Squidward, kalau kita amati dalam film kartun menarik, Spongebob SquarePants, mencerminkan karakter seorang Sinis; tentu saja, Sinis bukan dalam bentuk ekstrem seperti Diogenes, yang menolak jabatan, uang, kemewahan, dengan memilih hidup dan bercinta di jalanan, dalam tong
yang mirip potongan gorong-gorong.
Sinisme Squidward, dalam konteks zaman, tetap relevan dengan sinisme yang dipopulerkan Bapak Sinisme, Antisthenes
yang pernah menjadi murid Socrates di akhir abad ke-5 SM.
Sinisme Squidward bisa dilihat sebagai kembangan atau proyeksi yang
lebih moderat dari idea awal sinisme di zaman Helenistik. Dalam kesinisannya, Squidward menunjukkan selubung sifat sinis apatis terhadap dunia sebagai panggung tragedi yang tak lagi perlu diratapi; di sisi lain, inilah sikap tak acuh terhadap sesuatu di luar kontrol yang
dilakoni kaum Stoa yang mendapatkan pengaruh dari kaum Sinis.
Di balik sikap sinis, karakter ini ditopang prinsip seperti eudaimonia (kemampuan berpikir jernih membedakan ilusi dengan realitas); arete (keseimbangan batin); parrhesia (cinta kemanusiaan), dan adiaphora
(ketidakpedulian terhadap perubahan kehidupan).
Prinsip dasar sinisme, jika kita simak, tampaknya diadopsi Stoisisme. Sinisme, Epikureanisme, Stoisisme, dan Sketisisme merupakan 4 mazhab besar pemikiran filosofis di era Hellenisme.
Kembali ke bahasan karakter
Squidward; setiap kali mengamati sosok Squidward, aku selalu melihat diriku. Temperamental, tidak sabaran, arogan (merasa lebih intelek dibanding Spongebob dan Patrick yang lugu, ato orang lain), bersikap merendahkan yang lain, misantropis (termasuk diri sendiri tentunya).
• • •
Missing some Tweet in this thread? You can try to
force a refresh
Ketika sang eksistensialis melihat ke dalam dirinya, apa yang dia temukan? Tidak ada apa-apa. Melihat ke belakang setelah kelahiran atau ke depan melampaui kematian, ia melihat kehampaan; melihat ke pusat diri, mengesampingkan semua pengetahuan, semua ingatan, semua sensasi, ia
melihat jurang ego, tak berbentuk dan tak terbayangkan, seperti inti sebuah elektron. Dan dia dituntun untuk bertanya, seperti yang ditanyakan oleh para filsuf sepanjang sejarah: mengapa ada sesuatu daripada tidak ada, mengapa dunia, alam semesta, bukannya kehampaan?
Dengan memusatkan semua perhatian pada ketiadaan di dalam dirinya dan mendasari permukaan realitas objektif, ia secara bertahap mengubah ketiadaan menjadi konsep Ketiadaan, salah satu pencapaian kepekaan manusia yang benar-benar hebat.
Sebagian kecil teis merasa terusik saat ateis menyebut "(kaum) religius" yang bermakna umum. Mereka ingin lebih spesifik dan objektif dengan bertanya, "Apa sih yang dimaksud religius?"
Jawabannya, kita tak bisa persis menentukan kadar religiusitas seseorang, jatuhnya subjektif.
Kita hanya bisa menyederhanakannya dalam kategori-kategori subjektif sejak obyektivitas itu mustahil terjangkau.
Makna "baik" atau "buruk" sendiri subjektif. Yang baik bagi kaum religius belum tentu baik bagi kaum non-religius, dan ini berlaku kebalikan.
Mempersekusi dan membunuh kafir dianggap sebagai kebaikan bagi agama nganu, bagi Buddhisme lain lagi, suatu kejahatan.
Monogami yang dianggap konsep perkawinan yang moralistis-etis bagi masyarakat modern, tidak demikian halnya bagi suatu masyarakat yang menganut poligami.
Tidak ada nilai objektif, seberapa gigih kita berusaha mendekatinya; moralitas tidak akan dapat ditemukan ‐‐ dan dipertahankan secara permanen, tetapi harus dikonstruk. Moralitas sebagai perangkat fungsional, pada dasarnya sama setiap saat tetapi berubah secara signifikan
(ber-evolusi) sebagai respon terhadap perubahan kondisi manusia.
Tak ada kebenaran/moralitas objektif alih-alih kebenaran/moralitas subjektif. Usaha memaknai suatu objek (kebenaran/moralitas) akan sia-sia, terjebak dalam subjektivitas sang subjek.
Saat kita berpikir berhasil menjangkaunya, ia berkelit.
Konsep moral religius "jujur itu baik, bohong itu dosa," tidak selalu demikian halnya, memberikan kebaikan. Jujur pada pembunuh, akan membuat temanmu terbunuh. Berbohong untuk kebaikan, menyelamatkan nyawanya.
Blunder yang dilakukan dan tak disadari teis ketika berusaha mengonstruk stempel ngawur bahwa ateis tanpa tuhan tak bermoral dengan menunjuk pembunuhan yang dilakukan ateis (Stalin, Lenin) LEBIH BANYAK daripada pembunuhan yang dilakukan teis.
Usaha pembelaan diri ini menjadi
bumerang.
Stalin tidak sepenuhnya dapat dianggap ateis berdasarkan data sejarah yang ada tentang dirinya. Tapi, mari kita anggap aja ia benar ateis. Lantas apa?
Jika ateis ‐‐ yang dianggap sebagai orang-orang tak bermoral ‐‐ melakukan perang yang memakan banyak korban
nyawa, bagaimana dengan teis ‐‐ yang dianggap orang-orang mulia/bermoral, yang berada di jalan benar ‐‐ yang berperang dan membunuh atas nama agama dan tuhannya? Bukankah semestinya mereka lebih baik? Ironis, bukan?
However, he like his comrades rejected it fairly early on after reading Marxis.
Agter becoming General Secretary it is recorded that Stalin did attend church - he even went to confession. Three times. Once during the Red Terror in 1937, once in 1941 when the Germans were
racing over Russia, and once in 1950 only a few years before he died. The priest to whom he confessed stated that he did attend, but refused to say what he had said. He took the truth to his grave.
Lemme put it this way, let's just assume he and other dictators are
Apa sih yang mesti dilakukan jika kebosanan menyerang? Kalo kaum tertentu bernama OKNUM akan melampiaskan kebosanan dengan kemarahan ke orang lain.
Kalo aku? Selalu mencoba mengusirnya dengan alkohol 40 %.
Mabuk, terhuyung-huyung, (alkohol, bukan dogma, ya) namun kesadaran masih melekat, membuatku menertawakan diri.
Aku sedang menguji diriku dengan alkohol. Untung bukan mabuk dogma. Bakal lebih berbahaya ,berpotensi mencelakakan yang lain selain diri.
Dari dulu, waktu sekolah, aku sudah doyan alkohol, tapi nggak sampai kecanduan. Aku mampu mengontrol rokok dan alkohol. Mau disebut jago minum, entahlah, yang jelas teman-temanku yang disebut pendekar alkohol KO tak sadarkan diri termuntah-muntah, aku yang minumnya lebih banyak