gil Profile picture
Jun 2 102 tweets 16 min read Twitter logo Read on Twitter
MANTRIK (Bab 1 - Pembuka)

~ Terjebak tipu daya iblis

@bacahorror @menghorror @IDN_Horor Image
Mengisahkan tentang seorang pria yang mulai berubah sejak istrinya meninggal. Awalnya, Keluarganya mengira itu hanya ekspresi kesedihan semata, namun semua semakin memburuk, beriring dengan kejadian-kejadian aneh yang mulai terjadi kepada orang-orang di sekitarnya.
“MANTRIK”. Bab. 1

Jawa Tengah kisaran tahun 1985,

Suatu sore, di sebuah desa yang tenang dan tenteram, di teras sebuah rumah bergaya priayi, terlihat sepasang lansia yang tengah duduk dan saling berbincang.
Mereka adalah Pak ‘Marcus Seto Soemantri’ atau orang lebih mengenalnya sebagai ‘Pak Mantrik’ dan Ibu ‘Bertha Sri Murni’ atau yang sering disapa Bu Murni
Beginilah sekira kegiatan mereka setiap harinya sejak kedua anaknya menikah dan sudah mempunyai hunian sendiri. Aktivitasnya hanya begitu-begitu saja, kalau tidak ke gereja atau sedang menyambut kedatangan anak cucu setiap akhir pekan, Pak Mantrik dan Bu Murni itu lebih sering-
-terlihat menghabiskan sorenya dengan mengobrol di depan rumah.

“Enak ya Jadi Pak Mantrik, hidupnya nyaris sempurna, anak-anaknya sudah mapan, keluarganya juga selalu harmonis, rukun dan mesra. Bahkan di masa tuanya ia masih terlihat berkecukupan. Ah!! apalagi yang mau beliau-
-kejar di dunia ini”. Kurang lebih begitulah penilaian orang-orang di sekelilingnya terhadap keluarga Pak Mantrik itu.

Keluarga Pak Mantrik adalah potret sebuah keluarga yang ideal, bahkan bila boleh dibandingkan dengan masa sekarang, keduanya bagaikan Habibie dan Ainun. Se-
-pasang suami istri yang selalu romantis dan hangat meski telah sama-sama menua.

Pak Mantrik adalah sosok yang sangat menyayangi keluarganya, terutama istrinya, rasa itu dibuktikan dengan sedikit menabrak tradisi kebanyakan orang di era itu, yang mana setiap orang tua, sering-
-berprinsip bahwa “banyak anak, banyak rejeki”. Prinsip itu ditolak oleh Pak Mantrik sendiri dengan ungkapannya yang ia dapat di dalam bangsal rumah sakit, yaitu ketika sang istri melahirkan anak keduanya.
Kurang lebih seperti ini lah ungkapannya :

“Dua kali aku menemanimu melahirkan anak kita, dan itu membuatku menjadi berpikir, bahwa wanita yang kusayangi ini tak perlu menjadi pabrik bayi, yang harus memberikan banyak anak untukku. Tapi kalau pun nantinya kamu sendiri yang-
-menginginkan anak lagi, aku akan lebih senang memintanya dari panti-panti, berapapun yang kau mau, karena aku takkan sanggup melihatmu bertaruh nyawa lebih dari itu”. Begitu sekiranya pandangan Pak Mantrik yang ia tuliskan dalam memo kecil dan ia selipkan di bawah bantal-
-istrinya di rumah sakit, seusai melahirkan anak keduanya kira-kira 30 tahun yang lalu.

Prinsip itu selalu ia pegang teguh sampai saat ini, itu terbukti di usia pernikahan mereka yg kurang lebih sudah menginjak 40 tahun itu, Pak Mantrik & Bu Murni hanya mempunyai dua anak saja.
Mereka adalah Rudi dan Romi, anak-anak pintar, cerdas, dan dari kecilnya selalu kritis terhadap aspek-aspek kehidupan.

