Anarkisme sering kali disebut sebagai biang kerok kekerasan dan menjadi istilah yang sering kali disalahartikan di Indonesia. Media massa beramai-ramai menggunakan diksi tersebut untuk menjelaskan segala hal terkait kebrutalan, kerusuhan, dan pengrusakan hingga huru-hara.
Pandangan semacam itu seolah final untuk memaknai dan memahami apa itu anarkisme. Seperti halnya isme-isme yang lain, ia turut menjadi korban bahasa yang diselewengkan dalam percakapan sehari-hari. Bahkan, istilah tersebut jauh sekali dari makna aslinya.
Istilah Anarkisme sendiri berasal dari kata Yunani "anarki". Terdiri dari dua kata, awalan an (atau a) yang bermakna ketiadaan, tidak, atau kekurangan. Lalu dilanjutkan dengan kata archos yang berarti suatu peraturan, pemimpin, kepala, atau kekuasaan.
Karena itu, anarchos/anarchein berarti tanpa pemerintahan. Tanpa pemerintah, tanpa otoritas kemudian jd inti terkait anarkisme sebagai filsafat politik sehingga menolak wujud negara sebagai otoritas tertinggi. Secara harfiah berarti tanpa peraturan, tanpa pemimpin, tanpa tuan.
Anarkisme muncul sebagai salah satu gerakan sosialis jauh sebelum paham marxisme berkembang di Eropa pada abad ke-18 seperti yang disebut Ben Anderson dalam "Di bawah Tiga Bendera".
Tokoh kunci pemikir anarkisme antara lain Piere Joseph Proudhon yang pikirannya pernah berkembang di revolusi sosialis tanpa partai, Komune Paris (1871). Selain itu, Mikhail Bakunin pernah tampil di Internasionale I dan menjadi lawan debat yang cukup sengit bagi Karl Marx.
Di forum tersebut, Bakunin dan Marx berselisih paham terkait masa transisi setelah kapitalisme apakah perlu diktator proletariat atau tidak. Perselisihan tersebut tak menemui titik terang antara kedua kubu dan pada 1872 kubu anarkis bersama Bakunin didepak dari Internasionale I.
Tak banyak sejarawan menyadari keberadaan anarkisme di Indonesia. Soe Hok Gie, satu di antaranya menyadari anasir anarkisme dlm Sarekat Islam. Menurut Gie dalam "Di Bawah Lentera Merah", dalam tubuh organisasi tersebut, punya kecenderungan nihilisme di antara para massanya.
Nihilisme dalam beberapa hal berbeda dengan anarkisme. Namun, orientasi politiknya dengan anarkisme punya irisan yang sama untuk menghancurkan otoritas, termasuk otoritas pimpinan organisasi dan pemerintah kolonial yang menindas.
Minimnya literatur yang menjelaskan keberadaan anarkisme di Indonesia membuat ideologi politik satu ini sering disalahartikan dan bahkan dianggap tidak pernah ada dalam sejarah pergerakan nasional.
Banyak yang menganggap anarkisme baru masuk ketika komunitas punk hadir pada kisaran tahun 1980-an. "Perang yang Tidak akan Kita Menangkan" yang ditulis oleh Bima Satria Putra ini memberi gambaran penting terkait anarkisme dalam babakan sejarah Indonesia.
Anarkisme muncul bersama gelombang besar saat komunisme dan nasionalisme menjadi imajinasi pemberontakan melawan pemerintah kolonial. Max Havellar menjadi buku pertama yang dinilai menjelaskan kecenderungan "anarkistik" di Hindia Belanda.
Buku yang ditulis oleh Eduard Douwes Dekker pada 1860 tersebut mengkritik keras pemerintah kolonial Hindia Belanda. Walaupun kemudian, banyak hal yang perlu diluruskan dari maksud Dekker sendiri saat menulis buku ini.
Yang jelas, buku ini menjadi salah satu yang memicu beberapa gerakan antikolonialisme di Hindia Belanda. Selain itu, buku tersebut menjadi pemantik bagi gerakan sosialis dan anarkis di berbagai negara.
Bahkan, menurut Peter Kropotkin di esai Anarchism dalam The Encyclopedia Britanica, buku tersebut bisa disejajarkan dengan karya Nietzsche, Emerson, W. Lloyd Garrison, Thoreau, Alexander Herzen, dan Edward Carpenter.
