Netrakala Profile picture
May 8, 2023 156 tweets 18 min read Read on X
-A Thread-
Lebur Sukma - Sosok Dari Masa lalu ( Part 3 )
Ijin Taq
@IDN_Horor @bacahorror_id @threadhororr
@menghorror @P_C_HORROR
@Long77785509 @karyakarsa_id
#bacahorror #penumbalan #ceritaserem

Jangan lupa untuk RT, like dan coment ya.
Danke... Image
Halo semua, uda seminggu nih, kita lanjutin part 3 lebur sukma ya...

Bagi teman-teman yang belum baca part sebelumnya bisa baca terlebih dahulu biar bisa mengikuti alur ceritanya. Buat yang belum follow bisa follow dulu, biar gak ketinggalan update ceritanya.
Bantu buat RT/QRT, Like dan Comment ya, biar yang lainnya juga bisa membaca cerita ini...

Part 1 - Peninggalan


Part 2 - Kepingan Misteri
Part 3
Sosok Dari Masa Lalu

Dinda sudah didalam kamar. Setelah makan malam selesai, mereka semua langsung masuk kedalam kamar masing-masing.
Lama Dinda berbaring dengan posisi menatap kearah atas. Bibirnya selalu merekah tersenyum, hatinya terasa lebih ringan, mengingat kejadian sore tadi bersama Bapaknya.
Hingga dia teringat akan ucapan Bapaknya. “Apa yang dimaksud Ayah dengan melindungiku” ucap Dinda lirih, dahinya berkerut. Memikirkan kalimat aneh yang dia tangkap.
Apa yang harus dilindungi? Sedang kondisi Ahmad saat ini juga tidak memungkinkan untuk berkelahi, jika ada orang yang mencoba menyakiti Dinda.
Sempat Dinda menanyakan sekali lagi kepada Ahmad, tapi lagi-lagi dia hanya menjawab dengan gelengan kepala. Bahkan saat Dinda iseng bilang ingin tidur dengan Bapaknya, langsung saja Ahmad menolak dengan tegas.
Dinda terus berfikir, mencoba menggabungkan semua kejadian yang telah dilaluinya selama berada hari dirumah ini.
Dari suara gamelan, sosok wanita yang belum ia ketahui identitasnya hingga tingkah aneh orang-orang yang ada disekitarnya. Seolah ada sesuatu yang memang sedang disembunyikan oleh mereka semua.
“Apa yang sebetulnya sedang mereka sembunyikan” ucap Dinda. Kepalanya mulai terasa berat, ingin rasanya menanyakan semua ini kepada Bapaknya.
Terlebih Dinda juga belum mengetahui, alasan kenapa Ajeng, Ibunya sampai tega membuangnya dipanti asuhan, hingga berbohong kepada setiap orang kalau Dinda sudah meninggal.
Dinda tiba-tiba saja tersentak, dan langsung bangun dari pembaringan. Telinganya ia tajamkan, kembali dia mengengar suara wayangan. Spontan Dinda menengok kearah jam dinding, dia mendapati waktu sudah menunjukan hampir tengah malam.
Dinda terdiam, sekali lagi dia mencoba menajamkan telinganya.

“Bukan, itu bukan suara dari radio” batin Dinda. Aneh sekali kalau memang itu suara radio kenapa suaranya terasa nyata dan begitu jernih.
Kali ini Dinda mencoba untuk berjalan kearah jendela, ingin memastikan kalau suara itu berasal dari luar rumah.
Saat sudah berada didepan jendela, Dinda menyibakkan tirai dan membuka sedikit, hingga telinganya ia tempelkan ke daun jendela. Tidak terdengar apapun, semua nampak sepi. Justru malah telinga kanannya mendengar suara wayangan itu berasal dari arah pintu kamarnya.
Sejenak Diam terdiam, menimbang-nimbang. Apa sebaiknya dia menyecek sekali lagi atau tidak, meski dia teringat dengan wejangan dari Bapaknya, tapi rasa penasaran itu terus saja muncul didalam hatinya.
Beberapa kali Dinda menghela nafas, memantapkan hatinya. Ia mulai berjalan kearah pintu. Suara itu semakin terdengar jelas walau masih terasa jauh.
Nekad, Dinda membuka pintu kamarnya, tujuan kali ini adalah area belakang. Jika memang benar itu suara radio, berarti bisa saja berasal dari Pavilun belakang yang dihuni oleh Pak Kusno dan Mbok Marni.
Jika benar berarti dia tidak perlu lagi memikirkan sumber suara wayangan yang sudah dua kali dia dengar.
Dinda berjalan perlahan menuju kearah dapur, semua nampak sunyi, hanya terdengar sayup-sayup suara wayangan. Bukan mendapat ketenangan justru malah atmosfir dirumah tersebut terasa lebih mencekam.
Beberapa kali bulu kuduk Dinda meremang, ingin rasanya kembali kedalam kamarnya. Tapi rasa penasarannya begitu tinggi. Tangannya kini sudah berada di handle pintu belakang rumah, perlahan Dinda membuka pintu itu, hingga...
“Wes tak tunggu, olehmu bali neng panggonan iki” (Sudah aku tunggu, dirimu kembali ketempat ini).
Tubuh Dinda menegang, dia tidak langsung menoleh kearah sumber suara. Kesadarannya mulai datang, dia sama sekali tidak melihat ada seseorang saat melangkah menuju ke tempatnya saat ini.
Bagi teman-teman yang uda penasaran dan pengen baca versi ebook bisa langsung klik link. Di Karyakarsa sudah sampai part 4 ya, silahkan bagi yang mau beberikan suport berupa dukungan atau tips karya. Terima kasih

