desember 1956. Kecelakaan pesawat yang dialami oleh KH. Idham Chalid.
Pria kelahiran 27 Agustus 1922 di Setui, Kalimantan Selatan tersebut, mengalami kejadian mencekam tersebut, saat terbang dari Bandara Polonia, Medan. Ia yang kala itu menjabat Wakil Perdana Menteri Republik Indonesia usai menghadiri Muktamar ke-21 Nahdlatul Ulama.
Seusai Muktamar, pengurus NU dari Jawa pulang dengan mencarter kapal laut Tampomas yang legendaris karena berakhir dalam kondisi terbakar itu. Sedangkan Kiai Idham yang merupakan seorang pejabat tinggi masih bertahan di Sumatera Utara. Ia mengurus perihal gejolak politik di sana.
Pesantren Darul Ulum yang berdiri cukup besar di Dusun Gembolo, Desa Purwodadi, Gambiran, Banyuwangi ini, tak bisa terlepas dari KH. Syamsul Mu'in Kholid selaku pendirinya. Ada cerita panjang yang melatarinya. Tak serta merta lantas membesar sendiri.
Kiai kelahiran 13 Juni 1931, di Desa Wringinputih, Kec. Gambiran itu, merupakan putra dari Kiai Abdul Jalil. Orang tuanya tersebut merupakan perantauan dari Kediri yang mengadu nasib sebagai petani di Banyuwangi.