Teguh Faluvie Profile picture
Jun 8 213 tweets >60 min read Twitter logo Read on Twitter
GETIH WANGI

Pengabdian puluhan tahun kembali terjadi, suami dan tiga anak yang mati belum cukup untuk mengakhiri.

[Part 3]

@bacahorror @IDN_Horor
#bacahorror Image
Hallo selamat malam teman-teman pembaca, akhirnya tiba lagi di hari kamis yang artinya kita akan kembali memasuki cerita Getih Wangi, karena misteri besar sudah menanti dan tumbal-tumbal harus segera diberikan kepada "Mereka" yang sudah dijanjikan.
Teman-teman yang belum baca thread part sebelumnya bisa baca terlebih dahulu agar mengikuti alur ceritanya, dan untuk yang belum FOLLOW akun ini silahkan follow dulu yah, karena setiap kamis malam akan selalu ada asupan cerita horror.
Teman-teman juga bisa bantu tinggalkan retweet, like, reply nya yah agar yang lain ikut baca cerita ini, silahkan klik link langsung.

Part (1) Tamu Tak Diundang


Part (2) Misteri Selamat Datang
Sebelum kita mulai untuk download eBook teman-teman bisa klik langsung link dibawah yah, semua judul cerita tersedia lengkap dan lebih nyaman untuk membacanya dalam versi eBook, sambil memberikan dukungan. Terima Kasih banyak untuk yang sudah dukung.

karyakarsa.com/qwertyping
Part 3 – Ikatan Darah Ritual
Kala ritual itu terjadi tak ada satupun manusia yang bisa keluar dari rumah itu, terkecuali hanya membawa nama tanpa nyawa, getih wangi itu akan segera terjadi “mereka” sudah menanti.
...
Hembusan angin kencang dan udara dingin sudah menyelimuti rumah yang berdiri kokoh di antara rimbunnya hamparan kebun teh, sinar purnama malam ini seolah enggan menunjukan cahaya indahnya untuk menyinari sesuatu keji yang sudah terjadi berkali-kali,
setelah kedatangan Nur Wangi dan Ahmad Rudi sepasang suami istri itu kembali ke sebuah rumah, dengan segala misterinya memenuhi panggilan Ni Kanti.
Embun malam sudah tiba sedari tadi perlahan berubah menjadi titik-titik air yang menempel pada setiap jendela rumah,
tak ada satupun kaca rumah kering akibat suhu dingin yang semakin terasa, menyelimuti siapapun yang merasakannya, termasuk Rudi yang sudah berkeringat dingin setelah Nur Wangi melepaskan cekikan tangannya sendiri di lehernya.
“Untuk malam ini saja bawa Nur Wangi tidur di kamar Nini” ucap Ni Kanti dengan gemetar, melihat keadaan cucu satu-satunya itu sudah terbaring lemas.
“Apa yang terjadi sebenarnya Ni? Ini bukan yang pertama kali Nur Wangi seperti ini, bahkan luka di pergelangan tangannya juga -
- bukan luka yang masuk di akal” jawab Rudi tiba-tiba memecahkan keheningan diantara orang-orang yang berada di kamar malam ini, termasuk Mang Yana dan Mak Sari yang hanya terdiam, seolah melihat kejadian puluhan tahun lalu itu akan benar-benar terulang kembali.
“Tidak apa-apa Rudi itu sesuatu yang normal, nanti juga tidak akan seperti itu lagi” jawab Ni Kanti berusaha terlihat tenang di hadapan Rudi, walaupun hatinya sangat bergembira setelah kamar yang puluhan tahun itu di kuncinya dengan rapat sudah kembali terbuka.
“Pelan-pelan saja Nur Wangi...” ucap Mak Sari membantu tubuh lemasnya Nur Wangi untuk bangun dengan perlahan.
“Ayo sini pelan-pelan, nanti di kamar Nini benarkan lagi itu perban di tangan kamu yah” sahut Ni Kanti kemudian memegang tangan Nur Wangi.
Nur Wangi dan Ni Kanti berjalan perlahan keluar kamar, meninggalkan Mang Yana yang masih berdiri dan Mak Sari yang sedang membereskan obat-obatan termasuk perban yang akan dibawanya ke kamar Ni Kanti.
“Mang Yana maksud mereka yang datang itu siapa, -
-janji apa memangnya Nur Wangi dengan Ni Kanti hingga Amang bilang Nur Wangi mati malam ini juga” ucap Rudi menanyakan ucapan Mang Yana sebelumnya, sebelum Ni Kanti dan Mak Sari masuk ke kamar dan melepaskan cekikan tangan Nur Wangi.
Ucapan Rudi sontak membuat Mak Sari membalikan tubuhnya, begitu juga dengan Mang Yana tidak menyangka ucapan itu keluar dari mulut Rudi dihadapan Mak Sari, apalagi kini ia mendengar langkah kaki yang mendekat begitu cepat dari luar kamar.
“Salah dengar kamu itu Rud, kapan saya bicara seperti itu!” jawab Mang Yana sambil mengeluarkan rokok dalam saku celananya lalu membakarnya dengan cepat, kemudian disodorkan kepada Rudi menutupi salah tingkahnya.
“Yana jangan macam-macam kamu ini! -
- kalau tidak ingin aku adukan kelakuan kamu pada Mang Amo!” bentak Mak Sari, membuat suasana didalam kamar menjadi tegang.
“Ada apa ini malam-malam begini, bukannya kalian pada istirahat Mak Sari, Yana!”
Suara serak dan berat yang sebelumnya sudah pernah Rudi dengar di rumah Bah Pepen kini masuk ke dalam telinganya, Mang Amo sudah berdiri didepan pintu kamar sambil menghisap rokoknya, membuat Mang Yana dan Mak Sari seketika terdiam.
“Buatlah Rudi dan Nur Wangi nyaman di hari kedatangannya ini jangan bikin Rudi semakin kebingungan seperti itu, apalagi kita baru berjumpa dengan suami Nur Wangi ini... sudah-sudah bubar! Nur Wangi saja sudah tidur lelap, tidak ada apapun yang aneh di rumah ini Rud -
- percaya sama saya, saya sudah puluhan tahun kerja menjaga Ni Kanti, sudah saya anggap seperti ibu saya sendiri...” lanjut Mang Amo, membuat Mang Yana langsung berjalan keluar kamar diikuti oleh Mak Sari.
Rudi yang baru pertama kali bertatapan dengan Mang Amo merasakan hal lain
dari aura tubuh Mang Amo yang berkali lipat lebih kekar itu, dengan topi koboi yang sama ketika ia lihat di rumah Bah Pepen.
“Mana mungkin aku bisa percaya pada orang yang tertangkap mata olehku bertingkah aneh di rumah Bah pepen” ucap Rudi sambil menutup pintu,
melihat Mang Amo berjalan ke arah dapur, bahkan Rudi sempat membuka gorden terlebih dahulu dengan kaca yang sudah penuh embun itu, ia tidak mendapati apapun kecuali gelapnya malam yang semakin pekat, namun ia melihat bekas langkah kaki yang menginjak rumput–
langkah yang ia lihat berasal dari arah hamparan kebun teh.
“Bekas langkah siapa lagi itu!” bisik hati Rudi semakin cemas, hati dan pikirannya malah membayangkan sesuatu yang jauh lebih buruk akan terjadi di rumah ini.
...
Didalam kamar sebuah kamar nan luas penuh dengan barang-barang antik yang mempunyai harga tidak murah itu, Nur Wangi sudah terlentang diatas kasur luas sambil memegang sebuah pas foto berisikan seorang perempuan dan lelaki yang sangat mirip dengan dirinya.
“Su–sudah besok lagi saja lihat foto ibu dan bapak kamu itu Nur Wangi, di bekas kamarnya masih banyak, luka di pergelangan tangan kamu akan segera sembuh beberapa hari kedepan dan besok Nini sudah akan perintahkan orang-orang suruhan Mang Amo merombak ruangan depan” ucap Ni Kanti
sambil tersenyum melihat wajahnya sendiri dari cermin, yang menampilkan kulit tua keriputnya itu, perlahan cardigan rajut ia lepaskan dari tubuhnya.
