Sejak membacanya 10 tahun lalu, tak banyak lagi yang kuingat dari novel ini selain garis besarnya saja. Novel ini dibuka dengan ingatan Minke atas sejarah hidupnya dan sejak itulah cerita dimulai. Membaca melalui tokoh pertama, bikin cerita seperti dimulai dari kertas kosong.
Kehidupan Minke menjadi tak seperti biasanya dengan kehidupan di HBS yang penuh dengan impian-impian modernitas setelah diajak oleh Robert Suurhof, teman sekolahnya, ke rumah Robert Mellema, seorang indo yang juga sekolah di sekolah yang sama.
Saat itu, tak semua orang bisa sekolah di HBS. Hanya mereka yg berdarah Belanda totok/Indo serta para bangsawan pribumi yg bisa mengakses sekolah tersebut. Hal ini bikin lingkar pertemanan Minke relatif lebih luas dibandingkan kebanyakan orang yg hanya di Sekolah Rakyat (SR).
Kedatangan Minke di rumah Nyai Ontosoroh menjadi awal dari sejarah panjang hidupnya sebagai seorang pribumi. Pada hari pertama, saat makan malam digelar, Herman Mellema datang dan merusak suasana.
Pada saat itulah, status pribumi Minke dipersoalkan dan tetap dinilai rendah walaupun bisa berbahasa Belanda oleh Herman Mellema. Walaupun begitu, hal tersebut tidak membuat Minke getir. Demi gadis pujaannya, Annelis, juga daya magis Nyai Ontosoroh yang tak bisa ditolaknya.
Pertemuan malam itu ternyata bukan pertemuan terakhir. Beberapa waktu kemudian, Nyai Ontosoroh mengirimkan surat kepada Minke sekaligus permohonan untuk kembali mendatangi rumah tersebut. Rumah yang Minke anggap penuh misteri.
Sosok Nyai yang begitu cerdas dan bisa mengalahkan kualitas kecerdasan dan kepintaran wanita Eropa waktu itu.
Sementara sosok Annelis, gadis pujaannya yang penuh teka-teki. Kadang ia bisa menjadi seperti anak kecil yang sering merengek, tetapi pada saat mengurus perusahaan dan bersinggungan dg para pekerja, ia tampil seperti majikan yang cukup dewasa.
Minke akhirnya datang ke rumah Nyai Ontosoroh dan membawa satu koper untuk pakaiannya. Minke mau tak mau dan takluk untuk memenuhi permintaan Nyai. Sejak saat itulah, perlahan misteri keluarga Indo ini diketahuinya.
Namun, tak berselang lama di rumah tersebut, Minke dijemput paksa oleh seorang agen/Intel yang tak lain adalah suruhan ayahandanya. Saat itu, sang ayah baru saja resmi menjadi Bupati B dan mau menggelar prosesi pelantikan yang juga dihadiri oleh pejabat kolonial.
Dari babakan ini, kita akan tahu bahwa Minke merupakan bangsawan Jawa yang mesti merangkak saat menemui ayahnya walaupun sudah berpendidikan Eropa. Pram begitu tajam mengkritik budaya Jawa ini melalui perenungan Minke saat terpaksa melakukan hal tersebut.
Selain itu, kita tahu bagaimana pemerintahan kolonial Belanda bekerja dengan menunjuk bupati yang setara dengan Gubernur Jenderal/Asisten Residen. Karena itu, dengan ini pula, Belanda adalah kolaborator dari karisidenan/kesultanan yang ada dalam kekuasaan Belanda di Jawa.
Setelah acara pelantikan tersebut, Minke awalnya ingin langsung ke Wonokromo. Namun, saat dalam perjalanan bersama Darsam, ia dicegat oleh seorang tak dikenal yang diduga sebagai suruhan Robert Mellema.
Khawatir dg nasibnya, Minke pun dibawa Darsam untuk diungsikan ke tempat Mevrouw Tèlinga. Di rumah itu, Minke membaca banyak surat, termasuk surat dari Miriam de la Croix, anak Asisten Residen yg mengharapkan agar ia jd pemula untuk mengangkat harkat martabat Jawa sebagai bangsa.
Di rumah tersebut, awalnya, ia ingin sekali memutuskan hubungan dengan Nyai Ontosoroh dan Annelis. Namun, saat Darsam kembali datang dan membawa kabar bahwa Annelis sedang sakit, Minke seolah tak bisa menolak agar ia segera pergi ke Wonokromo, kembali ke rumah Nyai Ontosoroh.
