kalong Profile picture
Mar 12, 2023 216 tweets >60 min read Read on X
Cepat Yadi melangkah mendekati pintu. Belum sempat dirinya mengetuk ataupun memanggil, dari arah dalam terdengar suara langkah serta suara pintu di buka. Seraut wajah tua milik Mbah Jalil, langsung menghias di depan pintu, menyambut Yadi.
Namun, dari sorot mata tua Mbah Jalil, Yadi dapat menangkap satu kecemasan dan ketakutan yang teramat luar biasa.

"Sanggra Renjani!" seru Mbah Jalil.
Yadi sendiri sedikit bingung mendengar ucapan Mbah Jalil yang menyebut sebuah nama.
Namun akhirnya, Yadi tersadar, mengerti, bila nama yang di seru dan membuat wajah Mbah Jalil memucat, adalah sosok wanita berkebaya merah di belakangnya.

"Kamu sudah mengundang bencana besar, Nak Yad! Akan banyak nyawa melayang, jika seperti ini kejadiannya!” seru Mbah Jalil.
Kali ini, suara Mbah Jalil sangat jelas terdengar di telinga Yadi. Menyiratkan satu ke khawatiran dan ketakutan. Tapi Yadi sendiri, ia yang belum mengerti dengan apa yang di maksud Mbah Jalil hanya terdiam.
Yadi kemudian melangkah masuk, setelah menangkap satu isyarat dari Mbah Jalil. Mengikuti langkah lelaki tua itu menuju sebuah kamar. Akan tetapi, sesampainya Yadi di depan pintu, ia tak langsung masuk ke dalam.
Dirinya sejenak tertegun, menatap dua sosok yang terbaring di atas ranjang, bertutup selimut.

“Kamu sudah merasa menyelamatkan Giyah dan Istrimu. Tapi satu yang tidak kami mengerti!”
Lagi-lagi, masih dengan suara bergetar, Mbah Jalil berseru sembari menunjuk salah satu di antara dua sosok yang terbaring, Giyah.

"Aku sudah siap, Mbah. Jadi ganti Kakakku Giyah dan Istriku,” sahut Yadi pelan.
"Tidak cuma nyawamu, tidak cuma satu dua nyawa yang akan jadi gantinya. Kamu juga sudah tau kan, siapa yang mengikuti? Kamu juga sudah paham, tau, ada apa di rumah Sukirman?” ujar Mbah Jalil yang spontan membuat Yadi tertunduk.
"Pulanglah, lihat Istrimu. Tapi jangan kaget, jika kamu sudah tak bisa menyentuh secara bathin lagi. Sebab sejatinya, Istrimu itu sudah bukan Istrimu. -
Hanya statusnya, raganya, tapi sukmanya, sudah di miliki Sukirman,” sambung Mbah Jalil yang kali ini langsung membuat Yadi mengangkat kepalanya, dan memancarkan sorot mata marah.
"Apa maksudnya, Mbah? Pak Sukirman sudah janji akan melepas Warni dan Kakak. Terus yang di maksud Warni bukan Istriku itu, gimana Mbah!” sahut Yadi sedikit tergagap.

Mbah Jalil sejenak terdiam. Dengusan nafasnya terdengar bergemuruh.
Sebentar, ia menatap Yadi sebelum berjalan mendekatinya.

"Kamu tau kan, kalau Sukirman itu mati kecelakaan? Bahkan semua orang di sekitar tau saat menguburkan mayatnya. Terus, yang kamu temui ini tadi siapa? Yang kamu lihat jadi pengantin gagar mayang waktu itu siapa?
Itulah yang tak kamu ketahui.” jawab Mbah Jalil, sedikit memberi penjelasan.

Hal itu seketika menggugah pikiran Yadi. Sebab, ia sendiri telah beberapa kali memikirkannya. Tentang apa sebenarnya yang terjadi dengan kematian Sukirman.
"Sudah pulanglah, jawabanya nanti kamu tau sendiri. Tejo dan Istrinya, itu saya urus. Pesanku, hati-hati! Sanggra Renjani bukan iblis biasa, itu adalah peliharaan paling ngeri yang di miliki Sukirman!” sambung Mbah Jalil seraya menepuk pelan pundak Yadi.
Yadi akhirnya bergegas, setelah satu anggukan kepala Mbah Jalil, menjadi satu isyarat baginya. Langkahnya begitu cepat kembali menuju ke halaman untuk menghampiri sang teman setia.
Namun saat dirinya baru saja menghidupkan kendarannya, sesosok wanita berkebaya merah dengan mata putih rata, mengejutkan dirinya.

"Jangan lihat matanya! Jalan terus!”
Yadi, yang saat itu sudah mulai merasa takut, akhirnya melajukan kuda besinya,-
setelah mendengar satu peringatan dan perintah dari Mbah Jalil, yang tiba-tiba muncul di ambang pintu.

Tanpa ragu lagi, Yadi membawa kendaraannya lebih kencang. Selain keadaan jalan yang sudah sepi, juga sangat ingin segera melihat keadaan Istrinya.
Sesampainya ia di rumah, dan baru saja menyandarkan kuda besi di halaman, lagi-lagi ia harus terkejut. Manakala matanya menangkap sosok wanita berkebaya merah sudah berdiri di sisi kiri halaman rumahnya.
Yadi yang sadar dan mengingat pesan dari Mbah Jalil, segera berlalu menuju pintu. Mengabaikan keberadaan sosok itu, meski tak di pungkiri jika jantungnya berdegup kencang.

"Dek ... Dek, kamu di mana?" pangggil Yadi, ketika kakinya sudah menjejak kedalam rumahnya yg tak terkunci.
Hening, tak ada sahutan. Membuat Yadi sedikit cemas sambil terus memanggil dan melangkah.
"Dek!" kembali Yadi memanggil.

Kali ini, suaranya sedikit tegas kala melihat Warni yang tengah duduk terdiam di sisi ranjang kamar.
"Dek, kamu gak apa-apa?" tanya Yadi, sembari mendekat.
Akan tetapi, Warni masih terdiam. Ia tak bergeming sedikitpun, meski Yadi tau, jika saat itu Warni menyadari kehadirannya.

"Dek, ini Aku! Suamimu!"

Parau dan berat suara Yadi yang mulai merasa ada keanehan pada sosok Warni.
Meski kini ia berada tepat di sampingnya, namun seakan Warni tak melihatnya.

Ia terus saja membisu. Menyorotkan pandangan matanya, lurus ke depan dengan tajam.
Hampir sepuluh menitan Yadi ikut terdiam duduk di sisi Warni. Ia meyakini jika sesuatu telah terjadi pada Istrinya.
Mulai dari tatapan yang kosong, hingga kulit wajahnya seputih kertas.

"Dek, kamu kenapa? tolong Dek, jawab?" kembali Yadi memberanikan diri bertanya.

Kali ini, Yadi sedikit terlihat lega. Meski tak memalingkan wajahnya, tapi dari bibir Warni, keluar sebuah sahutan.
"Aku tidak apa-apa, Mas," jawab Warni lirih.

"Kamu jaga diri baik-baik, Mas. Sekarang Aku harus pergi," sambung Warni dengan satu kalimat yg seketika membuat Yadi terkesiap.

"Apa maksudmu, Dek?" tanya Yadi, tak mengerti maksud dari kalimat bernada pamit yg di ucapkan Istrinya.
Akan tetapi, bukan ucapan yang menjadi jawaban dari Warni. Melainkan satu tatapan kosong yang terpancar dari bola matanya.

Yadi yang saat itu ingin kembali bertanya, seketika urung. Melihat Warni bangkit dari duduknya, menatap sebentar, sebelum kakinya berayun melangkah.
Ada satu keanehan tertangkap mata Yadi kala melihat sorot sayu tatapan Warni. Seakan terkandung satu isyarat bahwa ada sesuatu yang ingin dirinya tunjukan. Seketika Yadi pun ikut beranjak dari tepian ranjang. Mengikuti langkah pelan Warni, yang mengarah ke ruang belakang.
Sesampainya di ruang belakang, tepat di depan pintu kamar mandi yang tertutup, Yadi menghentikan langkahnya, mengikuti Warni yang telah berhenti lebih dulu.

"Ada apa sebenarnya, Dek? Kenapa kamu ini? Apa yang ingin kamu tunjukan?"
Tak ada sahutan, tak ada jawaban yang keluar dari bibir Warni. Ia bahkan menundukan kepala, seperti ada sesuatu yang di rasa berat olehnya.

