Hai semua
perkenalkan namaku Hilman, seorang mahasiswa di sebuah perguruan tinggi ternama di kota X, jurusan hukum semester 5.
Disini aku mau berbagi cerita menyeramkan yang pernah aku alami di sebuah mall besar di kota X, tepatnya malam hari setelah aku selesai nonton film di bioskop.sekitar tiga minggu yang lalu.
Jadi waktu itu, malam hari sekitar jam 8, aku pulang maen dari tempat temen, ga tahu kenapa males aja langsung pulang ke kos an. rasanya suntuk. akhirnya aku memutuskan ke mall dan rencana nonton sebuah film horor luar yang kebetulan saat itu sedang tayang.
Selama ini aku memang cukup sering nonton film di bioskop sendirian. buatku itu malah membuat lebih khusyuk menonton. beda kalau nonton bareng temen-temen, pasti adanya nggak fokus nonton, dan kalau pas dapet film yang bagus rasanya jengkel aja nonton nggak fokus gitu.
Sesampai di mall aku langsung menuju ke bisokop di lantai paling atas, lantai 8. kebetulan antrian tidak terlalu panjang, dana hanya beberapa menit aku sudah berada di depan mbak mbak kasir.
Kusebut nama film horor yang kumaksud dan mbak mbak nya menunjukkan di layar monitor kursi mana yang kosong. baru sekitar sepuluhan kursi yang sudah terisi. akupun memilih kursi di pojok belakang, posisi nonton paling favorit bagiku. jam 22.15 malam mulainya. midnite.
Kulihat jam tangan, masih jam 9. masih satu jam lagi. kuhabiskan sisa waktu ku dengan masuk ke toko buku dan membaca beberapa buku.
akhirnya jam menunjukkan pukul 22.15 dan film pun dimulai. aku sudah berada didalam ruangan teater sejak lima menit yang lalu.
Dan.. sesuai ekspektasiku, filmnya bagus banget, nggak sia sia aku nonton malam ini, lumayan mengobati kesuntukanku. penyesalanku saat ini cuman satu, nekat nonton sendiri. karena jujur, level horor film ini diatas rata-rata.
Aku saja yang penggemar film horor masih merasakan aura takut dan beberapa kali terbayang kejadian menyeramkan di film tadi. kulihat disekelilingku banyak penonton khususnya cewek cewek yg sama sama belum bisa move on dari film yg baru ditonton, raut muka takut masih membayangi.
Aku keluar ruangan menuju toilet lalu menuju ke lift. kulihat jam tanganku, sudah jam setengah satu malam. aku memeriksa sekilas dompetku dan kuambil kunci motor dan karcis parkirnya. posisi parkir motorku dilantai paling bawah.
Aku berjalan sendirian menuju ke lift di lorong dekat toilet. dan kebetulan saat itu aku berjalan sendiri tidak ada orang lain yang saat itu menuju ke lift. di depan lift berjajar tiga. kupencet semuanya. dan terbukalah pintu lift paling tengah, kosong, tidak ada isinya.
Menengok ke kanan dan ke kiri berharap ada orang yang sama sama mau menggunakan lift. lumayan bisa buat teman di dalam lift. daripada sendirian, lumayan menakutkan suasananya, ditambah habis nonton film horor pula.
Tapi tetap saja, tidak ada satu orangpun yang mendekat. akhirnya aku masuk dan ku tutup pintu lift. aku sendirian di dalamnya. kupencet tombol lantai paling bawah, UG. kupandangi keatas tepatnya petunjuk lantai lift.
Lift mulai berjalan. lantai 7 terlewati, lantai 6 lantai 5, dan kemudian menuju lantai 4. tepat di sini, pintu lift terbuka. syukurlah ada teman turun, aku sedikit merasa lega.
Di depan pintu dua orang tua, bapak-bapak dan ibu-ibu, sepertinya pasangan suami istri yang baru saja belanja, tampak tiga tas besar di tenteng keduanya.
Saat hendak masuk keduanya menatap tajam kedalam ruangan lift dan memutarkan pandangan mengelilingi isi ruangan, lalu si istri menggelengkan kepalanya dan berkata lirih dengan raut muka sedikit kecewa. tapi aku masih bisa mendengar jelas perkataan si istri.
Dia berkata pada suaminya: sudahlah pah, nanti saja. liftnya penuh orang. tunggu yang kosong aja. si suami mengangguk tanda setuju. dan pintu pun tertutup kembali. aku terdiam di pojokan ruangan lift sambil mengingat kembali perbincangan suami istri tadi.
Mereka tidak jadi naik lift ini karena penuh orang. padahal... aku disini hanya sendiri, dan benar benar sendiri.. karena ragu, akupun melihat sekelilingku. dan tetap saja, aku hanya sendiri. tapi mengapa pasangan suami istri tadi bilang lift ini penuh dengan orang.
