gil Profile picture
Mar 2, 2023 132 tweets 23 min read Read on X
LEMAH KUBURAN (Bab -3)

~ Pilkades Mekar Sari 1985

@bacahorror_id @menghorror @IDN_Horor #bacahorror Image
“LEMAH KUBURAN” – Bab 3.

Masih di waktu yang sama, di rumah Sang Lurah..

Mereka semua yang kini sudah berada diruang tamu, tampak terdiam, nalarnya masih mencoba untuk mencerna, tentang sosok ‘Pocong bersimpuh’ yang mereka lihat di ruangan utama beberapa saat lalu.
Semua orang bersila gelisah di tikar bawah, sementara Lurah Pawiro berada di dekat istrinya yang di baringkan di kursi ruang tamu itu. Tampak Mbah Gotro yg tiba2 memukul-mukul dadanya, dengan tangannya, ia terlihat mencari sesuatu dari balik sakunya, membuat mereka kini bertanya.
“Kenopo Mbah!?”.

(Kenapa Mbah!?). Tanya Pak Karim memecah keheningan.

“Obat anti nyeriku keri!!”.

(Obat anti nyeri saya ketinggalan!!). Jawab Mbah Gotro dengan nafasnya yang sedikit tersengal.
“Duh!!”. Tanggap Lurah Pawiro, yang segera menyuruh Kadus Barjo untuk mengantarkan Mbah Gotro pulang.

“Kang Jo!!, tulung Mbah Gotro diderekke, mumpung durung patio bengi.”.

(Kang Jo!!, tolong Mbah Gotro di antarkan, mumpung malam belum begitu larut..). Pinta Sang Lurah-
-seraya menoleh ke arah jam dinding yg menunjukkan pukul 22.45 itu.

“Wah nek dewe aku ra wani kang!!”.

(Wah kalau sendirian saya tidak berani kang!!). Jawab Barjo yang kini terlihat saling pandang dengan Kadus Wicak.

“Njo karo sampean!!”.

(Ayo sama sampean!!). Kata Barjo-
-lagi, yang kini mengajak Wicak untuk turun mengantar Mbah Gotro.

“Yowes ayo!!, ning kulo bablasan nggih, langsung wangsul, mboten mriki malih!!”.

(Ya sudah ayo!! Tapi saya sekalian pulang ya, tidak mampir kesini lagi!!). Jawab Kang Wicak sambil meminta ijin kepada Lurah-
-Pawiro, dimana setelah mengantarkan Mbah Gotro ia tidak akan kembali ke sini.

“Yoh!!”. Ucap Sang Lurah, yang mana setelah itu, Barjo dan Wicak pun bergegas bangkit, dengan sedikit memapah Mbah Gotro, mereka berdua pun akhirnya memberanikan diri untuk keluar dan mengantar-
-jawara tua itu pulang kerumahnya.

Menit demi menit pun berlalu, dan dengan perlahan suasana pun mulai tenang, begitu juga dengan Bu Sundari, yang kini tampak pulas, dan tak menggigil seperti beberapa saat yang lalu.
Sang Lurah yang sudah berhasil menata ketenangannya pun akhirnya menyuruh orang-orang yang berada di rumahnya itu untuk pulang.

“Sampean-sampean nek pengen mulih, teko mulih wae, rapopo”.
(Kalian kalau mau pulang, pulang saja, tidak apa-apa). Ucap Lurah Pawiro yang merasa-
-tidak enak melihat wajah2 gelisah itu.

“Ha njuk njenengan Pripun Pak Lurah?”.

(Terus njenengan bagaimana Pak Lurah?). Tanya Pak Warso saat itu.

“Ora popo kang, tenang wae, tak atasane dewe, sing penting sampean2 mulih slamet tekan omah”.

(Tidak apa-apa Kang, tenang saja,-
-saya akan hadapi, yg penting kalian semua pulang sampai rumah dengan selamat). Ucap Sang Lurah.

Ada sedikit keraguan di antara orang-orang yang berada di rumah Sang Lurah itu, selain merasa sungkan, sepertinya bayangan ‘Pocong Simpuh’ itu masih tersisa di pikiran dan membuat-
-mereka menjadi ketakutan untuk melangkah keluar, tapi disisi lain mereka juga sadar bahwa bertahan disini juga tak ada untungnya, karena bisa saja, hal ganjil itu akan terjadi lagi. Sampai akhirnya setelah cukup menata keberanian, mereka pun pulang, meninggalkan Lurah Pawiro.
Sang Lurah yang kini sendiri, terlihat memastikan selimut yang menutupi tubuh istrinya itu tertutup rapat. Dan setelah itu ia pun bangkit dan meraih teko kopi yang berada di dekatnya, ia tuangkan kopi yang sudah tak hangat itu, ke dalam gelas bekas bukan miliknya, dan berlanjut-
-dengan membakar sebatang rokoknya.

Jemarinya tampak sedikit gemetar, di kepulkannya asap rokoknya, seraya menenangkan diri atas apa yang terjadi.

“Harusnya saya tidak maju lagi dalam pilkades ini..”. Batinya di antara keluk asap rokoknya itu walaupun itu hanya sekejap, karena-
-seketika pikirannya segera berubah, ketika mengingat betapa loyalnya orang2 yg selama ini mendukungnya.

Semilir angin menembus masuk melalui lubang kaca jendela ruang tamunya yang pecah itu, membuatnya segera bangkit dan menutupinya dengan gulungan2 karpet yang ia tegakkan.
“Owalah..halah”. Keluhnya setelah itu.

Sang Lurah kembali memastikan keadaan istrinya, yang mana ia sedikit merasa lega ketika melihat kepala istrinya sudah berpeluh dan juga tidak lagi merasakan panas yang berlebih di kening dan leher istrinya itu.
“Oh sukur nek wes rodo adem”.

(Oh, Syukurlah, sudah tidak begitu panas). Ucapnya yg kini beranjak merebah di bawah karpet.

Sejenak ia menatap langit-langit lalu memejamkan matanya tak lama setelah itu, dan entah bagaimana caranya, setelah semua yang terjadi, malam itu, Lurah-
-Pawiro pun tertidur dengan lelapnya.

