gil Profile picture
May 12 150 tweets 25 min read Twitter logo Read on Twitter
LEMAH KUBURAN (Bab 13 - Tamat)

~Pilkades Mekar Sari 1985

@bacahorror @menghorror @IDN_Horor #bacahorror Image
“LEMAH KUBURAN”. BAB 13 (TAMAT).

Satu pekan sudah berlalu terhitung sejak hari pemungutan suara itu, tak ada lagi keganjilan yang terjadi.

Dan seperti yang kita semua tahu, secara ‘De Facto’ Pak Pawiro Atmojo lah yang menjadi pemenangnya. Terlepas adanya kecurangan atau-
-tidak dalam kemenangan Sang Petahana itu, yang jelas karena tidak adanya bukti dan saksi yang valid, nota sengketa yang sudah langsung diajukan Juragan Wiryo kurang lebih sehari setelah hari pencoblosan itu, sampai saat ini hanya mandek di musyawarah tingkat kecamatan saja.
-Apakah ada kerusuhan susulan yang terjadi lagi? Kalau hingga saat ini sih, belum ada, hanya saja buah dari kemelut di balai desa Mekar Sari tempo hari itu, membuat Kang Wicak ditahan oleh pihak kepolisian sekitar empat hari yang lalu sampai sekarang.
Entah bagaimana kejadian yang sebenarnya, meski diakui oleh Kang Wicak itu adalah sebuah perkelahian, tapi banyak saksi (pendukung Juragan Wiryo) dan beberapa aparat keamanan yang waktu itu memisahkan mereka, mengatakan kalau pertikaian itu lebih pantas disebut sebagai sebuah-
-penganiayaan, dan itu semakin dipertebal lagi dengan keadaan Pak Rukun, si penjual ‘Ciu Cangkol’ itu kritis sampai saat ini.

“Wes, teko tenang, tak jamin, ora nganti rong sasi, kowe mesti bakalan iso kumpul maneh karo bojomu, aku kabeh mengko sing ngurusi ”.
-(Sudah, tenang saja, saya akan jamin, tidak sampai dua bulan, kamu pasti bisa berkumpul lagi dengan suamimu, biar nanti semua saya yang urus). Ucap Mbah Gotro kepada istri Kang Wicak di rumah Pak Lurah siang itu.
“Saestu Mbah?”.
(Benarkah Mbah?). Jawab istri Kadus Mekar Kidul itu.

“Yo tenan to.. Gampang kui, wes tenang wae..”.

(Ya benar lah.. Gampang kalau itu mah, sudah pokoknya tenang saja). Kata Mbah Gotro yang lanjut ditambah oleh Pak Lurah, kepada istri kang Wicak yang memang-
-hari itu sengaja di panggil ke rumah Pak Lurah untuk membicarakan ini.

“Wes Yu, sampean teko tenang wae, kabeh mengko tak urusane aku karo Mbah Gotro, terus kabeh kebutuhane sampean seka saiki tekan mengko Mas Wicak metu, aku sing nyukupi, ojo sumelang”.
(Sudah Mbakyu, kamu tenang saja, nanti semua saya dan Mbah Gotro yang urus, terus masalah kebutuhan sampean dari sekarang sampai Mas Wicak keluar, itu semua saya yang akan mencukupi, jangan kawatir). Tanggap Pak Lurah kepada istri Kadus Wicak.
Setidaknya pernyataan itu membuat istri Kang Wicak sedikit lega, walaupun itu tak serta merta membuatnya menjadi gembira, tapi paling tidak, suaminya itu sudah berada di pihak yang tepat, itu terbukti dengan begitu loyalnya kubu Pak Lurah, yang tetap mengurus Kang Wicak dan-
-keluarganya yang sedang terkena musibah atau masalah seperti ini.

Menit demi menit pun berlalu, istri Kang Wicak, sudah pulang ke rumahnya, diantar oleh Mas Angga. Tinggallah Mbah Gotro dan Pak Lurah yang masih duduk dan mengobrol diruang tamu.
“Eh.. Ho’o Mas Lurah, wedus jawane aku wes oleh, sewelas ekor, mengko sore bakalan diterke mrene”.

(Oh iya Mas Lurah, saya sudah mendapatkan kambing jawa itu, sebelas ekor, nanti sore akan diantar kesini). Ucap Mbah Gotro di tengah obrolan itu.
“Lhoh.. Njuk telas pinten Mbah?”.

(Lhoh.. Terus habis berapa itu Mbah?). Tanya Pak Lurah sedikit terkejut.

“Wes tak bayar separo, ngene wae, sampean mbayari loro, terus turahane sing nggon cah-cah, tak tanggunge aku wae, mesakke, regane wong yo ora murah”.

(Sudah saya bayar-
-separo kok, begini saja, sampean membayar dua ekor, terus sisanya yang untuk teman-teman, saya yang akan tanggung, kasihan.. Karena harganya juga tidak murah). Tanggap Mbah Gotro saat itu.
Pak Lurah tentu merasa tidak enak, karena lagi-lagi Mbah Gotro harus mengeluarkan uang, ia pun sempat mengutarakan agar kali ini, ia lah yang akan menanggungnya, tapi Mbah Gotro yang tetap bersikukuh akan hal itu, yang pada akhirnya Pak Lurah lah yang mengalah.
Dan untuk kesekian kalinya, ia pun berterima kasih kepada Mbah Gotro, orang kaya yang tidak pernah hitung-hitungan itu.

“Ha rencang-rencang pun sami ngertos Mbah?”.

(Apakah teman-teman sudah tahu Mbah?). Tanya Pak Lurah setelah itu.

“Mestine wes ngerti kok, wong wingi-
-wae aku goleke yo karo Barjo kok”.

