“MARNIWONGSO 2”
9 orang berjalan pulang dari ‘Kali Lanang’ dengan 1 anak bocah yaitu Nanang yg telah berhasil terselamatkan dari kuasa Marniwongso.
Langkah mereka begitu terburu, karena Nanang yg kini sedang dalam gendongan Mbah Karso itu keadaanya basah kuyup setelah tadi-
-sempat tercebur di kolam sendang.
Sampai akhirnya sampailah 9 orang itu di rumah Wagiman, yg langsung di sambut syukur & tangis oleh pihak keluarga & para warga yang juga menunggu, begitu juga dengan Pak Polisi yg terlihat kebingungan sekaligus keheranan melihat kedatangan-
-Mbah Karso & kawan2 membawa Nanang.
“Alhamdulillah!!!!!!”. Teriak Wagiman sambil berlari menghampiri Nanang yg masih di gendong Mbah Karso itu.
“Matursembahnuwun Mbah, Maturnuwun!!!’.
(Terimakasih sekali Mbah, Terimakasih!!). Kata Wagiman kepada Mbah Karso dengan haru.
“Wes podo-podo, kabeh ki kuasane Gusti Pangeran”.
(Iya, sama-sama, semua itu kuasa dari Tuhan yang maha Agung). Jawab Mbah Karso.
Si kecil Nanang pun di serahkan ke Wagiman, & di arahkan agar tubuh hingga lehernya di pendam terlebih dahulu dengan beras dengan-
-cara dimasukkan ke dalam gentong.
Entah apa maksudnya, tapi kata Mbah Karso ini penting, untuk menghilangkan bau-bau Marniwongso yang mungkin masih melekat ditubuh Nanang.
“Waduh, Nek gentong berase kulo gadah Mbah, nanging, berase mboten sekathah niku”.
(Waduh, kalau gentong berasnya sih, saya punya Mbah, tapi berasnya tidak sebanyak itu). Jawab Wagiman, hingga Mbah Karso pun menyuruh untuk mengambil beras dirumahnya saja.
“Walah, yowes kono njupuk beras sak karung kae, ning omahku, kono ko!! Kowe sing njupuk!!”.
(Walah, ya sudah sana ambil beras satu karung itu, di rumah saya, sana ko, kamu yang ambil!!). Kata Mbah Karso menyuruh Nyoto anaknya untuk mengambil beras dirumah.
“Yo, Pak, njo Lik aku di kancani, sirahku isih memeng kepikiran demit Kali Lanang kae!!”.
(Ya, Pak siap!!, ayo paman, saya ditemani, kepalaku masih pusing ini, kepikiran demit di Kali Lanang tadi). Kata Nyoto yang kini mengajak Lik Sukri untuk mengambil beras di rumahnya.
Singkat cerita, jam sudah menunjukkan hampir pukul 02.00 dini hari, di pendamlah Nanang dalam Gentong berisi beras itu, dalam keadaan bugil setelah selesai di seka dengan air hangat malam itu juga.
Nanang tampak tenang, dan bahkan tertidur dengan pulas, wajar mungkin dia sangat lelah setelah melalui semua ini. Setelah itu Mbah Karso pun meminta Ustad Sukar untuk mendekat dan membacakan doa.
“Nak Sukar, rene, tulung sampean moco ayat kursi ping pitu yo, aku tak goceki bocahe”.
(Sini Nak Sukar, tolong bacakan ayat kursi 7 kali ya, saya akan memegangi anak ini). Kata Mbah Karso kepada Ustad Sukar.
Ustad Sukar yang sebenarnya bajunya masih agak basah karena tadi sempat ‘Nyemplung’ ke kolam karena menyelamatkan Nanang pun tak menolak perintah Mbah Karso.
“Nggih Mbah!!”.
(Siap Mbah!!). Jawab Ustad sambil mendekat dan sedikit mengusap-usap bajunya yang masih basah itu.
Dan Ustad Sukar pun mulai membaca doa, dengan lantang dan khusyu, disaksikan oleh keluarga, beberapa warga dan perwakilan aparat yang masih berada disitu.
Sampai akhirnya doa pun selesai, Nanang kembali diangkat, di pakaikan baju dan di baringkan di kamarnya bersama Rukmini ibunya, dan disini Mbah Karso pun mempersilahkan pihak medis dari kepolisian untuk memeriksa kesehatan Nanang.