Singkat cerita, keesokan harinya..
Kabar Pocong di rumah sang petahana semalam menyebar begitu saja, entah siapa yang memulai cerita itu, yang jelas, pagi itu, topik ‘bungkusan kafan’ yang terbang masuk ke rumah Pak Lurah tadi malam,-
-segera menjadi bahasan dalam setiap perbincangan di sudut-sudut desa Mekar Sari itu.

“Pak Lurah dikirimi santet!! Bu Lurah saiki dadi lara!!”.

(Pak Lurah dikirimi santet!! Membuat Bu Lurah sekarang menjadi sakit!!). Kata seorang ibu-ibu dalam sebuah obrolan di pedagang sayur-
-keliling pagi itu.

“Ha bojoku kae, mau bengi, girap-girap mlayu seka omahe Pak Lurah, jarene weruh Pocongan mabur mlebu njero omah”.

(Ha suamiku itu, semalam pulang berlari dari rumah Pak Lurah dengan wajah ketakutan, katanya melihat Pocong yg terbang masuk ke dalam rumah).-
-Tanggap salah seorang ibu-ibu lagi dalam perbincangan itu.

Semua tuduhan tentu tersudut ke arah Juragan Wiryo, memangnya siapa lagi, selain dia, orang yang mempunyai motif saat ini untuk mengganggu Lurah Pawiro Atmojo?.
Sementara itu di waktu yang sama,

Di Mekar Wetan, yang mana itu juga adalah wilayah dusun Lurah Pawiro tinggal. Pagi itu, tampak para kepala dusun sudah berkumpul di rumah Kadus Barjo. (Cont) karyakarsa.com/AgilRSapoetra/…
Pak Tunggul sebagai kadus Mekar Kulon, Wicak sebagai kadus Mekar Kidul, Kang Saleh sebagai kadus Mekar Lor, Pak Mansur Kadus Mekar Tengah, dan yang terakhir yaitu Barjo sebagai kadus Mekar Wetan.
Wajah-wajahnya tampak pucat dan lemas, sepertinya semalam mereka tak bisa tidur. Kang Saleh adalah satu-satunya di antara lima orang itu yang terlihat menekuk mukanya, kadus Mekar lor (utara) itu tampaknya menahan amarah.
“Pancen!! Celeng!! Ora iso nek koyo ngene carane!!”.

(Memang Babi!! Tidak bisa kalau begini caranya!!). Ucap Kang Saleh seraya meletakkan kantong plastik yang berisi tanah di atas meja ruang tamu Kadus Barjo itu.
Ia berujar bahwa tadi pagi, ia menemukan tanah itu bercecer di lantai teras rumahnya. Yang mana itu sangat ia yakini sebagai tanah kuburan yang sengaja disebar oleh seseorang.
“Iki cobo di ambu!! Lak mambu srimpi!!”.

(Ini coba kalian cium!! Baunya jelas adalah minyak Srimpi!!). Kata Kang Saleh lagi sambil membuka bungkusan plastik itu.
“Iyo kang...bojoku mau isuk yo nemu koyo ngono ning ngarep omah”.

(Iya kang.. Istri saya tadi pagi juga menemukan seperti itu di depan rumah). Tanggap Pak Mansur kadus Mekar tengah, yang segera di sambut oleh Pak Tunggul yang mengeluarkan sesuatu yang akan sangat mengagetkan.
“Sakliyane lemah kui, Aku malah karo nemu iki ning ngarep lawang..”.

(Inilah yg saya temukan di depan pintu selain ceceran tanah itu). Ucap Pak Tunggul Kadus Mekar Kulon, seraya mengeluarkan ‘Nisan Kayu’ yg bertuliskan nama dirinya dari balik jaketnya.
“Asuu nek iki!!”.

(Memang anjing kalau ini!!). Tanggap Kang Wicak seraya mengusap wajahnya dengan resah.

Fakta pagi ini adalah, semua Kadus-kadus itu mendapati ceceran tanah berbau minyak mayat di depan rumahnya masing-masing, dan Pak Tunggul yang sedikit berbeda dari-
-yang lainnya karena selain menemukan ceceran tanah itu, ia juga mendapati sebuah ‘Nisan Kayu’ yang bertuliskan nama dirinya tergeletak di depan pintu rumahnya. Image
“Tak labrake wae po!? Wiryo jingan kae!? Ra ngilingi gek jaman kere njaluk tulunge karo aku terus!!”.
(Apa saya Labrak saja Wiryo Bajingan itu!?, tidak ingat jaman dia miskin selalu minta tolongnya sama saya!!). Kata Kang Saleh, Kadus Mekar lor berdarah campuran jawa-madura-
-itu, yang justru segera dicegah oleh Pak Tunggul.

“Wes ojo Kang, iki urusan alus, senajan dewe yakin iki ulahe deknen, nanging awak dewe raono buktine, kejaba nek dewe iso ‘nangkap basah pelakune’, wes to, rasah emosi sek, malah iso gedawan-dawan urusane!!, saiki piye carane-
-ngatasi iki gowo cara sing sakmestine!!”.

(Sudah Kang!! Jangan!! Ini urusan halus, walaupun kita yakin kalau ini semua ulah ‘Dia’, tapi kita sama sekali tidak ada bukti!! Kecuali kalau kita bisa menangkap basah pelakunya, sudahlah jangan emosi dulu!! Nanti bisa panjang--
--urusannya!!, pokoknya sekarang bagaimana caranya mengatasi ini dengan cara yang semestinya!!). Kata Pak Tunggul mencegah Kang Saleh yang marah itu.
“Kit awal Wiryo ki wes tak omongi lho, rasah njago lurah, aku sebagai salah sijine uwong sing cedak karo deknen, jelas ngerti kemampuane de’e, lawong moco wae ora lancar, latar belakange yo koyo ngono, rane iso menangke wargane dewe sing wes ‘konservatif’ ngene?, yo iki carane-
-akhire, nek ora ngobong duit yo nggo coro irengan ngene iki!!”.