“Ni itu luka bekas apa?” ucap Nur Wangi sangat kaget melihat ke arah samping tangan Ni Kanti sebelah kiri,
semakin ia lihat jelas dari arah belakang.
“Sama dengan luka yang kamu miliki bedanya ini sudah kering saja Nur Wangi” ucap Ni Kanti sambil tersenyum penuh arti, memandang ke arah wajah Nur Wangi dengan kedua matanya itu mulai terlelap,
berbarengan dengan gerakan mengangguk Ni Kanti bak perintah yang tidak bisa tubuh Nur Wangi tolak.
Tangan Ni Kanti perlahan membuka laci lemari yang sudah ia siapkan untuk menyambut kedatangan cucu tercintanya, bersamaan dengan langkah Mak Sari
yang semakin mendekat ke arah kamar Ni Kanti, kedua mata Mak Sari terus melihat ke arah kamar yang ditempati Rudi, tidak ingin suaminya itu mengetahui apa yang akan ia lakukan malam ini, tepat dimana hari baru saja berganti.
Mak Sari berjalan penuh hati-hati sambil membawa wadah tampah berisikan dua ayam hitam yang sudah berlumuran darah di bagian lehernya, memastikan bahwa darahnya tidak menetes ke arah lantai dan kelakuan nya malam tidak diketahui Mang Yana.
“Tok... tok... tok...”
“Buka saja Mak, sudah aku buka kuncinya simpan saja dibalik pintu” ucap Ni Kanti dari dalam kamar, suaranya sudah terdengar berbeda dari biasa yang Mak Sari dengar.
“Krekettt...”
Setelah pintu dibuka Mak Sari perlahan, mata Mak Sari terpejam sambil menyimpan wadah tampah yang sudah berlumuran darah ayam hitam dengan tanganya bergetar hebat, kejadian yang keempat kali yang harus Mak Sari lakukan dalam hidupnya.
Setelah pintu itu ditutupnya kembali dengan perlahan, Mak Sari yang sudah banjir keringat itu berjalan tergesa-gesa ke arah dapur, namun langkahnya tiba-tiba berhenti manakala mendapati Mang Yana sedang megaduk kopi panasnya di meja makan dapur,
dengan pisau yang berada di sebelahnya.
“Lain kali kalau sudah motong ayam pisaunya langsung bersihkan lagi, apa masih kurang matinya suami dan tiga anak perempuan Ni Kanti di rumah ini” ucap Mang Yana, sambil menarik sarung yang tersampai di bahunya.
“Berisik Yana! Dari pada kita yang mati!” bentak Mak Sari sambil membawa pisau yang sudah bersih dari lumuran darah, ia tidak menyangka Mang Yana mengetahui hal yang selama ini selalu berusaha ia sembunyikan sebagai pelayanan Ni Kanti.
“Lagian siapa yang bisa menghentikan semua ini hah!” lanjut Mak Sari melihat ke arah jendela dapur, memastikan Mang Amo sudah berjalan.
Mak Sari sudah melihat sorotan baterai kuning itu terus bergerak di antara hamparan kebun teh menuju salah satu gubuk yang sudah hampir rubuh,
dengan membawa wadah tampah yang sudah ia siapkan sebelumnya, dengan golok panjang yang menempel di bagian pinggang Mang Amo, menembus udara malam yang semakin terasa dingin.
...
Bunga-bunga berwarna merah sudah Ni Kanti taburankan berkali-kali pada tubuh Nur Wangi bak mayat hidup, tubuhnya itu hanya terlihat bernapas tanpa bisa bergerak sedikitpun, berbarengan dengan jarum jam tua yang berdiri kokoh di kamar terus berputar membawa waktu semakin larut.
“Ce–cepat Amo seharusnya kamu sudah sampai di gubuk itu!” bisik Ni Kanti, sambil membakar kemenyan di dalam wadah keramik, yang sudah ia keluarkan sebelumnya dari laci lemari cermin tuanya.
Tanpa ada angin kencang di dalam kamar, bau bunga yang menyengat dengan kemenyan
sudah tercium semakin jelas, dan seketika tubuh Nur Wangi bergetar hebat.
“Saatnya, sudah puluhan tahun aku nantikan ini!” ucap Ni Kanti berjalan cepat ke arah ke arah wadah tampah berisikan dua ayam hitam yang terus mengeluarkan darah, seketika ayam yang sudah berada -
- di genggaman tangan Ni Kanti di gerakannya tepat diatas tubuh Nur Wangi, hingga tidak tersisa sedikitpun darah-darah itu yang kini bersemayang tepat pada baju yang dikenakan Nur Wangi dan kulit putih mulusnya.
Getaran tubuh Ni Kanti semakin bergejolak, kulit-kulit keriputnya
terasa semakin kencang, ia sudah merasakan ritual yang seharusnya tidak asing lagi baginya setelah suami dan tiga anaknya mati di rumah ini.
Dengan perlahan kini Ni Kanti mengusapkan seluruh asap-asap itu pada tubuh Nur Wangi, mengelilinginya sambil mengucapkan sebuah mantra.
“Sudah tiba-tiba...” bisik Ni Kanti perlahan.
Belum sempat bibir Ni Kanti rapat, tiba-tiba.
“Brugggg!!!”
Sesuatu yang besar menabrak tembok kamarnya sangat kuat hingga membuat lampu tidur yang tersisa menyala itu ikut bergerak.
Tangan Ni Kanti baru saja menyimpan wadah kemenyan itu diatas tampah yang sudah penuh dengan sisa darah dan dua bangkai ayam hitam, kedua tanganya ikut bergetar manakala mengeluarkan kertas lusuh dalam saku bajunya, dan kain hitam yang kecil membungkus sesuatu.
“Kanti kurang ti opat puluh poe kaula datang deui, katika di arah kulon pabukitan soca bereum jeng leuweung carangka wangi kaluar eta cahaya bereum, peting eta oge kamatian nyamperkeun”
(Kanti kurang dari empat puluh hari saya akan kembali-
- manakala dari arah barat bukit soca bereum dan leuweung carangka keluar cahaya merah, malam itu kematian tiba)
Ni Kanti hanya memejamkan kepalanya sekuat mungkin, untuk mendengar bisikan dari seorang perempuan yang suaranya itu tidak asing lagi baginya,
keringatnya semakin deras membanjiri tubuh tuanya itu.
Seketika mata Ni Kanti terbuka dengan sangat merah, urat-urat di kepalanya sangat kencang, dengan cepat ia buka lilitan kain hitamnya, keluarlah pisau sangat kecil dan beberapa butir garam yang mengelilingi pisau tersebut.
“Se–sejak malam ini kamu tahu Nur Wangi! siapa tuan kamu!” bisik Ni Kanti di dekat telinga Nur Wangi membuka perban luka di pergelangan tangannya dengan cepat, dengan wajah Nur Wangi sudah dipenuhi asap dan bunga melati merah, serta bau dari darah ayam hitam.
“Sreeeetttt!!!”
Seketika pisau kecil di tangan Ni Kanti di goreskan nya pada luka di pergelangan tangan Nur Wangi yang belum kering itu, hingga darah seketika memancar perlahan melewati kulit Nur Wangi, membuat tubuhnya bergetar kembali.
Garam yang Ni Kanti pegang ia taburkan diatas luka pergelangan tangan Nur Wangi dan ditekannya sekuat tenaga.
“Aaaaaaa!!!!”
Baru saja Nur Wangi teriak sekuat tenaganya, dengan cepat Ni Kanti menutup mulut Nur Wangi jauh lebih kuat, agar suara itu tidak didengar
seluruh penghuni rumah, termasuk Rudi suaminya.
“Tahan Nur Wangi! Rasa perihnya tidak akan lama!” bisik Ni Kanti tepat didekat telinga Nur Wangi.
Tetesan air mata keluar dari wajah Ni Kanti begitu saja, tidak menyangka dalam dirinya bahwa ritual yang ia cemaskan
bertahun-tahun kebelakang sangatlah mudah dan lancar ia lakukan seperti malam ini, membuat ia langsung terbaring disebelah tubuh Nur Wangi bersatu dengan bunga-bunga dan darah tanpa mematikan kemenyan yang terus menyala, semakin membuat seisi kamar berasap.

