Netrakala Profile picture
Apr 4, 2023 161 tweets 19 min read Read on X
-A Thread-
Tumbal Tali Pewaran Part 2 - Misteri Kematian
@IDN_Horor @bacahorror_id @threadhororr
@menghorror @P_C_HORROR
@Penikmathorror @ceritaht
@karyakarsa_id
#bacahorror #penumbalan

Jangan lupa untuk RT, like dan coment ya.
Danke... Image
Bagi temen-temen yang belum baca part 1 silahkan baca terlebih dahulu agar bisa memahi alur ceritanya.
Dan juga untuk teman-teman yang ingin membaca versi ebook bisa mampir ke karyakarsa, sembari memberikan dukungan atau tips karya.
karyakarsa.com/netrakala/tumb…

Dukungan kalian sangat berarti untuk saya.
Danke,,,
Part 2 - Misteri Kematian

Kegemparan benar-benar terjadi di Desa Renggono pagi itu. Mayat Ningrum masih tergantung di kasau dapur.
Atas permintaan dari Pak Kades, tidak ada satu orang pun yang diperbolehkan menyentuh bahkan mendekati jenazah Ningrum, hingga pihak kepolisian datang.
Adit yang baru pertama kali melihat kengerian seperti itu seolah terhipnotis. Jasad Ningrum yang tergantung membuat dirinya bergidik ngeri. Dengan mata melotot dan lidah yang terjulur, belum lagi darah yang mengalir dari kedua kakinya.
“Sungguh aneh, Bagaimana bisa orang yang gantung diri mengeluarkan darah dan janin yang ada didalam rahimnya?” batin Adit keheranan.
“Dit, sebaiknya kamu pulang dulu” ucap Pakdhe yang membuyarkan lamunan Adit.

“Kenapa Pakdhe?” tanya Adit,

“Tidak apa-apa, lebih baik kamu pulang dulu temenin Budhe, nanti kalau kamu mau ikut acara pemakaman bisa kesini lagi” ujarnya lalu pergi menuju ke arah Pak Kades.
“Aneh” batin Adit. Kini beberapa warga juga memperhatikan Adit. “Cari siapa mas?” tanya seorang laki-laki yang baru saja melangkah menuju ke tempat Adit berdiri.

“Oh, engga Pak, saya cucunya Nenek Harjo, keponakannya Pak Marwanto” jelas Adit,
“Oh, anaknya Gunawan? yauda sekarang kamu pulang dulu ke rumah Nenekmu. Tidak baik bagi orang luar desa melihat aib seperti ini” ucap orang itu sambil tersenyum,

“Baik Pak, maaf saya permisi dulu”, ucap Adit dan melangkah pergi meninggalkan rumah Mbok Sarmin.
Beberapa kali Adit berpapasan dengan warga yang hendak pergi ke rumah Mbok Sarmin, sesekali dia melemparkan senyum kepada mereka. Adit terus melangkah hingga saat berada dipersimpangan, dirinya sedikit memelankan langkahnya.
Ada seorang wanita yang berdiri tidak jauh dari tempat Adit, tatapanya terlihat kosong. Penampilannya pun sungguh tidak terawat, menggunakan baju seperti daster panjang, rambut kotor dan seolah sudah lama tidak ia bersihkan.
“Dit... Adit...” terdengar sebuah suara yang Adit kenal. Budhe Ijah tengah berdiri beberapa meter didepannya, terlihat dia membawa beberapa kantong plastik kresek berisikan sayuran dan bahan pangan lainnya.
“Ngapain kamu bengong disitu?” tanya Budhe keheranan.

“itu Budhe...” baru saja Adit memalingkan mukanya kearah wanita itu berdiri, sosok tersebut sudah hilang.
“Sudah sekarang pulang dulu” ajak Budhe sambil menyeret Adit untuk mengikutinya.

“Benar Dit, Ningrum meninggal?” tanya Budhe.

“Iya Budhe, gantung diri... Tapi ada yang aneh...” sambil ucap Adit menceritakan kembali bagaimana kondisi Ningrum.
“Serius kamu Dit?” ucap Budhe Ijah, yang tiba-tiba saja berhenti saat mendengar penuturan dari Adit.

“Kenapa Budhe?” tanya Adit bingung.

“Tidak apa-apa Dit, Budhe cuma kaget. Yuk buruan pulang” kata Budhe melanjutkan berjalan mendahului Adit.
Sesampainya di rumah, Adit langsung menuju kamar dan langsung merebahkan badannya diatas kasur. Mata Adit terpejam, pikirannya sudah keluar dari tubuhnya. Bayangan akan Dinda, Ningrum dan sosok wanita yang ditemuinya berputar terus dikepalanya.
Adit tidak tau berapa lama dirinya terlelap, dia terbangun karena mendengar suara-suara yang tepat berada di depan kamarnya. Suara percakapan, yang Adit tau itu bukan hanya berasal dari Nenenk, Pakdhe dan Budhenya. Penasaran, segera Adit bangkit berniat untuk melihat keluar.
Membuka pintu, Adit mendapati didepannya ada beberapa orang salah satunya adalah laki-laki yang tadi berada di tempat Mbok Sarmin.
“Sudah bangun dit?” tanya Nenek yang melihat Adit berdiri didepan pintu kamarnya.

