Re Dear Profile picture
Jun 13 141 tweets 21 min read Twitter logo Read on Twitter
Rasanya aneh ketika saling bertemu pandang dengan orang-orang ini, panggilan 'pendatang' terasa mencekik kala kudengar sayup mereka membicarakanku.

"Nuri sayang, sabar ya sebentar lagi sampai."
Ibu menghiburku sambil merangkul.

Aku hanya mengangguk sebagai tanda jawab balasnya.
Long short story, aku yang baru menginjak bangku SMP harus menghadapi permasalahan keluarga pahit, perceraian.

Kedua orangtuaku memutuskan akan berpisah karena alasan yang aku sendiri pun tak mengerti. Tapi yang jelas, yang aku tahu, aku akan tinggal di desa ini sekarang.
Ada kakek dan nenekku dari pihak ibu yang akan mengurusi kami. Aku memang berkali-kali kemari, tapi itu hanya sekedar satu-dua hari, tapi sekarang mungkin akan selamanya aku disini.

Decitan ban becak terdengar berat hingga sampai di sebuah rumah memanjang berkamar empat.
Nenekku segera keluar rumah dan menyapa kami.

Berbincang sedikit lalu masuk dan membereskan kamar dimana aku akan tinggal.

Sebutan orang kota sering kudengar, padahal di kota juga kurasa sama saja. Meskipun akses ke pasar swalayan jauh lebih dekat dan mudah,
namun hanya itu saja keuntungan tinggal di kota.

Aku dan ibuku masih sering makan sederhana tanpa kemewahan jika usaha bengkel yang ayah kelola sedang buruk.

Di rumah memang ada telepon, tapi hanya ayah atau ibu yang boleh diizinkan menggunakannya.
Bahkan seringkali dipasangi kunci gembok, macam barang berharga saja.

Sementara disini, semuanya serba tradisional. Untuk telepon, ada wartel yang jaraknya sekitar 4km dari sini. Tepatnya di samping kantor lurah.
Tidak ada kompor minyak, nenek memasak menggunakan tungku dan kayu bakar. Meski harus kuakui bau kayu bakar itu wangi dan menenangkan. Jika hujan, kami akan berkumpul di sekitar tungku sambil membakar singkong.

Televisi juga tidak ada, hanya ada radio yang seringkali
kakek gunakan ketika malam, itupun pasti siaran wayang golek.

Jika ada satu hal yang paling membuatku keheranan, itu tentang sesuatu di desa ini.

Jika malam tiba, semua rumah dikunci rapat. Warung-warung tutup menyudahi hari itu, jalanan lengang tak ada yang berani melintas.
Hanya sayup suara hewan malam bercampur alunan gamelan wayang golek yang terdengar.

Desa ini berubah menjadi desa mati ketika malam tiba.

Pamali demi pamali kudengar dari sekitar. Ya, setelah seminggu aku disini, aku mendapatkan teman baru. Eka namanya.
Tubuhnya kecil, tapi gesit. Perempuan yang usianya sepantaran denganku. Bedanya, setelah ia lulus SD, ia tak melanjutkan ke SMP. Membantu ibunya bekerja di sawah lebih ia pentingkan. Sementara ayahnya telah meninggal bahkan sebelum ia mampu mengingat.
"Kamu kalo malem jangan aneh-aneh, ikuti aja apa yang orang dewasa lakukan." Ucapnya suatu hari.

"Aku juga gak paham, ini desa kenapa sih sebenernya?" Tanyaku.

"Udah gak usah dipikirin terlalu keras, nanti bisa gila." Jawabnya.

"Ya tapi kan penasaran aku." Balasku.
"Hadeuh, aku juga gak paham-paham pisan. Tapi kalo ada suara delman, jangan digubris. Diam saja, anggap kamu gak dengar. Anggap delman itu gak ada." Jelasnya.

"Emang kenapa?" Tanyaku penasaran.

"Hush, pamali!" Jawabnya tegas.

Ya, lagi-lagi kata itu.
Aku bersungut sambil melihatnya sibuk mengupas bawang putih.

Kata pamali seolah menjawab untuk tidak menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi di desa ini. Pemikiran anak usia 12 tahun malah semakin liar menerka.

Apakah desa ini terkutuk?
Apakah desa ini sebetulnya bukan hanya dihuni oleh manusia? Apakah penduduk desa ini semuanya melakukan pesugihan? Atau jangan-jangan nanti akan ada seseorang yang ditumbalkan?
Apalagi aku yang seorang pendatang, jangan-jangan malah aku yang bukan warga asli desa ini yang nantinya akan ditumbalkan.

Apa jangan-jangan perceraian orangtuaku juga sebenarnya hanyalah kedok agar aku bisa ditumbalkan demi desa ini?
"Nuri?!!"
Ibuku memanggil sambil berjalan mencariku.

"Iya, Bu?"
Jawabku sambil menghampirinya.

"Udah hampir sore, kamu bisa jemput kakek ke sawah? Takutnya kemaleman."
Pinta ibuku.

"Oh? Iya bisa Bu."
Jawabku masih tenggelam dalam lamunan.
"Kayaknya kakek juga bawa ikan, tadi sebelum pergi, kakek bilang mau bantu Pak Taryo kuras empang. Kamu bantu bawa ya?"
Ibuku masih berujar.

"Oh iya? Asik ikan bakar~"
Aku segera pergi.

Ibu hanya tersenyum lalu kembali.

"Besok lagi ya, Ka!"
Tak lupa aku pamit pada Eka.
"Iya hati-hati!"
Balasnya sambil melihatku pergi.

Ya benar saja, kakek membawa seember penuh ikan mas dan nila. Aku membantunya dengan itu.

Malam menyambut desa, dengan keheningan yang sama bisa kurasa. Kucing kampung liar berdatangan mencium aroma ikan bakar tadi sore.
Kusisihkan untuk mereka sambil membereskan bekas makan kami sekeluarga.

Adzan isya berkumandang jauh, wajah semua orang lalu menegas tegang.

"Tidurlah lebih awal, ini purnama."
Ucap kakek sambil bersarung pergi.

Nenek dan ibu tak saling berucap,
hanya tatapan mata sebagai isyarat mengerti apa yang kakek ucapkan.

"Yuk, isya dulu abis itu tidur."
Ibu mengajakku.

"Ibu tidur bareng Nuri?" Tanyaku.

"Untuk malam ini, iya. Kenapa?"
Ia bertanya balik.