***
Embun pagi sudah membasahi seluruh hamparan kebun teh bersamaan angin yang menerpa kaca jendela kamar yang ditempati Rudi, membawa suhu dingin yang luar biasa dan beberapa lampu rumah masih menyala terang, sementara pagi tidak akan lama lagi segera datang.
Mata Rudi baru saja terbuka dengan perlahan, bersamaan suara bunyi alarm dari handphonenya yang sudah berbunyi sangat kencang, bersebelahan dengan handphone Nur Wangi.
“Alhamdulillah Nur Wangi kalau sudah tiba, besok Teteh coba bicara sama Gama deh buat segera liburan ke situ-
- siapa tau dia juga ikut, jangan begitu Nur Wangi sama-sama belajar saja, lagian itu toko juga Teteh meneruskan saja, semoga nanti tempat prakteknya nyaman yah, apalagi bisa membantu warga kampung tentang kesehatan”
Pesan dari Dewi baru saja Rudi baca dengan perlahan di handphone Nur Wangi, bukan membuat ia senang akan berkunjungnya sahabat istrinya itu, malah sebaliknya setelah melewati malam pertama yang aneh di rumah Ni Kanti.
Setelah sama sekali tidak mendengar lantunan adzan subuh berkumandang karena jauhnya jarak rumah Ni Kanti dengan Warga, akhirnya Rudi menggelar sajadah nya apalagi setelah ia sudah membuka pintu kamarnya belum ada pertanda Nur Wangi bangun,
dan hal itu membuat Rudi merasakan sebuah perubahan sejak pagi kemarin pada cara ibadah istrinya itu yang menjadi tanggung jawab penuh dirinya, sebagai suami yang sedang belajar taat sejak menikahi Nur Wangi.
Dengan masih mengenakan sarung Rudi sudah berjalan keluar kamar,
berjalan perlahan ke arah kamar Ni kanti yang memiliki pintu paling besar itu, tangannya sudah berada di gagang pintu, untuk membangunkan Nur Wangi.
“Masih di kunci...” ucap Rudi perlahan, mencium bau yang asing untuk kedua lubang hidungnya itu.
“Ke–kemenyan ini, -
- benar tidak mungkin salah!” bisik hati Rudi semakin tegang, memastikan pada indra penciumannya.
“Rud!!!”
Membuat Rudi langsung berbalik badan.
“Asatgpirulloh Mak!”
“Belum pada bangun mungkin masih lelah Nur Wangi dan Ni Kanti semalam tidak langsung tidur mereka pada ngobrol, -
- dibelakang ada Mang Yana sedang ngopi sana ke belakang saja” ucap Mak Sari sambil membawa wadah baskom besar.
“Oh baik Mak, Rudi kebelakang saja...” jawab Rudi langsung berjalan ke arah dapur.
Namun Rudi masih mempunyai rasa penasaran pada Mak Sari
yang tiba-tiba berada dibelakang tubuhnya barusan, seperti menantikan dan memperhatikan gerak-gerik dirinya sejak kemarin malam.
Ketika Rudi akan berbelok untuk menuju satu pintu yang terbuka di ujung dapur itu, ia langsung membalikan badannya.
“Hah! Mak Sari buka pintu kamar menggunakan kunci? Aneh!” ucap Rudi sangat terkejut ketika melihat jelas Mak Sari masuk begitu saja ke kamar Ni Kanti, setelah pintu kamar itu terbuka sangat pelan, sambil membawa wadahnya.
...
Asap putih rokok sudah keluar dari mulut Mang Yana, dengan segelas kopi yang cepat sekali dingin, kini duduk berdampingan dengan Rudi memandang bagian samping hamparan kebun teh, sudah terlihat beberapa pekerja yang akan memetik teh berjalan menyusuri celah-celah kebun itu.
“Mereka pekerja dari kampung ini Rud, sisanya kalau musim panen begini kadang dari kampung sebelah juga ikut metik, biasanya dari pagi sampai siang mereka kerja” ucap Mang Yana masih menyelimuti tubuhnya mengenakan sarung.
“Banyak juga yah pekerjanya Mang” jawab Rudi
menerima tawaran rokok dan kopi yang Mang Yana sodorkan kepadanya.
“Ini baru seberapa Rud, kadang kala Amang banyak yang nggak kenal juga, oiyah malam kemarin pas ketemu di tanjakan itu Amang menuju warung Mak Amih dan Ki Badrun saja memastikan kamu dan Nur Wangi -
- tidak kenapa-kenapa” ucap Mang Yana sambil membenarkan kacamatanya itu.
Membuat Rudi sangat terkejut dengan ucapan Mang Yana, apalagi ia masih ingat bagaimana Mak Amih memegang pisau ketika ia dengan Nur Wangi akan keluar warungnya
dan menyuruh Rudi untuk mengundurkan niatnya datang ke rumah ini.
“Kenapa harus memastikan Mang? Memangnya ada apa?” tanya Rudi berusaha tenang, walaupun pandangan matanya kini tertuju pada sebuah gubuk di samping hamparan kebun teh itu, yang hanya berdiri sendiri.
“Memastikan saja kamu tidak tersesat di jalan dan celaka...” jawab Mang Yana, kemudian berdiri dan masuk ke dalam dapur begitu saja berpapasan dengan Mak Sari yang sedang membawa wadah baskom sudah berisikan baju-baju, membuat Rudi semakin memperhatikan tingkah aneh
orang-orang di rumah ini.
“Padahal kemarin malam aku tidak celaka, sudah dari kemarin aneh Mang Yana” bisik hati Rudi coba memahami ucapan Mang Yana.
“Rud itu Nur Wangi sama Ni Kanti nunggu didepan, sana ke depan nanti Mak buatkan lagi kopi sekalian sama teh hangat” ucap Mak Sari
Anehnya Rudi perhatikan wadah berisikan tumpukan baju itu tidak dibawanya oleh Mak Sari ke salah satu kamar mandi di dapur, malah disimpan di dekat pembakaran dekat kompor-kompor, berdekatan dengan bak sampah.
“Gimana Rud baju yang aku pakai, kata Nini ini bekas Ibu Dina -
- ketika seumuran aku” ucap Nur Wangi sambil tersenyum manis ke arah Rudi.
“Bagus cocok Nur, keliatan cantik tapi kenapa rambutnya harus di sisir sama Nini , merepotkan saja” jawab Rudi, ucapanya itu membuat Ni Kanti hanya tersenyum.
Sinar mentari sudah terlihat perlahan terbit dari timur, cahaya yang indah itu menerangi jendela besar yang sudah sedari tadi terbuka, memperhatikan dari kejauhan beberapa pegawai kebun teh yang sedang bekerja, dengan jumlahnya yang sangat banyak.
“Nanti siang ruangan depan sana akan Mang Amo rombak, buat tempat Nur Wangi buka praktek, izin persyaratannya nanti akan di urus juga sama Mang Amo dan Nur Wangi... kamu Rud belajar saja perlahan dengan Mang Yana yang sudah paham betul soal perkebunan teh,-
- akhir bulan ini yang sewa lahan sudah habis, kemungkinan nanti kamu saja sama Mang Amo yang kelola atau negosiasi ulang sama yang sewa yah...” ucap Ni Kanti sambil menyimpan sisirnya, terlihat juga rambut panjang Nur Wangi semakin indah.
“Zihan sama Teh Dewi juga akan datang lebih cepat tidak apa-apa yah Ni, sekalian Nur tanya-tanya lagi soal izinnya pada Zihan dan belajar sama Teh Dewi, sekalian juga liburan” jawab Nur Wangi sudah memegang handphonenya, dan Rudi sudah mengetahui pesan dari Teh Dewi sebelumnya.
“Mau sekarang siang pun teman-teman kamu datang tidak apa-apa Nur Wangi silahkan saja...” ucap Ni Kanti sambil mengelus rambut Nur Wangi bak seorang anak kecil.
“Ni itu gubuk siapa?” tanya Rudi tiba-tiba, terus melihat ke arah gubuk satu-satunya di kebun teh
dan satu pohon cukup besar berdiri semakin jelas ia lihat.