(Pastinya sih sudah tahu, orang saya kemarin mencari itu bersama Barjo kok). Jawab Mbah Gotro yang mengatakan bahwa Kadus Barjo lah yang menemaninya kemarin saat membeli kambing itu di pasar hewan.
Obrolan antara Pak Lurah dengan Mbah Gotro pun kembali berlanjut, yang mana salah satu topiknya membahas tentang pelantikan kepala desa yang akan dilaksanakan tepat esok hari di pendopo bupati.
“Wes mugo-mugo sesuk paringi lancar ora ono alangan”.

(Sudah, semoga saja besok diberi kelancaran tanpa halangan suatu apapun). Kata Mbah Gotro di akhir-akhir obrolan itu.
“Amin Mbah, pandongane mawon”.

(Amin Mbah, minta doanya saja). Tanggap Pak Lurah, yang mana bersamaan dengan siang yang sudah menjelang menjadi sore itu, datanglah mobil bak yang berhenti di depan rumah Pak Lurah.
“Oh ha kae, weduse wes teko malah”.

(Oh ha itu, kambingnya sudah datang malah). Kata Mbah Gotro seraya bangkit dan berjalan keluar. (Cont)
Hingga singkatnya, sebelas ekor kambing itu pun diturunkan dan langsung di masukkan ke area kandang belakang rumah Pak Lurah, bersamaan dengan Mbah Gotro yang tak lama kemudian berpamitan pulang setelah ia dan Pak Lurah melunasi sisa pembayaran semua kambing-kambing itu.
Sore pun menjelang, dan berlalu menjadi petang, masih di rumah Pak Lurah, selepas magrib, diruang belakang, tampak Bu Sundari yang tengah menyetrika baju yang akan menjadi setelah Pak Lurah besok saat pelantikan.
Saat itu, Mbak Sari juga berada di samping ibunya yang tengah menyetrika itu, seraya menggendong si kecil Dito, dengan wajah yang sedikit kesal, ia bertanya kepada Bu Sundari, perihal mau diapakan kambing-kambing itu.
Sepertinya Mbak Sari merasa terganggu oleh kedatangan kambing itu yang sedari tadi seakan tak berhenti ‘mengembik’.

“Halah rapopo, wong mung sewengi kok, turgeneh sesuk yo wes ora ning kene”.

(Halah tidak apa-apa, orang hanya semalam saja kok, lagian besok juga sudah tidak-
-disini). Tanggap Bu Sundari atas keresahan anaknya itu.

“Emange meh nggo ngopo to Buk, weduse sakmono akehe iku?”.

(Memangnya mau buat apa to Buk, kambing sebanyak itu?). Tanya Mbak Sari.

Bu Sundari sebenarnya sudah diberi tahu oleh Pak Lurah, untuk apa kambing-kambing itu,-
-tapi entah mengapa, sepertinya saat itu, ia merasa agak malas untuk menjelaskannya kepada Mbak Sari.

“Nggo selametan kui kok”.

(Buat acara selamatan itu kok). Jawab Bu Sundari yang tengah menyetrika itu dengan singkat.
Mbak Sari tak percaya begitu saja dengan jawaban ibunya itu, namun belum sempat ia bertanya lebih dalam, pembicaraan itu pun terhenti oleh Si kecil Dito yang kencing di celana.

“Owalah malah ngompol adek ki..”. Kata Mbak Sari yang tentu langsung bergegas berjalan kembali ke-
-kamarnya untuk mengganti celana anaknya itu.

Sementara itu di ruang tamu, Pak Lurah tengah berbincang santai dengan Mas Angga, seraya menghisap rokok dan menyesap kopi, Mertua dan menantu itu, terdengar sesekali menyelipkan tawa di sela-sela obrolannya.
Di tengah perbincangan yang tampak cair itu, Mas Angga terlihat tertawa geli, ia bertanya kepada dirinya sendiri bagaimana ia akhirnya bisa melewati semua ini. Sebuah pengalaman yang tentunya tak akan pernah ia lupakan seumur hidupnya. Ia yang adalah seorang insinyur-
-pertambangan itu, kini langsung mengubah pola pandangnya, bahwa teluh, lelembut, klenik, dan hal gaib itu memang benar adanya, dan ia melihat itu dengan mata kepalanya sendiri.

Obrolan itu, seakan mengulas kembali kejadian-kejadian ganjil yang telah lalu, dari awal mula-
-sampai saat ini, hingga perbincangan itu pun terjeda oleh kedatangan Mbah Untung bersama Mbok Tun, dan Lik Trimo suaminya.

“Owalah Mbok... Wes sehat to? Bunee ono Mbok Tun iki lho!!”.

(Owalah Mbok.. Sudah sehat kan? Bunee ada Mbok Tun ini lho!!). Sambut Pak Lurah sembari-
-memanggil istrinya.

“Monggo pinarak Mbah, Lik”.

(Mangga, silahkan, Mbah, Lik). Tambah Pak Lurah untuk Mbah Untung dan Lik Trimo.
Tak lama kemudian Bu Sundari keluar, wajahnya langsung gembira melihat Mbok Tun, ia pun segera menghampiri pembantu kepercayaannya itu, memeluknya dan mengajaknya masuk ke belakang, sepertinya Bu Sundari sudah menyiapkan sesuatu yang akan diberikan kepada Mbok Tun.
“Eh Mbokkk... Sehat to Mbok, Monggo Mbah, Lik Trimo, pinarak, tak damelke unjukan rumiyin”.

(Eh.. Mbokkk... Sehat kan Mbok, Monggo Mbah, Lik Trimo pinarak, saya buatkan minum terlebih dahulu). Ucap Bu Sundari seraya menggandeng tangan pembantu kesayangannya itu dan mengajaknya-
-masuk kedalam.

Mbok Tun yang sebenarnya belum sepenuhnya bugar itu pun, turut berjalan dalam gandengan majikan terbaiknya itu dengan wajah yang tersipu dan senyumnya yang tanggung.

“Sehat tenan to sampean saiki Mbok?”.