"Malu atuh Bu, Nuri udah gede."
Jawabku.
"Sstt.. gak apa-apa. Cuma malam ini aja, ya?"
Ibuku memaksa.

Setelah selesai isya, kami berselimut saling menghadap. Ibu menaruh lengannya di pinggangku, membuatku risih. Tapi berkali-kali kuturunkan lengannya, ia akan mengembalikan ke pinggangku lagi.
Dan pada akhirnya aku tidur dengan posisi membelakanginya.

Lalu entah jam berapa, aku terbangun. Aku tak biasa tidur seawal ini. Jam dinding berdetak jelas dari ruang tamu. Memecah sunyi, sementara lantunan gamelan dan dalang wayang golek terdengar dari kamar kakek.
Suara jam dinding dan wayang golek seolah bersahutan dengan binatang malam diluar.

Kuubah posisiku menghadap ibu, yang lengannya akhirnya bisa kusingkirkan juga. Remang kulihat wajah ibu lelah tertidur pulas.

Lalu sesuatu terdengar, ibu terbangun,
matanya terbelalak untuk sesaat. Lalu ketika suara itu semakin jelas terdengar, ia menutup matanya rapat-rapat dan mulai memelukku.
Suara sepatu kuda menghentak perlahan berjalan menapaki jalan. Meski bukan aspal, namun jalanan yang diisi batu kerikil campuran semen itu menggema, menghantarkan suara sang delman ke seluruh penjuru desa.

Suara radio dari kamar kakek juga lenyap, ia matikan.
Binatang malam juga hening membisu. Seolah semuanya sedang terfokus pada suara delman yang melewati rumah satu persatu.

Aku dapat mendengar suara nafas ibuku menderu tegang. Dalam remang kuperhatikan, wajahnya ketakutan, matanya ia tutup rapat-rapat.
Sadar nafasnya terlalu keras, ia kini menutup mulutnya dengan kedua tangan. Melepaskan pelukannya dariku. Namun siku tangannya masih terasa mengapit kedua pundakku.

Sungguh, aku ingin bertanya. Namun ketakutan juga menjalar hebat di sekujur tubuhku entah mengapa.
Instingku mengatakan akan ada sesuatu yang buruk terjadi apabila delman itu berhenti di samping rumah kami dan menyadari bahwa aku dan ibu masih terjaga.

Lalu suaranya berhenti. Kuda itu terdengar sedang bernafas memburu. Karena kamar kami terletak tepat di samping jalan,
seolah jarak antara kami maupun delman itu hanya beberapa jengkal dan terhalang tembok.

Siluet dari balik celah jendela susunan kayu terlihat samar. Delman dan kusir tanpa kepala sedang berhenti tepat di samping rumah, tepatnya di samping kamar kami.
Aku yang mengintip seketika menegang, tubuhku kaku, tenggorokanku seperti disumpal ketakutan yang teramat hebat.

Tangan kiri ibu segera memelukku lebih erat, dengan telapak tangannya masih menutup mulut dan hidungnya, memaksa ia tak mengambil nafas barang sedikitpun.
Seseorang duduk didepan delman, kudanya terengah-engah. Sang kusir tanpa kepala dengan bahunya yang ia hadapkan ke jendela rumah kami.

Ayat suci kubaca dalam hati, teriakku tertahan, hanya Tuhan kepadaNya aku berharap sosok itu segera pergi.
Tangisku pecah dalam diam, jantungku berdegup memecah sunyi. Seperti genderang yang memberitahu sosok itu bahwa aku masih terjaga.

Lalu sebuah tangan putih berhias cincin emas cantik dengan selendang biru yang terlampir malu-malu di lengannya menepuk bahu sang kusir.
Sosok itu kembali berjalan, kini sayangnya dengan perlahan. Seolah siapapun yang ada disana, masih memastikan bahwa aku ataupun ibu telah melihat mereka atau tidak.

Gemerincing dan suara sepatu kuda perlahan menjauh lalu menghilang. Sunyi segera menyergap kami erat-erat.
Tangisku masih deras, takutku belum usai.

Perlahan dekapan ibu melonggar, ia ingin memastikan barangkali sosok itu telah pergi sepenuhnya. Yang tentu saja aku tolak, aku semakin erat memeluk tubuh ibuku, aku melarangnya pergi dalam diam dan isak tangis.
Ibu mengerti isyaratku, meskipun nafasnya tenang. Kudengar degup jantungnya masih keras bersahutan dengan milikku.

Kami berselimut takut hingga aku tertidur dalam ketegangan yang tak masuk akal. Penasaranku membawaku ke alam mimpi buruk.
Sebuah pantai terhampar indah, aku berdiri telanjang antara batas rumput dan pasir putih. Biru terhampar indah, namun ada rasa ngeri yang sulit dijelaskan. Langit tanpa awan terlihat aneh, bukan biru muda, tapi gelap seperti mendung tapi bukan.

Kuedarkan pandanganku sekeliling,
sambil kututup bagian tubuhku malu. Rasa merinding menjadi bajuku saat itu.

Di pinggiran hutan, tak jauh dari aku yang sedang berdiri. Sebuah delman sedang berhenti. Sang kusir dengan pakaian batik dan celana hitam, kepalanya dihias ikat batik senada dengan bajunya.
Ia tersenyum ramah melihatku.

Ia turun, lalu tangannya yang gagah memegang sebuah tangan mungil yang cantik. Seorang wanita turun dari delman tua itu. Sosoknya teramat sangat cantik, kebaya putih, selendang biru, sanggul lalu mahkota emas terlampir, ia tak memakai alas kaki.
Memperlihatkan betisnya yang indah.

Sang kusir menunggu di samping delman, sang wanita berjalan anggun ke arahku. Selendangnya tertiup angin laut, ia tersenyum ramah. Matanya kupandangi semakin ia mendekat. Coklat cerah dengan lesung pipi tersungging manis.

"Anakku?"
Suaranya lembut penuh perhatian, nadanya penasaran namun tegas.

"Ya, ratu?"
Aku menjawab seperti sesuatu memang harus dijawab seperti itu.

Ia berhenti tepat satu langkah di depanku. Memandangiku dalam-dalam diam-diam.

"Belum saatnya, sayang. Kembalilah."
Begitu ia selesai berkata, pandanganku kabur.

Samar lalu semakin samar, hingga tak ada yang tersisa kecuali warna putih yang dengan cepat berganti hitam.

