Seminggu terakhir ini, saya memulai rutinitas baru dalam belajar #BahasaArab. Dasarnya sama: sedikit-sedikit, tapi sering. Untuk rutinitas yang ini, saya tambahkan sedikit "diversifikasi" agar rutinitas belajar tidak monoton.
🧵
Pertama, 5 menit bersama DuoCards. Aplikasi flash card yang satu ini fokus pada bahasa. Saya biasa menambahkan kata-kata sulit dalam Al-Qur'an beserta artinya ke dalam aplikasi ini. Setiap pagi, saya latih kembali ingatan saya. Kosakata Al-Qur'an saya perlahan bertambah.
Kedua, 5 menit bersama Duolingo. Belajar Bahasa Inggris dari Bahasa Arab di Duolingo membantu memperluas kosakata Bahasa Arab saya. Kesannya belajar Bahasa Inggris, padahal saya sedang belajar Bahasa Arab. Pemahaman terhadap tata bahasa juga terbantu, tapi tidak banyak.
Ketiga, 5 menit bersama MemRise. Ini saya pakai karena pemilik kanal YouTube Arabic101 membuat course berisi frequent words dalam Al-Qur'an. Course itu adalah versi MemRise dari video frequency list yang dia buat. Dengan MemRise, mengingat frequent words jadi lebih mudah.
Total waktu belajar hanya 15 menit (kadang lebih), tapi cukup membantu menjaga konsistensi saya belajar Bahasa Arab. Variasi model belajar yang ditawarkan ketiga aplikasi juga membuat saya tidak mudah bosan. Semoga saja rutinitas ini benar-benar langgeng. Aamiin.
• • •
Missing some Tweet in this thread? You can try to
force a refresh
Konjugasi, yaitu perubahan bentuk kata, adalah hal yang sulit sekaligus menarik dalam sebuah bahasa. Setahu saya, konjugasi ini tidak ada atau hanya ada sedikit di dalam Bahasa Indonesia. Dalam Bahasa Arab dan Bahasa Jepang, konjugasi adalah salah satu pengetahuan dasar.
Kita ambil contoh konjugasi karena waktu, ya. Dalam Bahasa Indonesia, kalimat "saya sudah minum" dan "saya minum" memiliki informasi waktu yang berbeda. Kata "sudah" menegaskan bahwa sesuatu terjadi di masa lampau. Akan tetapi, kata "minum" di dua kalimat itu tidak berubah.
Dalam Bahasa Jepang, "saya sudah minum" berarti 私を飲みました (watashi wo nomimashita) dan "saya minum" berarti 私を飲みます (watashi wo nomimasu). Kata "minum" diartikan "nomimashita" dan "nomimasu". Perubahan di akhiran "mashita" dan "masu" menunjukkan perbedaan waktu.
Beberapa hari yang lalu, saya menjual mobil di Carsome. Inspeksinya sederhana dan mudah. Antriannya saja agak panjang. Negosiasinya agak alot karena harga yang saya minta juga tinggi. Pada akhirnya deal dengan harga terbaik dibandingkan beberapa penawaran lain.
Sebuah utas. 🧵
Saya mampir ke dealer yang terima trade-in. Di sana, saya ditemui pihak ketiga yang mau membeli mobil saya. Inspeksi mobil dilakukan di tempat. Harga beli juga ditentukan di tempat. Berhubung penawarannya masih jauh dari harapan, saya minta transaksi ditunda.
Perhentian selanjutnya adalah Carro. Setelah janjian untuk inspeksi, saya datang ke kantor mereka. Inspeksinya lebih teliti dari rekan dealer sebelumnya, tapi harga penawarannya jauh lebih rendah, yaitu hanya 2/3 dari harga yang ditawarkan rekan dealer. Benar-benar rendah.
Minggu lalu saya membuat tulisan singkat bahwa dalam parenting, orang tua juga perlu memperhatikan perasaan dan kebutuhannya sendiri. Hal itu bisa dilakukan. Jadi, perasaan dan kebutuhan anak dan orang tua diusahakan agar berjalan beriringan.
Hari ini, saya mendapat kesempatan untuk mempraktikkan (lagi) apa yang saya tulis pekan lalu. Hari ini, setelah sekian banyak isu dengan anak-anak, saya meminta waktu mereka untuk mendengarkan uneg-uneg saya. Ya, saya curhat tentang anak-anak saya langsung ke anak-anak saya.
Saya mulai dengan menjelaskan kepada anak-anak saya bahwa setiap isu di dalam keluarga juga memiliki dampak buruk untuk saya sendiri. Saat saya menegur mereka, bukan hanya mereka yang merasa tidak nyaman, saya juga sama. Bukan hanya mereka yang sakit hati, saya juga.
Parenting umumnya fokus pada kebutuhan, perasaan, bakat, dan minat anak. Hal itu memberi kesan kalau orang tua tidak perlu diperhatikan. Pengamatan dan pengalaman saya justru melihat hasil parenting akan lebih optimal kalau setiap orang, yaitu anak dan orang tua, diperhatikan.
Contoh ketimpangannya banyak. Pertama, saat anak sedih, simpati dan empati berdatangan, tapi saat orang tua sedih, responnya hanya "Sabar, ya." Kedua, upaya ekstra diberikan untuk mengembangkan bakat/minat anak, tapi untuk minat orang tua, tidak usah repot-repot.
Ketimpangan itu memang wajar karena orang tua memang perlu berkorban demi anaknya. Akan tetapi, bayangkan kalau orang tua yang sedih juga mendapatkan simpati atau empati. Bayangkan kalau minat orang tua juga diperhatikan, lalu diselaraskan dengan minat anaknya. Keren, kan?
Satu hal yang membuat story points sulit diterapkan di pemerintahan adalah kebiasaan estimasi menggunakan waktu. Sebuah tim yang menerapkan Agile bisa saja menggunakan story points, tapi tim itu akan kesulitan menjelaskan hasil estimasi itu ke atasan mereka. Atasan mereka ...
... terbiasa melakukan estimasi berdasarkan waktu, bukan besarnya upaya atau metrik lainnya.
Kalau begitu, kenapa tidak dijelaskan saja maksud story points itu kepada atasan mereka? Bisa saja, tapi atasan mereka akan mengalami kesulitan yang sama dengan atasannya sendiri. Masalah itu akan terus terjadi ...
Enam tahun yang lalu, saya menjauhi riba lewat take over KPR dari bank konvensional ke bank syariah. Modal hanya belasan juta. Durasi cicilan berkurang dari 11 tahun menjadi 10 tahun. Hidup juga (lebih) bebas riba.
Setelah mencicil KPR selama 6 tahun, saya berhasil mengumpulkan modal untuk melakukan pelunasan. Strategi saya menabung sambil mencicil diridhai Allah Swt. Saya berhasil menyiapkan uang sebesar cicilan bulanan x sisa waktu cicilan (48 bulan). Totalnya sekitar 200 juta rupiah.
Ternyata perhitungan saya meleset. Uang yang saya butuhkan untuk melakukan pelunasan ... lebih sedikit. Saya hanya perlu membayar pokok utang + 2 x margin cicilan bulanan. Setelah dihitung petugas bank, saya hanya butuh sekitar 150 juta rupiah untuk pelunasan.