Setelah mendengar dr dokter yg merawat Annelis, memperkuat dugaan Annelis pernah punya traumatis—pengalaman yg pernah diceritakan Annelis kpd Minke bahwa ia pernah diperkosa saudaranya, Robert Mellema. Sejak itu, Minke jadi "dokter pribadi" Annelis & mengurus segala keperluannya.
Tak lama kemudian, seorang mata-mata sedang mengawasi Minke dan hal itu terjadi secara berulang-ulang. Darsam yang menjaga rumah tak tahan melihat tingkah orang asing tersebut.
Ia pun segera melakukan pengejaran walaupun hal itu Minke larang karena akan membahayakan Nyai sebagai pemilik rumah. Kepalang tanggung, Darsam pun tak mengindahkan saran tersebut dan melakukan pengejaran. Minke pun mengejar Darsam agar tak berbuat lebih jauh.
Sementara itu, Annelis pun ternyata ikut berlari yang diikuti oleh Nyai Ontosoroh. Mereka pun sama-sama sampai di Plesiran Aba Ah Tjong untuk segera menangkap orang asing yang sejak tadi mengintai rumah Nyai.
Namun, belum juga menemukan orang asing tersebut, Darsam menemukan Herman Mellema tergeletak tak bernyawa lagi. Setelah diperiksa, Herman Mellema mati karena racun dengan dosis tinggi.Peristiwa tersebut ternyata bukan peristiwa biasa.
Tak lama berselang, polisi datang & segera memeriksa siapa yg terlibat. Sejak itu, Minke dan Nyai secara bergantian jadi topik pemberitaan di berbagai koran, baik milik Belanda, Melayu, maupun Tionghoa. Kasus ini pun dibawa ke persidangan dan berakhir dg dihukumnya Aba Ah Tjong.
Walaupun persidangan tersebut selesai, Minke belum bisa bernapas lega. Ia dipanggil oleh komite sekolah yang menyatakan berbagai keberatannya saat Minke dicecar Jaksa dan Hakim di persidangan. Di persidangan tersebut, Minke terbukti kumpul kebo dan itu dianggap asusila oleh HBS.
Tidak hanya itu, persidangan tempo hari tersebut merupakan sidang yang amat rasis. Hanya karena Minke seorang pribumi totok yang hidup serumah-sekamar dengan Annelis, seorang peranakan pribumi-eropa atau yang biasa disebut Indo, ia dianggap telah melanggar hukum asusila.
Hal ini kemudian mengusik Minke dan juga Nyai Ontosoroh. Nyai kemudian merasa keberatan dengan hal tersebut karena dirinya juga kumpul dengan Herman Mellema tanpa hubungan resmi alias menjadi gundik.
Namun, kumpul kebo tersebut tak pernah dipersoalkan oleh hukum kolonial hanya karena Herman Mellema adalah seorang Eropa. Kejadian tersebut kemudian membuat Minke menggugat hukum rasis tersebut dengan menuliskannya di koran saat itu.
Namanya ramai diperbincangkan dan membuatnya mendapatkan dukungan publik, termasuk dukungan orang Belanda di Surabaya. Hukum Eropa melarang untuk mengusik kehidupan pribadi seseorang dan juga melarang membeda-bedakan menusia hanya karena warna kulit dan rasnya.
Setelah namanya tenar dan reputasinya di sekolah membaik hingga bisa sekolah lagi sampai lulus, Minke dan Annelis pun memutuskan menikah tepat dengan perayaan kelulusan Minke dari HBS. Alangkah bahagianya hidup mereka.
Namun, enam bulan setelah pernikahan tersebut, keluarga Wonokromo ini mendapat surat dari Pengadilan Putih Amsterdam bak meteor yg meluluhlantakkan nasib semua penghuni.
Surat Pengadilan Putih itu berbunyi bahwa Istri sah Herman Mellema dan anaknya jadi ahli waris atas seluruh kekayaan Herman Mellema di Hindia Belanda.
Selain itu, keputusan pengadilan tersebut, Annelis hanya dianggap sebagai anak Herman Mellema dan tidak mengakui Nyai Ontosoroh sebagai ibunya karena statusnya sebagai seorang gundik dan hubungan tidak sah.