Telingaku menangkap lantunan ayat suci yang dibaca oleh beberapa orang. Kubuka mata perlahan berat,
lalu kulihat beberapa orang mengelilingiku dengan kitab suci di tangan mereka masing-masing.

"Alhamdulillah!!"
Ibuku berteriak syukur sambil memelukku dan menangis sejadi-jadinya.

Ayahku juga disana. Ia berada di antara orang-orang yang membaca ayat suci.
Tangisnya pecah meski wajahnya masih berusaha tegar. Ia berdiri lalu berjalan keluar.

"Ibu? Ada apa?"
Tanyaku tanpa bisa menahan diri.

"Gak apa-apa nak, gak apa-apa."
Ibu tak ingin menjawab dan masih memelukku.

Wajah semua orang di ruangan itu memperlihatkan ekspresi lega.
Ada rasa lelah yang kentara, keringat dan aromanya bercampur wangi bunga tujuh rupa. Di ruangan lain, samar kucium bau kemenyan yang lewat pergi.

Selang 3 hari setelah kejadian itu, beberapa pemuda desa bergiliran berjaga di rumah.
Sementara ayah, yang aku pahami bahwa ibuku dan dirinya sudah bercerai, masih menunggu bersama yang lain. Berjaga selama 3 hari terakhir.

Aku yang seharusnya sudah masuk sekolah baru, juga terpaksa harus ditunda.
Pasalnya, apa yang terjadi padaku, adalah aku tidak sadarkan diri selama 3 hari 3 malam setelah kejadian delman berhenti tepat di samping rumah kami.

Setelah seminggu kemudian, ketika orang-orang dewasa berpendapat bahwa semua ini telah berakhir sepenuhnya,
mereka kembali ke kehidupannya masing-masing.

Tak ada lagi yang berjaga, pun dengan ayah. Ia berpamitan dan kembali ke kota. Aku sebenarnya ingin ikut bersamanya, menolak tinggal di rumah ini. Namun hatiku berat melepaskan ibu sendirian.
Yang pada akhirnya hanya tangis dan pelukan erat yang mampu aku ekpresikan.

Hari-hari ku habiskan bersama Eka. Kami seringkali bermain? Bukan maksudku, bekerja bersama. Aku mengikuti Eka bekerja serabutan kesana-kemari.
Hari ini membantu pekerjaan rumah Bu A, besok membantu mencuci baju Bu B dan begitupun seterusnya.

"Sudah hampir satu bulan, kamu katanya mau lanjut ke SMP?"
Tanya Eka suatu saat.
"Rencananya begitu, tapi gak tau juga ibuku itu gimana. Katanya masih ada berkas yang perlu diurus. Aku gak ngerti urusan orang gede."
Jawabku asal.

"Sayang loh, Nur."
Ucapnya.

"Sayang kenapa?"
Tanyaku balik.
"Kamu beruntung bisa sekolah, kalo bisa sih sekolah lanjutin yang bener. Biar kayak Kartini."
Jawabnya.

"Ibu kita Kartini~"
Aku malah menyanyi menimpali kata-katanya.

"Yee dibilangin malah nyanyi."
Ia setengah kesal.
"Iya iya, nanti aku jadi Kartini kedua. Kamu jadi Cut Nyak Dien kedua."
Jawabku menghibur.

"Ish, omonganmu itu lama-lama kayak orang tua."
Kini balik Eka mengejekku.

"Kamu ya yang mulai duluan."
Aku protes sambil melempar sabun cuci piring ke pipinya.
"Wah? Orang kota mulai berani."
Ia membalasku.

Sebelum kami lanjut bermain lebih jauh, Bu Ani, si empunya rumah yang memperkerjakan kami tiba dan bertanya apakah kami sudah selesai atau belum.

Dengan tawa dan senyum canggung aku menjawab bahwa kami selesai sebentar lagi.
Kemuning jingga tergurat menggaris di ujung barat. Aku kembali pulang menyadari hari akan segera berakhir. Sebelum sampai pintu rumah, kulihat sebuah motor terparkir di halaman. Motor yang kukenal sangat baik. Itu motor ayah!

Aku segera berlari terburu masuk rumah,
namun kudapati ayah dan ibu sedang bertengkar.

"Anakku kemarin hampir hilang, dan kamu masih bersikeras dia tinggal disini? Jangan gila!" Ayahku berteriak pada ibu.

"Lalu aku harus apa? Meninggalkannya bersamamu dan perempuan sundal itu? Siapa yang gila?!"
Ibuku tak mau kalah.
"Tak ada yang sundal disini, sudah berkali kujelaskan salah paham. Tapi kamu hanya ingin percaya apa yang kamu yakini!"
Ayahku masih berteriak juga.

"Buktikan padaku jika dia bukan sundal!"
Ibuku menantang.

"Apa yang kamu perlukan? Datang ke bengkel? Dia datang kesini?
Katakan padaku!"
Ayah kesal dan menerima tantangan ibu.

"Halah percuma! Mana mau dia mengaku! Janda memang seperti itu, tak mampu bekerja dan hanya merebut lelaki orang!"
Ibu sudah tenggelam dalam emosinya.
"Kenapa kamu begini? Suamimu hanya memberikan pekerjaan layak pada orang lain agar dia bisa hidup, bukan karena ada maksud lain!"
Ayahku tak mau kalah.

"Jangan bohong kamu! Kamu kira aku gak tau? Dia berani rangkul dan bermanja saat di bengkel bersamamu!"
Ibu masih dengan ucapannya.

"Aku tolak juga! Aku tau aku punya kamu dan Nuri..."
Sebelum ayahku sempat melanjutkan kata-katanya.

"Buktikan kamu tidak ada hubungan apapun dengannya, dan keluarkan dia dari bengkelmu itu! Pilih aku atau dia sekarang!"
Ibuku tegas lalu berlalu masuk kamar.

Mata kami sempat bertatapan. Ayah terdiam dan menengok ke arahku. Senyumnya tersungging dengan paksa.

"Gak apa-apa sayang, nanti ayah jemput lagi ya?"
Ia berkata selembut mungkin, meskipun nadanya masih kesal bergetar.
Ia kemudian pergi tanpa pamit pada nenek, terburu mengendarai motornya dan melesat pergi menghilang di ujung jalan.

Dadaku sesak masih mencerna apa yang sebenarnya terjadi barusan. Kepalaku kosong dan emosiku bercampur aduk tak menentu.
Aku terduduk lesu dengan tatapan kosong, bingung.