Tapi tak lama, saat Yadi ingin mendekat ke arahnya, satu gerak tangan dan sebuah isyarat dari telunjuk Warni, menghentikan niat Yadi.
Ia pun segera berpaling, mengikuti arah jari Warni yang menunjuk pada pintu kamar mandi.
Yadi pun terlihat bingung, beberapa kali ia memalingkan wajah, menatap bergantian antara pintu kamar mandi dan Warni yang masih menunjuk.
Sampai akhirnya, Yadi kemudian memilih mendekat ke pintu yang tertutup, menuruti petunjuk Warni.

Entah mengapa, perasaan Yadi saat itu di liputi rasa begitu cemas. Dadanya berdebar, jantungnya berdegup tak beraturan,
seolah-olah ia merasa ada hal mengerikan di dalam kamar mandi yang berukuran tak lebih 2x2 meter.

Awal tangan Yadi mendorong pelan. Namun ia merasa bila daun pintu kamar mandi terasa berat. Sehingga ia mendorong lebih kuat.
Tapi, tetap saja pintu itu tak terbuka, seolah terkunci dari dalam.

Hal itu seketika mengundang tanda tanya besar dalam benaknya. Mengapa pintu seperti terkunci, dan ada apa di dalamnya. Tak mau berpikir lama, akhirnya Yadi memutuskan untuk mendobrak.
Sekali, dua kali, dan tepat dobrakan ketiga, pintu itu terbuka gamblang, segamblang mata Yadi yang terbelalak menyaksikan isi di dalam kamar mandi itu.

"Tidak! Tidak mungkin!"
Lirih dan tertahan saat itu suara Yadi. Ia kemudian mundur, memalingkan wajah, mencari sosok Warni.
Tak ada siapapun, hening dan sunyi. Tak terlihat lagi sosok Warni yang tadinya ia yakin masih berdiri di belakangnya. Tapi kini kosong, dan akhirnya ia kembali mengarahkan pandangannya ke arah dalam kamar mandi.
Detik itu juga, tubuh Yadi terasa lemah tak bertulang, ia roboh, tersimpuh di ambang pintu, seakan tak percaya melihat sebujur tubuh sudah membiru dengan mata melotot, milik Warni.
Sejenak Yadi terdiam dalam tangis berisak. Jiwanya seolah kosong, sekosong pikirannya.
Namun tak lama, saat matanya kembali menatap nyata tubuh Istrinya yang membiru dan sedikit menebar bau busuk, jeritan melengking keluar dari tenggorokannya.
Duka mendalam begitu di rasakan Yadi. Hingga di hari ketujuh kematian Warni, ia belum mau membuka diri untuk berbicara dengan siapapun.
Malam itu, di hari ke delapan, Yadi masih sama, mengurung diri di kamar dengan segala kesedihan dan penyesalan.
Ia beranggapan jika kematian tragis istrinya di karenakan kesalahannya. Membuatnya selalu dan selalu menangis terisak.

Selagi dirinya terisak seraya melambungkan memori ingatan tentang perjalanan hidupnya selama bersama Warni, tiba-tiba sekelebat pikiran menghampiri,
sesuatu yang menjadi titik awal semuanya. Yadi kemudian beranjak dari pembaringan. Perlahan menghampiri lemari kayu di sudut kamar. Ia kemudian membuka pintu lemari dan menatap penuh seksama. Menyalangkan sorot tajam pada bagian tengah, di mana tumpukan uang masih rapi dan nyata.
Seketika itu juga tangan Yadi menarik, mengumpulkan semua tumpukan uang dan membawanya ke belakang.

Kepulan asap langsung mengudara saat uang-uang yang Yadi anggap sebagai biang dari masalahnya, tersulut api.
Ia tak menyisakan selembar pun, dari sekian banyak lembaran uang yang telah berada di dalam lemarinya selama beberapa hari.

Yadi kemudian kembali ke dalam kamar setelah kobaran api padam dan hanya menyisakan abu. Ia merasakan kelegaan, saat berhasil menghanguskannya,
meski semua itu tak mampu menghapus rasa duka atas kepergian sang istri untuk selamanya.

Namun, kelegaan itu tak berlangsung lama.
"Jragggg ... Jraggg ... Jraggg...." Satu suara sangat jelas terdengar di telinga Yadi, saat baru selangkah kakinya menapak di lantai kamar.
Suasana tak enak seketika menyelimuti diri Yadi. Ia terdiam membisu, menajamkan indra pendengarannya, memastikan tentang apa yang ia dengar.

Lagi dan lagi, suara layaknya derap langkah dari beberapa kaki seperti tengah mengitari rumah semakin jelas di telinga Yadi.
Membuatnya mengurungkan niat untuk masuk ke dalam kamar, dan memilih menuju ke ruang depan.

Hawa panas seketika menyambut tubuh Yadi saat ia sampai di ruang tamu. Padahal, menilik waktu dan suasana alam malam itu, seharusnya hawa dingin yang ia rasakan.
Yadi sempat ragu, sejenak mematung, dan berniat untuk kembali ke kamar. Akan tetapi, sebelum ia melakukan itu, satu kejadian menghentikan niatnya.

"Jragg...."
Kembali dan keras! Suara derap langkah yang kini seperti berada tak jauh darinya.
Terhenyak tubuh Yadi. Kulitnya yang tipis serasa membeku menyaksikan pemandangan di halaman depan yang terlihat jelas dari kaca jendela. Suara itu, derap langkah yang membuatnya terganggu, kini terang siapa pemiliknya.
Saat itu juga, Yadi segera ingin berlari masuk ke dalam, ia tak kuasa menahan rasa takut melihat sumber suara dari empat sosok hitam berambut panjang menjuntai, yang tengah memikul sebuah keranda mayat dan tepat berdiri di depan pintu.
Namun, kakinya seolah terpaku, seperti ada kekuatan yang menahan untuk tak meninggalkan tempat itu. Membuatnya hanya bisa terdiam dalam tekanan yang hebat.
Sosok-sosok itu terus menatapi Yadi dengan tajam. Terkadang, tangan mereka yang berbungkus kain hitam pekat, bergerak serentak, menghentak keranda kayu yang mereka pikul hingga menimbulkan suara berderap.
Hal itu terus berulang, berkali-kali, dan cukup lama di rasakan Yadi. Membuat dirinya hanya mampu berharap kuat dalam hati, tanpa bisa berbuat apa-apa. Sayang, rasa takutnya bukan terhenti atau berkurang, melainkan semakin memuncak saat tak berapa lama, -
satu siutan angin kencang menghempas daun pintu rumahnya.

Seketika semakin jelas mata Yadi melihat empat sosok yang memikul keranda mayat. Bukan saja kini wujud menakutkan mereka menggetarkan tubuhnya, tapi juga bau anyir dan busuk menyesakan dada.
Sekali dua kali tarikan nafas, Yadi masih mampu menopang tubuhnya. Tapi beberapa saat kemudian ia pun akhirnya roboh, tersimpuh, dengan lelehan air mata ketakutan.
"Kamu sudah tak bisa merubah keadaan yang sudah terikat dengan darahmu! Mulai sekarang kamu harus biasa kedatangan tamu para abdi Ratunya Penguasa alam kegelapan. Ini juga sudah menjadi bagianmu, Kamu tidak bisa lari, tidak akan bisa!”
Meski terkejut, Yadi hanya bisa menggerakan dua bola matanya, untuk melihat siapa pemilik suara berat yang baru saja terdengar di telinganya.
"Aku bertamu ke sini karena diutus Tuanku, untuk memberi kabar, jika Jejer Payung akan di mulai, karena Sigar Pancer akan di lakukan saat berkumpulnya Galangan Limo di waktu pertengahan tahun penghabisan. Ingat-ingatlah, istrimu akan menyesal bila kamu gagal karena bertingkah!”
Kembali suara berat yg ternyata dari sosok lelaki tua berbadan tinggi kurus, menggema jelas di telinga Yadi.