“iya nek, ketiduran... Semalam kurang tidur” jawab Adit, sambil tersenyum kepada orang-orang yang ada didepannya.

“Sini, Dit... Duduk sini” pinta Pakdhe.
“Kenalin Dit, ini Pak Kades namanya Pak Prianto” ucap Pakdhe.

“Ini anaknya Gunawan? wah sudah besar ya?” ujar Pak Prianto sambil menyalami tangan Adit.
Terlihat jelas bagi Adit, orang yang didepannya ini memiliki perawakan yang tegas. Dari gaya bicaranya juga menunjukan kalau dia sebetulnya bukan orang yang suka basa basi.
“Eh.. iya Pak, saya Adit, cucunya Nek Harjo” kata Adit tersenyum. Mengangguk – angguk dan tersenyum kemudian dia memalingkan mukanya kepada Nenek
“Jadi, nanti Mbok Sarmin sementar bisa tinggal disini dulu, Bu? Saya khawatir kalau dibiarkan sendirian dirumahnya malah justru bisa berbuat nekat”
“Tidak masalah, biar dia disini terlebih dahulu. Mungkin nanti pengajian tetap dilakukan dirumahnya. Setelah selesai baru nanti dia bisa beristirahat dirumah ini” ucap Nenek terlihat sendu.
Adit perhatikan mata Nenek juga masih memerah, karena merasa tidak nyaman dengan perbincangan mereka. Adit berpura-pura pergi ke kamar mandi.
Sudah hampir 15 menit lebih Adit berada dikamar mandi, namun ada sesuatu yang menahannya untuk terus berdiam diri didalam. Dia sebetulnya tidak ingin ikut campur atau mengetahui apa yang sebenarnya terjadi dengan keluarga Mbok Sarmin.
Akan tetapi, entah kenapa ada rasa penasaran yang timbul, untuk mengetahui penyebab dari kematian Ningrum. Tersadar kalau itu semua bukanlah urusannya.
Adit mencoba menghilangkan niatannya untuk mengetahui lebih lanjut mengenai peristiwa yang ia lihat pagi ini. Dia pergi kedesa ini untuk liburan, jangan sampai malah justru menambah masalah.
“Dit.. masih lama?” terdengar suara Pakdhe dari arah luar kamar mandi yang membuyarkan lamunannya. Buru-buru Adit melangkah membuka pintu,
“kamu ini dikamar mandi kok lama banget Dit” ucapnya, sambil nyelonong masuk kedalam. Tidak menjawab, Adit berjalan dan duduk diamben dan segera menikmati makanan yang sudah disediakan.
“Mbok Sarmin untuk sementara ini tidur di rumah ini Dit, kasian kalau dia harus dirumahnya sendirian” Ucap Pakdhe, yang kini juga sudah duduk disamping Adit.
“Iya Pakdhe,...” hanya itu yang bisa Adit ucapkan. Toh dia juga tidak ada masalah jika Mbok Sarmin harus tinggal sementara di rumah Neneknya.
“Jadi jam berapa Pakdhe pamakaman dilangsungkan?” tanya Adit, sembari menuangkan secangkir kopi.

“Jenazah Ningrum masih di Rumah Sakit. Mungkin besok atau lusa baru bisa dikuburkan” jawab Pakdhe.
“Kematiannya begitu aneh, walau ini bukan pertama kalinya” lanjutnya, sambil menghidupkan sebatang rokok.
“Maksudnya, kejadian seperti ini sudah pernah terjadi sebelumnya?” ucap Adit kaget.

“Dulu, dulu sekali pernah ada kejadian seperti ini, dan... sudah lupakan saja mungkin cuma kebetulan” ucap Pakdhe dengan menghela nafas panjang.
Jelas sekali ada sesuatu yang ingin disampaikan oleh Pakdhe Marwanto. Tampak sekali ada raut kekhawatiran yang muncul di wajahnya.
Melihat expresi Adit yang penasaran, Pakdhe tersenyum. “Sudah, tidak perlu kamu pikirkan, tujuanmu kesini kan untuk liburan.
Dan kalau kamu mau pergi-pergi untuk sementara jangan sendirian dulu” ucap Pakdhe sambil bergegas pergi meninggalkan Adit yang masih termenung memikirkan ucapannya.
*****
Waktu berlalu dengan cepat, seharian ini Adit hanya berdiam diri dikamarnya. Menuruti apa yang Pakdhenya perintahkan. Ada rasa bosan yang muncul... ingin rasanya pergi mencari udara segar,
tapi sayangnya sedari siang setelah kepulangan Pak Kades, semua orang yang ada dirumah pergi ke tempat Mbok Sarmin untuk membantu persiapan pengajian. Baru pada sore sehabis Ashar mereka semua baru pulang.
“Sini, makan dulu...” ucap Nenek sambil menepuk-nepukan tangannya saat melihat Adit datang dari arah kamarnya.