(Dari awal, Wiryo itu sudah saya nasihati, tidak usah mencalonkan diri, saya sebagai salah satu orang yang dekat dengan dia, jelas tahu betul bagaimana kemampuannya, Lhawong membaca saja tidak lancar, latar-
-belakangnya juga seperti itu, tidak akan bisa memenangkan warga kita yang sudah mulai konservatif ini, ya beginilah akhirnya yang dia lakukan, kalau tidak dengan membakar uang, ya dengan cara-cara hitam seperti ini!!). Gerutu Kang Saleh.
Sebelum kemelut pencalonan PilKades ini terjadi, Kang Saleh adalah orang yg dekat dengan Juragan Wiryo, bahkan bisa dikatakan ia sudah menjadi sahabat bandar dadu itu sejak lama, dari jaman miskin hingga sukses seperti ini.
Tapi kedekatan itu pecah, seiring dengan kedatangan Almarhum Kang Bajul yang menjadi pembisik atas pencalonan ini. Kang Saleh yang waktu itu tahu akan kapasitas dan kemampuan Juragan Wiryo, sempat mencegah, bukan ia menganggap Wiryo tak pantas mengabdi, namun ia berpendapat-
-bahwa menjadi Lurah, bukanlah jalan seorang Wiryo jika hanya ingin turut memajukan desa ini, menjadi ‘Pamong’ atau Tokoh dan donatur saja, Sudah cukup membuat Juragan judi dadu itu dihormati oleh masyarakat di Kelurahan Mekar Sari ini.
“Sing kudu waspodo kui sampean Kang..”.

(Yang harus waspada itu sampean Kang..). Sahut Wicak kepada Pak Tunggul.

Memang benar juga, Pak Tunggul, selaku kepala dusun dimana tempat Juragan Wiryo tinggal, memang seharusnya harus waspada, untuk kubu Wiryo, ia kini seperti-
-diibaratkan sebagai pengkhianat, karena tidak mendukung calon dari dusunnya sendiri. Mungkin itu juga yang menjadi sebab ia mendapat kiriman Kayu Nisan itu selain tanah makam.
“Tapi iku kan yo hakku to, meh dukung ndi? Tur geneh aku wes utang budi akeh karo Pak Lurah, keluargaku wes dibantu akeh banget sakwene”.

(Tapi itu kan juga hak saya, mau mendukung siapa? Lagi pula saya sudah banyak berhutang budi kepada Pak Lurah, keluarga saya juga banyak-
-dibantu). Sanggah Pak Tunggul dengan pendapatnya.

“Wes saiki dewe lapor wae ning Pak Lurah tentang kejadian iki, wong mergane nek sida, Pak Lurah karo Mbah Gotro meh budal ning ‘Sapu Angin’, esuk iki, arepe ketemu ‘Wong Pinter’”.

(Sudah, sekarang kita lapor saja ke Pak-
-Lurah tentang kejadian ini, karena kemarin saya sudah sempat mengobrol, katanya Pagi ini beliau dan Mbah Gotro akan berangkat ke ‘Sapu Angin’ untuk bertemu orang pintar). Sela Kadus Barjo mengakhiri pertemuan itu.
Tak selang beberapa lama, kelima kadus itu pun bergegas menuju rumah Lurah Pawiro, berharap pagi ini mereka bisa ikut ke ‘Sapu Angin’, dan bertemu orang pintar itu, untuk mencari solusi atas permasalahan ini.

(Cont) karyakarsa.com/AgilRSapoetra/…
Di depan rumah Sang Lurah..

Terlihat Mbah Gotro yang sudah berdiri di teras seraya menghisap rokoknya, begitu juga dengan Pak Lurah Pawiro yang tampak memapah Bu Sundari menaiki mobil sedan keluaran 5 tahun lalu itu, dan terlihat juga Mbok Tun, berjalan di belakang sambil-
-menenteng sebuah bingkisan dengan satu tangannya.

Waktu itu, Bersamaan pula, dengan datangnya kelima kadus-kadus kusut itu, yang segera bergegas berlari menghampiri.

“Waduh, yo ra sampe yo Montore, aku kok jan lali nek Montore Pak Lurah ki sedan”.-
-(Waduh, ya jelas tidak muat ya mobilnya, saya benar-benar lupa kalau mobil Pak Lurah itu mobil sedan). Ucap Kadus Barjo di awal kedatangan mereka, yang segera tertuju oleh keadaan Mbah Gotro yang tampak segar bugar.
“Pripun Mbah!?, kok njuk wes beger wae ya..”.

(Bagaimana Mbah!?, kok udah seger lagi ya..). Kata Wicak, orang yang semalam mengantarkan jawara sepuh itu bersama Barjo.

“Aku kok!! Hehe..”. Canda Mbah Gotro sambil sedikit membusungkan dadanya.

“Piye?, mesti mau bengi do-
-raiso turu to? Rupane do lungset-lungset ngono”.

(Ada apa?, pasti semalam kalian tidak bisa tidur to? Kelihatan dari mukanya yang pada kusut-kusut begitu..). Kata Mbah Gotro yang segera dijawab oleh Barjo, dengan sebuah cerita singkat tentang tanah kuburan yang mereka temukan-
-didepan rumahnya masing2 itu.

“Mergane niku, dewe sakjane ajeng tumut Mbah.. Wonten Sapu Angin, tapi montore mboten sampe nggih?”.

(Karena itu, kami sebenarnya ingin ikut ke Sapu Angin Mbah.. Tapi mobilnya pasti tidak cukup ya?). Kata Barjo setelah bercerita, dan seketika-
-membuat Lurah Pawiro yang juga mendengar itu langsung menawari mereka untuk memakai mobilnya yg lain.

“Nggo montor buka’an gelem?”.

(Pakai mobil pikap mau?). Kata Pak Lurah menawari para kadus2nya, yg mana tanpa berpikir mereka pun langsung mengiyakan tawaran itu.
“Siap!!!”. Sahut Barjo.

“Ning siap-siap kademen lho!!”.

(Tapi kalian siap-siap kedinginan lho!!). Ucap Pak Lurah lagi.

“Halah, mboten popo!!”.

(Halah, tidak apa-apa!!). Tanggap Kang Pak Tunggul kini.