Kemudian, sosok lelaki tua berblangkon yg pernah Yadi lihat di kediaman Sukirman, berjalan mendekat. Mengelus pelan kepala Yadi sembari menyunggingkan senyum penuh arti.
"Tidak sia-sia menunggu darahmu, Nak.” Lirih, seiring dengus panjang dari mulut dan hidung lelaki tua, menghembus tepat di depan wajah Yadi.
Hal itu membuat dada Yadi semakin ingin membuncah, seirama isi perutnya yang mulai meronta menahan bau anyir dan aroma kemenyan dari tubuh lelaki tua. Rasa sesak dan takut Yadi akhirnya sedikit melonggar,
manakala sang lelaki tua beserta empat sosok hitam beranjak meninggalkan dirinya dengan iringan gema suara gerak keranda mayat.

Setelah suara itu menghilang, Yadi perlahan bangkit, tertatih sempoyongan menuju kamar. Meski keadaan dan suasana telah kembali seperti semula,
namun bathin Yadi masih tercekam. Sampai akhirnya ia mutuskan untuk keluar dari dalam rumah.

Yadi tak perduli dgn waktu saat itu. Ia tak melihat jam ataupun keadaan sekitar. Dirinya hanya ingin secepatnya meninggalkan rumah yg telah berubah menjadi kengerian menakutkan baginya.
Ia terus memacu dan memacu laju kendaraannya. Melintasi jalanan yang sudah lengang, menerobos hawa dingin menusuk, serta kabut-kabut tipis penghalang pandangan.
Sunyi, ketika Yadi sampai di tujuannya, yaitu rumah Tejo. Namun Yadi tak perduli, ia tetap nekat memanggil serta mengetuk pintu dengan sedikit keras. Wajah kusut serta mata merah Tejo akhirnya muncul di ambang pintu, setelah beberapa saat Yadi menunggu.
"Ada apa, Yad? Malam larut gini kamu ke sini?" tanya Tejo heran.
"Antarkan aku ke tempat Mbah Jalil sekarang, Kang!" jawab Yadi.
"Memangnya ada apa?" sahut Tejo semakin heran dan bingung.
"Nanti saja ceritanya, Kang. Yang penting sekarang tolong Kang Tejo antarkan saya ke tempat Mbah Jalil. Aku harus ketemu dengan beliau malam ini!" ujar Yadi menegaskan.
Walau masih jelas kilatan kantuk dari sorot mata dan wajah Tejo, tapi ia akhirnya mengiyakan permintaan Yadi.
Ia segera bergegas masuk kembali ke dalam tanpa mempersilahkan Yadi untuk masuk.
Tak berapa lama, Tejo kembali muncul yang kali ini bersama sang Istri, Giyah. Namun, bagi pandangan bola mata Yadi, kemunculan Tejo saat itu, tak hanya bersama Giyah,
melainkan juga dengan sesosok wanita berkebaya merah. Yadi seketika tersurut mundur, sembari tak lepas menatap sosok wanita tengah menyeringai, yang untuk ketiga kalinya ia lihat.
"Kenapa, Yad? Kamu melihat Mbakmu kayak kaget?" tanya Tejo, menyadari ada hal aneh yang di tunjukan Yadi saat melihat Istrinya.
"Bukan, Kang. Bukan takut sama Mbakyu, tapi, ahh...." jawab Yadi tak mampu meneruskan ucapannya.
Hal itu spontan mengundang rasa bingung bersamaan dalam diri Tejo dan Giyah. Namun keduanya hanya bisa saling pandang, tanpa tau apa yang sebenarnya terjadi.

"Sudah, Kang. Ayo kita berangkat!" Ajak Yadi segera.
Ia tak ingin berlama-lama dan bakal semakin menambah rasa penasaran pada diri Tejo dan Giyah. Sebab dirinya yakin, bila sampai mereka tau akan kehadiran sosok berkebaya merah yang masih terus menatapi dirinya sambil menyeringai, tentu menimbulkan ketakutan.
Yadi dan Tejo akhirnya segera berangkat, setelah memberi penjelasan singkat pada Giyah. Kali ini, Yadi sedikit lebih kencang memacu kendaraannya. Ia ingin segera sampai di tempat Mbah Jalil yang berjarak lumayan jauh dan segera mendapat jawaban dari rasa tercekamnya.
Oleh karena dirinya yakin, bila kalimat-kalimat dari sosok lelaki tua Adbi Sukirman mengandung sebuah makna.
Kendaraan Yadi terus melaju di kesunyian malam. Memecah hening sepanjang jalan berkabut, mengikuti arahan Tejo.
Tiba di sebuah persimpangan, Yadi membelokan Stir dan mulai menjejak di jalan setapak berkerikil, dengan sedikit bersemak di kanan kiri. Hawa aneh tiba-tiba di rasa Yadi saat melewati sebuah gapuro bertiang kayu hitam. Membuatnya sebentar menepikan kendaraannya.
"Kang, ini benar jalan ke tempatnya Mbah Jalil?" tanya Yadi setelah berhenti tanpa mematikan mesin motornya.
"Iya, benar ini jalannya. Mungkin tinggal beberapa menit lagi kita sampai. Memangnya ada apa, Yad?" jawan Tejo, sedikit heran.
"Gak apa-apa, Kang. Ya sudah kalau ini benar jalannya, kita lanjutkan."

Yadi akhirnya kembali menarik tuas gas, setelah mendapat kepastian bahwa jalan yang dirinya tempuh, memang jalan menuju kediaman Mbah Jalil.
Meski dirinya tak bisa mengabaikan hawa lembab yang di rasa aneh baginya, namun ia berusaha untuk menutupinya dari Tejo.

Akan tetapi, baru sekira dua puluhan depa ia melaju, mendadak Yadi menghentikan kendaraannya.
Kali ini, ia tak lagi sempat beraba-aba hingga membuat kuda besinya sedikit goyah hampir terperosok jatuh. Hal itu membuat terkejut Tejo dan spontan melompat.

Sejenak, suasana terasa hening. Yadi yang kembali duduk di atas kendaraannya, menatap Tejo di sisi kanannya.
Keduanya terdiam, tertegun, larut dalam keterkejutan masing-masing.

"Jangan di teruskan, Mas. Pulang ... Pulang ... Pulang....” Lirih layaknya sebuah rintihan, suara membisik di telinga Yadi, membuatnya terjingkat kaget.
Namun ketika Yadi mengalihkan pandangan ke samping kanan dan kiri, ia hanya menemukan Tejo yang masih diam terpaku.
"Yad, sebaiknya kita kembali saja!" seru Tejo di tengah rasa takutnya.
Bukan tanpa sebab Tejo meminta Yadi untuk berbalik dan pulang.
Ia juga tak menampik rasa takut luar biasa, sedari dirinya dan Yadi saat hampir terjatuh, di karenakan kini di hadapan mereka, hanya berjarak beberapa langkah, bukanlah sebuah jalanan membentang, melainkan sebuah pohon besar menjulang.
"Tenang, Kang. Kita tetap harus melanjutkan, Aku tetap harus bertemu Mbah Jalil," sahut Yadi yang masih berniat meneruskan perjalanannya, dan mencoba meyakinkan Tejo.
Walau dalam hati Yadi ada keraguan dan sedikit tanda tanya tentang suara mirip Warni yang membisiki telinganya,
namun demi satu tujuan terbesarnya, ia menguatkan kembali tekadnya.
Tejo akhirnya kembali mengikuti Yadi. Tetap membonceng di belakang sambil memejamkan mata.
Sekitar sepuluh menitan, akhirnya Yadi menemukan kembali arah jalan seperti di maksudkan Tejo.
Tak berapa lama, Yadi pun memasuki perkampungan kecil berbangunan rumah-rumah papan berderet di sisi jalan tanpa pencahayaan listrik.