Rudi si Sulung, ia bergelar sarjana ekonomi, pribadinya dikenal ‘Kalem’ tak banyak bicara, sudah menikah, mempunyai dua anak, dan berkarir sukses menjadi-
-kepala di sebuah Bank nasional milik negara.

Sementara untuk si bungsu Romi, ia juga sudah menikah dan mempunyai 2 orang anak, hidupnya juga mapan, Ia yang mempunyai gelar insinyur itu, memiliki karir yang bagus dengan menjadi kepala rekayasawan atau teknisi di sebuah-
-perusahaan swasta yang cukup besar kala itu. Untuk perbedaan antara dirinya dengan sang kakak, Romi ini lebih aktif dan banyak bicara.

Sekilas bisa kita lihat, bagaimana kehidupan keluarga Pak Mantrik itu, yang patut dikatakan nyaris sempurna. Anak-anaknya sukses dan mapan,-
-rumah tangganya juga selalu hangat dan harmonis, membuatnya tinggal menikmati saja masa tuannya ini dengan tenang.

Kembali ke percakapan di teras rumah, sore itu. Keduanya masih berbincang hangat, meski matahari kian merendah, tampaknya mereka tak mau beranjak dari tempat-
-duduknya. Oh!! Iya, hari ini adalah akhir pekan, sepertinya mereka masih menunggu kedatangan anak dan cucunya seperti biasa.

“Anak-anak kok belum datang ya Mas?”. Ucap sang istri di antara sesapan teh yang sudah hampir dingin.

“Oh sekarang kan akhir bulan Bune, jadi Si Rudi-
-lagi tutup buku, kalau si Romi biasalah, dia kan memang datangnya selalu habis magrib”. Jawab Pak Mantrik seraya mengambil sebatang rokok dalam bungkusnya. Hal itu segera membuat Istrinya melirik tajam, dan Pak Mantrik pun urung menyalakan batang rokoknya.
“Mbok jangan ngrokok terus to Mas.. Biar panjang umur, cucu kita itu lho, masih kecil-kecil..”. Kata istrinya dengan sedikit sinis. Yg segera dijawab oleh pak Mantrik dgn sedikit berkelakar.

“Halah..kan cuma sebatang to bune, hehehe”. Tanggap Pak Mantrik dengan sedikit tertawa.
“Lah iyo, sebatang!! Sejak dulu ngrokok itu ya dari sebatang, diulang-ulang sampai habis satu bungkus!!”. Timpal sang istri yang gemas dengan suaminya itu.
Hingga beberapa saat kemudian, perdebatan kecil itu pun teralihkan oleh suara anak kecil yang memanggil mereka. Ya!! Si Sulung Rudi akhirnya datang juga bersama anak dan istrinya.
“Kakung!!!! Uti!!!”. Teriak dua anak Rudi yang berlari menghampiri kakek dan neneknya.

Seperti biasanya, Pak Mantrik dan Bu Murni selalu menunggu momen ini, mereka tampak sumringah menuntun cucu-cucunya itu untuk masuk ke dalam rumah.
Bersamaan dengan itu Rudi dan istrinya pun turut masuk, meletakkan tas pakaian yang mereka bawa ke dalam kamar, dan setelah itu duduk-duduk diruang tengah.
“Romi belum sampai sini to Buk?”. Tanya Rudi kepada ibunya (Bu Murni).

“Paling sebentar lagi..”. Jawabnya yang langsung disela oleh Sang ayah (Pak Mantrik).

(Cont)
“Oh ya Rud, Jawa pos, kok sudah tiga hari ini ndak datang yo?”. Katanya yg menanyakan perihal koran harian langganannya yg sudah tiga hari tidak datang.

“Oh!! Apa iya Pak!? Padahal selalu Rudi bayar lho, tapi..eh kan lopernya juga satu gereja sama kita, minggu lalu bapak-
-lihat dia ndak?”. Tanggap Rudi.