karyakarsa.com/netrakala/lebu…
Kita lanjut setelah ibadah Magrib ya... Bagi yang mau nitip-nitip dulu silahkan... 😋
Perlahan Dinda menolehkan kepalanya. Kini tubuhnya terpaku, bibirnya menjadi kelu. Bahkan dia merasakan kalau kelopak matanya tidak berkedip sama sekali.
Diujung ruangan, Dinda melihat ada seorang wanita tengah duduk disalah satu kursi kayu. Dia tidak bisa melihat dengan jelas, karena posisi wanita itu membelakanginya. Hanya rambut panjang hitam yang lurus tergerai dibelakang punggungnya.
Tanpa menoleh kearah Dinda, tiba-tiba saja wanita itu bangkit dan berjalan kearah dalam rumah, tersadar Dinda mencoba untuk segera mengikuti langkah wanita itu.
Hingga dalam jarak beberapa meter Dinda melihat kalau ia tengah berdiri didepan kamar Bapaknya dan langsung saja membuka pintu dan masuk menghambur kedalam.
Blaaammm.... suara pintu kamar Bapaknya tertutup dengan keras sekali, seolah wanita itu dengan sengaja membanting dari dalam.
Panik, Dinda setengah berlari menyusulnya, tanpa pikir panjang dia langsung saja membuka pintu kamar Bapaknya.
Baru saja Dinda melangkah masuk, hatinya kembali mencelos. Kepanikan bertambah saat dirinya melihat banyak kelopak bunga mawar yang berserakan dilantai kamar milik Ahmad.
Berlari, Dinda langsung membuka pintu kamar mandi, tidak ada seorang pun disana. Kosong sama sekali tidak ada bekas dari wanita itu. Kembali Dinda menoleh kedalam kamar, sekarang matanya tertuju pada jendela.
Segera dia berjalan kearah jendala, namun sekali lagi dirinya merasa heran. Jendela kamar tertutup rapat, bahkan kait pengunci juga masih ada ditempatnya. Mencoba untuk mendorong tapi tetap saja jendela itu bergeming tidak mau terbuka.
Dengan jantung yang berdebar, dia melihat kearah tempat tidur Bapaknya. Perlahan Dinda mulai merendahkan tubuhnya. Lututnya kini sudah bersentuhan dengan lantai ubin batu yang dingin.
Sudah separo jalan Dinda membungkukkan tubuhnya untuk mengecek dibawah ranjang. Berfikir kalau wanita yang tadi ia lihat sedang bersembunyi dibawah tempat tidur.
Dug...dug...dug... Tiba-tiba saja terdengar suara dari arah almari besar di sisi ruangan yang lain. Dinda mematung, tubuhnya meremang hebat, bulu kuduknya berdiri dengan kuat.
Terus saja Dinda melihat kearah almari, sampai suara itu lenyap. Memberanikan diri, Dinda berniat untuk mengecek kedalam almari. Baru saja tangannya berada di handle pintu almari. Suara wanita itu kembali terdengar...
”Cah wadon, wes bengi wayah e turu” (Anak perempuan, sudah malam waktunya tidur) terlonjak Dinda langsung membalikan badannya. Mata Dinda membulat seketika.
Kini dengan jelas dia bisa melihat. Sosok wanita dengan kulit pucat dan rambut tergerai sedang duduk disamping Bapaknya. Wajahnya datar, tatapannya terlihat kosong, dan yang paling mengerian tangan wanita itu sedang membelai lembut kepala Ahmad.
Panik, ingin sekali Dinda menerikkan nama Bapaknya agar terbangun dari tidurnya. Tapi bibir Dinda terasa kelu, badannya sama sekali tidak bisa digerakan. Perlahan wanita itu bangkit, berjalan perlahan menuju kearah Dinda.

“LUNGO!!!” ( Pergi ) bentaknya.
Tersadar Dinda langsung saja berlari, tujuannya bukan kekamar. Melainkan kearah pavilun yang ditinggali Pak Kusno dan Mbok Marni.
“Pak... Pak Kusno... Mbok... Mbok Marni” ucap Dinda panik sambil terus saja mengetuk pintu paviliun. Sesekali kepalanya menoleh kearah belakang, takut kalau wanita itu mengikutinya.
“Dinda... Kamu kenapa” ucap Pak Kusno saat melihat Dinda tengah merosot didepan pintu kamarnya.