& setelah kunci mobil itu sudah diberikan oleh Pak Lurah, selang--
--beberapa saat kemudian, mereka semua pun berangkat beriringan menuju Desa Sapu Angin, untuk menemui orang pintar kerabat dari Mbok Tun itu.
“Pakdemu kui, nek kon mbalekke kirimian santet iki, ndak gelem?”.

(Pakdemu itu, apakah mau kalau diminta mengembalikan kiriman santet ini?). Tanya Lurah Pawiro dalam kemudi kepada Mbok Tun yang duduk di kursi belakang.
“Wah kirangan njih Pak Lurah, cobi mawon mangkih”.

(Wah, kalau itu saya kok kurang tahu Pak Lurah, coba saja nanti). Jawab Mbok Tun, yang tak lama kemudian, ditanggapi oleh Bu Sundari.
“Rasah to Pak, nek dibalekke, opo bedane dewe karo kae”.

(Tidak usah Pak, kalau itu dikembalikan, terus apa bedanya kita dengan mereka?). Kata Bu Sundari dengan suara lirih dan lemas, membuat Lurah Pawiro yang duduk dikemudi, sejenak terdiam mendengar itu.
“Terus iki mbayar pira Tun?”.

(Terus ini biayanya berapa Tun?). Tanya Mbah Gotro kini kepada Mbok Tun.

“Mboten sah Mbah, mbotene purun, niki pun dibetani Gula, kopi kalih teh kok, amargi panci purune mung nampa kados niku”.

(Tidak usah Mbah, tidak akan mau, ini sudah saya-
-bawakan, Gula, Kopi sama teh kok, karena memang maunya hanya menerima yang seperti itu). Jawab Mbok Tun disela oleh Pak Lurah.

“Nggih Mbah, rada langka pancen, njuk niku pun tak gawani kopi, teh kalih gulo 10 kilo”.

(Iya Mbah, agak langka memang, terus itu sudah saya--
--bawakan kopi, teh dan gula 10 kilo). Sela Sang Lurah saat itu.

Perjalanan pun terus berlanjut, menuju ke wilayah pinggiran kota paling utara, menembus kabut, melewati lintasan yang berkelok serta melalui jalan yang menanjak, sampai akhirnya, setelah berpuluh menit berlalu,--
--tibalah mereka di tempat yang dituju.

Jalan yang mulai berbatu, adalah penanda bahwa mereka sudah memasuki wilayah Desa Sapu Angin, yang mana tentu membuat dua mobil iringan itu, kini menurunkan kecepatannya.
Sampai akhirnya tak selang beberapa lama kemudian mereka memasuki desa itu..

“Omahe sing sebelah ndi Mbok?”.
(Rumahnya yang sebelah mana Mbok?). Tanya Pak Lurah kepada Mbok Tun.

“Nika Pak griyanipun, sing sek enten tiyang ting ngajeng”.

(Itu Pak rumahnya, yang sedang ada-
-orangnya di depan). Jawab Mbok Tun, 10 meter sebelum mereka sampai di rumah itu.

Terlihat, seorang pria tua tengah duduk di depan sebuah rumah yang sederhana, menyambut dari kejauhan dengan senyum dan lambaian tangan, seakan ia tahu begitu saja, kalau dua mobil yang-- Image
--sedang berjalan itu, hendak menuju ke rumahnya.

“Pakde Untung..”. Sapa Mbok Tun yang baru turun dari mobil.

“Rene Tun.., Monggo sami pinarak”.

(Kesini Tun... Monggo semuanya masuk). Ucap Mbah Untung mempersilahkan, seraya mendekat dan menyalami rombongan itu satu per satu.
“Wah, maturnuwun lho, pun tebih-tebih dugi mriki, monggo, sami mlebet wonten gubuk kulo niki”.

(Terimakasih lho, sudah jauh-jauh sampai sini, monggo silahkan masuk ke gubuk saya ini). Ucap Mbah Untung lagi kepada rombongan itu.
“Njih Mas..”. Tanggap Mbah Gotro dengan senyum.

Dan beberapa saat kemudian, Mbok Tun, Lurah Pawiro, Bu Sundari, Mbah Gotro, dan para kadus-kadus Mekar Sari itu pun mulai melangkah masuk kedalam rumah Mbah Untung itu.
“Pripun? Wonten menopo niki, kok ngantos purun tebih-tebih dugi mriki..”.

(Bagaimana? Ada apa ini, kok sampai mau jauh-jauh datang kesini..). Ucap Mbah Untung.

Mendengar itu, Pak Lurah dan rombongan hanya saling pandang dengan senyum-senyum tipis, mereka sepertinya masih--
--canggung, dan mendadak bingung, dari mana harus memulai kata-kata untuk menjelaskan tujuan kedatangan mereka ini, Hingga beberapa saat kemudian, akhirnya Mbok Tun lah yang mencoba mengawali itu.
“Ngene lho Pakde”.

(Begini lho Pakde..). Ucap Mbok Tun memecah kecanggungan di rumah Mbah Untung itu, yang mana tak lama setelah Mbok Tun sedikit bercerita, semua orang pun juga mulai ikut berbicara satu per satu, hingga semuanya menjadi jelas.
Mbah Untung tampak sedikit menghela nafasnya, setelah mendengar penjelasan itu, ia terlihat mengkerutkan alisnya, seakan tengah menerawang, & tak selang beberapa lama kemudian, ia pun beranjak dari kursinya & berjalan masuk ke dlm untuk mengambil sesuatu. karyakarsa.com/AgilRSapoetra/…
“Kerien sekedap”.

(Tunggu sebentar ya..). Kata Mbah Untung seraya berjalan.

Sampai akhirnya beberapa saat kemudian, ia pun kembali keluar dengan membawa sebuah “Kendi air minum”.

“Nuwun sewu nggih, nek radi kirang sopan”.

(Mohon maaf ya, kalau agak tidak sopan). Kata Mbah-
-Untung yang meminta izin karena hendak menuangkan air kendi itu langsung ke mulut mereka satu per satu.

Singkat cerita, semua orang pun meminum air dalam kendi itu, bersamaan dengan Mbah Untung yang kini meminta mereka semua untuk bersiap-siap.
“Siap-siap nggih, wong niki mesti mboten sekeco”.