(Sudah benar-benar sehat to sampean sekarang Mbok?).-
-Tanya Bu Sundari kepada Mbok Tun, seraya berjalan menuju ruang makan.

“Sehat Bu, nanging mboten ngertos, untune kulo sakini kok katah sing mrotol”.

(Sehat kok Bu, tapi entah kenapa, gigi saya sekarang kok banyak yang copot). Jawab Mbok Tun setelah mereka duduk di kursi yang-
-berada di ruangan dapur, dan sembari membuka mulutnya, Mbok Tun memperlihatkan kepada Bu Sundari keadaan giginya sekarang.

Bu Sundari, terheran mengkerutkan alisnya, ia sedikit terkejut melihat gigi Mbok Tun sudah banyak yang lepas, dan hanya tersisa beberapa saja di bagian-
-depan.

“Kok iso to Mbok?”.

(Kok bisa to Mbok?). Ucap Bu Sundari seraya mengrenyitkan dahinya.

“Mboten ngertos Bu, saben dinten mesti onten untu sing ucul, mula niki mangkih kula ajeng ting Pak Qoyin”.

(Tidak tahu Bu, setiap hari pasti saja ada gigi yang lepas, karena itu,-
-sehabis ini saya akan tempat Pak Qoyin, seorang kyai sekaligus ahli gigi dari desa sebelah). Jawab Mbok Tun.

“Yowis to nek ngono, mengko men diterke karo Mas Angga, gowo montor, sisan di mal, gawe untu palsu, mengko sisan tak wenehi duit gawe presan”.

(Ya sudah kalau begitu,-
-besok biar diantar Mas Angga Pakai mobil, sekalian membuat gigi palsu, nanti saya beri uang untuk periksa). Kata Bu Sundari seraya menyiapkan minuman.

Mbok Tun tampak tak enak hati, mendengar itu, dengan basa-basi ia pun agak menolak bantuan dari Bu Sundari itu.
“Mbok pun to Bu, malah ngrepoti, kula tasih wonten arta simpenan kok”.

(Mbok sudah to Bu, malah jadi merepotkan, saya masih ada uang simpanan kok). Jawab Mbok Tun yang tentu langsung di tolak oleh Bu Sundari.
“Halah, wes!! Rapopo, kudu gelem!!, eh ho’o Mbok, aku bar tuku jarik sak kodi, sing loro meh tak keke sampean”.

(Halah, sudah!! Tidak apa-apa, pokoknya harus mau!! Eh iya Mbok, saya kemarin baru beli jarik satu kodi, yg dua lembar rencananya akan saya kasihkan sampean). Ungkap-
-istri Pak Lurah itu, yang segera beranjak mengambil kain jariknya dan memberikannya kepada Mbok Tun.

“Wah, Matursuwun sanget Bu”.

(Wah, terimakasih banyak Bu). Kata Mbok Tun atas pemberian Bu Sundari.
Sementara itu di waktu yang sama, Mbah Untung dan Lik Trimo terlihat tengah berbincang dengan Pak Lurah, untuk memberitahukan apa maksud kedatangan mereka kemari.

“Niki kula mboten saget sui-sui, namung ngerteke mendane kok Pak Lurah, jebule kula lali, Tun niku mboten tak itung-
-, hehe".

(Ini saya tidak bisa lama-lama, saya kesini hanya mengantarkan kambing kok Pak Lurah, ternyata saya lupa memasukkan Tun dalam hitungan hehehe). Kata Mbah Untung terkekeh di awal-awal pembicaraan seraya menunjuk ke arah kambing yg diletakkan di halaman depan. (Cont)
Ternyata kemarin Mbah Untung sempat terlupa, bahwa Mbok Tun, keponakannya sendiri itu, juga masuk kedalam daftar orang yang kemungkinan besar akan menjadi incaran teluh itu.

“O nggih Mbah”. Tanggap Pak Lurah yang setelah itu memanggil Mas Angga untuk membantu memasukkan kambing-
-itu di kandang belakang rumah.

“O nggih Pak Lurah, ngenjang dalu, dewe pun saget mulai ritual puniku, muga mawon sedaya saget tumut nggih”.

(Oh ya Pak Lurah, besok malam kita sudah bisa memulai ritual itu, semoga saja semuanya bisa ikut ya). Kata Mbah Untung yg setelah itu-
-tampak berdiri dan akan beranjak pamit.

“Mbok kerien to Mbah, ngunjuk-ngunjuk rumiyin, nika sek di damelke lho, kalih ibuk”.

(Mbok nanti dulu to Mbah, minum-minum dulu, itu sedang dibuatkan lho sama ibuk). Sambut Mas Angga yang baru saja keluar setelah memasukkan kambing yang-
-di bawa Mbah Untung ke dalam kandang.

“Wah, mboten usah repot-repot Mas”.

(Wah tidak usah repot-repot Mas). Sela Lik Trimo kini menanggapi, dan setelah itu juga menjelaskan kalau petang ini ia akan ke tempat “Pak Qoyin” ahli gigi ternama dari desa sebelah.

“Owalah, emange-
-sopo sing lara untu Lik?”.

(Owalah, memangnya siapa yang sakit gigi Lik?). Tanya Pak Lurah kini.

“Tun nika Pak Lurah, untune sami mrotol”.

(Tun itu Pak Lurah, giginya banyak yang tiba-tiba lepas). Jawab Lik Trimo bersamaan dengan Bu Sundari dan Mbok Tun yang keluar sambil-
-membawa nampan yang berisi gelas-gelas minuman.

“Monggo unjukane”.

(Silahkan minumannya). Kata Bu Sundari seraya meletakkan minuman itu di atas meja.
Melihat minuman yang sudah atas meja itu, membuat Lik Trimo dan Mbah Untung pun menjadi urung beranjak. Rasanya tak sopan saja kalau mereka berpamitan pulang saat minuman dari tuan rumah baru saja datang.
Mereka semua pun kembali duduk, dengan Mbok Tun dan Bu Sundari yg kini juga turut berada di ruang tamu itu.