Menangis tapi tak ingin, marah tapi tak bisa, kesal tapi harus kesal pada siapa?

Langkah kaki terdengar, kaki tanpa alas berjalan dan berhenti tepat di depan pintu. Ia tak masuk.
Kutengok siapa, celana hitam semata kaki, baju batik yang sepertinya aku tau corak itu. Lalu darah yang menetes dari lehernya yang putus. Sang Kusir tanpa kepala berdiri tepat didepanku.

Aku terpaku dalam takut, tubuhku membeku diam tak mampu bergerak.
Tangannya ia sembunyikan ke belakang, lalu ia bergerak seperti ingin menyerahkan sesuatu padaku.

Itu kepala!

Kepala itu ia taruh perlahan di pangkuanku. Aku bisa merasakan basah dari darah dan mencium bau amis yang kental. Kepalanya lalu memutar menghadapku.
Ia tersenyum dan bibirnya berkata sesuatu yang aku tak mengerti apa yang coba ia ucapkan.

Sedetik kemudian aku kehilangan kesadaran.

Lalu, lagi-lagi aku terbangun dengan iringan bacaan orang-orang yang membaca ayat suci.
Ini sudah malam, aku bisa melihat langit sudah gelap diluar. Badanku semuanya sakit dan kaku.

"Ibu?! Ibu!!!"
Aku berteriak keras sambil memeluknya, tangisku pecah mengingat apa yang kualami tadi sore.

Ketakutanku mencuat keluar tanpa tertahan.
Telapak tanganku masih terbayang rasa basah dan bau amis yang sempat kurasa.

"Kembalilah pada suamimu, nak. Kita sudah mewanti-wanti bahwa anak ini tidak bisa tinggal disini."
Seorang pria tua berkata dengan lembut, ada wibawa pada setiap kata yang ia ucapkan.
"Tidak bisakah dicari solusinya?"
Ibuku bertanya dengan susah payah.

"Kamu paham aturannya, jangan dilanggar. Desa tidak bisa terus seperti ini. Jangan sampai ada Eka kedua terjadi lagi."
Orang tua itu berdiri lalu pergi.

Meninggalkan kerumunan yang berbisik-bisik sendiri.
"Sudah, tolong maafkan kami. Tapi alangkah baiknya jika kita kembali ke rumah masing-masing. Saya ucapkan terimakasih sudah membantu. Tapi tolong, biarkan kami menyelesaikan persoalan ini."
Kakek angkat bicara dan orang-orang akhirnya menurut.
Mereka berpamitan, namun ada wajah kasihan yang terlihat jelas tergambar.

Kakek mengantar mereka keluar, aku dipapah ibu masuk ke kamar. Di dalam kamar, aku bisa menguping apa yang kakek dan orangtua itu bicarakan.
"Cucumu itu mulai gila, Mar. Si Ani kemarin hari cerita kalo dia sering melihat cucumu bicara sendiri, tertawa sendiri."
Ucap kakek tua itu.

"Aku paham, Jang. Aku ngerti, tapi ini bukan urusanku sepenuhnya. Ada soalan rumah tangga yang tak bisa aku ikut campur ke dalamnya."
Jawab kakekku.

"Maka cepat selesaikan itu. Jangan sampai pamali desa ini terulang. Aku enggan jika apa yang terjadi pada anaknya Marsinah terjadi juga atas cucumu."
Setelah kudengar kalimat itu, si kakek tua melangkah pergi.
Tak berselang setelah si kakek tua pergi, seseorang mendekat. Langkahnya terdengar lebih tegap.

"Assalamualaikum, ini betul rumahnya Ki Damar?"
Ucapnya.

"Wa'alaikumsalam, iya aku Damar. Kamu siapa?"
Jawab kakekku.

"Saya Atma dari desa Mendung."
Jawabnya.
"Lalu ada apa kemari?"
Tanya kakekku.

"Ini tentang Jurig Delman."
Jawabnya.

"Sial! Jangan berani kau ucapkan itu! Masuklah, akan kudengar selanjutnya di dalam."
Kakekku seperti panik.

Mereka masuk, duduk di ruang tamu dan terus berbincang.
Aku melihat wajah ibu yang sedang terpejam dan mengelus lembut kepalaku.

Namun ketika ibu mendengar "Jurig Delman" ia berhenti mengelus. Matanya terbuka dan bersiap untuk bangun. Aku memperhatikannya.

"Ayo keluar, kita perlu melihat siapa dia."
Ajak ibuku yang kujawab dengan anggukan.

Rupanya bukan hanya aku yang penasaran siapa Atma ini.

Ketika kami keluar dari kamar, seorang lelaki berusia 30an menatapku.

"Inikah gadis itu?"
Tanyanya pada kakekku.

"Ya, lalu bagaimana?"
Kakekku balik bertanya.
Ia mengusap wajahnya perlahan namun kuat. Kasihan, kesal, marah, semuanya bercampur dalam emosi yang tak mampu orang itu bendung.

"Bukan dia sekarang yang jadi soal, tapi mereka."
Orang itu lalu berdiri setelah ia melihatku.

"Apa maksudmu?"
Kakekku mencegah ia pergi sebelum menjelaskan.

"Takdir ya takdir. Bukan salah gadis itu lahir di hari itu, bukan salah dia yang lahir dari keturunanmu, bukan salah dia juga tubuhnya wangi menggoda para dedemit. Dia tidak salah, perhatikan cucumu lebih dekat mulai sekarang.
Siapa tau dia akan lenyap pada tahun ke-18nya nanti."
Jelasnya sambil melangkah pergi.

"Lalu aku harus apa?"
Tanya kakekku putus asa, wajahnya tertunduk lalu menatap mataku dalam-dalam.

"Jaga saja dirimu dan keluargamu, desa akan sedikit kacau beberapa waktu ke depan."
Ia lalu melangkah keluar pergi, dan hanya beberapa saat kemudian ia menghilang. Betul-betul lenyap seperti tak pernah ada orang yang bertamu.
5 tahun,
Itu adalah waktuku yang tersisa. Jika menilik apa yang orang itu katakan. Kakiku seketika lemas, badanku tak berdaya. Ini jelasnya seperti vonis hukuman mati.

Ibu tak jauh berbeda, matanya basah, ia memelukku begitu erat. Kami berdua bersimpuh jatuh terduduk bersamaan.
Kakek mengepalkan tangannya kesal, nenek terisak di kamarnya.