“Bu... Ibu...” Panggil Pak Kusno yang menolehkan kepalanya kedalam Paviliun.
“Opo Pak? Astaugfirulloh... kenapa ini Pak?” tanya Mbok Marni saat melihat Pak Kusno tengah jongkok didepan Dinda.
“Ambilkan minum” perintah Pak Kusno kepada Mbok Marni yang langsung masuk kedalam Paviliun, sedang ia mencoba untuk menenangkan Dinda.
“Sudah, diminum dulu, tenangkan diri kamu Din” ucap Pak Kusno, sambil menyerahkan segelas air kepada Dinda.
“Pak tolong, dikamar Bapak... tolong Pak” racau Dinda dengan badan yang masih gemetaran. Pak Kusno terdiam, bukan langsung berlari kearah kamar Ahmad tapi justru malah menatap kearah istrinya.
“Pak, itu tolongin Ayah” kata Dinda dengan suara meninggi, jengkel karena kedua orang ini justru malah terdiam dan tidak langsung pergi kekamar Bapaknya.
“Mbok, tolong temenin Dinda, biar Bapak cek kekamar Pak Ahmad” ujar Pak Kusno sambil berdiri.

“T—tapi Pak?” Kata Mbok Marni. Dinda bingung melihat mereka berdua.
“Sudah temani saja Dinda dikamarnya” ucap Pak Kusno tegas.

“Dinda ikut liat ke kamar Ayah” ujar Dinda yang ingin memastikan keadaan Ayahnya. Tidak berani menolak keinginan Dinda. Akhirnya Pak Kusno mengiyakan.
Mereka bertiga kini berjalan masuk kedalam rumah. Dinda masih sedikit merasa takut. Hingga saat mereka tiba didepan kamar Ahmad. Dinda tertegun, pintu kamar Ahmad sudah tertutup rapat.
Perlahan Pak Kusno membuka pintu kamar, semua nampak normal, Ahmad masih tertidur dengan pulas. Bahkan kelopak bunga yang ada dilantai juga sudah menghilang.
“Pak Kusno? Tadi disini banyak bunga mawar” ucap Dinda keheranan.

“Sudah... malam ini kamu tidur dengan simbok. Kamu gapapa kan tidur bareng simbok?” kata Pak Kusno, entah kenapa dari nada suaranya Dinda merasa kalau ucapan Pak Kusno penuh dengan penekanan.
Dinda tidak menolak, dia hanya menganggukkan kepalanya. Segera Dinda digiring kearah kamar bersama dengan Mbok Marni.
“Sudah Din, jangan dipikirkan dulu. Malam ini Simbok ijin tidur sama Dinda ya” ucap Mbok Marni yang tengah merapikan tempat tidur milik Dinda.
“Tapi Mbok?” tanya Dinda yang masih begitu penasaran. Mbok Marni menggelengkan kepalanya, menandakan kalau dia tidak akan menjawab pertanyaan Dinda. Menyerah, akhirnya Dinda mencoba untuk tidur, setidaknya untuk malam ini dia mengikuti kemauan dari Pak Kusno dan Mbok Marni.
****
Entah Dinda tertidur atau tidak, tapi rasanya dia seperti terjaga semalaman. Kilasan-kilasan sosok wanita dan Ayahnya silih berganti masuk kedalam benaknya. Bahkan saat dia terbangun kejadian semalam rasanya seperti mimpi.
Melihat kearah samping, ternyata Mbok Marni sudah tidak ada disampingnya. Sejenak Dinda merenggangkan otot-ototnya yang kaku.
“Pagi Mbok” sapa Dinda saat mendapati Mbok Marni tengah sibuk didepan kompor.

“Eh... Pagi Din, hari ini biar Simbok yang masak ya, semalaman kamu tidak bisa tidur to?” ujar Mbok Marni.
Dahi Dinda berkerut, “Simbok tahu kalau Dinda tidak bisa tidur nyenyak?” tanya Dinda penasaran.

“Semalaman Mbok dengar Dinda ngingau terus, pasti kebawa sampai mimpi ya?” jawab Mbok Marni yang kini tengah membuatkan teh hangat untuk Dinda.
“Maaf ya Mbok, sudah merepotkan” ucap Dinda merasa tidak enak dengan orang tua didepannya.