“Berdirinya masih diatas tanah Nini Rud, yang sewa lahan membiarkan saja itu berdiri... dulu juga Ki Jatmika membiarkannya sebelum meninggal, yasudah Nini biarkan juga paling siang di pakai pekerja istirahat disana...”
jawab Ni Kanti berusaha tenang walaupun cukup kaget dengan pertanyaan Rudi pagi ini.
Setelah makan pagi bersama lengkap dengan Mak Sari, Mang Amo dan Mang Yana, suasana berbeda Rudi rasakan tidak seperti malam kemarin, bahkan ia baru tahu bahwa Mang Amo juga
orang kepercayaan nomor satu penyewa lahan Ni Kanti dan penyambung lidah Ni kanti.
“Anggap saja Mang Amo dan Mang Yana ini kakak-kakak kamu Rud, jangan sungkan pada mereka biar kamu betah di rumah ini–” ucap Ni Kanti tiba-tiba begitu saja menghentikan ucapanya,
membuat Mang Amo mengangguk penuh arti.
“Bi–biar selamanya tinggal disini...” lanjut Ni Kanti mengangguk perlahan ke arah Rudi.
Namun Rudi merasakan hal lain dari perkataan Ni Kanti pagi ini, membuat hatinya bergetar tanpa ia ketahui seperti ada sesuatu lain yang ia rasakan,
apalagi ia tidak berani melihat ke arah mata Ni Kanti.
“Iyah Rud disini jauh lebih nyaman, kalau ingin mulai berkebun bisa amang siapkan lahan dan segala keperluannya” sahut Mang Amo memecahkan keheningan beberapa saat di meja makan.
“Lagian mau kemana juga Rudi ini sudahlah diam di rumah ini” ucap Nur Wangi sambil memegang tangan Rudi dengan erat, namun Rudi merasakan hal lain dari tangan istrinya itu, apalagi baru ia sadari lilitan perbannya jauh lebih rapi dari biasanya
yang terdapat di pergelangan tangannya– seperti bekas diganti oleh orang yang sering melakukan membersihkan bekas luka dan darah.
Obrolan menegangkan di meja makan membuat Rudi semakin cemas, apalagi ketika Ni Kanti dan Mang Amo seperti mengetahui tujuannya
untuk membawa Nur Wangi segera pergi dari rumah itu, hanya senyum Mang Yana saja dan anggukan kepala ke arah Rudi yang mampu membuat dirinya sedikit tenang, seperti ada rasa kepercayaan tumbuh dalam dirinya, walau tidak jarang sama halnya ia selalu curiga kepada Mang Yana.
Setelah makan bersama di meja makan selesai, Mang Amo, Mang Yana dan Mak Sari melanjutkan tugasnya masing-masing, terutama Mang Yana yang langsung membereskan halaman yang penuh dengan tanaman, dan Mang Amo sudah menerima para pekerja suruhannya
untuk segera merombak bagian depan rumah.
“Ayo ikut Nini keliling rumah Rud...” ucap Ni Kanti sambil berjalan perlahan didampingi Nur Wangi.
“Ni itu tiga kamar semuanya terkunci yah Ni” tanya Nur Wangi.
“Iyah segaja Nini kunci tidak ada yang menempati juga, -
- dulunya bekas Ibu kamu Dina, dan kakak-kakaknya Nurul sama Santika, paling seminggu sekali di buka sama Mak Sari buat dibersihkan saja...” ucap Ni Kanti memberikan penjelasan yang membuat Rudi menganggukan kepalanya, walaupun terasa aneh dengan gembok yang sama
ketika Rudi lihat di rumah Bah Pepen.
“Aneh bisa sama!” bisik hati Rudi sambil mengelengkan kepalanya, terus mengikuti langkah Ni Kanti dan Nur Wangi.
Tanpa henti Ni Kanti menjelaskan ketika Ibu Dina dan Pak Wawan ketika masih hidup kepada anaknya itu,
membuat Nur Wangi seperti mendapatkan kepuasan dari rasa penasarannya sepanjang usianya hidup baru kali mendapatkan cerita lengkap, tidak seperti Mak Ayu dan Bah Pepen yang mengurusnya sejak usia empat bulan.
Dari arah jendela Rudi melihat Mang Yana sedang kebingungan di luar tepatnya di dekat jendela kamar Rudi, Mang Yana seperti melihat jejak langkah diatas rumput yang biasanya rapi namun kini terdapat bekas langkah kaki manusia, membuat Rudi seketika ingat kejadian semalam
yang ia curigai– ada seseorang yang datang, kemudian menyelinap masuk ke perkebunan teh nan luas itu, yang baru ia ketahui itu adalah pembatas dengan kampung ujung hejo.
“Mang Yana, mau aku bantu” teriak Rudi cukup kencang, setelah berbicara kepada Nur Wangi
akan membantu Mang Yana membereskan tanaman-tanaman indah, di samping rumah.
Bahkan Rudi sudah menginjak bekas garam yang semalam ditaburkan oleh Mak Sari, ketika ia baru saja tiba dengan Nur Wangi.
“Amang tahu! Kamu mau nanya soal pekerja di depan itu pada diam saja -
- padahal lebih dari lima orang, sama bekas jejak langkah itu Rud?” ucap Mang Yana sambil mengelap keringatnya berkali-kali dan membenarkan kacamatanya itu.
“Iyah aneh yang rombak ruangan depan kaya orang nggak bisa bicara, Rudi lewat saja mereka hanya menatap aneh, -
- apalagi Mang Amo dan Mak Sari seperti memperhatikan gerak-gerik Rudi terus Mang” ucap Rudi sudah merasakan matahari semakin meninggi, namun tubuhnya terus saja merasakan cuaca dingin dari hembusan angin.
Mang Yana hanya tersenyum, sambil berjongkok kemudian mengambil salah satu
gunting berukuran besar.
“Puluhan tahun tidak pernah ada orang yang berani datang ke rumah ini Rudi, pekerja kebun teh saja tau sendirikan tadi pagi lewat mana masuknya, bukan lewat depan dengan jalan yang besar, tapi memilih lewat belakang.. wajar tukang bagunan itu hanya diam-
- dan terlihat tegang, mereka tidak ingin mati di rumah ini Rud” ucap Mang Yana terus mengasah gunting besar itu dengan asahan yang berada di tangannya.
“Serius Mang?!!!” tanya Rudi semakin penasaran.
“Buktinya apa yang sudah kamu alami sejak pergi dari rumah Si Pepen -
- dan Mak Ayu memangnya masuk akal setelah surat yang Si Amo kirimkan itu, cepat menjauh dan pergi! Lihat kelakukan Mak Sari dari arah dapur, lihat saja apa yang dia bakar! Lihat!” bisik Mang Yana dengan tegas.
Seketika Rudi berdiri dari jongkoknya berjalan perlahan menjauh
dari Mang Yana, Rudi melihat dari kejauhan Mak Sari sedang membakar sampah-sampah dari arah samping dapur.
“Membakar apa memangnya...” ucap Rudi semakin kebingungan dengan ucapan Mang Yana.
Mak Sari tanpa menyadari sedang di perhatikan Rudi, sudah membawa wadah baskom
yang terdapat bekas baju yang dikenakan Nur Wangi dan Ni Kanti semalam sudah penuh dengan lumuran darah, dari sisa ritual yang dilakukan Ni Kanti itu.
“Benar itu baju yang dikenakan Nur Wangi semalam!” bisik hati Rudi ingat sekali pada pakaian yang semalam Nur Wangi kenakan,
dan ia semakin merasakan sesuatu lebih buruk akan terjadi pada dirinya dan Nur Wangi, dengan kobaran api yang terkena hembusan angin itu semakin menyala besar.
“Nur! Nur Wangi!!!”
“Nur Wangi!!!”
Terus saja teriakan Rudi semakin kencang di barengi dengan senyuman lebar Mang Yana,
yang menjalankan tugasnya selama hidup dari sebuah amanah bapaknya yang sudah meninggal lama di rumah Ni Kanti.
“Nur Wangi ayo siap-siap kita pergi dari rumah ini!!! Cepat!!!” teriak Rudi membuat Nur Wangi yang sedang duduk berdua dengan Ni Kanti benar-benar kaget.