Duka mengapung di udara, membuat sesak siapapun di rumah ini.

Aku mati.

Esoknya, meskipun hari menjelma acuh seperti waktu yang lain juga berjalan. Ada rasa gelisah bercampur sendu sejak kemarin.
Semuanya canggung, dan air mata seringkali menetes tanpa sebab.

Hari ini, kakek tidak kemana. Nenek juga lebih banyak duduk didepan rumah, ibu terlihat seperti menyibukkan diri. Sementara aku, tidur dipangkuan nenek. Ia mengelus lembut kepalaku, menenangkanku.
Hatinya seperti memberitahuku bahwa semuanya akan berjalan baik-baik saja. Meskipun aku tau itu adalah kebohongan paling jelas yang kutau dalam hidupku.

Begitu saja hari berlalu. Malam kembali tiba, aku melewatkan jingga dan Eka tak muncul hari ini.
Setelah magrib, sambil menunggu waktu isya, semuanya berkumpul di ruang tengah. Secara perlahan dan gamblang, semua orang menjelaskan padaku.

Ada sebuah cerita tentang seorang ibu bernama Marsinah. Ia mengandung seorang putri dari suaminya yang bekerja sebagai sopir truk.
Anaknya lahir dengan baik, tumbuh dengan cantik.

Namun belum genap 2 tahun, suaminya meninggal kecelakaan.

Sejak saat itu, keluarga mereka dirundung kesulitan bertubi-tubi. Sang ibu, tak kenal menyerah. Ia bekerja setengah mati, menyekolahkan anaknya setinggi yang ia mampu.
Tepat di tahun ke 13, ia dijemput delman dan menghilang.
Usut punya usut, anak itu lahir di hari tertentu, membuat tubuhnya sewangi melati bagi para dedemit. Tetua desa mendesak agar Marsinah dan anaknya keluar dari desa, tapi ekonomi juga memaksa mereka tak dapat berbuat banyak.
Sempat berpindah, namun rentetan kejadian membawa mereka kembali ke desa. Hingga asa yang telah putus, dan sang anak yang tak tahu menahu tentang dirinya harus berakhir menghilang tanpa sebab.
Anak itu tak diberi kesempatan untuk memahami dirinya dan tubuhnya hingga ia betul-betul menghilang.

Para tetua desa, orang-orang pintar, semuanya menyerah. Ini ibarat takdir yang tak bisa dihindari. Tak ada yang tau kemana anak itu pergi,
ia betul-betul lenyap seperti asap tertiup angin, atau hilang ditelan bumi.

Nama anak itu adalah Eka.

Aku tak percaya tentu saja. Eka adalah temanku satu-satunya sejak aku pindah kemari. Tak ada yang aneh dari dirinya. Aku berusaha meyakinkan bahwa Eka itu masih ada dan nyata.
Tapi sergahan demi sergahan, bantahan demi bantahan, saksi semuanya yang diutarakan semua orang di rumah ini, segalanya menyudutkan pada satu hal.

Eka itu tidak nyata.

BERARTI AKU YANG GILA!

Ketika batinku menolak sibuk dengan kenyataan yang sedang dihadapi.
Kumandang adzan Isya memberi tanda bahwa kami harus berhenti.

Hari ini adalah malam Jumat, waktu dimana kami harus tidur lebih awal. Namun tepat pukul 9 malam.

"DUARR!"

Ada sesuatu yang meledak keras terdengar dari arah timur. Suaranya menggema,
semua orang saling menatap bertanya-tanya. Tapi masih dalam keheningan, tak ada yang berani keluar. Seolah memang hanya kami, di rumah ini yang mendengar suara itu.

"Kek?"
Nenekku akhirnya angkat bicara.

"Semuanya diam dan berkumpul di ruang tengah,
jangan berhenti berdzikir atau membaca ayat suci. Terus lantunkan, dan berharap semuanya akan berakhir dengan baik."
Kakek memerintahkan kami yang langsung dituruti tanpa banyak bicara.

Kami seolah mengerti, dalam benak masing-masing, suara tadi bukanlah ledakan biasa.
Aku ketakutan, namun lelah menyergap hebat, kantukku tak dapat ditahan. Meskipun semua orang tegang, tapi pada akhirnya aku terlelap juga.

Dalam mimpi, kulihat hutan dan pohon bambu saling mengelilingi. Baru saja sedang kulihat sekeliling, seorang pria terlihat sedang kesusahan.
Ia berkelahi 2 lawan 1 dengan sepasang sosok aneh disana. Satu sosok tanpa kepala yang membawa sebilah golok, satu lagi wanita dengan leher, tangan dan kaki yang sangat panjang.

Wanita itu merangkak merengangkan tubuhnya
dan berusaha meraih pria itu yang sedang sibuk melawan sosok tanpa kepala.

"Kenapa kau kemari? Sana! Kembalilah!"
Pria itu mendorong tubuhku hingga terjatuh dan membuatku terbangun dari tidur singkatku.

Seiring aku membuka mata,
ledakan demi ledakan terdengar saling bersahutan membalas satu sama lain.

Ketukan di jendela, di pintu, juga terdengar. Seperti ada banyak orang yang memaksa ingin masuk ke dalam rumah. Namun baik kakek,
nenek ataupun ibuku semuanya hanya membaca ayat suci tanpa bergerak dari tempatnya duduk.

Semua orang mengacuhkan semua suara yang terdengar. Aku memeluk ibuku erat-erat. Sambil mengikuti lantunan ayat suci, kuperhatikan setiap gerakan pintu dan jendela yang bergoyang.
Bayangan itu bukan kaki, tapi seperti kain putih lusuh, atau seperti orang yang memakai bawahan seperti itu. Lampu juga bergoyang, setiap bayangannya terlihat menggambarkan satu sosok di kepalaku.

Pocong!
Ya itu pocong!
Bukan satu atau dua, tapi banyak!
Banyak sekali!
Mereka menggedor pintu atau jendela dengan kepalanya masing-masing. Geraman kadang terdengar di sela-sela hantaman kepala itu satu-satu.

Jangan tanya lagi betapa takutnya aku saat itu. Bergetar, menegang, tangis semuanya bercampur membebani tubuhku.
Lalu ada masa dimana semuanya berhenti. Senyap, diam, hening.

"Nuri? Ayo main."
Eka?
Itu suara Eka, suaranya dari depan rumah!