Hingga sampai di ujung jalan kerikil dan beberapa meter memasuki jalanan tanah,
Yadi menghentikan kuda besinya setelah mendapat intruksi telunjuk Tejo. Kemudian keduanya segera turun serta melangkah beriringan menuju sebuah rumah papan yang terletak bersampingan dengan sebuah Surau kecil.
Dua kali mengucap salam, suara derit pintu di sertai kalimat jawaban, menandai kemunculan seraut wajah tua Mbah Jalil. Sejenak kening Mbah Jalil berkerut, menatap penuh tanya, sebelum mempias terkesiap.
Cepat Mbah Jalil menyuruh Yadi dan Tejo masuk ke dalam rumahnya yang masih berlantai tanah. Matanya sekilas liar mengedar ke arah luar, sebelum menutup rapat-rapat pintu berdaun papan.
Empat buah kursi berkaki pendek dengan meja bulat tanpa terlambari kain tilam, menjadi tempat Yadi dan Tejo melepas ketegangan dalam helaan nafas lega.
Dengan di temani tiga cangkir dan sebuah ceret tembaga bercorak motif bunga, berisi air teh hangat tanpa gula, ketiganya terduduk dalam ketegangan.
"Ada apa lagi Nak Yad? Malam begini nekat kesini? Apa gak terasa jika kamu itu akan selalu di ikuti Sanggra Renjani! Itu, sekarang berdiri di luar!” ucap Mbah Jalil membuka percakapan.
Sejenak Yadi saling pandang dengan Tejo.
Keduanya seolah baru mengerti dengan semua yang di alami selama di perjalanan. Namun, bukan hal itu yang mulai di ceritakan Yadi. Tapi satu kejadian yang dirinya alami sendiri sewaktu di rumah.
Mbah Jalil terlihat begitu serius mendengar tiap kalimat yang di ceritakan Yadi. Seolah tak ingin terlewat sekata pun dari semua runtutannya. Berbeda dengan Tejo, yang sesekali melirik ke arah luar, melalui celah papan jendela di sampingnya.
Tiba di saat cerita Yadi sampai pada perkataan sosok lelaki Abdi Sukirman yang di ingat Yadi, Mbah Jalil tiba-tiba tersentak. Dadanya bergemuruh, matanya nanar berkilat serta wajah seketika memucat.
"Jejer Payung!" gumam Mbah Jalil menirukan kalimat Yadi.
"Itu yang ingin saya tau Mbah, Jejer Payung yang akan di mulai,” sahut Yadi setelah mendengar gumaman Mbah Jalil.
"Kamu akan tau hari besok!” jawab Mbah Jalil.
"Tapi, yang jadi pembukaan pertama, itu biasanya di mulai dari orang dekat, atau yang ikut berurusan!”
Sampai di kalimat ini, wajah Mbah Jalil seputih kapas. Membuat Yadi dan Tejo yang melihat itu, saling melempar pandangan.

"Pulanglah, jaga Istrimu. Pesanku, siapa saja besok yang jadi pembuka Jejer Payung, jangan di balut pakai kain hitam dan jangan di buatkan nisan dari kayu,
buatkan nisan batu dari sungai yang airnya mengalir.”

"Nak Yad, kapan saja kamu longgar, datanglah.”

Secarik kertas bertuliskan sebuah nama dan alamat, terulur dari tangan Mbah Jalil. Sekilas Yadi membaca sebelum melipat dan memasukan ke dalam saku celananya.
Yadi dan Tejo kemudian beranjak dari rumah Mbah Jalil setelah sederet pesan menjadi satu jawaban atas apa yang Yadi alami. Meski tak semua di ungkap, setidaknya ada satu titik yang Yadi ketahui.
Tak lama setelah kepergian Yadi dan Tejo. Mbah Jalil yang baru saja menghenyakkan kakinya ke dalam kamar, tetiba saja terdiam dan tertegun. Dirinya dengan jelas mendengar suara panggilan seorang wanita dari luar rumahnya.
Mbah Jalil sudah bisa memastikan, jika Ratmi bakal menyambangi rumahnya.
Sejenak Mbah Jalil terdiam sembari menatap ke arah pintu, sebelum pintu itu terbuka dengan sendirinya.
“Kriieettt...”
Tak lama, wajah Mbah Jalil tegang, terlihat memucat kala menatap ke halaman rumahnya, di sambutan sosok perempuan berkebaya merah dengan empat lelaki berjubah hitam.
Semilir angin di rasa panas menyapu wajah Mbah Jalil.
Apalagi ketika sosok Ratmi mulai berjalan mendekat ke arahnya. Menebar bau busuk bercampur amis menyengat, membuat tubuh Mbah Jalil goyah kembali mundur masuk ke dalam.
Tak lama, Mbah Jalil merasakan tubuhnya kaku, darahnya seakan terhenti mengalir, kala melihat satu sosok wanita berkebaya merah dengan berbola mata putih rata. Sosok wanita itu melangkah perlahan.
Sosok itu terus mendekat ke arah Mbah Jalil berdiri sembari menatap nyalang penuh amarah.
“Sampean saya ingatkan! Tidak usah ikut campur atau selembar nyawa tuamu melayang!”
Nyaring dan lirih suara Ratmi membisik di telinga Mbah Jalil.
Namun lain di rasa olehnya, seakan Mbah Jalil merasakan seperti tertusuk benda panas yang masuk ke dalam telinganya, membuat matanya melotot dan mengeluarkan cairan merah dari telinganya.
Mbah Jalil pun merasakan hidungnya tiba-tiba panas dan seperti ada sesuatu yang mengalir keluar.
“Jangan harap kamu bisa melakukan itu! iblis murahan!” bergetar suara Mbah Jalil memberi ancaman. Membuat sosok wanita itu terkejut dan tersenyum menyungging.
“Coba saja tua bangka! Siapa yang bakal mati malam ini!”

Lagi, suara sosok wanita tua itu membisik lirih tapi terdengar melengking di telinga Mbah Jalil. Membuat tubuhnya semakin kaku tak berdaya.
Hal itu di rasakan Mbah Jalil cukup lama, sampai dirinya bisa menggerakkan tubuhnya ketika sosok wanita itu masuk ke dalam rumah Mbah Jalil. Tak lama, tubuh Mbah Jalil terpental keras dan kepalanya membentur dinding papan, setelah sosok wanita itu mengibaskan selendang merahnya.
"Brakkkkk...."
Lagi, satu suara benturan lumayan keras di iringi lenguhan menahan rasa sakit datang dari mulut Mbah Jalil. Dirinya yang mencoba untuk bangkit, tiba-tiba saja terhempas lagi ke belakang menghantam dinding papan.
Mbah Jalil sadar akan kekuatan yang di milikinya tak sepadan dengan sosok yang di hadapinya. Namun demi harga dirinya, ia memberanikan diri untuk melawan.
Berkali-kali Mbah Jalil bangkit dan mencoba mendekat, tapi kembali ia terhempas. Sampai akhirnya sebuah lengkingan tawa ngikik, membuat tubuh renta berbalut kulit keriput Mbah Jalil tak mampu lagi untuk sekedar berdiri.
Sampai sosok itu mendekat ke arah Mbah Jalil, kemudian mengibaskan sekali lagi selendangnya, membuat tubuhnya terbang dan terhempas ke tanah sebelum Mbah Jalil merenggut nyawa.
“Dasar tua bangka ngeyel! Kalau saja kamu menurut, tak sia-sia nyawamu!”
Sentakan suara dari sosok Ratmi tak mampu lagi Mbah Jalil jawab. Hanya suara lenguhan rasa sakit mengiringi kepergiannya keluar dari rumah Mbah Jalil.

***
Tepat suara Adzan subuh berkumandang, Yadi sampai di kediaman Tejo. Ia yang masih sedikit trauma dan menyisakan rasa takut, memilih untuk tak langsung pulang, melainkan beristirahat menunggu matahari muncul di rumah Tejo.
Rasa lelah akhirnya menghantarkan Yadi pada alam ketenangan sementara. Ia pulas, melupakan sejenak beban pikiran yang tak henti dan belum berujung.
Entah berapa ratus menit, berapa jam, Yadi hanyut dalam pelukan alam bawah sadar.
Ia tak tau, ia tak menghitung, namun ketika ia membuka mata, rasa lelahnya sedikit terobati.
Tapi itu hanya sebentar saja. Sebab tak lama ia terbangun dan berniat untuk pulang ke rumahnya, tertahan oleh suara obrolan serius antara Tejo dan Istrinya.
Yadi yang masih terlihat sayu dan kusut kemudian menghampiri Tejo di ruang tamu bersama Giyah. Rasa penasaran Yadi seketika mengeliat, saat tatapan Tejo seolah memberinya sinyal kedukaan.
"Ngopi dulu, Yad?" ucap Giyah seraya bangkit kala melihat Yadi mendekat.
"Iya, Mbak," sahut Yadi mengiyakan tawaran Giyah.
Yadi langsung menyandarkan punggungnya di kursi sofa berkulit Kalep, setelah kepergian Giyah.
Sejenak suasana hening. Yadi terdiam menunggu. Menunggu satu kabar yang seketika membuat wajahnya mempias pucat.
"Mbah Jalil meninggal, Yad."