“Mbok Sarmin kemana?” tanya Adit yang sudah duduk disebelah Neneknya.
“Dia masih dirumahnya, nanti malam ada pengajian, mendoakan anaknya. Kamu mau ikut atau gimana?” jawab Nenek sambil menyodorkan teh hangat untuk Adit.
Awalnya Adit ingin ikut ke tempat Mbok Sarmin, tetapi dia ingat dengan ucapan laki-laki yang mengatakan bahwa kematian Ningrum merupakan aib Desa dan lagi pula Adit juga orang asing di Desa ini, jadi lebih baik dia tidak ikut ke tempat Mbok Sarmin.
“Engga Nek, Adit masih gak enak badannya, Adit dirumah aja ya?” ucap Adit tersenyum. Sedang Pakdhe dan Budhenya hanya mengangguk mendengar jawaban Adit.

“yauda, nanti semua pintu jangan lupa dikunci” ucap Nenek sambil pergi meninggalkan dapur menuju kamarnya.
*****
Malam datang begitu cepat. Nenek, Pakdhe dan Budhenya sudah pergi ke rumah Mbok Sarmin dari sebelum magrib. Setelah makan sore tadi Adit langsung beranjak pergi dan masuk kedalam kamar.
Tidak ada kegiatan yang dia lakukan, hanya bolak balik mengambil hp dan terus memandangi foto Dinda yang masih ia simpan.
Begitu kangennya Adit dengan Dinda, kadang dia merasa jengkel, marah. Tapi ada satu waktu dimana dia merasa dirinya benar-benar ingin bertemu dengan wanita itu.
Merasa jengah dengan apa yang dia rasakan, Adit bangkit bangkit untuk membuka jendela kamarnya. Berharap udara segar bisa sedikit membuat pikiran dan batinnya tenang. Sebatang rokok juga sudah dia pegang diantara kedua jarinya.
Dan juga untuk teman-teman yang ingin membaca versi ebook bisa mampir ke karyakarsa, sembari memberikan dukungan atau tips karya.

karyakarsa.com/netrakala/tumb…

Dukungan kalian sangat berarti untuk saya. Danke,,,
Jreeess.... suara korek api yang digunakannya untuk membakar rokok yang sudah sedari tadi ia pegangi. Dihisapnya dalam-dalam rokok sudah ia nyalakan.
Beberapa kali dia menghembuskan nafas bersamaan dengan keluarnya asap dari mulut dan hidungnya. Malam itu benar-benar terasa sendu bagi Adit, bahkan sepertinya alam juga mendukung apa yang sedang Adit rasakan. Benar-benar sepi dan tenang.
Sejenak Adit berdiam diri, memejamkan mata dan merasakan hembusan angin yang menerpa wajahnya. Ada sedikit rasa aneh yang mengganggu pikirannya.
“Apa memang setiap hari seperti ini atau memang persaannya saja kalau tiap malam menjelang, Desa ini akan terlihat lebih menyeramkan” Batinnya.
Sreeeekkkk... Seketika Adit membuka mata. Ada seseorang yang sedang membuka pintu, Adit terdiam dan mendengarkan, alih alih ada suara neneknya atau anggota keluarga yang lain, justru keheningan yang membuat bulu kuduk Adit berdiri.
Berniat untuk mengecek kedalam, Justru kini Adit menangkap sesuatu yang mengganggu matanya. Ada orang yang tengah berdiri seolah sedang memandanginya. Adit tertegun, ia tidak bisa melihat dengan jelas siapa sosok itu.
Cahaya dari tiang listrik, naungan bayangan dari pepohonan dan kabut tipis membuat pandangan Adit sedikit kabur. Gluuudaaaakkk.... Adit tiba-tiba tersentak dan menengok. Ada sesuatu yang jelas sekali membanting salah satu perabot yang ada didapur Neneknya.
Teringat dengan siluet orang yang tengah memperhatikannya, Adit kembali berpaling melihat ke arah luar. Namun sosok tersebut sudah tidak ada, padahal Adit hanya memalingkan kepalanya sepersekian detik.
Tiba-tiba saja bulu kuduknya meremang, segera dia membuang rokoknya keluar dan menutup jendela dengan rapat. Dengan perasaan yang tidak enak, Adit mencoba untuk merebahkan badannya diatas kasur.
Berharap agar matanya bisa terpejam dan tertidur pulas. Baru saja dia memejamkan matanya, terdengar jelas suara lirih tangisan wanita.
Adit langsung duduk, dia mencoba mendengarkan dengan seksama. “Mungkin Mbok Sarmin” batin Adit, karena mengira anggota keluarganya sudah berada didalam rumah. Tapi ada yang aneh, sedari tadi Adit tidak mendengarkan ada percakapan yang muncul dari arah luar kamarnya.
Meskipun merasa takut, rasa penasaran Adit jauh lebih besar. Ia segera bangkit dan berjalan menuju pintu kamarnya. Saat membuka pintu dan mengedarkan pandangan, tidak ada seorangpun yang terlihat.
Sepi,... Bahkan lampu yang ada dikamar Nenek maupun Pakdhenya juga belum menyala, yang berarti mereka saat ini masih dirumah Mbok Sarmin.
“Hiks...hiks...hiks...” sekali lagi Adit mendengar suara lirih tangisan wanita. “Nek...?” panggil Adit. Tidak ada jawaban sama sekali. Jantung Adit berdebar semakin kencang, ia mulai berjalan menuju kearah dapur.
Dihidupkannya lampu-lampu yang belum menyala berharap dengan penerangan dia bisa melihat sumber suara tersebut. Hingga saat dia sudah berada di ambang pintu dapur, juga tidak terlihat seorang pun berada disana.
Adit sudah ingin kembali kekamarnya, tapi ada yang sesuatu yang membuatnya bertahan. Seingatnya tadi dia sudah menutup pintu dapur saat orang-orang sudah pergi ke tempat Mbok Sarmin,
“Siapa yang membuka pintu belakang, apa tadi sudah ada yang pulang terus pergi lagi dan lupa menutup pintu?” batin Adit keheranan. Sekali lagi Adit mengedarkan padangannya setiap sudut dapur, tapi tidak mendapati ada orang disana.
Melangkah, berniat untuk menutup pintu. Adit melihat sedikit kearah luar, pandangannya tertuju pada seseorang yang sedang duduk meringkuk.
“Nek...?” ucap Adit pelan... tidak ada jawaban. Jelas sekali wanita itu sedang menangis. Tangisan pilu membuat siapa saja yang mendengarkannya akan merasa iba.
Adit melangkah pelan mendekati sosok tersebut, dia tidak berfikiran sama sekali tentang sesuatu hal-hal mistis. “budhe...? sekali lagi Adit mencoba memanggil, tapi sama saja tidak ada sahutan dari sosok itu. Menghela nafas, Adit kembali melangkah.
Namun betapa kagetnya dia, wanita itu memalingkan kepalanya dengan cepat. Bahkan Adit seperti mendengar suara seperti tulang yang dipatahkan menjadi dua.
Kini dihadapan Adit ada sosok Ningrum, perempuan yang ia lihat jasadnya pagi tadi. “Tolong mas... tolong aku... hiks... hiks... hiks... ini bukan anaku... tolong” ucapnya sambil mengangkat benda merah yang ada ditangannya.
Melihat itu, sontak Adit langsung menutup pintu dengan cepat. Dia berlari masuk kedalam kamarnya buru-buru dia mengunci pintu.
Nafasnya memburu, jantungnya berdetak lebih cepat dari biasanya. “Astaugfirulloh... Astaugfirulloh...” berkali-kali Adit menyebut nama Allah. Ini baru pertama kalinya dia melihat setan.
Setengah berlari Adit menuju kearah meja, dia segera mengambil Handphone yang sedari tadi tergeletak disana. Tangannya begitu gemetar, tanpa sadar badannya sudah basah kuyup oleh keringat.
Adit mencoba menghubungi Pakdhenya, sia-sia tidak ada jawaban. Kembali dia mencoba menghubingi Budhenya.
Beruntung, “Halo, kenapa dit” ucap Budhe lirih, terdengar dibelakangnya orang-orang sedang mengaji.