“Wes, saiki gilirane sampean pak, njenengan Mantri polisi to?, kae bocahe diperikso sek, wes 2 dino 2 wengi ketampek angin wengi, hehehehe”.
(Sudah, Sekarang giliran sampean pak, anda paramedis dari kepolisian to? Itu anaknya di periksa dulu, sudah dua hari dua malam-
-diterpa angin malam, hehehehe). Kata Mbah Karso sedikit bercanda seraya memegang pundak Pak Mantri Polisi.
Nanang pun diperiksa dan diberi penanganan medis, bersamaan dengan para warga yang mulai membubarkan diri dan pulang ke rumahnya masing-masing.
Hingga malam pun berganti pagi, desa Dukuh Atas yang sudah 2 malam ini di landa keresahan pun kini kembali tenang, dengan kabar berhasil ditemukannya Nanang semalam.
Sementara di suatu tempat, tampak Lik Sukri dengan cekung matanya yg hitam tengah sarapan bubur di tempat-
-Mbok Tun, penjaja bubur pagi di desa ini.
Ternyata semalaman ia tak tidur, terbayang wujud ‘Marniwongso’ di ‘Kali Lanang’. Ia yang termasuk dalam 9 orang terpilih itu, tentu kini ceritanya tengah ditunggu-tunggu oleh para warga yang juga tengah bersantap di kedai itu.
“Nek Mbah Karso pancen gendeng!! Ora ono wedine babar blas!!! Wes pedot sarape!!, mosok danyange ‘Kali Lanang’ kae di omyang entek-enting gasi nangis!!”.
(Mbah Karso memang Gila!!, tidak ada takutnya sama sekali!! Masa’ demit penguasa ‘Kali Lanang’ itu di marahi habis-habisan-
-sampai nangis!!). Cerita Lik Sukri sambil menyuap bubur sayurnya yg hampir habis.
Lik Sukri tampak asyik menceritakan kejadian semalam, tutur katanya yang lucu, tak hayal membuat gelak tawa di kedai Mbok Tun itu.
“Wes to!! Nek sampean-sampean menangi dewe, mesti iso ngising ning kathok tenan!!! Lagian ngopo sih Mbah Karso, kok iso-isone milih aku melu moro rono, padahal kabeh uwong ning deso iki ngerti nek aku iki wonge jirih!!”.
(Sudah lah!! Kalau kalian-kalian lihat sendiri, pasti kalian berak dicelana!!, lagian kenapa ya, bisa2nya Mbah Karso milih saya ikut kesana, padahal semua orang di desa ini juga tahu, kalau saya ini orangnya penakut!!). Kata Lik Sukri di kedai itu.
Hingga di antara keriuhan itu, Mbok Tun yang sedari tadi juga memperhatikan, kini pun ikut berbicara.
“Eh, nek wes ngono terus pembangunan ‘Kali Lanang’ kae opo bakal diteruske yo? Kan wes di bongkar-bongkar to kae?”.
(Eh kalau sudah seperti itu, terus pembangunan ‘Kali Lanang’ itu apakah akan tetap di teruskan? Kan sudah di bongkar-bongkar to itu?). Kata Mbok Tun menyela di antara tawa di kedainya itu.
Sejenak semua orang terdiam dan berpikir setelah mendengar kata-kata dari Mbok Tun-
-barusan, benar juga ya, apakah tidak apa-apa jika pembangunan itu diteruskan, mengingat apa yg telah terjadi di Kali Lanang?.
Mbok Tun yang mempertanyakan, Mbok Tun juga yang kini menjawab.-
“Ning, nek watak’e Karso Tamrin, tetep wae di teruske, wes apal aku, ojo meneh kok mung goro-goro memedi, ra mungkin deknen mundur, kelingan to disik gek mongso paceklik? Parmin cah RT kidul kae jare kelebon danyange Gumuk Gondang? Muni ameh njaluk nyowo?,-
-ditekakke kyai seko ngendi-endi ora iso mari, akhire boso ditekani Mbah Karso, dinyang akhire mung dike’i ndog jowo terus gelem bali”.
