Gua gak percaya kalau kota #GlobalSouth macam Jakarta yg beragram banget bisa saklek plek sama aturan tata ruang yg cenderung penyeragaman & simplifikasi.
Sayangnya yg terjadi itu lebih ke negosiasi di belakang dan koruptif. Fungsi penata ruang utk lakukan mediasi gak terjadi.
Ombudsman kita juga gak pny kemampuan atau tenaga atau waktu di soal tata ruang.
Amanat UU Taru Utk utk PPNS juga gak berjalan - itu pun PPNS bukan utk moderasi dan mencari titik temu.
Lbh cocok jika di tiap kecamatan/kota ada divisi “machizukuri” macam di Tokyo.
Dan rekomendasi ombudsman ya kerap gak dijalankan juga.
Ini belajar dari mengamati kasus Kampung Dadap. Rekomendasi dr ombudsman bagus. LBH Jakarta juga oke banget mampu memasukkan isu strategis tmsk soal pentingnya perencanaan bareng2. Tapi lalu ya udah, cuma jd rekomendasi aja
• • •
Missing some Tweet in this thread? You can try to
force a refresh
Usul aja sih, biar kita cepat beranjak dari logo/ikon/branding Jakarta ini,
Mari kita rame2 ikut “kompetisi” ikon dgn email: ikonresmijakarta@gmail.com
Kirimlah logo +Jakarta.
Harapannya: biar selesai dan gak diungkit2 lagi sama PJ & co.
Ingin cek status tanah pemilik ruko di Muara Karang yg berantem dgn Ketua RT.
Kalau dilihat dr Peta BPN, persil hak mereka hanya bangunan ruko saja.
Spt layaknya sertifikat2 ruko lainnya.
Lalu tanah siapa yg mrk pakai itu?
Ada 2 macam sih. Jika sertifikat ruko sdh dipecah, maka lahan parkir ruko bisa dikelola asosiasi pemilik ruko & dianggap sebagai benda bersama.
Kedua, jika Jakpro (selaku eks BPL Pluit) masih kelola, seharusnya dikelola Jakpro.
Lihat ini jd ingat kejadian 11 th lalu saat ada cawagub ke kompleks rumah aye.
Aye tanya soal bangunan rumah berubah fungsi & ruko2 yg caplok jalan macam di bawah.
Bknnya jawab, eh aye malah diomel2in sama tuh cawagub 😂.
Sebetulnya ini menarik utk diamati lebih lanjut. Konflik ruang terjadi saat pemimpin wilayah sdh tahu dan sadar risiko dari pencaplokan ruang ilegal dalam jumlah besar.
Dan menariknya Ketua RT tyt cukup rajin utk “advokasi” selama berthn2 di kelurahan dan kecamatan.
Risikonya apa: krn caplok ruang utilitas kota maka ya akan berdampak besar utk publik (banjir, sampah, bau, dll dll).
Juga krn memakan jalan, maka akan sebabkan makin minim ruang utk pejalan kaki dan kendaraan.
Wa gak tahu siapa yg dewain kota macam KL yg ugh & jelas bkn role model utk mobilitas.
Tapi jika wacana diet jalan dicounter dgn “how about logistic” maka perlu kasih tahu kalau sasaran diet jalan itu terbesar pada kendaran pribadi penumpang (mobil & motor), bkn logistik.
Jakarta itu gak punya perencanaan mobilitas logistik. Kalaupun ada di RTRW atau RDTR itu ya sekadar ada aja.
Kalau adapun, ya ndak diimplementasikan.
Jd sebelum wacana macam di atas, ya bikin dulu rencana mobilitas logistik. Dan tentunya “nambah jalan” bukan opsi ideal.
Serendah2 imam aturan mobilitas logistik Jakarta ya cuma level: jam xx gak boleh lewat jalan YYY.
Gak ada aturan parkir, gak ada zonasi, gak ada rambu utk truk, gak ada jam operasional drop on-off dll - yg biasanya jadi alat utk manajemen mobilitas logistik.
Sama spt Jakarta, Seoul adlh gudangnya gang. Total gang sampai 14.000.
Jalan yg relatif besar (arteri, lokal, lingkungan) biasanya mengelilingi distrik/bbrp distrik.
Kondisi morfologis ini yg menyebabkan mode share Seoul didominasi jalan+transit publik. english.seoul.go.kr/street-view-of…
Jalan arteri berbatasan dgn “gu”, dan jalan lokal membatasi “dong” (ini setara kelurahan/kampung kota).
Dlm 1 dong yg isinya gang atau jalan sempit (2-3 m), jarak dari titik terdalam maks 200 meter sdh sampai ke jalan lokal yg jadi pembatas “dong”.
Lalu bus lewat … tring …
Sama spt Jakarta, Seoul mengalami era penghancuran dong besar2an di thn 1970an sampai 2005 an utk bangun jalan dan pelebaran jalan.
“Dong” juga dihancurkan besar2an utk bikin kompleks apateu.
Tahukah kalian, Indonesia tdk pny standar hunian sewa (tmsk kost) & perlindungan thdp penyewa? +62 kalah dgn India. Akibatnya kost2an bs beda banget nasibnya.
Jumlah KK yg tinggal di hunian sewa cenderung meningkat pd kota2 besar. Ini belum menghitung mahasiswa & pekerja single yang masih tinggal di kost atau sharing sewa.
Hampir 20% warga Bali adalah penyewa. Jakarta? 35%.
Smtr nasib penyewa diserahkan pd kebaikan hati “ibu kost”.
Bisa kak, sebetulnya ada bbrp pemkot yg menerbitkan peraturan terkait kost2an juga, namun masih berat di isu susila dan kesopanan.
Penyewa dan anak kost juga berhak atas hunian layak.