“Bbb—budhe, tolong....” tiba-tiba saja sambungan telp mati.
“sial...” ucap Adit panik. Adit terdiam, kini ada sesuatu yang berjalan mondar-mandir didepan kamarnya.

Tanpa aba-aba... langsung saja, Adit membuka jendela dan melompat keluar. Dia belari..., dan terus berlari... tidak peduli kearah mana tujuannya, Adit berlari sekuat tenaga.
Hingga saat sadar, dia sudah ada didepan sebuah rumah yang cukup besar. Tok...tok...tok... Adit terus mengetuk pintu rumah itu, sambil sesekali melihat kearah belakangnya.
Nafasnya masih memburu, ingatan bagaimana wujud setan Ninggrum benar-benar masih terpeta jelas didepan matanya.
Pintu rumah terbuka, dia mendapati ada seorang wanita yang tengah berdiri sedang menggendong anak laki-laki. “Tolong bu, tolong...” ucap Adit meminta bantuan kepada wanita tersebut.
“Mas... mas kenapa...? pak, pak...” teriak wanita itu kedalam rumah. Beberapa saat kemudian seorang laki-laki muncul.

“Adit? Kamu kenapa? sudah masuk dulu” ucapnya sambil membawa Adit masuk kedalam rumah.
Beberapa saat Adit tidak bisa bicara, “Sudah kamu tenang dulu, ini diminum” kata Prianto sambil memberikan segelas air kepada Adit.
“Apa yang terjadi?” tanya Prianto, saat melihat Adit sudah mulai tenang.

“Tadi dirumah Nek Harjo...” Adit menceritakan apa yang terjadi pada dirinya, dari mulai dia melihat ada orang yang mengamati dari jauh, sampai sosok Ningrum yang meminta tolong.
Prianto yang mendengar cerita Adit sejenak tertegun, kemudian dia bangkit dan segera meminta istrinya untuk menghungi Marwanto, kalau Adit saat ini sedang berada dirumah mereka.

“Sekarang kamu tenang dulu, setelah ini biar Marwanto datang untuk menjemputmu”
Benar saja, tidak berselang lama. Terdengar suara sepeda motor yang berhenti didepan rumah Pak Prianto. Tok...tok...tok... “Assalamualaikum...”

