Di salah satu sesi belajar #BahasaArab bareng anak-anak, saya pernah membahas kalimat "lahaa maa kasabat wa'alaihaa maktasabat". Kalimat itu ada di dalam Al-Qur'an surat Al-Baqarah ayat 286. Kalimat itu pernah saya bahas di utas lain, tapi ternyata pembahasan saya belum utuh.
🧵
Kalimat itu terbilang pendek karena bagian pertama, "lahaa maa kasabat", dan bagian kedua, "'alaihaa maktasabat", memiliki bentuk yang mirip. Perbedaannya ada di partikel dan bentuk kata kerja, tapi maknanya jauh berbeda. Hal itu yang kalimat itu begitu indah.
Kita mulai.
"maa kasabat" terbagi menjadi 2 kata, yaitu "maa" dan "kasabat". "maktasabat" juga terbagi menjadi 2 kata, yaitu "maa" dan "iktasabat". "maa" di keduanya berarti "apa". Tidak ada perbedaan di antara kedua bagian untuk kata "maa".
Selanjutnya soal kata kerja. "iktasabat" adalah salah satu konjugasi dari "kasabat". Bentuk konjugasinya dikenal dengan Bentuk 8 yang bermakna pasif. Jadi, "kasabat" bermakna "mendapatkan sesuatu lewat usaha", "iktasabat" bermakna "memperoleh sesuatu tanpa usaha".
Kenapa "kasabat" akhirnya identik dengan kebaikan? Karena setiap orang berusaha untuk mendapatkan yang baik. Kenapa "iktasabat" identik dengan keburukan? Karena hasil yang buruk biasanya berupa efek samping, bukan diusahakan. Jadi, hasil yang buruk datang dari "usaha" yang pasif.
Berhubung "maa kasabat" itu bermakna positif, padanannya adalah "lahaa". Partikel "la" (arti: untuk) biasa dipakai untuk pemberian yang baik. Itu alasannya kenapa "lahaa maa kasabat" dapat diterjemahkan ke "baginya apa (pahala) yang diusahakannya".
Sebaliknya, "maktasabat" justru bermakna negatif. Padanannya adalah "'alaihaa". Partikel "'alaa" (arti: atas) biasa dipakai untuk pemberian yang buruk. Itu alasannya kenapa "'alaihaa maktasabat" dapat diterjemahkan ke "atasnya apa (hukuman) yang diperbuatnya".
Kalimat yang begitu sederhana, "lahaa maa kasabat wa 'alaihaa maktasabat", ternyata memiliki makna yang mendalam. Isinya hanya partikel "la", "'alaa", kata ganti "haa", dan 2 varian kata kerja "kasabat". Strukturnya begitu sederhana, tapi maknanya luar biasa.
Kesederhanaan pada "lahaa maa kasabat wa 'alaiha maktasabat" itu menjadi bukti keindahan syair dalam Al-Qur'an. Singkat dan berirama, tapi maknanya jauh lebih dalam dari sekadar puisi. Kombinasi itu yang membuat Al-Qur'an begitu berkesan bagi pembacanya, termasuk saya. 🙏
• • •
Missing some Tweet in this thread? You can try to
force a refresh
Seminggu terakhir ini, saya memulai rutinitas baru dalam belajar #BahasaArab. Dasarnya sama: sedikit-sedikit, tapi sering. Untuk rutinitas yang ini, saya tambahkan sedikit "diversifikasi" agar rutinitas belajar tidak monoton.
🧵
Pertama, 5 menit bersama DuoCards. Aplikasi flash card yang satu ini fokus pada bahasa. Saya biasa menambahkan kata-kata sulit dalam Al-Qur'an beserta artinya ke dalam aplikasi ini. Setiap pagi, saya latih kembali ingatan saya. Kosakata Al-Qur'an saya perlahan bertambah.
Kedua, 5 menit bersama Duolingo. Belajar Bahasa Inggris dari Bahasa Arab di Duolingo membantu memperluas kosakata Bahasa Arab saya. Kesannya belajar Bahasa Inggris, padahal saya sedang belajar Bahasa Arab. Pemahaman terhadap tata bahasa juga terbantu, tapi tidak banyak.
Konjugasi, yaitu perubahan bentuk kata, adalah hal yang sulit sekaligus menarik dalam sebuah bahasa. Setahu saya, konjugasi ini tidak ada atau hanya ada sedikit di dalam Bahasa Indonesia. Dalam Bahasa Arab dan Bahasa Jepang, konjugasi adalah salah satu pengetahuan dasar.