“Eh, sek..sek, untune Mbok Tun kenopo Lik? Kok iso nganti koyo ngono?”.

(Eh, sebentar-sebentar memangnya ada apa dengan gigi Mbok Tun, kok bisa sampai seperti itu).-
-Kata Pak Lurah Lagi, meneruskan obrolan tadi, yg mana kali ini langsung dijawab sendiri oleh Mbok Tun.

“Kirangan niki Pak, teka-teka sami oglek njuk ucul”.

(Entahlah ini Pak.. tiba-tiba saja banyak yang goyang dan terlepas). Jawab Mbok Tun yang langsung ditimpal oleh Mbah-
-Untung yang mengatakan bahwa ‘kejadian’ itulah yang membuat Mbok Tun menjadi seperti itu.

“Ha? Kok bisa begitu?”. Batin Pak Lurah yang sedikit bingung dengan kata-kata Mbah Untung barusan.

“Lantas kalau memang berhubungan dengan ‘hal’ itu, kenapa tidak Mbah Untung saja yang-
-mengobatinya?”. Tanya mereka kini, yang mana segera dijelaskan beberapa saat kemudian oleh Mbah Untung.

Mbah Untung berkata, bahwa gangguan gaib yang terlalu kuat akan berefek kepada tubuh, dan akhirnya menjalar menjadi gangguan medis, contohnya adalah kasus yang terjadi-
-kepada Mbok Tun ini, yang kemarin-kemarin sempat tak bisa makan (stres) karena setiap hari selalu melihat ‘lelembut’, Mbah Untung sudah berhasil membuat Mbok Tun sembuh seperti sedia kala dan tak lagi melihat hal-hal gaib lagi, tapi ternyata itu belum selesai, karena efek dari-
-gangguan gaib itu membuat daya tahan tubuh Mbok Tun melemah secara ekstrim, dan inilah yang terjadi, Mbok Tun seperti kehilangan kalsium dan zat besinya sampai berakibat copotnya gigi-gigi Mbok Tun secara tidak wajar.
Nah untuk perihal medis ini, sudah bukan ranah kemampuan Mbah Untung lagi, untuk itu nanti Mbok Tun akan dibawa ke tempat Pak Qoyin. Untuk di buatkan gigi-gigi palsu sekalian meminta obat nyeri tradisional sesuai dengan kemauan Mbok Tun Sendiri.
Lik Trimo sebenarnya sudah membujuk agar istrinya itu ditangani secara modern oleh Dokter Gigi, tapi karena keluguan dan kekolotan Mbok Tun sendiri yang lebih memilih untuk mengobatinya secara tradisional saja.
“Wedi disuntik aku ki..”.

(Saya ini takut disuntik..). Sela Mbok Tun di tengah penjelasan itu.

“Owalah..halah, sewelas rolas karo Bu Lurah berarti, wedi suntik, mambu obat mutah-mutah..ckckck hehehe”.

(Owalah..halah, sebelas duabelas dengan Bu Lurah berarti, takut suntik,-
-bau obat langsung muntah-muntah.. Ckckckck, hehehehe). Tanggap Pak Lurah berkelakar, yang setelah itu kembali melanjutkan perbincangan dengan topik yang sedikit berbeda.
“Alhamdulillah Sakniki pun radi ayem Mbah, kirang luwih sampun meh seminggu niki mboten tau enten gangguan”.

(Alhamdulillah sekarang sudah mulai tenang Mbah, kurang lebih sudah hampir seminggu ini, tak pernah ada gangguan). Kata Pak Lurah melanjutkan kembali obrolan itu.
“Allhamdulillah nek ngoten Pak Lurah, nanging dewe nggih kedah selalu siap”.

(Alhamdulillah kalau begitu Pak Lurah, akan tetapi kita tetap harus selalu siap Pak Lurah). Tanggap Mbah Untung yg menegaskan agar selalu siap dengan kemungkinan yg bisa saja akan terjadi.
Bukannya Mbah Untung akan mengendorkan kelegaan itu, tapi ia beranggapan menurut kajian pengalamannya, diamnya Cokro seminggu ini, bisa jadi tengah mempersiapkan sesuatu lagi untuk melawan kita (kubu Pak Lurah).
“Ning mboten sah khawatir, ampun wedi, donga mawon sing temen, insyaAllah, pager griya niki kalian griya rencang-rencang liyane diparingi kuat kaleh Gusti Pangeran”.

(Tapi tidak usah khawatir, jangan takut, dan teruslah berdoa, insyaAllah pagar rumah ini dan rumah teman-teman-
-yang lain, di berikan kekuatan oleh Tuhan yang maha besar). Tanggap Mbah Untung saat itu.

“Upami nggih, niki namung upami, mugi-mugi mawon mboten kelakon, nek umpamane mangkih, ngenjang utawa kapan, wonten serangan, kula jamin nek liwat duwur mesti jeblug, nek liwat lemah-
-mesti mandek ting jaba gapura”.

(Seandainya ya.. Ini hanya seandainya, semoga saja tidak terjadi, andai nanti, besok atau kapan ada serangan, saya jamin, kalau serangan itu lewat atas pasti akan meledak, dan kalau lewat tanah (bawah), pasti hanya akan berhenti di luar-
-‘gapura’.). Kata Mbah Untung, yang kembali membuat Pak Lurah bernafas lega.

Obrolan pun sejenak kembali berlanjut dan berlarut, sampai akhirnya sekira pukul delapan malam, perbincangan itu pun mau tak mau harus berakhir karena Mbok Tun yang tiba-tiba kesakitan memegangi-
-pipinya, dan kembali mendapati satu giginya lepas lagi.

“Wes ndang budal ning Pak Qoyin wae Mbok”.