“Waalaikumsalam, masuk dulu Wan” ucap Pak Prianto, mempersilahkan Pakdhe untuk masuk.
“Kamu kenapa dit, tadi budhemu bilang kamu telephone dan meminta tolong. Saat di cek dirumah kamu sudah tidak ada...” ucap Pakdhe khawatir.
“Sudah tenang dulu, kasian keponakanmu” kata Pak Prianto. Karena saat itu Adit masih terlihat shock, butuh beberapa waktu bagi mereka untuk menunggu dan menangkan.
“Tadi pakdhe, saat Adit dirumah... adit melihat setan Ningrum” ucap Adit dengan bergidik, ini benar-benar pengalaman pertama bertemu dengan yang namanya hantu. Baginya dikota besar tidak ada yang namanya hantu atau setan atau apapun sebutannya.
“Serius kamu?” tanya Pakdhe yang masih tidak percaya, lantas kemudian Pak Prianto memberitahu secara detail apa yang Adit ceritakan kepadanya. Ada raut kekhawatiran yang muncul dari diri Pak Prianto.
“Masalahnya itu siapa yang sedang bermain-main dengan ilmu hitam itu, Pri” ucap Pakdhe. Mendengar hal itu Adit langsung mendongak.
“Kalau seperti ini jelas keponakanku yang bisa dituduh sebagai dalang dari semua ini. Dia baru saja datang ke Desa ini, sorenya bertemu Ningrum. Dan paginya Ningrum sudah meninggal” ucap Pakdhe gelisah.
Adit yang mendengar ucapan Pakdhe benar-benar bingung, apa yang sebenarnya sedang terjadi.

“Dalang? dalang apa?” batin Adit sambil melihat Pakdhenya.
“Kamu yang tenang Wan, sebisa mungkin kita cegah orang yang sedang menuntut ilmu hitam itu, hanya kamu dan beberapa orang warga saja yang tau. Besok keponakanku datang kesini, dia mengerti hal-hal gaib. Semoga dia bisa membantu kita” ucap Pak Prianto mencoba menangkan Pakdhe.
Adit, yang sudah tidak bertenaga hanya mendengar obrolan mereka. Tapi dia menyimpan rapat-rapat apa yang sudah didengarnya malam ini. Sebelum Adit dan Pakdhe pulang, Pak Prianto berpesan agar kejadian yang dialami Adit sebisa mungkin dirahasiakan. Terutama pada Mbok Sarmin.
“Setelah ini, kamu langsung bersih-bersih dan tidur. Jangan buka jendela kalau mau merokok didalam kamar atau ruang keluarga. Kalau ada yang tanya bilang saja tadi ada maling yang mencoba untuk masuk kedalam rumah. Kamu paham dit?” ucap Pakdhenya tegas dan dalam.
Adit yang sebetulnya tidak paham maksut dari semua ini, hanya bisa menganggung. Dia berniat bertanya kepada Pakdhenya esok hari.
Benar saja, saat mereka sampai dirumah Nenek dan Budhenya masih menunggu diteras rumah. Tampak sekali raut wajah cemas dari wajah kedua wanita itu.

“Astaugfirulloh Adit, kamu kenapa?” ucap Nenek sambil memeluk Adit erat-erat.
“Sudah Bu, biarin Adit masuk dan beristirahat, biar nanti Marwan yang menjelaskan” kata Pakdhenya.

Segera mereka masuk kedalam rumah. Adit tidak mendapati Mbok Sarmin sama sekali. Tapi jelas ada suara wanita yang sedang menangis lirih dari dalam kamar Nenek.
“itu Mbok Sarmin, sudah kamu sekarang bersih-bersih biar dibuatkan minuman hangat sama Budhemu” kata Pakdhe menggiring Adit menuju kamar mandi.
Setelah selesai mandi, adit segera duduk diamben dapur. Sesekali pandangannya mengarah ke pintu yang ada di depannya. Masih teringat jelas sosok Ningrum yang ia temui beberapa waktu lalu.

“Diminum dulu, biar enakan” ucap Budhe sambil memberikan secangkir teh jahe kepada Adit.
“Benar tadi ada yang mencoba maling dirumah kita Dit?” tanya Nenek, sekilas sebelum menjawab Adit mengerling Pakdhenya.
“Iya Nek, awalnya Adit kira itu kalian, tapi saat Adit cek ternyata ada orang yang mungkin sedang berniat tidak baik, langsung saja Adit pergi ke kamar.
Karena memang orang itu terus mondar mandir didepan kamar Adit. Langsung Adit lompat dari jendela dan berlari, tau-tau sudah ada dirumah Pak Kades” kata Adit berbohong.
Awalnya nenek tidak percaya dengan ucapan Adit, karena merasa aneh. Tidak ada satupun barang yang hilang. Hanya beberapa perabot dapur yang berserakan dilantai.
“ya sudah, kamu tidur. Nanti Pakdhe tidur di ruang tengah. Kalau ada apa-apa langsung bangunin Pakdhe ya” ucap Pakdhenya. Mengangguk Adit segera beranjak menuju kamarnya.
Sesampainya dikamar, Adit langsung merebahkan dirinya. Ada keinginan besok untuk langsung pulang ke kota. Tapi Pakdhe justru memintanya tetap tinggal selama beberapa hari.
Mau tidak mau Adit menuruti apa yang Pakdhe Marwan katakan, ia juga cemas kalau-kalau setan Ningrum mengikutinya hingga ke kota.
******
Pagi sudah menjelang, semalaman Adit tertidur dengan pulas. Rasa lelah dan pegal karena beberapa kali terjatuh membuat dirinya langsung bisa memejamkan matanya. Jendela kamar juga sudah ada yang membuka.
Kreeek...Kreeek... terdengar jelas suara tulang yang kembali keposisi semula saat Adit menggeliat dan merentangkan tangan dan kakinya.
Ada rasa malas untuk beranjak, terlebih dengan kejadian semalam ingin rasanya dia kabur dari Desa ini. Menghela nafas, Adit bangkit dan berjalan menuju arah dapur.
“Gimana sudah enakan, Dit?” ucap Nenek yang melihat Adit masuk ke dapur.