Aku menatap wajah ibuku, ia menggeleng kepalanya. Seolah menjelaskan bahwa suara itu bukanlah suara seseorang yang aku kenal.
"Nuri?
NURI!! NURI GOBLOK, INI AKU!!
BUKA PINTUNYA DASAR JALANG!!
KAU LUPA SIAPA AKU?!!
AKU TEMANMU, SAHABATMU SATU-SATUNYA!!
BUKA PINTUNYA!!
BUKA PINTU SIALAN INI!!"
Suara Eka meninggi dan serak membentak.

Aku hanya diam tak menjawab, hanya tangis dan takut yang kurasa.
Sedetik kemudian hening, kembali tenang. Tapi keheningan itu justru membuatku tak nyaman.

"Nuri sayang~
Buka pintunya boleh? Ini ibu, nak. Aduh ibu tadi lupa pamit sama Nuri."
Kini suaranya seperti suara ibuku.
Aku seketika takut dan bingung apakah orang yang sedang kupeluk ini benar adalah ibuku atau justru yang diluar pintu adalah ibuku?

"Jangan didengar, sosok itu takkan mampu membaca ayat suci sama seperti yang sedang aku lakukan sekarang."
Ibuku berkata tegas dan terus melantun ayat suci.

Aku hanya mampu diam dan berkelut dengan ketakutanku sendiri.

"Nur? Nuri! Kok ditutup, ini kakek baru balik kok dikunci?"
Kini suaranya seperti suara kakekku.
Aku masih diam dan menatap ke arah kakekku yang masih memandangi daun pintu.

"Nuri~ loh loh? Ini kok dikunci? Cu, tolong buka, ini nenek bawa ikan."
Suara nenekku kini yang terdengar.

Saat kulihat ke arah nenek.
"Dusta! Enyah kau setan alas!"
Nenekku yang terpancing emosinya seketika memarahi sosok itu.

Dijawab hening, lalu tak lama pukulan pada daun pintu terdengar lagi, kini jauh lebih keras dari sebelumnya.

"BUKA INI NURI! JIKA TIDAK, MATI KAU MALAM INI!"
Kini sosok itu malah mengancam.

Aku harus apa?
Aku harus bagaimana?
Bingung, kalut, takut, sesak, tak tau lagi berapa ribu gelisah, jutaan sesak menancap di dadaku. Hanya jariku yang semakin erat memeluk ibu, tangisku pecah pada akhirnya. Tangis senyap tak berani suaraku keluar.
Entah berapa lama waktu berlalu seperti itu. Rasaku hilang, seolah ini berjalan jauh lebih lambat dari yang seharusnya.

Lalu suara ledakan itu perlahan sirna satu-satu. Samar kemudian sepi. Gedoran di pintu atau jendela juga lenyap perlahan. Dari ratusan suara, menjadi puluhan,
dari puluhan menjadi belasan, lalu satu-satu dan akhirnya sepi.

Saat kami saling menatap karena lantunan ayat suci juga terhenti. Jangkrik kembali bernyanyi, kodok kembali bersahutan. Malam telah kembali pada semestinya.

'Tok..tok..tok'
"Assalamualaikum?! Ki Damar? Ini aku, Atma."
Orang itu mengetuk dengan nada panik.

"Wa'alaikumsalam, sebentar."
Kakek berdiri dan membuka pintu.

"Nuri bagaimana?"
Tanyanya saat ia melihat kakekku.

Kakek hanya menyampingkan tubuhnya,
mempersilahkan ia untuk melihat keadaanku yang masih ketakutan.

"Baiklah, untuk saat ini semuanya aman. Tapi akan jauh lebih baik jika ia juga pergi dari desa ini."
Tuturnya.

"Tapi soal itu..."
Kakek ingin membantah.

"Aku tak mampu menahan mereka lebih lama.
Taruhannya antara desa ini atau nyawa cucumu. Pilih saja sendiri."
Setelah ia berkata seperti itu, kakekku membelakanginya.

Ia memandangku lebih dalam dari biasanya. Kami juga tak dapat melihat Kang Atma. Namun ketika kakek menyamping, justru orang itu telah lenyap juga.
Meninggalkan kami dalam kebingungan setelah diterpa rasa takut yang begitu hebat.

Tak butuh waktu lama, ayah menjemput kami esok paginya. Ia menjelaskan semua hal, dan beruntung ibu kali ini mengalah untuk percaya. Tampaknya aku yang menjadi beban alasannya melakukan itu.
Selang beberapa tahun kemudian, setelah aku berhasil lulus SMP. Aku melanjutkan pendidikanku, jujur saja aku merasa sedikit bangga. Aku adalah salah satu dari sedikit perempuan yang bisa melanjutkan pendidikannya.

Dapatkah kubilang bahwa keluargaku kaya?
Tapi di sisi lain, rasa penasaranku membuncah tak karuan. Pasalnya bulan depan adalah ulang tahunku yang ke-18. Apakah kali ini aku juga akan bertahan atau justru sebaliknya?
Aku kembali ke desa menemui nenek dan kakek yang semakin menua. Tentu bukan wajah bahagia yang kudapat, namun khawatir yang kental bersamaan kaget.

Setelah kami semua duduk bersamaan, kata pertama yang keluar dari kakek adalah ini.
"Pulanglah sebelum matahari terbenam. Kalian punya 4 jam lagi. Apa yang membawamu kemari sekarang?"
Tanya kakek tegas.

Nafasnya masih tersengal, perkara ia disusul oleh ayahku ketika masih menggarap sawah.

"Bicaralah, nak."
Ibu memberanikanku.
"Delman itu sebenarnya apa?"
Tanyaku.

Kakek tak langsung menjawab, ia seperti menunggu nenek untuk memulai.

"Bukan hal yang bagus lagipula."
Nenek membalas tatapan kakek.

"Justru karena itu bukan hal yang bagus, aku malah jadi harus lebih tau, kan?"
Aku masih memaksa.
"Dia benar. Ucapannya malah mirip sepertiku."
Kakek mengeluhkan sikapku.

"Memang beginilah keturunanmu."
Nenek juga menimpali.

"Jadi bagaimana?"
Aku tak sabar.

"Baiklah, jadi seperti ini, desa ini dulunya tandus. Kepala desa juga kesulitan mengembangkannya.
Namun seorang sesepuh desa tidak menyerah. Waktu itu, negeri sedang tidak baik-baik saja. Orang-orang sudah kesulitan berlindung dan bahkan bertahan hidup.

Sesepuh itu, kuakui niatnya mulia, tapi caranya salah.

