Sesuai yg saya sampaikan semalam, saya ingin meluruskan bbrp hal agar tidak disalahpahami. Kami ucapkan terima kasih utk dukungan, kritik, dan pengawalan Tum @PartaiSocmed. Bagimana sih latar belakang kasus emas Rp 189 T yg menjadi kontroversi ini? Saya bahas dlm #utas berikut.🙏
1) “Yg dipermasalahkan soal impor kok klarifikasinya tentang lain yaitu kasus ekspor?"
Begini. Januari 2016, KPU Bea Cukai Soetta melakukan penindakan atas eksportasi emas melalui kargo yg dilakukan oleh PT. Q, yg kemudian ditindaklanjuti dengan penyidikan di bidang kepabeanan.
2) Saat itu, PT. Q submit dokumen PEB (ekspor) dgn pemberitahuan sbg Scrap Jewellry, namun petugas KPU BC Soetta mendeteksi kejanggalan pada profil eksportir dan tampilan x-ray sehingga diterbitkan Nota Hasil Intelijen (NHI) untuk mencegah pemuatan barang. Proaktif oleh BC!
3) Benar saja, saat dilakukan pemeriksaan terhadap barang ekspor disaksikan oleh PPJK dan perusahaan security transporter (DEF), ditemukan emas batangan (ingot) alias tidak sesuai dokumen PEB. Bahkan seharusnya ada Persetujuan Ekspor dari Kemendag.
4) Ditemukan bahwa dalam setiap kemasan disisipkan emas bentuk gelang dalam jumlah kecil untuk mengelabui x-ray. Seolah yg akan diekspor adalah perhiasan. Sehingga, dilakukan penegahan dan penyegelan barang dalam rangka penyelidikan lebih lanjut.
5) Menariknya, pada 2015 PT. Q pernah mengajukan permohonan SKB (pembebasan) PPh Pasal 22 Impor (DPP senilai Rp7T) namun ditolak DJP karena WP tidak dapat memberikan data yang menunjukkan atas impor tersebut menghasilkan emas perhiasan tujuan ekspor. Jadi DJBC dan DJP sinergi.
6) Jadi ini memang modus PT Q mengaku sebagai produsen Gold Jewellry tujuan ekspor untuk mendapat fasilitas tidak dipungut PPh Pasal 22 Impor emas batangan yang seharusnya 2,5% dari nilai impor (PMK No.107/PMK.010/2015 pasal 3). Modus ini terungkap karena kerja lapangan.
7) Sehingga jelas kenapa kegiatan ekspor disebut dalam klarifikasi kami. Karena ekspor-lah yg menjadi indikasi awal adanya tindak pidana di bidang kepabeanan oleh PT. Q. Dan tentu penyidikan yg dilakukan menyeluruh hingga tahapan impor. Itulah duduk perkara secara kronologis.
8) Setelah dinyatakan P-21, atas perkara PT. Q dilakukan persidangan dengan hasil Putusan Nomor 2120/Pid.Sus/2016/PN.Tng tanggal 14 Februari 2017, yakni terdakwa terbukti melakukan perbuatan yang didakwakan tetapi BUKAN merupakan tindak pidana. Lhadalah!?
9) Tak menyerah, DJBC mengajukan Kasasi dg putusan: a.No 1549K/Pid.Sus/2017 tgl 20 Nov 2017 : Terdakwa Mr. X (Perorangan) Dir PT Q terbukti secara sah & meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana dg pidana penjara 6 bulan & denda Rp2,3 M.… twitter.com/i/web/status/1…
10) Namun, PT. Q mengajukan Peninjauan Kembali (PK) dengan Putusan Nomor 199 PK/PID.SUS/2019 tanggal 17 Juli 2019 yang menyatakan PT. Q Terbukti melakukan perbuatan yang didakwakan tetapi BUKAN merupakan tindak pidana. Nah jelas ya di sini. Putusan MA yg menyatakan ini. Inkracht
11) Paralel dg penanganan perkara PT. Q tsb, Kemenkeu-PPATK bersinergi dg pemeriksaan proaktif atas entitas PT. Q oleh PPATK, penelitian administrasi kepabeanan oleh DJBC, penelitian administrasi perpajakan oleh DJP, kemudian setelahnya penyelidikan dugaan TPPU. PPATK kirim LHP
12) Saya insert di sini mengenai apa yg disampaikan Pak Mahfud, bahwa ada LHP PPATK yg diserahkan 2017 dan diterima DJBC dan Itjen. Bukan tdk ditindaklanjuti. Justru sdg berproses maka dilakukan kegiatan intelijen utk memperkuat ini. Apalagi 2019 ternyata PK memenangkan terdakwa
13) Berdasarkan case PT. Q serta ditemukannya kesamaan modus, PPATK menyampaikan SR-205/PR.01/V/2020 kepada DJBC (by hand), berisi IHP atas grup perusahaan yg bergerak di bidang emas (9 WP Badan, 5 WP OP) dengan total nilai transaksi keuangan (keluar-masuk) sebesar Rp189,7 T.