“Lihat sih..Tapi kan baru tiga hari korannya ndak datang, apa besok bapak tak tanya sama orangnya langsung saja ya, besok kan kita pasti ketemu dia di gereja”. Tukas Pak Mantrik sambil sibuk bercengkerama dengan dua cucunya.
Di ruang tengah, Di depan televisi, mereka semua pun berkumpul, suatu ketika Bu Murni, sang ibu tampak meringis memegang perutnya. Yohana, istri Rudi yang pertama kali menyadarinya pun langsung sigap bertanya kepada ibu mertuanya itu.
“Kenapa Buk!!”. Tanya Yohana mendekat.

“Ndak tahu ini Nduk, kok tiba-tiba rasanya seperti mual”. Jawab Bu Murni diikuti oleh Rudi yang turut mempertanyakan itu.

“Gimana Buk? Apa perlu Rudi panggilkan ‘Bu Mar’? (Perawat rumah sakit, yang berada didesa itu). Tanggap Rudi.
“Ndak usah..ndak usah, paling cuma mual biasa, dikasih air hangat juga nanti sembuh”. Kata Bu Murni seraya menahan sakitnya.

Sang menantu Yohana pun segera mengambil air hangat di dapur, dan langsung diberikan kepada ibu mertuanya itu. Bersamaan dengan itu, Pak Mantrik juga-
-turut berkata.

“Nah itu ibumu Rud, wong bapak sudah bilang jangan minum soda”. Adu Pak Mantrik kepada Rudi anaknya.

“Sudah bune, Biar dipanggilkan Bu Mar saja ya? Nanti biar dikasih obat lambung”. Tambah Pak Mantrik yang kali ini berbicara kepada istrinya.
Tapi lagi-lagi sang ibu menolaknya, dan berkata bahwa dia masih baik-baik saja.

“Wes.. Ndak papa, ini sudah agak mendingan kok, habis minum air hangat”. Kata ibu beralasan.
Menit demi menit berlalu, hingga sore pun berganti menjadi petang, dan seperti yang sudah menjadi kebiasaan, si Romi, anak bungsu Pak Mantrik itu pun datang juga, bersama anak dan istrinya.
“Pakkk...Buk!!!”. Sapa Romi sembari berjalan masuk dan langsung menghampiri keriuhan orang di ruang tengah.

“Pak.. Buk..” ucap Romi lagi seraya mencium tangan bapak dan ibunya.
Kedatangannya pun membuat suasana ruangan itu menjadi kian ramai. Semua keluarga kini benar-benar berkumpul, mereka pun tampak bercengkerama dan saling tertawa.
Tapi di tengah kehangatan itu, ada sesuatu yang akhirnya kembali mereka sadari. Yaitu keadaan sang ibu yang tak berubah dan masih saja sesekali memegangi perutnya.
“Piye bune? Kalau ndak kuat, biar dipanggilkan Bu Mar saja ya?”. Pinta Pak Mantrik sang suami, yang segera dipertanyakan juga oleh si Romi sebelumnya belum benar-benar tah.
“Emange, ibuk kenapa?”. Tanya Romi.

“Biasa, asam lambungnya kumat”. Timpal Rudi menjawab pertanyaan adiknya itu.

“Owalah Mbok sudah to buk, Romi panggilkan Bu Mar ya?”. Tawar si bungsu yang lagi-lagi ditolak oleh sang ibu.
“Sudahlah, nanti saja, ibu tidak apa-apa kok”. Tanggap Bu Murni lagi yang tak lama setelah itu bangkit dan hendak beranjak ke kamar mandi.

“Mau bagaimana Buk?”. Ucap Dina (istri Romi) kali ini, yang segera dijawab oleh Bu Murni sambil berjalan ke ruang belakang.
“Sebentar, mau buang air kecil dulu”. Jawabnya yang tampak terburu-buru.

“Apa perlu Rudi antar buk?”. Kata Rudi sekarang menawarkan diri.

