Biar ga penasaran, saya kasi info spot-spot menarik apa aja yang bisa kalian temui di event #MerindingdiSpotify, supaya kalian bisa gak ragu lagi buat dateng ke event keren dari @SpotifyID ini!
1. Bisa camping sama pocong
Sebenernya ini adalah penggambaran sebuah kisah serem di podcast nya Jurnal Risa.
Bayangin kalian dengerin sambil ada di lokasinya 😨
3. Podcast Jagat Arwah
Ini yang paling saya suka, ada jagoan saya Dru sang penjaga trah Aditya dari Podcast Jagat Arwah. Cus langsung dengerin aja kisahnya di sini: spotify.link/JagatArwahPodc…
4. Podcast Favorit!
Kalo Diosetta ga mungkin dipisahin sama Podcast @bagihorror yang selalu setia bawain cerita Diosetta.
Nah di sini kita ditemenin sama Jelangkung nih!
Mungkin karna Bang Arga ga bisa dateng jadi rohnya bisa dipanggil pake jelangkungnya ya 🤣..
5. Masih banyak!
Selain instalasi-instalasi menyeramkan masih ada photo booth, merch gratis, dan banyak lagi.. Ga seru kan kalo saya bahas semuanya di sini.
Mending langsung dateng aja tanggal 27-30 October di Astha District 8, Senopati lobby ya!
Kami tunggu kedatangan kalian! #MerindingdiSpotify#WorkingWithSpotify
• • •
Missing some Tweet in this thread? You can try to
force a refresh
Kembang Getih… Itulah yang semula Cahyo kira sebagai satu-satunya masalah di desa ini.
Sebuah bunga merah darah yang tumbuh diam-diam dari tanah bekas kematian, dan dengan cara yang mengerikan, menghidupkan kembali roh-roh warga yang mati mengenaskan.
Namun kini, Cahyo mulai sadar, ini bukan sekadar kutukan. Ini adalah luka dari masa lalu yang dibiarkan membusuk terlalu lama.
“Apa yang akan kita lakukan sekarang?” Cahyo bertanya, suaranya pelan namun tegas, mencoba memecah kebisuan yang menggantung berat di udara pagi.
Kerta berdiri mematung menatap arah desa, sementara Mbah Wongso duduk bersila di tanah, berusaha mengatur napas yang sejak tadi memburu. Ada duka dalam matanya, namun juga tekad yang mulai menyala kembali.
“Kita nggak mungkin kembali ke desa, kan?” Kerta akhirnya bersuara. “Berarti tujuan kita cuma satu.” Ia menoleh ke arah hutan, tempat dimana Kembang getih mekar.
“Jadi… saat ini kita tetap akan cari cara untuk menghentikan kutukan Kembang Getih itu?” tanya Mbah Wongso pelan.
Cahyo menggeleng pelan. Ada sesuatu yang menahannya untuk ikut menyepakati itu.
“Yakin, Mbah? Walaupun kutukannya dihentikan… aku nggak yakin mereka, para warga itu, akan benar-benar berhenti menyembah iblis Raden Reksomayit itu.”
Ucapannya bukan sinis—melainkan getir. Ia tahu betul bahwa dosa manusia lebih dalam dari sekadar bunga terkutuk. Dosa yang lahir dari rasa takut… atau haus akan pemuas nafsunya.
Mbah Wongso terdiam. Lama. Lalu mengangguk, pasrah tapi mantap.
“Lambang mandala Mbah... muncul demi menghentikan kutukan itu. Kalau itu jalannya, maka itu yang akan Mbah tempuh.”
"Tak ada satu pun yang berani menyentuhmu atau keluargamu... selama jenazah itu tetap kau simpan."
@bacahorror #bacahorror @IDN_Horor @bagihorror
PROLOG
"Tak ada satu pun yang berani menyentuhmu atau keluargamu... selama jenazah itu tetap kau simpan."
Suara itu terdengar lirih namun berat, seolah menyatu dengan malam yang mencekam. Di tengah remang cahaya obor yang berkedip, seorang pria melangkah berat menuju sebuah jasad. Jenazah itu dibungkus kain kafan kusam bertuliskan aksara merah—seperti coretan darah yang tak mengering.