“Sini duduk dulu” pinta Pakdhe Marwan. Karena terbiasa setelah bangun tidur Adit harus bersih-bersih dahulu,
termasuk gosok gigi dan mengeluarkan isi perutnya, dia beranjak ke kamar mandi sebelum bergabung bersama Pakdhenya.
“Sehabis sarapan kamu ikut Pakdhe ke ladang ya?” kata Pakdhe, saat setelah menyeruput kopi yang masih terlihat mengepul. “Boleh Pakdhe, sekalian cari udara segar” jawab Adit.
“Budhe kemana Pakdhe?” tanya Adit saat tidak melihat keberadaan Budhenya. “Budhe lagi nganterin Mbok Sarmin ke pasar, beli keperluan untuk pengajian nanti malam,...
nanti malam kalau kamu tidak mau ikut...” “Adit ikut, daripada harus sendirian dirumah” sela Adit sebelum Pakdhenya menyelesaikan kalimatnya.
Rehat dulu, nanti dilanjut...
“Siap-siap sekarang Dit, kita jalan ya ke ladangnya. Sekalian olahraga kamu” ucap Pakdhe, tersenyum saat melihat Adit hendak mengambil kunci motor yang tergenantung di dinding dekat meja TV.
“Semalam Adit juga sudah olaharaga Pakdhe” sungut Adit tidak terima dengan ucapan yang terlontar dari bibir pria paruh baya itu.
“iya, yauda. Bu Aku pamit ke kebun, nanti kalau ada apa-apa langsung kabari ya” ujar Pakdhe sambil mencium tangan Nenek. Segera Adit juga melakukan hal yang sama.
Mereka berdua berjalan menuju ladang, beberapa warga yang mereka temui tersenyum ramah. Bahkan ada yang sengaja menghentikan mereka hanya untuk sekedar menanyakan siapa Adit.
“Dari sini, sampai ujung sana dekat dengan hutan itu. Kebun milik Kakekmu, sekarang yang ngurusin ya cuma Pakdhe karena Buapakmu itu tidak mau, lebih milih jadi pengacara katanya” kata Pakdhe sambil menunjukan dimana saja batas ladang milik Kakeknya.
Setau Adit memang Pakdhenya ini lulusan sarjana pertanian. Jadi dia juga pasti tau seluk beluk tentang pekerjaannya saat ini.
Adit hanya melihat-lihat apa yang dikerjakan Pakdhe Marwan, sesekali dia berbincang dengan warga yang pekerja menggarap ladang milik Kakeknya. “luas juga” batin Adit.
“Dit sini...” Panggil Pakdhe setengah berteriak, Adit melihat ia sedang duduk disaung bersama seorang laki-laki yang Adit kenali sebagai pria yang menyuruhnya pulang saat berada dirumah Mbok Sarmin.
“Kenalin ini Dit, Kang Amar” kata Pakdhe sambil memperkenalkan sosok kang Amar kepada Adit. Kang Amar sendiri memiliki perawakan tinggi kekar, kulit khas orang pegunungan. Garis muka tegas dan memiliki kharisma.
“Kang...” sapa Adit. “Terakhir kali, lihat kamu masih SD, sekarang sudah besar. Gimana kabar Gunawan dikota?” ucap Kang Amar. Setelah itu mereka bertiga membicarakan hal-hal yang remeh. Baru Adit tau kalau memang dulu Ayahnya juga merupakan anak yang badung di Desa ini.
Siang semakin terik, beberapa kali Adit mengipasi kepalanya dengan topi yang ia kenakan. Pakdhe dan Kang Amar sekarang sedang berjalan tidak jauh dari saung tempat Adit berteduh.
“Dit, kita pulang sekarang. Jenasah Ningrum sudah dibawa ke rumahnya” ujar Pakdhe terlihat terburu-buru. Adit hanya bisa menurut, dan segera mengikuti Pakdhenya dan Kang Amar.
Sesampainya dirumah Mbok Sarmin, sudah banyak warga yang bergerombol. Beberapa sedang menyiapkan kursi. Dan sebagian lainnya bergegas menuju pemakaman untuk membuat liang lahat bagi Ningrum.
“Jangan jauh-jauh dari Pakdhe” ucap Pakdhenya sambil menyeret Adit untuk dekat-dekat dengannya. Entah kenapa, semenjak kejadian semalam Adit merasa, Pakdhe Marwanto selalu berusaha agar Adit tidak lepas dari pengamatannya.
“Pak Kades...” sapa Pakdhe, saat sudah duduk disebelah orang nomor satu di Desanya itu. Beda sekali dengan nada pembicaraan yang Adit dengar semalam, kini Pakdhe sedang berbicara dengan pemimpinnya bukan dengan teman sebayanya.
“Eh, Mar... dari mana?” jawab Pak Kades tersenyum “setelah pemakaman, kalian datang ke rumah ya” lanjutnya lirih yang hanya bisa didengar oleh mereka bertiga.
Prosesi pemakaman Ningrum berlangsung cepat. Jarak antara rumah dan kuburan tidak terlampau jauh. Sebelum prosesi pemakaman dimulai, Adit sengaja membantu warga desa untuk menyiapkan segala sesuatunya.
Beberapa kali dia melewati tempat dimana jasad Ningrum ditemukan, mungkin ini hanya perasaannya saja, tapi tiap kali dia melintas bau amis selalu tercium olehnya.
Jasad Ningrum sudah selesai dikuburkan, tidak ada sesuatu yang terjadi saat prosesi pemakaman. Hanya Mbok Sarmin yang terus menerus menangis dan pingsan beberapa kali.
Wajar pikir Adit, karena ditinggal anak semata wayangnya. Orang tua mana yang tidak sedih saat melihat anaknya pergi mendahuluinya.
“Adit ikut kerumah Pak Kades, Pakdhe?” tanya Adit lirih, saat mereka semua berjalan kembali dari pemakaman.
“iya, ikut saja” ucap Pakdhe yang kini berjalan mendahului Adit. Sesampainya dirumah Pak Kades, nampak sudah ada beberapa orang, termasuk Kang Amar dan sosok yang pernah Adit temui sebelumnya.
“Arif?” ucap Adit sedikit kaget, tidak menyangka kalau dia akan dipertemukan lagi oleh orang yang menurutnya asik, tapi sedikit aneh.
“Loh, kalian saling kenal?” kata Pak Prianto keheranan. “Ini pemuda yang Arif ceritakan Pak” ucap Arif tersenyum sambil menyalami Adit dan Pakdhe Marwanto.
Seolah keberadaan mereka tidak layak menjadi konsumsi publik, Pak Prianto mengiring mereka untuk duduk teras belakang rumahnya. Seteko kopi dan makanan ringan juga sudah tersaji.
Tak luput sebelum mereka masuk, semua orang diwajibkan untuk membersihkan diri dahulu. Mengingat di rumah itu ada seorang balita. Khawatir jika ada sawan yang menempel dari kuburan.
“Jadi, Mbok Sarmin sudah mengetahui penyebab kematian Ningrum?” tanya Pak Amar, seketika atmosfir yang berada diruangan itu berubah. Yang awalnya santai, penuh dengan gurauan kini semua menatap Pak Amar dengan sungguh-sungguh.
“Sudah, tadi saat aku berada dirumahnya, aku meminta Mbok Sarmin dan Nek Harjo untuk berbicara sebentar” ucap Pak Prianto, terlihat asap dari rokok yang ia hisap keluar dari bibir dan hidungnya.