Belum selesai aku memikirkannya, aku kaget saat kulihat petunjuk lantai di lift yg masih menyala di angka 4.. lama sekali lift ini turun.. kupencet pencet tombol open tdk bisa, begitu juga tombol close.. jantungku berdebar kencang menahan rasa takut.. jangan panik.. jangan panik.
Akhirnya angka berubah jadi angka 3.. berarti lift ini bernar-benar turun, jangan khawatir.. tapi kemudian seperti sebelumnya lama sekali lift turun ke lantai 2.. aku merasa lamanya sampai 15 menitan lebih dan baru kemudian ke lantai 1..
Dan lama lagi sampai dilantai UG, tempatku memarkir sepeda motor.. setengah berlari aku menuju ke sepeda motor.. kupakai helmku, dan jaketku. saat ku masukkan lenganku ke jaket, sekilas kulihat jam tanganku, dan aku kaget setengah mati.
Kuulangi lagi. dan benar. aku tidak salah lihat. jam tanganku benar benar menunjukkan pukul 2 malam. padahal aku ingat betul, saat keluar toilet dan masuk lift baru pukul setengah satu.. berarti aku didalam lift sekitar satu setengah jam!
Kulihat HP ku untuk meyakinkan, dan sama. jam di HP menunjukkan angka yang sama. jam 2. kulihat sekelilingku, parkiran kosong, tidak ada satupun motor, kecuali motorku! aneh! kemana lainnya.
Setelah selasai memakai jaket, aku bergegas menjalankan motorku menuju pintu keluar parkiran, dan aku mulai cemas, lemas dan tambah takut saat kulihat pos penjaga pintu keluar parkiran kosong! tidak ada penjaganya.
Pramono adalah seorang penjual cilok keliling yang biasa berkeliling desa dengan sepeda ontelnya. Setiap hari, ia berangkat pagi dan pulang menjelang senja, berkeliling dari satu kampung ke kampung lainnya untuk menjajakan cilok buatannya yang terkenal lezat.
Namun, malam itu berbeda. Karena pesanan khusus untuk sebuah acara keluarga, Pramono harus bekerja lebih lama dari biasanya.
Ketika ia akhirnya menyelesaikan pesanan terakhirnya, langit sudah gelap dan malam mulai terasa mencekam.
Sudah menjadi rutinitas harian bagi Marni dan suaminya, Joko, untuk berangkat ke pasar sebelum subuh. Sejak mereka menikah, kegiatan berdagang sayur-mayur ini telah menjadi mata pencaharian mereka.
Setiap hari, mobil pickup tua mereka berderak membelah keheningan pagi, menuju pasar untuk membeli dagangan yang akan dijual kembali di kampung. Selalu ada kebersamaan dalam perjalanan itu, canda tawa ringan atau obrolan hangat yang menemani mereka melintasi jalanan sepi.
Malam itu, hujan turun dengan deras. Kilat menyambar di langit, seakan-akan memperingatkan sesuatu yang tidak diinginkan. Di sebuah kafe kecil di pinggiran kota, dua sahabat, Ardi dan Bima, sedang menikmati kopi hangat mereka.
Mereka baru saja pulang dari perjalanan bisnis yang melelahkan, dan rencana mereka adalah untuk kembali ke rumah secepat mungkin. Namun, ada satu hal yang mengganggu mereka: jalan pintas yang bisa memotong waktu perjalanan hampir setengahnya.
Joko baru saja tiba di Jakarta dengan harapan besar. Setelah bertahun-tahun membantu ayahnya di desa membuat bakso, ia memutuskan untuk merantau ke ibu kota. “Jakarta itu kota dengan sejuta peluang,” kata tetangganya ketika Joko berpamitan.
Namun, di balik harapan itu, Joko tidak bisa menghilangkan perasaan ragu yang menghantuinya. Bagaimana kalau dia tidak berhasil? Bagaimana kalau baksonya tidak laku?
Setelah beberapa hari di Jakarta, Joko akhirnya menemukan gerobak bekas yang dijual dengan harga terjangkau.
Di Desa Sukawani, malam tirakatan menyambut Hari Kemerdekaan selalu menjadi momen yang dinanti-nanti. Sejak pagi hari, seluruh warga desa, dari anak-anak hingga orang tua, bergotong royong menyiapkan segala hal untuk perayaan tersebut.
Tenda-tenda dipasang di lapangan utama desa, bendera merah putih berkibar dengan gagah di setiap sudut, dan panggung sederhana dihiasi dengan kain merah putih serta lampu-lampu kecil yang berkedip-kedip.
Malam sudah larut, dan udara dingin perlahan menyelimuti desa. Paijo, seorang penjual nasi goreng yang setia pada profesinya, memulai rutinitas malamnya. Setiap malam, ia mendorong gerobak kayu tuanya yang sudah setia menemaninya selama bertahun-tahun.
Roda gerobaknya berdecit halus, mengiringi langkah-langkahnya di jalanan desa yang sepi. Suara-suara malam, seperti serangga dan angin yang berdesir di pepohonan, menjadi teman setia dalam perjalanannya.