Tak berlebihan jika Max Havellar menjadi inspirasi gerakan sosialis dan anarkis di berbagai tempat. Seperti si patriotik Filipina, Jose Rizal, yang juga mengagumi buku monumental tersebut dan menjadi ilham bagi perjuangan rakyat di Filipina (Ben, Di Bawah Tiga Bendera, hlm. 71).
Selain Filipina, buku tersebut tersebar ke beberapa negara Eropa Barat. Dan di Belanda, buku tersebut berhasil mempengaruhi para liberal progresif Belanda untuk mendesak reformasi politik yang lebih baik di tanah jajahan, termasuk di Hindia Belanda.
Hasilnya, 40 tahun kemudian lahirlah paket kebijakan politik Trias Van Deventer: edukasi, irigasi, dan emigrasi yang disahkan oleh Ratu Wilhemia pada 1901 (Bima, hlm. 37-38).
Selain itu, pada 1918, Darsono mengurus koran Sinar Djawa dan mengangkat Semaun—yang saat itu menjadi ketua Sarekat Islam (SI) di Semarang—menjadi anggota redaksi. Di koran tersebut, Darsono memakai nama samaran Onosrad menulis perihal nihilis Rusia.
Dalam tulisannya, ia menegaskan bahwa "begitulah perang tandingnya pemuda-pemuda (nihilis) yang gagah berani melawan pemerintah yang berlaku sewenang-wenang, tidak takut di bunuh, tetap hati karena suci, sampai mati." (Onosrad, Nihilis Rusia dalam Sinar Djawa, 2 April 1918).
Dokumentasi tersebut menunjukkan ada hubungan yang amat lentur dalam tubuh SI. Perbedaan ideologi politik tidak menjadi persoalan. Sebab, bagi mereka musuh yang paling nyata adalah penjajah di tanah Hindia Belanda.
Oleh karena itu, bagi Bima, gerakan kiri di Indonesia tidak bisa dilihat secara tunggal. Dalam sejarah Indonesia, ide-ide anarkis hidup dan mewarnai organisasi-organisasi yang bertendensi marxisme dan sosial-demokrat. (Bima, hlm. 89)
Anggota PKI yang seringkali memakai nama samaran pula salah satunya Herujuwono, Ketua Seksi PKI di Pekalongan. Herujuwono bersama Alimin memegang kendali koran Api yang diterbitkan partai yang kini terlarang tersebut.
Koran Api seringkali mengutip Bakunin dalam editorialnya sepanjang tahun 1926. Hal inilah yang kemudian menjadi tegangan yang tidak bisa dihindarkan dalam tubuh PKI.
Tulisan lain yang ditulis oleh Sukarno juga memberikan penjelasan yang cukup ringkas apa itu anarkisme. "Anarchisme ialah salah satu paham atau aliran dari socialisme, oleh karenanya anarchisme itu adalah lawannya kapitalisme ...
anarkis itu mufakat sekali dengan persoonlikje vrijheid, ialah kemerdekaan sendiri-sendiri, oleh karena kemerdekaan itu adalah haknya alam yang tidak bisa dihancurkan," ungkap Sukarno (Fikiran Ra'jat, No. 2, 8 Juli 1932)
Menurut Bima, gerakan anarkis sama-sama hancur ketika Tragedi 1965 memusnahkan semua gerakan kiri di Indonesia. Gerakan ini baru muncul kembali ketika pada 1980-an bersama ramainya komunitas punk dan beberapa gerakan otonom di berbagai daerah.
Bahkan, gerakan anarkis bernama Front Anti-Fasis (FAF) pernah bergabung bersama Partai Rakyat Demokatik (PRD) pada 1999. Kelompok ini secara terbuka mendaku diri sebagai anarko-punk yang terdiri dari komunitas punk, anak jalanan, pemuda, dan preman.
Selain itu, pada Desember 1999 muncul Jaringan Anti Fasis Nusantara (JAFNus) yang diinisiasi oleh FAF. FAF kemudian membubarkan diri setelah kongres kedua yang gagal di Yogyakarta pada tahun 2000.
Serta, seperti kasus-kasus sebelumnya, ada perbedaan prinsipil yang membuat kelompok ini harus berpisah jalan dengan PRD (Bima, hlm. 218).
Anarkisme menemukan momen kemunculannya pada 2007 dengan membentuk Jaringan Anti-Otoritarian (JAO). Jaringan ini terdiri dari berbagai afinitas, kelompok, dan komunitas anarkis di berbagai daerah di Indonesia.