***
TOKO BANGUNAN HALIMUN DEWI

Matahari yang sudah meninggi itu membawa panasnya menerangi seisi bumi, termasuk salah satu toko bagunan yang selalu ramai dikunjungi para pembeli, karena satu dan dua alasan selain lengkap barang-barangnya,
pelayanan Mang Ade dan Dewi yang ramah membuat para pembeli berdatangan kembali.
“Bu maaf ada lagi yang mau amang kirim hari ini” tanya Mang Ade membuyarkan pandangan mata Dewi ke arah layar handphonenya.
“Sudah Mang nanti saja kirimnya kalau sudah Gama datang, -
- biar ada yang ganti amang” jawab Dewi.
“Baik Bu, harusnya sebentar lagi juga Pak Gama datang dari sekolah” ucap Mang Ade.
“Mang... sini aku mau tanya alamat ini amang pernah lewat kesini nggak” tanya Dewi menunjukan isi chat dari kontak bernama Nur Wangi Widiarsi,
sudah dua hari ia selalu betukar pesan dengan sahabatnya itu.
“Oh itu Amang tahu saja patokannya ke arah timur bawah sih Bu, kalau pulang kampung lewat jalan situ indah pemandanganya, hamparan perkebunan teh Bu, tapi yah kalau ke alamat itu ke atas lagi...” jawab Mang Ade.
“Nah makanya aku tanya ke amang tepat banget nih... ini aku mau ke kampung ujung hejo Mang, sahabat aku waktu SMA ada yang baru pindah ke sana Neneknya yang punya lahan perkebunan carangka puncak wangi, liburan Mang sebentar saja sih tapi, dia mau buka praktek bidan gitu Mang -
- sekalian bantu-bantu sama Zihan sahabat aku juga dulu kenal gitulah” ucap Dewi perlahan.
Mang Ade langsung terdiam, apalagi beruntungnya sedang tidak ada pembeli kecuali pekerja yang lain sedang membereskan barang-barang.
“Heh! Mending janganlah Bu! Ngapain kesana!”
“Lah memangnya kenapa Mang? Kasian loh sahabat saya sudah puluhan tahun baru pulang kampung dan ketemu neneknya Mang”
“Ah jangan sudah Bu, dulu Amang sering dengar orang di perkebunan teh itu sering terjadi hal aneh-aneh! Dulu di ceritain sama bapaknya Amang, pembuangan mayat Bu-
- dulu, sampai katanya ada tempat yang buruk buat manusia datang” ucap Mang Ade seperti mengulang ucapan almarhum bapaknya dahulu kala.
“Yeh aneh-aneh saja, itukan dulu Mang...” ucap Dewi sambil tersenyum melihat lucunya Mang Ade dengan raut wajah cemasnya itu.
“Assalamualaikum... lagi ngobrolin apa kalian ini kelihatannya serius sekali...” ucap Gama sambil tersenyum, masih mengenakan seragam mengajarnya berdiri di dekat etalase toko.
“Waalaikumsalam” jawab Dewi langsung mencium tangan suaminya itu, diikuti Mang Ade.
“Ini loh Gam alamat lengkap Nur Wangi udah di kirim ke aku, nggak apa-apa yah aku kesana bareng Zihan kamu kalau nggak mau antar biar Mang Ade saja dia tahu kok jalan kesana” ucap Dewi menjelaskan, sambil memberikan handphone ke Gama.
Mang Ade hanya menggelengkan kepalanya,
bak penolakan yang lembut berusaha ia lakukan.
“Kalau merepotkan janganlah yah Wi, kecuali memang penting itu tempat belum pernah sama sekali aku kesana” ucap Gama berusaha membujuk istrinya.
Mang Ade langsung bicara kecemasanya pada tempat itu
sama halnya yang ia katakan pada Dewi disampaikannya juga kepada Gama.
“Ta–tapi Gam ayo mending kamu ikut saja, toko bisa sama Mang Ade atau Teh Angit dulu yang jaga” ucap Dewi.
“Izin saja sama Ibu kalau beliau membolehkan aku bisa apa, asal pastikan semuanya baik-baik saja”
Membuat Mang Ade langsung mengelap keringatnya, ketika Dewi dengan gembiranya langsung menelpon Ibu Mulyani, mertuanya Gama.
“Sejak dulu hidupnya Dewi sudah enak Mang, tidak bisa kita larang lagian sudah aku pertimbangankan dari kemarin, kasihan juga mungkin benar perlu liburan,-
- Amang bisakan antar Dewi dan jemput lagi nanti, biar toko aku yang jaga, paling besok pas aku libur Dewi pergi” ucap Gama langsung berjalan masuk ke dalam.
Mang Ade yang ingin menolak perintah Gama hanya bisa pasrah, berharap cerita almarhum dulu bapaknya tentang perkebunan teh
itu tidak berbuah kebenaran.
Sejak izin dari Gama diterima oleh Dewi, ia semakin sibuk berbalas pesan dengan Nur Wangi, apalagi Ibu Mulyani sudah memahami keinginan anaknya itu, malah dikembalikan kepada Gama suaminya.
Malah sekarang terlihat Dewi baru saja menerima telepon
dengan wajah yang tiba-tiba berubah menjadi tegang.
“Siapa Wi?” tanya Gama semakin penasaran.
“Nur Wangi...” ucap Dewi hanya membuka mulutnya tanpa mengeluarkan suara, sedang mendengarkan suara Nur Wangi yang sangat serius.
Gama hanya menganggukan kepalanya,
kemudian memberikan isyarat kepada Dewi agar berbicara didalam dan Gama melayani para pembeli.
“Tenang Nur, namanya rumah tangga, besok Teteh sudah janji sama Zihan akan datang ke situ yah, siapa tau suasana rumah nenek kamu menjadi ramai dan Rudi tidak bersikap seperti itu”
Hanya ucapan Dewi terakhir yang Gama dengar sangat jelas membuat diri Gama yang mencoba mengesampingkan pembicaraan istrinya dengan Nur Wangi, terlebih Gama tidak mau ikut campur karena pasti urusan rumah tangga.
Setelah hampir dua puluh menit Dewi sudah kembali berjalan
menghampiri Gama dengan tergesa-gesa.
“Gam besok aku pergi yah, harus menenangkan Nur Wangi malah bertengkar hebat sama Rudi...” ucap Dewi dengan cemas.
“Tujuannya kesana buat liburankan Wi, cari suasana baru terus liat pemandangan asri perkebunan teh, bukan untuk ikut campur -
- urusan rumah tangga Nur Wangi” jawab Gama berusaha menenangkan Dewi yang semakin terlihat cemas.
Dewi tidak langsung menjawab ucapan Gama, pikirannya sedang mempertimbangkan apa yang harus ia katakan pada Gama.
“Semalam aku ceritakan sama kamu lengkap gimana Nur Wangi hidup -
- sampai usianya sekarang tanpa orang tua Gam, dan hidup dengan Ibu dan Bapak angkatnya saja... Rudi katanya banyak mengalami kejadian aneh, tapi bukan yang nggak-nggak kok beneran kata Nur Wangi emang tingkah Rudi saja, mungkin Rudi dan Nur Wangi memang perlu suasana ramai -
- saja di rumah Neneknya itu, barusan aku sudah telepon Zihan dan sudah setuju hari ini mengajukan cuti tiga hari di rumah sakit...” ucap Dewi sambil memegang tangan Gama.
“Hal-hal aneh Wi... ah sudahlah niatkan saja liburan yah nggak usah ikut campur Wi yah” jawab Gama,
namun Mang Ade yang mendengarkan perkataan Dewi hanya menggelengkan kepalanya saja, apalagi sedari tadi Mang Ade sudah tidak setuju Dewi pergi ke kampung itu.
“Iyah aku janji nggak bakalan ikut campur, hanya ingin membuat Nur Wangi senang saja dengan kedatangan aku sama Zihan, -
- sisanya aku sekalian nikmati suasana baru tiga hari janji aku pulang bakalan baik-baik saja” jawab Dewi berusaha tenang dihadapan suaminya itu.
Matahari yang perlahan semakin turun dari arah barat membuat Gama sudah bersiap untuk pulang,
begitu juga Mang Ade yang sudah diberikan amanah oleh Gama untuk mengantarkan Dewi besok sesudah shalat subuh, tanpa penolakan Mang Ade langsung menyetujuinya, apalagi Zihan akan datang ke rumah Dewi hingga bisa berangkat langsung.
“Aku antarkan dulu bahan-bahan makanan ke rumah Budi yah, biar besok aku jaga toko saja nggak kemana-mana lagi mumpung libur juga, biar besok Budi yang kirim ke rumah Ki Duduy” ucap Gama sambil menaiki motornya yang sudah Mang Ade siapkan.
“Sekalian saja magriban di rumah Mang Idim yah Gam” jawab Dewi tersenyum, sambil membawa wadah bekas salin Gama, kemudian menaiki mobilnya untuk sampai ke rumahnya sebelum adzan magrib berkumandang, beriringan dengan mobil bak pengantar barang bagunan yang di kendarai Mang Ade
..
Dibawah langit sore yang dengan cahaya kuning keemasan itu Gama melewati jalanan kota untuk segera sampai di rumah Mang Idim, semakin ia pikirkan kepergian istrinya itu perlahan rasa khawatir tumbuh dalam dirinya, apalagi ia sudah mengetahui alamat lengkap
dimana rumah neneknya Nur Wangi berada.
“Rudi katanya banyak mengalami kejadian aneh, tapi bukan yang nggak-nggak kok beneran kata Nur Wangi emang tingkah Rudi saja”
Ucapan Dewi itu Gama ulang berkali-kali mencoba memahami apa yang sedang Ahmad Rudi alami,
apalagi Gama memang mengenal Rudi walaupun hanya selewat, namun ia yakin Rudi juga adalah sosok pria baik, hingga bisa menerima Nur Wangi dengan segala kekurangannya itu.
“Ah pikiranku saja ini, kabar ini Budi dan Mang Idim harus tahu juga” ucap Gama,
dari kejauhan rumah Mang Idim sudah terlihat dengan dua motor tua milik Indra juga sudah terparkir, bersamaan langit sore nan indah itu akan segera berakhir.
“Assalamualaikum Mang” ucap Gama ketika Mang Idim baru saja membuka pintunya, mengetahui Gama tiba-tiba datang sore ini.
“Walaikumsalam Gam, masuk-masuk” jawab Mang Idim sambil menerima cium tangan Gama, walaupun ia langsung menundukan kepalanya juga.
“Mau nitip ini biar besok suruh Budi yang antar ke rumah Ki Duduy, besok Gama bagian jaga toko, Dewi sama temanya mau berkunjung ke rumah sahabatnya-
- yang baru pindahan” ucap Gama langsung menerima cium tangan Indra.
“Bawakan Gama air minum Ndra, itu Budi dibelakang Gam lihat saja baru selesai sepertinya, Amang mandi dulu udah terlalu sore ini” ucap Mang Idim.
Dihalaman belakang terlihat rambut gondrong itu sudah terurai berantakan, seluruh punggung tidak ada satu bagian pun yang kering, semuanya dibanjiri keringat, tubuh kekar dengan urat-uratnya itu sudah kotor dengan tanah.
“Arrrghhhh!!!”
Suara Budi menahan sakit sudah Gama dengar dengan jelas, bersamaan ikat kain putih yang menutupi lima jarinya itu sudah terlihat bekas darah, dilepaskannya dengan perlahan oleh Budi dan bekas pukulannya sudah mendapat tanda di beberapa kayu
yang sudah terbentuk seperti manusia itu sudah tidak lagi berdiri kokoh, padahal menancap kuat di tanah.
“Assalamualaikum” ucap Gama.
Membuat Budi yang tidak asing lagi dengan suara Gama berbalik badan dengan cepat, dan berjalan tergesa-gesa ke arah Gama
bahkan membiarkan satu kain putih yang akan segera ia lepas dibiarkan menggantung penuh darah.
“Walaikumsalam Gam, maaf, maaf aku tidak tahu kamu berkunjung maaf...” ucap Budi langsung mencium tangan Gama, namun Gama menepuk pundaknya yang penuh keringat berkali-kali.
“Sudah tidak perlu minta maaf Bud, lagian aku ada hal yang ingin dibicarakan mungkin penting, atau mungkin ini kecemasan aku saja” ucap Gama perlahan sambil duduk di salah satu teras penuh dengan bambu tempat Budi dan Indra menganyam rotan.