(Tapi kalau melihat wataknya Karso Tamrin, tetap saja pembangunan itu diteruskan, saya hafal betul, apa lagi kalau cuma gara-gara hantu,-
-tak mungkin dia mundur, masih ingatkah kalian dulu? Parmin, anak RT selatan yg kerasukan dedemit penguasa ‘Lembah Gondang’? Mau minta tumbal nyawa?, di datangkan kyai dari mana2 tidak bisa sembuh, tapi setelah didatangi oleh Mbah Karso cuma dikasih telur kampung, & setelah -
-itu sembuh). Ungkap Mbok Tun menceritakan kejadian silam yg juga pernah terjadi di desa ini.
Pembicaraan pun terdengar semakin menarik, meski kerap kali diselingi oleh gelak tawa dari orang2 di kedai pagi itu, menyiratkan sebuah keadaan, bahwa desa ini akan baik2 saja.
Di sisi lain entah dengan alasan apa pun, memang pembangunan ‘Kali Lanang’ harus tetap diteruskan, selain karena bahan bangunan yg sudah terlanjur turun dari kelurahan, di tahun2 itu, tidak semua warga memiliki kamar mandi sendiri. Bahkan untuk buang hajat saja, masih banyak-
-orang2 yg melakukannya di selokan atau pun di kebun.
Jadi pembaruan Kali Lanang ini tentu cukup penting, karena akan ada banyak perluasan, termasuk penambahan WC umum untuk kebutuhan para warga.
Kembali ke cerita.
Singkat waktu, sudah 3 hari berlalu, dihitung sejak kembalinya Nanang dari alam Marniwongso, semua berjalan baik-baik saja, sampai hari ini tak ada lagi kejadian yang membuat heboh Desa Dukuh Atas ini.
Sementara, di siang yang terik itu, tampak Pak Lurah dan Pak Carik, tengah berada di rumah Mbah Karso, mereka sepertinya sedang sowan kerumah ‘sesepuh desa’ itu, untuk menyampaikan sesuatu.
Nyatanya kejadian yang menimpa Rukmini dan anaknya, sedikit banyak, membuat Pak Lurah kawatir, apalagi perihal ‘Kali Lanang’ yang menjadi pemicunya, membuat Pak Lurah sedikit mempunyai beban, mengingat beliau adalah inisiator dari renovasi kamar mandi umum itu.
(Terus ini sebaiknya bagaimana ya Mbah, mau di teruskan apa tidak?). Tanya Pak Lurah kepada Mbah Karso, membahas perihal pemugaran Kali Lanang.
“Yo tetep teruske!! Edan po!!, seko pertama aku wes omong, ‘ini demi kepentingan masyarakat’ mas Lurah!!, ojo wedi!!, aku sing tanggung jawab!!! dewe ki menungso, derajate luwih duwur!!”.-
-(Ya tetap diteruskan!! Gila apa!!, dari pertama saya kan sudah ngomong, ‘ini demi kepentingan masyarakat’ mas Lurah!!, jangan takut, saya yang akan tanggung jawab, kita itu manusia, derajatnya lebih tinggi!!). Ucap Mbah Karso menjawab kekawatiran Pak Lurah.
“O nggih pun nek ngoten, pokokmen perihal ‘Masalah’ kados ngeten, kulo nyuwun tulung tenan kalian panjenengan Mbah, terus niki ajeng di milai kapan malih, pugaranipun Kali Lanang niku Mbah?”.-
-(O ya sudah kalau begitu, pokoknya perihal ‘Masalah’ seperti ini, saya minta tolong dengan sangat Mbah, sama njenengan, Terus ini mau dimulai kapan lagi renovasi Kali Lanang itu Mbah?). Ucap Pak Lurah.
“Yo aku ngono terserah warga Mas Lurah, kapan podo lego, nek iso yo sakcepete, wong yo selak arek dinggo barang, opo mengko ben di kumpulke pak Carik disik? bene ono kesepakatan?”.
(Ya kalau saya terserah warga Mas Lurah, kapan sempatnya, kalau bisa sih secepatnya, agar bisa segera digunakan, apa nanti biar di kumpulkan sama Pak Carik dulu? Agar ada kesepakatan?). kata Mbah Karso kepada kepala desa yang umurnya hampir seumuran dengan anaknya itu.