“Wes.. Ndak usah..ndak usah.. Ibuk bisa sendiri kok”. Tanggap Bu Murni sambil berjalan pergi ke kamar mandi.
Menit demi menit berlalu, Bu Murni yang tengah buang air kecil itu tak kunjung kembali keruangan mereka. Namun, disini tak ada seorang pun yang menyadari keganjilan itu. Entah lalai, atau memang sedang terlalu asik mengobrol, sampai akhirnya, tibalah ketika sebuah teriakan pelan-
-yg terdengar dari arah ruang belakang.

“Tulung....”. Suara itu terdengar satu kali.

Ya!! Sangat jelas itu adalah suara Bu Murnu. Mereka yang mendengar itu pun segera beranjak bangkit untuk memeriksanya, dan apa yang akan mereka lihat nanti, sungguhlah sesuatu yang tak-
-pernah diharapkan.

Terlihat pintu kamar mandi yang setengahnya terbuka, tampak pula di sela-selanya, tangan Bu Murni yang terjuntai di bawah lantai. Disini tak ada lagi gerakan, teriakan atau pun erangan.
Rudi pun segera masuk bersama ayahnya, dan setelah melihat keadaan sang ibu, ia pun segera meminta adiknya untuk bersiap dengan mobilnya.

“Rom, siapkan mobil, kita bawa ibuk kerumah sakit”. Kata Rudi mencoba tenang.

Tak lama kemudian Bu Murni pun segera di gotong keluar-
-dari kamar mandi, dan langsung di masukkan ke dalam mobil.

Dan dibawalah Mbah Nunik kerumah sakit malam itu bersama Pak Mantrik dan kedua anaknya.

“Kalian tunggu dirumah saja ya sama, anak-anak”. Ucap Rudi kepada Dina dan Yohana sebelum mereka berangkat menuju rumah sakit.
Singkat waktu, sesampainya di sana, sang ibu pun segera mendapat penanganan, tapi yang menjadi kecemasan adalah beliau yang masih saja tidak sadarkan diri. Hingga setelah semua daya dan upaya yang dilakukan oleh pihak rumah sakit, Bu Murni pun akhirnya dirawat di ruangan I.C.U.
“Wes Pak, tenang saja, ibuk sudah mendapat penanganan, dia pasti akan baik-baik saja”. Kata Romi saat melihat ayahnya tampak gelisah.
Dugaan sementara, dokter menyatakan bahwa Bu Murni mengalami pecah pembuluh darah. Dan meski ia sudah dinyatakan stabil, tapi Bu Murni masih-
-belum sadarkan diri.

Hingga menit pun berlalu, Malam itu, sekira pukul 21.00, Masih di rumah sakit, tepatnya di lorong depan ruangan ICU..

“Kalian pulang dulu saja, dan balik ke sini besok pagi, biar bapak saja yang menunggu disini”. Kata Pak Mantrik kepada Rudi dan Romi.
“Terus Bapak mau tidur dimana? ndak bisa nunggu didalam lho, masa’ mau tidur dikursi ini? mending bapak yang pulang sama Romi, biar saya saja yang nunggu disini”. Tanggap Rudi seketika.
Pak Mantrik tak bergeming atas perkataan Rudi, dan meski ia menyanggahnya dengan lembut, Pak Mantrik tetap saja bersikukuh akan menunggu di rumah sakit.

(Cont)
Rudi & Romi tahu, bagaimana perasaan ayahnya itu saat ini, tapi disisi lain, mereka tentu tak tega meninggalkannya kedinginan di sini. Sampai akhirnya, setelah sejenak terlibat perdebatan kecil, mereka pun mengambil jalan tengah. Dengan tak ada yg akan pulang ke rumah sampai-
-esok hari.