(Sudah, segera pergi ke tempat Pak Qoyin saja Mbok). Kata Pak Lurah. (Cont)
“Ho’o, ben diterke Angga yo Mbok”.
(Iya biar diantar Angga ya Mbok). Tambah Bu Sundari.

Mas Angga pun bergegas mengambil kunci dan menyalakan mobilnya untuk mengantarkan Mbok Tun.
“Nggih pun nek ngoten kulo tak trasan rumiyin nggih Pak, Bu..”.

(Ya sudah kalau begitu kami pamit dulu, Pak, Bu..). Ucap Mbah Untung mewakili.

Dengan diantar oleh Mas Angga menggunakan mobil, Mereka pun beranjak pergi dari rumah Pak Lurah, menuju desa sebelah, dimana tempat-
-Pak Qoyin berada.

Menit pun berganti jam, Pak Lurah, Bu Sundari dan Mbak Sari, kini tampak berada di ruang tamu, mereka berbincang ringan, sembari menunggu kepulangan Mas Angga yang tengah mengantarkan Mbok Tun itu.
“Kok suwe yo Mas Angga..”.

(Kok lama sih Mas Angga itu). Kata Mbak Sari yang tampak terkantuk dengan Dito yang tengah berada dalam pangkuannya.
“Wes to nduk, nek meh turu sik rapopo, mesakke kui Dito nek kademen, Angga ben aku wae sing nunggu”.

(Sudahlah nak, kalau mau tidur dulu tidak apa-apa, lagian kasihan Dito itu kalau kedinginan, Angga biar saya saja yang menunggu). Tanggap Pak Lurah kepada Mbak Sari yang-
-terlihat mengantuk itu.

“Yowislah”. Ucap Mbak Sari yang tak lama kemudian beranjak masuk kekamarnya, diikuti oleh Bu Sundari yang ternyata juga merasa mengantuk.

“Aku yo tak turu sek yo pak, wes rabetah tenan mripatku, njenengan ki ojo wengi-wengi, sesuk ning pendopo-
-gasik lho".

(Saya juga tidur dulu ya Pak, mataku sudah tidak tertahan, njenengan itu juga jangan malam-malam, besok harus ke pendopo pagi-pagi lho). Kata Bu Sundari beranjak sambil mengingatkan bahwa Pak Lurah besok harus berangkat pagi, untuk acara pelantikan dirinya.
Singkat cerita Jam demi jam pun berganti, Mas Angga belum juga pulang, sedangkan waktu sudah menunjukkan pukul 23.00 lebih, Pak Lurah yang sedari tadi duduk sendiri di ruang tamu itu pun sepertinya mulai bosan.
“Kok suwe yo Angga ki”.
(Kok lama ya si Angga itu). Ucap Pak Lurah seraya bangkit dan berjalan keluar dari rumahnya.

Sambil menghisap rokoknya dengan nikmat, Pak Lurah kini berdiri di lantai terasnya. Matanya memandangi setiap sudut halaman depan rumahnya itu, pikirannya-
-menerawang dan kembali kepada kejadian-kejadian yang telah lalu.

“Kok bisa ya?”. Batin Pak Lurah yang bertanya kepada awang-awang.

Tak lama setelah itu, ia yang bosan berdiri pun kini duduk di kursi kayu yang berada di teras depan rumahnya itu, seraya meregangkan dadanya, ia-
-menyandarkan tengkuk belakang kepalanya, sambil mendongak, Pak Lurah tampak mengepulkan asap rokoknya ke arah lampu penerangan terasnya yang sedikit redup.

Nafasnya terhela, bersama dengan pikirannya yang sedari tadi tak berubah dan terus mengingat satu per satu kejadian-
-kejadian ganjil yang pernah ia alami akhir-akhir ini.

Hingga tak lama kemudian, tiba-tiba angin besar pun bertiup, dan seketika membangunkan lamunannya. Pak Lurah yang hanya mengenakan kaos oblong itu pun terlihat kedinginan memeluk kedua lengannya.
Rasa dingin dari terpaan angin besar itu pun akhirnya membuatnya bangkit dan beranjak masuk, namun baru saja ia sampai di ambang pintu, tetiba terdengar suara yang memanggilnya.

“HEHH!!!”. Suara itu terdengar cukup keras dan membentak.
Pak Lurah sontak langsung menoleh dan mencermati setiap sudut halamannya, namun sepertinya tidak ada siapapun disitu, yang terlihat hanyalah kegelapan dan temaram redup dari lampu jalan di depan rumahnya serta angin besar yang sudah mereda.
“Apa saya salah dengar ya? Ah mungkin itu hanya suara angin tadi”. Batin Pak Lurah seraya berbalik dan hendak masuk ke dalam rumahnya.

Tapi baru saja ia akan melangkah masuk, sekali lagi suara itu kembali terdengar, “HEH!!!”. Bahkan kali ini suara itu dirasa lebih keras dan-
-menyentak dari pada sebelumnya.

Disinilah perasaan Pak Lurah mulai tidak nyaman, ia yang sempat terpatung sejenakpun, memutuskan untuk tidak menoleh, dan lebih memilih untuk masuk saja ke dalam rumahnya.
Dan pintu pun ditutup tanpa dikunci, dalam degupan jantungnya yang semakin berdebar. Pak Lurah tentu terngiang dengan suara tadi. “Apa ya itu?”. Batinnya setelah itu.
Rasa penasaran memang selalu bisa menjadi pemantik sebuah keberanian, dari balik jendela, lewat tirai yang sedikit ia singkapkan, Pak Lurah kini mencoba mengamati halaman rumahnya itu, dengan mengurut pelan, ia mencermati bagian demi bagian, sampai akhirnya pandangan matanya-
-berhenti di satu sudut.

“Eh opo kae!!”.