Perbincangan pun berlanjut cukup panjang, yang berisi inti juga basa-basi diantara mereka, sampai tak terasa azan ashar terdengar, Pak Lurah dan Pak Carik yang sekiranya sudah cukup mendapatkan jawaban dan gambaran yang jelas dari Mbah Karso pun segera berpamitan.
Sebenarnya cukup wajar bila Pak Lurah ini sedikit kawatir untuk melangkah, karena baru kurang dari satu tahun saja ia menjabat, ia dihadapkan dengan hal aneh seperti ini. Mungkin ia tak mau, bila kebijakannya yg bertujuan baik ini, justru akan menimbulkan masalah di desa ini.
Singkatnya, selang harinya, hasil pertemuan dengan Mbah Karso itu pun segera dirapatkan oleh Pak Carik, bersama para warga yang kini dikumpulkan di balai desa. Dengan tema perihal kelanjutan pembangunan ‘Kali Lanang’ tentunya.
& seperti yg kita semua kira, Pasti akan terjadi silang pendapat antar warga, ada yg ingin perbaikan segera dilanjutkan, ada pula yg meminta ini agar ditunda dahulu, mengingat kejadian di Kali Lanang yg menimpa keluarga Wagiman tempo hari itu, masih segar di ingatan mereka.
“Ojo kesusu ah, ben adem disik suasonone”.
(jangan buru-buru lah, biar adem dulu suasannya). Ucap sebagian warga yg meminta perbaikan itu ditunda dulu.
Namun tak sedikit pula warga yang meminta agar semua ini dipercepat, dengan alasan karena sudah seminggu ini Kali Lanang-
-tak bisa di gunakan karena sudah terlanjur di bongkar,
Hingga akhirnya setelah perdebatan yang cukup panjang, diambilah jalan tengah, yaitu 10 hari lagi, perbaikan ‘Kali Lanang’ akan mulai di lanjut.
Singkat cerita, tibalah 10 hari kemudian ‘Pemugaran’ Kali Lanang kembali dilanjutkan. Semua berjalan lancar tanpa halangan, bahkan berkat gotong royong seluruh warga desa ‘Dukuh Atas’ ini, dalam waktu kurang dari satu minggu saja, perbaikan sudah mencapai tahap akhir.
Hingga tepat di 10/11 harinya, perbaikan & renovasi ‘Kali Lanang’ itu pun benar2 telah selesai.
Semua warga ‘Dukuh atas, tentu senang, akhirnya kini mereka mempunyai bilik mandi umum yg bagus & di tambah dengan 4 deret WC umum, untuk kebanyakan warga yg tak punya tempat-
-mandi & sering buang hajat di kebun atau selokan, ini tentu merupakan sebuah solusi yg bermanfaat.
Tak lupa juga setelah perbaikan itu selesai, diadakan acara tasyakuran dengan tumpengan, Sebagai ungkapan rasa syukur dari warga atas hajat desa yang telah terselesaikan ini.
Hari pun silih berganti, dengan wajar dan tentram, sepertinya penduduk desa sudah di buat lupa oleh kesibukannya di musim panen tahun ini.
Hingga hari naas pun terjadi, hari dimana kegelapan yang sudah tertahan dan tertutup rapat, akan terbuka.
Kala itu, di siang yang cukup terik di kala para warga tampak sibuk menjemur padi di depan rumahnya masing-masing. Terlihat Sasongko (Cucu Mbah Karso) yang berjalan tergopoh-gopoh menyusuri jalan desa.
“Mbah Kakung, semaput ning sumur!! Mbah Kakung semaput ning sumur!!”.
(Mbah Kakung pingsan di sumur!! Mbah Kakung pingsan di sumur!!). Kata Sasongko kepada setiap orang yang ditemuinya.
Lik Sukri yang tengah menjemur padi pun, segera mencegat Sasongko, yg kala itu melewati jalan depan rumahnya.
“Ono opo? Ono opo!?”.
(Ada apa? Ada apa!?). Tanya Lik Sukri kepada Sasongko.
“Mbah Kakung ambruk Lik!, tulung Lik”.
(Mbah Kakung ambruk Paman! Tolong!). Jawab-
-Sasongko dengan gelagapan.