14) Selain itu sejak 2020 juga dilaksanakan tripartit yg merupakan forum intelijen Joint Analysis dengan callsign Jagadara (Juanda – Gatot Subroto – Rawamangun) dengan tujuan untuk optimalisasi penerimaan negara. Antara PPATK, DJP, dan DJBC.
15) DJBC kemudian menindaklanjuti SR tsb, salah satunya dengan analisis kepabeanan (ekspor-impor) dan disimpulkan belum ditemukan adanya indikasi pelanggaran pidana di Bidang Kepabeanan. Nanti kita bahas sesuai ketentuan kepabeanan yg berlaku global.
16) Mempertimbangkan tdk adanya unsur pidana kepabeanan & telah dilakukan penyidikan, divonis, namun kalah di tingkat Peninjauan Kembali (PK), maka dilakukan optimalisasi melalui tindak lanjut aspek perpajakan melalui surat PPATK nomor SR-595/PR.01/X/2020 yg disampaikan ke DJP.
17) Data di SR tsb dimanfaatkan DJP utk pemeriksaan bukti permulaan thd PT. Q, sehingga WP melakukan Pengungkapan Ketidakbenaran & diperoleh pembayaran sebesar Rp1,25 M serta berhasil mencegah restitusi LB SPT Tahunan 2016 yg sebelumnya diajukan oleh PT. Q sebesar Rp1,58 M.
18) Sehingga menjadi jelas bahwa Kemenkeu tidak mendiamkan apalagi menutup-nutupi data PPATK ke Bu Menteri. Semua dapat dijabarkan dengan akuntabel, transparan, bahkan digunakan untuk optimalisasi penerimaan . Trmsk mengenai impor akan kami bahas tuntas.🇮🇩🙏
19) Mhn maaf ada penyempurnaan informasi: sesuai ketentuan, yang mengajukan kasasi adalah Jaksa Penuntut Umum sesuai KUHAP. Tentu DJBC sbg penyidik dan JPU punya posisi yang sama shg memutuskan utk kasasi.
20) Kemenkeu akan terus berkoordinasi dg PPATK dan APH lain, tentu dlm arahan Komite Nasional PP TPPU. Ini untuk memastikan tindak lanjut bersama sesuai kewenangan, apabila terdapat indikasi TPPU berdasarkan penyidikan pidana asal. Terima kasih utk dukungan dan sinergi yg bagus.
• • •
Missing some Tweet in this thread? You can try to
force a refresh
Halo bung @kafiradikalis, belum apa2 kok sudah ngecap Bu SMI busuk?! Dibanding menebar kebencian, mustinya tak sulit ya mencari kebenaran. Pengaduan urusan pribadi Bursok Anthony Marlon (BAM) ini tak pernah dilengkapi substansi/bukti. Bagaimana mau diproses? Saya jelaskan ya
1. Benar memang pada tahun 2022 (bukan 2021 seperti yg tersebar), BAM menyampaikan pengaduan melalui WISE Kemenkeu mengenai perusahaan investasi tempat menampung dananya yg ia duga fiktif dan ada keterlibatan bank di dalamnya. Clear ini masalah pribadi ya.
2. Pengaduan tersebut telah dilakukan verifikasi oleh Itjen Kemenkeu dan dinyatakan: Belum dapat ditindaklanjuti dengan catatan agar pelapor mendetilkan dugaan penyimpangan yang tercantum dalam pengaduan. Pengaduan tak jelas, apa yg mau diproses?
Bang @Hasbil_Lbs, terima kasih. Saya senang karena bisa menjelaskan lebih terang. Sejak 2011 saya bukan PNS. Lalu saya bekerja di private sektor hingga membuka kantor. April 2020 saya menjadi Stafsus Menkeu, maka kembali melapor LHKPN yg harus saya isi dg jujur sesuai fakta.
1) Saya bekerja di Ditjen Pajak Kemenkeu selepas lulus dari STAN. Orang dusun Gunungkidul yg tak pernah punya mimpi muluk. Hanya pengin bekerja. Saya bangga dan senang dapat bekerja di sini, hingga memutuskan resign 2010 yg disetujui 2011. Sy wajib lapor LHKPN waktu itu.