(Siap-siap ya, karena ini pasti tidak akan enak). Kata Mbah Untung kepada sembilan orang itu, seraya memberikan masing-masing dari mereka, sebuah kantong plastik. Yg mana tak lama setelah itu, kecuali Mbok Tun, satu persatu--
-- dari mereka pun, mulai merasa mual dan muntah-muntah.

Mereka memuntahkan sesuatu yang kurang lebih sama, yaitu lendir-lendir kekuningan yang berbintik merah, tapi ternyata tidak bagi Bu Sundari, yang kini justru terlihat sesak karena yang keluar dari mulutnya itu berbeda--
--dari yang lain, yang mana setelah diperiksa, apa yang dimuntahkannya adalah beberapa gumpalan-gumpalan yang berwarna cokelat.

“Niki lemah kuburane niku”.
(Ini adalah tanah kuburan itu..). Kata Mbah Untung kepada Bu Sundari yang kini terlihat sudah berkuyup dengan peluh dan--
--merasa cukup tercengang ketika tahu apa yang dimuntahkannya itu adalah gumpalan-gumpalan tanah.

“Siji-sijine tiyang sing wonten mriki, namung njenengan Bu, ingkang sampun kelebon teluh, nanging mboten popo, insyAllah, jenengan bar niki mesti ngroso luwih sekeco”.-
-(Diantara semuanya, hanya panjenengan Bu, yang sudah berhasil dimasuki teluh, tapi tidak apa-apa, insyAllah, setelah ini, panjenengan akan merasa lebih baikan). Ungkap Mbah Untung setelah itu.
“Terus, nopo sing kedah kito tindakke, Kang, bar niki?”.

(Terus apa yang harus kita lakukan setelah ini Kang?). Tanya Mbah Gotro kini.

“O Nggih, Pokokke, griya-griyane panjenengan kedah kulo resiki”.

(Oh iya, Pokoknya rumah-rumah panjenengan tetap harus saya bersihkan). Kata-
-Mbah Untung saat itu.

“Terus kapan niku Mbah?”.

(Terus kapan itu akan dilakukan Mbah?). Tanya Lurah Pawiro kini.

“Sakjane ngoten nggih kedah sakcepete, ning dingapunten, menawi cedak-cedak dina niki, kulo dereng saget, amargi saweg wonten lelaku sing kedah kulo rampungke,-
-tapi tenang mawon, mangkih nek pun lega, kulo mesti bakal sowan wonten griya-griyane panjenengan sedaya, terus sementara niki, panjenengan kula paringi cekelan rien, damel jaga-jaga.

(Harusnya sih secepatnya, tapi mohon maaf, kalau dlm waktu dekat ini, saya terus terang belum-
-bisa, karena sedang ada sesuatu yg harus saya selesaikan terlebih dahulu, tapi tenang saja, saya janji kalau sudah selesai, saya pasti akan sowan kerumah panjenengan semua, dan untuk sementara ini, mungkin panjenengan-panjenengan akan saya kasih ‘pegangan’ dahulu, untuk-
-sedikit berjaga-jaga). Kata Mbah Untung yang kembali beranjak untuk mengambil sesuatu di dalam kamarnya.

Dan selang beberapa saat kemudian,

Mbah Untung pun kembali keluar, membawakan sesuatu untuk orang-orang itu, berupa kotak-kotak kecil yang dibungkus dengan kain hitam,-
-dan dibagikan kepada mereka tanpa terkecuali.

“Niki teko gembol mawon, terus nek tilem, ampun supe, niki diparingke wonten ngisor bantal”.

(Ini dibawa saja, di kantongi, tapi kalau mau tidur, jangan lupa, di bawah bantal). Tukas Mbah Untung yang disambut oleh mereka semua-
-dengan anggukan kepala.

“Eh setunggal malih pesen kula, menawi panjenengan nemu lemah kados niku malih, di sapu mawon terus di guyangi banyu dengan ijo”.

(Eh..satu lagi pesan saya, kalau nanti panjenengan menemukan ceceran tanah seperti itu lagi, di sapu saja, dan pel-
-dengan air kelapa hijau). Tutup Mbah Untung pagi itu.

Wajah mereka pun sudah sedikit lega, walau sampai mereka semua berpamitan, Mbah Untung tidak benar-benar memberitahu siapa orang yang telah melakukan itu, namun tentu itu bukanlah masalah bagi mereka, karena dugaan kuat,-
-sudah tertuju kepada pihak Juragan Wiryo. Lagi pula, motif apa lagi yang bisa dijadikan alasan saat ini kalau bukan tentang Pilkades mendatang.

“Wah awakku iso dadi penak ngene yo Pak”.

(Wah badanku kok jadi enakan gini ya Pak). Kata Bu Sundari kepada Pak Lurah saat mereka-
-dalam perjalanan pulang.

“Alhamdulilah to Bune, berarti tetombone diparingi jodo”.

(Alhamdulillah to Bune, berarti kamu berjodoh dengan pengobatan itu). Jawab Lurah Pawiro yang disusul oleh Mbah Gotro.
“Ho’o, koyone cen sekti tenan pakdemu kui Tun, wonge yo sopan, sederhana, ramah lan apik, ra gelem di wenehi duit”.

(Iya, dan sepertinya Pakdemu itu memang benar-benar sakti Tun, orangnya juga sopan, ramah dan baik, tidak mau dikasih uang pula). Kata Mbah Gotro kepada Mbok Tun-
-yang duduk disebelahnya.

“Leres Mbah, panci kados ngoten niku tiange, mboten tau purun disukani arta saking tiang sing nyuwun tulung mrika, jarene wegah nek tuone dadi lara-laranen”.

(Benar Mbah, memang orang nya seperti itu, tidak pernah mau menerima uang dari orang-orang-
-yang ia tolong, katanya tidak mau kalau masa tuanya menjadi sakit-sakitan). Jawab Mbok Tun membuat Mbah Gotro bertanya.

“Lara-laranen piye maksute?”.
(Sakit-sakitan bagaimana maksutnya?). Tanya Mbah Gotro.