Pelan suara Tejo, namun bagai mengandung sekarung beras menghantam dada Yadi.
Ia terdiam, dengus nafasnya terdengar berat, sesak, membuatnya tak mampu untuk menyahuti.
Ingatan Yadi melambung kembali pada pesan-pesan dari Mbah Jalil beberapa jam yang lalu. Masih sangat jelas dalam benaknya bayangan wajah tua itu, yang sudah beberapa kali berusaha menolongnya.
Tapi kini sosok itu telah pergi. Hilang untuk selamanya akibat kebiadaban Iblis beraga Manusia.

"Kamu minum dulu kopinya, Yad. Setelah itu kita melayat." Ajakan Tejo seketika menyadarkan Yadi.
Ia kemudian cepat menyambar segelas kopi hitam yang entah sejak kapan di hidangkan oleh Giyah. Tak lama, setelah beberapa teguk Yadi bangkit, bergegas melangkah kebelakang sekedar untuk membasuh wajah kusutnya.
Sepuluh menit kemudian, Yadi dan Tejo pun akhirnya berangkat.
Menyusuri jalanan ramai beberapa saat, hingga tiba di jalanan kampung yang tak beraspal. Kibaran bendera kuning yang terpasang dari sebuah simpang kecil jalan berkerikil, menjadi pertanda bila mereka tak jauh lagi dari kediaman Mbah Jalil.
Hawa duka langsung terasa menjalari keduanya, ketika telah sampai di halaman penuh kerumunan orang-orang berpakaian khas.
Setelah menyalami beberapa orang yang menyambut, Yadi dan Tejo melangkah menuju ruangan berkubeng untaian bunga.
Di mana, di tempat itu, di atas sebuah dipan, membujur tubuh renta Mbah Jalil terbungkus kain putih.
Wajahnya yang pasi, terlihat sedikit mengguratkan ketegangan. Seperti ada satu kesakitan dan ketakutan luar biasa di detik-detik hembusan nafasnya.
Melihat dan meraba hal itu, Tejo kemudian mencoba bertanya tentang bagaimana awal kematian Mbah Jalil pada beberapa orang, termasuk kerabat-kerabat dekatnya. Sebab dirinya tau sebelumnya, jika Mbah Jalil baik-baik saja.
Namun dari semua yang Tejo tanyai, tak ada satupun mengetahui secara pasti.
Iringan keranda bertutup kain hijau dengan empat pemikul, berjalan perlahan di iringi kalimah Tahlil.
Tak berapa lama, iringan pembawa jenazah Mbah Jalil sampai di lokasi perumahan abadi.
Tubuh renta tanpa daya Mbah Jalil akhirnya tertanam dalam lubang sempit yang menghimpit.
Dari beberapa mereka yang membawa papan penutup dan kayu, sempat akan menancapkan dua buah patok kayu berukir, bertuliskan pahatan sebuah nama. Akan tetapi langsung tertahan oleh seruan Yadi yang tersadar akan pesan-pesan Mbah Jalil.
Hal itu seketika menimbulkan perdebatan panjang antara Yadi yang hanya di bantu Tejo, dengan beberapa kerabat Mbah Jalil serta puluhan pelayat yang masih berada di tempat itu.
Mereka bersikeras bila dua buah patok kayu yang telah tertulis nama lengkap serta tanggal lahir dan kematian Mbah Jalil tetap sebagai tetenger. Mereka tak memperdulikan ucapan Yadi dan Tejo yang menginginkan sebuah batu kali sebagai nisan, sesuai cerita dan pesan Mbah Jalil.
Yadi dan Tejo yang menganggap bila kematian Mbah Jalil adalah sebagai Jejer Payung pertama, kalah jumlah. Keduanya tak mampu menahan pendapat dan kehendak keluarga yang bersikukuh, tanpa tau satu cerita di balik keinginan Yadi dan Tejo.
Hingga akhirnya, dua buah Nisan kayu terpasang tegak, membujur ujung utara dan selatan di atas gundukan tanah bertabur bunga, menjadi akhir dari prosesi pemakaman Mbah Jalil.
"Bagaimana ini, Yad? Aku takut jika ini bakal menjadi hal buruk, sebab kita tak mengindahkan pesan beliau?" pelan dan lirih suara Tejo, saat sudah mundur dari lokasi pemakaman.
"Entah, Kang. Saya juga bingung," jawab Yadi yang masih menatapi kuburan Mbah Jalil.
Helaan nafas panjang menyudahi pandangan Yadi di area pemakaman. Ia kemudian mengajak Tejo beranjak pulang tanpa berpamitan dengan beberapa anggota keluarga Mbah Jalil yang masih berada di tempat itu.
Setelah mengantar Tejo sampai di depan rumahnya, Yadi langsung berpamitan untuk pulang. Sepanjang perjalanan pikiran Yadi berkecamuk. Ia terus menduga-duga tentang kematian Mbah Jalil. Tak luput, hatinya merasa tak nyaman, mengingat jika benar kematiannya sebagai Jejer Payung,
maka bakal akan ada kematian-kematian selanjutnya menyusul.