Tidak hanya itu, Annelis juga dianggap masih di bawah umur dan menggugurkan status pernikahannya dengan Minke karena dianggap tidak sah di hadapan hukum kolonial.Minke dan Nyai Ontosoroh sudah sekuat tenaga untuk melawan keputusan hukum tersebut.
Namun, semua usaha tumpul karena status mereka sebagai pribumi tidak dianggap dalam hukum kolonial. Hal ini membuat apa pun yang dilakukan oleh Nyai statusnya akan menjadi milik Herman Mellema dan karena itu menjadi hak milik ahli waris: istri dan anak sah Herman Mellema.
Dari sekian panjang novel dengan ketebalan 535 halaman ini, dua-tiga terakhir jadi kunci inti yang disampaikan Pram dalam novel ini: kisah sepasang anak muda dan perjuangan seorang Nyai di hadapan hukum kolonial.
Tak berlebihan kiranya, jika Hanung Bramantyo Bumi Manusia sebagai kisah cinta antara Minke dan Annelis.
Dilarang Gondrong! Praktik Kekuasaan Orde Baru terhadap Anak Muda Awal 1970an ~ Aria Wiratma Yudhistira ~ @marjinkiri (2010, 2018), xxii + 180 hlm. Pengantar: Andi Achdian.
Utas dibuat untuk persiapan diskusi di #TemuSejarah minggu depan.
#BacaBukuSejarahBareng
Selain efisiensi partai politik menjadi tiga partai pada awal 70-an, upaya de-Sukarnoisasi terus dilakukan. Yang yang berkaitan dengan Sukarno terus dilucuti dan bahkan mesti dihilangkan.
Selain itu, selain kontrol partai politik berhasil & membuat rakyat dan mahasiswa berjarak dg partai politik, Orde Baru melakukan normalisasi awal dlm kehidupan sehari-hari. Mulai istilah pemuda yg diganti disebut menjadi remaja, hingga larangan dan bahkan razia rambut gondrong.
Penerbit: @penerbitkpg
Cetakan: Desember 2012
Ilustrasi sampul dan isi: Daniel "Timbul Cahya Krisna
#BacaBukuSejarahBareng #SeptemberHitam
Kisah seorang eksil 1965 selalu saja menarik diperbincangkan oleh siapa pun, termasuk generasi kiwari yang sudah berjarak puluhan tahun dengan generasi tersebut.
Kisah eksil dalam Pulang berhasil merangkum berbagai hal, baik secara personal maupun kelompok, tentang mereka-mereka yang tertolak kembali ke Indonesia karena dianggap terlibat sebagai aktivis PKI maupun underbownya.
Pakualaman hadir saat Inggris berhasil menduduki wilayah di Jawa yang dikuasai oleh Hindia Belanda, termasuk wilayah Vorstenlanden.
Karena itu, saat wilayah ini kembali menjadi wilayah Hindia Belanda dan setelah Perang Diponegoro/ Perang Jawa pemerintah tidak terlalu memberikan fokus pada kerajaan ini. Hal ini membuat bangsawan Pakualaman lebih leluasa dari pada bangsawan tiga kerajaan lainnya.
Jika dilihat sepintas, Kereta Semar Lembu saya kira seperti cerita dlm series Korea My Love From the sun. Series tersebut menceritakan seorang alien tampan yang terlempar ke bumi pada era Joseon dan terus hidup sepanjang masa sampai Korea Modern selama 400 tahun.
Namun, novel ini berbeda. Novel ini mengisahkan Lembu, tokoh utama yang lahir saat rel kereta pertama kali dibangun di Jawa di desa Kemijen yang menghubungkan Semarang dan wilayah Vorstenlanden pada 17 Juni 1864 saat Mr. L.A.J Baron Sloet van de Beele menjadi Gubernur Jenderal.
Sambungan utas #MenujuZamanBergerak bersama #BacaBukuSejarahBareng.
Tak lama saat pertama kali menginjakkan kaki di Surakarta, Tjipto langsung bergabung dengan Insulinde Surakarta, sebuah organisasi pengganti keberadaan IP. Namun, Tjipto tak bisa bebas bergerak. Tindak-tanduknya diawasi pemerintah.
Pada 1915, pamfletnya aparat keamanan dan rapat pertemuan yang ia inisiasi di Juana dibubarkan. Kondisi tersebut semakin parah saat Tjipto diancam dibuang ke luar Jawa jika masih ngotot dan cerewet terhadap pemerintah kolonial. Selain itu, hubungannya dg Bo juga tak semakin baik.