“Jadi, apa penyebab kematian Ningrum? Apakah benar dia bunuh diri?” tanya Pak Amar.
“Tidak, penyebab kematiannya memang gantung diri, tapi ada faktor lain yang membuatnya meninggal... Ada seseorang yang memaksa janinnya keluar dan membawa ari-ari si jabang bayi” ucap Pak Prianto dengan menutup matanya.
Adit yang mendengar hal itu merasa merinding hebat, bulu kuduknya tiba-tiba berdiri. Mengingat setan Ningrum yang ia temui tadi malam.

“Biadab, orang yang melakukan itu,... sudah tidak bisa dikatakan lagi sebagai manusia” geram Pakdhe mendengar penuturan Pak Kades.
“Sekarang masalahnya bukan disitu, pelaku ini memang bukan lagi manusia tapi iblis yang menyerupai manusia. Kalau kita membiarkan orang ini berkeliaran.
Kejadian itu akan terulang kembali. Ingat 3-4 bulan setelah kematian Asih? Ada korban selanjutnya, dengan kondisi yang sama walau kondisinya jasadnya terbilang jauh lebih baik” ujar Pak Prianto serius.
Adit hanya diam mengamati orang-orang disekitarnya, kalau memang ini pertemuan rahasia agar tidak menghebohkan warga. Kenapa pula Adit yang bisa dikatakan orang “asing” justru ikut duduk diantara orang-orang ini.
“Kau tau kenapa orang itu meninggalkan jasad Ningrum dan janinnya? dan hanya membawa ari-ari dari bayi yang bahkan masih dalam hitungan bulan?” tanya Pak Amar kepada setiap orang yang sedang duduk disana.
Kepala Adit mulai terasa berat, dia tidak memahai apa yang sedang dibicarakan orang-orang ini. Sedang Arif juga sedari tadi hanya diam memperhatikan, sesekali mata merka bertemu tapi Adit tidak bisa menangkap apapun yang mereka maksudkan.
“Tumbal” ucap Arif seketika.

“Benar, entah untuk kekayaan atau apapun aku tidak tau, yang kumaksudkan sekarang. Siapa yang membuahi Ningrum?, sampai tidak ada satupun orang yang tau kalau Ningrum sedang hamil” ucap Pak Amar.
Otak Adit berfikir keras, benar siapa yang sudah menghamili Ningrum dan anehnya tidak ada seorangpun yang tau tentang kabar kehamilan ini.
“Bisa jadi orang yang menghamili itu adalah pelakunya” ceplos Adit, dia tidak sadar akan apa yang dia katakan. Padahal sedari tadi dia sudah berniat hanya untuk mendengarkan, kini semua orang yang ada dimeja itu mentap Adit.
“Ya, sayangnya kita tidak tau, dan semua saksi yang melihat keberadaan Ningrum sebelum meninggal, mengatakan kalau mereka tidak pernah melihat dia sedang dekat dengan laki-laki” Kata Pakdhe.
“Dulu aku pernah mendengar cerita dari orang tuaku, aku masih ingat. Ada kejadian yang mirip sekali... Ada orang yang memang sedang mendalami ilmu hitam.
Dan dia melakukan hal yang sama, yaitu dengan menghamili dan mengambil ari-ari dari wanita yang dihamilinya itu, kalian tau apa itu?” tanya Pak Amar, tersenyum kecut.