“Nek jarene Pakde kula niku, ‘Wong-wong pinter’ sing gelem nampani-
-duit, biasane tuwane bakal lara-laranen, percoyo mboten percoyo nggih kebukti, Deknen ngantos sepriki jarang gerah”.

(Kalau kata Pakde saya itu, ‘orang pintar’ (dukun) yang mau menerima uang dari pasiennya, biasanya rata-rata dimasa tuannya bakal sakit-sakitan, percaya tidak-
-percaya sih, tapi menurut saya itu cukup terbukti, dengan dia yang sampai umur segini masih bugar dan jarang sakit). Jelas Mbok Tun atas pertanyaan dari Mbah Gotro.

“Oh ngono, yo bener juga sih, pancen nek tak delok, Pakdemu karo aku, umure paling mung kacek 3-5 tahunan-
-sak ngisorku”.

(Oh begitu, ya cukup benar juga sih, dan kalau saya lihat sepertinya umur antara saya dan dia, hanya selisih 3 sampai 5 tahunan). Di bawah saya, Tanggap Mbah Gotro dalam perjalanan itu.
Singkat waktu, setelah melewati perjalanan yang sebenranya tak begitu jauh itu, akhirnya sampailah juga para rombongan mobil itu di Mekar Sari, lebih tepatnya di depan rumah Sang Lurah, yang mana beberapa saat setelah mereka turun, dan sebelum semua beranjak pulang, Lurah-
-Pawiro pun meminta Mbah Gotro dan para Kadus-kadusnya itu, untuk masuk terlebih dahulu ke rumahnya. Karena sepertinya ada sedikit hal yang ingin beliau pesankan.

(Cont) karyakarsa.com/AgilRSapoetra/…
“Tulung domongke ning uwong-uwong, nek Mengko bengi awak dewe rasah kumpul-kumpul sek yo”.

(Tolong kabarkan kepada orang-orang ya.. Kalau nanti malam kita tidak usah kumpul-kumpul dulu). Kata Lurah Pawiro kepada mereka. Yang mana beberapa saat sesudah itu, dan setelah sedikit-
-perbincangan, mereka semua pun berpamitan dan beranjak pulang kerumahnya masing-masing.

Singkat cerita, Detik pun berganti menit dan berubah menjadi jam, seiring dengan sinar mentari yang kini sudah tenggelam dan diganti oleh cahaya bulan yang kebetulan tengah purnama.
Petang itu, untuk kali pertama, suasana desa Mekar Sari ini tak seperti biasanya, karena sudah sejak magrib hingga sekarang sekira pukul 23.00, seakan tak ada lalu-lalang orang yang keluar dari rumahnya, semua itu disebabkan oleh kabar Pocong Terbang dirumah Pak Lurah kemarin-
-malam dan warta tentang ceceran tanah kuburan dirumah para kadus pagi tadi, yang mana ternyata itu juga sudah tersebar di seluruh desa.

Sementara itu di dusun Mekar Kulon, tepatnya dirumah Pak Kadus Tunggul, terlihat ‘Jayus’ yang tengah duduk dikursi teras, Seraya menyesap-
-kopi dan menghisap rokok kreteknya, anak Pak Tunggul itu tampak duduk dengan menekuk wajahnya, wajahnya tampak kesal dan marah, karena pikirannya yang tak juga beralih kepada hal lain.
“Asu!!Asu!!”. Batinnya saat mengingat kejadian pagi tadi, yaitu ketika dirinya menemukan nisan kayu bertuliskan nama ayahnya dan ceceran tanah di lantai teras rumahnya itu.

Sedikit banyak, Jayus merasa bersalah, dan itu tidak bisa ia hindari juga, karena walaupun secara tidak-
-langsung, bagi Jayus, ia merasa bahwa dirinya adalah salah satu penyebab dari kekacauan Pilkades ini.

Tapi kadang rasa bersalah itu hilang, ketika ia mengingat hantaman-hantaman tangan dan satu pukulan gelas kaca dikepalanya tempo hari, yang terjadi di sebuah warung kopi-
-dekat rumahnya itu.

“Luweh rangurus diunekke Pengkhianat!!”.

(Persetan dibilang pengkhianat!!). Ucapnya pelan, saat mengingat teriakan-teriakan dari orang yang mengroyoknya di kedai kopi waktu itu, yang mana ingatan itu, membuat kemarahannya semakin membekas. Apa lagi-
-ditambah dengan kayu nisan dan tanah kuburan yang ia temukan tadi pagi, yang mana itu kini membuat kemarahannya menjadi belipat ganda.

Entah kekalutan apa yang merasukinya saat itu, yang jelas sudah ia rencanakan sejak pagi, bahwa ia berencana akan menangkap basah siapapun-
-orang yang menyebarkan tanah kuburan di depan rumahnya itu.

“Pokoke nek nganti kecekel, iso tak kethok sikile tenan, ra peduli sopo wae!!”.

(Pokoknya, kalau sampai tertangkap, bisa-bisa saya potong kakinya, tidak peduli siapapun itu!!). Kata Jayus dengan sedikit membisik-
-ditengah renungan di teras depan rumahnya itu.

Sampai akhirnya lamunannya pun terpecah beberapa saat kemudian, oleh panggilan dari sang ibu, yang memintanya untuk masuk kedalam rumahnya.
“Mlebu Le!! Wes bengi, turu, sesuk kowe kudu ning kebonan gasik lho!!”.

(Nak!!! Masuk, sudah malam, tidurlah, besok kamu harus pergi ke kebun pag-pagi lho!!). Kata ibunya, yang seketika membuatnya beranjak.
“Yo mak!!