(Eh apa itu!!). Ucapnya membisik mengerutkan alisnya, ia menatap pemandangan yang tak semestinya berada, yaitu sebuah objek bergerak-gerak yang ‘menyumbul’ menyerupai sebuah kepala dari balik benteng rumahnya. Image
Pemandangan itu cukup jelas untuk kelas pencahayaan halaman rumahnya yang memang minim, sebuah kepala yang sepertinya menggeleng-geleng, lengkap dengan wajahnya yang putih pucat.
“Agstafirullah!!”. Kata Pak Lurah yang langsung menutup singkapan tirai jendelanya dan segera bergegas masuk ke dalam kamarnya.

Persetan dengan menantunya yang belum pulang!!, Pak Lurah kini bersembunyi di balik selimutnya, seraya berdoa ia pun memaksa matanya untuk terpejam.
Hingga akhirnya, entah selang berapa lama dan bagaimana caranya, ia pun bisa terlelap juga.

Esok harinya..

Sekira pukul enam pagi Pak Lurah dibangunkan oleh istrinya.

“Pak..Pak.. banyu angete wes siap kae, rodo krinan aku, ngasi ra subuhan”.

(Pak..Pak.. Itu air hangatnya-
-sudah siap, saya agak kesiangan nih, sampai tidak subuhan). Ucap Bu Sundari ketika membangunkan suaminya itu.

Pak Lurah pun bergegas mandi, bersiap dengan setelannya dan setelah itu segera sarapan. Tampak juga Mas Angga yang berada satu meja dengannya, menantunya itu juga-
-sudah rapi, karena memang dialah yang nanti akan mengantar Pak Lurah ke pendopo.

“Mau bengi kowe mulih jam piro Ngga?”.

(Semalam kamu pulang jam berapa Ngga?). Tanya Pak Lurah kepada Mas Angga disela-sela suapan nasi yang masuk ke mulut mereka.
“Sekitar jam kalih nika pak, jebule anake Pak Qoyin nggih kontraktor sami kalih kula, njuk dados ngobrol suwi”.

(Sekitar jam dua itu Pak, ternyata anak Pak Qoyin juga kontraktor seperti saya, jadi kita malah ngobrol lama). Jawab Mas Angga. (Cont)
“Terus Mbok Tun piye?”.

(Terus bagaimana dengan Mbok Tun?). Tanya Pak Lurah lagi.

“Wah pun parah Pak, Pak Qoyin mawon ngantos bingung, njuk nuwun sewu untune pun sami bosok sedaya, solusine nggih dicabut, ben mboten infeksi, njuk gantos untu palsu, sing saget diselametke-
-paling nggih mung sekitar tiga tekan sekawan”.

(Wah sudah parah Pak, Pak Qoyin saja sampai bingung, dan mohon maaf, hampir semua giginya sudah membusuk, solusinya yang harus dicabut, biar tidak infeksi, terus diganti gigi palsu, hanya sekitar tiga sampai empat gigi saja yang-
-bisa diselamatkan). Jawab Mas Angga, yang setelah itu mengatakan sebenarnya lebih efisien kalau Mbok Tun langsung dibawa ke dokter gigi saja, toh kata Pak Qoyin, dalam pembuatan gigi palsu, ia juga di bantu oleh dokter gigi juga.
“Wong tekan mrika akhire nggih disuntik juga”.

(Orang disana akhirnya juga disuntik). Tambah Mas Angga.

“Terus gelem pora? Hahaha”.

(Terus mau tidak? Hahaha). Tanggap Pak Lurah seraya tertawa.
“Waune nggih ora gelem to, njuk diseneni kalih Mbah Untung, akhire nggih njuk purun to, ning niku bar di suntik langsung semaput, nah!! niku juga salah sijine Pak!!, sing marai wau dalu dadi suwi..”.

(Tadinya tidak mau lah, terus setelah Mbah Untung marah-marah, akhirnya mau-
-juga, tapi ya itu, sehabis disuntik langsung pingsan, nah!! itu juga salah satunya Pak!!, yang membuat tadi malam menjadi lama). Kata Mas Angga menceritakan bagaimana Mbok Tun semalam di tempat Pak Qoyin.
Jam sudah hampir menunjukkan pukul tujuh pagi, Bu Sundari keluar dari kamarnya, ia sudah siap dengan sanggul dan kebayanya.

“Njo nek ndang mangkat”.

(Ayo kalau mau berangkat). Kata Bu Sundari yg menghampiri suami dan menantunya di ruang makan. Dan tak lama kemudian mereka pun-
-berangkat ke pendopo bupati untuk acara pelantikan Pak Pawiro Atmojo itu.

Sekira pukul 08.00, acara pelantikan pun dilaksanakan, dan akhirnya untuk kesekian kalinya Pak Pawiro Atmojo pun secara ‘De Jure’ resmi dilantik ‘Lagi’ sebagai kepala desa Mekar Sari.
Mereka pun pulang dengan gembira, meski sesungguhnya itu terasa palsu untuk Pak Lurah yang memang terlihat biasa saja dan malah seperti tampak gamang. Bagaimana tidak, banyak kemalangan-kemalangan yang tumpah atas nama dirinya, dua orang kehilangan nyawanya (Kang Bajul dan Kang-
-Kismo) dan dua orang juga masuk ke dalam penjara (Kang Kuriman dan Kadus Wicak).

Di rumah, Pak Lurah disambut dengan gegap gempita oleh para pendukungnya, bahkan ketika ia baru saja turun dari mobil, semua orang langsung saling bergumul dan berebut untuk menjabat tangannya dan-
-mengucapkan kata ‘selamat’ kepadanya.

Dimulai dari pagi itu, tamu demi tamu yang ingin mengucapkan selamat kepada Pak Lurah, seperti datang tanpa henti, bak orang yang tengah menggelar hajatan besar, orang-orang terus bergantian datang kerumah Pak Lurah Pawiro Atmojo itu.
Hingga pagi pun berganti siang, dan siang pun tanpa terasa menjadi petang.