Perasaan tak enak semakin Yadi rasakan ketika dirinya telah sampai di rumah. Melangkah masuk dan tetiba memunculkan bayangan empat sosok hitam pemikul keranda, lekat di pelupuk mata.
Meski saat itu hari masih siang dengan tebaran menyengat sang surya, tapi tubuh Yadi serasa berada di dalam Goa, dingin dan lembab. Hal itu sejenak memicu keraguan dirinya untuk mengguyur tubuh di kamar mandi.
Namun mengingat telah hampir dua hari tubuhnya tak terbasuh air, ia pun nekad melawan takut.
Satu ingatan sesaat menyelip di pikiran Yadi ketika akan melepas celana Jeans berwarna pudar.
Tangannya langsung merogoh saku bagian depan, di mana satu kertas terlipat berisi sebuah nama dan alamat yang sempat ia terima dari Mbah Jalil saat pertemuan terakhirnya.
Yadi membaca pelan, mencoba mengingat, menghafal, sebuah alamat yang tertera. Walau tak satu kota dengan tempat tinggalnya, tapi dirinya tak asing dengan alamat itu.
Hal itu menumbuhkan rasa penasaran juga semangat dalam dirinya. Ia pun segera mengguyur tubuhnya yang sudah di rasa tak nyaman. Namun, ketika tangannya akan meraih sabun di ember sebagai wadah peralatan mandi, tiba-tiba ia tersurut mundur.
Matanya cepat mengedar ke sekeliling kamar mandi.
"Warni!" gumam Yadi lirih, ketika suara itu berulang memanggil sama persis dengan suara Istrinya.
"Mas, tolong Aku...."
Lagi, suara pelan dan lembut menyapa telinga Yadi.
Membuatnya terus mencari sumber suara, dengan mata yang sekilas membinar. Namun, ketika satu ingatan menyadarkannya, Yadi merasakan tubuhnya merinding, tengkuknya menebal, serta dada berdenyut. Hal itu terjadi lantaran ia baru saja memutar memori di kepalanya.
Memunculkan bayangan wajah Warni yang ia temukan membiru dengan mata melotot dan lidah menjulur, tepat di mana ia tengah berdiri.
Cepat-cepat Yadi segera merampungkan, membasuh kembali tubuhnya tanpa membaluri apapun. Ia segera keluar dan buru-buru masuk ke kamarnya.
Kembali Yadi harus terperangah kaget, saat berniat ingin mengambil baju yang tersimpan di dalam lemari. Ia seakan tak percaya dengan apa yang di lihatnya, di bagian tengah lemari.
"Apa Aku salah membakar?" ucap pelan Yadi pada dirinya sendiri.
Tak mau berlama-lama dengan pikiranya, Yadi segera mengambil beberapa helai baju serta celana. Setelah satu stel telah melekat di tubuhnya, ia kemudian memasukan beberapa potong ke dalam sebuah tas ransel.
Beberapa saat Yadi membereskan, memeriksa seluruh keadaan rumahnya, ia pun segera bergegas keluar. Memacu kembali kendaraannya tanpa memperdulikan apapun.
Sebelum meneruskan perjalanannya ke sebuah kota yg di tulis oleh Mbah Jalil, Yadi menyempatkan diri singgah di kediaman Tejo.
Mengutarakan niatnya, seraya meminta bantuan beberapa lembar uang untuk bekal. Saat itu Tejo hanya bisa mengiyakan, ia menyadari bila Yadi memang harus segera menyelesaikan persoalan yang membelitnya.
Tejo berharap jika Yadi bisa terlepas, selamat, dari perjanjian Iblis yang tak dirinya lakukan namun kini menyeretnya.
Sejenak, Yadi tertegun menatap tangan Giyah yang mengulurkan beberapa lembar uang kertas bergambar wajah kepala negara saat itu. Ia sedikit ragu.
Bukan karena jumlah atau tak mau menerima. Tapi, ketika tangan Giyah tepat ada di hadapanya, hidungnya membaui satu aroma yang tak asing dari tangan dan tubuh Giyah.
"Kenapa, Yad?" tanya Tejo yang melihat wajah Yadi sedikit aneh.
"Gak apa-apa, Kang. Terima kasih sebelumnya," jawab Yadi sambil menerima lembaran uang dari tangan Giyah.
Tak sampai lima tarikan nafas, atau saat Giyah duduk di samping Tejo, lagi-lagi Yadi terkesiap. Matanya sedikit melebar, bibirnya terkatup rapat, seperti ada ketakutan yang menyibak.
"Yad, apa ada yang aneh dengan Mbak?"
Kali ini, Giyah sendiri yang melihat Yadi sedari awal kemunculannya memandang aneh, bertanya.
Yadi terdiam, sebentar ia memalingkan wajah. Berpura-pura menatap ke arah luar, berharap agar apa yang dirinya lihat kesalahan bola matanya.
Namun hal itu tak membuahkan hasil. Sebab saat ia kembali memalingkan wajah, Yadi masih melihat wajah Giyah seputih mayat.
Tak hanya itu, kini Yadi juga melihat kulit luar bola mata Giyah menghitam, dan dari tubuhnya menebar pekat aroma wangi bunga kamboja bercampur bau pandan.
Saat itu, kala melihat keanehan dalam diri Giyah, muncul keinginan Yadi untuk menunda kepergiannya. Namun atas desakan Tejo yang tak mengerti dengan alasan serta apa yang Yadi lihat, ia pun terpaksa menurut, pamit dan segera bergegas beriring perasaan tak enak.
"Semoga perjalananmu lancar, tidak terhalang oleh apapun, Yad."
Tulus, kalimat doa teriring dari bibir Tejo. Berbanding balik dengan Giyah yang saat itu berdiri bersampingan dengan Tejo di depan pintu.
Dari bibirnya, senyum tipis mengembang yang berangsur menjadi sebuah seringaian sinis, melepas kepergian Yadi.
Deru gerung mesin dua tak, menjadi teman dalam perjalanan Yadi. Ia tak perduli dengan jarak tempuh yang lumayan jauh, meski hanya bersama kuda besinya.
Yadi terus melaju, menaklukan jalanan berkelok, menanjak berliku, dan melawan terpaan angin senja.
Sesampainya di sebuah kota kecil dengan warung-warung berderet, Yadi berhenti sebentar. Mengisi bekal tubuh dan kuda besinya, sebelum meneruskan perjalanan.
Tak berapa lama, Yadi memasuki sebuah Hutan cukup lebat. Waktu yang telah memasuki surup, sedikit membuat Yadi was-was. Ia mengencangkan laju Motor, dengan bantuan pancaran jarak jauh lampu bulat yang menggantung dan menyorotkan cahayanya ke depan.
Seratus hingga satu kilo meter dari mulai masuk ke dalam hutan, Yadi tak merasakan hal aneh apapun. Namun ketika ia melewati sebuah tugu pendek bersusun batu bata menguncup di sisi kiri, Yadi baru merasakan suasana berbeda.
Anyep dan lembab, sangat di rasa Yadi hawa di sepanjang jalan itu. Di tambah tak adanya satupun pengendara lain yang ia temui, semakin menjadikan perasaan Yadi ngedap.
Tak ada pilihan lain bagi Yadi untuk tak melewati jalanan dengan rerimbunan beserta pohon-pohon tinggi menjulang ibarat raksasa berbaris. Sebab tempat yang bakal di tujunya, memang harus melewati tempat itu.
Yadi tau dan sering mendengar cerita yang beredar luas, tentang hutan berjarak lima belasan kilo dari ujung ke ujung. Keangkerannya, ke tajaman saat menikung, juga kabut tebal yang biasa muncul secara tiba-tiba.
Mengingat semua hal itu, Yadi mulai sangat berhati-hati. Matanya menyorot tajam, dengan kewaspadaan yang tak ingin terlengahkan.
Namun sial tak dapat terhadang, saat tetiba saja satu bayangan melintas cepat di hadapan Yadi, membuatnya terkejut sampai menghentikan kuda besinya secara mendadak.
Sedikit beruntung Yadi mampu menjaga keseimbangan, hingga tak membuatnya terperosok.
Tapi sejenak, keberuntungan itu harus kembali di bayar oleh rasa kagetnya.

Kali ini tak hanya matanya melotot lebar, namun juga di barengi tubuhnya yang dingin tercekat, menyaksikan satu bayangan baru melintas adalah
sebuah kepala tanpa badan berhias rambut panjang melintang seukuran lebar jalan beraspal yang tengah di lewati Yadi.

Pucat pasi tubuh Yadi. Bibirnya terkatup rapat tak mampu berucap, melihat kepala itu meringis sembari dua bola matanya yang lepas tetapi masih menggantung,
menatap liar ke arahnya. Tawa ngikik tak lama menggema seantero tempat itu. Membuat lutut Yadi gemetar, lemah, seperti tak bertulang. Yadi benar-benar tak berdaya, ia hanya mampu memalingkan wajah tanpa bisa bergerak ketika potongan kepala itu beranjak terangkat setinggi dadanya.
Kikikannya semakin nyaring melengking, saat tepat tinggal sejengkal jarak dengan wajah Yadi. Sejenak sosok kepala itu terdiam, manakala satu juluran lidah merah beraroma amis darah keluar dari mulutnya.
Akan tetapi, belum sempat lidah penuh lendir itu menyentuh kulit Yadi, satu klebatan kain selendang menjerat dan melemparkannya.
"Blukkkk...."
Keras suara benturan potongan kepala terlempar menghantam tanah yang sebelumnya sempat menerjang rerimbunan.
Tak berapa lama, jeritan melengking menyayat jiwa terdengar nyaring memekakkan telinga, membuat Yadi tersadar bila sesuatu telah menimpa mahluk tak berbadan yang hampir mencelakainya.
Perlahan Yadi memalingkan wajah, setelah lengkingan menyayat sirna berganti keheningan yang mencekam. Lama ia terdiam tanpa bergerak, mengamati sekeliling tempatnya berdiri yang telah berselimut kabut tipis.
Sekali lagi Yadi tersentak, meski tak setakut saat melihat potongan kepala, namun tetap mampu mengunjang jiwanya.
"Sanggra Renjani!" seru Yadi bergetar, saat melihat satu sosok wanita berkebaya merah, di balik tebaran kabut-kabut tipis.
Mendengar seruan Yadi, sosok itu tersenyum seraya melangkah perlahan. Yadi terhenyak. Ingin rasanya ia mundur menjauh tapi seluruh tubuhnya masih seperti terpaku. Aroma wangi melati berbaur kasturi seketika menyesakkan dadanya,
kala sosok wanita yg ia tau salah satu Ingon Sukirman menjulurkan tangan ketubuhnya meski tak sampai tersentuh.
"Tidak salah kalau para cenayang merebutkan darahmu. Mereka ingin sama menjadikan ragamu sebagai inangnya! Tp sayang, aku belum bisa menyentuhmu krna belum waktunya.”
"Usahamu akan sia-sia untuk mengubah pancer abdi Sasongko Jati yang sudah terlanjut tertanam. Kamu tidak bisa lepas dan tidak bisa lari. Karena darahmu sudah ditandai sedari kamu lahir, dan pancer baturmu (Ari-ari tali pusar) ? sudah di bakar menjadi abu!”
Pelan dan bertalu suara sosok wanita berkebaya merah, namun terdengar sengit di telinga Yadi, dan seperti mencekik lehernya. Yadi tak menyangka, bila ucapan dan suara yang pertama dirinya dengar dari sosok wanita itu, lebih sadis dari sosok lelaki tua Abdi Sukirman.
Membuat Yadi menahan geram bercampur takut, tanpa mampu menjawab apa-apa.
"Teruskan saja keinginanmu untuk mencari pertolongan. Ingat-ingatlah! Semua nyawa yang akan musnah karena Jejer Payung, itu sudah menjadi kepastian dari persetujuanmu meminum air kawah galangan limo
(kawah dari lima bayi pilihan persekutuan).”
Yadi terhenyak semakin tercekam. Jiwanya meronta seperti ingin berteriak, menjerit dan mengumpat. Membuncahkan rasa takut dan tertekan yang telah terpendam, terkumpul bertumpuk dalam bathin.
Tapi semua itu hanya bisa dirinya lakukan dalam hati, dalam buliran air bening yang mengalir pelan, tanpa mampu menggerakan lidah.