Budi hanya menundukan kepalanya sedari tadi, kepala Budi hanya mengangguk dengan perlahan, padahal keringatnya masih membanjiri seluruh tubuhnya dan rasa sakit bekas ia melatih bela dirinya masih terasa perih.
“Duduk sini disebelahku, minum itu air dan bakar rokok kamu Bud”
ucap Gama sambil membuang nafas lelahnya hari ini, memandang langit sore baru saja berganti dengan malam dan kumandang adzan magrib baru saja terdengar indah.
Satu gelas air yang sebelumnya sudah Budi siapkan, diminumnya dengan perlahan tanpa menyisakan satu tetes pun,
kemudian terdengar suara korek api menyala dan asap putih itu keluar dari mulut Budi, namun kembali menundukan kepalanya sambil terus mengelap darah pada jari-jarinya itu.
“Tidak usah malu kalau perih teriak saja Bud” Gama perlahan.
“Baik Gam, hanya sedikit perihnya tidak terasa” jawab Budi, sambil menghisap rokoknya.
Walaupun Gama melihat jelas urat-urat dileher Budi begitu kencang sedang menahan perih yang luar biasa.
“Tidak apa-apa berlatih bela diri sampai habis-habisan, -
- agar kelak orang yang kamu tolong tidak merasakan luka seperti di jari-jari tangan kamu itu, Ki Duduy pernah bilang begitu ingat” ucap Gama.
“Ingat Gam...” jawab Budi sambil menggigit bibir bawahnya.
Setelah semua darahnya itu bersih, kemudian Budi mengeluarkan pisau andalannya
dalam kain putih, kemudian mengasah nya dengan perlahan, padahal Gama lihat jelas pisau itu masih sangatlah tajam.
“Sudah sejak pagi dan kemarin malam aku tidak enak hati, makanya aku asah terus ini pisau Gam, apa mungkin perasaan aku saja” ucap Budi tiba-tiba.
“Ini lihat, alamat yang besok akan Dewi kunjungi Bud, pernah tahu alamat ini” ucap Gama memperlihatkan alamat di layar handphonenya.
“Kampung Hejo, aku baru dengar...” ucap Budi sedikit kencang sambil mengangkat kepalanya di sebelah Gama,
bahkan melepaskan pisau yang sedang berada diatas batu asahannya.
Tanpa mereka berdua sadari Mang Idim yang berada di belakang mereka mendengar nama kampung itu dengan jelas.
“Tujuan Dewi ke kampung itu Gam!” tegas Mang Idim, membuat Budi dan Gama membalikan posisi duduknya.
“Iyah Mang itu, Amang tahu memangnya?” tanya Gama semakin penasaran.
“Kampung Ujung Hejo, paling ujungnya ada perkebunan teh namanya kalau tidak ganti kebun teh carangka puncak wangi, terdapat leuweung carangka wangi, bukit soca beureum, dan curug bentang! -
-Benar itu nama kampungnya Gam!” ucap Mang Idim dengan tegas, begitu lancar menyebutkan nama-nama tempat itu keluar dari mulutnya, membuat Gama dan Budi semakin heran.
“Betul Mang nama kebun tehnya yang punya tanahnya itu neneknya sahabat Dewi yang akan Dewi kunjungi, -
- kalau nama bukit dan leuweung serta curug (air terjun) baru Gama dengar malah” ucap Gama semakin penasaran.
“Biar amang saja yang pergi ke rumah Ki Duduy sekarang setelah shalat magrib, sekalian antar bahan-bahan makanan itu, kalian tunggu saja disini” jawab Mang Idim
tiba-tiba menjadi sangat panik.
Bahkan Budi langsung mematikan rokoknya terus memandang alamat itu dengan sangat jeli sekali, menanggapi perubahan tingkah Mang Idim akan tujuan yang akan Dewi datangi.
“Ap–apa kamu sudah cegah Gam” tanya Budi tiba-tiba.
“Sudah Bud, tapi memang tidak ada satupun alasan yang bisa menahan Dewi agar tidak pergi untuk menemui Nur Wangi nama sahabatnya itu, kisah hidupnya malang sebenarnya dia baru saja pulang ke rumah Neneknya Ni Kanti sejak puluhan tahun hidup dengan orang tua angkatnya, -
- setelah Ibu dan bapaknya meninggal lebih dulu...” jawab Gama menjelaskan.
“Lagian sudah lama aku tidak jalan-jalan jauh, tenang saja Dewi akan aman apapun kondisinya, masih ada keluarga kita” ucap Budi kemudian pamit berdiri kepada Gama.
“Amang pergi duluan Gam -
- secepatnya Amang kabari, semoga salah kecemasan Amang saja, akan Amang bicarakan dengan kakek kamu” ucap Mang Idim kemudian berjalan tergesa-gesa.
“Maaf Pak Gama, Indra di suruh Budi buat nulis alamat yang ada di handphone pak Gama” sahut Indra sudah membawa kertas dan pena
di atas wadah tampah berisikan air minum untuk Gama.
“Iyah boleh ini Ndra, makasih air minumnya” ucap Gama dengan cepat langsung menghabiskan isi air minum dalam gelas, untuk membuat dirinya tenang.
Indra dengan cepat dan teliti menulis lengkap alamat di handphone Gama,
mengikuti perintah Budi yang sekarang melihat ke arah Gama sambil menganggukan kepalanya berkali-kali, seperti sangat tahu apa yang sedang Gama rasakan.
“Tenang Gam...” ucap Budi perlahan berdiri cukup jauh dari belakang tubuh Gama, dengan keringat yang terus membanjiri tubuhnya.
Setelah shalat berjamaah dengan Budi dan Indra, Gama langsung pamit diantarkan Budi ke depan rumah sudah mendapati bahan-bahan makanan untuk Ki Duduy tidak ada lagi di atas motornya.
“Maaf Gam sebelum pulang, nama suami Nur Wangi itu siapa...” tanya Budi tiba-tiba
setelah mencium tangan Gama dan langsung menundukan kepalanya.
“Ahmad Rudi, nama neneknya Ni Kanti hanya itu yang baru aku tahu Bud, sisanya hanya alamat yang sudah Indra tulis” jawab Gama.
“Bilang ke Indra, atau kalau sudah Mang Idim pulang segera kabari aku yah Bud” ucap Gama
sambil menaiki motornya, untuk menuju rumah.
Menemani perjalanan pulangnya dibawah langit yang sudah gelap, hati Gama terus mengucapkan dzikir, berusaha membuat dirinya itu setenang mungkin menenggelamkan bayangan cemas wajah Mang Idim setelah menyebutkan alamat yang sama–
yang akan Dewi kunjungi itu.
“Barusan ada teman Ibu Dewi, namanya Zihan” ucap Mang Tahrim sambil membuka pintu pagar rumah dengan cepat.
“Oh iyah Mang nanti rapihkan saja motornya Zihan itu yah mungkin berhari-hari akan menyimpan kendaraan di rumah ini” jawab Gama
sambil memberikan kunci motornya kepada Mang Tahrim.
Suasana meja makan sudah berkumpul lengkap, termasuk Zihan yang akan menginap kemudian besok pagi diantar oleh Mang Ade menuju rumah neneknya Nur Wangi, obrolan di meja makan tidak jarang Ibu Mulyani dan Teh Anggit setuju
untuk memberikan izin kepada Dewi agar berlibur sejenak, apalagi di tidak seorang diri di temani Zihan dan Nur Wangi, membuat kecemasan Gama sedikit berkurang pada istrinya itu.
Dari malam yang semakin larut dan jarum jam yang terus berputar, Zihan sudah menempati kamar tamu,
sementara Dewi masih sibuk memasukan pakaian ke dalam tas besar yang akan dia bawa.
“Neneknya Nur Wangi sudah menunggu kedatangan kita Gam, pertengkaran kemarin pagi Rudi mengajak Nur Wangi pulang sudah membaik sekarang, doakan saja datangnya aku dan Zihan -
- bisa membuat suasana berbeda yah” ucap Dewi.
“Awas ada yang tertinggal Wi, pergi saja tapi ingat ada apa-apa kabari aku secepatnya yah” jawab Gama kemudian merapikan tas dan perlengkapan yang akan Dewi bawa.
“Hanya tiga hari Gam, janji...” ucap Dewi kemudian mencium kening Gama
Ketika Gama akan menutup gorden kamarnya, ia malah mendapati meong hideung sudah berjalan terpincang di halaman samping rumah menuju mushola.
“Sudah lama baru terlihat lagi” bisik Gama.
“Kamu nungguin kabar siapa Gam, tumben dari tadi liat handphone terus” tanya Dewi
membuyarkan padangan Gama.
“Sudah tidur udah malam ini Wi, aku di kamar sebelah kalau nggak di mushola yah” jawab Gama, menuruti kata hatinya itu untuk membawa gelang gengge dalam lemari yang sudah lama tidak ia bawa, kemudian memasukkannya ke dalam saku celana
tanpa sepengetahuan Dewi, karena kembali sedang berkirim pesan dengan Nur Wangi.
...
Waktu baru saja melewati pergantian hari, Gama masih duduk bersila di mushola dengan meong hideung (kucing hitam) yang tertidur di sebelahnya, dengan bagian kepalanya yang menempel di paha Gama,
dekat dengan saku celana yang didalamnya terdapat gelang gengge hanya terhalang sarung yang Gama kenakan.
Jari-jarinya terus bergerak bersamaan tasbih dan ucapan dalam hatinya berdzikir, meminta pertolongan dan rido kepada pencipta akan kepergian istrinya itu di lancarkan,
tak lupa doa di kirimnya untuk Ki Adiguna Rusdi Langsamana.
Sesekali mata Gama melihat ke arah layar handphone belum ada pesan masuk dari Mang Idim yang selama ini ia nantikan, walaupun tanpa Gama sadari dibelakangnya sudah terdapat beberapa asap rokok yang sudah ia cium baunya,
dan baru melihat bayangan rambut gondrong sangat jelas di sebelah tubuhnya yang sedang bersila itu.
“Sana makan di dapur ada makanan, hangatkan saja dulu, atau bikin kopi Bud” ucap Gama.
“Mang Idim belum pulang juga dari rumah Ki Duduy Gam, mungkin nama kampung itu berbahaya -
- untuk Dewi kunjungi, maaf Gam itu kecemasan aku saja hingga aku datang ke rumah ini dan perempuan di kamar tamu itu sudah aku pastikan aman, bahkan maaf sampai isi dalam tas pun...” ucap Budi menjelaskan perlahan.
“Bud tidak sampai segitunya juga” jawab Gama
langsung berbalik badan, sudah tidak heran Budi selalu punya cara yang menurutnya benar, pasti ia lakukan.
“Maaf Gam, dalam pesan yang belum di baca di handphone tamu itu, terdapat pesan dari Nur Wangi menyebutkan Rudi berubah tingkahnya setelah mendengar kata getih wangi, -
- sudah aku kunci kembali pintu kamarnya dan semuanya aman, tamu itu tidak akan tahu aku masuk kamarnya” lanjut Budi.
“Getih Wangi...” ucap Gama semakin kebingungan.
“Iyah Getih Wangi hanya kata itu saja yang membuat aku cemas dan mencurigakan, apa kamu maaf Gam, -
-tidak bisa melarang Dewi pergi” jawab Budi sambil mengambil beberapa puntung rokoknya kemudian ia masukan ke dalam saku bajunya.
“Baik semoga sebelum Dewi pergi Mang Idim sudah memberikan kabar Bud, tidur saja didalam jangan disini, ayo” ucap Gama sambil berdiri
setelah mengelus kepala meong hideung, tidak ingin hatinya berprasangka buruk pada kedatangan meong hideung, seperti kejadian sebelumnya selalu membawa kabar teramat bahaya.
Bahkan Budi langsung menundukan kepalanya, setelah melihat meong hideung membuka matanya secara perlahan
dan terlihat dua mata kuningnya.
“Aku berjaga saja, memuaskan kecemasanku Gam” jawab Budi kemudian membakar rokoknya lagi, melihat Gama yang terus berjalan ke arah dalam rumahnya sambil terus di ikuti langkah terpincang-pincang meong hideung.