(Iya buk!!). Kata anak Pak Tunggul itu, seraya berjalan dan masuk kerumahnya. Rupanya ia masih gelisah, menengok kekanan dan ke kiri, sampai akhirnya.
“Ah saya tunggu saja disini”. Batin Jayus yang saat itu yang kini memilih untuk tidur di ruang tamunya, agar ia bisa tetap pada rencananya untuk menangkap siapa yang telah menebar tanah makam itu.
Bantal, sarung dan guling sudah ia ambil dari kamarnya, kini ia merebah di ‘Kursi Sudut’ di ruang tamunya itu, Seraya menahan kantuknya ia pun menyamankan posisinya sambil sesekali menatap ke arah jendela. Tapi tak bisa ia pungkiri juga, bahwa sebenarnya dirinya ini lelah,-
-setelah seharian berkerja dikebun. Yang mana, bagaimana pun caranya ia menahan kantuknya, pada akhirnya rasa letihnya membuat dirinya tertidur tanpa sengaja.

Sampai akhirnya.
Malam itu, sekira pukul 01.30, Jayus kembali terbangunkan oleh sesuatu yg menghantam pintu rumahnya.
“Gludak..Gludak!!”. Suaranya tak begitu keras, namun itu cukup untuk membuat Jayus yang ketiduran itu kini langsung terbangun.

“Set!!!”. Mata Jayus seketika membelalak setelah mendengar suara itu, ia yang menoleh ke arah pintu pun bergegas bangkit dan mengendap dengan pelan.
Seraya meraih ‘Combret’ yang memang sudah ia siapkan di bawah kursi, Jayus berjalan mendekat ke arah jendela rumahnya.

Dengan pelan ia singkapkan sedikit tirainya, seukuran satu bola matanya, dan dari situlah Jayus mengintip dan mengamati suasana di luar rumahnya, tak ada-
-yang ia lihat selain kegelapan dan sudut tembok gapura beteng rumahnya yang terkena sinar temaram dari lampu jalan.

“Opo yo mau kae!? Mosok aku salah krungu”.

(Apa ya tadi itu!? Masa’ saya salah dengar). Bisiknya seraya menyingkap tirai jendelanya itu sedikit lebih lebar.
Sebenarnya ia ingin keluar saat itu, namun pada kenyataannya, kemarahan-kemarahan yang sudah ia kumpulkan itu, tidak memberinya cukup keberanian untuk sekedar membuka pintu dan sekejap memeriksa keluar.

Yang ada kini malah tengkuknya yang mulai bergidik.
“Asuuu..asu...”. Bisiknya yang masih mencoba bertahan mencermati setiap bagian luar rumahnya dari balik singkapan tirai itu.

Tapi keputusannya untuk tidak keluar ternyata ada benarnya juga, karena beberapa saat setelah itu, tubuhnya dibuat kaku, oleh sesuatu yg berdiri di-
-pekarangan rumahnya.

“Allahuakbar!!”. Ucapnya membisik dalam kekakuan itu, melihat sosok bungkusan putih yang entah dari mana datangnya, tiba-tiba saja muncul begitu saja dan berdiri di atas tanah pekarangan depan rumahnya.
Dari balik jendela, mata Jayus tak bisa berkedip, seakan terhipnotis untuk terus menatap sosok berupa ‘Pocong itu’, begitu juga dengan satu tangannya yang sedari tadi menyingkap tirai jendela rumahnya itu, kini malah semakin kencang meremas singkapan itu. Image
Suasana pun semakin kacau, ketika sosok Pocong itu, kini mulai terbang rendah melandai, mendekatinya, seperti tahu kalau ada orang yang tengah mengintai dari balik jendela.
Bersamaan dengan itu, Bau anyir darah bercampur bangkai, seakan menembus kaca dan mulai menusuk penciuman si Jayus, tapi lagi-lagi hal itu tak serta merta membuat tubuhnya yang kaku, bisa berlari menjauh. karyakarsa.com/AgilRSapoetra/…
Sampai akhirnya sosok itu kini berhenti dan berdiri satu langkah di depan matanya, walau itu masih tersekat kaca jendela, namun rupa wajahnya terlihat sangat jelas di mata si Jayus. Image
“Allahuakbar...Allahuakbar..Bismilah..”. Ucap Jayus dengan lidahnya yang kelu dan tubuhnya yang semakin gemetar.

Sampai akhirnya dengan sisa-sisa keberaniannya, Ia pun mulai membaca doa yang saat itu terlintas di pikirannya, yg mana, itu seperti memberinya sedikit kekuatan
Hingga tak lama setelah itu, perlahan, Jayus pun bisa melangkah mundur meski dengan matanya yang belum bisa berpaling ke arah lain. Dan bersamaan dengan itu, keanehan pun bertambah, ketika singkapan tirai yang sudah terlepas dari jemarinya, tak juga menutup seperti seharusnya.
Dan benar saja, karena beberapa detik setelah ia kehilangan jangkauan, kini secara tiba-tiba wajah dari Pocong itu, sudah berada memenuhi celah diantara singkapan tirainya. Image
Seketika Jayus pun limbung, terhuyung mundur, bersamaan dengan suara ‘Combret’ yang ia genggam, kini terjatuh dilantai rumahnya.

“Klontang!!!”.

“Mmmmaaaakkkkk!!!”.
(Ibu!!!!!). Kata Jayus yang perlahan penglihatannya semakin memudar dan kian gelap, yang mana pada akhirnya, malam itu, dirinya yang sudah diambang batas pun, terjatuh dan terkulai di lantai ruang tamunya itu, Jayus tak sadarkan diri. karyakarsa.com/AgilRSapoetra/…
Lemah Kuburan Bab 3, selesai di sini, terimakasih sudah mengikuti sampai bagian ini, sampai jumpa di bagian selanjutnya 🙏

Buat yang ingin buru-buru tahu lanjutannya, bisa langsung ke karyakarsa ya.

Bab 4. karyakarsa.com/AgilRSapoetra/…
Bab 5. karyakarsa.com/AgilRSapoetra/…

• • •

Missing some Tweet in this thread? You can try to force a refresh
 

Keep Current with gil

gil Profile picture

Stay in touch and get notified when new unrolls are available from this author!

Read all threads

This Thread may be Removed Anytime!

PDF

Twitter may remove this content at anytime! Save it as PDF for later use!

Try unrolling a thread yourself!

how to unroll video
  1. Follow @ThreadReaderApp to mention us!

  2. From a Twitter thread mention us with a keyword "unroll"
@threadreaderapp unroll

Practice here first or read more on our help page!

