1/ Suatu hari, seorg pengusaha datang ke rumah minta dibimbing masuk NU. Mengapa Bpk milih NU? Beliau jwb: sy sdh lama berbisnis, di usia kepala lima ini sy ingin mencari dan menemukan kedamaian hidup. Sy coba ikut pengajian di berbagai masjid
2/ Di suatu masjid, si ustadz berceramah yg isinya mengharam2kan banyak hal. Musik haram, bank haram, TV haram. Hidup terasa susah, sangat sempit. Sy tdk temukan kedamaian. Di usia sy ini, yg saya cari kedamaian. Damai dg diri, damai dg semua. Sy pun coba ikut pengajian yg lain
3/ Di masjid yg baru, ceramah si ustadz berisi kebencian kpd pemerintah. Presiden dibodoh2kan. Polisi direndahkan. Say membayangkan perasaan anak2 yg org tuanya mjd polisi, ato orang tua yg anaknya jd polisi. Pasti sangat sedih. Ceramah ustadz membuat hati saya tdk tenang
4/ Sy pindah ke masjid lain. Di masjid itu, ceramah si ustadz menyerang agama lain. Ngucapin selamat Natal haram. Org non-muslim salah, kafir, neraka. Jangan bergaul dg mereka. Pdhl usaha jg bersentuhan dg banyak pihak tdk hanya org Islam saja. Setelah ngaji, sy tambah gelisah
5/ Di masjid yg lain, si ustadz saat ceramah menyerang tradisi. Yg ini bid’ah, yg itu syirik. Masyarakat disalah2kan. Budaya/tradisi direndahkan. Padahal menurut sy muatan dr tradisi bkn hanya baik, tp jg membuat masyarakat mjd guyub rukun. Ceramahnya tdk membuat hati mjd damai
6/ Setelah mengembara dan mengikuti pengajian di berbagai masjid dan majlis, dan sy tdk menemukan kedamaian, akhirnya sy coba ikut pangajian di majlis2 dan masjid yg penceramahnya kiai NU, walaupun kiai kampung. Di sana, sy menemukan kedamaian hati dan hidup yg lapang, jg optimis
7/ Ngajinya santai, tdk galak, diselingi humor, yg sempit mjd lapang. Pemerintah ditaati, adat tradisi dijunjung tinggi, agama lain dihormati dan dianggap layaknya saudara sendiri, hiburan musik ato TV jg boleh dinikmati. Ngaji dg kiai NU membuat hidup sy terasa tentram dan damai
8/ Agama yg damai dan bersahabat dg semua umat dan adat, sy temukan lewat majlis pengajiannya kiai NU. Setelah sekian lama sy mencari kedamaian, akhirnya di NU saya menemukannya. Maka saya ingin dibimbing dan dibaiat masuk NU. Semua anak cucu saya smoga jg bs mjd jamaah NU
9/ Si bapak itu akhirnya baiat masuk NU dg kalimat baiat yg diijazahkan guru saya KH Marzuqi Mustamar, Ketua PWNU Jatim. Ya Allah damaikan hati dan pikiran kami semua, damaikan bumi ini dan berkahi kami semua. Amin
1/ Di harian @hariankompas, 18 Juli 2005, sejarawan LIPI Dr Asvi Warman Adam menulis: “Saya teringat malam kesenian yg diadakan Perhimpunan Inti (Indonesia-Tionghoa) 17 Agustus 2004 di Graha Sarbini, Jakarta. Ketika acara dimulai, …
2/.. muncul Salahudin Wahid yg saat itu cawapres (berpasangan dg Wiranto), disusul Hasyim Muzadi cawapres (pasangan Megawati). Pertunjukan berlangsung terus. Saat Gus Dur masuk ruangan, tanpa komando seluruh hadirin berdiri memberi hormat. Gus Dur dlh Pahlawan HAM,” kata Dr Asvi
3/ Ketika Gus Dur Presiden, tulis Tomy Su, di @kompascom, 8 Feb 2005, hari Raya Imlek bs diperingati dan dirayakan dg bebas. Warga Tionghoa tdk perlu lagi sembunyi2 jika merayakannya. Ini tdk lepas dr keputusan Gus Dur pd 17 Januari 2000, yg mengeluarkan Inpres No 6 Th 2000 …
1) Di tengah memperingati hari lahir Pancasila, sy ingin berbagi tulisan: NU dan Pancasila. Ttg pandangan keagamaan NU yg membuat ormas ini bs menerima Pancasila scr bertanggung jawab, menerima NKRI sbg bentuk final negara. NU yg tradisional, tp selalu di depan
2) Spt dikutip Zamakhsyari Dhofier dlm buku Tradisi Pesantren, puluhan tahun lalu Snouck Hurgronje bersaksi ttg Islam tradisional (kemudian menjelma mjd NU): “Islam tradisional di Jawa yg kelihatannya statis dan terbelenggu oleh pemikiran ulama abad pertengahan (kitab kuning)...
3) .. sebenarnya terus mengalami perubahan2 yg sangat fundamental. Tp perubahan2 itu demikian bertahap2, demikian rumit, dan dalam tersimpan. Perubahan itu tdk akan terlihat, walaupun sebenarnya terjadi di depan mata sendiri, kecuali bg mereka yg mengamatinya secara seksama.”