“Sudah, ndak papa... Dulu Simbok juga yang ngurusin Bapakmu, ndak usah dipikirin” jawab Mbok Marni saat meletakan teh hangat di meja depan Dinda.
“Ayah sudah bangun Mbok?” tanya Dinda

“Belum sepertinya, Din. Simbok sama Pak Kusno belum cek kesana”
“Yauda, Biar Dinda aja yang cek kesana” langsung saja Dinda beranjak menuju ke kamar Bapaknya. Sesampainya disana, Dinda sekali lagi mengedarkan pandanganya. Semua nampak normal sama seperti saat terakhir dirinya pergi meninggalkan tempat itu semalam.
Perlahan Dinda duduk dikursi samping tempat tidur. Lama dia memandangi wajah laki-laki yang sudah terlihat menua sebelum waktunya. Hati Dinda berdesir, pasti Bapaknya telah melalui hari-hari berat selama ini.
“Sebenarnya apa yang sudah terjadi yah? Apa yang sedang kalian sembunyikan. Kenapa kalian buat hidup kalian menjadi serumit ini” ucap Dinda.
Matanya mulai terasa panas, tenggorokannya tercekat sakit sekali. Tanpa bisa ditahan Dinda langsung menggenggam tangan Bapaknya. Tangisnya pecah tanpa suara.
“Ndug... Kamu kenapa?” Dinda menoleh... Dia mendapati Ahmad tengah memandangnya dengan pandangan penuh tanya.
“Gapapa, Yah, Dinda cuma kangen sama Ayah... Ayah cepat sembuh ya” ucap Dinda sesenggukan. Hatinya terluka saat melihat kondisi Ayahnya, apalagi dengan kejadian semalam.
Ahmad tertegun, ingatan demi ingatan muncul begitu cepat dikepalanya. Ingatan dimana dia melangsungkan pernikahan dengan Ajeng, ingatan bagaimana saat Dinda lahir... semua berlalu begitu cepat.
Tanpa ia sadari air matanya juga ikut meleleh. Menyesal dengan apa yang sudah dilakukannya selama ini. Seandainya dia bisa mencegah, pasti semua ini tidak akan terjadi. Dan keluarganya masih tetap utuh.
“Siang ini, antarkan Ayah ke makam Ibu dan Kakek Nenekmu ya?” tanya Ahmad.

Mendongak, buru-buru Dinda mengusap air matanya.
“Maaf Yah, harusnya Dinda bisa lebih dewasa” ucap Dinda, dia menyesal telah membuat Bapaknya menangis.
Ahmad menggeleng, “Manusia itu rapuh Ndug, tidak ada yang salah dengan menangis. Jika itu bisa melepaskan beban dihatimu” Ujar Ahmad, “Boleh Ayah minta tolong?”
“Apa Yah?” jawab Dinda.
“Tolong panggilkan Pak Kusno, badan Ayah sudah lengket semua, lihat baju Ayah sudah basah semua ini” ucap Ahmad yang terlihat tidak nyaman.
Terkekeh, bukannya langsung beranjak memanggil Pak Kusno, justru Dinda mengecup pipi Ayahnya cepat... Terkesima dengan perlakuan anaknya Ahmad tersenyum. Air matanya kembali meleleh, Hatinya terasa begitu bahagia...
“Kamu hidup lagi lewat anakmu Jeng” batin Ahmad, saat melihat Dinda berjalan keluar kamarnya.

“Pak Kusno kemana Mbok?” tanya Dinda saat sudah berada di dapur.
“Masih ngurusin taman sepertinya Din, Bapak sudah bangun?”

“Sudah mbok, tolong panggilkan Pak Kusno ya, sekalian bilang untuk tidak menceritakan kejadian semalam” jawab Dinda yang langsung berpaling dan berjalan kearah kamarnya.
Mbok Marni mengerutkan keninggnya, tapi tidak bertanya lebih lanjut. Dia tahu persis bagaimana paniknya Dinda. Bahkan saat tidur beberapa kali Dinda menyebut-nyebut nama Bapaknya dan seorang wanita. Tidak bertanya lebih lanjut, Mbok Marni langsung keluar mencari suaminya.