More from @AgilRSapoetra

Jan 24
POCONG DARMO (Bab 4)

Mbah Darmo yang meninggal, bangkit meneror, mengetuk, merintih dan menangis, mengelilingi dusun Morotunggo @bacahorror @IDN_Horor @menghorror Image
“POCONG” – Mbah Darmo (Bab 4).

Sebelumnya.. (Bab 3).

Semua orang kini berada di halaman depan, yg beberapa saat kemudian, menyelip di antara bau busuk dan kegaduhan itu, suara tangisan yg cukup keras dan jelas, layaknya orang yang tengah merintih-

karyakarsa.com/AgilRSapoetra/…
Read 50 tweets
Jan 17
POCONG DARMO (Bab 3)

Mbah Darmo yang meninggal, bangkit meneror, mengetuk, merintih dan menangis, mengelilingi dusun Morotunggo

@menghorror @bacahorror @IDN_Horor Image
1. x.com/AgilRSapoetra/…
2. x.com/AgilRSapoetra/…

Mas Panggah dipapah ke atas ranjang, setelah itu istrinya pun keluar, mengunci pintu depan dan mengambil air putih yang segera diberikan kepada Mas Panggah yang kini tampak ling-lung. Kejadian itu terasa seperti mimpi,-
-kedatangan pocong yang ia duga adalah Mbah Darmo di malam ini, lebih ‘Keterlaluan’ dari pada malam-malam sebelumnya. (Sebelumnya bab 2).

*******

POCONG DARMO (Bab 3).

Pagi harinya..

Istri Mas Panggah terbangun dan segera mendapati--
karyakarsa.com/AgilRSapoetra/…
Read 72 tweets
Jan 10
POCONG DARMO (Bab 2)

Mbah Darmo yang meninggal, bangkit meneror, mengetuk, merintih dan menangis, mengelilingi dusun Morotunggo

@menghorror @bacahorror @IDN_Horor
karyakarsa.com/AgilRSapoetra/…Image
Bab 1.

“POCONG DARMO” – (Bab 2).

4 hari berselang, berarti sudah 6 hari sepeninggal Mbah Darmo, suasana dusun Morotunggo ini pun menjadi mencekam, skala teror pocong yg diduga adalah almarhum Mbah Darmo itu kini meluas, merambah ke rumah2 warga.
Terhitung sampai hari ini tak ada yg tahu apa penyebab dari teror itu, Pak Faruq yg tempo hari juga sempat mengecek riwayat mendiang pun menemui jalan buntu, karena catatan keluarga Mbah Darmo diketahui sudah ikut hilang dalam peristiwa kebakaran kantor desa itu 10thn lalu.
Read 69 tweets
Jan 3
POCONG DARMO (Bab 1)

Mbah Darmo yang meninggal, bangkit meneror, mengetuk, merintih dan menangis, mengelilingi dusun..

@menghorror @bacahorror @IDN_Horor Image
Jawa Tengah 1998,

Minggu terakhir di bulan mei, hampir bersamaan dengan berakhirnya pemerintahan orde baru kala itu, ada kisah tak lazim yg berlaku di sebuah dusun kecil, sebut saja Dusun ‘Morotunggo’.

karyakarsa.com/AgilRSapoetra/…
Semua berawal dari meninggalnya seseorang di dusun itu, yakni ‘Mbah Darmo’.

Ia meninggal karena penyakit TBC, cukup wajar, lagi pula umur beliau juga sudah cukup tua. Hanya saja, ada satu fakta yg menyedihkan, yakni Mbah Darmo yg meninggal dalam kesendirian, ia tak mempunyai-
Read 72 tweets
Jun 25, 2024
[HORROR STORY]

PENGHUNI LAMA

~ Jiwa-jiwa yang tertinggal ~

[A THREAD]

#bacahorror #menghorror #IDN_Horror @bacahorror @menghorror @IDN_Horor Image
Temanggung, Jawa Tengah 2007,

Malam itu, Bau asap rokok menyelinap masuk ke kamar Tari, menusuk kuat hingga membangunkannya.

Tari pun melihat kearah jam di dinding kamarnya yg menunjukkan pukul 00.30.

"Oh Mas Doni sudah pulang". Batin Tari yg menyadari bahwa bau rokok ini ada-
-lah Mas Doni (Suaminya) yg sudah pulang dari bekerja & sekarang tengah merokok di ruang tamu.

Dengan kantuknya Tari pun beranjak keluar dari kamarnya, untuk membuatkan kopi bakal sang suamui

"Mas,sudah pulang?". Ucapnya-
Read 204 tweets
Jun 17, 2024
[HORROR STORY]

PASAR SETAN ~ Alas Randu

[A THREAD]

@bacahorror @IDN_Horor @menghorror #bacahorror #menghorror #IDNhoror Image
Hi.. Lama bgt gak bikin thread ya.. :)

Kali ini saya akan menceritakan sebuah pengalaman ganjil sekaligus ngeri dari seorang kerabat, yg bersaksi bahwa ia pernah tersesat di 'Pasar Setan', cerita ini terjadi sudah cukup lampau, yakni kisaran tahun 1994-95, tapi bagi nara-
-sumber, setiap detilnya masih membekas, bahkan menyisakan trauma yg cukup dalam.

*****

Jawa Tengah kisaran tahun 1994-95,

Pada suatu sore..

"Mbok dikirim besok pagi saja to Le". Kata seorang ibu kepada anaknya yg sedang menali 3 ekor kambing di atas mobil baknya. Image
Read 68 tweets

Did Thread Reader help you today?

Support us! We are indie developers!


This site is made by just two indie developers on a laptop doing marketing, support and development! Read more about the story.

Become a Premium Member ($3/month or $30/year) and get exclusive features!

Become Premium

Don't want to be a Premium member but still want to support us?

Make a small donation by buying us coffee ($5) or help with server cost ($10)

Donate via Paypal

Or Donate anonymously using crypto!

Ethereum

0xfe58350B80634f60Fa6Dc149a72b4DFbc17D341E copy

Bitcoin

3ATGMxNzCUFzxpMCHL5sWSt4DVtS8UqXpi copy

Thank you for your support!

Follow Us!

:(