Malam harinya..
Mbah Untung, Mbah Suyuti, Mbah Gotro, Pak Karim, Pak Warso, Pak Carik Sukmo, Lik Trimo dan para kadus-kadus kecuali Kang Wicak, mereka semua sudah berkumpul di rumah Pak Lurah.
Tampak empat buah mobil terparkir di jalan depan rumah Pak Lurah, tiga mobil tertutup dan satu mobil bak terbuka yang mana mobil itu, sudah dipenuhi dengan 13 ekor kambing jawa berwarna hitam.
Seperti yang kita semua tahu, di malam inilah ritual pembalikan teluh itu akan dilakukan. Sempat ada satu orang diantara mereka yang tampak kebingungan, ia adalah Carik Sukmo, yang lagi-lagi terlupa masuk dalam hitungan. Tapi itu tak jadi masalah, karena untungnya Pak Lurah yang-
-memiliki dua ekor kambing, memilih untuk memberikan salah satunya kepada Pak Carik Sukmo.

Satu per satu hal pun mulai dijelaskan oleh Mbah Untung, tentang apa yang telah disiapkan dan apa yang harus mereka ketahui dalam ritual nanti, malam ini tujuan mereka adalah sebuah-
-‘persil angker’ di wilayah desa ‘Sapu Angin’, karena konon menurut Mbah Untung di Persil (sebidang tanah) berupa kebun itu lah, Jin Samber Nyawa berasal.

Semua orang diminta menyiapkan mentalnya, untuk menghadapi dan melihat ketidakwajaran yang akan mereka saksikan nanti.-
-Tapi ada hal yang paling digaris bawahi oleh Mbah Untung, yaitu tentang mereka yang harus menerima fakta dan menyadari betul-betul bahwa jalan yang akan ditempuh ini adalah sebuah keburukan yang kejam.
Karena selepas ini, akan ada nyawa yang gugur seiring waktu berjalan, kemalangan yang menyebabkan kematian, penyakit yang tak bisa di obati, dan niscaya selalu berujung menuju maut.
“Namun terlepas dari itu semua, mereka memang terpaksa menempuh jalan ini, jadi sekarang mereka niatkan dalam hati, bahwa keburukan yang akan ditempuh ini, adalah satu-satunya jalan untuk mencegah terjadinya keburukan lain yang konon lebih besar dan kejam”.
Tengah malam mereka berangkat menuju ‘Persil’ itu, turun di jalan besar dekat gapura desa Sapu Angin, dan berjalan masuk seraya membawa kambingnya masing-masing.
Pak Tunggul sedikit terseok, karena selain menuntun kambingnya sendiri, ia harus membawakan juga kambing milik Kang Wicak. Sama halnya dengan Kang Saleh dan Kadus Barjo yang juga ‘ribet’ membawa tikar dan tungku sambil menuntun kambingnya.
Sudah sejak mereka masuk dari jalan besar, kambing-kambing seperti berubah aneh, rasanya kambing itu menggeret maju, seolah-olah ingin cepat sampai di ‘Persil keramat’ itu.
Hingga akhirnya, setelah mereka berjalan melewati rerumputan basah yang cukup panjang, sampailah mereka kini di mulut pintu “Persil angker” itu.
Pohon-pohon jati yang cukup besar menyambut kedatangan mereka, terlihat Mbah Untung yang menghentikan langkahnya, sejenak mengucap mantra dan setelah itu memijakkan kakinya ketanah tiga kali “Dug!! Dug!! Dug!!”.
Anggukan dari Mbah Untung menjadi pertanda untuk mereka melangkah masuk. Dengan secuil keberanian semua orang pun kini kembali berjalan beriringan mengekor di belakang Mbah Untung. (Cont)
Hingga sampailah mereka di titik tengah ‘Persil’ itu. Tikar pun digelar, dan kambing-kambing di ikat dengan ‘patok’ mengelilingi mereka. Dengan empat buah lampu semprong sebagai penerangan, ritual kini siap dimulai.
Mbah Untung bersila di barisan depan, sementara yang lain berjejer membaris di belakangnya. Kemenyan pun di bakar tak lama setelah itu, kepul asapnya membaur bersama mantra-mantra jawa yang keluar dari mulut Mbah Untung.
Lama-kelamaan Hawa-hawa tak enak mulai terasa, yang perlahan membuat mereka semua seperti merasa ‘Sumpek’ dan sesak, seakan sedang berkumpul menjadi satu di dalam ruangan yang tertutup.
Mbah Untung sudah selesai dengan mantranya, dan suasana pun seketika berubah menjadi hening, tak ada satu pun suara binatang malam yang terdengar, bahkan bisa diibaratkan heningnya saat itu, bagaikan sehening orang yang tuli.
Sampai akhirnya Mbah Untung pun menoleh dan berbicara.

“Pokoke, ampun kaget, ampun mlayu, ampun mbengok, teko dinengke mawon”.

(Pokoknya jangan terkejut, jangan berlari, dan jangan berteriak, diamkan saja). Ucap Mbah Untung yg tentu memperingatkan kepada mereka akan adanya-
-sesuatu yg datang.

Mbah Untung pun kembali keposisinya semula, dan sekira tak sampai satu menit kemudian, terdengarlah suara teriakan parau dari arah depan, yang mendekat dan semakin mendekat.
Kecuali Mbah Untung, semua orang tentu tertunduk takut memegangi tengkuknya yang bergidik. Namun sekali lagi Mbah Untung menoleh dan menyuruh mereka semua untuk berusaha menegakkan kepalanya.

“Diusahake tenang, ampun ketok wedi”.

(Di usahakan tenang, jangan terlihat takut).-
-Pinta Mbah Untung yang sepertinya mustahil itu.

Teriakan parau terus mendekat, sampai pada satu titik suara itu berhenti ketika tepat benar-benar di depan mereka.

