Saat Larasati meninggalkan Yogyakarta dengan kereta, pekik revolusi terus bergema di mana-mana, termasuk di dalam kereta yang ditumpanginya.
Para serdadu republik mengenali dan menyapanya selama perjalanan dan sepanjang perjalanan tersebut, ia banyak merenungkan kehidupannya sebelum api revolusi meletus dan bagaimana nasibnya di tengah huru-hara yang membawa cita-cita luhur.
Namun, saat tiba di Jakarta, Larasati diamankan oleh Surjo Sentono, seorang Kolonel inlander yang berbeda jalan dengan para republiken. Ara, panggilan akrab Larasati, ditemani oleh Mardjohan untuk berkeliling ke penjara-penjara kolonial.
Dalam percakapan di antara mereka, Ara diproyeksikan untuk menajdi bintang film propaganda.
Jujur, membaca Larasati terasa lambat sekali dengan adegan dan dialog yang cukup banyak. Apalagi saat Larasati diajak keliling penjara pengungsian dan bertemu dengan Si Sakit yang sempat diborgol tali hingga hal itu membuat Ara pingsan.
Setelah bangun, di sebuah tempat, Ara bertemu dengan Kolonel Drest dan Kolonel Surjo Sentono. Di tempat tersebut, pembicaraan tentang pembuatan film semakin detail sampai diputuskan bahwa penjara pengungsian akan menjadi latar cerita.
Setelah bosan diajak keliling penjara, Ara segera pergi ke sebuah rumah bersama Mardjohan. Entah rumah siapa itu. Di sana ada sepasang kakek-nenek kenalan ibunya. Bagi saya bagian-bagian ini sangat membosankan dan berjalan lambat.
Adegan-adegan kakek yang sempat curiga hingga ibunya Ara mesti menjelaskan panjang lebar.
Sampai halaman 100, Ara akhirnya bersama beberapa tentara republik menyusuri sebuah tempat untuk menghindari para Tentara Nica yang disinyalir akan membakar kampungnya.
Dalam adegan perang, Ara tak kuat melihat mayat bergelimpangan. Hanya dengan tangis ia merespons segala hal sekaligus revolusi bersenjata segera berakhir.
Cerita kemudian berlanjut saat Ara bertemu dengan pemuda Arab dan terlibat dalam huru-hara revolusi. Selain itu, ia bertemu dengan beberapa kematian orang-orang yang dikenalinya saat situasi semakin tidak terkendali.
Hingga akhirnya, Konferensi Meja Bundar berlangsung & Republik Indonesia Serius terbentuk. Novel ini berakhir happy ending saat Sukarno tampil berpidato di sebuah lapangan dan semua orang, termasuk para serdadu merayakan. Selain itu, Ara kembali lagi ke rumah tanpa rasa khawatir.
Saat menyunting buku temen antropologi, aku jadi cukup iri dengan penggunaan saya/aku dalam karya mereka. Berbeda sekali dengan jurusan sosial-humaniora lain yang kering sekali dan gak punya daya storytelling.
Selain itu, jurusan-jurusan dengan satu disiplin sering kali masih cukup egois untuk menggunakan disiplin lain yang sekiranya cukup kontekstual. Alhasil, cara pandang demikian membuat jurusan tersebut makin sempit dan sulit sekali berkembang dalam keilmuannya.
Belum lagi saat menemukan fakta bahwa kemampuan insan akademikus tersebut tak memadai.
Sejak membacanya 10 tahun lalu, tak banyak lagi yang kuingat dari novel ini selain garis besarnya saja. Novel ini dibuka dengan ingatan Minke atas sejarah hidupnya dan sejak itulah cerita dimulai. Membaca melalui tokoh pertama, bikin cerita seperti dimulai dari kertas kosong.
Kehidupan Minke menjadi tak seperti biasanya dengan kehidupan di HBS yang penuh dengan impian-impian modernitas setelah diajak oleh Robert Suurhof, teman sekolahnya, ke rumah Robert Mellema, seorang indo yang juga sekolah di sekolah yang sama.
Setelah sukses dengan "Semua untuk Hindia", butuh tiga tahun bagi Iksaka Banu untuk melahirkan kumpulan cerpen lagi pada 2017. Sebagaimana yang ditampilkan di sinopsis, kumpulan cerpen ini merupakan wajah lain Iksaka Banu yang lebih dulu hadir mewarnai jagad sastra media massa.
Dua cerita pertama menghadirkan kisah problematika rumah tangga berbalut perselingkuhan. Dlm "Film Noir", menceritakan Arya, sutradara yg berhasil bertemu dg Anggi, calon pemain bertalenta untuk film yg digarapnya. Tanda diduga, Anggi berhasil meyakinkan Arya bisa bermain film.
Semua untuk Hindia merupakan kompilasi cerpen pertama Iksaka Banu dalam belantika sastra Indonesia dan langsung disambut baik dengan berhasil meraih Kusala Sastra Khatulistiwa 2014.
Dalam cerpen "Selamat Tinggal Hindia", tokoh aku tampi sebagai Mertinus Witkerk, seorang wartawan De Telegraaf yang sengaja datang ke untuk melaporkan berita huru-hara di Batavia setelah kejatuhan Jepang.