***
Dewi dan Zihan sudah bangun sesudah adzan subuh berkumandang, membuat Gama hanya mempunyai waktu yang tinggal sebentar lagi, bahkan handphone sudah tidak lepas lagi dari tangan Gama.
“Ayolah Mang angkat telpon aku” bisik Gama terus melakukan panggilan pada nomor Mang Idim.
“Didepan Mang Ade sudah siap Gam” ucap Dewi, terlihat juga Zihan sudah pamit kepada Ibu Mulyani dan Teh Anggit setelah memasukan barang-barangnya ke dalam mobil.
“Aku berangkat yah” ucap Dewi sambil mencium tangan Gama.
“Apa tidak mau sarapan di rumah dulu Wi” jawab Gama
berusaha mengulur waktu keberangkatan istrinya itu.
“Nanti saja di jalan, biar Mang Ade bisa balik tengah siang Gam” ucap Dewi kemudian pamit kepada Ibu Mulyani dan Teh Anggit.
“Dari dulu memang Dewi kalau ada keinginan susah yah Ngit buat di larang, sudah Gama jangan khawatir”
ucap Ibu Mulyani melihat kecemasan pada raut wajah menantunya itu.
“Iyah Gam tidak lama juga katanya tiga hari” sahut Teh Anggit.
Beberapa pesan penting sudah Gama sampaikan kepada Mang Ade untuk nantinya selama di perjalanan.
“Baik Pak Gama, mudah-mudahan ucapan Amang kemari di toko salah tentang kampung itu” jawab Mang Ade.
Gama hanya menundukan kepalanya saja, membuat Mang Ade langsung masuk ke dalam mobil, dan sebelum cahaya pagi tiba roda empat itu sudah keluar dari halaman rumah
membawa Dewi dan Zihan untuk menuju kampung ujung hejo.
...
“Ndra Mang Idim sudah pulang belum” ucap Gama di telpon ketika baru saja ia membuka toko bangunannya seorang diri, dan beberapa pekerja lainnya baru saja berdatangan.
“Belum Pak ini juga Budi sudah suruh Indra -
- telpon terus ke Abah tapi tidak diangkat”
“Yasudah kalau sudah pulang suruh cepat ke toko yah”
Waktu terus berputar dengan cepat, kesibukan Gama melayani pembeli tidak cukup membuat dirinya tenang, walaupun Dewi selalu mengirimnya pesan berkali-kali pada Gama,
hingga dari kejauhan Mang Idim dan Ki Duduy terlihat semakin mendekat dengan motor tuanya itu.
“Alhamdulillah...” ucap Gama, langsung menyuruh salah satu pekerjanya berjaga di bagian kasir.
“Mang Dewi sudah pergi tadi subuh, kenapa telpon Gama tidak di angkat” ucap Gama panik.
“Assalamualaikum...” ucap Ki Duduy.
“Waalaikumsalam Kek maaf Gama cemas saja” jawab Gama.
“Idim mengikuti perintah kakek saja Gam...” jawab Ki Duduy perlahan, mengikuti ajakan Gama agar masuk ke dalam toko.
“Lalu Kek, kampung apa itu?” tanya Gama langsung,
manakala melihat Mang Idim sudah membawakan satu gelas air untuk Ki Duduy.
“Dahulu itu tempat berasal seorang mungkin bisa disebut muridnya Ki langsamana Gam, namanya Ki Surya... ah mungkin beda dua atau empat tahun usianya sama Kakek ini, orang yang teguh tidak mau -
- meninggalkan kampung ujung hejo, karena alasan tidak mau ada warga yang mati dengan cara sia-sia dan tidak masuk akal... semoga masih ada disana dan kejadian itu sudah hilang...” ucap Ki Duduy sambil mengeluarkan rokok dari dalam saku celananya.
Membuat Gama sedikit tenang dengan penjelasan Ki Duduy, dan tidak merasa menyesal memberikan izin kepada Dewi.
“Dari situlah Idim tahu tentang kampung itu karena kakek pernah di ceritakan sama Ki Langsamana dulu sekali, dan Idim pernah berjumpa dengan Ki Surya dahulu sekali... -
- semalam dengan usia kakek seperti ini perlu waktu yang tidak sedikit untuk mengingat, lagian Dewi hanya berlibur sudah tenang saja...” lanjut Ki Duduy sambil mengelus pundak Gama berkali-kali.
“Getih Wangi tidak akan terjadi lagi mungkin Kek” tanya Mang Idim.
“Ni Surti juga tidak tahu masih hidup atau nggak Idim, sudah lama itu...” jawab Ki Duduy.
“Kek Getih Wangi!” ucap Gama sangat kaget, mengingat Budi mengatakan hal itu semalam setelah melihat isi pesan dari Nur Wangi yang masuk ke handphone Zihan.
“Jangan cemas seperti itu, -
- kejadian itu seperti doa, berdoa saja yang baik-baik, kalaupun masih ada getih wangi itu, tidak ada urusannya dengan Dewi Gam...” ucap Ki Duduy kembali menenangkan cucunya yang sudah terlampau cemas.
Setelah Ki Duduy diantarkan Mang Idim menuju rumah Umi Esih,
Gama berusaha mengikuti kata Kakeknya itu dan bertugas untuk memastikan Dewi dalam keadan baik-baik saja, apalagi Gama sudah berpikiran bahwa semuanya sudah ia ketahui termasuk Ki Surya berasal dari tempat yang Dewi kunjungi.
“Aku sudah sampai Gam pemandangannya indah, -
-rumahnya juga besar, ah tidak menyesal aku datang ke tempat ini, aku ngobrol dulu sama Nur Wangi dan Ni Kanti yah, Mang Ade sudah perjalanan pulang baru saja berangkat...”
Pesan dari Dewi Gama baca perlahan, bahkan cukup tenang ketika Dewi
bukan menyebutkan nama Ni Surti dalam isi pesannya itu.
...
Gama baru saja bergantian shalat dzuhur dengan pekerja lain, namun belum ada pertanda kedatangan Mang Ade dengan menggunakan mobil Dewi itu, terus saja ia melayani pembeli
hingga terlihat mobil Dewi yang Gama kenali itu berjalan cukup pelan.
“Aneh tidak biasanya pelan Mang Ade bawa mobil” bisik Gama berjalan ke depan.
“Pak! Pak Gama!”
“Pak!!!”
Teriak salah satu pekerja, ketika Mang Ade yang baru saja keluar dari mobil menjatuhkan tubuhnya,
dengan lebam di seluruh wajahnya.
“Mang!!!” teriak Gama sambil berlari.
Baju di baju kanan Mang Ade sudah robek dengan kain yang sudah melilitnya, bekas darah itu terlihat jelas, namun Gama memastikan tidak ada bagian mobil yang lecet, Mang Ade tidak mengalami kecelakaan.
“Bawa kedalam cepat!” perintah Gama, membuat beberapa pekerja membantu tubuh Mang Ade berjalan.
“Tolong jaga dulu kasir, biar aku yang urus Mang Ade!” lanjut Gama dengan cepat membuka lilitan kain di bahu Mang Ade.
“Arrrghhhhh”
“Pelan-pelan Gam sakit”
“Lukanya ini dalam Mang! Siapa yang melakukan! Tahan biar aku basuh!” ucap Gama terus membasuh darah-darah di kulit Mang Ade, sambil melihat motor Indra baru saja tiba di toko Gama.
“Pasti kejadian! sudah aku lihat dari jalan sana mobil Dewi jalannya pelan sekali -
- dan Mang Ade tingkahnya aneh dalam mobil” ucap Budi tiba-tiba sudah berdiri didekat Gama.
“Bud! Cepat bantu!” ucap Gama.
“Arrrghhhhh!!!”
“Amang berhenti di salah satu warung setelah mengantarkan Ibu Dewi dan Zihan, warung yang biasanya digunakan pekerja kebun teh Pak Gama, -
-tidak lama dan tiba-tiba orang yang memakai topi koboi hitam menyerang begitu saja, dan menyayatkan pisau di bahu Amang tanpa alasan apapun...” ucap Mang Ade memasakan mulutnya berbicara.
“Lalu Mang?” tanya Gama semakin penasaran.
“Lalu kakek tua dan nenek itu hanya diam saja, -
-sampai ada lelaki bepernampilan rapih sekali rambutnya mengenakan kacamata membatu Amang, hingga melilitkan kain-kain lap yang ada di warung itu, di bantu lelaki berkopiah hitam yang sedang diam juga...” lanjut Mang Ade semakin menahan rasa sakit.
“Dari lukanya bukan orang yang baru pertama kali melakukan hal ini Gam, begitu juga dengan lilitan kain sebelumnya yang menempel di bahu Mang Ade dia tahu kain ini akan bertahan ketika Mang Ade sampai, seperti tahu tujuan Mang Ade pulang...” ucap Budi menjelaskan.
“Betul Bud, orang yang menolong Amang kayak penah Amang lihat di rumah Nur Wangi sahabat Ibu Dewi tapi hanya selewat gitu” jawab Mang Ade, ketika goresan bekas pisau itu telah membuat daging di kulitnya itu sampai terlihat.
Gama menepuk pundak Budi, kemudian menarik tangan Budi perlahan.
“Kalau orang itu sudah berani melukai Mang Ade setelah mengantarkan Dewi dan Zihan, artinya kamu tahukan Bud!” ucap Gama sudah bermandikan keringat di wajahnya.
“Sangat tahu Gam, aku tunggu perintah, orang itu mungkin lawan sepadan dengan kemampuannya melukai orang seperti Mang Ade, aku cari orang itu!” ucap Budi sambil menunduk.
“Pastikan Dewi, Zihan, Nur Wangi dan Rudi aman! Cari tahu semuanya! Ki Duduy dan Mang Idim di rumah Umi Esih-
- pergi kesana dan pamit pada Ki Duduy, jangan sampai Dewi tahu kamu disana! Pergi sekarang!” ucap Gama sangat serius, kecemasan pada Dewi sudah tidak bisa lagi ia tahan dengan kejadian pulangnya Mang Ade dalam keadaan terluka parah.
“Kalau sampai Dewi terluka seperti Mang Ade -
- atau jauh lebih parah, akan aku bakar rumah dan orang-orangnya disana! Peduli dengan getih wangi yang Mang Idim katakan!” ucap Budi terus menunduk, memahami perintah Gama.