Dia mengetahui satu hal, bahwa dimensi dunia ini dengan
dunia seberang saling berkaitan. Dan berbekal dengan itu, dia membuat sebuah perjanjian.

Penguasa sana diperbolehkan mengambil tumbal tertentu. Dengan syarat bahwa ia akan memberikan apa yang desa butuhkan.

Dan tumbal pertamanya adalah dirinya sendiri.
Setelah dirinya menghilang, beberapa mata air muncul ke permukaan. Lahan tandus berubah menjadi rawa yang kemudian dikelola bersama menjadi sawah dan perkebunan.

Desa ini semenjak itu berubah.

Bukan hanya kondisinya, namun juga petaka yang mengiringinya.
Lalu orang-orang tertentu akan diambil sebagai persembahan.

Entah sampai kapan, hanya Tuhan yang tau.

Pernah memang ada yang berhasil lolos dengan keluar dari desa. Konsekuensinya pula sederhana, dia tidak diizinkan menginjakkan kaki di desa ini lagi.
Dan kami, berharap hal itu juga padamu.

Pergilah, lupakan desa ini lalu hiduplah dengan baik. Biar apa yang terjadi disini hanya menjadi buah bibir kosong dan imajinasi tanpa dasar. Biarkan cerita ini hilang dan terlupakan."
Begitulah apa yang nenek katakan.
Ia menghela nafas panjang, seolah rampung sudah tanggung jawabnya.

Pun dengan kakek yang tertunduk, seolah mendalami kembali apa yang nenek katakan.

"Aku mengerti."
Itulah jawabanku saat melihat sikap mereka.

"Kita pulang?"
Tanya ibuku.

"Ya, Bu. Kurasa kita selesai disini."
Jawabku.

Ayah yang sedari tadi hanya terdiam, tak dapat suara ia keluarkan. Entah apa dia percaya atau tidak. Namun, dengan penuturan nenek tadi kurasa semuanya sudah jelas sekarang.

Baru saja kuinjakkan kaki keluar dari rumah untuk bersiap pergi, langit seketika gelap.
Bukan seperti mendung, tapi seolah malam datang secara tiba-tiba.

Gelap gulita, mataku tak dapat melihat apapun.

"Ibu? Ayah?"
Kucoba memanggil orangtuaku.

Perlahan rasa takut dan panik menjalari tubuhku, jantungku berdegup semakin cepat seiring nafasku berantakan.
Tubuhku seolah ditelan kegelapan yang entah datang darimana. Tak ada sumber cahaya, ataupun mataku yang mampu beradaptasi. Tak peduli kemana aku pergi, semuanya sama.

Hanya kegelapan pekat yang terus kulihat.

Lalu samar kegelapan ini bergerak dengan cara yang aneh,
warnanya perlahan memudar berubah menjadi jingga kemerahan.

Aku tertegun masih dengan rasa takut dan nafas yang berantakan.

Sebelum semuanya semakin jelas, sebuah tangan mencengkram lenganku.

"Sudah kubilang jangan kembali!"
Siapapun pemilik tangan ini, dia membentak dan menarik tubuhku dengan kasar.

Membuat keseimbanganku hilang dan aku terjatuh berlutut.

Kepalaku mulai berputar rasanya, mataku mulai menangkap cahaya lagi.

Teras.
Ya itu teras depan rumah nenek,
aku jatuh dengan posisi seperti merangkak.

Dengan panik kutengok ke belakang, dimana kulihat semua orang sama paniknya dan keheranan padaku.

"Kamu kenapa? Pusingkah?"
Tanya ibuku pelan sambil menghampiriku.

Tak kuasa ku tahan tangis yang akhirnya pecah.
Kupeluk ibuku dan menangis sekeras-kerasnya.

Samar kulihat, bayangan seorang pemuda berdiri jauh dari pandanganku. Bayangan pohon mangga mengganggu kehadirannya. Nafasnya tersengal, ia berkeringat namun raut mukanya seolah ada kelegaan disana.

~oOo~
"Sejak saat itu, teteh gak balik ke desa itu lagi?"
Tanyaku setelah teh Nuri selesai bercerita.

"Ngga, bahkan ketika kakek sama nenek meninggal pun teteh gak bisa kesana."
Jawabnya.

"Rumahnya gimana?"
Tanyaku penasaran.

"Dijual sih, terus ya dibagi-bagi aja warisannya."
Jawabnya.

Saya diam banyak berpikir, teh manis yang sudah dingin saya teguk sedikit. Jajanan pasar terhidang di meja tamu. Meskipun pandangan saya tertuju pada teh Nuri, tapi pikiran saya masih menerawang mencerna.

Kang Atma, saya sepertinya mengenal dia siapa,
lebih tepatnya saya memanggilnya Ki Atma saat ini.

Saya perhatikan wanita dihadapanku, usia kami terpaut beberapa belas tahun, tapi sepertinya ada benang takdir yang menyulam kami berdua.

"Buset, masih betah aja cerita."
Kang Hendi masuk,
setelah dari tadi di teras sambil ngerokok karena perkara ada anak bayi di kamar, takut asap rokok masuk kamar jika ia merokok di dalamr rumah.

"Baru juga beres, ayah ganti baju sama bersih-bersih dulu ya sebelum masuk kamar ."
Teh Nuri meminta pada suaminya.
"Iya ngerti, eh Re, nginep sini gak?"
Tawar Kang Hendi.

"Ngga kayaknya, mau balik aja, kebetulan ntar jaga malem di kebon gantiin bapak."
Jawabku.

"Oh oke deh, hati-hati aja. Udah kenalan kan sama penunggu pohon pisang situ?"
Kang Hendi memastikan.
Saya tak menjawab hanya senyum canggung.

"Wuahahaha!"
Kang Hendi ketawa sambil masuk kamar mandi.

"Ah elah, udah bagus aing gak tau."
Keluh saya.

~TAMAT~

• • •

Missing some Tweet in this thread? You can try to force a refresh
 

Keep Current with Re Dear

Re Dear Profile picture

Stay in touch and get notified when new unrolls are available from this author!

Read all threads

This Thread may be Removed Anytime!

PDF

Twitter may remove this content at anytime! Save it as PDF for later use!

Try unrolling a thread yourself!

how to unroll video
  1. Follow @ThreadReaderApp to mention us!

  2. From a Twitter thread mention us with a keyword "unroll"
@threadreaderapp unroll

Practice here first or read more on our help page!