“Ya, mending begitu saja, paling-paling kita juga ndak tidur sampai pagi”. Tukas Romi yang juga disepakati oleh Rudi dan Pak Mantrik.
Ayah dan kedua anaknya itu pun, kini tampak berbincang untuk membunuh waktu, namun topik-topik yang selalu mereka paksakan untuk diobrolkan, tak pernah bisa bertahan lama, dan akhirnya berujung kembali membahas sang ibu.
Hingga tak terasa satu jam berlalu, seorang satpam rumah sakit tampak menghampiri mereka. Dan dengan lembut ia pun berkata kepada Pak Mantrik, Rudi dan Romi, untuk berkenan menunggu saja di ruang tunggu, agar obrolan mereka tidak mengganggu pasien yang lain.
“Nuwun sewu ini Pak, sudah malam, ngobrol di ruang tunggu saja malah lebih enak to, takutnya kalau ganggu pasien yang sedang istirahat”. Kata satpam itu dengan sopan.
“Onggih..nggih.. Kalau kami keluar sebentar terus masuk ke ruang tunggu lagi apakah bisa?”. Tanggap Pak Mantrik seraya bangkit dari duduknya.

“Oh.. Bisa..bisa sekali Pak..”. Jawab keamanan rumah sakit itu.
Mereka pun segera beranjak ke ruang tunggu, dan setelah itu, keluar menuju di warung kopi yang kebetulan berada tepat di seberang rumah sakit itu.
Mereka segera memesan kopi, dan menghisap rokoknya masing-masing. Suasana warung yang saat itu cukup ramai, membuat kegelisahan mereka seperti sedikit teralihkan. Sesapan demi hisapan mengiringi berlalunya malam itu, hingga sekira pukul 01.00 dini hari, Pak Mantrik dan kedua-
-anaknya pun kembali lagi ke lobi.

Mereka duduk sedikit berjauhan, untuk meregangkan tubuh mereka yang terasa lelah. Hingga sekuat apa pun mereka yang ingin tetap terjaga, pada akhirnya Pak Mantrik, Rudi dan Romi pun terlelap dalam duduknya.
Dalam waktu yang kurang lebih bersamaan. Para menantu dan cucu Pak Mantrik yang berada di rumah, tampak sudah terlelap di depan ruang keluarga. Mereka semua tertidur dengan lelapnya, berjejer di dua kasur yang mereka gelar di ruangan itu.
Hingga pada suatu ketika, Yohana istri Rudi, dibangunkan oleh sesuatu. Sesuatu itu adalah bau wangi lavender yang tetiba menusuk tajam di hidungnya. ia hafal betul perihal wewangian ini, yang mana menurut pengetahuannya, ini adalah aroma minyak wangi kepunyaan ibu mertuanya.
Awalnya Yohana menyikapi ini sebagai sebuah kewajaran saja, meski bau lavender itu cukup tajam seakan-akan tumpah di lubang hidungnya.

Sebenarnya Ia ingin kembali memejamkan matanya, namun tiba-tiba saja, hasrat ingin buang air kecil membuatnya harus bangkit menuju kamar mandi.
“Duh”. Menantu Pak Mantrik itu pun bangkit dengan sedikit payah, dan beranjak ke kamar mandi.

Tak selang beberapa lama kemudian, ia kembali lagi ke ruangan itu, dan hendak melanjutkan tidurnya. Namun sejenak itu menjadi urung oleh salah satu anaknya yang terbangun.
“Dio kenapa? Mau pipis?”. Ucap Yohana saat melihat anaknya sudah dalam posisi terduduk.

Dio pun menoleh, melihat ke arah ibunya seraya menggelengkan kepalanya. Dan setelah itu ia berkata.

“Uti sudah pulang, katanya mami suruh siap-siap, soalnya nanti ada banyak orang yang-
-mau datang”. Ucap Dio dengan polosnya, yang tentu membuat Yohana tersentak dan menghampiri.

“Emang Uti sudah pulang!!? Mana?, kok mami ndak dengar!?”. Tanya Yohana kepada anaknya yang baru berusia 5 tahun itu.

“Sudah kok, lha itu, Uti lagi berdiri di sana..”. Jawab Dio sambil-
-menunjuk ke arah ruang tamu yang gelap.