*****
Ahmad tertegun melihat putrinya. Matanya tidak berkedip, bibirnya setengah terbuka. “kenapa yah?” ucap Dinda sambil melihat setelah baju dan rok yang dia kenakan.
“Kamu mirip sama Ibumu, bahkan mungkin kalau Nenek masih hidup pasti dia akan heboh sendiri, mengira kalau kamu pasti Ajeng” jawab Ahmad tersenyum.
Dinda terdiam, matanya sorot matanya tiba-tiba berubah. “Dinda tidak mau terlihat seperti orang yang sudah membuang anaknya”
Deg... Seketika senyum lenyap dari bibir Ahmad. “Jangan bicara seperti itu tentang ibumu, Ndug” ucap Ahmad, entah kenapa dia merasa kesal mendengar apa yang Dinda ucapkan.
“Ya memang Dinda harus bicara apa Yah, kenyataannya memang seperti itu kan?” sanggah Dinda. “Sekarang Dinda tanya, kalau memang Ibu seorang wanita yang baik, kenapa dia tega membuang Dinda ke panti? Kenapa dia harus berbohong kepada suaminya kalau anaknya sudah meninggal?”
Semua yang ada diruangan itu terdiam, bahkan Mbok Marni dan Pak Kusno juga mencoba menghindari tatapan Dinda.
“See? Tidak ada yang bisa menjawab kan? sudah berapa kali Dinda tanya, tapi tidak ada alasan yang jelas” lanjut Dinda dengan sekali tarikan nafas.
“Kalau sudah waktunya nanti biar Pak Kusno dan Mbok Marni yang menjelaskan” ucap Ahmad, tatapannya terlihat sendu.
Dinda terdiam, tidak habis pikir dengan ucapan Bapaknya “Kenapa bukan Ayah yang menjelaskan, memangnya Dinda ini anak siapa? Anak Mbok Marni atau anak Ayah?”
Ahmad termenung, kepalanya terus saja menggeleng dengan kuat. “Bukan begitu, Ayah janji sama kamu, nanti pasti kamu akan tahu semua. Tapi tidak sekarang” ucap Ahmad.
Sontak Dinda langsung menatap kearah Mbok Marni dan Pak Kusno bergantian, mereka berdua masih terdiam, bahkan mencoba untuk menghindari tatapan Dinda.
“Baik, kalau memang Ayah tidak mau memberitahu, apa yang sebenarnya terjadi dengan keluarga ini. Biar Dinda cari tahu sendiri” kata Dinda jengkel.
“Kamu tidak keluar kamar seperti yang Ayah bilang kan?” ucap Ahmad penuh selidik.
Badan Dinda menengang seketika dia melirik kearah Mbok marni dan Pak Kusno, meskipun Ahmad sedang dalam kondisi sakit dan tidak bisa bergerak akan tetapi Dinda selalu merasa takut saat melihat sorot mata tajam Ayahnya.
“Ee—emang kenapa kalau Dinda keluar kamar malam-malam? Semalam Dinda haus ya ambil min...” jawaban Dinda terpotong
“Sudah Ayah bilang, jangan keluar kamar kalau sudah malam” bentak Ahmad. Dinda kaget dengan nada tinggi yang diucapkan oleh Bapaknya. Sejenak dia ingin memberontak, membalas perkataan Bapaknya. Namun justru tidak ada suara yang keluar.
Keduanya saling melotot beradu pandang. Dinda tidak habis pikir, kenapa Ayahnya bersikap sedemikian keras dengan aturan yang tidak masuk akal.
Apa dengan keluar kamar malam-malam akan bertemu hantu seperti malam kemarin? Kalau iya apa itu juga berlaku setiap hari?. Tidak menjawab Dinda segera berpaling dan berjalan kearah kamarnya.
“Dinda pingin sendiri” ucapnya datar.

Ahmad yang melihat kepergian anaknya hanya menghela nafas. “Bahkan sifatnya juga mirip dengan Ajeng, Pak Kusno tolong bawa saya ke kamar Pak” ucap Ahmad kepada Pak Kusno yang berdiri dibelakangnya.
Sementara itu Dinda terus berjalan, awal niatnya masuk kekamar dia urungkan. Justru malah Dinda bergerak kearah sisi rumah yang lainnya. “Buat aturan kok gak realistis” gerutu Dinda.
Langkah Dinda terhenti, dia saat ini berada disamping pintu kamar yang sedikit terbuka. Ingat dengan perkataan Mbok Marni kalau kamar yang ada disampingnya dulu milik mendiang Pak Sukmaadji dan istrinya.
Dinda berfikir, mungkin dengan masuk kedalam kamar Kakek Neneknya dia bisa menemukan sesuatu, teringat dengan ucapan Pak Hamdan kalau semua yang menimpa dirinya karena perbuatan dari keluarga Bapaknya. Nekat Dinda mendorong pintu itu terbuka....
Kini dia melihat sebuah ruang tidur yang cukup luas. Berbeda dengan kamar tidur milik Ayahnya dan yang Dinda tempati saat ini. Kamar milik Kakek dan Neneknya jauh lebih terlihat klasik. Dipan kayu dengan model kelambu yang memiliki ukiran indah pada tiang-tiangnya.
Melangkah masuk entah kenapa Dinda sedikit mencium bau dupa dikamar ini, sekali lagi Dinda mengedarkan pandanganya. Kini matanya tertarik pada sesuatu diujung ruangan.
Sebuah cermin besar dengan ukiran di frame kayunya, bagai terhipnotis. Dinda melangkah mendekat kearah cermin itu. Beberapa menit sudah dia memperhatikan dirinya lewat cermin yang ada didepannya.
Sekali lagi, indera penciumannya merespon sesuatu yang asing. Meskipun Dinda jarang membaui dupa. Tapi dia tahu kalau aroma yang ia cium saat ini adalah aroma dari dupa yang sudah dibakar.
Melihat sekeliling, jantung Dinda tiba-tiba saja berdebar kencang, saat melihat tampah kecil yang diletakan dibelakang cermin. Buru-buru Dinda jongkok, mencoba untuk meraih benda yang terbuat dari anyaman bambu.
Benar saja, diatas tampah kecil itu ada beberapa kembang dan kopi hitam serta dupa yang masih setengah, sisanya sudah menjadi abu.
Seketika udara disekeliling Dinda menjadi dingin, bulu kuduknya meremang dengan hebat. Merasa ada yang janggal dia mengembalikan tampah itu dan segera berjalan kearah luar. Namun baru saja dia mau menutup pintu. Dari ekor matanya, dia melihat sosok.
Berpaling, benar saja... sosok wanita dengan perawakan seperti yang semalam Dinda lihat tengah duduk di kasur membelakanginya. Sadar kalau itu bukan manusia Dinda langsung menutup pintu kamar dan segera berjalan menjauh.
Nafasnya terengah-engah. Jantungnya berdebar dengan keras. Dinda tidak berani masuk kedalam kamarnya. Justru sekarang dia tengah duduk dibangku taman depan rumah.
“Astaga, keluarga macam apa ini” ucap Dinda teringat dengan sajen yang ada dikamar Kakek Neneknya.
“Din” terdengar suara dari arah samping Dinda. Terkaget hampir saja Dinda terjengkang kearah taman.