“Srekk...srekkk..sreekk”. Terdengar suara langkah kaki, beberapa saat setelah teriakan parau itu berhenti.
Pak Lurah adalah orang pertama yang tanpa sengaja menegakkan kepalanya. Yang mana ia langsung mematung terpaku melihat sosok yang tampak berjalan menyeret itu. Image
Inilah mungkin sang lelembut pembawa teluh itu, yang kini tampak berjalan menyusuri kambing-kambing yang terikat di sekeliling mereka. Semua kambing mendadak mengembik gaduh tak terkendali, seakan sadar dan berusaha untuk lepas dari ikatannya.
Keadaan itu bertahan cukup lama, sampai akhirnya perlahan embik kambing itu, semakin berkurang, satu demi satu dan akhirnya menghilang.
Habisnya semua kambing itu, menjadi penanda selesainya ritual ini, Mbah Untung pun sedikit bangkit menggeser tubuhnya untuk mendekati orang-orang di belakangnya. Dan seraya menyalakan sebatang rokok, ia memastikan lagi bahwa semua kambing sudah benar-benar hilang.
Setelah semua yang sudah terlewati ini, semua orang masih saja terkejut heran ketika melihat kambing-kambing yang semula berada mengelilingi mereka kini hanya tertinggal talinya saja. Bahkan simpulnya pun masih rapat dan rapi, sungguh tak mungkin kambing itu bisa terlepas tanpa-
-merusak simpul talinya, ah!! Tapi inilah yang terjadi.

Ritual pengembalian teluh itu pun akhirnya selesai, dengan melipat gandakan mahar atau persembahan yang di berikan oleh kubu juragan Wiryo, sepertinya jin pembawa santet itu akan balik menyerang si pengirim.
Waktu pun berlalu, entah kebetulan atau memang Santet Pring Sedapur itu sudah benar bekerja, yang jelas, kemalangan demi kemalangan mulai terjadi.
Dukun Cokro, terkena stroke sekira satu pekan setelah ritual pengembalian itu dan meninggal enam bulan kemudian, berlanjut dengan istri juragan Wiryo satu tahun kemudian juga meninggal dalam perawatan di rumah sakit karena TBC parah.
Tak berhenti di situ, Utomo, anak sulung juragan Wiryo yang kerap disapa ‘Tomblok’ ini, namanya memang tidak pernah disebut di dalam cerita, karena memang di saat kemelut pilkades itu terjadi, ia tengah berada di perantauan. Setelah ibunya meninggal Utomo pulang dan kembali-
-menetap di Mekar Sari, tapi seiring berjalannya waktu ia mulai mengalami depresi, entah karena kesedihan atas kepergian ibunya atau karena faktor lain, tapi yang jelas depresi itu membuatnya memilih bunuh diri, Utomo mengakhiri hidupnya tepat sehari setelah memperingati 1000-
-hari meninggalnya sang ibu.

Bertahun berlalu setelah Pilkades itu, keluarga Juragan Wiryo berguguran satu per satu, dari istri, anak pertamanya bahkan kedua orang tuanya juga meninggal dalam waktu yang saling berdekatan.
Hingga setelah musibah yang bertubi itu, yang tersisa hanyalah satu anak bungsunya yang lagi-lagi memang sengaja tidak disebut dalam cerita ini karena suatu alasan.

Ia adalah Martini, anak bungsu juragan Wiryo yang ‘berkebutuhan khusus’. Dan Gadis ‘Down Syndrome’ itu lah yang-
-kelak akan menemani Juragan Wiryo sampai akhir.

Pada akhirnya kita tidak bisa lagi melihat siapa yang paling jahat dalam cerita ini, entah Kubu Lurah Pawiro yang merasa diserang terlebih dahulu atau kubu Juragan Wiryo yang justru malah menjadi pihak yang akhirnya-
-paling merugi dan menderita.

TAMAT

Terlepas dari kepelikan cerita ini, semoga ada hal baik yang bisa kita petik, terima kasih sudah membaca hingga akhir, dan tidak lupa saya memohon maaf bila saja ada kalimat yang mungkin kurang berkenan.
Akhir kata dari saya ‘Matursembahnuwun’. Semoga kita selalu diberi keberkahan dalam segala hal. 🙏
BACA JUGA

Series selanjutnya, berjudul "MANTRIK". Cerita ini Mengisahkan tentang seorang lansia yang kehilangan kewarasannya setelah istrinya meninggal.

Pak Mantrik menyelinap ke makam istrinya, mencabut kayu nisannya, dan membawa itu pulang kerumah..
Baca series MANTRIK yang masih berlangsung di @karyakarsa_id

Bab 1. karyakarsa.com/AgilRSapoetra/…
Bab 2. karyakarsa.com/AgilRSapoetra/…

• • •

Missing some Tweet in this thread? You can try to force a refresh
 

Keep Current with gil

gil Profile picture

Stay in touch and get notified when new unrolls are available from this author!

Read all threads

This Thread may be Removed Anytime!

PDF

Twitter may remove this content at anytime! Save it as PDF for later use!

Try unrolling a thread yourself!

how to unroll video
  1. Follow @ThreadReaderApp to mention us!

  2. From a Twitter thread mention us with a keyword "unroll"
@threadreaderapp unroll

Practice here first or read more on our help page!

More from @AgilRSapoetra

Did Thread Reader help you today?

Support us! We are indie developers!


This site is made by just two indie developers on a laptop doing marketing, support and development! Read more about the story.

Become a Premium Member ($3/month or $30/year) and get exclusive features!

Become Premium

Don't want to be a Premium member but still want to support us?

Make a small donation by buying us coffee ($5) or help with server cost ($10)

Donate via Paypal

Or Donate anonymously using crypto!

Ethereum

0xfe58350B80634f60Fa6Dc149a72b4DFbc17D341E copy

Bitcoin

3ATGMxNzCUFzxpMCHL5sWSt4DVtS8UqXpi copy

Thank you for your support!

Follow Us on Twitter!

:(