Di samping jasad, berdiri seorang lelaki tua berpakaian hitam. Wajahnya dipenuhi kerutan, sorot matanya tak menunjukkan belas kasihan—ia hanya menunggu.
"Jadi… ini jawabannya?" suara pria itu pecah, goyah. Ia menahan napas, bau busuk dari jenazah membuat perutnya mual. Ia bahkan tak tahu siapa mayat itu.
Tapi ia bisa merasakan sesuatu... sesuatu yang jauh dari kematian biasa.
"Bawalah pulang," ujar lelaki tua itu, "Minta apa pun padanya. Perlakukan ia seperti Tuhan. Kau tak akan menyesal."
Pria itu diam, lalu mendengarkan tata caranya:
Jenazah harus digendong, tak boleh menyentuh tanah. Harus dibaringkan di atas keranda bambu dan dimandikan setiap tengah malam, menggunakan bunga-bunga tertentu.Dan yang terpenting... setiap seribu hari, seorang gadis perawan harus tidur di sampingnya.
Putus asa. Dendam. Rasa malu yang telah dipendam bertahun-tahun. Semua itu menutup mata pria itu dari logika dan nurani.
…
BRAK!!
Pintu rumah terbuka dengan keras, disusul deru petir dan hujan deras yang mengguyur. Di ambang pintu, pria itu berdiri dengan pakaian basah kuyup, menggendong sesuatu yang mengeluarkan bau amis menusuk. Di belakangnya, kegelapan menggantung seperti ancaman.
Istri dan anak perempuannya terkejut, bingung sekaligus takut.
“Pak… itu… apa?” istrinya bertanya dengan suara gemetar.
“Ini... adalah jalan keluar kita. Tuhan kita yang baru! CEPAT!!”
Di tengah hujan dan malam yang pekat, mereka membuat keranda dari bambu. Tak satu pun dari mereka berani menolak. Menjelang tengah malam, jenazah itu dibaringkan di atas keranda, dimandikan, lalu diselimuti kain kafan bertuliskan aksara darah.
Pria itu berlutut di depan jenazah.
“Aku ingin... seluruh keluarga Prawiryo mati!”
Istri dan anaknya ikut berlutut. Mata sang anak berkaca-kaca.
“Anak laki-laki tertua mereka… dia memperkosaku di lumbung padi. Dia membuangku seperti sampah... kematiannya harus paling menyakitkan.”
Petir menyambar lagi. Kilat menerangi ruangan, dan bayangan hitam muncul dari jasad itu. Tingginya nyaris mencapai langit-langit. Wujudnya kabur, hanya tampak senyum bengis dari mulut berlumuran darah.
Mereka bertiga gemetar.
Tapi makhluk itu hanya lewat... dan keluar rumah tanpa suara.
Malam itu, keluarga Prawiryo ditemukan tewas di rumah mereka. Darah mengalir dari mata, telinga, hidung, dan mulut mereka.
Namun yang paling mengerikan adalah kematian sang anak sulung...
Tubuhnya terpotong menjadi tujuh bagian, dan kepalanya tertancap di atap rumah—menghadap ke langit.
Kematian keluarga Prawiryo, sebagai keluarga paling terpandang dan kaya di desa, mengguncang semua orang. Namun suatu hal yang tak diduga terjadi. Tak lama kemudian, satu keluarga yang dulu dihina, dipermalukan, dan ditindas... bangkit.
Mereka membangun rumah besar, menguasai tanah dan harta keluarga Prawiryo.
Orang-orang mulai menyebut nama mereka dengan hormat, juga dengan takut:... Trah Wisesa.
Tidak bisa kupungkiri, perasaan yang menelusup dalam dadaku saat ini bukan hanya takut. Ini lebih dari itu. Ini adalah firasat kematian. Firasat yang hanya pernah kurasakan ketika aku menjejak Setra Gandamayit dan bertarung melawan entitas dari tanah Danyang.