Kita ambil contoh konjugasi karena waktu, ya. Dalam Bahasa Indonesia, kalimat "saya sudah minum" dan "saya minum" memiliki informasi waktu yang berbeda. Kata "sudah" menegaskan bahwa sesuatu terjadi di masa lampau. Akan tetapi, kata "minum" di dua kalimat itu tidak berubah.
Dalam Bahasa Jepang, "saya sudah minum" berarti 私を飲みました (watashi wo nomimashita) dan "saya minum" berarti 私を飲みます (watashi wo nomimasu). Kata "minum" diartikan "nomimashita" dan "nomimasu". Perubahan di akhiran "mashita" dan "masu" menunjukkan perbedaan waktu.
Beberapa hari yang lalu, saya menjual mobil di Carsome. Inspeksinya sederhana dan mudah. Antriannya saja agak panjang. Negosiasinya agak alot karena harga yang saya minta juga tinggi. Pada akhirnya deal dengan harga terbaik dibandingkan beberapa penawaran lain.
Sebuah utas. 🧵
Saya mampir ke dealer yang terima trade-in. Di sana, saya ditemui pihak ketiga yang mau membeli mobil saya. Inspeksi mobil dilakukan di tempat. Harga beli juga ditentukan di tempat. Berhubung penawarannya masih jauh dari harapan, saya minta transaksi ditunda.
Perhentian selanjutnya adalah Carro. Setelah janjian untuk inspeksi, saya datang ke kantor mereka. Inspeksinya lebih teliti dari rekan dealer sebelumnya, tapi harga penawarannya jauh lebih rendah, yaitu hanya 2/3 dari harga yang ditawarkan rekan dealer. Benar-benar rendah.
Minggu lalu saya membuat tulisan singkat bahwa dalam parenting, orang tua juga perlu memperhatikan perasaan dan kebutuhannya sendiri. Hal itu bisa dilakukan. Jadi, perasaan dan kebutuhan anak dan orang tua diusahakan agar berjalan beriringan.
Hari ini, saya mendapat kesempatan untuk mempraktikkan (lagi) apa yang saya tulis pekan lalu. Hari ini, setelah sekian banyak isu dengan anak-anak, saya meminta waktu mereka untuk mendengarkan uneg-uneg saya. Ya, saya curhat tentang anak-anak saya langsung ke anak-anak saya.
Saya mulai dengan menjelaskan kepada anak-anak saya bahwa setiap isu di dalam keluarga juga memiliki dampak buruk untuk saya sendiri. Saat saya menegur mereka, bukan hanya mereka yang merasa tidak nyaman, saya juga sama. Bukan hanya mereka yang sakit hati, saya juga.
Parenting umumnya fokus pada kebutuhan, perasaan, bakat, dan minat anak. Hal itu memberi kesan kalau orang tua tidak perlu diperhatikan. Pengamatan dan pengalaman saya justru melihat hasil parenting akan lebih optimal kalau setiap orang, yaitu anak dan orang tua, diperhatikan.
Contoh ketimpangannya banyak. Pertama, saat anak sedih, simpati dan empati berdatangan, tapi saat orang tua sedih, responnya hanya "Sabar, ya." Kedua, upaya ekstra diberikan untuk mengembangkan bakat/minat anak, tapi untuk minat orang tua, tidak usah repot-repot.
Ketimpangan itu memang wajar karena orang tua memang perlu berkorban demi anaknya. Akan tetapi, bayangkan kalau orang tua yang sedih juga mendapatkan simpati atau empati. Bayangkan kalau minat orang tua juga diperhatikan, lalu diselaraskan dengan minat anaknya. Keren, kan?
Satu hal yang membuat story points sulit diterapkan di pemerintahan adalah kebiasaan estimasi menggunakan waktu. Sebuah tim yang menerapkan Agile bisa saja menggunakan story points, tapi tim itu akan kesulitan menjelaskan hasil estimasi itu ke atasan mereka. Atasan mereka ...
... terbiasa melakukan estimasi berdasarkan waktu, bukan besarnya upaya atau metrik lainnya.
Kalau begitu, kenapa tidak dijelaskan saja maksud story points itu kepada atasan mereka? Bisa saja, tapi atasan mereka akan mengalami kesulitan yang sama dengan atasannya sendiri. Masalah itu akan terus terjadi ...