More from @Residorea

Jun 29, 2022
Samaraenda

"Kalo gak salah ini jenis pelet Kembang Pitpitan, raga mbak Rima diambil alih. Aku gak tau kesadarannya gimana."
[Widuri]

@ceritaht @HorrorBaca @threadhoror @bacahorror @IDN_Horor @P_C_HORROR
#ceritaserem #bacahoror Image
"Cintanya mungkin saja murni tapi tindakannya menjadikan itu larangan."
[Widuri]

Lebaran 2013 silam, tepatnya selang setelah beberapa hari kami cuti. Kini harus kembali bekerja seperti biasa.

Kami bekerja di sebuah toko bangunan, aku menempati bagian kasir, mengurus penjualan
dan mencatat keuangan toko. Lalu ada mas Firman, dia menangani bagian gudang, dan terakhir Mas Jo, dia lebih berperan sebagai transporter. Jika sedang tidak ada pengiriman, biasanya mereka berdua saling membantu dalam hal urusan gudang.
Read 94 tweets
May 23, 2022
Para Penghuni Gudang

"Meskipun kami berada di tempat yang sama, namun ..."
[Mang Udan]

@ceritaht @HorrorBaca @threadhoror @bacahorror @IDN_Horor @P_C_HORROR
#ceritaserem #bacahoror Image
Tau kan kopi yang diseduh pake gelas plastik? Nah didepan saya lagi ada yang begituan. Gerimis dari sore emang bikin suasananya pas kalo ngopi begini.

Ngopi dimana?
Tau warung pinggir jalan komplek? Kan suka ada tuh tempat duduknya, nah saya disitu.

Lagi asik scroll Twitter,
"Matahari tenggelam, hari sudah malam ~"
Mang Udan nyanyi.

Biasa, dia mah kalo nyindir begitu, soalnya saya kalo nongkrong sendirian begini emang suka malem.

"Yee, mang, ada apa nih?"
Tanyaku.

"Biasa, beli stok kopi. Eh yang laen pada kemana?"
Read 87 tweets
Mar 26, 2022
Sasak Sasar

"Mungkin untuk beberapa orang, cerita ini sudah terlalu biasa. Tapi coba anda alami sendiri."
[Rul]

@ceritaht @HorrorBaca @threadhoror @bacahorror @IDN_Horor @P_C_HORROR
#ceritaserem #bacahoror
Letusan kembang api semarak bersahutan bergiliran di langit malam. Menyambut tahun baru 2021 yang terasa sangat berbeda. Tak perlu rasanya kucoba jelaskan lagi mengapa.

Aku yang tengah berbaring diatas dipan termenung keras memandangi seragam satpam yang sudah tak lagi kugunakan
Aku mengecek ponsel dan melihat saldo hanya cukup untuk beberapa hari ke depan.

Aku masih jelas dapat mendengar suara dentingan panci, pisau dan kompor yang masih menyala di dapur, ibu sedang membuat sesuatu.

Memberi jeda pada suara dentuman kembang api diluar.
Read 65 tweets
Mar 24, 2022
Ojol Strike: Kembang Tujuh Rupa

"Gak nyangka sih, yang begituan masih ada di jaman sekarang."
-Mang Agus-

@ceritaht @HorrorBaca @threadhoror @bacahorror @IDN_Horor @P_C_HORROR
#ceritaserem #bacahoror
Selamat pagi, siang, sore, atau malem!
Terserah deh kapan kamu bacanya.

Mungkin lagi enak, nyantai, balik kerja, atau iseng tiba-tiba klik thread ini? It's okay 👍 semuanya sah di mata semesta.

Apapun yang sedang kamu lakukan, jangan lupa order food nya supaya kami-
(para driver; pejuang nafkah halal) kecipratan rezeki yang kamu miliki.

Mantap!

Ada yang beda?
Tenang, ini masih saya, Re. Cuman saya ingin sedikit melepas penat dengan menulis santai. Kebetulan tabungan cerita dari rekan-rekan sesama ojek online-
Read 49 tweets
Mar 17, 2022
Susuk Purbarangkas bagian 2:
"Penyelesaian yang berjalan lambat."

@HorrorBaca
@bacahorror
@ceritaht
@IDN_Horor Image
"ARRRGHH!! SAPTA!! JELITA!! TOLONG AKU!! AKU KESAKITAN!! SAPTA!! KEMARI TOLONG AKU!!"

Tiba-tiba suara teriakan terdengar nyaring dari kamar Nanda. Dani seketika bangun, melihat jam di ponselnya yang menunjuk angka 2 dini hari.

Tanpa bisa berpikir panjang, ia segera melompat dan
pergi ke kamar adiknya. Ibu dan ayahnya yang juga panik terlihat sedang memegangi tubuh Nanda yang kejang-kejang.

"Dan, tolong kabari ustadz A yang tadi sore kalian kesana."
Ujar ibunya khawatir.

"Iya Bu."
Dani segera berlari kembali ke kamarnya, meraih ponselnya seperti -
Read 91 tweets
Mar 15, 2022
Susuk Purbarangkas bagian 1:
"Ketika penampilan menjadi nyawa kedua."

@HorrorBaca
@bacahorror
@ceritaht
@IDN_Horor Image
Musim penghujan tiba secara perlahan, hari demi hari selalu mendung. Setidaknya setiap hari selalu gerimis, kadang hujan tiba dengan lebat lengkap dengan gemuruh petir menyambar bak sedang ada perlombaan diatas sana.
Pagi itu juga sama mendungnya, jas hujan sudah kusiapkan, bekal makan siang dari istri tercinta sudah aman kubawa, laptop juga sudah kubungkus plastik sebelum masuk tas, jaga-jaga jika aku harus menembus hujan di tengah jalan.

"Sudah semua, Yah?"
Read 70 tweets

Did Thread Reader help you today?

Support us! We are indie developers!


This site is made by just two indie developers on a laptop doing marketing, support and development! Read more about the story.

Become a Premium Member ($3/month or $30/year) and get exclusive features!

Become Premium

Don't want to be a Premium member but still want to support us?

Make a small donation by buying us coffee ($5) or help with server cost ($10)

Donate via Paypal

Or Donate anonymously using crypto!

Ethereum

0xfe58350B80634f60Fa6Dc149a72b4DFbc17D341E copy

Bitcoin

3ATGMxNzCUFzxpMCHL5sWSt4DVtS8UqXpi copy

Thank you for your support!

Follow Us on Twitter!

:(