Spontan Yohana tentu menatap ke arah dimana jemari anaknya itu menunjuk, tapi di sana ia tidak melihat apapun. Bersamaan dengan itu, Seketika tengkuknya terasa bergidik kaku. “Dio!!”. Ucapnya yang langsung merapat memeluk anaknya.
Perasaannya campur aduk diantara percaya dan tidak percaya, namun firasat hatinya berkutat kuat, bahwa pasti ada ‘hal’ yang sedang terjadi kepada ibu mertuanya itu.
Dan di waktu yang sama, di rumah sakit, ternyata Bu Murni sedang mengalami henti jantung, tak ada seorang pun yang tahu, kecuali suster yang kebetulan di jam itu, tengah mengecek pasien-pasien di ruang ICU secara berkala.
Dokter jaga segera datang, merespon panggilan suster lewat alarm darurat yang terdapat di bangsal itu. Bu Murni pun segera mendapat penanganan, namun setelah semua daya dan upaya yang dilakukan oleh pihak rumah sakit, takdir pun sepertinya berkata lain, Bu Murni tak tertolong-
-lagi, ia dinyatakan meninggal dunia pukul 01.45 dini hari.

Seperti mekanisme biasanya, saat itu juga, warta ini segera disampaikan ke lobi melalui radio, dan kebetulan satpam yang menjadi penerima pesan itu adalah orang yang tadi sempat menegur Pak Mantrik di lorong ruang ICU.
“Nyonya Bertha Sri Murni...”.

“Nyonya Bertha Sri Murni...”.

“Nyonya Bertha Sri Murni...”. Suara panggilan beberapa kali terdengar lewat radio pararel yang berada di lobi.
Pak Satpam tersentak dalam kantuknya, dan menjawab panggilan radio itu, yang mana ia pun segera paham bahwa itu adalah warta kematian.

“Ibu Bertha Sri Murni...Ibu Bertha Sri Murni...”. Panggil Pak Satpam beberapa kali, melalui mulutnya sendiri, yang mana panggilan itu,-
-berhasil membangunkan Si Rudi.

Melihat Rudi terbangun, Pak Satpam segera menghampiri dan kembali menyebutkan nama lengkap Bu Murni kepada anaknya itu.

“Ibu Bertha Sri Murni?”. Tanya Satpam itu.

“Nggih Pak, bagaimana? Ada apa dengan ibu saya?”. Jawab Rudi yang segera-
-tersentak oleh orang yang tiba-tiba menyebut nama ibunya itu.

“Silahkan ke ICU mas, ada yang mau dokter sampaikan disana”. Ucapnya yang begitu ambigu.

Rudi pun langsung membangunkan Romi dan Pak Mantrik, dan segera mengajak ayah & adiknya itu ke ruang ICU, sesuai dengan apa-
-yang diarahkan oleh Pak Satpam.

(Cont)
Jantung berdegup kencang, wajah Pak Mantrik, Rudi dan Romi terlihat pasrah dengan apapun yang akan mereka dapati nanti. Dan seiring langkah mereka yang semakin dekat dengan ruangan itu, semakin tipis pula harapan yang mereka rasakan.
Dengan langkah gontai, Ayah dan ke dua anaknya itu pun masuk keruangan, berjalan menuju satu ranjang yang tirainya tak lagi tertutup seperti yang lain.
Dan tangis pun seketika pecah tanpa suara, ketika mereka melihat tubuh yang seluruhnya tertutup selimut, papan nama yang bertuliskan ‘Ny. Bertha Sri Murni’ tertempel di depan ranjang, seakan melegitimasi bahwa mereka telah benar-benar kehilangan.
Tubuh Bu Murni segera di bawa keluar dari ruangan itu, di dorong dengan ranjang roda yang beriringan dengan tangisan suami dan kedua anaknya.
Pak Mantrik, Rudi dan Romi, seakan tak percaya, baru beberapa jam yang lalu, ia masih melihatnya berjalan, tersenyum dan berbicara. Bagaimana ini bisa terjadi secepat itu.
Kembali ke rumah Pak Mantrik..
Kata-kata Dio tadi, membuat Yohana ketakutan dan tentu tak lagi bisa memejamkan matanya. Ia seakan tahu betul ucapan anaknya itu adalah siratan yang tak baik tentang keadaan ibu mertuanya saat ini, namun dengan segenap akal sehatnya Yohana terus-
-menampik hal itu, sampai akhirnya ia yang memang seorang penakut itu pun, merasa tak mau jika harus menghadapi ini sendirian. Yohana segera membangunkan Dina, adik iparnya.
“Din!! Bangun Din!! Temenin Mbak!!”. Ucap Yohana yang beruntungnya langsung membangunkan adik iparnya itu.