Satu jentikan jari dari sosok Sanggra Renjani, menandai kemunculan sesosok wanita berdandan layaknya seorang sinden.
Bertapi kain jarik dengan rambut bergelung bulat. Sebuah tembang macapat seketika meluncur dari bibir hitamnya. Yang kemudian di sambut liukan tangan selaras kedua kaki Sanggra Renjani, membuat gerakan tarian yang aneh bagi Yadi.
Mendadak saja tempat itu berubah. Nuansa alam hutan yang di penuhi rerimbunan pongkahnya pohon-pohon menjulang, tiba-tiba lenyap. Berganti riuhnya sorak sorai dari penonton, yang sedang berdiri menyaksikan pementasan.
Tak jauh dari tempat Yadi berdiri, tepatnya di depan riuh sorak ramai penonton, terdapat sebuah panggung dengan nuansa khas pementasan. Suara kendang mengalun seirama dengan suara penyanyi sinden yang merdu.
Membuat penonton menggoyang badannya mengikuti hentakan kendang yang di mainkan.
Sampai Yadi yang sedari tadi masih terpaku melihat keanehan di depannya, sedikit demi sedikit mampu menggerakkan tubuhnya. Yadi kemudian berjalan mendekat ke arah ramai penonton.
Yadi yakin kalau dirinya berada di alam yang berbeda.

Sampai tak berapa lama, suara kendang berhenti, berganti dengan pakeliran. Semua bunyi vokal yang di gunakan untuk mendukung suasana dalam sebuah pementasan wayang.
Gamelan, sinden, penyanyi laki-laki dan lagu karawitan mulai mengalun mengiringi pementasan.
Yadi yang paham betul dengan iringan musik itu, kemudian berhenti. Pandangannya menatap nyalang ke sekeliling, mencari-cari sesuatu yang di rasa ganjil.
Sampai ia menemukan sesuatu yang membuat rasa penasarannya membuncah. Yadi kembali melangkah melewati para penonton. Sampai Yadi berhenti tepat paling depan, jiwanya terguncang kala melihat sosok istrinya sedang duduk bersimpuh di antara sinden yang lainnya.
Namun dari tatapannya, menyiratkan kekosongan dengan wajah pucat pasi.
Yadi terkejut ketika sang dalang wayang mulai membentak. Memberi isyarat kepada para sinden dan pemain gamelan untuk menabuh dan menyinden.
Tapi kali ini indera pendengaran Yadi tak salah mendengar. Kalau nyanyian yang sedang di nyanyikan para sinden adalah tembang kematian. Namun anehnya, para penonton yang sedang menyaksikan pegelaran wayang tersebut seakan menikmatinya.
Lain halnya dengan Yadi yang sudah berjalan cepat ke belakang, mencoba untuk menjauh.
Tapi baru saja Yadi sampai di tengah riuh ramai penonton, tiba-tiba semua pandangan mengarah ke arah Yadi sedang tertunduk.
Membuat mentalnya terkikis, berubah menjadi ketakutan yang luar biasa. Sampai suara gong terdengar, mengisyaratkan berakhirnya pementasan. Di saat itulah Yadi melihat dengan mata kepalanya sendiri.
Suara alunan tembang jawa terdengar, diiringi sapuan angin besar menerjang riuh penonton. Yadi yang saat itu masih tersadar, buru-buru berlari menjauh. Sampailah Yadi di belakang penonton, di sana, Yadi melihat dengan jelas, sapuan angin yang menerjang riuh ramai penonton itu,
melibas semua kepalanya. Tak ada satu pun yang selamat. Membuat Yadi hanya mampu melongo tak bisa berbuat apa pun.
Keringat mulai bercucuran membuat tubuh Yadi basah kuyup, di saat itulah Yadi kembali di suasana pertama kali.
Di mana dia masih berdiri mematung di atas kendaraannya.
“Itu adalah gambaran yg akan terjadi kalau kamu tidak mau memberikan getih madumu! Jadi bagaimana Kang? Apakah sampean masih mau pergi atau memberikan apa yg aku minta?” lirih namun mampu membuat tubuh Yadi bergetar hebat.
“Pikir-pikirlah Kang!” sambung sosok berselendang sebelum menghilang meninggalkan aroma kembang kamboja.
Bingung Yadi saat itu. Yadi bimbang antara mau melanjutkan atau putar balik, karena ketika Yadi melihat riuh ramai penonton tadi,
ia melihat kalau di sana ada sosok Slamet dan kedua kakaknya, Tejo dan Giyah. Yadi akhirnya memutuskan untuk kembali dan memastikan kembali keadaan mereka bertiga. Yadi baru akan melanjutkan perjalanan setelah pagi menjelang.
Bukan tanpa alasan, kali ini ketakutan Yadi sudah benar-benar di ambang batas.
Motor Yadi terus melaju, melewati jalanan aspal sebelum menapak jalan sempit bergelombang. Hingga tiba di satu persimpangan, Yadi berhenti di tepian jalan.
Kening Yadi mengkerut saat kakinya menginjak tanah jalan menuju rumah Slamet. Matanya menatapi dengan seksama kerumunan laki-laki yang ia kenal yang berjalan beriringan dengan wajah tegang.
Ada rasa tak enak dalam hati ketika telinganya mendengar ucapan pelan dari mereka saat berpapasan menyangkut nama Slamet.
Dari semua kalimat yang Yadi dengar, ia menyimpulkan jika ada sesuatu yang menimpa Slamet.
Perasaan tak enak semakin bergelayut dalam benak. Saat memasuki halaman rumah yang terlihat paling ramai saat itu. Rumah Slamet.
Bingung dan tegang dari wajah-wajah para lelaki yang tengah duduk dan berdiri bergerombol, serentak menatap Yadi,
sebelum satu teriakan keras dari arah dalam, mengejutkan semuanya.
“Kang Yad!” sekejap puluhan lelaki yang Yadi kenal tadinya hanya menatap, langsung mengepung Yadi.
Wajah Yadi langsung memucat, keringat mulai mengucur, menunjukkan ketakutan.
Ketika melihat puluhan lelaki yang ia kenal berubah marah.
“Kang Yadi yang sudah membunuh Slamet!” ucap kembali lelaki yang ada di dalam rumah Slamet.
“Saya yakin dia tahu kejadian sebenarnya!” sambungnya sambil melangkah mendekati Yadi yang masih berdiri mematung.
“Sik..sik (bentar-bentar). Aku baru saja sampai, memangnya ada masalah apa ini?” ucap Yadi sedikit memberanikan diri.
“Masalah apa! Kamu tanya masalah apa, Kang!” hardik lelaki yang kini sudah berdiri di hadapan Yadi dengan melotot.
“Tadi kamu pergi sama Slamet! Dan sekarang Slamet di temukan tak bernyawa!” sambungnya dengan wajah merah penuh amarah.
Yadi terkejut mendengar penuturan lelaki di depannya. Darahnya seolah menyatu mengalir ke jantung, membuat detaknya kian kencang.
“Sampean itu sudah berteman sama Slamet lama, tapi kenapa tega membunuh! Sudah Kang, ini menyangkut nyawa. Berarti nyawa bayar nyawa!” sahut menyahut suara dari puluhan lelaki, kini terlihat marah sembari mengacungkan senjata yang biasa dipakai mereka bertani pada Yadi.
Yadi beringsut mundur, tubuhnya gemetar menyadari jika nyawanya sedang terancam. Namun, tak banyak yang bisa Yadi lakukan ketika beberapa tangan begitu cepat menyambar dan memegangi tubuh Yadi.
Hampir saja Yadi menjadi sasaran empuk dari puluhan lelaki yang sudah memuncak amarahnya, sebelum derap langkah kaki buru-buru datang seraya berteriak.
“Woy! Hentikan! Jangan main hakim sendiri!” suara keras dari seseorang lelaki tua, seketika menghentikan puluhan lelaki yang hampir mengamuk.
“Dia tidak bersalah! Dia juga ikut jadi korban!” sambungnya sambil berjalan menerobos.
“Kalian itu tidak baik kalau seperti ini. Biarkan Kang Yadi menjelaskan dulu.” Di tariknya lengan Yadi menuju ke dalam rumah.
“Duduk dulu Kang. Dan bapak-bapak dan mas-mas di sini tolong siapkan untuk memandikan jenazah.” Perintah lelaki pada Yadi untuk duduk dan beberapa orang yang masih berdiri di ambang pintu.
Yadi yang kemudian duduk berhadapan dengan lelaki tua, menarik nafas lega. Di pandanginya wajah-wajah warga yang ikut duduk mengelilingi dan juga menatap dengan penuh curiga.
“Kang, ambilkan air putih.” Perintah sang lelaki tua pada seorang anak muda yang tak lain adik dari Slamet.
“Maaf Mbah, saya benar-benar tidak tahu dengan musibah yang menimpa Slamet. Justru saya mempunyai firasat tidak enak, makannya saya kesini untuk melihat kondisi Slamet.” Yadi memberanikan diri membuka percakapan.
“Iya Kang, saya tahu. Bukan sampean pelakunya. Tapi, orang yang sudah menjadi bagian masalah sampean yang sudah berbuat tega!” jawab lelaki tua pelan, namun penuh kharisma.
Tersentak Yadi mendengar penjelasan dari lelaki yang ia yakini sebagai sesepuh desa. Wajahnya menciut dengan mata menyorot penuh mata.
“Maksudnya, Mbah?”