(Bersambung Part 4...)
Kedatangan Dewi dan Zihan ke rumah Ni Kanti berbuah terlukanya Mang Ade dengan keadaan mengenaskan, bersamaan Getih Wangi sudah Gama dengar sedikit dari Ki Duduy,
namun apakah kedatangan Dewi dan Zihan ke rumah Ni Kanti akan menjadi malapetaka?

Part (4) sudah bisa teman-teman baca dan download eBook, silahkan klik link.

karyakarsa.com/qwertyping/get…
Terlebih Budi sudah mendapatkan perintah Gama untuk datang ke kampung ujung hejo, untuk memastikan keselamatan Dewi? Semua misteri yang berkaitan dengan jejak langkah Ki Langsamana
dan Ki Surya muridnya akan menjadi perjalanan panjang yang berkaitan dengan Getih Wangi!

Part 5 sudah bisa teman-teman baca dan download eBooknya sekarang juga.

karyakarsa.com/qwertyping/get…

• • •

Missing some Tweet in this thread? You can try to force a refresh
 

Keep Current with Teguh Faluvie

Teguh Faluvie Profile picture

Stay in touch and get notified when new unrolls are available from this author!

Read all threads

This Thread may be Removed Anytime!

PDF

Twitter may remove this content at anytime! Save it as PDF for later use!

Try unrolling a thread yourself!

how to unroll video
  1. Follow @ThreadReaderApp to mention us!

  2. From a Twitter thread mention us with a keyword "unroll"
@threadreaderapp unroll

Practice here first or read more on our help page!

More from @qwertyping

Jun 2
GETIH WANGI

Pengabdian puluhan tahun kembali terjadi, suami dan tiga anak yang mati belum cukup untuk mengakhiri.

[Part 2]

@bacahorror @IDN_Horor
#bacahorror Image
@bacahorror @IDN_Horor Hallo selamat malam teman-teman pembaca, mohon maaf keterlambatan upload yang seharusnya kamis malam, karena ada keperluan mendadak kemarin. Semoga tidak mengurangi perjalanan kita memasuki kampung ujung hejo bersama Nur Wangi.
@bacahorror @IDN_Horor Teman-teman yang belum baca thread part sebelumnya, bisa baca terlebih dahulu agar mengikuti alur ceritanya, dan untuk yang belum FOLLOW akun ini silahkan follow dulu yah, karena setiap kamis malam akan selalu ada asupan cerita horror.
Read 195 tweets
May 24
GETIH WANGI

Pengabdian puluhan tahun kembali terjadi, suami dan tiga anak yang mati belum cukup untuk mengakhiri.

@bacahorror @IDN_Horor @diosetta @mwv_mystic

#bacahorror Image
“WAKTUNYA TELAH TIBA, PULANGLAH”

Sandyakala baru saja perlahan hadir dari timur, bergandengan mesra dengan hembusan angin yang membawa suhu dingin menerpa hamparan kebun teh yang sangat luas, dibatasi sebuah bukit dan air terjun yang sangat indah
dengan suara gemericiknya, namun keindahan itu haram untuk dijamah manusia.
Hamparan hijaunya warna daun-daun teh itu kini perlahan pudar sedang bersiap untuk menyambut gelap malam yang tak pernah sekalipun membawa kehangatan, perkebun teh itu
Read 190 tweets
May 6
Sosok Ketiga! Dari judulnya ini sudah menjanjikan sesuatu yang akan membuat kita terperanga, tapi! Apakah SOSOK KETIGA ini soal asmara saja?! Sayangnya ini lebih gila!!!

"Terkadang manusia lebih memalukan dari pada setan"

#sosokketiga Image
Ngeri! Liat aja dengan bayi yang ada di puggung seperti itu, apa kita mengharapkan film ini akan biasa saja, harusnya tidak sama sekali!!! Kehendak manusia mengunakan santet dan pelet masih ada di indonesia.

#sosokketiga
Harusnya ini film keren, liat teaser trailernya udah geleng-geleng kepala disuguhkan nontonan menegangkan dan terdapat pesan penting dari ini film! Yakin sih bakalan puas nonton film ini! Kelewatan nonton? nyesel!

#sosokketiga
Read 4 tweets
May 4
Leuweung Sarebu Lelembut

"Diatas tanah ini manusia menjadi budak. Tumbal darah, daging dan nyawa sudah sepantasnya diberikan untuk Sang Tuan"

[Part 7 Tamat]

@bacahorror @IDN_Horor

#bacahorror Image
@bacahorror @IDN_Horor Hallo selamat malam teman-teman pembaca tidak terasa Leuweung Sarebu Lelembut sudah memasuki part akhir, namun keterbatasan aturan twitter pada jumlah tweet perhari dan ceritanya sangat panjang maka akan di upload menjadi dua bagian.
@bacahorror @IDN_Horor Sebelumnya saya ingin mengucapkan banyak terimakasih kepada teman-teman pembaca yang sudah mengikuti cerita ini sampai dengan selesai, dengan berakhirnya cerita ini pertnada judul baru akan segera hadir.
Read 380 tweets
Apr 27
Leuweung Sarebu Lelembut

"Diatas tanah ini manusia menjadi budak. Tumbal darah, daging dan nyawa sudah sepantasnya diberikan untuk Sang Tuan"

[Part 6]

@bacahorror @IDN_Horor

#bacahorror Image
@bacahorror @IDN_Horor Hallo teman-teman pembaca mohon maaf waktu upload bergeser lebih awal karena ada satu keperluan dan lain hal malamnya. Namun ada ritual sakral dari Leuweung Sarebu Lelembut yang harus segera kita ketahui bersama-sama. Bisa baca lengkap nanti malam, setelah selesai update yah.
@bacahorror @IDN_Horor Yang belum baca thread part sebelumnya, bisa baca terlebih dahulu agar mengikuti alur ceritanya, dan untuk yang belum FOLLOW akun ini silahkan follow dulu, karena setiap KAMIS MALAM akan selalu ada asupan cerita horror.
Read 201 tweets
Apr 20
Leuweung Sarebu Lelembut

"Diatas tanah ini manusia menjadi budak. Tumbal darah, daging dan nyawa sudah sepantasnya diberikan untuk Sang Tuan"

[Part 5]

@bacahorror @IDN_Horor

#bacahorror Image
@bacahorror @IDN_Horor Hallo akhirnya kita bertemu lagi di hari kamis, kita akan segera memasuki Leuweung Sarebu Lelembut Part (5), karena dalang kutukan itu harus segera kita ketahui bersama.
@bacahorror @IDN_Horor Teman-teman yang belum baca thread part sebelumnya, bisa baca terlebih dahulu agar mengikuti alur ceritanya, dan untuk yang belum FOLLOW akun ini silahkan follow dulu yah, karena setiap kamis malam akan selalu ada asupan cerita horror.
Read 215 tweets

Did Thread Reader help you today?

Support us! We are indie developers!


This site is made by just two indie developers on a laptop doing marketing, support and development! Read more about the story.

Become a Premium Member ($3/month or $30/year) and get exclusive features!

Become Premium

Don't want to be a Premium member but still want to support us?

Make a small donation by buying us coffee ($5) or help with server cost ($10)

Donate via Paypal

Or Donate anonymously using crypto!

Ethereum

0xfe58350B80634f60Fa6Dc149a72b4DFbc17D341E copy

Bitcoin

3ATGMxNzCUFzxpMCHL5sWSt4DVtS8UqXpi copy

Thank you for your support!

Follow Us on Twitter!

:(