Para warga yang mendengar itu, dengan segera menuju rumah Mbah Karso untuk memeriksa keadaannya. Terlihat disana ‘Nyoto’ anak Mbah Karso sekaligus ayah dari Sasongko itu tampak duduk kebingungan di samping tubuh Mbah Karso yang terbaring.
Nyoto yang melihat para warga yang masuk pun hanya menatap dan berisyarat dengan menggelengkan kepalanya. Seakan ada sesuatu yang sudah terlanjur terjadi.
Ya!! Mbah Karso meninggal!! Beliau yang menurut Nyoto kala itu hendak mengambil wudu di sumurnya, diduga jatuh dan kepalanya terbentur. Dan diketahui oleh Nyoto sekira 1 jam kemudian, setelah ia merasa janggal mengapa Bapaknya itu (Mbah Karso) tak merespon panggilan dari nya.
“Bapak ki wes tak penging, ojo kerep-kerep wudu, opo meneh ning sumur mburi, soale ning kono kui lemahe lunyu”.
(Bapak itu sudah saya larang, jangan sering2 berwudu, apa lagi di sumur belakang, soalnya di sana itu tanahnya licin). Kata Nyoto kala itu menjelaskan kepada Warga.
Mbah Karso memang dikenal sebagai orang yg tidak pernah batal dari wudunya, beliau selalu berwudu walau itu sebelum atau setelah salat. Mungkin ini juga yg menjadi alasan mengapa kemampuan spiritual beliau begitu kuat & berani. Tapi dengan kejadian ini, semua tentu-
-tak menyangka, bahwa hal ini akan berbalik menjadi petaka baginya.
Hari itu juga, warga pun sigap bersiap mengurus semua ini, kabar duka dengan cepat disebar luaskan. Tenda juga tampak sudah didirikan, dengan sebagian warga yg kini tengah berada di pemakaman untuk menggali-
-liang tepat di samping pusara ‘Mbah Darmi’, istri Mbah Karso yg sudah meninggal 5 tahun lalu.
Semua berjalan dengan lancar, hingga sekira pukul 16.00, Mbah Karso pun di makamkan. Dan masa berkabung pun dimulai.
Kematian Mbah Karso ini tentu sangat mengagetkan, mengingat sehari sebelumnya orang-orang masih melihat Mbah Karso menananm rumput gajah di pinggir selokan depan rumahnya.
Tapi takdir orang siapa yang tahu, yg jelas semua manusia pasti akan menemui akhirnya, entah kapan & bagaimana caranya.
Malam itu, ramai orang dirumah Mbah Karso, selepas acara tahlilan, masih banyak warga yg tak beranjak pulang, & memilih untuk ‘melekan’ di rumah sang-
-sesepuh desa itu.
Di bawah tenda depan rumah Mbah Karso, orang-orang berkumpul saling mengobrol untuk membunuh waktu, sementara di dalam Nyoto & Surti istrinya, tampak tengah menunggui Sasongko yg murung. ia adalah satu2nya tampak yg paling terpukul dengan kepergian Mbah Karso.
“Njo, Mak aku diterke pipis”.
(Ayo buk, saya di antar pipis!!). Ucap Sasongko tiba2 mengajak ibunya untuk mengantarnya ke sumur.
Surti sang ibu pun bangkit & mengantar anaknya itu ke sumur belakang rumah, seraya memegang lentera, Surti mengawasi dari jarak kurang kejauhan.
“Ojo tinggal lho mak!!”.
(Jangan di tinggal lho buk!!). Kata Sasongko sambil menoleh.
“Halah yo orane to tak tinggal!!”.
(halah ya ndak mungkin to di tinggal!!). Jawab Surti seraya memandangi langit yang tengah purnama itu.
Hingga bau bangkai pun tiba-tiba tercium olehnya, Surti yang memang penakut pun segera menyuruh Sasongko untuk cepat.
“Ayo nang, uwes durung!!”.
(Ayo nak, sudah belum!!). Kata Surti seraya terus mengawasi sekitarnya tanpa memperhatikan anaknya itu.
Sasongko yg sudah selesai pun kini mulai berjalan di belakang ibunya. Dengan Sang ibu yg tampak tergesa dan tak menoleh.