“Ugghhh... Ada apa sih Mbak?”. Kata Dina seraya membalikkan badannya, melihat wajah kakak iparnya yang ketakutan, Dina pun segera bangkit dan bertanya.
“Kenapa Mbak!?”. Tanya Dina seraya mengusap matanya.

Yohana pun menceritakan apa yang tadi anaknya katakan, dasarnya memang mereka berdua ini sama-sama penakut. Dina pun langsung terbelalak dari kantuknya, terperanjat dan merapat memeluk kakak iparnya itu.
“Mbakkkkk.. Mbok Jangan nakut-nakutin to!!!”. Kata Dina seraya mengusap tangannya sendiri yang bergidik.

Dan sialnya bersamaan dengan itu., Dio pun malah kembali berkata, sambil menunjuk lagi ke arah ruang tamu yang masih gelap itu.
“Itu Uti kok ndak masuk sih Mi? Apa ndak capek berdiri di situ.. Sini to Ti, masuk”. Ucap Dio tiba-tiba.

“Kakak!!!! Udahlah!! Jangan main-main!!”. Kata Dina kini kepada keponakannya.

“Beneran Bulik... Itu Uti lagi berdiri disitu...”. Jawab Dio.

Sampai akhirnya, untuk-
-membuktikan itu, Dio pun bangkit seketika, berjalan menuju ruang tamu.
“Eh!! Mau kemana!!”. Ucap Yohana dan Dina yang mau tak mau, turut bangkit dan mengikuti Dio.

“Uti!!! Ngapain disitu!! Uti sudah sembuh!! Kakung sama papi kemana?”. Kata Dio, yang berhenti berjalan di-
-gawang pintu pembatas ruang tengah dan ruang tamu.

“Sini to Ti... Dio kan takut gelap..”. Ucap Dio lagi.

Dina dan Yohana yang tak melihat apa-apa, segera meraih tuas lampu dan menyalakannya, baru di sinilah Dio kebingungan, karena sang nenek yang tadi ia lihat tersorot oleh-
-temaram lampu teras, kini sudah tak ada lagi.

“Lhoh!! Dimana Uti? Kok ndak ada? Uti!! Uti!!”. Ucapnya yang segera diseret oleh ibu dan bulik nya untuk kembali ke ruang tengah.

“Udah..udah.. Kamu mungkin Cuma mimpi Kak!!”. Ucap Dina.

Mereka pun kembali merebah di ruang-
-tengah, dan tak bisa di pungkiri, ketakutan itu tentu masih berbekas.

“Eh Din, tadi Mbak pas kebangun, nyium bau parfum ibuk lho!!”. Kata Yohana.

Dina yang mendengarnya, hanya bisa menghela nafas, dan meminta kakak iparnya itu agar tidak semakin menakut-nakutinya.
“Eh, tapi.. Mbak itu jadi kepikiran kata-kata Dio, katanya kita suruh siap-siap, karena besok pagi akan ada banyak orang yang datang kesini”. Ucap Yohana yang segera ditimpal oleh anaknya dengan polos.

“He’em, tadi Uti itu kesini, Mami ndak ada, terus Uti ngomong sama Dio,-
-gini ngomongnya.. “Lee.. Nanti Mami suruh siap-siap ya, soalnya besok pagi banyak tamu yang mau dateng kesini”. Gitu!! Terus Uti jalan lagi deh.. Ke ruang tamu”. Kata Dio.
Yang mana bersamaan dengan itu, terdengar suara mobil yang memasuki gerbang. Itu adalah si Romi. Terdengar ia yang berlari sambil menangis.
“Ibuk!!! Ibuk!!!”. Isak Romi bagai anak kecil, dan langsung menerobos masuk ke dalam rumah.