Saat aku menoleh ke belakang, napasku langsung tertahan. Tiga kepala ogoh-ogoh itu kini menatap tajam ke arah kami. Dan matanya…
Mereka hidup. Mereka menghakimi.
“Cahyo!” seruku, lebih karena naluri daripada logika.
Seolah menjawab, tubuh Cahyo tiba-tiba menegang dan bersiap. Suaranya melenguh, dan dari matanya menyala cahaya merah membara.
Roh Wanasura telah merasukinya. Saat ini pun keris Ragasukma telah kugenggam di tanganku, ia muncul dengan sendirinya.
Keris Ragasukma bergetar hebat…
Brugghh!!
Sebuah suara keras mengagetkan dari arah Bli Waja. Kami menoleh, dan jantungku seperti diremas.
Bli Waja… tiba-tiba saja sudah berubah menjadi Rangda. Wujud ratu ilmu hitam itu terpampang jelas, anehnya ia terkapar di tanah.
Tubuhnya gemetar, wajahnya yang biasanya kuat dan tenang sekarang terlihat seperti disayat ketakutan.
Apa pun yang dilakukan kepala bermata tiga dari ogoh-ogoh itu telah menjatuhkannya dalam sekejap. Benar-benar dalam satu kedipan mata seolah mereka bertarung di waktu yang berbeda.
“Apa… yang… terjadi?” gumamku lirih, tapi tak ada waktu untuk jawaban.
Salah satu kepala—yang menyerupai kakek dengan rambut putih panjang dan lidah menjulur—menatap langsung ke arahku. Rambutnya melayang seperti hidup. Udara di sekitarnya mendadak lebih dingin, lebih padat—aku merasa paru-paruku tak mampu menghirup napas.
..Sebatang tombak tua, berkarat & berlumuran darah, menembus dari dalam mulutnya, merobek rahang dan bibirnya. Tombak itu memanjang penuh ukiran aneh, disertai semburan darah segar ..
@bagihorror #bacahorror @IDN_Horor @ceritaht
"Apa yang menjadikan sebuah benda memiliki gelar pusaka?”
PROLOG
malam itu, langit seperti bersumpah untuk tidak memberi ampun. Hujan mengguyur deras, namun ada yang jauh lebih ganjil dari sekadar badai petir. Ratusan burung gagak hitam berkerumun di satu titik, beterbangan dan bertengger di sekitar sebuah rumah tua di tengah lereng.
Mereka tidak bergerak, tidak bersuara—hanya menatap satu arah. Mata-mata mereka menyorot rumah itu dengan intensitas yang menyeramkan, seolah menanti sesuatu.
Di dalam rumah, cahaya lampu menyala remang. Asap dupa mengepul dari pojok-pojok ruangan, bercampur dengan aroma tanah basah dan darah yang belum kering.
“Tak usah berpura-pura! Manjing Marcapada hanya bisa dipanggil olehmu, bukan? Lakukan ritual itu sekarang juga!” Suara keras penuh ancaman itu memecah suasana.
Sekelompok orang berpakaian hitam pekat, jubah mereka basah oleh hujan, berdiri membentuk lingkaran. Wajah-wajah mereka tersembunyi di balik topeng, namun aura permusuhan memancar tajam.
Mereka mengepung seorang lelaki tua yang berlutut di tengah ruangan. Tubuhnya gemetar, bajunya lusuh dan basah oleh air serta air mata—Ki Satmo, sang penjaga rahasia yang telah lama memutuskan untuk tidak pernah membuka kembali pintu kegelapan itu.
Di seberangnya berdiri tiga orang yang lebih menyayat hati: dua anak kecil dan seorang wanita—istri dan anak-anaknya. Mereka berdiri tegak, tapi sorot mata mereka kosong, seperti telah direnggut jiwanya.
Masing-masing menggenggam pisau kecil, dan—dengan gerakan serentak yang menyakitkan—menancapkan pisau itu dangkal ke dada mereka sendiri.
“Lepaskan mereka! Manjing Marcapada adalah pusaka Para Danyang! Aku tak punya kekuatan untuk memanggilnya!” jerit Ki Satmo, suaranya nyaris putus oleh ketakutan.