“Alon-alon to mak, peteng!!”.
(Pelan-pelan to buk, gelap!!). Ucap Sasongko yg berjalan di belakang ibunya itu. Hingga tiba2 langkah Sasongko pun terhenti.
“Aduh!!! Aduh!!! Aduh!!! Tulung!!”. Kata Sasongko tiba2.
Sang ibu yg mendengar itu tentu spontan menoleh & di sinilah pemandangan tak biasa dilihat olehnya.
Sasongko tampak berdiri & menangis, dengan sosok yg kini dilihat oleh Surti duduk diantara pundak anaknya itu.
“Tulung mak...tulung..”.
(Tolong, bu.. Tolong). Kata Sasongko yang masih berdiri dengan pelan & terisak.
Sepertinya ia sadar, ada sosok yg telah menduduki tengkuknya itu.
“Sopo kowe!!!!”.
(Siapa kamu!!). Ucap Surti dengan gemetar, sosok itu berambut panjang dengan tangan bercakar yang menyilang di dada anaknya itu.
Sosok itu tak menjawab, & malah mengeluarkan suara pekik tawa yg parau & memekakkan telinga. Hingga saat itu Surti yg sudah tak-
-tahan pun berteriak sambil meraih tangan Sasongko & menyeretnya.
“AAAAAAAAAAKKKKKHHHHH!!!!!!”.
”. Surti yang teriak-teriak sambil menyeret anaknya.
Hingga suaranya itu terdengar oleh Nyoto dan para warga yang berada di depan rumah.
“Opo kae!!”.
(Apa itu!!). Kata orang-orang yang kini segera masuk untuk memeriksa. Begitu juga dengan Nyoto yang langsung keluar dari kamar dan berlari ke arah belakang rumah.
Dan tampaklah dibibir pintu dapur, Surti yang sudah berada di lantai, berusaha merayap masuk, dengan tangannya yang terlihat memegang Sasongko yang juga terjatuh.
“Tulung.. Tulung...”. Ucap Sasongko lirih yang kini sebelah kakinya tampak terbakar oleh api dari lentera yang mungkin tadi terjatuh dari genggaman ibunya.
Warga buru-buru menyeret dan mengangkat Surti masuk, sementara Nyoto kini tampak berusaha memadamkan api yang membakar sebelah kaki Sasongko dengan tepukan dari peci yang di pakainya.
Untung api yang membakar kaki Sasongko itu, dengan cepat bisa di padamkan, walau dengan keadaan Sasongko yang kini tak sadarkan diri.
Sasongko dan Surti pun kini dibaringkan di ruang tengah, dengan Surti yang masih menangis dan Sasongko yang belum sadar.
“Ono opo to bune? Kok nggasi koyo ngene?”.
(Ada apa sih buk? Kok sampai seperti ini?). Tanya Nyoto kini kepada istrinya
.
“Sasongko Pak!!! Sasongko!!”. Kata Surti yang masih belum bisa menjelaskan.
“Sasongko kenopo? Sasongko kenopo bune?”.
(Kenapa Sasongko? kenapa dengan Sasongko buk?). Tanya Nyoto kembali.
Surti tampak sangat syok, tubuhnya gemetar, lidahnya seperti mendadak kelu ketika ia berusaha berbicara. Hingga setelah di berikan segelas air, perlahan-
-ia pun mulai tenang dan bercerita.
“Aku mau ning mburi weruh Sasongko munji demit, wedok, klambine putih, rambute dowo nutupi rai”.
(Saya tadi di belakang melihat hantu dipikulan Sasongko, perempuan, berbaju putih, rambutnya panjang, menutupi wajahnya). Ujar Surti di salah-
-satu penjelasannya.
Nyoto yang mendengar itu pun spontan menoleh, dan berkata.
“Wengi iki, aku tulung kancani yo, ojo do mulih kabeh!!”.
(Malam ini, temani saya ya, jangan pada pulang semua!!). Kata Nyoto kepada para warga yang berada di ruangan itu.
Semua orang tentu tercengang mendengar penjelasan dari Surti barusan, dan seketika mereka semua seperti memikirkan hal yang sama. Ya!!! Marniwongso!!. Apakah sosok yang baru saja diceritakan oleh Surti itu adalah Marniwongso?.