Dalam sejarah Indonesia pasca-Reformasi, bendera hitam pertama kali berkibar pada May Day 2008. Saat itu, JAO melakukan aksi long march di Jakarta dari STIE Perbanas ke Wisma Bakrie.
Selain itu, pada 9 Desember 2009, puluhan anarkis-insurgen memancing kerusuhan pada Hari Anti Korupsi se-Dunia.
Sampai saat ini, gerakan anarkisme dengan beragam varian tersebar di berbagai wilayah Indonesia ketika May Day 2018 atau pada saat 2019 lalu.
Selama ada kekuasaan dan modal kapital yang menindas rakyat, semangat kaum anarkis akan terus menyala dan merayakan May Day secara sukarela. Di mana pun dan kapan pun dengan bendera merah hitam sindikalisme atau dengan corak bendera anarkis yang lain.
Betul. Membenturkan buku cetak dan ebook bukan saja tidak relevan, tetapi juga bukan hal semestinya dilakukan oleh para pembaca. Julian Baggini membahas beberapa penelitian di esainya "Ebook vs Kertas" dlm buku yg diterbitkan @pojokcerpen ini.
Kalau kata Julian Baggini kekhawatiran terhadap ebook adalah kekhawatiran berulang.
Ini liputan tntng tokobuku di US yg banyak terancam tutup waktu pandemi. Yes, pandemi merevolusi cara belanja banyak orang, dari luring ke daring. Apa itu cukup? Belum tentu. Tokobuku di US melakukan berbagai improvisasi, terutama bikin event daring.
Setelah Annelis pergi ke Belanda, kehidupan Nyai Ontosoroh dan Minke di Wonokromo belum benar-benar pulih. Kalah di persidangan dan nama mereka tercantum di banyak media massa Hindia Belanda membuat mereka dikenal banyak orang.
Mereka hidup di rumah tanpa keluar dalam jangka waktu yang lama akhirnya membuat mereka jenuh.
Saat menyunting buku temen antropologi, aku jadi cukup iri dengan penggunaan saya/aku dalam karya mereka. Berbeda sekali dengan jurusan sosial-humaniora lain yang kering sekali dan gak punya daya storytelling.
Selain itu, jurusan-jurusan dengan satu disiplin sering kali masih cukup egois untuk menggunakan disiplin lain yang sekiranya cukup kontekstual. Alhasil, cara pandang demikian membuat jurusan tersebut makin sempit dan sulit sekali berkembang dalam keilmuannya.
Belum lagi saat menemukan fakta bahwa kemampuan insan akademikus tersebut tak memadai.
Saat Larasati meninggalkan Yogyakarta dengan kereta, pekik revolusi terus bergema di mana-mana, termasuk di dalam kereta yang ditumpanginya.
Para serdadu republik mengenali dan menyapanya selama perjalanan dan sepanjang perjalanan tersebut, ia banyak merenungkan kehidupannya sebelum api revolusi meletus dan bagaimana nasibnya di tengah huru-hara yang membawa cita-cita luhur.
Sejak membacanya 10 tahun lalu, tak banyak lagi yang kuingat dari novel ini selain garis besarnya saja. Novel ini dibuka dengan ingatan Minke atas sejarah hidupnya dan sejak itulah cerita dimulai. Membaca melalui tokoh pertama, bikin cerita seperti dimulai dari kertas kosong.
Kehidupan Minke menjadi tak seperti biasanya dengan kehidupan di HBS yang penuh dengan impian-impian modernitas setelah diajak oleh Robert Suurhof, teman sekolahnya, ke rumah Robert Mellema, seorang indo yang juga sekolah di sekolah yang sama.
Setelah sukses dengan "Semua untuk Hindia", butuh tiga tahun bagi Iksaka Banu untuk melahirkan kumpulan cerpen lagi pada 2017. Sebagaimana yang ditampilkan di sinopsis, kumpulan cerpen ini merupakan wajah lain Iksaka Banu yang lebih dulu hadir mewarnai jagad sastra media massa.
Dua cerita pertama menghadirkan kisah problematika rumah tangga berbalut perselingkuhan. Dlm "Film Noir", menceritakan Arya, sutradara yg berhasil bertemu dg Anggi, calon pemain bertalenta untuk film yg digarapnya. Tanda diduga, Anggi berhasil meyakinkan Arya bisa bermain film.