-bersambung part 5-
PART 5 AKHIR
Sementara nongkrong di Karyakarsa dulu, ya.
Bisa baca dulu di sini.
karyakarsa.com/KALONG/sewu-ji…

• • •

Missing some Tweet in this thread? You can try to force a refresh
 

Keep Current with kalong

kalong Profile picture

Stay in touch and get notified when new unrolls are available from this author!

Read all threads

This Thread may be Removed Anytime!

PDF

Twitter may remove this content at anytime! Save it as PDF for later use!

Try unrolling a thread yourself!

how to unroll video
  1. Follow @ThreadReaderApp to mention us!

  2. From a Twitter thread mention us with a keyword "unroll"
@threadreaderapp unroll

Practice here first or read more on our help page!

More from @cerita_setann

Apr 25
Sebuah kisah tentang ISTRI yang melakukan pernikahan gaib dengan IBLIS demi KETURUNAN !!!

A Thread Horror
"SANG PENGANTIN IBLIS"

#bacahorror @asupanhororrr @IDN_Horor @bacahorror #pengantiniblis Image
September 1999

"Srekkk ... Srekkk ... Srekkk...."

Malam itu, suara langkah Kinanti terdengar mantap ketika menapaki jalanan tanah kering. Wajahnya terlihat datar, matanya menyorot penuh keberanian.
Ia terus saja berjalan menyusuri jalanan, sebelum akhirnya menghentikan langkahnya tepat di depan pintu sebuah rumah tak berpenghuni.

Hening dan gelap suasana di dalam rumah itu, membuat kesan seram begitu terasa. Namun hal itu tak membuat tekadnya goyah.
Read 53 tweets
Mar 11
-WARISAN PENARI-
"SAMPUR & KAWATURIH"

Jujur, banyak sekali DM yang masuk dan pembahasannya menarik semua. Mulai dari Gagar Mayang, Sampur / selendang, dan Kawaturih.

Tapi malam ini kita akan sedikit membahas tentang kengerian warisan sampur & kawaturih.

a thread

#bacahorror


Image
Image
Image
Image
Nah disini saya mau cerita sedikit tentang profesi seorang penari tradisional. Bisa di bilang seperti penari ronggeng atau semacamnya. Di cerita ini si ibu yang sudah terjun bertahun-tahun menjadi penari harus mengalami kengerian.
Di mana, yang seharunya itu di wariskan kepada anaknya, tapi si ibu ini memilih untuk tidak. Kenapa? Karena beliau tahu bagaimana rasanya dan kengeriannya ketika di ambang kematiannya. Beliau tidak mau anaknya akan bernasib sama.
Read 42 tweets
Mar 6
-POCONG CULI-

Sekitaran Demangan - Gejayan

"Tok...tok...tok...." pas di buka pintunya, ada pocong ngomong "...Culi"

a thread

#bacahorror #asupanhorror @asupanhororrr @IDN_Horor @merapi_uncover Image
Bagi teman-teman yang sudah lama tinggal di jogja, khususnya di daerah Demangan, pasti gak asing sama cerita pocong culi.

Menurut beberapa sumber, dulu di tahun 2000an, masyarakat sekitar Demangan di gegerkan sama teror pocong culi.
Ngerinya, pocong culi ini meneror warga sekitar dengan mengetuk pintu dan berteriak “culi...culi...” yang di artikan kalau pocong itu meminta untuk di lepaskan tali pocongnya.
Read 70 tweets
Mar 5
-BEGAL PESUGIHAN JALAN WATES-

Jalanan lurus, ngebut, kecelakaan = minimal rumah sakit dan maksimal kuburan

a thread

#bacahorror @gudangmistery @IDN_Horor Image
Banyak perbincangan tentang jalan propinsi jogja-wates yang terkenal dengan pemasangan BEGAL PESUGIHAN.

Jalanan lurus, ngebut, kecelakaan = minimal rumah sakit dan maksimal kuburan.
Di Kilometer berapa pemasangan pesugihannya, saya juga kurang tau, hanya saja, sepanjang jalan itu sering banget terjadinya kecelakaan. Bahkan kalo pas apes, kadang melihat beberapa kali korban sudah tergeletak di pinggir jalan atau di bawah kolong truk.
Read 22 tweets
Feb 12
THE REAL "SANTET LORO JIWO"

“Lanang menang milih, wedok menang nolak.”

A Thread

#bacahorror @gudangmistery @IDN_Horor Image
Sumatera 2018

Namaku Anis. Aku tinggal di Sumatera. Kejadian ini aku alami setelah menikah. tapi jauh sebelum itu, ketika masih sekolah, ada lelaki yang pernah suka sama aku. Namanya sebut ajaa Bowo.
Awal mula kita deket ketika ibuku jatuh sakit karena kecelakaan. Dikarenakan jarak sekolahan dgn rumahku jauh, aku gak bisa pulang buat jenguk ibuku. Dari sinilah aku meminta tolong Bowo untuk datang ke rumahku untuk melihat kondisi ibuku. Itu dikarenakan rumah kita memang dekat.
Read 58 tweets
Feb 7
“Ya beginilah, niatnya mondok mau cari ilmu agama, malah nemu hal munkar yg udah lama tersembunyi di pesantren. ((Bukan tempatnya)) Tapi ada penghuni di dalam tempat tersebut yg pernah ngelakuin hal biadab dan berusaha ia sembunyikan.”

a thread

#bacahorror Image
“Namanya Marlina. Dia salah satu santriwati di pondok pesantren ini. Dulu ketika mondok, dia menjadi korban bully karena bisu. Hal itu membuat Marlina ini mentalnya down. Sampai suatu ketika, karena kekurangannya itu,
ada salah satu oknum yg jg pengurus pondok sekaligus pemuka agama, melakukan tindakan munkar dan tak bermoral kepada Marlina. Marlina di lecehkan di salah satu ruangan pondok, sesaat setelah di suruh untuk mengembalikan buku hafalan.
Read 64 tweets

Did Thread Reader help you today?

Support us! We are indie developers!


This site is made by just two indie developers on a laptop doing marketing, support and development! Read more about the story.

Become a Premium Member ($3/month or $30/year) and get exclusive features!

Become Premium

Don't want to be a Premium member but still want to support us?

Make a small donation by buying us coffee ($5) or help with server cost ($10)

Donate via Paypal

Or Donate anonymously using crypto!

Ethereum

0xfe58350B80634f60Fa6Dc149a72b4DFbc17D341E copy

Bitcoin

3ATGMxNzCUFzxpMCHL5sWSt4DVtS8UqXpi copy

Thank you for your support!

Follow Us!

:(