“Waduh!!! Cilloko iki!!”.
(Waduh!!! Celaka ini!!). Kata Lik Sukri pelan dan membisik di tengah-tengah orang-orang yang berada di ruangan itu.
Suasana malam itu pun berubah menjadi aneh, semua orang tampak termangu, terlihat jelas raut ketakutan di wajah-wajah mereka. Dan sekali lagi Nyoto meminta semua orang agar tidak pulang malam ini.
“Ojo do mulih yo, aku tulung dikancani!!”.
(Jangan pada pulang ya, tolong temani saya!!). Ucap Nyoto sekali lagi.
Hingga di malam itu pun berlalu tanpa satu orang pun yang pulang. Beruntung rumah Mbah Karso ini luas, sehingga bisa menampung mereka semua yang malam itu-
-tidur diatas tikar yg tergelar di ruang depan.
Bagian 2 selesai disini..
Sampai jumpa di bagian selanjutnya. Tks.
Buat yang pengen buru-buru tahu kelanjutannya, bisa atuh dukung saya di Karyakarsa :))
Kali ini saya akan menceritakan sebuah pengalaman ganjil sekaligus ngeri dari seorang kerabat, yg bersaksi bahwa ia pernah tersesat di 'Pasar Setan', cerita ini terjadi sudah cukup lampau, yakni kisaran tahun 1994-95, tapi bagi nara-
-sumber, setiap detilnya masih membekas, bahkan menyisakan trauma yg cukup dalam.
*****
Jawa Tengah kisaran tahun 1994-95,
Pada suatu sore..
"Mbok dikirim besok pagi saja to Le". Kata seorang ibu kepada anaknya yg sedang menali 3 ekor kambing di atas mobil baknya.
"Terlambat, kita sudah terlanjur terikat, ku ucapkan selamat datang wahai inangku sekarang, akulah 'GUMBOLO PATI', Sang Gembala Kematian penjaga 'Kain Rombeng' itu. @bacahorror @IDN_Horor @menghorror @ceritaht #bacahorror
Sebelumnya Part 12 :
Part 13 ( Akhir ) :
****
“GUMBOLO PATI #13”.
Pukul 05.30 pagi..
Sampai Pagi ini Darwis &Pak Dirja masih terjaga di dalam kamar, tampang-tampang lesu & kelopak mata yg agak menghitam, terlihat jelas di pa-
"Terlambat, kita sudah terlanjur terikat, ku ucapkan selamat datang wahai inangku sekarang, akulah 'GUMBOLO PATI', Sang Gembala Kematian penjaga 'Kain Rombeng' itu. @bacahorror @IDN_Horor @menghorror @ceritaht #bacahorror
Perjalanan Pak Dirja dan Darwis menuju desa Turi..
“Alon-alon penting tekan nggih Pak..”.
(Pelan-pelan yang penting sampai tujuan ya Pak). Kata Darwis yang agaknya mulai mengerti kenapa ayahnya sejak berangkat tadi mengendarai mobilnya dengan cukup pelan.
"Terlambat, kita sudah terlanjur terikat, ku ucapkan selamat datang wahai inangku sekarang, akulah 'GUMBOLO PATI', Sang Gembala Kematian penjaga 'Kain Rombeng' itu. @bacahorror @IDN_Horor @menghorror @ceritaht #bacahorror
Bagian sebelumnya di @X :
Selanjutnya di @karyakarsa_id : 11.
12.
13. (Tamat) - ongoing.
*****
GUMBOLO PATI #11
Tiga hari berlalu sudah, sejak ‘Bedhong Mayit’ itu di ambil kembali dari almarhum Pak-
"Terlambat, kita sudah terlanjur terikat, ku ucapkan selamat datang wahai inangku sekarang, akulah 'GUMBOLO PATI', Sang Gembala Kematian penjaga 'Kain Rombeng' itu. @bacahorror @IDN_Horor @menghorror @ceritaht #bacahorror
Part sebelumnya #9
On @karyakarsa_id
10. 11. 12.
13 -Tamat. (On going)
“GUMBOLO PATI” #10.
Sore ini, sekira pukul 16.00.
Tampak Pak Dirja & Darwis sudah berada di dekat mulut-