Siapa yang tidak mengenal kalimat Tuhan Tak Perlu Dibela”? Kalimat itu terkenal sekali, hingga menjadi judul buku dan sampai sekarang masih dikutip, jadi kaus, jadi meme, jadi status Facebook, bahkan jadi “dalil”.
Ya, kalimat Gus Dur itu mungkin yang paling terkenal, setelah “gitu aja kok repot”. Dari manakah kalimat itu berasal?
Ternyata, Gus Dur memarnya dari kalimah seorang sufi agung, al-Hujwiri. Berikut ini kalimat lengkapnya:
“Bila engkau menganggap Allah itu ada hanya karena engkau yang merumuskan, hakikatnya engkau sudah kafir. Allah tidak perlu disesali kalau Dia mnyulitkan kita. Juga tidak perlu dibela jika orang menyerang hakikat-Nya.”
Siapakah al-Hujwiri?
Bagi para pencinta jalan kaum sufi, atau penikmat literatur-literatur tasawuf, nama al-Hujwiri seperti bulan purnama saat langit cerah, namanya terang benderang dan penuh cahaya. Mendiang Schimmel yang juga sahabat Gus Dur memuji al-Hujwiri setinggi langit.
Al-Hujwiri bernama lengkap Abu Hasan Ali bin Usman bin al-Ghaznawi al-Jullabi al-Hujwiri. Ia dilahir di Ghaznah, Persia (Iran), awap abad 11 Masehi. Kini, daerah tersebut masuk wilayah Afganistan, negara muslim yang tidak pernah berhenti baku bunuh hingga sekarang.
Salah satu karya al-Hujwiri bernama Kasyful Mahjub (terjemah bebasnya “membuka kegelapan”). Kita ini sgt berpengaruh pd karya-karya tawasuf atau sufistik yg lahir setelahnya. Kitab fenomenal Tadzkirul Awliya karya Fariduddin Athar termasuk banyak menginduk pd Kasyful Mahjub itu.
Tidak salah jika Gus Dur juga merujuk al-Hujwiri ini. Bahkan, kutipan di atas seperti menjadi pedoman hidup untuk berkiprah dan mengabdi di tengah masyarakat. Tetapi…ini penting, Anda tidak boleh mengutip sembarangan kalimat Gus Dur itu. Kenapa? #HaulGusdur
Gus Dur mengerti dan memahami yang dibicarakan, juga berjuang sepanjang hidupnya, mengamalkan pengetahuannya. Kalau Anda mengutipnya cuma meniru dan gagah-gagahan, bisa diprotes banyak orang.
Setiap malam Natal, Gusmin selalu ingat dengan sosok Riyanto, seorang anggota Banser yang wafat ketika menyelamatkan ratusan manusia yang sedang beribadah di Gereja Eben Haezer, Mojokerto, tahun 2000 silam.
Utas
Muslim, kok, jaga gereja? Mungkin itu yang banyak dipertanyakan orang. Bahkan beberapa tokoh menyebut tindakan menjaga gereja adalah tindakan yang berlebihan. Mengapa harus jaga gereja jika kita punya aparat keamanan?
Orang yang pertama kali menginstruksikan agar Banser menjaga gereja adalah Gus Dur. Perintah Gus Dur ini merupakan respons dari pembakaran gereja di Situbondo, Jawa Timur, pada 1996. Pasca kejatuhan Soeharto, stabilitas keamanan semakin menjadi pekerjaan rumah bangsa Indonesia.
Lima Rekomendasi Jaringan GUSDURian untuk Indonesia
A thread
Pada Jumat hingga Minggu 14-16 Oktober 2022, Jaringan GUSDURian menyelenggarakan Temu Nasional GUSDURian (TUNAS) di Asrama Haji Sukolilo, Surabaya.
TUNAS merupakan agenda pertemuan rutin tiga tahunan yang diadakan untuk mengonsolidasikan komunitas dan jejaring GUSDURian.
Acara tersebut dihadiri oleh keluarga, sahabat, murid, pengikut, serta pengagu, KH. Abdurrahman Wahid atau Gus Dur dari berbagai kalangan.
Beberapa tokoh yang hadir di antaranya istri Gus Dur Sinta Nuriyah, Alissa Wahid, Inaya Wahid, budayawan Zawawi Imron, Menteri Agama RI 2014-2019 Lukman Hakim Saifuddin, dan Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Parawansa.
Ketika Gus Dur Meminta Maaf atas Pembantaian Massal 1965-1966
Salah satu peristiwa kelam yang pernah ada di Indonesia adalah pembantaian terduga simpatisan PKI kurun 1965-1966. Luka itu sempat ditutup rapat, terutama oleh pemerintah Orde Baru. Pada 1995, Gus Dur membukanya.
Meski demikian, perbincangan terkait isu tersebut masih sangat terbatas, bahkan pasca Orde Baru sekali pun. Padahal, kejatuhan Soeharto menandai era keterbukaan. Khusus kasus 1965-1966, isu ini masih dianggap sangat sensitif.
Dalam konteks dan derajat tertentu, upaya pengaburan fakta tentang pembantaian massal bahkan dijadikan komoditas politik. Wacana yang digulirkan Orde Baru selama tiga dasawarsa—bahwa pembantaian dilakukan atas inisiatif rakyat karena kebiadaban PKI di masa lalu—masih diteruskan
Juli 2001 situasi Ibu Kota memanas. Gus Dur dipaksa keluar dari istana. Massa pro & kontra berkumpul di depannya. Moncong panser di lapangan Monas pun sudah diarahkan ke gedung.
Gus Dur masih bertahan. Ia baru keluar setelah mendapat 'surat sakti' dari Lurah Gambir.
Hal ini pernah diceritakan oleh Mas @PSambadha, ajudan Gus Dur. Permintaan sang presiden bahkan sampai membuat Lurah Gambir nyaris pingsan. Mungkin sang lurah tidak menyangka bahwa tanda tangannyalah yang membuat seorang presiden akhirnya meninggalkan istana ya wkwkwk.
Dalam sebuah wawancara, Gus Dur pernah berkelakar. Bahwa dalam Islam, jika diusir dari rumah, harus melawan. Namun karena perintah pengosongan rumah berasal dari pemerintah setempat yang sah, maka kewajiban melawan pun 'gugur'. Urusan selesai. Gitu aja kok repot.