“Tumbal Tali Perawan” kata Arif dengan mata membulat sempurna.

-TBC-
Dan juga untuk teman-teman yang ingin membaca versi ebook bisa mampir ke karyakarsa, sembari memberikan dukungan atau tips karya.

karyakarsa.com/netrakala/tumb…

Dukungan kalian sangat berarti untuk saya.
Danke,,,
kalau seumpama aku kasih give away, Bima full part gimana ya? setuju kah? walau tinggal 3 part lagi update di twiiter heheh
Ada yang uda update nih, part 5....

"Calon Tumbal" part 5 sudah tersedia di karyakarsa ya.

Bagi temen-temen yang blm, RT dan like mohon bantuannya agar yang lain juga bisa ikut membaca.

Terimakasih

karyakarsa.com/netrakala/tumb…

• • •

Missing some Tweet in this thread? You can try to force a refresh
 

Keep Current with Netrakala

Netrakala Profile picture

Stay in touch and get notified when new unrolls are available from this author!

Read all threads

This Thread may be Removed Anytime!

PDF

Twitter may remove this content at anytime! Save it as PDF for later use!

Try unrolling a thread yourself!

how to unroll video
  1. Follow @ThreadReaderApp to mention us!

  2. From a Twitter thread mention us with a keyword "unroll"
@threadreaderapp unroll

Practice here first or read more on our help page!

More from @netrasandekala

Aug 4
a Thread -
Wangsulan - Part 1
Saudara Kembar Ku Mati Karena Ritual Sesat Ayah.

@IDN_Horor @bacahorror Image
Disclaimer.
Cerita Pendek selesai di part 2 ( Sudah selesai di @karyakarsa).
Tidak diperkenankan untuk reupload cerita ini dalam bentuk apapun tanpa seizin Netrakala.
WANGSULAN
-Part 1-

“Menikah?” Tanya ku kaget.

“Iya, kapan mau nikahi aku? Aku butuh kepastian mu, mas” Jelas Hasna.
Read 95 tweets
Jul 12
-a thread
Kromoleo - Part 6 (END) Bag 2
Sebuah Pertanda Malapetaka
Ijin taq
@bacahorror
@IDN_Horor
#ceritaseram #ceritahoror Image
Last part.

Kita Lanjutakan ya.
Part sebelumnya...
Aku terus melangkah, menuju ke rumah Najib. Sesekali aku melihat ada sekelebat bayangan bergerak di sampingku.

“Nduk”
Read 109 tweets
Jul 8
-a thread
Kromoleo - Part 6 (END)
Sebuah Pertanda Malapetaka
Ijin taq
@bacahorror
@IDN_Horor
#ceritaseram #ceritahoror Image
Kita lanjut Part terakhir ya.

Mohon maaf jika ada kesalahan kata atau ejaan yang kurang baik.

Buat teman-teman minta komentarnya ya...
Read 95 tweets
Jul 3
-a thread
Kromoleo - Part 5
Sebuah Pertanda Malapetaka
Ijin taq
@bacahorror
@IDN_Horor
#ceritaseram #ceritahoror Image
Part 5

Aku hanya berdiri di ambang pintu, mencari keberadaan Ratih. Namun yang ku temui hanya kesunyian.

Beberapa kali aku menyorot senter ke segala sisi, bahkan ke arah keranda di ujung ruangan.
Read 133 tweets
Jun 17
-a thread
Kromoleo - Part 4
Sebuah Pertanda Malapetaka
Ijin taq
@bacahorror
@IDN_Horor
#ceritaseram #ceritahoror Image
Sebelum lanjut ceritanya, minta bantu untuk RT, like dan coment ya.
Read 132 tweets
May 27
-a thread
Kromoleo - Part 3
Sebuah Pertanda Malapetaka
Ijin taq
@bacahorror @IDN_Horor

#ceritaseram #ceritahoror Image
Sebelum lanjut ceritanya, minta bantu untuk RT, like dan coment ya.
Read 148 tweets

Did Thread Reader help you today?

Support us! We are indie developers!


This site is made by just two indie developers on a laptop doing marketing, support and development! Read more about the story.

Become a Premium Member ($3/month or $30/year) and get exclusive features!

Become Premium

Don't want to be a Premium member but still want to support us?

Make a small donation by buying us coffee ($5) or help with server cost ($10)

Donate via Paypal

Or Donate anonymously using crypto!

Ethereum

0xfe58350B80634f60Fa6Dc149a72b4DFbc17D341E copy

Bitcoin

3ATGMxNzCUFzxpMCHL5sWSt4DVtS8UqXpi copy

Thank you for your support!

Follow Us!

:(