“Astaga... kaget saya, Mbok” ucap Dinda sambil menghela nafas pelan-pelan.
“Maaf Din” ucap Simbok merasa bersalah. “Sudah Mbok gapapa, kenapa Mbok?” ucap Dinda penasaran.
“Dinda dipanggil Bapak” ucap Simbok yang masih berdiri dihadapan Dinda. “Ah masih males saya Mbok, sama Ayah”
Mbok Marni tersenyum, meski terlihat tegar tapi tetap saja Dinda juga seorang wanita.

“Sudah 20tahun lo kalian tidak bertemu, masa hanya karena debat jadi marahan. Tadi pagi aja Dinda nangis kan disamping kamar tidur Bapak?” ucap Mbok Marni.
“Simbok tahu dari mana?” tanya Dinda cepat.

“Bukan bermaksud ngintip, memang pas kebetulan Simbok mau bawakan sarapan buat Bapak. Tapi pas liat km lagi seperti itu ya Simbok balik lagi ke dapur” jelas Mbok Marni.
“Dinda hanya bingung Mbok, kenapa Ayah ngotot tidak mau menejelaskan apa yang sedang terjadi dikeluarga in...” Dinda berhenti,
“Mbok... Mbok Marni pasti tahu kan alasan kenapa Dinda ditaruh dipanti?” sambar Dinda yang teringat dengan ucapan Bapaknya.
Masih tetap tersenyum, Mbok Marni menggelengkan kepalanya. “Simbok tidak bisa bilang, takut salah. Apalagi Simbok cuma kerja kan disini” ucap Mbok Marni “Ya sudah, Simbok kedalam lagi ya, lanjut bersih-bersih. Kalau sudah tenang buruan ke kamar Bapak. Kasian sudah nungguin”
Dinda melihat langkah Mbok Marni yang menjauh, menghela nafas akhirnya Dinda juga ikut beranjak takut kalau harus berjalan sendirian keadalam rumah.
Tok...tok...tok... “Masuk Din” ucap Ahmad dari dalam. Membuka pintu lebih lebar, Dinda masuk kedalama kamar Bapaknya.
“Sini duduk samping Ayah” ucap Ahmad sambil menunjuk kearah sampingnya menggunakan dagu. Dinda sebetulnya masih malas dengan Bapaknya. Tidak mau membuat sedih Ahmad, akhirnya Dinda merangkak naik tempat tidur dan duduk menghadap kearah Bapaknya.
“Marah sama Ayah?” ucap Ahmad