“Romi itu!!”. Ucap Yohana terperanjat menuju kedepan.

Dina sebagai istri Romi, juga segera bangkit dan menghampiri suaminya itu. Romi tampak lemas gontai berjalan dilantai ruang tamu.
“Ibuk!!! Ibuk!! Ibuk!!”. Kata itu yang terus Romi sebut sembari menangis kejar dalam pelukan Dina yang saat itu hanya bisa terdiam, tak bisa berkata-kata.
Yohana yang panik tampak keluar dari rumah, dan setelah menyadari bahwa Romi datang sendiri, ia pun kembali masuk dan tentunya langsung bertanya.

“Ibuk bagaimana? Bapak sama Mas Rudi dimana?”. Tanya Yohana dengan wajah yang pasrah.
“Di belakang Mbak.. Ikut ambulans sama Ibuk...”. Jawab Romi beberapa saat kemudian.

Yohana hanya terdiam, rasanya tak ada yang perlu dijelaskan lagi. Romi pun dipapah menuju ruang makan, diberi segelas air, untuk ditenangkan.
Waktu itu, sekira hampir pukul tiga pagi, Dina segera beranjak membuka semua jendela & pintu rumah itu. Sementara Yohana, sebagai menantu tertua berusaha menegakkan dadanya, ia keluar dari gerbang rumah & mengetuk setiap pintu yg ia temui, untuk mengabarkan warta duka ini.
Singkatnya, sekira pukul 04.00 pagi, jenazah sampai di rumah, sudah ada beberapa tetangga yang berkumpul dengan tenda yang juga sudah hampir berdiri.
Pak Mantrik & Rudi keluar dari Ambulans, matanya sudah sembab tak berupa, & tangisan pun kembali pecah oleh Romi yg melihat jenazah ibunya diturunkan. Bersamaan dengan itu, Mobil dari gereja juga datang, membawa peti bakal mendiang Ibu Murni di semayamkan.
Bab pembuka dari series 'Mantrik' selesai disini, sampai jumpa di bagian selanjutnya.. 🙏
Buat temen-temen yang buru-buru pengen tahu lanjutannya, bisa atuh.. Mampir dan dukung saya @karyakarsa_id 🙏

Berikut linknya.
2. karyakarsa.com/AgilRSapoetra/…
3. karyakarsa.com/AgilRSapoetra/…
4. karyakarsa.com/AgilRSapoetra/…
5. karyakarsa.com/AgilRSapoetra/…

• • •

Missing some Tweet in this thread? You can try to force a refresh
 

Keep Current with gil

gil Profile picture

Stay in touch and get notified when new unrolls are available from this author!

Read all threads

This Thread may be Removed Anytime!

PDF

Twitter may remove this content at anytime! Save it as PDF for later use!

Try unrolling a thread yourself!

how to unroll video
  1. Follow @ThreadReaderApp to mention us!

  2. From a Twitter thread mention us with a keyword "unroll"
@threadreaderapp unroll

Practice here first or read more on our help page!

More from @AgilRSapoetra

Did Thread Reader help you today?

Support us! We are indie developers!


This site is made by just two indie developers on a laptop doing marketing, support and development! Read more about the story.

Become a Premium Member ($3/month or $30/year) and get exclusive features!

Become Premium

Don't want to be a Premium member but still want to support us?

Make a small donation by buying us coffee ($5) or help with server cost ($10)

Donate via Paypal

Or Donate anonymously using crypto!

Ethereum

0xfe58350B80634f60Fa6Dc149a72b4DFbc17D341E copy

Bitcoin

3ATGMxNzCUFzxpMCHL5sWSt4DVtS8UqXpi copy

Thank you for your support!

Follow Us on Twitter!

:(