2) Saya resign baik2. Saya berkonsultasi dg pimpinan dan pamitan. Di tahun saya resign, bertepatan menerima penghargaan sebagai salah satu pegawai berprestasi dari Dirjen Pajak saat itu, Bapak M Tjiptardjo. DJP adalah rumah pertama yg tak terlupakan. Pembentuk pondasi hidup saya.
Terima kasih @korantempo menulis ttg ini. Sangat mengejutkan kami, ketika Tempo yang dikenal pro pada welfare state, pemerataan, dan egalitarianisme - justru tampak seperti kubu konservatif AS yg anti-pajak. Saya tanggapi dan kritik argumen Tempo sbg tanggung jawab pd publik.
1) @korantempo kurang memahami konteks dg baik. Justru pemerintah dan DPR telah melakukan kajian mendalam bahwa salah satu isu penting dlm sistem perpajakan kita adalah keadilan. Ini prinsip dasar: pajak itu gotong royong dg prinsip ability to pay, kemampuan ekonomi warga.
2) Prinsip ability to pay: yang mampu membayar pajak, yg tidak mampu dibantu. Yang lebih mampu membayar lebih besar. Ini tercermin dlm tarif pajak yg progresif. Semakin besar penghasilan, dikenai tarif pajak lebih tinggi. Hal sangat basic ini luput dari pemahaman Tempo.
Sebagai orang yg sehari-hari menggeluti isu pajak dan mengadvokasi secara serius sejak 12 tahun lalu, saya senang pajak kini jadi isu publik. Meski kadang ada kekeliruan, itu tak mengurangi buah penting: kesadaran publik meningkat, rasa memiliki bertambah. Masa depan kita cerah!
Terus terang memahami pajak itu tak mudah. Barangkali karena sudah ada pra anggapan: tak ada yang suka dengan pajak. Lepas dari itu, pajak memang sangat teknis. Mengandaikan pengetahuan akuntansi, hukum, administrasi, ekonomi. Belakangan juga hukum, sosiologi, bahkan psikologi.
Bagaimana membedakan jenis2 pajak: pajak pusat vs pajak daerah, pajak langsung vs pajak tak langsung, pajak subyektif vs pajak obyektif, dst. Membedakan Pajak Restoran vs PPN kita kerap luput. Pajak Kendaraan Bermotor dan PBB dipungut Pemda, tak semua paham. Ini pekerjaan rumah.
Bu @DokterTifa, mari berargumen menggunakan kaidah. Bu Menkeu bilang aman bukan tanpa dasar. Dengan indikator yg berlaku, khalayak internasional pun bilang posisi utang Indonesia aman. Hanya butuh akal sehat dan sedikit kejernihan utk paham. Coba saya jelaskan #utas
1) Pertama saya jelaskan dulu kenapa Indonesia harus berutang. Jadi untuk mengejar kemajuan negara lain, menciptakan akselerasi pembangunan nasional, sekaligus menjaga momentum pertumbuhan, pemerintah mengambil kebijakan fiskal ekspansif.
2) Kebijakan fiskal ekspansif adalah kebijakan yang posisi Belanja Negara lebih besar daripada Pendapatan Negara sehingga menimbulkan konsekuensi yaitu defisit anggaran. Untuk menutupnya, dibutuhkan pembiayaan, antara lain berupa instrumen utang.
Perkasa! Ekspor menjadi faktor signifikan atas pertumbuhan ekonomi Indonesia 5,72% pada Q3 lalu. Seiring tren surplus neraca perdagangan 30 bulan berturut2, ekspor Indonesia tumbuh 21,6% yoy. Tentu ini tak lepas dari peran SMV milik @KemenkeuRI yaitu LPEI #utas#eximbank
1) Kaya sumber daya, Indonesia memiliki potensi ekspor yg besar. Dibentuknya LPEI (Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia/Indonesia Eximbank) melalui UU 2/2009 merupakan wujud negara hadir utk para pelaku ekspor khususnya UMKM dlm mengembangkan & memajukan usaha ke kancah global.
2) Sebagai Special Mission Vehicle (SMV) Kemenkeu, LPEI diberikan mandat khusus untuk mendorong ekspor nasional melalui pembiayaan, penjaminan, asuransi, dan jasa konsultasi. LPEI jg melakukan Penugasan Khusus Ekspor serta turut menjadi bagian dalam program PEN. #LPEI#eximbank