“Yah, Dinda bukan anak kecil lagi. Dan Ayah bukan calon suami Dinda. Jadi jangan bilang... marah sama Ayah? Ya jelas Dinda marah. Cuma Adit yang pernah ngebentak Dinda” sungut Dinda
“Siapa Adit?” sambar Ahmad, “Siapa yang berani ngebentak anak Ayah?” tatapan Ahmad kembali tajam seketika Dinda merutuki kebodohannya.
“Sudah lupakan bukan manusia penting. Jadi kenapa Dinda diminta kemari?” ucap Dinda.
Awalnya Ahmad terus saja menanyakan siapa sosok Adit, namun tapi terus saja Dinda menggelengkan kepalanya. Seolah sedang membalaskan dendam karena mendapatkan perlakukan yang sama.
“Hah... Kamu benar-benar mirip dengan Ajeng, sifat keras kepalamu dan ambisimu membalas setiap perlakuan Ayah benar-benar mirip. Bahkan hanya karena masalah beda pendapat bisa saja Ayah tidak diajak bicara berhari-hari” kenang Ahmad.
Dinda masih terus diam, tidak menanggapi ucapan Bapaknya. Hingga Ahmad menceritakan sesuatu yang membuat Dinda lupa kalau dia sedang malas dengan Bapaknya.
“Sewaktu kamu kecil, hampir setiap tengah malam selalu saja kamu menangis. Mau diberi asi pun tetap saja. Awalnya kami mengira memang itu hal yang wajar. -
- Tapi setelah lewat beberapa hari, Ibumu menyadari ada sesuatu yang aneh. Setiap malam dia selalu melihat ada seorang wanita yang tengah memperhatikan dari arah luar” kata Ahmad.
Sejenak dia berhenti mengambil nafas, pandangannya kini menerawang jauh. Mengingat-ingat kejadian yang sudah terjadi puluhan tahun lalu.
“Singkatnya Kakek menyarankan untuk memanggil orang pintar... Benar saja setelah dilakukan beberpa ritual. Tidak ada gangguan sama sekali. Tapi Ayah memperhatikan ada yang berbeda dengan Ibumu, Ajeng yang periang tiba-tiba saja menjadi pemurung. -
Hingga pada suatu siang, Ayah diminta untuk segera pulang. Saat sampai dirumah, Ajeng tengah menangis tersedu-sedu. Hari itulah dimana kamu menghilang. -
- Segala upaya sudah dilakukan... Ayah Kakek Nenek dan semuanya berusaha mencarimu, tapi nihil” Jelas Ahmad dengan mata berkaca-kaca.
Dinda masih diam, menunggu kelanjutan dari cerita Ayahnya, namun Ahmad masih terus saja diam pandangannya menerawang jauh.
“Lalu, Ibu tiba-tiba saja bilang kalau Dinda sudah meninggal?” tanya Dinda setelah beberapa saat, dia masih belum bisa menyambungkan semua yang tengah terjadi.
Terlihat Ahmad sedang mempertimbangkan sesuatu, “Berdirilah, geser lemari itu kesamping” pinta Ahmad sambil menunjuk menggunakan dagu kearah almari yang ada diseberang tempat tidurnya.
Dinda bangkit, penasaran dengan apa yang diminta oleh Bapaknya. Awalnya dia sedikit kesulitan, karena almari yang dimaksud Bapaknya cukup tinggi.
Hingga saat Almari itu bergeser dia melihat ada brankas yang tertanam di dalamnya. “Sandinya tanggal lahir kamu” ucap Ahmad saat melihat Dinda tengah mengamati brangkas didepannya.
Untung saja kemarin Dinda sudah melihat dokumen-dokumen yang sudah diserahkan oleh Pak Hamdan. Jadi dia langsung tahu tanggal kelahirannya. Buru-buru dia membuka brankas tersebut.
Setelah pintu brankas terbuka. Dinda membulatkan matanya. Didalam brankas itu banyak sekali tumpukan uang, serta map-map berisi dokumen.
“Semua itu milik kamu” ucap Ahmad saat mendapati Dinda tengah tertegun. “Ambil amplop coklat yang memiliki noda di ujungnya”
Dinda mengikuti apa yang diarahkan oleh Ahmad, sejenak dia mencari-cari. Hingga menemukan sebuah amplop coklat kecil dengan noda-noda diujungnya.
“Ini Yah?” tanya Dinda sambil menunjukan amplop itu kearah Ayahnya. Ahmad menggangguk. Dinda buru-buru kembali ke sisi Bapaknya.
“Apapun yang kamu lihat didalamnya, jangan berfikir aneh-aneh. Dan itulah sebab kenapa Ajeng selalu mengatakan kalau kamu sudah meninggal” kata Ahmad.
Jantung Dinda berdebar, terus saja dia memandangi amplop coklat yang ada ditangannya. Perlahan dia membuka segel amplop. Kemudian saat dia melihat kedalam, hanya ada 1 kertas. Dinda mencoba memasukan tangannya kedalam dan mengambil kertas itu.
Deg... seketika jantungnya seperti berhenti mendadak. Tatapannya penasaran berubah menjadi sebuah tatapan ketakutan.
“A—ap ini Yah?” ucap Dinda terbata. Kini dia melihat gambar dari foto usang. Dia mengenali wajah dari sosok yang ada difoto tersebut.
Sosok Bayi itu adalah dirinya, namun bukannya terlihat menggemaskan selayaknya foto bayi pada umumnya. Justru gambar yang ada didalam foto tersebut menunjukan seorang bayi yang tengah dipocong. Selayaknya orang yang sudah meninggal.
“Kembalikan ketempatnya dan tutup brankas itu lagi” suruh Ayahnya, yang sudah melihat ketakutan dimata Dinda.

