Sebagian orang memiliki anggapan yang salah dalam memahami takdir. Mereka hanya pasrah terhadap takdir tanpa melakukan usaha sama sekali.
Sungguh, ini adalah kesalahan yang nyata. Bukankah Allah juga memerintahkan kita untuk mengambil sebab dan melarang kita dari bersikap malas?
Apabila kita sudah mengambil sebab dan mendapatkan hasil yang tidak kita inginkan, maka kita tidak boleh sedih dan berputus asa karena semuanya sudah merupakan ketetapan Allah.
“Bersemangatlah atas hal-hal yang bermanfaat bagimu. Minta tolonglah pada Allah, jangan engkau lemah. Jika engkau tertimpa suatu musibah, maka janganlah engkau katakan: ‘Seandainya aku lakukan demikian dan demikian.’
Akan tetapi hendaklah kau katakan: ‘Ini sudah jadi takdir Allah. Setiap apa yang telah Dia kehendaki pasti terjadi.’ Karena perkataan law (seandainya) dapat membuka pintu syaithon.”[HR. Muslim 2664] [Lihat Al Irsyaad ilaa Shahiihil I’tiqad hal 245-246]
“Setiap manusia pasti banyak berbuat salah, dan sebaik-baik orang yang berbuat salah adalah orang yang sering bertobat” (HR. Tirmidzi no.2687. At Tirmidzi berkata: “Hadits ini gharib”. Di-hasan-kan Al Albani dalam Al Jami Ash Shaghir, 291/18).
Salah satu kriteria Ahlus Sunnah adalah mereka senantiasa sepakat dan tidak pernah berselisih pendapat dalam hal-hal yang merupakan pokok-pokok agama, rukun-rukun islam dan iman dan segala perkara yang disebutkan dalam ayat atau hadits shohih,
baik berupa amalan atau ucapan, dan juga perkara-perkara gaib. (Lihat Dar’u Ta’arud Al ‘Aqel wa An Naqel 1/263).
Oleh karena itu kita dapatkan penjelasan ulama salaf tentang rukun-rukun iman, islam, asma’ dan sifat, kehidupan alam barzakh, kehidupan akhirat dll, sama tidak ada perbedaan, padahal tempat tinggal dan perguruan mereka berbeda.
Kalimat ini adalah dzikir yang sudah tidak asing lagi di telinga dan lisan kita, dikenal dengan istilah hauqolah. Biasa kita baca ketika mendengar azan, ketika setelah shalat, atau ketika melihat sesuatu yang menakjubkan.
Artinya dari kalimat ini adalah ‘Tiada daya upaya dan tidak ada kekuatan kecuali atas izin Allah Ta’ala‘. Begitu agungnya kalimat ini sampai-sampai dikatakan sebagai tabungan surgawi.
Di rumah kaum muslimin seringkali dipajang kaligrafi ayat kursi. Di antara tujuan mereka memasangnya adalah agar rumah tersebut tidak diganggu setan atau setan bisa menjauh dari rumah.
Ada juga yang bertujuan untuk ‘ngalap berkah’ (tabarruk) dengan ayat Alquran tersebut. Bagaimana ajaran Islam meninjau perbuatan ini?
Dorongan mencari rezeki kerap kali menyebabkan banyak orang terpental dari jalan yang lurus. Padahal Islam, sebagai agama sempurna yang mengatur seluruh dimensi kehidupan seorang hamba, telah memberikan solusi yang begitu jelas dalam usaha memperlancar rezeki.
Di antara tuntunan yang ditawarkan untuk menggapai tujuan tersebut adalah memperbanyak istighfar.
Ibnu Abbas radliyallaahu ‘anhu berkata dalam menafsirkan ayat yang mulia ini, “Ini adalah nama-nama orang shalih dari kaum Nabi Nuh. Tatkala mereka meninggal, syaitan membisikkan kepada kaum mereka,
‘Dirikanlah patung-patung mereka pada tempat yang pernah diadakan pertemuan di sana, dan namailah patung-patung itu dengan nama-nama mereka.’ Orang-orang itu pun melaksanakan bisikan syaitan tersebut tetapi patung-patung mereka ketika itu belum disembah.