Tanpa berlama-lama Dinda langsung saja menuruti perkataan Bapaknya.
“Berbulan-bulan setelah kamu menghilang, tiba-tiba saja Ajeng berlari ke dalam rumah dengan teriakan histeris dengan membawa amplop coklat yang barusan kamu pegang. Dan hari itulah kami semua yakin kalau kamu sudah meninggal” jelas Ahmad saat mendapati Dinda masih bertanya-tanya.
“Jadi Ayah juga belum tahu alasan kenapa Ibu sampai hati menaruh Dinda dipanti asuhan?” tanya Dinda. Ahmad menggeleng.
Dinda menghela nafas, “apakah wanita yang pernah Ayah sebutkan itu adalah Ibu? Wanita yang kita lihat saat pertama kali Dinda bertemu Ayah?” ucap Dinda penasaran.
Entah kenapa, saat Dinda bertanya mengenai sosok wanita itu, seketika atmosfir yang ada dikamar Bapaknya berubah. Yang tadinya terasa hangat, tiba-tiba saja ada sesuatu yang merambat masuk. Hawa dingin dan perasaan tertekan.
Ahmad terdiam, sorot matanya juga nampak ketakutan. “Wanita itu selalu muncul hampir tengah malam, dan selalu ada dikamar ini. Ayah tahu itu bukan manusia dan Ayah yakin sosok itulah yang selalu dilihat oleh Ibumu” ucap Ahmad.

-TBC-
Bagi teman-teman yang uda penasaran dan pengen baca versi ebook bisa langsung klik link. Di Karyakarsa sudah sampai part 4 ya, silahkan bagi yang mau beberikan suport berupa dukungan atau tips karya. Terima kasih

karyakarsa.com/netrakala/lebu…

• • •

Missing some Tweet in this thread? You can try to force a refresh
 

Keep Current with Netrakala

Netrakala Profile picture

Stay in touch and get notified when new unrolls are available from this author!

Read all threads

This Thread may be Removed Anytime!

PDF

Twitter may remove this content at anytime! Save it as PDF for later use!

Try unrolling a thread yourself!

how to unroll video
  1. Follow @ThreadReaderApp to mention us!

  2. From a Twitter thread mention us with a keyword "unroll"
@threadreaderapp unroll

Practice here first or read more on our help page!

More from @netrasandekala

Aug 4
a Thread -
Wangsulan - Part 1
Saudara Kembar Ku Mati Karena Ritual Sesat Ayah.

@IDN_Horor @bacahorror Image
Disclaimer.
Cerita Pendek selesai di part 2 ( Sudah selesai di @karyakarsa).
Tidak diperkenankan untuk reupload cerita ini dalam bentuk apapun tanpa seizin Netrakala.
WANGSULAN
-Part 1-

“Menikah?” Tanya ku kaget.

“Iya, kapan mau nikahi aku? Aku butuh kepastian mu, mas” Jelas Hasna.
Read 95 tweets
Jul 12
-a thread
Kromoleo - Part 6 (END) Bag 2
Sebuah Pertanda Malapetaka
Ijin taq
@bacahorror
@IDN_Horor
#ceritaseram #ceritahoror Image
Last part.

Kita Lanjutakan ya.
Part sebelumnya...
Aku terus melangkah, menuju ke rumah Najib. Sesekali aku melihat ada sekelebat bayangan bergerak di sampingku.

“Nduk”
Read 109 tweets
Jul 8
-a thread
Kromoleo - Part 6 (END)
Sebuah Pertanda Malapetaka
Ijin taq
@bacahorror
@IDN_Horor
#ceritaseram #ceritahoror Image
Kita lanjut Part terakhir ya.

Mohon maaf jika ada kesalahan kata atau ejaan yang kurang baik.

Buat teman-teman minta komentarnya ya...
Read 95 tweets
Jul 3
-a thread
Kromoleo - Part 5
Sebuah Pertanda Malapetaka
Ijin taq
@bacahorror
@IDN_Horor
#ceritaseram #ceritahoror Image
Part 5

Aku hanya berdiri di ambang pintu, mencari keberadaan Ratih. Namun yang ku temui hanya kesunyian.

Beberapa kali aku menyorot senter ke segala sisi, bahkan ke arah keranda di ujung ruangan.
Read 133 tweets
Jun 17
-a thread
Kromoleo - Part 4
Sebuah Pertanda Malapetaka
Ijin taq
@bacahorror
@IDN_Horor
#ceritaseram #ceritahoror Image
Sebelum lanjut ceritanya, minta bantu untuk RT, like dan coment ya.
Read 132 tweets
May 27
-a thread
Kromoleo - Part 3
Sebuah Pertanda Malapetaka
Ijin taq
@bacahorror @IDN_Horor

#ceritaseram #ceritahoror Image
Sebelum lanjut ceritanya, minta bantu untuk RT, like dan coment ya.
Read 148 tweets

Did Thread Reader help you today?

Support us! We are indie developers!


This site is made by just two indie developers on a laptop doing marketing, support and development! Read more about the story.

Become a Premium Member ($3/month or $30/year) and get exclusive features!

Become Premium

Don't want to be a Premium member but still want to support us?

Make a small donation by buying us coffee ($5) or help with server cost ($10)

Donate via Paypal

Or Donate anonymously using crypto!

Ethereum

0xfe58350B80634f60Fa6Dc149a72b4DFbc17D341E copy

Bitcoin

3ATGMxNzCUFzxpMCHL5sWSt4DVtS8UqXpi copy

Thank you for your support!

Follow Us!

:(